ARTIKEL
Pembakaran Hutan: Cenderung Menyalahkan Petani Tradisonal
Siaran Pers: 29 Agustus 2006
Jakarta - Tingginya jumlah titik api sepertinya semakin membuat gerah bukan saja
propinsi dan negeri tetangga yang menerima kiriman asap, namun juga pejabat negeri.
Namun, WALHI melihat bahwa sejumlah pernyataan yang dikeluarkan pejabat cenderung
untuk menyalahkan peladang gilir balik/tradisional. Meskipun tidak membantah adanya
pembukaan kebun dengan cara bakar yang dilakukan oleh masyarakat namun WALHI
menilai angkanya tidak signifikan. Dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006, total
kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin
kehutanaan lainnya mencapai 81,1 %.
Kertas briefing WALHI, yang dikeluarkan pada tanggal 8 Agustus lalu juga menyebutkan
bahwa setiap tahunnya Indonesia memproduksi lebih dari 40 ribu hotspot. Angka ini
menurun pada tahun 2005 menjadi 39 ribuan dikarenakan tingginya angka curah hujan
pada saat itu. Kertas tersebut juga menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen titik api
tersebut berada pada konsesi-konsesi perkebunan, HTI, dan HPH. Oleh karenanya,
menjadi sangat disayangkan ketika sejumlah pejabat yang tidak memiliki akses terhadap
informasi di lapangan, cenderung menyalahkan petani tradisional sebagai pelaku utama
dan sekaligus menafikan fakta bahwa justru pelaku bisnislah yang menerima keuntungan
paling besar dari landclearing dengan cara bakar ini.
Untuk itu, WALHI merasa berkepentingan untuk mengeluarkan nama-nama perusahaan
yang terindikasi melakukan pembakaran pada tahun 2006 ini. Sebagian kecil dari nama-
nama perusahaan tersebut telah dilakukan groundcheck untuk memastikan kebenaran
informasi yang diterima dari satelit. Groundcheck yang di beberapa tempat dilakukan
bersama dengan Bapedalda kemudian mendapatkan kepastian bahwa sejumlah konsesi
milik perusahaan telah terbakar. Menyebut di antaranya adalah PT. Agro Lestari Mandiri,
PT Agro Bukit, PT Wilmar Plantation Group, PT Bulu Cawang Plantation, PT Bumi
Pratama Khatulistiwa di Kalimantan Barat, PT Sumber Tama Nusa Pertiwi di Jambi, PT.
Persada Sawit Mas (PSM) di Sumatera Selatan, PT. Agro karya Prima Lestari (Sinar Mas
Group) di Kalimantan Tengah dan puluhan perusahaan lainnya di Riau.
Sebagian besar perusahaan tersebut telah melakukan praktek serupa di tahun-tahun
sebelumnya dan tidak pernah terjerat dengan hukum. Di Riau, misalnya, PT Arara Abadi
setiap tahunnya selalu terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan di konsesinya.
Demikian halnya dengan sejumlah rekanan PT RAPP, demikian Rully Syumanda,
Pengkampanye Hutan WALHI.
Ditambahkan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun tindakan hukum yang diambil oleh
pemerintah berkaitan dengan praktek yang merugikan ini. Satu-satunya upaya hukum
yang diajukan Pemprov Riau kemudian dipeti-eskan untuk alasan yang tidak diketahui
sama sekali. Terkait dengan hal tersebut, WALHI dalam waktu dekat akan meminta
hearing kepada DPR RI terkait dengan kebijakan yang mengatur tentang tanggung jawab
perusahaan terhadap konsesi miliknya apabila terjadi kebakaran hutan.
Menjadi penting untuk mengeluarkan satu kebijakan yang menyebutkan bahwa pelaku
bisnis harus bertanggung jawab dan diberikan sanksi apabila terjadi kebakaran di konsesi
miliknya. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, menyebutkan bahwa
kebijakan ini sangat sangat dibutuhkan mengingat tren yang berkembang pada saat ini
antara pemerintah dan perusahaan selalu saling menyalahkan bila terjadi kebakaran.
Ujung-ujungnya petani tradisionalah yang menjadi kambing hitamnya.
Chalid juga menambahkan bahwa hanya dengan cara demikianlah jumlah titik api di
negeri ini bisa dikurangi. Pelaku bisnis harus bertanggung jawab apabila terjadi
kebakaran dikonsesinya. Tidak peduli siapa yang melakukan pembakaran, mereka harus
menunjukkan itikad baik dan kemampuan yang dimilikinya untuk menjaga konsesinya
sendiri.
WALHI sendiri menilai bahwa UU Perkebunan No. 18/2004 yang meskipun memuat
sanksi namun amat sulit diimplementasikan mengingat proses hukumnya masih
menggunakan KUHP yang mensyaratkan keberadaan barang bukti, seperti korek, bensin,
saksi mata, dsb. Untuk kebakaran yang terjadi pada satu kawasan yang cukup luas,
menemukan bukti materiil tersebut sama halnya dengan mencari jarum di atas tumpukan
jerami.
PEMBAHASAN
Sumber : indonesiamongabay.com
Indoneisa terbakar lagi. Asap dari api yang dinyalakan untuk membuka lahan di
Kalimantan Selatan (Borneo) dan Sumatera menyebabkan tingkat polusi di Singapura,
Kuala Lumpur, dan Bangkok meningkat, menyebabkan munculnya masalah kesehatan
yang berkaitan dengan asap, kecelakaan lalu lintas, dan biaya ekonomi yang
menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali menuntut adanya tindakan namun
pada akhirnya tetap saja kebakaran akan berlangsung hingga datangnya musim hujan.
Kebakaran ini - dan asap yang mencekik - telah menjadi peristiwa tahunan di Indonesia.
Beberapa tahun lebih buruk dari tahun-tahun yang lain - terutama saat kondisi el Nino
yang kering mengubah hutan kawasan ini menjadi sangat mudah terbakar - tapi
keseluruhan trend ini tidaklah baik. Kenapa bencana kebakaran ini terus saja terjadi?
Kesalahan seharusnya ditimpakan pertama kali pada pemerintah Indonesia atas kegagalan
sistematis untuk menggalakkan hukum yang didesain untuk mengurangi tingkat
penggundulan hutan yang mengejutkan di negara ini. Sejak 1990, angka-angka resmi
telah menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan seperempat dari keseluruhan luas
hutannya. Berkurangnya hutan-hutan primer itu menjadi lebih buruk: hampir 31 persen
dari hutan tua kepulauan ini telah jatuh ke tangan penambang dan pengembang lahan
pada periode yang sama. Bahkan, tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat.
Berkurangnya hutan dalam satu tahun telah meningkat hingga 19 persen sejak akhir
1990an, sementara setiap tahunnya berkurangnya hutan primer telah meluas hingga 26
persen. Statistik ini seharusnya menjadi sesuatu yang memalukan bagi Indonesia dan
bukti ketidakmampuan pemerintah mengatasi berkurangnya hutan dan ketidakmampuan
dalam menanggulangi kroni dan korupsi.
Kegagalan internasional
Meski mudah untuk menyalahkan pemerintah Indonesia atas tak adanya tindakan,
masyarakat internasional juga telah gagal. Daripada mengkritik Indonesia atas
kekurangannya, pemerintah asing seharusnya menjanjikan keahliannya dan memberikan
bantuan dalam jumlah besar. Kebakaran hutan Indonesia mempunyai dampak global
dengan menghilangkan keanekaragaman hayati dan menyumbangkan gasgas rumah kaca
ke atmosfer (kebakaran tahun 1997 melepaskan sekitar 2,67 milyar ton karbon dioksida).
Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya
hujan. Dalam kasus dimana masalah Indonesia adalah masalah dunia, masyarakat global
seharusnya meningkatkan kesempatan untuk menujukan bencana kebakaran ini dengan
sikap yang pintar dan terkoordinasi dengan baik.
Diposkan oleh Araini Julianti 07313575 di 18:24
Label: Hutan
Reaksi:
0 komentar:
Poskan Komentar
Pengikut (0)
Ikuti blog ini
Berhenti ikuti
Jadilah orang pertama yang mengikuti blog ini
0 Pengikut Lihat Semua Manage
Mengenai Saya
Araini Julianti
suka senyummmmm...suka becanda,kdang klo gi badmood ya gtu dech,,butz
kalau lagi saatnya srius ya srius githu dech yach"SERSAN"serius but santai
Lihat profil lengkapku
Tampilan slide
Daftar Blog Saya
hutan
rusaknya hutan
hutan
Arsip Blog
2008 (4)
o November (3)
BADAI
bencana banjir
kerusakan hutan di INDONESIA
o Oktober (1)
kerusakan ozon
Laugh IT Out