Anda di halaman 1dari 9

PERENCANAAN STRATEJIK

ORGANISASI PEMERINTAHAN DENGAN PENDEKATAN


BALANCED SCORECARD

Nurkholis
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Abstraksi : Balanced Scorecard (BSC), yang semula dikembangkan sebagai


sistem pengukuran kinerja pada organisasi bisnis, sekarang telah berkem-
bang menjadi sistem manajemen stratejik. Pendekatan ini dapat diadopsi
untuk manajemen sektor publik/pemerintahan. Tulisan tentang BSC ini
dimaksudkan untuk membuka wawa-san dalam pengembangan pola berpikir
stratejik yang diperlukan dalam perencanaan dan pengelolaan sektor publik/
pemerintahan. Pembahasan dimulai dari konsep dan arti pentingnya perenca-
naan stratejik, dilanjutkan dengan sistematika perencanaan stratejik sampai
dengan pengendaliannya melalui pengukuran dan penilaian kinerja. Tulisan
ini juga membahas beberapa pendekatan dan pengukuran kinerja stratejik
instansi pemerintah yang diadopsi dari Pedomaan Penyusunan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Berdasarkan BSC, perencanaan dan pelaksanaan program maupun
anggaran pemerintah harus difokuskan pada upaya untuk mencapai misi
organisasi pemerintahan (mission driven), yakni demi mewujudkan kesejahte-
raan masyarakat. Implementasi pendekatan ini menuntut adanya identifikasi
dan pengembangan kinerja organisasi yang komprehensif pada semua level
ke dalam empat perspektif: (1) financial, (2) customer, (3) proses bisnis inter-
nal, dan (4) pembelajaran dan pertumbuhan. Ini harus didukung dengan
sistem pelaporan akuntabilitas kepada publik yang merupakan prasyarat
bagi terwujudnya good governance.

Kata Kunci: Balaced scorecard, perencanaan stratejik, visi, misi,


pengukuran kinerja

Pendahuluan
Organisasi pemerintahan dalam makalah ini didefinisi sebagai organisasi milik
pemerintah atau yang mendapatkan dan memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari
dana publik yang biasanya dianggarkan oleh pemerintah baik melalui APBN maupun
APBD, serta memiliki fungsi untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Di dalam
era reformasi saat ini, reformulasi strategi (melalui proses perencanaan stratejik) sangat
diperlukan, karena organisasi publik ini berhadapan dengan lingkungan yang senantiasa
berubah drastik, yang tentu saja juga menuntut perubahan paradigma dalam sistem
manajemennya.
Perencanaan stratejik sangat diperlukan oleh hampir semua organisasi formal,
terutama organisasi pemerintah. Rencana stratejik yang dihasilkan dari proses perenca-
naan stratejik berfungsi untuk menuntun manajer/pimpinan dan karyawan organisasi
dalam mencapai kinerja stratejik atau untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Balanced Scorecard (BSC), yang pertama kali diperkenalkan oleh Kaplan dan
Norton (1992), semula merupakan pendekatan dalam pengukuran kinerja manajemen
perusahaan (bisnis). Dalam perkembangan berikutnya ternyata pendekatan ini dapat
diterapkan sebagai suatu sistem manajemen stratejik karena BSC dapat menuntun
manajemen dan anggota organisasi dalam men-translate visi, misi, dan strategi organi-

Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001 31


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

sasi ke dalam tindakan-tindakan nyata (yang terukur dan terencana dengan baik) untuk
dapat mencapai tujuan stratejik suatu organisasi (Kaplan & Norton, 1996). Selanjutnya
pendekatan BSC ini dapat pula diterapkan pada organisasi sektor publik (Wahyudi,
2000).
Makalah ini membahas konsep perencanaan stratejik dengan menggunakan pen-
dekatan balanced scorecard dan mencoba mengimplementasikannya pada organisasi
publik atau pemerintahan. Pembahasan dimulai dari konsep dan arti pentingnya peren-
canaan stratejik, dilanjutkan dengan sistematika perencanaan stratejik sampai dengan
pengendaliannya melalui pengukuran dan penilaian kinerja. Makalah ini juga membahas
beberapa pendekatan dan pengukuran kinerja stratejik instansi pemerintah yang
diadopsi dari Pedomaan Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP) (LAN, 1999).

Pengertian Strategi dan Konsep Sistem Manajemin Strategik


Strategi pada hakikatnya merupakan rencana tindakan yang bersifat umum,
berjangka panjang (berorientasi ke masa depan), dan cakupannya luas. Oleh karena itu,
strategi biasanya dirumuskan dalam kalimat yang kandungan maknanya sangat umum
dan tidak merujuk pada tindakan spesifik atau rinci. Namun demikian, dalam perenca-
naan stratejik tidak berarti bahwa tindakan rinci dan spesifik yang biasanya dirumus-
kan dalam suatu program kerja tidak harus disusun. Sebaliknya, program-program kerja
tersebut harus direncanakan pula dalam proses perencanaan stratejik dan bahkan
harus dapat dirumuskan atau diidentifikasi ukuran kinerjanya. Kegagalan dalam meru-
muskan ukuran kinerja yang sesuai seringkali menjadi penyebab kegagalan organisasi
dalam mencapai misinya.
Manajemen stratejik, menurut Pierce dan Robinson (1996) didefinisi sebagai
sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilan formulasi dan implementasi
rencana-rencana yang ditujukan untuk mencapai sasaran organisasi. Model atau ke-
rangka manajemen stratejik menurut Pierce dan Robinson sebagaimana digambarkan
pada Gambar 1.

Misi Perusahaan

Mungkin?
Lingkungan Eksternal
Profil Perusahaan
- Jauh
Dikehendaki?
- Industri (Global &
Domestik)
- Operasional

Analisis & Pilihan Strategi

Sasaran Jangka Panjang Strategi Umum

Sasaran Tahunan Strategi Operasional Kebijakan

Umpan Balik
Melembagakan Strategi

Keterangan
Dampak Besar
Pengendalian dan Evaluasi
Dampak Kecil Umpan Balik

Sumber: Pearce & Robinson (2000: 40)

Gambar 1. Model atau Kerangka Manajemen Stratejik Menurut Pierce dan Robinson

32 Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

Pelembagaan strategi yang dimaksudkan adalah implementasi strategi melalui


pemilihan dan penerapan struktur organisasi yang sesuai, implementasi gaya kepemim-
pinan yang sesuai, dan pembentukan kultur organisasi (corporate culture) dan sistem
imbalan (reward system) yang dapat mendorong pencapaian kinerja stratejik. Kinerja
stratejik adalah kinerja yang menunjukkan pencapaian misi organisasi. Sedangkan
pengukuran kinerja dalam perspektif stratejik ini harus dipandang sebagai bentuk
pencapaian tujuan organisasi yang dispesifikasikan ke dalam bentuk pengukuran kinerja
yang terprogram dan terkuantifikasi, yang diperlukan untuk pelaksanaan pemantauan
(monitoring) dan evaluasi terhadap hasil yang hendak dicapai sebagai suatu siklus
berkelanjutan dalam mempertahankan keberadaan organisasi (Triadji, 2000).
Cara berpikir seperti itu merupakan implementasi sistem manajemen stratejik,
yakni suatu sistem yang dipergunakan untuk membangun masa depan suatu organi-
sasi dengan cara memetakan rute perjalanan yang akan ditempuh oleh organisasi terse-
but dalam mewujudkan visi (dan mencapai misi) organisasi. Menurut Mulyadi dan
Setyawan (1999: 307) sistem manajemen stratejik meliputi enam tahap utama yakni: (1)
perumusan strategi, (2) perencanaan stratejik, (3) penyusunan program, (4) penyusunan
anggaran, (5) implementasi, dan (6) pengendalian. Sistema-tika ini digambarkan pada
Gambar 2.

Perumusan Strategi Strategi

Rencana Strategik
Perencanaan Strategik
- Strategic Objectives Total
- Targets Business
- Strategic Initiatives Planning
Penyusunan Program Program
(Long-Range Plan) Strategic
Management
System
Penyusunan Anggaran Anggaran
(Sort-Range Plan)

Implementasi

Pengendalian

Sumber: Mulyadi & Setyawan (1999: 308)

Gambar 2. Sistem Manajemen Strategik

Dari keenam tahap tersebut, perencanaan stratejik merupakan tahap yang paling
crucial karena merupakan tahap awal penjabaran strategi ke dalam langkah-langkah
operasional. Dikata-kan demikian, karena dalam perencanaan stratejik salah satunya
harus menghasilkan rumusan misi (mission statement), yang dalam sistem manajemen
stratejik hal tersebut harus merupakan pemicu (driver) utama dalam setiap perencanaan
dan implementasi program atau proyek.

Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001 33


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

Perencanaan Strategik di Era Otonomi Daerah


Diberlakukannya Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah
tentu saja merupakan salah satu isu stratejik yang harus dikaji dengan seksama.
Dengan berlakunya kedua undang-undang tersebut, paradigma manajemen Pemerintah
Daerah mengalami pergeseran yang sangat drastik, dari yang sebelumnya serba
sentralistik menuju sistem yang desentralistik. Dalam situasi demikian, Pemerintah
Daerah dituntut untuk dapat memanfaatkan sumberdaya (resources) yang ada di
daerahnya masingmasing secara lebih optimal. Dengan demikian, barangkali diperlukan
adanya reformulasi strategi melalui implementasi sistem perencanaan stratejik yang
lebih komprehensif dan sistematik.
Dalam bidang pembangunan ekonomi, permasalahan utama yang muncul pada
era pemerintahan sebelumnya adalah: (1) terpusatnya kegiatan ekonomi di daerah
tertentu, misalnya Jawa, (2) terkonsentrasinya tenaga kerja terampil di Jawa (3) strategi
pembangunan ekonomi dengan mengejar pertumbuhan dengan harapan adanya efek
menetes ke bawah (trickle down effect) ternyata gagal mencapai pemerataan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan (4) lemahnya fungsi pengendalian (control)
terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi tersebut.
Bila permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diatasi, maka daerah-
daerah tertentu (terutama di luar Jawa) akan semakin dirugikan, karena: (1) sumberdaya
alam di daerah akan terus tersedot keluar, dan daerah akan mengalami kekurangan
tenaga kerja terampil, (2) daerah akan semakin sulit mengembangkan sektor non-primer,
khususnya industri manufaktur, atau akan semakin sulit merubah struktur ekonominya
dari yang berbasis pertanian atau pertambangan ke industri, dan (3) tingkat pendapatan
masyarakat di daerah semakin rendah, yang berarti bahwa perkem-bangan pasar output
semakin lemah dan semakin kecil investasi ke daerah tersebut (Tambunan, 2000).
Mencermati permasalah-permasalahan tersebut, maka menurut Arsyad (dalam
Tambunan, 2000) strategi pembangunan ekonomi daerah yang komporehensif harus
mencakup antara lain:
(1) Pembangunan sumberdaya manusia (SDM) dan enterpreneurship di daerah;
(2) Pembangunan sarana dan prasarana pembangunan ekonomi;
(3) Pemberdayaan pemerintah daerah dan semua jajarannya;
(4) Pengembangan sektor-sektor ekonomi potensial, termasuk pemilihan industri alter-
natif yang dapat dikembangkan;
(5) Pemberdayaan lembaga-lembaga ekonomi yang ada (seperti Kadinda dan asosiasi
usaha atau himpunan pengusaha atau eksportir lokal);
(6) Alokasi sumberdaya-sumberdaya pembangunan yang terbatas dengan lebih efisien
dan efektif.
Rumusan strategi seperti itu sudah bagus dan kenyataannya hampir semua
Pemda mengadopsi strategi-strategi tersebut, meskipun rumusannya agak berbeda.
Kegagalan strategi pembangunan tersebut, nampaknya disebabkan oleh adanya kesala-
han dalam manajemennya, karena tidak dilaksanakan dengan pendekatan manajemen
stratejik yang secara jujur harus diakui, tidak mission driven.
Sejalan dengan rencana otonomi daerah, beberapa isu utama yang mengemuka
dan harus segera direspon oleh pemerintah daerah adalah: pertama, paradigma baru ini
menempatkan rakyat (melalui wakil-wakilnya di DPR) sebagai mitra yang berkedudukan
sejajar dalam perencanaan pembangunan daerah. Ini menuntut Pemerintah Daerah
untuk dapat merencanakan strategi pembangunan daerahnya dengan lebih baik dan
terarah dan mengimplementasikannya secara trans-paran dan accountable. DPRD dalam
hal ini harus melaksanakan fungsi kontrolnya dengan lebih efektif.
Pelaksanaan fungsi pengendalian (kontrol) yang efektif adalah pengendalian yang
didasarkan pada rencana stratejik dengan memfokuskan pada tujuan jangka panjang
organisasi. Secara umum, tujuan organisasi pemerintahan adalah untuk memfasilitasi
aktivitas pembangunan (baik materiil maupun spirituil) demi terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Bila ini yang menjadi fokus, pertanyaannya adalah: Apakah ukuran kese-

34 Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

jahteraan masyarakat itu? Bagaimana caranya menilai bahwa aktivitas pembangunan


telah diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?.
Kedua, perlu disadari bahwa otonomi daerah harus membuka kesempatan yang
sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati
bersama sebagai jaminanan terselenggaranya keteraturan sosial (social order) (Basri,
2000). Di sini tidak diperkenankan ada-nya pembatasan dalam mobilitas faktor-faktor
produksi. Otonomi harus memberikan peluang yang sehat bagi persaingan antardaerah,
yang tentu saja dengan dibarengi oleh persyaratan minimum bagi daerah-daerah yang
belum mampu mensejajarkan diri dalam suatu level of playing field.
Menurut Basri (2000:2-3) beberapa prasyarat yang dibutuhkan untuk menyiapkan
daerah dalam menghadapi persaingan global dalam kerangka otonomi daerah adalah:
(1) Terjaminnya pergerakan bebas dari seluruh faktor produksi, barang dan jasa di
dalam wilayah Indonesia, kecuali untuk kasus-kasus yang dilandasi oleh argumen
nonekonomi;
(2) Proses politik yang menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan
memper-juangkan aspirasi mereka melalui partisipasi politik dalam proses
pengambilan keputusan yang berdampak kepada publik;
(3) Tegaknya good governance baik di pusat maupun daerah;
(4) Keterbukaan daerah untuk bekerja sama dengan daerah-daerah lain dengan tidak
memandang batas-batas wilayah sebagai kendala;
(5) Fleksibilitas sistem intensif;
(6) Pemerintah daerah berperan sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi
kelompok minoritas dan lemah serta menjaga harmoni dengan alam sekitar, bukan
regulator dalam pengertian serba mengatur.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)


Berdasarkan Inpres Nomor 7 Tahun 1999, setiap instansi pemerintah diharuskan
untuk menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap
tahun. Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk meningkatkan good governance
pemerintah dan sebagai bentuk perwujudan akuntabilitas publik kepada para stake-
holders, dalam hal ini adalah masyarkat dan wakil masyarakat di DPR. Penerbitan LAKIP
tersebut merupakan langkah maju dalam usaha mewujudkan good governance yang
pada masa sebelumnya hampir saja diabaikan orang.
Di dalam pedoman tersebut dinyatakan bahwa dalam sistem akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah, perencanaan stratejik merupakan langkah awal untuk pengukuran
kinerja instansi pemerintah. Ini memerlukan integrasi antara keahlian sumberdaya
manusia dan sumberdaya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan ling-
kungan strategis, nasional dan global. Rencana strategis yang disusun organisasi peme-
rintah harus mencakup: (1) uraian tentang visi, misi, stra-tegi, dan faktor-faktor kunci
keberhasilan organisasi, (2) uraian tentang tujuan, sasaran, dan aktivitas organisasi, dan
(3) uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut dengan memperhatikan
tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan.
Di samping berisi tatacara pelaporan, pedoman ini juga menyajikan bentuk pela-
poran, pengukuran kinerja, dan evaluasi terhadap implementasi program-program kerja
dan proyek dengan menggunakan ukuran kinerja masukan (inputs), keluaran (outputs),
hasil (outcomes), manfaat (benefits), dan dampak (impacts). Pengertian dari masing-ma-
sing indikator tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam pedoman tersebut, disajikan
berikut ini.
Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksa-
naan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa
dana, sumberdaya manusia, informasi, kebijakan/peraturan perundangan, dan sebagai-
nya. Indikator keluaran (outputs) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari
suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau nonfisik. Indikator hasil (outcomes) adalah
sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah
(efek langsung). Indikator manfaat (benefits) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan

Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001 35


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

akhir dari pelaksanaan kegiatan. Sedangkan indikator dampak (impacts) adalah


pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator
berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut, evaluasi secara periodik
(setiap tahun) dilakukan dengan membandingkan antara rencana dengan realisasinya
sehingga dapat ditunjukkan (diukur) tingkat capaian dari setiap program atau proyek.
Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan analisis pencapaian kinerja dengan
menginterpretasikan hasil pengukuran kinerja yang menggambarkan keberhasilan/
kegagalan instansi pemerintah dalam melaksanakan misinya. Ini mengisyaratkan bahwa
seharusnya implementasi program maupun proyek (yang disusun berdasar-kan rencana
stratejik) harus senantiasa berorientasi pada pencapaian misi (mission driven).
Dengan demikian, penyusunan LAKIP tersebut merupakan salah satu bentuk
implementasi sistem manajemen stratejik yang diterapkan di organisasi pemerintahan.
Namun demikian, penulis mencermati bahwa wakil rakyat sebagai salah satu stake-
holders dalam penyelenggaraan pem-bangunan nampak belum banyak dilibatkan. Ini
tercermin dari alur pelaporan yang ditunjukkan pada pedoman tersebut, yang tidak
menampakkan peran DPRD.
Pendekatan Balanced Scorecard yang dipaparkan berikut ini hanya disampaikan
sebagai sumbangan gagasan, yang tujuannya diharapkan, paling tidak, untuk meng-
gugah pelaksana pemerintahan untuk menerapkan manajemen pemerintahan dan
pembangunan dengan pendekatan sistem manajemen stratejik.

Pendekatan Balanced Scorecard


Balanced scorecard adalah alat manajemen (management tool) yang menerjemah-
kan visi, misi dan strategi organisasi ke dalam satu set pengukuran kinerja komprehensif
untuk meghasilkan rerangka pengukuran kinerja organisasi melalui beberapa perspektif:
finansial, customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Evalu-
asi dan pengukuran kinerja yang biasanya dilakukan dalam pengendalian manajemen
harus dilakukan secara berimbang (balanced) untuk keempat perspektif tersebut.
Kerangka Balanced Scorecard oleh Kaplan dan Norton (1996) digambarkan seperti pada
Gambar 3.
Kerangka tersebut menggambarkan bahwa agar sistem manajemen stratejik dapat
berjalan dengan baik, maka visi, misi, dan strategi organisasi harus di-translate ke dalam
empat perspektif tersebut. Dari tiap-tiap perspektif, harus ditunjukkan tujuan
(objectives), ukuran-ukuran (measures) kinerja yang dipergunakan, target yang akan
dicapai, dan inisiatif stratejik yang harus dilakukan untuk mencapai target yang telah
ditetapkan sekaligus untuk mencapai misi organisasi. Kemampuan organisasi untuk
dapat men-translate visi dan misi organisasi ke dalam tindakan nyata (yang terukur)
sangat menentukan keberhasilan implementasi strategi tersebut.
Visi organisasi yang menggambarkan pandangan jauh ke depan mengenai apa
yang akan terjadi di masa depan dan kemana organisasi akan dibawa akan sangat
menentukan rumusan misi organisasi. Selanjutnya, rumusan misi akan dipergunakan
sebagai dasar utama dalam penyusunan dan implementasi setiap program/tindakan/
proyek. Ini dapat dilakukan bila terjadi proses vision and mission sharing. Artinya, harus
ada proses internalisasi visi dan misi tersebut ke dalam diri setiap individu anggota
organisasi. Ini juga berati bahwa semua anggota organisasi yang terlibat dalam
implementasi program/proyek tersebut harus memahami visi dan misi organisasi terse-
but dan senantiasa memiliki pemahaman dan komitmen kuat untuk mencapai misi
organisasi. Dengan demikian pelaksanaan program kerja dan proyek organisasi tersebut,
termasuk penganggarannya, harus senantiasa didorong oleh keinginan untuk mencapai
misi organisasi (mission driven).
Bagi suatu organisasi pemerintahan, sebagai suatu organisasi sosial (non-profit),
seringkali misi organisasinya dirumuskan kurang lebih demikian: untuk meningkat-
kan kesejahteraan masyarakat melalui ... Bila rumusan misinya demikian, maka
semua strategi, kebijakan, dan program-program kerja harus disusun dalam rangka

36 Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari perspektif finansial, karena organisasi


pemerintahan tidak berorientasi profit, maka ukuran kinerjanya jelas bukan profit atau
hasil atas investasi sebagaimana digunakan dalam organisasi bisnis. Namun yang lebih
masuk akal adalah efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber-sumber dana yang ada.
Pengendalian keuangan dengan menerapkan value for money audit sangat diperlukan
untuk menjamin efisiensi dan efektivitas penggunaan dana masyarakat.

Financial

Ta asu es
In rge res
es
e v

itia ts
M ecti

tiv
"To succed financially,

j
Ob
how should we appear to
our shareholders?"

Customer Internal Bussiness Process

Ta asu es

Ta asu es
In get es

In get es
es
Vision

es
"To satisfy our

e v

e v
r r

r r
itia s

itia s
tiv
tiv
"To achieve our vision,

M ecti

M ecti
and shareholders and
j

j
Ob

Ob
how should we appear to customers, what
our customer?" Strategy
bussiness processes
mush we excel at?"

Learning and Growth

Ta as ves
In ets s
es
rg ure
"To achieve our vision,

tiv
M ecti

itia
e
j
how will we sustain our

Ob
ability to change and
improve?"

Source: Kaplan & Norton (1996: 9)

Gambar 3. Kerangka Balanced Scorecard

Yang dimaksud sebagai customer dalam sektor publik adalah masyarakat secara
luas, yang membutuhkan barang dan jasa (termasuk infrastruktur dan fasilitas publik)
yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Indikator-indikator yang dipergunakan untuk mengukur upaya peningkatan kesejah-
teraan adalah: menurunnya tingkat kemiskinan, menurunnya angka kematian sebagai
hasil dari peningkatan layanan kesehatan, meningkatnya tingkat pendidikan masya-
rakat, dll. Loyalitas dan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi pemerintah,
dengan demikian, merupakan tema stratejik (strategic theme) yang harus menjadi
pedoman dalam setiap perumusan kebijakan. Dan ini akan tercapai bilamana: (1) pem-
bangunan dilakukan betul-betul untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, (2) pemerin-
tah melaporkan hasil-hasil pembangunan berikut pengelolaan keuangannya secara
accountable. Bila ini terjadi, maka kesadaran masyarakat untuk membayar pajak
(ataupun retribusi) juga akan meningkat. Dan kredibilitas pemerintah pun akan
terpelihara.
Intisari dari perspektif proses bisnis internal adalah inovasi. Dalam organisasi
bisnis, proses inovasi berkelanjutan (ongoing inovation) diperlukan perusahaan agar
dapat memenangkan persaingan masa depan. Artinya adalah bahwa dalam setiap
rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh organisasi dalam menghasilkan barang dan jasa
harus senantiasa meningkatkan nilai (value) bagi customer. Pada organisasi pemerin-
tahan, pemikiran ini harus diterjemahkan sebagai upaya untuk melakukan peningkatan
kualitas layanan secara berkelanjutan (continuous quality improvement) kepada masya-
rakat. Ini dapat diwujudkan antara lain dalam pemberian layanan publik yang lebih
efisien, praktis dan adil. Upaya-upaya debirokratisasi dan peyampaian informasi seluas-

Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001 37


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

luasnya tentang berbagai layanan publik, dengan demikian, mutlak harus dilakukan.
Pemerintah harus lebih memerankan dirinya sebagai fasilitator ketimbang sebagai
regulator yang kaku.
Berbagai upaya dalam ketiga prspektif sebelumnya, hanya dapat dilakukan oleh
aparat yang mampu merespon perubahan yang sangat cepat. Oleh karenanya, dalam
perspektif keempat, pemberdayaan karyawan (employee empowerment) melalui proses
pembelajaran (learning) yang dilakukan secara terus menerus harus dilakukan untuk
mencapai pertumbuhan yang diinginkan.
Dalam mengimplementasikan pendekatan BSC kedalam sektor publik, ada lima
langkah yang harus dilakukan (Wahyudi, 2000). Pertama, menetapkan suatu pengu-
kuran kinerja yang berorientasi pada hasil yang menyeimbangkan pencapaian target dari
keempat perspektif tersebut. Dalam hal ini diperlukan tiga langkah konkrit: (1) mende-
finisikan atau menentukan pengukuran yang paling berarti bagi stakeholders yang
berfungsi untuk mengarahkan perhatian mereka, (2) penumbuhan komitmen pada
perubahan-perubahan dasar dengan melibatkan berbagai pihak dan menerapkan sistem
yang fleksibel (tidak kaku) serta menentukan arahan yang jelas untuk pelaksanaan,
monitoring, pengukuran dan pelaporannya, (3) memperhatikan fleksibilitas melalui
perhatian bahwa manajemen kinerja adalah proses yang hidup, dan mempertahankan
keseim-bangan antara pengukuran keuangan dan nonkeuangan.
Kedua, menetapkan akuntabilitas pada semua level organisasi. Akuntabilitas
harus dipandang sebagai kunci keberhasilan organisasi, harus menjadi tanggungjawab
setiap individu, dan yang lebih penting harus diwujudkan oleh pimpinan organisasi
melalui contoh/teladan. Langkah ini harus ditopang oleh upaya konkrit untuk: (1)
mensponsori pengukuran kinerja di semua level organisasi dan menggunakannya seba-
gai dasar dalam implementasi sistem pemberian imbalan dan sanksi (reward and
punishment system), (2) menjamin bahwa pegawai menerima informasi yang akurat
melalui saluran informasi dan komunikasi yang efektif dan jelas, dan (3) menjamin
bahwa masyarakat juga mendapatkan informasi yang sama sebagai dasar terciptanya
public accounta-bility.
Ketiga, mengumpulkan, menggunakan, dan menganalisis data yang diperoleh dan
menghu-bungkannya kedalam proses perencanaan stratejik. Data dan informasi yang
harus dikumpulkan meliputi data umpan balik (feedback) dari masyarakat, perubahan
lingkungan makro, dan data kinerja organisasi. Hasil analisis terhadap datadata tersebut
harus pula disampaikan kepada masya-rakat sebagai salah satu stakeholders.
Keempat, menghubungkan hasil analisis data dan informasi di atas kedalam
proses penyusunan program kerja berikut penyusunan anggarannya. Dalam hal ini ha-
rus dapat ditunjukkan dengan jelas bahwa penyusunan program dan anggaran tersebut
adalah dalam rangka mencapai misi organisasi yang telah ditetapkan.
Kelima, membagi peran kepemimpinan. Meskipun pada sektor pemerintahan
diperlukan seorang pemimpin yang kuat, tidak berarti bahwa semua pengambilan kepu-
tusan harus dimonopoli oleh sang pemimpin. Di sini diperlukan desentralisasi dalam
pengambilan keputusan, namun dalam koridor peraturan-perundangan yang ada, yang
sesungguhnya dimaksudkan untuk dapat segera merespon atau memenuhi kebutuhan
masyarakat. Kekhawatiran bahwa bawahan akan melakukan distorsi dalam pengambilan
keputusan (karena menyimpang dari kebijakan) harus dapat dicegah melalui proses
vision and mission sharing serta pemberdayaan (empowerment) yang telah dilakukan.

Penutup
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pendekatan Balanced Scorecard
yang disajikan dalam makalah ini dimaksudkan untuk membuka wawasan dalam
pengembangan pola berpikir stratejik yang diperlukan dalam perencanaan dan penge-
lolaan sektor publik/pemerintahan. Pesan yang disampaikan adalah bahwa perencanaan
dan pelaksanaan program maupun anggaran peme-rintah harus difokuskan pada upaya
untuk mencapai misi organisasi pemerintahan (mission driven), yakni dalam mewujud-
kan kesejahteraan masyarakat.

38 Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001


Nurkholis, Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan

Pendekatan ini menuntut adanya identifikasi dan pengembangan kinerja


organisasi yang lebih komprehensif pada semua level, dan dilakukan secara berimbang
paling tidak ke dalam empat perspektif: finansial, customer, proses bisnis internal, dan
pembelajaran dan pertumbuhan. Ini harus didukung dengan sistem pelaporan
akuntabilitas kepada publik yang dianggap sebagai prasyarat bagi terwujudnya good
governance.

Daftar Referensi
Anthony, R.N. & V. Govindarajan (1995), Management Control Systems, Eight Edition,
Chicago: Irwin
Basri, Faisal H. (2000), Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah, Makalah disampaikan
pada seminar nasional Strategi Bisnis Menghadapi Otonomi Daerah,
diselenggarakan oleh Forum Dewan PWI Malang, 3 Juni
Mulyadi & Johny Setyawan (1999), Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen,
Yogyakarta: Aditya Media.
Kaplan R.S & D.P. Norton (1992) The Balanced Scorecard: Measures that Drive
Performance Harvard Business Review, January-February, pp. 71-79.
Kaplan R.S & D.P. Norton (1996) The Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action,
Boston: Harvard Business School Press.
Lembaga Administrasi Negara (1999), Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), Jakarta: LAN.
Pierce, J.A. & R.B. Robinson, Jr. (1996), Strategic Management: Formulation,
Implementation, and Control, New York: Richard D. Irwin, Inc.
Wahyudi, Ishak A. (2000), Alternatif Proses Pengukuran Kinerja di Sektor Publik,
Pemeriksa, Januari.
Tambunan, Tulus (2000), Langkah-langkah Strategis untuk Meningkatkan Daya Saing
Ekonomi Daerah, Makalah disampaikan pada Kongres ISEI XIV, Makassar: 21-23
April.
Triadji, Bambang (2000), Pengukuran Kinerja dan Tujuan Organisasi Sektor Publik:
Suatu Pemikiran Tentang Pengembangan Akuntansi Sektor Publik, Pemeriksa,
Januari.

Lintasan Ekonomi Volume XVIII, Nomor 1, Januari 2001 39

Anda mungkin juga menyukai