Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sikap dan sumber jiwa keagamaan diperoleh dari faktor ekstern dan intern di
mana selama mendalami masa perkembangan yang dipengaruhi faktor intern
(hereditas, usia, kepribadian, kondisi kejiwaan) dan berikutnya faktor ekstern
(lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat) serta faktor fanatisme dan
ketaatan. Apabila faktor-faktor perkembangan jiwa seseorang memperoleh
gangguan maka perkembangan jiwa akan tidak diperoleh dengan baik pasti ada
kekurangan dan permasalahan. Akan tetapi hal tersebut akan menjadi satu
pengalaman kejiwaan yang akan diantisipasi di masa yang akan datang.
Kemudian langkah yang harus diambil supaya tidak mengalami gangguan
kejiwaan keagamaan adalah menghindarinya dan mengantisipainya supaya tidak
berdampak pada seseorang tersebut apabila tidak bisa dihindari dan di antisipasi
maka seharusnyalah dihadapi secara akal dan budi pekerti yang ada.1
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran dan
pengalaman agama lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang
ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral di dalam dunia. Dari kesadaran agama
dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang
ditampilkan seseorang.2
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam keadaan diri
seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatan terhadap agama. Sikap keagamaan oleh adanya konsistensi antara
kepercayaan terhadap agama sebagai unsur efektif dan perilaku agama sebagai
unsur konatif.3

1
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hlm. 325.
2
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 89.
3
Syamsul Arifin Bambang, Psikologi Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm .76-
85.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Problema/Gangguan Dalam Perkembangan Jiwa Keagamaan


A. Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Mengawali pembahasan pada sikap keagamaan, maka terlebih dahulu akan
dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian umum,
sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu
berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu. Dengan
demikian, sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan
sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) sesorang, serta tergantung kepada objek
tertentu.4
Bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan
komponen kognisi, afeksi dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang
menyangkut agama. Hubungan tersebut tidak ditentukan oleh hubungan sesaat
melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil
belajar dari interaksi dan pengalaman. Dan pembentukan Telaah psikologi dan
psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya
psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Kemudian
menempatkan daya psikis dan potensi tersebut sebagai sesuatu yang penting bagi
kehidupan manusia. Selain itu mulai tumbuh, mulai tumbuh suatu kesadaran baru
mengenai hubungan antara potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan pola
tingkah laku manusia sikap itu sendiri juga tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
eksternal saja melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.5
Mata rantai hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan hubungan
faktor penentu, yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong

4
Kasmiran Wuryo. Ed. Revisi 10. Psikologi Agama. (Jakarta: Grafindo), hlm. 225.
5
Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm.15.

2
arah sikap positif atau negatif akan terlihat dalam tingkah laku nyata (overt
behaviour) pada diri seseorang atau kelompok.
Pada tingkat tertentu motif akan berperan sebagai central attitude yang
akhirnya akan membentuk predisposisi. Predisposisi menurut Marat merupakan
sesuatu yang telah dimiliki seseorang semenjak kecil sebagai hasil pembentukan
dirinya sendiri. Dalam hubungan ini tergambar bagaimana hubungan
pembentukan sikap keagamaan sehingga dapat menghasilkan bentuk pola tingkah
laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.6
Telaah psikologi dan psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari
potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan
spiritual. Kemudian menempatkan daya psikis dan potensi tersebut sebagai
sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia. Selain itu mulai tumbuh, mulia
tumbuh suatu kesadaran baru mengenai hubungan antara potensi dan daya psikis
tersebut dengan sikap dan pola tingkah laku manusia.7
Dari telaah tersebut dapat disimpulkan bahwa jiwa keagamaan sebenarnya
merupakan bagian dari komponen intern psikis manusia. Pembentukan kesadaran
beragama pada diri seseorang pada hakikatnya tidak lebih dari usaha untuk
menumbuh dan mengembangkan potensi dan daya psikis. Namun yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana usaha yang dilakukan agar bimbingan yang
diberikan sejalan dengan hakikat potensi yang luhur tersebut.
Pada hakikatnya hidup dan kehidupan manusia sudah dirancang oleh Sang
Maha Pencipta. Ditegaskan bahwa, hakikat penciptaan manusia adalah untuk
mengabdi kepada Allah selaku pencipta. Agar komitmen (tugas pengabdian) ini
tetap terpelihara, Sang Maha Pencipta telah melengkapi manusia dengan
perangkat potensi yang lengkap. Salah satunya adalah fitrah, yang secara
maknawi berarti penciptaan atau kejadian. Fitrah manusia adalah kejadian
sejak semula atau bawaan sejak lahirnya, yang membawa potensi beragama yang
lurus. Fitrah sebagai potensi bawaan memuat unsur tauhid, yakni potensi
beragama yang lurus. Menurut Abu Ala al-Maududi, potensi fitrah ini identik
6
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulis, 2002), hlm. 52.
7
Sayyid Mujtaba, Psikologi Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 210.
8
Ibid,. 211-212.

3
dengan Islam yang berarti taat kepada Allah dan tunduk kepada perintahnya tanpa
membantah.8
Secara fitrah memang manusia adalah makhluk yang suci. Sejak asal
kejadiannya manusia membawa potensi beragama yang lurus. Namun karena
kelemahan dirinya, maka manusia berpeluang untuk melakukan berbagai
penyimpangan.
Pola Tingkah Laku. Pola artinya bentuk atau model yang bisa dipakai untuk
membuat atau untuk menghasilkan sesuatu. Perilaku adalah perbuatan atau hasil
dari pola-pola pemikiran. Jadi pola perilaku adalah bentuk perbuatan-perbuatan
yang menghasilkan suatu kebiasaan.

B. Sikap Keagamaan Yang Menyimpang


Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat norma-norma yang
dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-
norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang mengacu
kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya
memenuhi ketaatan kepada Dzat yang Supernatural. Dengan demikian, sikap
keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi tuntutan.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap
kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami
perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang perorang (dalam
diri individu) dan juga pada kelompok atau masyarakat.
Sedangkan perubahan sikap itu memilki tingkat kualitas dan intensitas yang
mungkin berbeda dan bergerak secara kontininyu dari posistif melalui areal netral
ke arah negatif. Dengan demikian, sikap keagamaan yang menyimpang
sehubungan dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi buruk.
Sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang cenderung
keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan pembaharuan.
Sikap yang menentang merupakan sikap keagamaan yang menyimpang, seseorang

9
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila (Jakarta: Sinar
Baru, 1988), hlm.29.

4
atau kelompok penganut suatu agama mungkin saja bersikap toleran pada agama
lain ataupun aliran lain yang berbeda dengan aliran agama yang dianutnya.
Masalah yang menyangkut keagamaan ini umumnya tergantung hubungan
mengenai kepercayaan dan keyakinan.
Kepercayaan adalah tingkat pikir manusia dalam mengalami proses berfikir
yang telah dapat membebaskan manusia dari segala unsur yang terdapat di luar
fikirannya, sedangkan keyakinan adalah suatu tingkat fikir yang dalam proses
berfikir manusi telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan merupakan hal
yang abstrak sehingga secara empirik sulit dibuktikan secara nyata mengenai
kebenarannya.
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi bila penyimpangan pada
kedua tingkat berfikir, sehingga dapat memberi kepercayaan dan keyakinan baru
pada seseorang atau kelompok. Apabila tingkat berfikir tersebut mencapai tingkat
kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu
maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang sikap keagamaan yang
menyimpang cendrung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih
kuat ketimbang aspek rasional.9
Adapun sikap keagamaan yang menyimpang adalah:
a. Munafik
Munafik adalah orang yang lahiriyahnya menampakkan suatu (ucapan,
perbuatan atau sikap) yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang
tersembunyi di dalam hatinya. Kelompok lain mengatakan munafik itu adalah
orang-orang yang lahiriyahnya menyatakan dirinya muslim. Sedangkan batinnya
tidak sesuai lahiriyahnya atau orang yang melahirkan iman dengan mulutnya
tetapi kafir. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa orang munafik adalah
orang-orang yang bermuka dua, lain dimulut lain dihati. Dalam alquran di
sebutkan orang munafik adalah orang yang imannya di mulut tetapi kafir di hati.

9
http://reflyaf.blogspot.co.id/2015/05/problema-dan-jiwa-keagamaan.html, diakses tgl
5/3/2017 jam 19:40.

5
b. Dengki
Dengki adalah menaruh perasaan benci, tidak senang yang amat sangat
terhadap kemenangan orang lain. Dengki biasanya berkaitan dengan sifat iri.
Wujudnya adalah sikap dan perbuatan yang tidak senang terhadap orang lain,
seperti memusuhi, menjelek-jelekkan, mencemarkan nama baik orang lain, dan
lain-lain.
c. Riya
Riya adalah sikap yang suka memamerkan harta benda atau orang yang
melakukan segala sesuatu yang hanya mengharapkan pujian dari orang lain tapi
bukan mengharapkan pahala dari Allah. Sikap riya ini, sikap yang susah untuk
mengubahnya sebab ia melakukan sesuatu hanya demi mengharapkan pujian
orang lain.
d. Tama
Tama sering dikatakan sebagai orang yang rakus kepada apapun. Misalnya ia
sudah kaya tetapi mau lebih kaya lagi. Sikap tama ini adalah sikapyang tidak
patut dicontoh sebab hanya akan membawa kerugian bagi orang yang memiliki
sifat ini.
e. Takabbur
Takabbur menurut bahasa adalah membebaskan diri, menganggap dirinya lebih
lebih besar dari orang lain. Sedangkan menurut istilah takabbur adalah suatu sikap
mental yang merasa dirinya lebih besar, lebih tinggi, lebih pandai dan memandang
kecil, serta rendah terhadap orang lain.
Takabbur digolongkan menjadi dua bagian yaitu: takabbur batin dan takabbur
lahir. Takabbur batin yaitu sifat dalam jiwa yang tidak terlihat karena sifat
tersebut melekat dalam hati seperti sifat merasa besar, merasa lebih dari
segalanya. Sedangkan takabbur lahir adalah perbuatan atau tingkah laku yang
dapat dilihat seperti merendahkan orang lain, menyepelekan orang lain.10

10
http://reflyaf.blogspot.co.id/2015/05/problema-dan-jiwa-keagamaan.html, diakses tgl
5/3/2017 jam 19:40.

6
C. Faktor Internal dan Faktor Eksternal
1. Faktor Internal
Faktor-faktor Intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan
kondisi kejiwaan seseorang.

a. Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang
diwariskan secara turun-menurun, melainkan terbentuk dari unsur kejiwaan
lainnya yang mencakup kognitif, afektif, konatif.
b. Tingkat Usia
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan
tampaknya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi
oleh sugesti, maka tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak,
mengingat tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. Namun
kenyataannya, hingga usia baya pun masih terjadi konversi agama. Terlepas dari
ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan
antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barang kali tidak dapat
diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya
hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan satu-satunya faktor penentu
dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
c. Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur
hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan
pengaruh lingkungan inilah, yang membentuk kepribadian.

7
Adanya kedua unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan
munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur
bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena
sudah terbentuk berdasarkan komposisi yang terdapat dalam tubuh. Sebaliknya
dilihat dari pendekatan karakterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan
tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Dari pendekatan tipologis maupun karakterologis, maka terlihat ada unsur-
unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur
kepribadian manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan,
sedangkan yang dapat berubah adalah karakter. Unsur pertama (bawaan)
merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dan
perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek
kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
d. Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada
beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model
psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan gangguan
kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia.
Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya,
menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi
jiwa seseorang.
Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi
sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial
menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusi. Dengan demikian,
sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang
dihadapinya saat itu.11

11
http://erikayuliaputir.blogspot.co.id/, Diakses tgl 05/04/2017 jam 19:04

8
2. Faktor Eksternal
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan
dapat dilihat. Dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan
tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu keluarga, institusi dan masyarakat.

a. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan
manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Bagi anak-
anak, keluarga merupakan lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan
demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan
jiwa keagamaan anak.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam
pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap
perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan beban
tanggung jawab. Ada semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada
orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengaqiqah,
memberi nama yang baik, mengarkan membaca alquran, membiasakan shalat
serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai
sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan
jiwa keagamaan.
b. Lingkungan Institusional
Lingkungan Institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa
keagamaan dapat berupa institusi fomal seperti sekolah ataupun yang nonformal
seperti berbagai perkumpulan dan organisasi. Sekolah sebagai institusi pendidikan
formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak.
Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu:

1. Kurikulum dan Anak.


2. Hubungan guru dan Murid
3. Hubungan antar Anak.

9
Dilihat dari kaitannya dengan perkembangn jiwa keagamaan, tampaknya ketiga
kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa
keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang
luhur. Dalam ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur yang
menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati,
sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan
bagi pembentukan sifat-sifat seperti umumnya menjadi bagian dari program
pendidikan di sekolah.
c. Lingkungan Masyarakat
Kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai-nilai yang
didukung warganya. Karena itu, setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap
dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada. Dengan demikian,
kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi
bersama.
Lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan
berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan
keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan
seperti ini bagaiamanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan
warganya.

D. Fanatisme dan Ketaatan


Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa
seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm
bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan
memenuhi kedua aspek tersebut.
David Riesman melihat bahwa tradisi kultural sering dijadikan penentu dimana
seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam
menyikapi tradisi keagamaan juga tidak jarang munculnya kecendrungan itu. Jika
kecendrungan taqlid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang
berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan
menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan

10
beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya
untuk menampilkan arahan dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.12
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan
jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada
pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi,
maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan
dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi hubungan dengan
benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi),
seperti intitusi keagamaan dan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich
Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan
tradisi (tradition directed); 2) arahan dalam (inner directed); dan 3) arahan orang
lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter. Tetapi tulis Gardon Allport
(1937), Buss dan Plomin (1975) perkembangan emosional merupakan sentral bagi
konsep tempramen dan kepribadian. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa
karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan
kepribadian, aspek emosional dipandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan
ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak dapat dilepaskan dari peran aspek
emosional.
David Riesman melihat bahwa tradisi kultular sering dijadikan penentu dimana
seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyangnya. Dalam
menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti
itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional
yang berlebih, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan
menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan
beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya

12
http://erikayuliaputir.blogspot.co.id/, diakses tgl 05/04/2017 jam 19:04
10

11
untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan
mengamalkan ajaran agama.13
Agama adalah satu-satunya media yang menghubungkan kita dengan Sang
Pencipta. Agama mampu memberikan hiburan dengan harapan-harapan masa
depan. Agama bisa memotivasi kehidupan manusia untuk menjalani kehidupan ini
dengan penuh optimisme. Dengan keyakinan akan agama, manusia akan
mencapai sesuatu yang lebih baik dalam hidup ini. Manusia juga tidak akan
mudah menyerah dengan segala kesulitan hidup yang dihadapi. Karena dengan
selalu bertahan dan menyelesaikan tugas hidup di dunia, manusia beragama akan
memiliki keyakinan akan balasan dan pahala setelah kematiannya nanti.
Agama Islam adalah agama rahmatal lil alamin. Ajaran yang ada di dalam Al-
Quran dan Sunnah itu bersifat universal. Manusia yang menyakini agama (Islam
khususnya) harus memberikan pengorbanan dan berjuang bukan hanya untuk
kaum muslim saja, tetapi untuk semua orang di muka bumi ini. Oleh karena itu,
hukum agama juga harusnya berlaku universal untuk siapapun. Disinilah fungsi
agama sebagai pengatur dan pengendali kehidupan manusia. Jika manusia telah
dengan kaffah (menyeluruh) mengamalkan ajaran agama, maka agama (Al-
Quran) akan menjadi sumber peradaban. Sebagai sumber peradaban, agama (Al-
Quran) mampu memberikan solusi atas segala persoalan hidup manusia.
Keyakinan atas agama yang diamalkan secara kaffah akan memberikan
dampak yang menyeluruh pula. Dengan ajaran moral dan nilai-nilai yang ada di
dalam agama akan memberikan ciri tertentu kepada pengikutnya. Oleh karena itu,
agama bukan hanya sebuah keyakinan dan pemahaman tanpa tindakan, tetapi
beragama harus menyeluruh. Yaitu antara keyakinan dengan tindakan haruslah
saling menunjang. Untuk itu kita dituntut untuk memiliki watak dan karakteristik
yang berbeda dengan orang yang tidak meyakini agama. Itulah yang disebut
dengan akhlaq. Akhlaq inilah yang akan memberi nilai plus bagi setiap muslim
untuk melakukan kontribusi di dalam kehidupan ini.

13
Jalaluddin, Psikologi Agama.( Jakarta: Raja Grafindo2011).hlm. 314-315.

12
Karena agama adalah penuntun atau pengendali arah hidup manusia, maka
agama harus menjadi sumber segala sumber. Untuk itu apapun yang kita lakukan
harus dilandasi atas nilai-nilai yang ada di dalam agama itu. Oleh karena itu,
segala perbuatan baik itu yang berkaitan dengan pemenuhan diri sendiri maupun
sosial kita namakan dengan ibadah. Bagi kita yang bekerja mencari nafkah, usaha
dan aktivitas kita adalah ibadah. Segala aktivitas duniawi diniatkan untuk mencari
ridho Ilahi, bukan kepentingan duniawi belaka.
Kepasrahan yang total terhadap Tuhan adalah sebuah keharusan bagi umat
Islam. Di dalam kepasrahan ini akan kita temukan sebuah kedamaian. Kedamaian
yang dimaksudkan adalah optimisme menjalani kehidupan dengan sungguh-
sungguh. Karena kehidupan adalah amanah Allah yang harus dijalani, manusia
akan merasa tenang, tentram dan damai di dalam mengemban amanah kehidupan
ini.
Fanatisme ditimbulkan dari keterkaitan emosional dengan tradisi keagamaan
yang dipahaminya benar. Jika seorang telah fanatic terhadap agamanya, maka ia
akan melakukan segala hal pembenaran dari pemahamannya terhadap agama.
Sikap fanatik akan berdampak tidak harmonisnya dalam sistem sosial karena jika
ada orang yang menentangnya, maka ia akan melakukan hal yang dapat
membahayakan jiwa manusia, seperti kekerasan antaragama, teroris, dan lain
sebagainya. Berbeda dengan ketaatan, karena taat merupakan menunjukkan sikap
yang diarahkan oleh agamanya, mengahayati, dan mengamalkan ajaran agama.14
Kadang kita mendengar seseorang melontarkan ungkapan fanatik kepada
Muslim yang ketat dan hati-hati dalam melaksanakan ajaran Islam. Seorang
Muslim yang mempertahankan pendapat bahwa berjabat tangan antara pria dan
wanita yang bukan mahram adalah terlarang, dianggap fanatik. Yang mengatakan
jilbab itu wajib adalah fanatik. Yang mengharamkan pacaran dicap fanatik.
Masyarakat sering kurang bisa membedakan antara fanatik dengan fanatisme.
Dalam bahasa Inggris, fanatic diartikan sebagai adhering strickly to a religion
yang artinya mendukung penerapan nilai-nilai agama secara ketat. Jadi, fanatik
dalam beragama adalah sebuah keharusan. Yang dilarang adalah fanatisme dalam

14
Rohmalina Wahab, Psikologi Agama, (Palembang : Grafika Telindo, 2010).hlm.121.

13
beragama, yaitu memaksakan pemahaman atas nilai agama kepada orang lain.
Namun, kita pun jangan terjebak pada opini yang mendiskreditkan dakwah
sebagai sebuah pemaksaan terhadap keberagamaan seseorang. Dakwah adalah
sebuah kewajiban setiap Mukmin, bukan sebuah fanatisme.15
Meski kita telah paham perbedaan fanatik dengan fanatisme, namun ungkapan
fanatik yang ditujukan kepada seorang Muslim yang ketat dan sangat hati-hati
dalam menerapkan nilai-nilai Islam terhadap diri dan keluarganya seperti
diungkapkan di atas, seringkali bermakna negatif, cenderung ke arah fanatisme.
Fanatisme adalah kata terjemahan untuk taashshub yang berasal dari kata
taashshaba. Orang yang memiliki sifat fanatik disebut dengan mutaashshib.
Dalam bahasa Arab taashshub juga diartikan sebagai asy-syadd (pengikatan) dan
asy-syiddah (kekerasan). Jika dikatakan, Tashshaba rajulun ra`sahu, berarti ia
mengikat kepalanya dengan sorban. Sedangkan kata al-ashaabah artinya
kelompok yang saling mengikat antara satu anggota dengan yang lain. Taashshub
adalah lawan dari kata tasamuh (toleran).
Larangan fanatisme (taashshub) sangat jelas diungkap dalam hadits
Rasulullah Saw., Bukan termasuk golongan kami (kaum Mukminin) orang yang
mengajak kepada fanatisme, atau membunuh karena fanatisme, atau mati dalam
keadaan fanatisme (HR Abu Dawud dari Jabir).16
Menurut Ibnu Taimiyah, hadits ini menjelaskan bahwa fanatisme seseorang
secara mutlak pada suatu kelompok merupakan perbuatan kaum jahiliyah. Ini
jelas dilarang dan dicela. Berbeda dengan perbuatan mencegah orang zalim atau
membantu orang yang dizalimi, tanpa didorong oleh permusuhan, maka itu adalah
baik, bahkan wajib hukumnya. Tak ada kontradiksi antara hal tersebut dengan
ungkapan hadits, Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi.
Menolong yang dizalimi kita sudah paham, sedangkan menolong yang menzalimi
adalah dengan cara mencegah orang tersebut berbuat zalim.
Arti fanatisme yang tercela, menurut Prof. Yusuf Qaradhawi adalah jika
seseorang membela secara membabi buta terhadap keyakinannya, madzhabnya,

15
Alief Aulia Rezza, .Psikologi Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 197). hlm. 250-251.
16
http://kangparjay.blogspot.co.id/2012/03/psikologi-agama.

14
pemikirannya, pendapatnya, kaumnya, dan kelompoknya, sehingga ia tidak mau
melakukan dialog dengan orang yang berbeda dalam prinsip-prinsip dasar
maupun variabel cabang dengannya. Atau jika ia menutup semua pintu rapat-rapat
dari setiap orang yang hendak mendekat kepadanya, dan ia hanya mau
menghadapi mereka dengan pedang.17
Kita baru bisa mengecam dan mencapnya fanatisme, jika ia hendak
memaksakan pendapatnya pada setiap orang yang berbeda pandangan dengannya.
Fanatisme terjadi bila seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan
tidak mau membuka pintu untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan
keyakinan, pemikiran, pandangan fiqih, pandangan politik, serta tidak mau
melakukan introspeksi sedikit pun. Ia malah menganggap pendapatnya sebagai
yang paling benar, sedangkan pendapat orang lain salah dan keliru.

17
https://muslimah.or.id/6651-taat-beragama-fanatik-beragama.html

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Problema jiwa keagamaan adalah suatu persoalan yang diakibatkan oleh
pengaruh agama dalam diri kepada tingkah laku manusia. Ajaran agama memuat
norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan
bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai
luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan
sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada zat Yang Maha Kuasa. Masalah
yang menyangkut sikap keagamaan umumnya tergantung hubungan persepsi
seseorang mengenai kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan adalah tingkat
pikir manusia dalam mendalami proses berpikir yang telah dapat membebaskan
manusia dari segala unsur-unsur yang terdapat diluar pikirannya. Sedangkan
keyakinan adalah suatu tingkat pikir yang dalam proses berpikir manusia telah
menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurna
proses, pencapaian kebenaran, dan kenyataan yang terdapat diluar jangkauan pikir
manusia.

B. Saran
Semoga makalah yang kami buat ini, dapat memberikan atau menambah
pengetahuan kami selaku pemakalah dan kepada teman-teman semuanya. Dan
jika, ada yang salah dalam penulisan makalah kami ini. Kami mohon maaf, karena
kesempurnaan hanyalah Milik Allah Swt.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi Abdul Aziz, 1988, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila


Jakarta: Sinar Baru.
Bambang Syamsul Arifin, 2008, Psikologi Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Drajat Zakiah, 1996, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
http://erikayuliaputir.blogspot.co.id/,
http://kangparjay.blogspot.co.id/2012/03/psikologi-agama.
https://muslimah.or.id/6651-taat-beragama-fanatik-beragama.html
http://reflyaf.blogspot.co.id/2015/05/problema-dan-jiwa-keagamaan.html
Jalaluddin, 2011, Psikologi Agama, Jakarta : Rajawali Pers.
Mujtaba Sayyid, 1990, Psikologi Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah.
Ramayulis, 2002, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulis.
Walgito Bimo, 1994, Psikologi Sosial Yogyakarta: Andi Offset.
Wuryo Kasmiran. Ed. Revisi 10. Psikologi Agama. Jakarta: Grafindo.

17

Anda mungkin juga menyukai