Anda di halaman 1dari 64

UNIVERSITAS INDONESIA

MIGRASI PRE-STACK DOMAIN KEDALAMAN


MENGGUNAKAN MODEL KECEPATAN
INVERSI TOMOGRAFI GELOMBANG
NORMAL INCIDENCE POINT (NIP)

TESIS

MOH. NUROHMAN KRISNAYADI


0806421306

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI ILMU FISIKA
KEKHUSUSAN GEOFISIKA RESERVOAR
JAKARTA
JULI 2011

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA

MIGRASI PRE-STACK DOMAIN KEDALAMAN


MENGGUNAKAN MODEL KECEPATAN
INVERSI TOMOGRAFI GELOMBANG
NORMAL INCIDENCE POINT (NIP)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

MOH. NUROHMAN KRISNAYADI


0806421306

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI ILMU FISIKA
KEKHUSUSAN GEOFISIKA RESERVOAR
JAKARTA
JULI 2011

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Program
Studi Geofisika Reservoar, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dr.rer.nat. Abdul Haris, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;
(2) pihak JOB Pertamina-Medco Tomori yang telah banyak membantu dalam
usaha memperoleh data yang saya perlukan;
(3) pihak Seismic Geodata Processing, Geoscience Services Division, PT. Elnusa
Tbk. yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini;
(4) orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
(5) sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.

Jakrta, 21 April 2011

Penulis

iv

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
ABSTRAK

Nama : Moh. Nurohman krisnayadi


Program Studi : Geofisika Reservoar
Judul : Migrasi Pre-Stack Domain Kedalaman
Menggunakan Model Kecepatan
Inversi Tomografi Gelombang
Normal Incidence Point (NIP)

Prestack depth migration (PSDM) merupakan langkah penting di dalam seismic


processing. Seismic refleksi ditransformasi menjadi suatu depth image
menggunakan PSDM yang dipertimbangkan mampu mendeskripsikan struktur
bawah permukaan secara akurat. Untuk menghasilkan suatu image struktur
geologi bawah permukaan yang benar serta mampu memperjelas informasi
stratigrafi secara lebih detil, diperlukan suatu model kecepatan yang mendekati
benar. Tomografi digunakan untuk membuat model kecepatan di dalam media
yang secara lateral tidak homogen. Metode tomografi yang umum digunakan saat
ini untuk membangun model kecepatan untuk PSDM adalah model based
tomography.

Tidak seperti metoda tomografi pada umumnya, pada penelitian ini model
kecepatan akan ditentukan dengan metode tomografi gelombang normal incidence
point (NIP), dimana traveltime digunakan berasal dari proses common reflection
surface (CRS) stack dalam bentuk kinematic wavefield attributes atau attribut
CRS. Inversi traveltime tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa penjalaran balik
gelombang NIP akan fokus ketika traveltime pada reflektor. Dengan
demikian, model kecepatan yang konsisten (distribusi kecepatan yang smooth dan
secara horizontal tidak homogen) akan diperoleh ketika kondisi tersebut
terpenuhi untuk setiap picked set dari kuantitas traveltime, wavefield attribute,
dan zero-offset (ZO) emergence location.

Model kecepatan yang diperoleh melalui inversi tomografi gelombang NIP


tersebut selanjutnya digunakan untuk proses PSDM. Depth image hasil PSDM
inversi tomografi gelombang NIP tersebut dibandingkan dengan depth image hasil
transformasi Dix dan model based tomography. Perbandingan tersebut
menunjukan bahwa, model kecepatan hasil inversi tomografi gelombang NIP
cocok untuk dijadikan sebagai model kecepatan inisial, terutama apabila struktur
geologinya relatif komplek.

Kata kunci:
CRS-stack, attribut CRS, inversi tomografi gelombang NIP, transformasi Dix,
model based tomography, pre-stack depth migration

vi

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
ABSTRACT

Name : Moh. Nurohman krisnayadi


Study Program : Reservoir Geophysics
Tittle : Pre-stack Depth Migration
Using Velocity Model From
Normal-Incidence Point ( NIP)
Wave Tomography Inversion

Prestack depth migration (PSDM) is the interesting step of seismic processing.


The recorded seismic reflection data is transformed into a depth image using
PSDM which is considered to be an accurate structural description of the
subsurface. A nearly correct velocity model is needed to produce a correct
structural image and to focus stratigraphic details. A commonly used tool for the
construction of such velocity models in laterally inhomogeneous media are model
based tomography.

In this thesis, velocity models are determined which is makes use of traveltime
information derived from common reflection surface (CRS) stack processes in the
form of kinematic wavefield attributes (CRS attributes). Traveltime inversion is
done by an assumption that the back-propagated normal incidence point (NIP)
wave focuses at traveltime at the reflector. Thus, a consistent velocity
model (a smooth velocity distribution and not horizontally homogeneous) is found
when these conditions is fulfilled for each picked set of the quantities traveltime,
wavefield attributes, and zero-offset (ZO) emergence location

A velocity model from NIP wave tomography inversion and then used for the
PSDM purpose. Depth image resulted by NIP wave tomography inversion will be
compared to the results of depth image obtained through the application of Dix
transformation and model-based tomography. The comparison showed that
velocity model resulted by NIP wave tomography inversion suited to be an initial
velocity model, especially for geological complex structures.

Keywords:
CRS-stack, CRS attributes, NIP wave tomography inversion, model based
tomography, pre-stack depth migration.

vii

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.i
HALAMAN PENYATAAN ORISNALITAS..ii
HALAMAN PENGESAHAN......iii
KATA PENGANTAR..iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.v
ABSTRAKvi
DAFTAR ISI...viii
BABI. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Lingkup Dan Permasalahan 3
1.3. Tujuan Penelitian................ 3
1.4. Metode Penelitian....... 4
1.5. Sitematika Tesis.. 6

BAB II. INVERSI TOMOGRAFI ATTRIBUT CRS. 7


2.1. Common Reflection Surface (CRS) Stack.. 7
2.2. Tomografi Gelombang NIP 11
2.3. Model Based Tomography. 19
2.4. Migrasi Kirchhoff pada Domain Kedalaman. 23

BAB III. APLIKASI INVERSI TOMOGRAFI ATTRIBUT CRS. 27


3.1. Common Reflection Surface (CRS) Stack . 27
3.2. Inversi Tomografi Gelombang NIP31
3.3. Pre-Satack Depth Migration Menggunakan
Model Kecepatan Inversi Tomografi Gelombang NIP.. 41
3.4. Pre-Satack Depth Migration Menggunakan
Model Kecepatan Transformasi Dix... 42
3.5. Pre-Satack Depth Migration Menggunakan
Model Kecepatan Model Based Tomography 44

BAB IV. ANALISA PEMBAHASAN.. 46


4.1. Analisa Aplikasi CRS-Stack.. 46
4.2. Analisa Aplikasi dan Hasil Inversi Tomografi
Gelombang NIP.. 47
4.3. Analisa Hasil Pre-Stack Depth Migration..... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. 53


5.1. Kesimpulan... 53
5.2. Saran. 54

DAFTAR ACUAN.............................................................................. 55

viii

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Prestack depth migration (PSDM) merupakan bagian dari seismic processing
yang cukup menarik perhatian saat ini. Hal tersebut dikarenakan justifikasi
dan pertimbangan depth image yang dihasilkannya PSDM mampu
mendeskripsikan struktur geologi bawah permukaan secara akurat, kuat, dan
dapat dipercaya. Proses migrasi ini memiliki tiga maksud utama yaitu: untuk
mengestimasi kecepatan migrasi, menghasilkan image struktur geologi, dan
menghadirkan suatu image yang amplitudo atau attributnya mampu
memberikan suatu petunjuk mengenai sifat-sifat batuan dan fluida. PSDM
memerlukan suatu model kecepatan yang hampir atau mendekati benar untuk
menghasilkan suatu image struktur yang benar dan mampu mempertajam detil
dari stratigrafi. Namun demikian, menggunakan migrasi untuk mengestimasi
kecepatan (yang juga diperlukan untuk migrasi) menghadirkan permasalahan
yang sifatnya nonlinear, yaitu sebagai kinematik dari penjalaran gelombang
yang bergantung secara nonlinear pada distribusi keceptan. Seismic
tomography merupkan solusi yang berkembang saat ini untuk mengatasi
permasalahan kecepatan nonlinear atau imaging tersebut, yaitu dengan
menggunakan rangkaian iterasi migrasi ke dalam kombinasi untuk optimasi
dalam membangun dan me-refine model kecepatan (John Etgen et al, 2009).

Common reflection surface (CRS) stack merupakan metoda yang


menggunakan multiparameter stacking surface untuk menentukan zero-offset
section yang optimal (Eric Duveneck, 2004). CRS-stack ini bekerja
berdasarkan pada stacking operator (CRS attribute) yang merupakan orde
kedua di dalam koordinat half-offset dan midpoint (Schleicher et al., 1993;
Tygel et al., 1997). Dari hasil studi sebelumnya, hasil pemrosesan dengan
metode CRS mampu menghasilkan seismic section dengan image yang lebih
baik untuk dipping events yang curam dan S/N yang lebih tinggi. Hal yang

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
2

paling menarik adalah konsumsi waktu yang rendah dibandingkan dengan


pemrosesan secara konvensional karena dalam pemrosesan CRS-stack tidak
diperlukan adanya picking reflector envents pada data seismik pre-stack
seperti halnya pada seismik konvensional.

Dengan memanfaatkan hal tersebut di atas, maka pada penelitian ini akan
dibahas mengenai estimasi model kecepatan dan struktur bawah permukaan
tanpa adanya proses interpretasi (picking reflector envents dalam domain
time-migrated) dengan mengaplikasikan inversi tomografi gelombang NIP.
Estimasi ini menggunakan traveltime dalam bentuk kinematic wavefield
attributes, yaitu koefisien-koefisien orde ke-dua dari persamaan untuk
pendekatan traveltime dalam koordinat midpoint dan half-offset yang
diekstrak dari prestack data seismik menggunakan CRS-stack.

Kinematic wavefield attributes menggambarkan arah penjalaran dan


kelengkungan dari dua muka gelombang hipotesa pada zero-offset (ZO)
emergence location , pertama adalah gelombang normal incidence point
(NIP) yang berasal dari suatu titik sumber di reflektor pada NIP yang
diasosiasikan dengan CMP, yang kedua adalah gelombang normal (N)
dihubungkan dengan exploding reflector experiment.

Inversi traveltime berdasarkan kinematic wavefield attributes,


mengasumsikan bahwa penjalaran balik gelombang NIP akan fokus ketika
traveltime nol pada reflektor. Dengan demikian, model kecepatan
yang konsisten (distribusi kecepatan yang smooth dan secara horizontal tidak
homogen) akan ditemukan apabila kondisi ini terpenuhi untuk setiap picked
set dari kuantitas traveltime, wavefield attribute, dan ZO emergence location.

Model kecepatan yang diperoleh melalui inversi tomografi gelombang NIP


tersebut, kemudian digunakan untuk proses imaging PSDM dengan harapan
bahwa imaging PSDM yang dihasilkan memiliki keunggulan tersendiri
seperti halnya keunggulan CRS stack disamping konsumsi waktu yang lebih

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
3

rendah. Untuk menganalisa karakter image PSDM yang dihasilkan, maka


hasil tersebut akan dibandingkan dengan hasil image PSDM yang diperoleh
melalui aplikasi transformasi Dix pada kecepatan RMS dan image PSDM
yang diperoleh melaui model based tomography.

1.2. Lingkup dan Permasalahan


Pada kesempatan ini, penelitian akan dilakukan terhadap data seismik shallow
marine 2D di Indonesia bagian timur. Dimana dari studi geologi menunjukan
adanya low angle thrust fault. Pendekatan yang akan dilakukan adalah
menggunakan asumsi bahwa medium di bawah permukaan dimana kecepatan
ini menjalar, adalah inhomogeneous isotropic. Jadi besarnya kecepatan yang
dihasilkan hanya dipengaruhi oleh ketidakseragaman batuan saja, tanpa
dipengaruhi oleh arah penjalarannya.

Walaupun memiliki keunggulan tersendiri terutama dari aspek konsumsi


waktu, akan tetapi terdapat permasalahan utama dalam penelitian ini, yaitu
apakah model kecepatan yang dihasilkan inversi tomografi gelombang NIP
yang dihasilkan mampu membuahkan hasil yang berujung kepada hasil image
PSDM yang mampu mendeskripsikan srtuktur geologi bawah permukaan
secara akurat, kuat, dan dapat dipercaya.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengestimasi, membandingkan dan
mengevaluasi model kecepatan yang dihasilkan melalui inversi tomografi
gelombang NIP ketika diaplikasikan untuk pre-stack depth migration dengan
mengacu kepada model kecepatan yang dihasilkan melalui transformasi Dix
dan model based tomography.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
4

1.4. Metode Penelitian


Pada penelitian ini data seismik yang digunakan untuk objek penelitian
merupakan data sesismik laut yang di akuisisi tahun 2010 dengan kondisi data
sudah melalui basic seismic data processing (PSTM) dan sudah diproses
PSDM. Data tersebut selanjutnya akan diproses seperti pada diagram alir
gambar 1.1.

Data seismik yang akan dijadikan input untuk proses CRS adalah data seismik
yang sudah terkoreksi di basic seismic processing dan sudah melewati proses
preconditioning menggunakan software Geovecteur yang diterbitkan CGG-
Veritas. Kemudian CRS-stack diperoleh dengan memproses data seismik
tersebut menggunakan software yang diterbitkan oleh konsorsium Wave
Inversion Technology (WIT) yang menggunakan algoritma (Mann, 2002).
Selanjutnya attribut CRS yang diperoleh di-smoothing untuk menghindari
kehadiran outlier dan kemudian di-pick secara otomatis menggunakan
algoritma (Kluver dan Mann, 2005). Terakhir, model kecepatan diperoleh
melaui inversi tomografi gelombang NIP dengan menggunakan algoritma
Duveneck, 2004.

Disisi yang lain model kecepatan diperoleh dengan menggunakan transformasi


Dix dan model based tomography. Proses ini dilakukan pada data seismik
yang sudah terkoreksi di basic seismic processing dan sudah melewati proses
preconditioning menggunakan software Geodepth yang diterbitkan Paradigm.

Terakhir masing-masing model kecepatan, baik yang diperoleh melaui inversi


tomografi gelombang NIP, transformasi Dix maupun model based tomography
digunakan untuk proses PSDM menggunakan software Geodepth. Kemudian
kedua hasil PSDM tersebut dibandingkan untuk melihat dan menanalisa
karakter dari image PSDM yang dihasilkan melaui ekstraksi kinematic
wavefield attributes dari CRS-stack

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
5

Interpretasi Horizon dari CMP Gather


Kecepatan RMS
PSTM Stack Setelah Preconditioning

Transformasi Coherency Inversion CRSStack


Dix
Analisa Attribut CRS
Kecepatan Interval
domain kedalaman
Kecepatan Interval Smoothing Attribut CRS
domain kedalaman
PSDM Kirchhoff Analisa
Elemen Tomografi

Interpretasi Horizon dari


Picking otomatis
PSDM Stack

NIP Wave
Model Based Tomography
Tomography

Kecepatan Interval
Kecepatan Interval domain kedalaman
domain kedalaman

PSDM Kirchhoff PSDM Kirchhoff PSDM Kirchhoff

PSDM Stack PSDM Stack PSDM Stack

Gambar 1.1. Digaram Alir Penelitian

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
6

1.5. Sistematika Tesis


Tesis ini ditulis dengan rician garis besar sebagai berikut:

Bab I, pada bagian ini dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, lingkup
dan batasan permasalahan, tujuan penelitian dan metode penelitian.

Bab II, pada bagian ini di paparkan mengenai teori dasar yang menjadi acuan
penelitian, yaitu ulasan teori dasar CRS-stack yang dititk beratkan kepada
inversi tomografi gelombang NIP, model based tomography dan migrasi
Kirchhoff.

Bab III, bagian ini berisi mengenai aplikasi inversi tomografi gelombang NIP,
transformasi Dix dan model based tomography sehingga diperoleh model
kecepatan untuk masing-masing metoda tesebut. Kemudian masing-masing
model kecepatan tersebut digunakan untuk proses PSDM.

Bab IV, pada bagian berisi mengenai analisa dan pembahasan mengenai
model kecepatan dan image PSDM yang diperoleh melalui inversi tomografi
gelombang NIP serta perbandinganya terhadap masing-masing model
kecepatan dan image PSDM yang dihasilkan oleh transformasi Dix dan model
based tomography.

Bab V, berisi kesimpulan mengenai hasil penelitian dan saran mengenai model
kecepatan dan image PSDM yang diperoleh melalui inversi tomografi
gelombang NIP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
BAB II
INVERSI TOMOGRAFI ATTRIBUT CRS

2.1. Common Reflection Surface (CRS) Stack


Metoda CRS-stack merupakan metoda yang menggunakan multiparameter
stacking surface untuk menentukan zero-offset section (ZO) yang optimal (Eric
Duveneck, 2004). Pada dasarnya CRS-stack dihasilkan dari pendekatan traveltime
reflektor dibawah permukaan melalui suatu element reflektor yang secara lokal
memiliki kelengkungan yang sama sebagai reflektor yang sebenarnya (M.
Baykulov et al, 2008). Perbedaan utama metode CRS-stack dengan metoda
konvensional terletak pada operator stack yang digunakan dan bagaimana
menentukan parameter-parameter dari operator CRS tersebut. Parameter-
parameter operator CRS-stack disebut kinematic wavefield attribute atau disingkat
menjadi attribut CRS.

Apabila kita menggunakan pendekatan orde kedua dari traveltime kuadrat di


sekitar titik zero offset seperti halnya pada stack CMP, maka operator
stacking bisa dituliskan dalam bentuk (Schleicher et al., 1993):

(2.1.)
dimana , dan masing-masing merupakan koordinat midpoint
dan half-offset yang dinyatakan dalam koordinat geopon , dan sumber, ,

, . Bentuk dari permukaan traveltime yang

didefinisikan oleh persamaan (2.1) dikontrol oleh tiga parameter , dan

. Nilai optimal dari ketiga parameter tersebut ditentukan secara otomatis dan
independen untuk setiap sampel zero-offset pada saat proses CRS-stack dilakukan.

Kuantitas dan dapat diinterpretasikan sebagai turunan pertama dan


turunan kedua dari komponen traveltime horizontal spasial, terkait dengan muka
gelombang yang muncul pada akibat elemen exploding reflector yang terletak
di titik NIP (normal-incident point) dari zero-offset ray-nya pada reflektor

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
8

(gambar 2.1.b). Gelombang ini secara lokal normal terhadap elemen reflektor di
bawah permukaan yang dikenal sebagi gelombang normal (N). Untuk kuantitas

bisa diinterpretasikan sebagai turunan kedua dari komponen traveltime


horizontal, terkait dengan muka gelombang yang muncul pada akibat sebuah
sumber berupa titik yang terletak pada titik NIP di reflektor (gambar 2.1.a).

Gelombang ini disebut sebagai gelombang NIP. Identifikasi menggunakan


turunan spasial kedua mengacu kepada teorema gelombang NIP (Chernyak dan
Gritsenko, 1979; Hubral, 1983) yang menyatakan bahwa orde kedua didalam
domain koordinat offset, maka traveltime refleksi CMP (sinar paraxial) dengan
traveltime sepanjang sinar melewati NIP dari zero-offset ray (non-Snell) adalah
identik (gambar 2.1).

Gambar 2.1. Ilustrasi teorema gelombang NIP yang menyatakan bahwa orde
kedua pada domain koordiant offset, maka traveltime sinar paraxial (S-NIP-R)
sebanding dengan traveltime sinar non-Snell (S-PIP-R). (Nils A. Mler, 2007).

Apabila kecepatan dekat permukaan ( ) pada diketahui dan secara lokal


konstan serta struktur bawah permukannya invariant pada arah yang tegak lurus

terhadap lintasan seismic, maka parameter , , dan di dalam


domain waktu pada persamaan (2.1) dapat dihubungkan terhadap kuantitas yang
secara langsung menggambarkan munculnya muka gelombang normal dan NIP di
dalam bidang vertikal melaui lintasan seismik (Blestein, 1986) sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
9

(2.2)

dimana, adalah emergence angle (relative terhadap normal di permukaan) sinar


normal di permukaan , KN kelengkungan muka gelombang dari gelombang
normal dan KNIP adalah kelengkungan muka gelombang dari gelombang NIP di
permukaan . Dengan mensubstitusikan persamaan (2.2) ke persamaan (2.1),
maka diperoleh:

(2.3)
persamaan di atas ini identik dengan persamaan yang publikasikan oleh Mann et
al. (1999) dan Jger et al. (2001) apabila dan , dimana
dan masing-masing adalah jari-jari dari kelengkungan muka gelombang
gelombang normal dan NIP. Kuantitas , dan disebut sebagai kinematic
wavield attribute yang digunakan untuk menentukan bentuk dari operator CRS.
Jika kita substitusikan dan , maka diperoleh

(2.4)

(a) (b)
Gambar 2.2. Ilustrasi attribut CRS. (a) Gelombang NIP yang berasal dari sebuah
sumber titik NIP dengan jari-jari kelengkungan RNIP. (b) Gelombang normal

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
10

dengan jari kelengkungan RN yang berasal dari exploding reflector experiment


yang berisi informasi mengenai struktur local reflector. (Nils A. Mler, 2007).
Proyeksi persamaan (2.4) terhadap domain offset-waktu akan
menghasilkan operator CRS dalam CMP gather. Dalam domain ini parameter
, sehingga persamaan waktu tempuh CRS pada persamaan 2.4. akan
tereduksi menjadi persamaan 2.2.

(2.5)

persamaan (2.5) menyerupai persamaan traveltime gelombang refleksi pada


metoda konvensional di bawah ini:

(2.6)

Dalam satu CMP gather ini, kurva refleksi hanya berupa fungsi dari offset ( )
saja, hal tersebut dikarenakan parameter yang lainnya untuk
setiap sampel zero-offset (ZO) adalah tidak berubah, sehingga bisa dianggap
sebagai konstanta. Maka kinematic wavield attribute dan dapat
dihunbungkan dengan kecepatan normal move out (vNMO) sebagai berikut:

(2.7)

Konsep bahwa menysutkan kembali suatu muka gelombang NIP ke sumber


hipotesa (Hubral dan Krey, 1980) untuk menentukan kecepatan interval, secara
prinsip dapat di kembangkan untuk kasus distribusi kecepatan yang smooth.
Dengan demikian suatu model kecepatan migrasi dikatakan benar, apabila refleksi
seismik focus pada traveltime nol ketika downward continuation dilakukan
(Jeanot dan Faye, 1986; Msckay dan Abma, 1992).

Ekstraksi attribut CRS (, RNIP dan RN) dari data pre-stack digunakan untuk
merekonstruksi operator CRS berdasarkan persamaan (2.4). Proses stacking
dilakukan sepanjang operator CRS tanpa melalui proses flattening terlebih dahulu
sehingga tidak akan menimbulkan dispersi (perubahan frekuensi) pada sinyal
akibat flattening atau NMO stretch (Perroud dan Tygel, 2004). Proses stacking ini
Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
11

dilakukan tanpa membutuhkan kecepatan stacking yang biasanya pada metode


konvensional diperoleh melalui proses analisa kecepatan, sehingga metode CRS-
stack ini disebut juga metode stack macro-velocity model independent. Ekstraksi
attribut CRS dapat dilakukan secara otomatis penuh berdasarkan proses optimisasi
koherensi sepanjang kurva operator. Teknik ekstraksi attribut CRS diantaranya
dibahas oleh Jager et al. (2001) kemudian Mann (2001) mengembangkannya
sehingga mengakomodasi kondisi conflicting dip sebagaimana sering terjadi pada
struktur sesar dan kubah garam yang menyebabkan difraksi dari struktur ini
memotong sinyal refleksi dari struktur lapisan yang cenderung datar.

2.2. Tomografi Gelombang NIP


Pada bagian ini akan dibahas mengenai estimasi model kecepatan isotrofi 2D
dengan metoda tomografi berdasarkan atribut CRS dan . Suatu deskripsi
model kecepatan yang smooth untuk pre-stack depth migration (PSDM).
Pendekatan traveltime dengan metode CRS ini mampu mengkorelasikan refleksi
secara otomatis dengan jumlah trace dalam skala yang besar serta midpoint dan
offset yang bervariasi. Dengan demikian hal tersebut memungkinkan untuk
mengidentifikasi dan menentukan traveltime refleksi tersebut meskipun rasio S/N
cukup rendah. Selain itu juga, pada kinematic wavefield attribute yang diperoleh
sudah mencakup informasi mengenai traveltime yang sifatnya offset-dependence,
sehingga picking untuk input inversi tomografi berkurang secara signifikan karena
dapat dilakukan secara langsung pada CRS-stack (E. Duveneck, 2004). Inversi
traveltime berdasarkan pada kinematic wavefield attributes akan menghasilkan
model kecepatan yang benar, jika penjalaran balik gelombang NIP akan fokus
ketika traveltime-nya nol pada reflektor.

Formulasi Tomografi dengan Kinematic Wavefield Attribut


Pada bagian ini, kinematic wavefield attribut yang diasosiasikan dengan
munculnya hipotesa gelombang NIP akan digunakan untuk memformulasikan
suatu metoda untuk menentukan model kecepatan isotrofi yang smooth. Hal
tersebut diawali dengan penjelasan elemen-elemen inversi tomografi seperti
elemen data, elemen parameter model, fungsi model yang menghubungkan kedua

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
12

elemen inversi tersebut, skema inversi untuk menghasilkan elemen model yang
optimal dan regularisasi yang dipergunakan untuk menjadikan skema inversi lebih
stabil.

Elemen data
Data-data yang diperlukan untuk melakukan inversi tomografi ini semuanya
didapatkan dari ZO CRS-stack. Secara umum hipotesa Gelombang NIP yang
diasosiasikan dengan sampel zero-offset pada event-event refleksi dikarakterisasi
oleh normal ray traveltime sebagai berikut:

- normal ray traveltime, yaitu (2.8)


- komponen horizontal slowness

(2.9)
- jari-jari kelengkungan gelombang NIP yang dinyatakan dalam turunan
waktu tempuh terhadap spasial orde ke-dua

(2.10)
- posisinya di permukaan

Keempat karakteristik normal ray seperti digambarkan oleh gambar 2.3. dijadikan
sebagai data space dan direpresentasikan sebagai,

dengan (2.11)

Gambar 2.3. Definisi data dan komponen model untuk inverse tomografi, dimana
sinar normal merambat dari titik NIP (x, z) pada reflektor ke permukaan .

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
13

Cara langsung untuk mengimplementasikan kriteria memfokuskan gelombang


NIP untuk penentuan model kecepatan smooth yang konsisten adalah dengan
menjalarkan muka gelombang NIP yang diasosiasikan dengan data point
(perasamaan 2.11) menuju subsurface dan diperiksa apakah mereka fokus ketika
. Secara tidak langsung, apabila fokus ketika , maka jari-jari
kelengkungan muka gelombang NIP yang diberikan oleh matrik
menjadi nol. Selanjutnya adalah mencari suatu model yang mempengaruhi
focusing tersebut untuk semua data. Arah penjalaran awal gelombang NIP
berkorespondensi dengan data point (perasamaan 2.11) ditentukan oleh vector
horizontal slowness-nya pada lokasi dan nilai dari local near surface
velocity pada model yang diberikan. Lokasi di subsurface dimana kriteria focusing
dievaluasi, didefinisikan oleh normal ray traveltime . Suatu model kecepatan
kemudian akan konsisten dengan data, apabila semua komponen data (perasamaan
2.11) dari semua gelombang NIP dimodelkan secara benar, yaitu dalam arti bahwa
misfit antara komponen-komponen data dengan kuantitas forward-modeled yang
sesuai adalah diminimalkan dan jatuh dibawah batas ambang error tertentu.

Parameter Model
Distribusi kecepatan dibawah bawah permukaan adalah model yang akan dihitung
dengan inversi ini (gambar 2.3). Model kecepatan dinyatakan oleh B-spline
sebagai:

(2.12)
diamana nx dan nz masing-masing adalah jumlah grid atau knot dalam arah sumbu
horizontal x dan vertikal z, vjk adalah parameter model kecepatan yang akan
ditentukan. Untuk menghitung model kecepatan ini, sebelumnya kita harus
menentukan terlebih dahulu posisi NIP awal yang akan digunakan sebagai posisi
awal untuk melakukan ray tracing ke arah permukaan. Parameter yang digunakan
untuk menentukan posisi NIP awal ini adalah dan . Parameter model
secara lengkap dinyatakn dengan:

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
14

(2.13)
dengan ,

(2.14)

(2.15)

Hubungan antara model kecepatan m(v), model NIP m(NIP) dan elemen data d
diilustrasikan oleh gambar 2.3.

Fungsi Model
Fungsi model diperlukan untuk menghubungkan antara parameter model
(persamaan 2.13) dengan elemen data (persamaan 2.11). Fungsi model ini berguna
untuk memprediksi atau mengkalkulasi elemen data f(m) dari parameter model m
yang kita miliki melalui suatu proses yang disebut forward modeling. Proses
forward modeling ini dilakukan dengan melakukan ray tracing dari lokasi NIP ke
permukaan seperti diperlihatkan oleh gambar 2.3. Kinematic ray tracing

dilakukan untuk mendapatkan parameter dan dynamic ray tracing


untuk mendapatkan MNIP. MNIP tersebut akan diperoleh setelah sebelumnya
mendapatkan matriks propagator P dan Q. Kedua matriks ini pun dapat digunakan
untuk menghitung faktor geometrical spreading, sehingga dapat memprediksi
faktor dynamic ray-amplitude.

Skema inversi
Skema inversi yang dipergunakan adalah dengan melakukan minimalisasi selisih
atau misfit atau norm L2 berbobot antara elemen data d dengan elemen data hasil
forward modeling f(m). Ukuran misfit ini dinyatakan oleh fungsi objektif atau cost
function (Tarantola, 1987),

(2.16)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
15

dimana , elemen-elemen matriks (kovariansi) adalah bobot


untuk tiap elemen data d yang memiliki orde nilai atau dimensi yang berbeda-
beda ketika mengitung nilai S, oleh karena itu matriks ini adalah bobot atau
faktor skala yang dipergunakan untuk membawa keempat elemen data d kedalam
ukuran yang dapat diperbandingkan sehingga proses inversi akan stabil
(Duveneck, 2004). Bobot untuk masing-masing elemen data tersebut dinotasikan
oleh dan .

Untuk stabilisasi solusi inversi, maka diperlukan suatu aplikasi model yang
smooth (minimum second spatial derivatives) sebagai additional constraint (bukan
pada model update ( ), melainkan pada kecepatan , sehingga persamaan matrik
dibawa kepada bentuk :

(2.17)
Persamaan di atas tersebut menghubungkan antara vektor perturbasi model dan

misfit. Untuk kasus 2D, disusun sebagai berikut:

(2.18)

Bentuk matriks pada persamaan 2.18 disebut matriks turunan Frchet yang

merupakan turunan parsial masing-masing elemen data terhadap


masing-masing parameter model.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
16

Dengan demikian untuk aplikasi additional constraint pada model kecepatan


tersebut dapat direalisasikan dengan menambahkan parameter model
kecepatan yang dinotasikan dengan pada cost function sebagai berikut:

(2.19)

Algoritma inversi tomografi


Inversi tomografi gelombang NIP ini diilustrasikan oleh gambar 2.4. dan secara
lebih detil dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Data yang akan diinversi adalah attribut CRS dari normal ray yang

mencapai permukaan yang dinyatakan oleh .


Membuat model kecepatan inisial yang didefiniskan tiap grid dengan
jumlah grid masing-masing nx dan nz untuk sumbu horizontal x dan
vertikal z. Selain itu juga, bobot yang merupakan elemen matriks ,
kendala (constraint) dan regulerisasi perlu ditentukan terlebih dahulu.
2. Tentukan lokasi inisial NIP di bawah permukaan dengan melakukan back
propagation normal ray dari permukaan ke arah reflektor ( ).
Vektor slowness di titik inisial NIP menghasilkan local reflector normal,

sehingga inisial model diperoleh.


3. Lakukan forward modeling dengan melakukan dynamic ray tracing dari
bawah permukaan menuju permukaan untuk mendapatkan dari NIP
tersebut. Turunan Frchet dihitung dari dengan mengaplikasikan
ray perturbation theory di sepanjnag masing-masing normal ray.
4. Cost function dievaluasi dengan menggunakan persamaan (2.19) untuk
menghitung misfit antara d dan serta menghitung regulerisasi dari
vector model kecepatan .

5. Sistem linear dibuat dan diselesaikan dengan least square


untuk mendapatkan vektor update model .
6. Kemudian update model dikalikan dengan faktor dan ditambahkan
pada model saat ini, sehingga . Kemudian forward

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
17

modeling dilakukan pada parameter model yang diperbaharui tersebut


untuk mendapatkan yang baru.
7. Cost function dihitung kembali untuk mendapatkan misfit antara d dan
yang baru.
8. Jika cost function meningkat, maka model baru ditolak. Sekarang kembali
ke langkah no. 6 dimana model dicari dengan menggunakan
, tetapi dengan nilai yang diturunkan terhadap nilai
pada iterasi sebelumnya. Kemudian lanjut ke langkah no.7 sampai cost
function menurun. Apabila cost function dan telah mencapai limit
tertentu, maka iteras dihentikan.
9. Tetapi jika cost function menurun, maka update model diterima, dan
pembobotan regulerisasi diturunkan dengan skema,

(2.20)
adalah cost function setelah iterasi.
Iterasi selanjutnya dimulai dari langkah 3 dengan model yang baru. Iterasi
ini berhenti apabila maksimum iterasi sudah tercapai atau cost function
sudah turun dibawah nilai sfesifik tertentu. Semua langkah-langkah
inverse dilakukan secara otomatis kecuali untuk langkah 1.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
19

Coherency section, Picking otomatis


RNIP section,
mengacu pada koherensi
section, Stack section

Inisial m(v), Elemen matrik


pembobotan ( )
,Elemen matrik
b b t l i i Menentukan inisial m(NIP) dengan back
propagation normal ray dari z=0
menuju

Melakukan forward modeling (menggunkan


dynamic ray tracing) untuk medapatkan

Model baru

Menghitung turunan Frchet (menggunkan


ray perturbation theory)

Menghitung cost fuction dan bobot


regulerisasi dari m(v)

Menghitung update model dan


menentukan

Evaluasi
cost function,
dan

Interval velocity model


terbaik

Gambar 2.4. Algoritma inversi tomografi gelombang NIP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
20

2.3. Model Based Tomography


Salah satu metode metoda tomografi yang umum digunakan dalam proses PSDM
adalah model based tomography. Model based tomography meng-update
kecepatan formasi dan interface depth suatu model bawah permukaan dengan
interpolasi bilinear (gambar 2.5). Interpolasi dilakukan dari nilai sentral (nodal
value) suatu uniform x,y update mesh (gambar 2.6). Sebenarnya pada perhitungan
tomografi berfungsi untuk meng-update slowness dan vertical time, bukan
interface depth dan kecepatan formasi itu sendiri, dikarenakan penggunaan kedua
variable tersebut mampu meningkatkan konvergensi numerik dari skema
tomografi ini.

Gambar 2.5. Ilustrasi rekontruksi raypath dengan model based tomography untuk
meng-update kecepatan formasi dan interface depth (Dan Kosloff, 1999)

Gambar 2.6 . Uniform x,y update mesh (Dan Kosloff, 1999)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
21

Slowness didefinisikan sebagai , dimana c adalah kecepatan. Vertical time

diberikan dengan persamaan , dimana L adalah jumlah formasi dan


adalah ketebalan dari lapisan i. Setelah tomografi selesai, hasilnya
dikonversi dari vertical time dan slowness ke dalam kecepatan dan interface
depth.

Untuk perhitungan update-nya tomografi ini menggunakan informasi moveout


dari gather yang termigrasi sebagai input. Pada suatu pre-stack migrated gather
(gambar 2.7), depth error pada CRP-offset dapat dikonversi ke dalam time
error sepanjang CRP ray pair untuk offset yang sama (gambar 2.8) dengan
persamaan sebagai berikut (Kosloff et al., 1996):

(2.21)
Suatu CRP ray pair berawal dari atas suatu reflektor ketika mengabaikan Hukum
Snellius, dan mencapai permukaan pada suatu offset tertentu (gambar 2.9),
dan adalah sudut dari sisi kiri dan kanan rays terhadap vertikal. Konversi dari
depth error ke dalam time error bisa menggunakan conventional time
tomography.

Untuk membagun suatu persamaan tomography diperlukan hubungan linear


antara time error dengan model updates dan . Depth error dapat
dikalkulasi melalui suatu pendekatan, yaitu melalui fitting kurva hiperbola melalui
pada migrated gathers pada saat residual moveout analysis. Akhirnya
persamaan tomografi dapat diselesaikan oleh weighted least squares dalam bentuk
fungsi yang minimalisasi sebagai berikut:

(2.22)

dimana adalah vektor kolom dari suatu model updates pada nodes

dari update mesh untuk suatu formasi, adalah vektor dari time yang

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
22

dikonversi ke depth errors pada seluruh CRP dan offset, adalah vector
kalkulasi perubahan time error yang yang dihasilkan dari model perturbation
. adalah variansi data dan adalah variansi model. N dan M adalah
data space dan model space.

Gambar 2.7. Offset migrated gather dan CRP yang berkorespondensi. (Dan
Kosloff, 1999)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
23

Gambar 2.8. Uncorrelated (kiri) dan correlated (kanan) CRP. (Dan Kosloff, 1999)

Gambar 2.9. Ilustrasi penjalaran ray pada CRP. (Dan Kosloff, 1999)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
24

2.4. Migrasi Kirchhoff pada Domain Kedalaman


Migrasi data seismik adalah suatu proses pengolahan data seismik yang bertujuan
untuk memetakan event-event seismik pada posisi yang sebenarnya (Sheriff dan
Geldart, 2002). Dalam migrasi Kirchhoff setiap input trace memiliki kontribusi
terhadap migrated image pada daerah di antara apperture centered dari shot-
receiver midpoint. Sampel-sampel input diakumulasikan ke dalam sampel output
oleh suatu weighted sum yang mengacu kepada traveltime dari lokasi shot menuju
image point (t1) dan dari image point menuju receiver (t2) seperti diilustrasikan
oleh gambar 2.10. dibawah ini.

Gambar 2.10. Skema penjumlahan data sampel pada migrasi Kirchhoff (Paradigm
Online Help)

Selama sumasi, sampel-sampel input dikalikan dengan suatu pembobotan, dimana


pembobotan tersebut merupakan hasil dari faktor interpolasi dan faktor
pembobotan amplitudo. Sumasi dari kontribusi sampel-sampel seluruh input trace
tersebut akan membentuk final stacked migrated image. Untuk pre-satck migrated
gather, ini terdiri dari trace-trace pada lokasi output dimana masing-masing
trace-nya merupakan suatu partial image yang dibentuk dengan mem-binning
input traces yang berkontribusi yang berada di antara rentang offset tertentu.

Formulasi dari migrasi Kirchhoff yang digambarkan sebagai suatu solusi dari
pendekatan integral pada wave equation, secara explisit menunjukan mengenai

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
25

bagaimana kontribusi setiap input trace terhadap suatu penyelesaian image yang
lengkap adalah sebagai berikut:

(2.23)
dimana adalah lokasi image, adalah lokasi shot, adalah lokasi receiver,
dan adalah traveltime dari lokasi shot dan receiver, adalah fungsi
pembobotan, adalah wavefield yang direkam, dan adalah fungsi delta
Dirac.

Dari persamaan migrasi Kirchhoff di atas, menunjukan bahwa migrasi tersebut


memiliki flexibilitas yang tinggi. Pertama, image yang perlu di kalkulasi hanya
pada lokasi yang dipilih oleh user, yaitu bisa seluruh volume seismik atau
hanya bagian tertentu saja (subset) dari volume seismik tersebut. Kedua, input
traces dari beberapa subvolume pada bentangan receiver dapat dipilih untuk
dikontribusikan terhadap image. Pemilihan dari data input dan volume output
untuk masing-masing input trace melahirkan pendefinisian suatu apperture
migrasi yang nilainya dapat dirubah (besar atau kecil). Ketiga, sampel data dari
beberapa subset pada recording time dapat dipilih untuk dikontribusikan terhadap
image. Apabila traveltime dikalkulasi menggunakan ray tracing, maka ray tracing
tersebut dapat dibatasi dengan rentang pada incidence angle pada recording
surface atau propagation angles pada subsurface. Apabila propagation angles
cukup lebar, maka migrasi Kirchhoff dapat meng-image untuk kemiringan data
yang cukup curam, sebaliknya dengan membatasi rentang dari sudut, yaitu hanya
pada kisaran moderate-dip saja, maka migrasi Kirchhoff mampu menghasilkan
image yang bersih dan ekonomis. Keempat, jika ray angles di telusuri hingga ke
subsurface, mereka dapat digunakan untuk menghitung kuantitas seperti
subsurface opening angles atau geological dip di image oleh trace khusus seperti
pada gambar 2.11. (John Etgen at al., 2009).

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
26

Gambar 2.11. Raypath dari lokasi source dan receiver, digunakan untuk
menghitung traveltime untuk migrasi Kirchhoff. Dalam beberapa kasus tertent,
incidence dan reflection angles dapat digunakan untuk menghitung subsurface
opening angles atau geological dip (John Etgen at al., 2009).

Migrasi Domain Waktu (Time Migration)


Time migration menggunakan asumsi gerak perambatan gelombang lurus di
bawah permukaan (gambar .2.12) . Migrasi ini berasumsi bahwa model kecepatan
merupakan gradien kecepatan vertikal serta kurva difraksi yang berbentuk
hiperbola. Kemudian dengan menggunakan kecepatan RMS nilai-nilai data di
sepanjang kurva hiperbola disumasi dan hasilnya di tempatkan di apex-nya
(gambar 2.13).

Migrasi Domain Kedalaman (Depth Migration)


Depth migration menggunakan asumsi ray bending didalam penjalaran
gelombangnya (gambar .2.12). Input kecepatan yang digunakan untuk migrasi ini
adalah kecepatan interval. Keceptan interval ini digunakan untuk tracing ray dari
titik difraksi ke permukaan dengan memastikan kurva difraksi pada setiap
dihitung secara akurat (pendekatan non-hiperbola). Selanjutnya migrasi akan
mensumasi nilai-nilai data di sepanjang kurva difraksi dan menempatkan hasilnya
pada titik difraksi.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
27

Time Migration Depth Migration

Gambar 2.12. Ilustrasi time dan depth migration. Pada migrasi domain kedalam,
migrasi dilakukan menggunakan kecepatan interval yang memperhitungkan
adanya pembelokan sinar, sedangkan pada migrasi domain waktu, migrasi
dilakukan menggunakan kecepatan RMS yang tidak memperhitungkan adanya
pembelokan sinar. (Husni, 2009)

Distance Distance

Time
Time
Difraction Migrated

Gambar 2.13. Skema penjumlahan data sampel pada hiperbola, diman nilai-nilai
data di sepanjang kurva difraksi dan menempatkan hasilnya pada titik difraksi.
(Yilmaz, 2001)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
BAB III
APLIKASI INVERSI TOMOGRAFI ATTRIBUT CRS

Pada bagian ini akan dibahas mengenai aplikasi inversi tomografi gelombang NIP,
transformasi Dix, dan model based tomography pada data seismik laut 2D untuk
mendapatkan model kecepatannya masing-masing. Selanjutnya masing-masing
model kecepatan tersebut digunakan untuk proses PSDM, dimana data seismik
tersebut memiliki parameter akuisisi sebagai berikut:
- Record length 8000 ms - Interval geophone 12.5 m
- Sampling interval 1 ms - Interval CMP 6.25 m
- Jumlah fold coverage 120 - Near offset 137 m
- Jumlah Channel 280 - Far offset 3637 m
- Interval shotpoint 12.5 m

3.1. Common Reflection Surface (CRS) Stack


Selanjutnya pada input data ini dilakukan proses CRS-stack dengan prosedurnya
mengacu kepada diagram alir pada gambar 3.1 dibawah, sehingga diperoleh
penampang RN, RNIP, , coherency dan stack seismik. Dari hasil test parameter,
digunakan apperture 500 ms dan vo = 1500 m/s (kecepatan air) proses CRS-stack.
Parameter-parameter tambahan lainnya pada proses CRS-stack tertera pada script
dibawah ini:

t0=0.0 dt=0.004 ns=1500 \survel=1500 avgvel=2500 wavefr=30


vnmoref=vel_trace.su vnmovar=20 \convop=2 qdtfac=1 qiter=3
minangle=-45 maxangle=45 dangle=1 \angleiter=3 Rniter=3 Rnipiter=3
minofftime=0.1 minoffsetap=300 \maxofftime=1.5 maxoffsetap=2900
shotint=50 \minxap=100 maxxap=500 pwaperfac=0.3
coherence=1 cohband=3 \ndips=1 globcohthresh=0.4 relcohthresh=0.1
autoCMPstack=1 ZOsearch=1 \Inistack=1 Optimize=0 Supergathers=1
offsign=1 \recint=25 \offreg=1 \offap=100 \mincohthresh=0.1
maxcohthresh=0.05 optiter=100 \tapratio=0.3

27

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
28

CMP Gather
Setelah Preconditioning

CMP stacking
(Vstack)

Linear dan Hyperbolic ZO


search
(Penentuan dan RN)

CS/CR search
(Penentuan RNIP)

Optimasi Attribut CRS


(, RN, dan RNIP)

Penampang , RN, RNIP,


Coherency dan StackCRS

Gambar 3.1. Diagram alir proses CRS-stack. Output attribut CRS tersebut
nantinya merupakan input proses inversi tomografi gelombang NIP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
29

CDP NO.

Time
(ms)

Gambar 3.2. CRS-stack section

CDP NO.

Time
(ms)

Gambar 3.3. Coherency section. Coherency maksimum 1 ditunjukan dengan


warna hitam, dan coherency minimum 0 ditunjukan dengan warna putih.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
30

CDP NO.

Time
(ms)

Gambar 3.4. RNIP section. RNIP minimum 0 m ditunjukan oleh warna hijau, dan
untuk RNIP maksimum 55000 m ditunjukan oleh warna merah muda.

CDP NO.

Time
(ms)

Gambar 3.5. section. Sudut yang dihasilkan berkisar dari -45o hingga 45o

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
31

3.2. Inversi Tomografi Gelombang NIP


Setelah diperoleh penampang RNIP, , coherency dan stack seismik melaui CRS-
stack, selanjutnya adalah melakukan langkah-langkah inversi tomografi
gelombang NIP seperti pada gambar 3.6. Smoothing pada penampang RNIP dan
dilakukan untuk menghilangkan nilai RNIP dan yang bersifat spike pada kedua
penampang tersebut. Selanjutnya adalah picking otomatis (gambar 3.7) mengacu
pada koherensi hasil CRS-stack tersebut untuk mendapatkan elemen-elemen data
input tomografi otomatis (gambar 3.8-3.10). Sebelum
dilanjutkan ke tahap berikutnya, masing-masing elemen data di QC dan di edit
apabila terdapat hasil pick yang bukan merupakan data (missal: multiple, linear
noise). Berikut adalah script yang berisi parameter-parameter tambahan pada
software WIT untuk inversi NIP wave tomography.

v0 = 1500 initial near-surface velocity, [v0]=m/s


grad0 = 0 initial vertical velocity gradient,[grad0]=1/s
v(z) = v0 + grad0 * (z - zknots(0))
(only correct if knots are equally spaced in z)
ds = 20m integration step size, [ds]=m
epsilonzz = 0.001 weight for regularization
(minimization of 2nd z-derivative of v)
Epsilonxx = epsilonzz weight for regularization
(minimization of 2nd x-derivative of v)
Epsilon = 0.0001*(epsilonxx+epsilonzz) weight for
regularization (minimization of v)
niteration = 60 maximum number of iterations
maxcond = 5000.0 maximum condition number in LSQR
sigT = 1 reciprocal weight on traveltimes
sigM = 1 reciprocal weight on second derivative
of traveltime
sigp = 2 reciprocal weight on slowness
sigxi = 1 reciprocal weight on surface position
sigv = 1 reciprocal weight on a priori velocity
information
sigvq = 0 reciprocal weight on velocity gradient
constraint, (0=not used at all)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
32

CMP Gather
Setelah Preconditioning

CRSStack

Analisa Attribut CRS

Smoothing Attribut CRS

Analisa
Elemen Tomografi

Picking otomatis

NIP Wave
Tomography

Kecepatan Interval
domain kedalaman

PSDM
Kirchhoff

PSDM Stack

Gambar 3.6. Diagram alir PSDM menggunakan kecepatan interval hasil inversi
tomografi gelombang NIP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
33

CDP NO.

Time
(ms)

Gambar 3.7. Overlay hasil picking otomatis (titik-titik berwarna merah) dengan
CRS-stack-nya.

Gambar 3.8. Elemen data o hasil picking otomatis (titik-titik berwarna biru) yang
diplot terhadap CMP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
34

Gambar 3.9. Elemen data M() hasil picking otomatis (titik-titik berwarna biru)
yang diplot terhadap CMP.

Gambar 3.10. Elemen data p() hasil picking otomatis (titik-titik berwarna biru)
yang diplot terhadap CMP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
35

Setelah data sudah dipastikan valid, selanjutnya adalah


menentukan grid, yaitu xknot dan zknot. Dari analisa derah data dan hasil test
parameter dipilih grid 29 X 24 dengan spasi x-knot = 500 m dan spasi z-knot 200
m. Parameter kecepatan priori diaplikasikan pada kedalaman dibawah 4800
hingga 6000 m sebesar 5500 m/s. Selanjutnya dilakukan inversi tomografi
gelombang NIP menggunakan software WIT dengan parameter di atas.

Output dari inversi tomografi gelombang NIP terbaik, yaitu model kecepatan
interval (gambar 3.17.-3.20.), elemen model hasil forward modeling iterasi
(gambar 3.11.-3.13.), dan misfit iterasi (gambar 3.14.-3.16.) untuk masing-masing
elemen diperoleh setelah 27 iterasi. Selanjutnya model kecepatan tersebut di
reformat ke dalam format segy untuk input PSDM.

Gambar 3.11. Elemen model o hasil forward modeling (titik-titik berwarna biru)
yang diplot terhadap CMP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
36

()
Gambar 3.12. Elemen model M hasil forward modeling (titik-titik berwarna
biru) yang diplot terhadap CMP.

()
Gambar 3.13. Elemen model p hasil forward modeling (titik-titik berwarna
biru) yang diplot terhadap CMP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
37

Gambar 3.14. Misfit untuk elemen o (titik-titik berwarna biru) yang diplot
terhadap CMP.

()
Gambar 3.15. Misfit untuk elemen M (titik-titik berwarna biru) yang diplot
terhadap CMP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
38

()
Gambar 3.16. Misfit untuk elemen p (titik-titik berwarna biru) yang diplot
terhadap CMP.

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.17. Model kecepatan inisial. Kecepatan minimum diperoleh sebesar


1500 m/s (warna ungu), dan kecepatan maksimumnya sebesar 2500 m/s (warna
hijau)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
39

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.18. Model kecepatan hasil iterasi 1. Kecepatan minimum diperoleh


sebesar 1500 m/s (warna ungu), dan kecepatan maksimumnya sebesar 3800 m/s
(warna kuning)

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.19. Model kecepatan hasil iterasi 15. Kecepatan minimum diperoleh
sebesar 1500 m/s (warna ungu), dan kecepatan maksimumnya sebesar 5400 m/s
(warna merah)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
40

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.20. Model kecepatan hasil iterasi 27. Kecepatan minimum diperoleh
sebesar 1500 m/s (warna ungu), dan kecepatan maksimumnya sebesar 5400 m/s
(warna merah)

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
41

3.3. Pre-Satack Depth Migration Menggunakan Model Kecepatan Inversi


Tomografi Gelombang NIP.
Model kecepatan output dari inversi tomografi gelombang NIP langsung
digunakan untuk pre-satack depth migration. Algoritma migrasi yang
digunakan adalah Kirckhhoff domain offset menggunakan software
Geodepth.

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.21. Model kecepatan hasil inversi tomografi gelombang NIP. Model
kecepatan untuk zona data berada pada kisaran 1800 m/s hingga 5200 m/s

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.22. Stack hasil migrasi dengan kecepatan inversi tomografi


gelombang NIP.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
42

3.4. Pre-Satack Depth Migration Menggunakan Model Kecepatan


Transformasi Dix.
Model kecepatan ini diperoleh dengan melakukan transformasi Dix pada
kecepatan RMS. Sebelum dilakukan transformasi terlebih dahulu dilakukan
picking horizon, kemudian kecepatan interval dari masing formsi diperoleh
melalui transformasi Dix pada kecepatan RMS yang selanjutnya kecepatan
tersebut digunakan untuk migrasi dengan algoritma kirckhhoff.

Interpretasi Horizon Kecepatan RMS CMP Gather


Setelah
dari PSTM Stack Preconditioning

Transformasi
Dix

Kecepatan Interval
domain kedalaman

PSDM Kirchhoff

PSDM Stack

Gambar 3.23. Diagram alir PSDM menggunakan kecepatan interval hasil


transformasi Dix.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
43

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.24. Model kecepatan hasil transformasi Dix. Model kecepatan untuk
zona data berada pada kisaran 1800 m/s hingga 5600 m/s

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.25. Stack hasil migrasi dengan kecepatan transformasi Dix.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
44

3.5. Pre-Satack Depth Migration Menggunakan Model Kecepatan Model


Based Tomography.
Model kecepatan ini diperoleh dengan menggunakan metoda yang umum
digunakan saat ini, yaitu dengan melakukan analisa kecepatan inisial dengan
coherency inversion, horizon refinement, dan velocity refinement dengan
model based tomography serta kombinasi iterasi migrasi menggunakan
algoritma kirckhhoff.

Kecepatan RMS Interpretasi Horizon CMP Gather


dari PSTM Stack Setelah
Preconditioning

Coherency Inversion

Kecepatan Interval
domain kedalaman

PSDM Kirchhoff

Interpretasi Horizon dari


PSDM Stack

Model Based
Tomography

Kecepatan Interval
domain kedalaman

PSDM Kirchhoff

Stack PSDM

Gambar 3.26. Diagram alir PSDM menggunakan kecepatan interval hasil model
based tomography.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
45

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.27. Model kecepatan hasil model based tomography. Model kecepatan
untuk zona data berada pada kisaran 1800 m/s hingga 5100 m/s

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 3.28. Stack hasil migrasi dengan kecepatan model based tomography.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yang penulis lakukan,
yaitu mengenai aplikasi tiga model kecepatan untuk pre-stack depth migration.
Pembahasan akan dititkberatkan kepada aplikasi serta hasil dari inverse tomografi
gelombang NIP yang akan dibandingkan terhadap hasil dari transformasi dix
(metoda yang cukup simpel untuk membangun model awal atau inisial PSDM)
serta terhadap hasi dari model based tomography (metoda yang sudah umum
digunakan dengan validitas yang sudah teruji)

4.1. Analisa Aplikasi CRS-Stack


Pada proses ini, dari aspek kontinyuitas reflector, CRS-stack yang dihasilkan
memiliki improvement dibandingkan dengan stack konvensiona, terutama pada
zona data (sekitar 3000 ms), akan tetapi artifak pun ikut muncul cukup kuat
terutama di zona yang tidak terdapat data, yaitu dibawah 3000 ms. Hal tersebut
sebetulnya masih bisa dioptimalkan dengan memperkecil lebar aperture, akan
tetapi hal tersebut juga berdampak kepada berkurangnya kuantitas dari
improvement yang dihasilkan. Mengacu kepada tujuan penelitian ini yaitu untuk
mendapatkan model kecepatan dari CRS, maka untuk kasus ini penulis tetap
memilih aperture yang lebar (500 ms) dengan harapan bahwa, apabila
kontinyuitas dari CRS yang dihasilkan cukup bagus (lebih baik disbanding stack
konvensional), maka hal tersebut akan menghasilkan penampang coherency
dengan kontunyitas yang bagus dan representatif mencerminkan model geologi
bawah permukaan untuk nantinya di-pick secara otomatis.

Untuk attribute yang lainnya, yaitu dan RNIP bisa dipastikan sudah cukup
optimal dan repersentatif, karena untuk proses CRS ini, optimasi ketiga attribute
tersebut di-guide dengan kecepatan stack hasil dari basic processing.

46

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
47

4.2. Analisa Aplikasi dan Hasil Inversi Tomografi Gelombang NIP


Pada proses ini model kecepatan terbaik diperoleh setelah iterasi ke-27. Hasil

yang diperoleh melalui forward modeling cukup


mendekati kepada nilai . Hal tersbut ditunjukan oleh trend
dari data misfit yang mengarah kepada nilai nol (gambar 3.14.- 3.16).

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 4.1. Overlay antara model kecepatan hasil inversi tomografi gelombang
NIP dengan stack migrasinya.

Model keceptan ini didefinisikan oleh 29 X 24 koefisien B-spline. Spasi


horizontal x-knot yang digunakan adalah 500 m, dimana spasi tersebut disamakan
dengan spasi pada analisa keceptan pada model based tomography). Spasi vertical
z-knot yang digunakan adalah 200 m (cukup rapat untuk ketebalan target lebih
dari 500 m). Rentang keceptan interval yang dihasilkan berkisar antara 1500
5500 m/s. Pada CDP 1266 -1381 kedalaman 300-700 m (elips berwarna merah
pada gambar 4.1.) terdapat anomali kecepatan yang cukup tinggi, yaitu sekitar
2800 m/s dibandingkan dengan sekitarnya yang berada pada rentang 1600-2200
m/s. Hal tersebut bersesuaian dengan hasil yang diperoleh pada model based
tomography (gambar 4.3) dan informasi geologi, yang mana anomali tersebut
diakibatkan adanya reef di zona tersebut.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
48

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 4.2. Overlay antara model kecepatan hasil transformasi Dix dengan stack
migrasinya.

CDP NO.

Depth
(m)

Gambar 4.3. Overlay antara model kecepatan model based tomography dengan
stack migrasinya.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
49

Kecepatan interval untuk model low angle thurst fault (elips berwarna hitam pada
gambar 4.1.) berkisar antara 4500-5200 m/s pada foot wall block dan hanging wall
block-nya. Hasil sembelance-nya (gambar 4.4) menunjukan bahwa; trend
sembelance maksimum berada disekitar nol, yang artinya event refleksi pada
depth gather sudah relatif flat yang menunjukan bahwa model kecepatan di
sekitar thrust fault tersebut sudah bagus. Hal tersebut juga bersesuaian dengan
hasil yang diperoleh pada model based tomography (gambar 4.6) dan informasi
geologi, dimana formasi tersebut batuannya adalah carbonat.

Dari hasil secara keseluruhan trend dari model kecepatan ini cukup
merepresentasikan struktur geologi bwah permukaan. Kecuali untuk zona antara
foot wall block dan hanging wall block (elips berwarna biru pada gambar 4.2.1.)
kecepatan intervalnya berkisar sekitar 4000 m/s, tentu saja kecepatan tersebut
terlalu tinggi untuk litologi yang relatif shaly. Hal tersbut kemungkinan
dikarenakan pemilihan spasi grid, terutama dari x-knot yang mengaruskan lebih
rapat lagi.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
50

4.3 Analisa Hasil Pre-Stack Depth Migration (PSDM)


Algoritma yang digunakan untuk Pre-Stack Depth Migration (PSDM) pada ketiga
model kecepatan tersebut adalah Kirckhhoff. Apperture ketiga model kecepatan
tersebut yang digunakan adalah 500 cmp (spasi CMP = 6.25 m) pada kedalaman
3125 m.

Gambar 4.4. Depth gather, sembelance dan stack hasil migrasi dengan kecepatan
inversi tomografi gelombang NIP.

Gambar 3.5. Depth gather, sembelance dan stack hasil migrasi dengan kecepatan
transformasi Dix .

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
51

Gambar 3.6. Depth gather, sembelance dan stack hasil migrasi dengan kecepatan
model based tomography.

Dari stack hasil PSDM dan sembelance dari depth gather (gambar 3.4., 3.5., dan
3.6.) menunjukan bahwa walaupun tidak dilakukannya iterasi migrasi, model
kececepatan hasil dari inversi tomografi gelombang NIP cukup baik
merepresentasikan model geologi dari struktur low angle thrust fault, baik
dibandingkan dengan hasil transformasi Dix maupun model based tomography.
Hal tersebut dikarenakan apabila dibandingkan dengan metoda konvensional
dimana rekonstruksi traveltime hanya bergantung variable kecepatan, sedangkan
pada metoda CRS rekonstruksi traveltime melibatkan variabel kinematic
wavefield attribute (, RN dan RNIP)

Pada kasus ini jika melihat hasil dari gambar 3.4. dan gambar 3.5. sebagai model
inisial, maka model kececepatan hasil dari inversi tomografi gelombang NIP
mampu menghasilkan depth image yang lebih baik dibandingkan dengan hasil
transformasi Dix yang biasa digunakan untuk membangun model kecepatan
inisial. Hasil depth imaging dengan transformasi Dix ini tidak mampu
menghasilkan image struktur yang representatif untuk model struktur low angle
thrust fault yang dikarenakan formulasi Dix ini dibuat dengan asumsi bahwa
reflektor atau struktur di bawah permukaan relatif flat atau datar.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
52

Sebagai model kecepatan yang sifatnya final, apabila kita bandingkan antara depth
image hasil inversi tomografi gelombang NIP dengan depth image hasil model
based tomography yang notabenenya mampu menghasilkan image yang
mendekati benar dan bagus, maka adanya smile pada image hasil inversi
tomografi gelombang NIP (elips berwarna biru pada gambar 4.2.1) dan juga
formasi karbonat target (elips berwarna hijau pada gambar 4.2.1.) yang memiliki
posisi lebih dalam dibandingkan dengan image hasil model based tomography,
menunjukan adanya aplikasi kecepatan yang terlalu tinggi, baik pada formasi body
karbonat itu sendiri, mupun di atas formasi karbonat tersebut. Berbeda dengan
depth image hasil model based tomography yang lebih baik dibandingkan dengan
hasil dari inversi tomografi gelombang NIP. Hal tersebut dikarenakan untuk
menghasilkan model kecepatan, pada model based tomography melibatkan tiga
kali analisa kecepatan dan iterasi migrasi, yaitu pertama-tama model inisial di
bangun dengan aplikasi coherency inversion, yang ke-dua dan ke-tiga adalah
aplikasi refinement velocity analysis. Sehingga kecepatan yang dihasilkan pun
tepat serta memiliki akurasi yang tinggi. Sedangkan untuk model kecepatan hasil
inversi tomografi gelombang NIP tidak melibatkan iterasi migrasi.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Meskipun tidak dikombinasi dengan iterasi migrasi, model kecepatan yang
dihasilkan melalui inversi tomografi gelombang NIP cukup baik mendeteksi dan
mendeskripsikan adanya reef di zona shallow yang ditunjukan oleh anomali
kecepatan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 2800 m/s seperti halnya gambarkan
oleh model keceptan hasil transformasi Dix dan model based tomography.

Selain itu juga, model kecepatan hasil inversi tomografi gelombang NIP cukup
baik mendeteksi dan mendeskripsikan adanya model geologi low angle thurst
fault dari suatu litologi karbonat, yaitu di tunjukan dengan keceptan 4500-5200
pada foot wall block dan hanging wall block-nya serta hasil depth gather dan
sembelance-nya yang sudah cukup flat dan mendekati nol. Hal tersebut
bersesuaian dengan model kecepatan hasil model based tomography bahkan dari
sembelace serta PSDM stack yang dihasilkannya, hasil migrasi dengan
menggunakan model kecepatan inversi tomografi gelombang NIP menghasilkan
image low angle thurst fault yang lebih baik dibandingkan dengan hasil migrasi
oleh model kecepatan hasil model based tomography dan transformasi Dix
(kecepatnya berkisar 3500-4000 m/s).

Dari hasil migrasi secara keseluruhan setelah dibandingkan dengan hasil migrasi
model based tomography dan transformasi Dix menunjukan bahwa, model
kecepatan hasil inversi tomografi gelombang NIP cocok untuk dijadikan sebagai
model kecepatan inisial, terutama apabila struktur geologinya relatif komplek.
Untuk menjadikannya sebagai model kecepatan yang bersifat final, hasil inversi
tomografi gelombang NIP tersebut belum optimal secara menyeluruh, hal tersebut
dikarenakan masih diperlukannya keterlibatann iterasi migrasi.

53

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
54

5.2. Saran
Untuk mendapatkan model kecepatan yang optimal secara menyeluruh,
diperlukan juga penerapan konsep iterasi pada inversi tomografi gelombang NIP
ini, sehingga menghasilkan residual attribute CRS untuk optimasi model
kecepatan yang dihasilkan.

Universitas Indonesia

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011
DAFTAR ACUAN

1. Andri Hendriyana, 2009, Aplikasi zero-offset crs-stack dan tomografi


gelombang nip untuk pengolahan data seismik dengan fold rendah, tesis,
ITB.
2. Baykulov, M., 2009, Seismic imaging in complex media with the common
reflection surface stack, disertasi, Universitas Hamburg.
3. Dan Kosloff, 1999, Tomographic Interval Velocity Determination From
Prestack Migrated Data, Paradigm Geophysical.
4. Duveneck, E., 2004, Velocity model estimation with data-derived
wavefront attributes, Geophysics, 69, 265-274.
5. G. Gierse* and J. Pruessmann, TEEC, R. Backhouse, A. Naveed, P.
Lovatt-Smith and C. Ellis, Premier Oil plc., 2004, CRS imaging and
tomography versus PreSDM - A case history in overthrust geology, SEG
annual meeting.
6. Hocht, G., de Bazelaire, E., Majer, P., dan Hubral, P., 1999, Seismic and
optics: Hyperbolae and curvatures, Journal of Applied Geophysics, 42, hal
261-281.
7. Husni, M, 2009, Anisotropic Pre Stack Depth Migration : Studi Kasus
Data Onshore, Skripsi, ITB.
8. John Etgen, Samuel H. Gray, and Yu Zhang, 2009, An overview of depth
imaging in exploration geophysics, GEOPHYSICS,VOL. 74,NO. 6.
9. Kluver, T. dan Mann, J., 2005, Event-consistent smoothing and automated
picking in CRS-based seismic imaging, SEG annual meeting.
10. Mann, J., 2001, Common-reflection-surface stack and conflicting dips.
Expanded Abstracts, 71th Annual international Meeting, Exploration
Geophysicist.
11. Mann, J., 2002, Extensions and application of the common-reflection-
surface stack method, Logos Verlag Berlin.
12. Perroud, H. dan M. Tygel, 2004, Nonstrecth NMO, Geophysics, 69, hal
599-607.
13. Schleicher, J., Tygel, M., dan Hubral, P., 1993, Parabolic and hyperbolic
paraxial twopoint traveltimes in 3d media, Geophysical Prospecting, 41,
hal 495-513.
14. Sherriff, R.E. and L. P. Geldart, (2002), Exploration Seismology, Second
edition, Cambridge University Press
15. Tygel, M., M uller, T., Hubral, P., dan Schleicher, J., 1997, Eigenwave
based multiparameter traveltime expansions, Expanded Abstractsof the
67th Annual International Meeting, Society of Exploration Geophysicist.
16. Yilmaz, O., 2001, Seismic data analysis, Volume I dan II, SEG.

55

Migrasi pre-stack..., Moh. Nurohman Krisnayadi, Program Studi Ilmu Fisika, 2011

Anda mungkin juga menyukai