Anda di halaman 1dari 14

Laporan Kasus

ULKUS PEPTIKUM

Pembimbing :
dr. Hendry Tanjung, MM

Disusun oleh :
Dr. Anisatantri Andes Winata

INTERNSIP DKI JAKARTA


RS ISLAM JAKARTA SUKAPURA
PERIODE 10MEI 2017 8 SEPTEMBER 2017
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pernikahan : Menikah
Alamat : Jakarta

II. Anamnesa
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis terhadap pasien pada tanggal
23Juni 2017, di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Islam Sukapura.
Keluhan utama :

BAB darah cair tadi pagi


Keluhan tambahan :

Nyeri perut sejak sejak tadi pagi, perut terasa perih dan melilit.
Mual +, muntah -
Pusing dan sakit kepala, Demam -

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Laki-laki 45 tahun datang dengan keluhan BAB cair berupa darah berwarna hitam sejak
tadi pagi sebanyak 3 kali. Disertai nyeri perut terasa perih dan melilit. Ada mual tetapi
tidak muntah. OS juga mengeluh lemas. Belum makan sejak kemarin karena tidak nafsu
makan.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyangkal mempunyai riwayat hipertensi, diabetes dan penyakit
lainnya. Pasien memiliki riwayat gastritis kronik.
V. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien ada yang mempunyai penyakit DM dan hipertensi

VI. Riwayat Pengobatan


Pasien mengkonsumsi obat lambung yang dibelinya sendiri di apotek

VII. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
TD :120/70 mmHg RR : 22 x/menit
N : 78 x/menit S : 36,6 C

GCS (Glaw Coma Scale)


Eyes :4 Verbal :5
Motorik :6 GCS : 15

BMI (Body Mass Index)


Berat Badan : 65Kg BMI :
Tinggi Badan: 168cm

Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Mata
Palpebra : Edema / Pupil : Bulat, isokor
Konjungtiva : Anemis -/- Refleks Cahaya : +/+
Sklera : Ikterik /

Telinga
Bentuk : Normal/Normal Mukosa : Hiperemis (-)
Liang : Lapang Serumen : /

Hidung
Bentuk : Normal
Deviasi Septum :
Sekret : /
Concha : Hipertrofi /, hperemis /, oedem /

Mulut
Bibir :normal Tonsil : T1T2 tenang
Lidah :putih pucat Mukosa Faring : Hiperemis ()

Leher
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Kel. Thyroid : Tidak terdapat pembesaran
JVP : JVP 52 cmH2O

Thoraks
Paru
Inspeksi : Hemithorax kanan-kiri simetris dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki /, wheezing /
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ IBJ II reguler, murmur (), gallop ()

Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan(+) epigastrium
Perkusi : Timpani

Ekstremitas
Atas
Akral : Hangat Perfusi : Baik
Sianosis : () Edema : ()
Bawah
Akral : Hangat Perfusi : Baik
Sianosis : (-) Edema : ()

Kulit : normal

V. Diagnosis
Melena susp. Ulkus Peptikum

VI. Terapi
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin 1 amp (IV)
Inj. Vit K 1 amp (IV)
Inj. As. Tranexamat 1 amp (IV)

VII. Planning (Rencana)


Cek DR
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

TUKAK DUODEUNUM (ULKUS DUODENUM)

2.1 Definisi

Suatu defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis mukosa
sampai lapisan serosa, sehingga dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu tukak adalah hilangnya
epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter 5 mm yang dapat diamati secara
endoskopi atau radiologis. (Akil,2007)

2.2 Etiologi dan Patogenesis

Helicobacter pylori

Bila terjadi infeksi H. pylori, maka bakeri ini akan melekat pada permukaan epitel dengan
bantuan adhesin sehingga dapat lebih efektif merusak mukosa dengan melepaskan sejumlah zat
sehingga terjadi gastritis akut yang dapat berlanjut menjadi gastritis kronik aktif atau duodenetis
kronik aktif. Untuk terjadi kelainan selanjutnya yang lebih berat seperti tukak atau kanker lambung
ditentukan oleh virulensi H. pylori dan faktor-faktor lain, baik dari host sendiri, maupun adanya
gangguan fisiologis lambung/ duodenum.

Setelah H. pylori berkoloni secara stabil terutama dalam antrum, maka bakteri ini akan
mengeluarkan bermacam-macam sitotoksin yang secara langsung dapat merusak epitel mukosa
gastroduodenal seperti vacuolating cytotoxin (Vac A Gen) yang menyebabkan vakuolisasi sel-sel
epitel, seperti urease, protease, lipase, dan fosfolipase. Sitotoksin dan enzim-enzim ini paling
bertanggung-jawab terhadap kerusakan sel-sel epitel.

Urease memecahkan urea dalam lambung, menjadi amonia yang toksik terhadap sel-sel epitel.
Sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan sekresi mukus, menyebabkan daya tahan mukosa
menurun, merusak lapisan yang kaya lipid pada apikal sel epitel dan melalui kerusakan sel-sel ini,
asam lambung berdifusi balik, menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga terbentuk tukak peptik.

6
Obat Anti Inflamasi non-steroid (OAINS)

Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal penggunaan OAINS/ASA


adalah akibat efek toksik/iritasi langsung pada mukosa yang merangkap OAINS/ASA yang bersifat
asam, sehingga terjadi kerusakan epitel dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek
OAINS/ASA yang menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga
menekan produksi prostaglandin/prostasiklin. Seperti diketahui, prostaglandin endogen sangat
berperan/berfungsi dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa,
proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur fungsi immunosit mukosa serta
sekresi basal asam lambung.

Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan OAINS/ASA


melalui 4 tahap, yaitu: menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan
proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan mikrovaskuler yang
diperberat oleh kerja sama platelet dan mekanisme koagulasi.

Endotel vaskular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan I, yang


apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah
menurun yang menyebabkan nekrose epitel. Hambatan COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan
leukosit PMN pada endotel vaskular gastroduodenal dan mesenterik, dimulai dengan pelepasan
protease, radikal bebas oksigen sehingga memperberat kerusakan epitel dan endotel. Perlekatan
leukosit PMN menimbulkan statis aliran mikrovaskular, iskemia dan berakhir dengan kerusakan
mukosa/tukak peptik.

(Akil,2007)

2.3 Kriteria Diagnosis

Anamnesis

- Nyeri seperti terbakar, nyeri rasa lapar, rasa sakit atau tidak nyaman yang mengganggu dan
tidak terlokalisasi; biasanya terjadi setelah 90 menit 3 jam post prandial dan nyeri berkurang
sementara sesudah makan, minum susu atau minum antasida. Hal ini menunjukkan adanya
peranan asam lambung/ pepsin dalam patogenesis ulkus duodenum. (Akil, 2007 dan Kasper,
2005)
- Nyeri epigastrium merupakan gejala yang paling dominan

7
- Nyeri yang spesifik pada 75 % pasien ulkus duodenum adalah nyeri yang timbul dini hari,
antara tengah malam dan jam 3 dini hari yang dapat membangunkan pasien.
- Pada ulkus duodenum, nyeri yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke punggung, perlu
diwaspadai adanya penetrasi tukak ke pankreas, sedangkan nyeri yang muncul dan menetap
mengenai seluruh perut perlu dicurigai suatu perforasi.
- Pada ulkus duodenum umumnya, apabila gejala mual dan muntah timbul secara perlahan
tetapi menetap, maka kemungkinan terjadi komplikasi obstruksi pada outlet.
- 10 % dari ulkus duodenum, khususnya kausa OAINS, menimbulkan komplikasi (perdarahan/
perforasi) tanpa adanya keluhan nyeri sebelumnya sehingga anamnesis mengenai penggunaan
OAINS perlu ditanyakan kepada pasien.
- Tinja berwarna seperti teer (melena) harus diwaspadai sebagai suatu perdarahan tukak/ ulkus.
(Akil,2007)

Pemeriksaan Fisik

Tidak banyak tanda fisik yang dapat ditemukan selain kemungkinan adanya nyeri palpasi
epigastrium, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. (Akil,2007)

Diagnosis

Diagnosis pasti ulkus duodenum dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas dan sekaligus dilakukan biopsi lambung untuk deteksi H. Pylori atau dengan pemeriksaan
foto barium kontras ganda. (Akil,2007)

2.4 Penatalaksanaan

8
Pada umumnya penatalaksanaan ulkus duodenum dilakukan secara medikamentosa,
sedangkan cara pembedahan dilakukan apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, obstruksi, dan
perdarahan yang tidak dapat diatasi.

Tujuan dari pengobatan adalah:

a. Menghilangkan gejala-gejala, terutama nyeri epigastrium


b. Mempercepat penyembuhan tukak secara sempurna
c. Mencegah terjadinya komplikasi
d. Mencegah terjadinya kekambuhan
(Akil,2007)

Diet

Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet yang dipakai pada
masa lalu, namun pemberian diet yang mudah dicerna, khususnya pada tukak yang aktif perlu
dilakukan.
Makan dalam jumlah yang sedikit namun sering, lebih baik daripada makan yang sekaligus
kenyang.
Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/ pepsin, makanan yang
merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat mengganggu pertahanan mukosa
gastroduodenal.
(Akil,2007)

Medikamentosa

a. Ulkus duodenum kausa H. pylori.


Kombinasi antara antibiotik dengan proton pump inhibitor (PPI) merupakan cara terapi yang
terbaik. Kombnasi tersebut adalah:

PPI : 2 x 1 (tergantung mg preparat yang dipakai)


Amoksisilin : 2 x 1 g/ hari

Klaritromisin : 2 x 500 mg

PPI :2x1

9
Amoksisilin : 2 x 1 g/ hari

Metronidazol : 2 x 500 mg

PPI :2x1
Klaritromisin : 2 x 500 mg/ hari

Metronidazol : 2 x 500 mg

Masing-masing diberikan selama 7-10 hari.

Jenis-jenis preparat dan kemasan PPI yang ada:

- Omeprazol 20 mg
- Rabeprazol 10 mg
- Pantoprazol 40 mg
- Lanzoprazol 30 mg
- Esomeprazol magnesium 20/ 40 mg
b. H. pylori disertai penggunaan OAINS
Eradikasi H. pylori sebagai tindakan utama tetap dilakukan dan bila mungkin OAINS
dihentikan, atau diganti dengan OAINS spesifik COX-2 inhibitor yang mempunyai efek
merugikan lebih kecil pada gastroduodenal.

Penyembuhan tetap sama pada ulkus duodenum kausa H. pylori sendiri atau bersama-
sama dengan OAINS, yaitu dengan menggunakan PPI.

c. Ulkus duodenum kausa OAINS


Penggunaan OAINS pada pasien-pasien dengan kelainan muskuloskeletal yang lama
harus disertai dengan obat-obat yang dapat menekan produksi asam lambung seperti reseptor
antagonis H2 (H2RA) atau PPI dan diupayakan pH lambung di atas 4 atau dengan
menggunakan obat sintetik prostaglandin (misoprostol 200 g/hari) sebagai sitoprotektif.

Pencegahan/ meminimalkan efek samping OAINS, yaitu:

- Jika mungkin, menghentikan pemakakian OAINS, walaupun biasanya tidak


memungkinkan pada penyakit artritis seperti osteoartritis (OA), Reumatoid artritis
(RA).
- Penggunaan preparat OAINS (prodrug, OAINS terikat pada bahan lain seperti Nitrit
Oxide (NO).

10
- Pemberian obat spesifik COX-2 inhibitor walaupun hal ini tidak 100 % mencegah
efek samping pada gastroduodenal.
- Pemberian obat secara bersamaan dengan pemberian OAINS seperti H2RA, PPI atau
prostaglandin.
d. Ulkus duodenum non-H. pylori non-OAINS
- Antasida 120-240 mEq/ hari dalam dosis terbagi
- H2 Receptor Antagonis (H2RA):
cimetidin 2 x 400 mg/hari atau 1 x 800 mg pada malam hari
ranitidin 300 mg sebelum tidur malam atau 2 x 150 mg/hari
famotidin 40 mg sebelum tidur malam atau 2 x 20 mg/hari
Masing-masing diberikan selama 8-12 minggu dengan penyembuhan sekitar 90
%.

- Proton Pump Inhibitor (PPI), 1 x 1 sebelum sarapan pagi atau 2 x 1 per hari sebelum
makan pagi dan makan malam, selama 4 minggu dengan tingkat penyembuhan di atas
90 %. Obat lain seperti sukralfat 2 x 2 gr/hari atau 4 x 1 gr/hari.
(Akil,2007)

2.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya adalah:

Perdarahan: hematemesis/melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif dan


perdarahan tersembunyi yang kronik, menyebabkan anemia defisiensi Fe.
Perforasi: nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis.
Penetrasi tukak yang mengenai pankreas: timbul nyeri tiba-tiba tembus ke belakang.
Obstruksi outlet bila ditemukan gejala mual dan muntah, perut kembung dan adanya suara
deburan (succusion splash) sebagai tanda retensi cairan dan udara, dan berat badan menurun.
Keganasan dalam duodenum (walaupun jarang).
(Akil,2007 dan Kasper, 2005)

2.6 Prognosis
Dubia

MELENA

11
2.7 Definisi
Melena adalah buang air besaar (BAB) berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna
bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal)
ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus. (Rani, 2005)

2.8 Kriteria Diagnosis


BAB darah berwarna hitam dengan sindrom dispepsia, bila ada riwayat makan obat OAINS,
jamu pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum, riwayat sakit kuning/hepatitis,
keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan kesadaran (prekoma/koma
hepatikum), dapat terjadi syok hipovolemik. (Rani, 2005)

2.9 Penatalaksanaan
Non-farmakologis:

- Tirah baring
- Puasa, diet hati/lambung
- Pasang NGT untuk dekompresi
- Pantau perdarahan
(Rani, 2005)

Farmakologis:

- Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises, transfusi
sampai dengan Hb 10 gr %, pada kausa non varises transfusi sampai dengan Hb 12 %.
- Sementara menunggu darah, dapat diberikan penggenti plasma (misalnya dekstran/ hemacel)
atau NaCl 0,9 % atau RL.
- Untuk penyebab non varises:
1. injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton (PPI)
2. sitoprotektor : sukralfat 3-4 x 1 gr atau teprenon 3 x 1 tab
- Untuk penyebab varises:
- Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
- Pada pasien dengan pecah varises/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan:

12
- Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif. Bedah emergensi
diindikasikan bila pasien masuk delam keadaan gawat I-II.
(Rani, 2005)

2.10 Komplikasi
Syok hipovolemik
Aspirasi pneumonia
Gagal ginjal akut
Sindrom hepatorenal
Koma hepatikum
Anemia karena perdarahan
(Rani, 2005)

2.11 Prognosis
Dubia. (Rani, 2005)

13
Daftar Pustaka

1. Akil HAM. Tukak Duodenum. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiyati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007. h. 345-348.
2. Rani AA, Santoso A, Pusponegoro AD, Sani A, Lelo A, Azwar A, dkk. MIMS Official Drugs
Reference for Indonesian Medical Profesionals edisi Bahasa Indonesia. Vol 8. Jakarta: PT Info
Master; 2007.
3. Hematemesis Melena. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A,
editor. Panduan Pelayanan Medik, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta: PB PAPDI; 2006. h. 305-306
4. Kasper DL, Braundwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. HARRISONS
Manual of Medicine 16th edition. International edition. India: Mc Graw Hill; 2005. p. 737-
739.

14

Anda mungkin juga menyukai