Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang merupakan manifestasi klinis berupa renjatan yang dapat disertai gangguan
kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik neuron di otak. Kejang merupakan suatu kedaruratan neurologi
yang banyak dijumpai di instalasi gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16
tahun pernah mengalami kejang selama hidupnya. Kebanyakan kejang pada anak
diprovokasi oleh salah satunya keadaan ekstrakanial, misalnya demam tinggi, infeksi,
trauma kepala, sinkop, hipoksia, dan toksin.1,2
Kejang dapat sederhana, berhenti sendiri, memerlukan pengobatan lanjutan, atau gejala
awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus. Langkah awal dalam
menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan.
Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya. Tatalaksana kejang
meliputi stabilsasi pasien, identifikasi etiologi, terapi sesuai etiologi, serta pengamatan
lanjutan yang baik.1,2

0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis akibat lepasnya muatan listrik di otak secara
berlebihan akibat kelainan anatomi, fisiologi, biokimia, atau gabungannya. Manifestasi klinis
intermiten khas pada kejang adalah gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik
yang abnormal, kelainan perilaku, dan gangguan sensoris atau otonom.1

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rectal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut ILAE
Consensus statement on febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejang pada bayi atau
anak yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang
dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan
lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.4,8

Tabel 1.1 Membedakan Kejang dan Bukan Kejang dari keadaan klinis (Smith DF, 1998)
Keadaan Kejang Bukan kejang
Onset Tiba-tiba Gradual
Lama serangan Detik-menit Beberapa menit
Kesadaran Sering terganggu Tidak terganggu
Gerakan ekstremitas Sinkron, simetris Asinkron, asimetris
Gerakan abnormal mata Hampir selalu jarang
Dapat diprovokasi Tidak Hampir selalu
Dapat dihentikan Tidak Hampir selalu
Tahanan terhadap gerakan pasif Jarang Selalu
Lidah tergigit atau luka lain Sering Sangat jarang
Pasca serangan: bingung Hampir selalu Tidak pernah
Serangan khas Sering Jarang
Sianosis Sering Jarang
EEG iktal abnormal Selalu Hampir tidak pernah
EEG pasca iktal abnormal Selalu Jarang
Sumber: Pudjiadi, Antonius H. Latief, Abdul. Budiwardhana, Novik. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat.
Jakarta: IDAI. 2011

1
2.2. Epidemiologi
Hampir 5% anak berumur dibawah 16 tahun pernah mengalami kejang paling tidak satu
kali. Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi dalam satu tahun pertama kehidupan, sedangkan
64% kejang terjadi dalam lima tahun pertama. Penderita tertinggi ditempati oleh anak yang
berusia kurang dari tiga tahun. Data epidemiologi menunjukkan sekitar 150.000 anak
mendapatkan kejang dan 30.000 diantaranya berkembang menjadi status epilepsi. Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 ahun. Sekitar 80-90% dari seluruh kejang
pada anak adalah kejang demam. 1,2

2.3. Etiologi

Etiologi kejang pada anak harus diketahui untuk kepentingan diagnosis dan
penatalaksanaan. Penyebab kejang pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi gangguan
neurologik primer dan gangguan sistemik. Gangguan neurologik primer yang menyebabkan
kejang antara lain infeksi intrakranial (meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, empyema),
trauma kepala (perdarahan intrakranial,perdarahan subaraknoid, subdural, intraventrikular),
abnormalitas struktur otak kongenital (focal cortical dysplasia), dan tumor otak. Gangguan
sistemik yang dapat menyebabkan kejang antara lain hipoglikemia, hipoksemia, imbalans
elektrolit (hiponatremia), hipokalsemia, overhidrasi, uremia, ensefalopati hepatik, dan
intoksikasi alkohol, kokain, teofilin).2,9

Semua jenis infeksi diluar sistem saraf pusat yang menimbulkan demam (terutama
diatas 38,5oC) dapat menyebabkan kejang demam. Riwayat kejang demam di keluarga
memiliki peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Penyakit yang paling sering
menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut,
pneumonia, gastroenteritis akut, exantema subitum, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.
Kejadian ikutan paska imunisasi yang menimbulkan demam juga dapat menjadi etiologi
kejang demam.4

2
Kejang

Infeksi non-Infeksi

gangguan
Intrakranial Ekstrakranial
metabolik

kejang
gangguan
meningitis demam
elektrolit
sederhana

kejang
gangguan
ensefalitis demam
kardiovaskular
kompleks

meningoensef
keganasan
alitis

epilepsi

Tabel 1.2 Etiologi Kejang pada Anak

Sumber: Pudjiadi, Antonius H. Latief, Abdul. Budiwardhana, Novik. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta:
IDAI. 2011

Faktor Presipitasi Kejang

Hal-hal yang dapat mencetuskan terjadinya serangan kejang, antara lain:

Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas
Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik
Faktor mental: stres dan gangguan emosi.

3
2.4. Patofisiologi

Aktifitas selular sel neuron membutuhkan glukosa sebagai sumber energi untuk
pertukaran ion natrium dan kalium yang berperan dalam potensial aksi. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K
di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na rendah. Sebaliknya, diluar sel neuron
konsentrasi ion Na tinggi dan ion K rendah. Perbedaan konsentrasi inilah yang menyebabkan
adanya potensial membran sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel
diperlukan energi dan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel .Keseimbangan
potensial membran sel sangat dipengaruhi oleh:

1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.


2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.

4
Pada tingkat seluler, patofisiologi kejang berhubungan dengan terjadinya paroxysmal
depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial pascasinaps yang berlangsung lama (50
ms). Paroxysmal depolarization shift terjadi pelepasan muatan listrik yang berlebihan pada
neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk melepaskan muatan listrik. Hal ini terjadi
disebabkan oleh kemampuan membran sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan,
berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA), atau
meningkatknya eksitassi sinaptik oleh neurotransmitter glutamat dan aspartat melalui jalur
eksitasi yang berulang.1

Pada pasien dengan epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron yang bertindak
sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik, disebut sebahai fokus epileptikus. Sekelompok sel
neuron ini akan merangsang sel di sekitarnya untuk melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini
merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada EEG. Manifestasi kinis
bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pada epilepsi umum, pembentukan
gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses
eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak melalui jaras
kortikoretikular dan talamokortikal. Status epileptikus terjadi akibat proses eksitasi yang
berlebihan dan berlangsung terus-menerus yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak
sempurna.1

Teori lain mengatakan kejang terjadi kerena menurunnya potensial membran sel neuron
akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik, atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan
terlepasnya muatan listrik dari sel neuron tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan peranan
asetilkolin sebagai zat yang menurunkan potensial membran postsinaptik dalam hal terlepasnya
muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul
sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan
muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf
kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak selama tidur. 7

Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin dibandingkan pada otak sehat. Pada tumor
serebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis,
ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari
asetilkolin. Oleh karena itu, pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel saraf.
Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat

5
merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini
merupakan mekanisme kejang fokal yang biasanya simptomatik.7

Pada kejang tonik-klinik atau grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh
nuklei intralaminares talami, yang dikenal sebagai inti centrecephalic. Inti merupakan terminal
dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemsnikal. Input dari korteks
serebri melalui lintasan aferen aspesifik menentukan derajat kesadaran. Jika sama sekali tidak
ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, dimana etiologinya belum diketahui, terjadi
lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan
talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus
menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar
sehingga kesadaran hilang.7

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral
dari mesensefalon dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik
sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang pada otot skeletal yang dikenal sebagai
petit mal.7

Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat gangguan ventilasi, sekresi air
liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, serta peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia
mengakibatkan asidosis, yang selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi ventrikeljantung,
penurunan curah jantung, hipotensi, dan mengganggu fungsi sel dan neuron. Pada status
epileptikus terjadi pengeluaran katekolamin dan perangsangan saraf simpatis yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral. Edema
otak terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, atau hipotensi. Pada kejang yang tidak dapat
teratasi, dapat terjadi hiperpireksia sehingga dapat terjadi mioglobinuria dan peningkatan
kreatin fosfokinase akibat rabdomiolisis.1
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Pada seorang anak yang
berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, sedangkan pada orang
dewasa hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun natrium melalui membran, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke

6
membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga terjadi
kejang. 1

Demam

(kenaikan suhu tubuh 1oC)

Metabolisme kebutuhan O2
basal (10-15%) (20%)

Perubahan keseimbangan
(membran sel neuron)

Difusi melalui membran


(ion K+ -------- ion Na+)

Lepas muatan listrik

Kejang

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang
telah terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40oC. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui
membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat
meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang
kejang rendah. 4

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya
disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan enrgi ontuk kontraksi otot skelet
yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan
meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak. 4

Dari penjelasan diatas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak
pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang

7
mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vascular dan udem
otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa
terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama.
Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.4

2.5. Klasifikasi Kejang

Berdasarkan rekomendasi dari Commision of Classification and Terminology of


International League Against Epilepsi (ILAE) tahun 1981dan tahun 1989, dan rekomendasi
tersebut didiskusikan pada tahun 2010, klasifikasi kejang sebagai berikut:3,8

I. Kejang Parsial (fokal, lokal) berasal dari fokus lokal di otak, dapat melibatkan
sistem sensorik, motorik dan atau otonom.
A. Kejang parsial sederhana; kejang parsial dengan kesadaran tetap normal.
1. Dengan gejala motorik
a. Fokal motorik tidak menjalar : kejang sebatas pada satu bagian tubuh
saja.
b. Fokal motorik menjalar : kejang dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson
c. Versif : kejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
d. Postural : kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
e. Disertai gangguan fonasi : kejang disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.
2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; kejang disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitkan
yang disertai vertigo.
a. Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum
b. Visual: terlihat cahaya
c. Auditoris: terdengar sesuatu
d. Gustatoris: terkecap sesuatu
e. Disertai vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, memberat, piroleksi, dilatasi pupil)
8
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a. Disfasia : gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata,
kata atau bagian kalimat.
b. Demensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah
mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa
melihatnya lagi.
c. Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d. Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e. Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar.
f. Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara
musik, melihat statu fenomena tertentu dan lain-lain.
B. Kejang parsial kompleks; kejang ini disertai gangguan kesadaran.
1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun.
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti menurunya kesadaran
b. Timbul automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku
yang timbul dengan sendirinya, misalnya dengan gerakan
mengunyah-nguyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing
baju, berjalan dan berbicara tak menentu.
2. Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran sejak serangan;
kesadaran menurun sejak permulaan serangan.
a. Hanya dengan penurunan kesadaran
b. Dengan automatisme.
C. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik)
a. Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang
generalisata
b. Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang
generalisata
9
c. Kejang parsial sederhana yang menjadi kejang parsial kompleks lalu
berkembang menjadi kejang generalisata.
II. Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif) melibatkan kedua hemisfer
serebri
A. Kejang lena (Absence atau petit mal)
Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan terhenti, muka tampak
seperti melamun dan pandangan kosong, bola mata dapat memutar ke atas, tidak
ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya serangan ini berlangsung selama 15-30
menit dan biasanya dijumpai pada anak.
a. Hanya penurunan kesadaran
b. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya
dijumpai pada kelompok mata atas, sudut mulut, atau otot-otot
lainnya bilateral.
c. Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak mengulai.
d. Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang
e. Dengan automatisme
f. Dengan komponen autonom
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri atau kombinasi.

Kejang lena tidak khas, dapat disertai:

a. Gangguan tonus yang lebih jelas


b. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
B. Kejang mioklonik
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemas sebagian otot atau semua otot-otot, sesekali atau berulang-ulang.
Kejang ini dapat terjadi pada semua umur.
C. Kejang klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang klojot.
Dijumpai terutama pada anak.

10
D. Kejang tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku, juga terdapat pada anak.
E. Kejang tonik-klonik (Grand mal)
Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang terkenal dengan
nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu kejang. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira 15-30 menit diikuti kejang
klojot di seluruh badan.
Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa kerena hembusan nafas. Mungkin pula pasien miksi
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tertidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, dan nyeri kepala.

F. Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang ini
terutama tejadi pada anak-anak.
III. Kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sementara.
Jenis kejang harus ditentukan setiap kali pasien mengalami serangan karena akan
mempengaruhi pemilihan obat. Tidak jarang ditemukan jenis kejang saat ini berbeda dengan
kejang sebelumnya.1

2.5.1 Epilepsi
Definisi
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti serangan.
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi gejala yang dapat timbul karena penyakit. Epilepsi
ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang
khas, yaitu seragan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara

11
berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-
serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak.

Diagnosis

Pada umumnya, seseorang yang mengalami hanya satu kali serangan kejang tidak akan
diberi terapi epilepsi dahulu. Namun jika dalam waktu satu tahun terjadi lebh dari satu serangan
maka perlu dipertimbangkan untuk mulai dengan obat-obat antiepilepsi. Diagnosis epilepsi
biasanya dapat dibuat dengan cukup pasti dari anamnesis lengkap, terutama mengenai
gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum dan neurologik serta elektroensefaligrafi (EEG).

12
Terapi

Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan mekanisme


kerjanya.
1. Sodium channel blockers : Fenitoin, Fosfenitoin, Oxcarbazepine, Zonisamide,
Clobazam, Fenobarbital, Felbamate, Topiramate.
2. Calsium inhibitors : Fenitoin, Fosfenitoin, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate
3. GABA enhancers : Clobazam, Clonazepam, Fenobarbital, Tiagabine, Vigabatrin,
Gabapentin, Topiramate
4. Glutamate blocker : Lamotrigine, Fenobarbital, Topiramate
5. Carbonic anhydrase inhibitor : Topiramate
6. Hormon
7. Obat-obat lain yang belum diketahui pasti mekanisme kerjanya : Primidine,
Valproate, Levetiracetam.

2.5.2 Kejang Demam

Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal lebih dari 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini menyingkirkan
kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang
pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.

Epidemiologi

Sedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua anak-anak sampai usia
5 tahun, kebanyakan terjadi karena demam. Di Amerika Serikat, kejang demam terjadi pada 2-
5% anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Diantaranya, sekitar 70-75% hanya mengalami kejang
demam sederhana, yang lainnya sekitar 20-25% mengalami kejang demam kompleks, dan

13
sekitar 5% mengalami kejang demam simtomatik. Kejang demam lebih sering terjadi pada
anak laki-laki. Kejang demam tergantung pada usia, dan jarang terjadi sebelum usia 9 bulan
dan setelah usia 5 tahun. Puncak terjadinya kejang demam yaitu pada usia 14 sampai 18 bulan,
dan angka kejadian mencapai 3-4% anak usia dini. Di Indonesia sendiri, kejadian kejang
demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun hampir 2-5%.

Etiologi

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.

Faktor Resiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat kejang
demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan
genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak
dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak mendapat kejang setelah
demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan
riwayat keluarga epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya
gangguan neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga,
lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks.

Klasifikasi Kejang Demam

Klasifikasi kejang demam menurut Livingston:

Kejang demam sederhana


o Kejang bersifat umum
o Lama kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
o Kejang demam pertama terjadi pada usia kurang dari 6 tahun
o Frekuensi serangan kejang 1-4 kali dalam setahun
o Elektroensefalografi normal

Epilepsi yang dicetuskan oleh demam


o Kejang bersifat fokal
o Kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
o Kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 6 tahun

14
o Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun
o Elektroensefalografi setelah anak tidak demam abnormal
Manifestasi Klinik

Anak dengan kejang demam memiliki perkembangan yang baik dan sehat secara
neurologis sebelum dan setelah kejang demam. Serangan kejang pada kejang demam biasanya
berkaitan dengan peningkatan suhu pusat (core temperature) yang tinggi (39C atau lebih) dan
cepat. Umumnyaserangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama timbulnya demam. Sebagian
besar serangan kejang demam berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) dengan sifat
bangkitan kejang berbentuk umum. Umumnya kejang tidak berulang dalam 24 jam.

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh infeksi susunan saraf
pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik
atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.

Bangkitan kejang dapat berupa postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh),
gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama), ataupun kejang fokal.
Saat kejang anak tidak sadar. Selain itu, mata dapat berputar-putar (sehingga hanya sklera yang
terlihat), mulut berbusa, lidah atau pipinya dapat tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,
apnea atau henti nafas, dan kulitnya menjadi kebiruan. Pada fase setelah kejang (fase post-
iktal), anak sadar kembali, namun biasanya tampak kelelahan atau tertidur. Hal ini dapat terjadi
hingga 15 menit atau lebih.

15
2.6. Manifestasi Klinis Kejang Anak
Manifestasi klinis intermiten yang khas pada kejang adalah :

Gangguan atau kehilangan kesadaran

Aktivitias motorik yang abnormal: klonus, mata dan kepala bergerak ke satu sisi, tidak
dapat berbicara

Gangguan sensoris: melihat kilatan cahaya, baal, kesemutan, telinga berdengung,


persepsi rasa atau bau tidak menyenangkan

Gangguan otonom: pucat, keringat, flushing, nyeri epigastrium, dilatasi pupil

Gangguan psikologis: de javu, ansietas, halusinasi, ilusi, iritabilitas

2.7. Diagnosis

2.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang tepat merupakan kunci dalam mendiagnosis dan mentatalaksana


kejang. Anamnesis sebaiknya ditanyakan kepada orang yang telah beberapa kali menyaksikan
kejang yang dialami pasien. Dalam anamnesis yang penting ditanyakan antara lain: 3
1. Deskripsi kejang (fokal atau umum, tubuh kelojotan atau kaku, mata mendelik, durasi,
frekuensi, interval, kesadaran sebelum,selama dan sesudah kejang, apakah kejang
berhenti saat tubuh dipegang, tanda-tanda yang dirasakan sebelum terjadi kejang,
dengan/tanpa demam, kelumpuhan pasca kejang)

2. Anamnesis untuk mencari etiologi kejang : demam, trauma kepala, sesak nafas, batuk,
pilek, diare, muntah, suara tangisan meengking, riwayat ada tidaknya kejang atau
epilepsi, asupan makan, riwayat perdarahan, riwayat trauma, riwayat sakit sejak lahir.
Jika ada epilepsi, apakah minum obat secara teratur atau tidak. Apakah ada kelemahan
atau deficit neurologis

3. Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga.

Pada anamnesis juga harus ditanyakan keadaan saat pre-iktal, iktal, dan pos-iktal:
1. Kejadian pre-iktal
Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan stres,
rangsangan nyeri, dan sebagainya?

16
Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau bauan, melihat
cahaya yang sangat terang, mendengar suara suara, mual, merasa ketakutan dan
sebagainya?
Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak mengkonsumsi
obat obatan tertentu?
Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak sedang demam
sebelum kejang terjadi?
Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu sama seperti
bentuk kejang yang baru saja terjadi?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan mengkonsumsi
obat anti kejang secara teratur?
Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala, beberapa jam
atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berapa lama kejang berlangsung?
Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang terjadi?
Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar atau tidak sadar,
di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post iktal
Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau anak tampak
seperti tidak terjadi apa apa?
Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?

17
2.7..2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Pemeriksaan tanda vital meliputi
denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus diperiksa, karena demam
merupakan penyebab utama kejang pada anak. Pada kepala diperiksa apakah ada kelainan
bentuk, tanda trauma kepala, serta tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher apakah
terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis diperiksa untuk melihat deficit neurologis. Selain
itu diperiksa ada tidaknya penyakit sistemik, paparan zat toksik, dan fokal infeksi. 1,9

2.7.3. Pemeriksaan Penunjang

Penegakan diagnosis kejang ditentukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik


klinis pasien, tetapi pemeriksaan penunjang dapat membantu mempertajam diagnosis kejang
tersebut untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak. Pemeriksaan
penunjang yang dapat di lakukan adalah :
1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna untuk mencari etiologi
dan komplikasi akibat kejang lama. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan
kejang lama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa
protrombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin pada kejang
demam. Jika dicurigai adanya meningitis bakterialis perlu dilakukan pemeriksaan
kultur darah dan kultur cairan serebrospinal. Pemeriksaan polymerase chain reaction
(PCR) terhadap virus herpes simpleks dilakukan pada kasus dengan kecurigaan
ensefalitis.1

18
2. Lumbal pungsi

Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan kesadaran
atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi,
paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus yang tidak didapatkan faktor
pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam setelah
pungsi lumbal yang pertama untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat. Bila
didapatkan kelainan neurologis fokal dan peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan
melakukan pemeriksaan CT Scan kepala terlebih dahulu untuk mencegah risiko
terjadinya herniasi. American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemeriksaan
pungsi lumbal pada serangan kejang pertama dianjurkan pada: 1

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan karena manifestasi klinis
meningitis tidak jelas bahkan tidak ada

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

3. Bayi > 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu pungsi lumbal.

3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang,
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak
usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.4

4. Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang demam sederhana, tapi bisa
dipertimbangkan ketika ada fitur klinis dari gangguan neurologis, misalnya
hemiparese, paresis nervus kranialis, papil edema, mikrosefali atau makrosefali, defisit
neurologis post-iktal bertahan selama lebih dari beberapa jam, atau ketika ada kejang
demam berulang yang kompleks, atau kejang yang dicurigai bukan kejang demam
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif dibandingkan Computed
Tomography (CT-scan) untuk mendeteksi proses intrakranial yang dapat menyebabkan
kejang. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi

19
lobus temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan
adanya lesi ekuivokal pada CT scan.1,4

2.8. Diagnosis Banding


Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa harus segera
menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui apakah yang dialami
seorang anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut adalah beberapa kondisi
pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai kejang :
1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita tahu
jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya terjadi pada
siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang terjadi secara tiba
tiba, kapan saja, dan dimana saja.
2. Breath holding spells
Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak anak,
biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells terjadi pada 5%
anak anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe dari Breath holding
spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell dan pallid spell. Pada
cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan menahan napas, sianosis, rigiditas
otot dan pincang, serta seringkali disertai dengan gerakan seperti kejang pada
ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri, diikuti dengan penderita
tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering
diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.
4. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang abnormal
dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi. Tics adalah
gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh manapun. Tics
muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan kemunculannya.
Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang berlangsung selama
beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas normal. Distonia akut ditandai
dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara involunter dengan postur yang
abnormal dan wajah yang meringis.

20
5. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal
movement disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang sebenarnya
dan sering terjadi pada anak anak dengan riwayat epilepsi.
6. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat karaterisktik
perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia sebelum masuk
sekolah. Anak tiba tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan menangis, berteriak
dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya dan tidak dapat mengingat
kejadian tersebut. Sleepwalking atau somnabulisme dapat ditemukan pada anak usia
sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan tanpa tujuan dan disertai dengan
pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan
pada anak usia remaja dengan perubahan kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan.
Narcolepsy sering disertai dengan katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot secara tiba
tiba

2.9. Tatalaksana
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila kejang tidak
berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung lama. Status epileptikus (SE)
adalah kejang lama lebih dari 30 menit atau kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara
kejang. Terdapat dua jenis status epileptikus, yaitu SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan
tonik klonik umum) dan SE non-konvulsif (absans dan parsial kompleks). Tujuan tata laksana
kejang tonik klonik umum lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah
terjadinya status epileptikus. Langkah-langkah penanganan kejang meliputi:1,6

21
Gambar Algoritma Tatalaksana Kejang

Sumber: Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. 2015

Cara pemberian obat antikonvulsan pada tatalaksana kejang akut: 6

Diazepam
- Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg, dapat diberikan 2 kali
dengan interval 5-10 menit.
- Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian 10 mg dengan
kecepatan maksimum 2 mg/menit, dapat diberikan 2-3 kalidengan interval 5
menit.
Fenitoin
- Dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kgBB).
- Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9%, 10 mg/1 cc NaCL 0,9%.
- Kecepatan pemberian IV : 1mg/kg/menit, maksimum 50 mg/menit.

22
- Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung dextrose, karena akan
menggumpal.
- Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian.
- Dosis rumat : 12-24 jam setelah dosis inisial.
- Efek samping : aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada pemberian IV
yang terlalu cepat.
Fenobarbital
- Merupakan antikonvulsan long-acting
- Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV
- Dosis inisial maksimum 1000 mg (30 mg/kgBB)
- Kecepatan pemberian 1 mg/kg/menit, maksium 100 mg/menit.
- Dosis rumat : 12-24 jam setelah dosis inisial. 6

Protokol penggunaan midazolam pada kejang refrakter:

Rawat di ICU, intubasi dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2 mg/kg (perlahan),
kemudian drip 0,02-0,4 mg/kg/jam. Rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan.
Dosis midazolam diturunkan jika terdapat gangguan kardiovaskuler. Infus midazolam
diturunkan secara bertahap jika dalam 12 jam tidak tedapat kejang. 6

Tata laksana umum:

Pemantauan tekanan darah/laju napas/laju nadi/suhu/EKG


Pemantauan tekanan intrakranial : kesadaran, Dolls eye movement, pupil, pola
pernapasan dan edema papil.
Analasis gas darah, darah tepi, pembekuan darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal, bila
dijumpai kelainan lakukan koreksi.
Balans cairan input-output
Tata laksana etiologi
Edema serebri dapat diberikan manitol 0,5-1,0 gram/kgBB/8 jam.6

Pengobatan jangka panjang


Pengobatan pada pasien yang mengalami kejang simptomatik akut ditujukan pada
faktor penyebab. Apabila faktor penyebab dapat segera diobati, maka tidak diperlukan
pemberian obat anti epilepsi (OAE) jangka panjang. Risiko berulangnya kejang terjadi
dalam satu tahun pertama, khususnya dalam tiga bulan pertama. Bila selama tiga bulan

23
pertama tanpa pengobatan tidak didapatkan kejang, maka pasien tidak memerlukan
pengobatan jangka panjang.1
Pengobatan selalu dimulai dengan satu jenis obat (monoterapi). Dosis dinaikkan
dengan titrasi sampai tercapai konsentrasi terapeutik serum atau dosis terapeutik. Jika
dengan dosis maksimal kejang masih tidak terkontrol, pertimbangkan kombinasi terapi
dengan OAE lainnya. Jika kejang terkontrol, pertimbangkan penurunan dosis OAE
yang pertama kali diberikan. Tidak ada satu jenis OAE yang merupakan pilihan utama
untuk semua jenis epilepsi. Beberapa OAE lebih efektif untuk jenis kejang tertentu atau
sindrom tertentu. Saat ini pengobatan jangka panjang yang dianjurkan adalah selama
dua atau tiga tahun setelah kejang yang terakhir.1

Tatalaksana Kejang Demam

Antipiretik
o Antipiretik tidak mencegah kejang demam. Penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam pencegahan berulangnya kejang demam antara pemberian
asetaminofen setiap 4 jam dengan pemberian asetaminofen secara sporadis.
Demikian pula dengan ibuprofen.
o Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali 4x sehari tidak boleh > 5 kali per hari.
o Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali 3-4 kali/hari.4
Pengobatan rumatan
o Indikasi pemberian pengobatan rumatan :

1. Kejang lama >15 menit


2. Ada kelainan neurologis sebelum atau setelah kejang, mislnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus
3. Kejang fokal
4. Kejang berulang dalam waktu 24 jam
5. Terjadi pada bayi < 12 bulan
6. Kejang demam terulang 4x dalam setahun

o Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan Fenitoin lanjutkan
rumatan dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis. Fenitoin
tidak digunakan sebagai terapi rumatan pada kejang demam.

24
o Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan Fenobarbital,
lanjutkan rumatan dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis.
o Asam valproat 15 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis, setiap hari efektif
menurunkan risiko berulangnya kejang
o Lama pengobatan rumatan: diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.4
Efek Samping Obat

o Fenobarbital berupa ruam kulit dan diskrasia darah (jarang). Kadang-kadang


terdapat mual, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Akibat pemberian
kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan, gangguan
intelektual, penyakit tulang metabolik dan gangguan jaringan ikat.

o Fenitoin memiliki banyak efek samping, seperti ruam, sindrom Steven-Johnson,


limfadenopati, penyakit seperti lupus, hiperplasia gusi, hirsutisme, anemia
megaloblastik, polineuropati dan rakitis (terutama pada politerapi).
o Diazepam : hipotensi, respiratory distress
o Efek samping dari asam valproat pada anak < 2 tahun, bisa menyebabkan
gangguan fungsi hati.

2.10. Prognosis

Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.


Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis
pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang
lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.4

Kemungkinan mengalami kematian

Kematian karena kejang demamtidak pernah dilaporkan. 4

Kemungkinan mengalami kejang berulang

Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam adalah: 4

25
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia < 12 bulan saat kejang demam pertama
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang seteah demam
- Riwayat demam yang sering
- Kejang pertama adalah complex febrile seizure

Risiko berulangnya kejang demam adalah 10% tanpa faktor risiko, 25% dengan 1 faktor
risiko, 50% dengan 2 faktor risiko, dan dapat mencapai 100% dengan 3 faktor risiko.
Dan kemungkinan terjadinya epilepsy pada anak dengan factor resiko diatas adalah
>9% bila dibandingkan dengan 1% anak dengan kejang demam tanpa factor resiko.2

Faktor risiko terjadinya epilepsi

Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :

- Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam


pertama.
- Kejang demam kompleks
- Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-
6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.4

2.11. Edukasi Kepada Orang Tua


- Meyakinkan bahwa kejang umumnya memiliki prognosis baik, kembali pada keadaan
pasien

- Memberi tahu tatacara penanganan kejang ketika di rumah prehospital

- Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali; biasanya pada pasien kejang


demam

- Menjelaskan tentang sebab dan akibat dari kejang

- Mejelaskan efek samping terapi kejang.4

26
Bila kejang terjadi kembali :

- Tetap tenang dan tidak panik pada setiap kejang

- Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

- Bila sadar, posisikan terlentang dan kepala miring yang bertujuan agar lidah tidak
terjatuh ke belakang dan menghambat jalan nafas serta tidak tersedak oleh ludah pasien
sendiri.

- Jika pasien menggigit lidahnya sendiri, tidak diperbolehkan memasukkan apapun


kedalam mulut pasien karena akan mengakibatkan kerusakan, obstruksi, dan tersedak

- Bersihkan jalan nafas untuk mencegah adanya sumbatan yang menghambat jalan nafas

- Ukur suhu, observasi dan catat lama, dan bentuk kejang

- Tetap bersama pasien selama kejang

- Berikan diazepam rektal dan jangan berikan jika kejang berhenti

- Bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang terjadi tanpa dibatasi oleh waktu.4

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja. Kejang. Dalam: Pudjiadi, Antonius H. Latief,


Abdul. Budiwardhana, Novik. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta: Unit Kerja
Pediatri Gawat Darurat IDAI. 2011
2. Johnston, Michael V. Nelson Textbook of Pediatrics : Seizure in Childhooh, Febrile
Seizure. 18th edition. Saunders Elsevier Inc, Philadelphia. 2007.
3. Rudzinski, Leslie A. Jerry J. The Classification of Seizures and Epilepsy Syndromes.
Emory University School of Medicine, Mayo Clinic Florida. U.S.A. 2011.
4. Pusponegoro, Hardiono D, Widodo, Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
penatalaksanaan kejang. IDAI. Jakarta. 2006.
st
5. Gram L, Dam M. Epilepsy explained. 1 edition. Munksgaard, Copenhagen, 1995.
6. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. 2015.
7. Shorvon S. Status epilepticus. Program and abstracts of the 17th World Congress of
Neurology; June 17-22, 2001; London, UK. J Neurol Sci. 2001;187(suppl 1):S213
8. International League Against Epilepsy (ILAE). Seizure Classification.
http://www.ilae.org. 2015
9. Waite, Shelley R. Pediatric First Seizure. emedicine.medscape.com. 2015

28

Anda mungkin juga menyukai