Anda di halaman 1dari 109

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN COLLABORATIVE TEAMWORK

LEARNING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS


DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN SISWA

(Skripsi)

Oleh
TIARA NOVI ANGGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRAK

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN COLLABORATIVE TEAMWORK


LEARNING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS
DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN SISWA

Oleh

Tiara Novi Anggi, Undang Rosidin, Ismu Wahyudi

Pembelajaran fisika yang dilaksanakan belum memfasilitasi siswa untuk


mengembangkan keterampilan proses sains, sehingga perlu diterapkan model
collaborative teamwork learning yang memberikan peluang kepada siswa untuk
terlibat aktif selama proses pembelajaran dengan mempertimbangkan tipe
kepribadian siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
keterampilan proses sains pada ragam tipe kepribadian, yaitu sanguinis, koleris,
melankolis, dan phlegmatis dalam pembelajaran menggunakan model
collaborative teamwork learning. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X
MIPA 5 SMA Negeri 1 Sidomulyo yang terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 28
siswa perempuan. Sampel diambil dengan latar belakang memiliki empat tipe
kepribadian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan
eksperimen komparatif. Teknik pengumpulan data keterampilan proses sains
menggunakan observasi dan tipe kepribadian siswa menggunakan angket. Data
dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan Kruskal Wallis. Hasil angket tes
profil kepribadian diperoleh 15 siswa sanguinis, 10 siswa koleris, 5 siswa
melankolis, dan 20 siswa phlegmatis. Hasil penelitian menunjukkan (1) Terdapat
pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan model collaborative teamwork
learning terhadap keterampilan proses sains siswa pada tipe kepribadian
sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis, ditunjukkan dengan nilai sig.
sebesar 0,03. (2) Terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara keempat
tipe kepribadian, yaitu phlegmatis dan sanguinis; phlegmatis dan koleris;
phlegmatis dan melankolis. Siswa yang bertipe kepribadian sanguinis, koleris dan
melankolis lebih tinggi keterampilan proses sainsnya dibandingkan dengan siswa
yang bertipe kepribadian phlegmatis. Sedangkan sanguinis dan koleris; sanguinis
dan melankolis memperoleh nilai rata-rata keterampilan proses sains yang
berbeda, namun tidak berbeda secara signifikan. Sementara siswa koleris dan
melankolis memiliki nilai keterampilan proses sains yang sama atau tidak ada
perbedaan yang signifikan, hal ini disebabkan siswa koleris dan melankolis ini
berorientasi target dan merinci selama proses pembelajaran berlangsung.

Kata Kunci: collaborative teamwork learning, keterampilan proses sains, tipe


kepribadian
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN COLLABORATIVE TEAMWORK
LEARNING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS
DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN SISWA

Oleh

Tiara Novi Anggi

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Fisika


Jurusan Pendidikan Matematika Ilmu Pengetahuan Alam
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2017
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Datarajan, pada tanggal 29 November 1995, anak pertama

dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sriyamto, S.Pd.SD. dan Ibu Tri Nuryati.

Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 1 Datarajan, Tanggamus

sampai kelas 4, kemudian penulis pindah sekolah pada saat kelas 5 ke SD Negeri

2 Talang Baru, Sidomulyo, Lampung Selatan yang diselesaikan pada Tahun 2007,

kemudian melanjutkan di SMP Negeri 2 Sidomulyo, Lampung Selatan yang

diselesaikan pada Tahun 2010, dan masuk SMA Negeri 1 Sidomulyo, Lampung

Selatan yang diselesaikan pada Tahun 2013. Pada tahun yang sama, penulis

diterima di Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tertulis.

Selama menempuh pendidikan di Pendidikan Fisika, penulis pernah menjadi

Asisten Mata Kuliah Sejarah Perkembangan Fisika dan Metodologi Penelitian

pada tahun 2016/2017.

Pengalaman berorganisasi penulis yaitu pernah menjadi Eksakta Muda Divisi

Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Eksakta (Himasakta), dan

Anggota Aliansi Mahasiswa Pendidikan Fisika (ALMAFIKA).


Pada tahun 2016, penulis melaksanakan Program Kuliah Kerja Nyata (KKN)-

Praktik Profesi Kependidikan (PPK) di SMA IT Smart Insani, Yukum Jaya,

Kabupaten Lampung Tengah.

viii
MOTTO

Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada (berlipat) kemudahan. Sesungguhnya bersama

kesulitan ada kemudahan

(Q.S. Al-Insyirah: 5-6)

Sederhanalah dalam hidup untuk menjadi istimewa


(Tiara Novi Anggi)
PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan limpahan rahmat dan

karunia-Nya. Persembahkan karya tulis ini sebagai tanda bakti dan kasih cinta

yang tulus dan mendalam kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Sriyamto, S.Pd.SD. dan Mamak Tri Nuryati

yang selalu menjadi motivator terbaik untuk anak-anaknya, terima kasih

untuk doa dan kasih sayang yang tiada henti.

2. Adik-adik sholehah Nurul Khotimah dan Indah Ramadhana, terima kasih

telah menjadi bagian dari semangatku.

3. Almamater tercinta Universitas Lampung.


SANWACANA

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Model
Collaborative Teamwork Learning terhadap Keterampilan Proses Sains Ditinjau
dari Tipe Kepribadian Siswa. Penulis menyadari bahwa terdapat banyak bantuan
dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA.

3. Bapak Drs. Eko Suyanto, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Fisika.

4. Bapak Dr. Undang Rosidin, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik dan

Pembimbing I, atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan, arahan, dan

motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

5. Bapak Ismu Wahyudi, S.Pd., M.PFis., selaku Pembimbing II yang banyak

memberikan masukan dan kritik yang bersifat positif dan membangun, serta

atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada

penulis selama menyelesaikan skripsi.

6. Bapak Drs. Feriansyah Sesunan, M.Pd., selaku Pembahas atas kesediaan dan

keikhlasannya memberikan bimbingan, saran dan kritik kepada penulis dalam

proses penyusunan skripsi ini.


7. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Program Studi Pendidikan Fisika dan Jurusan

Pendidikan MIPA.

8. Bapak Hidayatullah, M.Pd., selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Sidomulyo

beserta jajaran yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di

sekolah.

9. Ibu Hestiwening R.P., S.Pd., selaku Guru Mitra dan siswa-siswi kelas X

MIPA 5 SMA Negeri 1 Sidomulyo atas bantuan dan kerjasamanya selama

penelitian berlangsung.

10. Teman seperjuangan Pendidikan Fisika 2013 terimakasih untuk kebersamaan,

kekompakannya, dukungannya dan motivasinya.

11. Sahabat physic, Adella Emrisena, Yunita Nuralinda, Yulia Dewi Prastika,

Intan Puspita Sari dan Rofianan Rachmad, terima kasih telah memberikan

motivasi, semangat, dan dukungannya yang tidak pernah putus.

12. Sahabat SMP dan SMA, Vina, Anti, Afifah, Anis, Lusi, Meta, Lita, Weni, Ali,

Chandra, Haryadi, Rudi dan lain-lain yang selalu memberikan motivasi dan

semangat untuk proses penyusunan skripsi.

13. Sahabat Ulubelu, Muhamad Angsory, Novista Aditya, Maratus Shalihah,

Rahma Fardiana, Septi Laviani Hafifah, Permata Diah Pratiwi dan lain lain

yang selalu memberikan semangat dan inspirasi dalam proses pendidikan.

14. Kakak-kakakku, Anto, Mustofa, Is, Yoga, Fajar, Muji, Roji, Reza, dan Rio

yang selalu memberikan motivasi dan semangat untuk proses penyusunan

skripsi.

xii
15. Mbak-mbakku, Crisna Kurniasih, Diana Anjar Sari, Dwi Safitri, Ririn, Mia,

yang telah memberikan motivasi dan semangat untuk proses penyusunan

skripsi.

16. Adik-adikku, Devi Safitri, Zuly Ayu Safitri, Putri, Topik, Okta, Indah Naylul

Karomah, Siti Kutsiah, Fatir, Toni, Dela Adeliana, dan Agis, terima kasih atas

semangat dan dukungannya.

17. Kepada rekan-rekan kosan Ria Guslimawati, Upi Darmayana, Sri Utami, Desi,

Okta, Eka, dan Novi, terima kasih atas semangat dan dukungannya.

18. Rekan-rekan mahasiswa KKN-PPK periode kedua Universitas Lampung

tahun 2016 di KecamatanTerbanggi Besar, dan khususnya rekan-rekan KKN-

PPK di SMA IT Smart Insani Kelurahan Yukum Jaya, Desi Wulandari, Putri

Aulia Sani, Amelia Indah Safitri, Dini Andriani, Dwi Maisaroh, Umi

Nurkhasanah, Yolanda Pratiwi, Restu Dwi Fitria dan Rio Aringga.

19. Yoga Citra Angga Saputra yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan

dukungan untuk mencapai keberhasilan dalam proses kehidupan.

20. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Penulis berdoa semoga semua amal dan bantuan mendapat pahala serta balasan

dari Allah SWT dan semoga skripsi ini bermanfaat. Aamiin.

Bandar Lampung, Oktober 2017


Penulis,

Tiara Novi Anggi

xiii
DAFTAR ISI

Halaman
COVER LUAR .............................................................................................. i
ABSTRAK ..................................................................................................... ii
COVER DALAM .......................................................................................... iii
MENYETUJUI ............................................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... v
SURAT PERNYATAAN .............................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii
MOTTO ......................................................................................................... ix
PERSEMBAHAN .......................................................................................... x
SANWACANA .............................................................................................. xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xviii

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
E. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 5

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Kerangka Teori ................................................................................. 7
1. Model Pembelajaran...................................................................... 7
2. Model Pembelajaran Collaborative Teamwork Learning ............ 8
3. Keterampilan Proses Sains ............................................................ 14
4. Kepribadian ................................................................................... 19
B. Kerangka Pikir .................................................................................. 25
C. Anggapan Dasar ................................................................................ 27
D. Hipotesis ........................................................................................... 28

III. METODE PENELITIAN


A. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................ 29
B. Desain Penelitian .............................................................................. 29
C. Variabel Penelitian ............................................................................ 30
D. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ....................................................... 30
E. Instrumen Penelitian ......................................................................... 32
F. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 32
G. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ................................. 34
1. Analisis Data ................................................................................. 34
2. Pengujian Hipotesis....................................................................... 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian................................................................................. 39
B. Pembahasan ...................................................................................... 52

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ....................................................................................... 87
B. Saran ................................................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 89

LAMPIRAN 92

xv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Keterampilan melalui Pendekatan Keterampilan Proses ........................ 17


2. Tipe Tempramen Dikaitkan dengan Tipe Postur Tubuh......................... 23
3. Tipe Kepribadian (Tempramen) Menurut Galenus ................................ 23
4. Kategori Nilai Persentase Keterampilan Proses Sains ............................ 34
5. Data Tipe Kepribadian Siswa ................................................................. 45
6. Data Keterampulan Proses Sains Siswa.................................................. 46
7. Persentase Nilai Keterampilan Proses Sains ........................................... 47
8. Deskripsi Nilai Keterampilan Proses Sains ............................................ 47
9. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk ......................................................... 49
10. Hasil Uji Beda Kruskal Wallis Data Keterampilan Proses Sains ........... 50
11. Hasil Uji Beda antara Tipe Kepribadian Siswa ...................................... 51
12. Pencapaian KPS Berdasarkan Tipe Kepribadian .................................... 58

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan Kerangka Pemikiran ................................................................... 27


2. Rata-rata KPS Berdasarkan Tipe Kepribadian ....................................... 57

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Silabus....................................................................................................... 92
2. RPP Collaborative Teamwork Learning 1................................................ 96
3. RPP Collaborative Teamwork Learning 2................................................ 107
4. RPP Collaborative Teamwork Learning 3................................................ 118
5. Lembar Profil Tes Kepribadian Littauer................................................... 131
6. Definisi Kata Tes Kepribadian.................................................................. 133
7. Lembar penilaian Profil Kepribadian ....................................................... 145
8. Kisi-Kisi Pedoman Observasi KPS........................................................... 147
9. Pedoman Observasi KPS .......................................................................... 148
10. Rubrik Pedoman Observasi KPS .............................................................. 150
11. Data Jumlah Pilihan Tipe Kepribadian ..................................................... 153
12. Data Penggolongan Tipe Kepribadian ...................................................... 155
13. Data Nilai Observasi KPS......................................................................... 158
14. Data Pengelompokkan KPS berdasarkan Tipe Kepribadian..................... 161
15. Uji Normalitas........................................................................................... 163
16. Uji Kruskal Wallis..................................................................................... 164
17. Surat Balasan Penelitian ........................................................................... 165

xviii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Fisika merupakan salah satu cabang ilmu sains yang berperan penting dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan. Pembelajaran

fisika tidak hanya dilihat dari hasil yang dicapai siswa melainkan dari

prosesnya juga. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi, maka proses pembelajaran fisika perlu ditingkatkan (Wirtha dan

Rapi, 2008).

Tujuan diterapkannya pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran

adalah untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, efektif, dan

efisien (Gunawan, 2012: 224). Keterampilan proses memberikan peluang

kepada siswa untuk terlibat aktif selama proses pembelajaran. Melatihkan

keterampilan proses melalui eksperimen dalam pembelajaran akan

menjadikan siswa lebih mudah merima, memahami, mengingat materi yang

dipelajari dalam waktu yang relatif lama.

Pada prakteknya di lapangan, kegiatan pembelajaran fisika yang dilaksanakan

belum bisa memfasilitasi siswa untuk mengembangkan keterampilan proses

sainsnya. Hal ini dikarenakan guru masih menggunakan metode ceramah

dalam penyampaian materi pembelajaran (Zulaeha dkk., 2014). Sehingga


2

siswa cenderung menghafal konsep yang tidak berdasarkan pengalamannya

sendiri atau tidak melalui penyelidikan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu diterapkan sebuah model

pembelajaran yang mampu mengoptimalkan kegiatan pembelajaran , yaitu

model pembelajaran collaborative teamwork learning. Collaborative

teamwork learning merupakan suatu model pembelajaran yang memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengoptimalkan kemampuan bekerja secara

kolaboratif dalam suatu tim (Laksmi, 2013). Pembelajaran secara kolaboratif

dapat melatihkan pada diri siswa untuk memiliki rasa saling ketergantungan

yang positif dalam proses belajar dan pemecahan masalah sehingga mereka

saling bekerja sama. Umumnya siswa akan lebih mudah memahami suatu

konsep apabila mereka dapat bertukar pikiran dengan teman sebangku

ataupun dengan tim mereka. Semua aktivitas dalam tim kolaboratif dapat

dirundingkan dan diorganisasikan sendiri oleh siswa.

Pembelajaran collaborative teamwork learning juga memberikan kesempatan

kepada siswa untuk menyumbangkan informasi, pendapat, pengalaman serta

keterampilan yang dimiliki siswa sehingga secara bersama-sama mereka

dapat mengembangkan keterampilan proses sains. Menurut Sudarman (2008),

pembelajaran kolaboratif adalah proses belajar kelompok yang setiap anggota

menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan,

dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling

mengembangkan keterampilan proses sains seluruh anggota.


3

Keterampilan proses sains siswa juga dipengaruhi oleh faktor yang terdapat

dalam diri siswa yang disebut dengan faktor internal. Salah satu faktor

internal yang mempengaruhi proses belajar siswa adalah ciri khas/

karakteristik siswa (Aunurrahman, 2012: 178). Ciri khas/krakteristik pada diri

seseorang yang terbentuk melalui lingkungan, misal keluarga pada masa

kecil, interaksi individu dengan individu, interaksi individu dengan

lingkungan yang akan menentukan pola tingkah laku disebut kepribadian.

Kepribadian siswa dibedakan menjadi empat, yaitu kepribadian sanguinis,

kepribadian melankolis, kepribadian koleris, dan kepribadian plegmatis

(Littauer, 1996: 22-27).

Kepribadian sanguinis, siswa cenderung memiliki sifat yang emosional dan

demonstratif, optimistis, suka berbicara dan rasa ingin tahu yang tinggi.

Kepribadian melankolis, siswa cenderung memiliki sifat yang serius, tekun,

gigih, cermat, analitis, perfeksionis, dan pesimis. Kepribadian koleris, siswa

cenderung memiliki sifat kepemimpinan, aktif, tegas, tidak mudah emosional,

yakin, dan bergerak cepat dalam bertindak. Kepribadian plegmatis, siswa

cenderung memiliki sifat kepribadian yang rendah hati, santai, diam, tenang,

emosinya disembunyikan, damai, tidak tergesa-gesa, dan sebagai pendengar

yang baik.

Faktanya, masih banyak guru mengajar tanpa memperhatikan

kepribadian/karakteristik siswa (Yuwono, 2010: 21). Sehingga siswa merasa

sulit dan bosan dalam belajar fisika tanpa guru menyadarinya. Dengan

demikian, perlu adanya pemahaman dari guru untuk memperhatikan dan


4

mengenal kepribadian siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Berdasarkan

uraian yang telah dikemukakan, maka dilakukan penelitian yang berjudul

Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Teamwork Learning terhadap

Keterampilan Proses Sains ditinjau dari Tipe Kepribadian Siswa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat pengaruh model collaborative teamwork learning

terhadap keterampilan proses sains siswa pada tipe kepribadian sanguinis,

koleris, melankolis dan phlegmatis.

2. Bagaimanakah perbandingan keterampilan proses sains pada tipe

kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis dalam

pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork learning?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui:

1. Pengaruh model collaborative teamwork learning terhadap keterampilan

proses sains siswa pada tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis

dan phlegmatis.

2. Perbandingan keterampilan proses sains pada tipe kepribadian sanguinis,

koleris, melankolis, dan phlegmatis dalam pembelajaran menggunakan

model collaborative teamwork learning.


5

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan menjadi pengalaman

baru bagi guru dalam menyajikan materi pembelajaran melalui model

pembelajaran collaborative teamwork learning dan pemahaman guru

terhadap tipe kepribadian siswa yang diterapkan di kelas untuk meningkatkan

keterampilan proses sains siswa.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian atau batasan dalam penelitian ini meliputi beberapa

hal, yaitu:

1. Pengaruh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ada atau tidak

adanya pengaruh model pembelajaran collaborative teamwork learning

terhadap keterampilan proses sains pada tipe kepribadian sanguinis,

koleris, melankolis dan phegmatis.

2. Perbandingan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ada atau tidak

adanya perbedaan keterampilan proses sains pada tipe kepribadian siswa

dalam pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork

learning.

3. Rubrik penilaian keterampilan proses sains memuat delapan keterampilan,

yaitu mengamati, merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan,

melakukan percobaan, menginterpretasi data, memprediksi, menerapkan

konsep, dan berkomunikasi. Rubrik penilaian yang digunakan rubrik


6

penilaian keterampilan proses sains yang telah dikembangkan oleh Mike

Anita Putri, dkk. (2014).

4. Tipe kepribadian siswa yang dimaksudkan adalah kepribadian sanguinis,

koleris, melankolis, dan phlegmatis. Tes profil kepribadian yang

digunakan dalam buku Florence Littaeuer yang berjudul Personality Plus.

5. Materi pokok dalam penelitian ini adalah hukum Newton tentang

gravitasi kelas X K.D. 3.8 sesuai yang tercantum dalam silabus kurikulum

2013.

6. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X MIPA 5 SMA Negeri 1

Sidomulyo tahun pelajaran 2016/2017.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Model Pembelajaran

Trianto (2012: 53), menyatakan bahwa:

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan


prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai
pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran.

Lebih lanjut menurut Dahlan (2014), menjelaskan bahwa:

Model pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan


ajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan
pelajaran, baik secara individu maupun secara kelompok.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, model pembelajaran adalah suatu

rencana yang digunakan sebagai pedoman oleh guru dalam merencanakan

dan melaksanakan pembelajaran di kelas untuk mencapai tujuan belajar

dan menentukan perangkat-perangkat pembelajaran.

Menurut Fathurrohman (2015: 197-198), ciri-ciri model pembelajaran

yang baik adalah sebagai berikut:

a. Adanya keterlibatan intelektual-emosional peserta didik melalui


kegiatan mengalami, menganalisis, berbuat, dan pembentukan
sikap.
b. Adanya keikutsertaan peserta didik secara aktif dan kreatif selama
pelaksanaan model pembelajaran.
8

c. Guru bertindak sebagai fasilitator, koordinator, mediator, dan


motivator kegiatan belajar peserta didik.
d. Penggunaan berbagai metode, alat, dan media pembelajaran.

Model pembelajaran yang baik apabila memenuhi ciri-ciri/kriteria tersebut.

Model pembelajaran yang baik menerapkan berbagai metode, alat, dan

media pembelajaran. Keterlibatan siswa secara aktif dan kreatif selama

proses belajar berlangsung. Kemudian keterlibatan siswa secara

intelektual-emosional melalui kegiatan mengalami, menganalisis,

melakukan, dan pembentukan sikap. Dengan demikian, guru berperan

sebagai fasilitator, koordinator, mediator, dan motivator selama proses

belajar. Model pembelajaran yang diterapkan juga didasarkan pada

rasional teoritis yang kuat, praktis yaitu telah diuji oleh para ahli dan

praktisi bahwa model layak diterapkan, efektif, yaitu pengembangan

model berdasarkan pengalaman.

2. Model Pembelajaran Collaborative Teamwork Learning

Rosidin (2011: 8), mengatakan bahwa:

Collaborative Teamwork Learning merupakan model pembelajaran


yang melibatkan siswa bekerja secara kolaboratif dalam tim untuk
menyelesaikan masalah, sehingga siswa dapat memahami materi
secara individual.

Kemudian Laksmi (2013: 3), berpendapat bahwa:

Model collaborative teamwork learning merupakan suatu model


pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengoptimalkan kemampuan bekerja secara kolaboratif dalam
suatu tim.

Lebih lanjut Jiwa (2013: 3), menjelaskan bahwa:

Collaborative teamwork learning adalah suatu model pembelajaran


yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan
bekerja secara kolaboratif dalam tim. Model collaborative
9

teamwork learning mengacu pada model pengajaran di mana siswa


bekerja bersama dengan satu tim yang saling membantu dalam
belajar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas model pembelajaran collaborative

teamwork learning adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa

untuk bekerja secara kolaboratif dalam tim untuk menyelesaikan masalah

meskipun berbeda intelektual dan dapat mengembangkan kemampuan

yang dimilikinya. Bekerja secara kolaboratif yakni bekerja sama dengan

orang lain dan berfokus pada berbagai kelebihan yang bersifat kognitif

yang muncul dengan adanya interaksi yang akrab pada saat bekerja sama.

Model pembelajaran memiliki karakteristik. Karakteristik utama belajar


kolaboratif menurut Pannen, dkk. (2005: 67), yakni:
a. Mahasiswa belajar dalam satu kelompok dan memiliki rasa
saling ketergantungan (interdependen) dalam proses belajar;
penyelesaian tugas kelompok mengharuskan semua anggota
kelompok bekerja bersama;
b. Interaksi intensif secara tatap muka atau dimediasikan antar
anggota kelompok;
c. Masing-masing mahasiswa bertanggung jawab terhadap tugas
yang telah disepakati;
d. Siswa harus belajar dan memiliki keterampilan komunikasi
interpersonal.

Model pembelajaran kolaboratif memiliki 4 karakteristik. Keempat

karakteristik model pembelajaran kolaboratif, yakni (1) keterlibatan siswa

belajar dalam satu kelompok dan memiliki rasa saling ketergantungan

untuk penyelesaian tugas kelompok melalui bekerja sama, (2) berinteraksi

intensif antar individual secara tatap muka dalam kelompok, (3) setiap

siswa memiliki tanggungjawab terhadap tugas yang disepakati, dan (4)

siswa harus belajar dan memiliki keterampilan dalam berkomunikasi antar

anggota kelompok. Selain itu, lingkungan belajar secara kolaboratif


10

meliputi terlibatnya siswa dalam ajang pertukaran gagasan dan informasi,

memungkinkan siswa mengeksplorasi gagasan dan mencobakan berbagai

pendekatan dalam pengerjaan tugas, menata ulang kurikulum serta

menyesuaikan keadaan sekitar dan suasana kelas untuk mendukung kerja

kelompok, menyediakan cukup waktu, ruang, dan sumber untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan belajar bersama, dan menyediakan

sebanyak mungkin proses belajar yang bertolak dari kegiatan pemecahan

masalah atau penyelesaian proyek.

Layaknya model pembelajaran yang lain, model pembelajaran kolaboratif

juga memerlukan langkah-langkah untuk melaksanakannya. Menurut

Rosidin (2011: 10), langkah-langkah pelaksanaan collaborative teamwork

learning, yakni:

Kegiatan awal dalam pelasanaan collaborative teamwork learning


adalah dosen menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi
mahasiwa, dan menyajikan informasi. Kemudian ditempatkan
beberapa tim heterogen yang berjumlah 4 orang dan tiap-tiap tim
itu ditugaskan untuk bekerja secara kolaboratif menyelesaikan
masalah dengan bimbingan dari dosen. Kemudian dievaluasi dan
didiskusikan kembali di dalam maupun di luar kelas, lalu hasilnya
dipresentasikan di depan kelas. Penghargaan kelompok diberikan
kepada tim yang hasil kerjannya paling relevan dengan
pembelajaran.

Langkah-langkah pembelajaran menurut Thobroni (2015: 256), yaitu:

1. Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan


membagi tugas sendiri-sendiri.
2. Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan
menulis.
3. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi
mengidentifikasi, mendemonstrasikan, meneliti, menganalisis,
dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah
dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
11

4. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan


masalah, masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri
secara lengkap.
5. Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya
diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk
melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di
depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati,
membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi.
Kegiatan ini dilakukan lebih kurang 20-30 menit.
6. Masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah
dikumpulkan dan disusun per kelompok kolaboratif.
7. Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan
pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.

Menurut Frances (2008: 11-17), model pembelajaran collaborative

teamwork learning memiliki beberapa tahapan, yaitu:

a. Forming, kegiatan pembentukan tim, serta mendiskusikan

permasalahan yang diberikan guru. Kegiatan ini memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengklasifikasikan dan

membandingkan permasalahan yang diberikan dengan kehidupannya

untuk didiskusikan bersama timnya.

b. Stroming, mencakup kegiatan pengungkapan hipotesis dari siswa

terkait dengan permasalahan yang diberikan. Siswa dalam hal ini

mengajukan suatu hipotesis terkait permasalahan yang diberikan.

Kegiatan tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menduga sementara terkait jawaban dari permasalahan, sehingga

siswa tersebut dapat mengembangkan pemahaman konsep khususnya

pada indikator menduga dan dapat juga mengembangkan keterampilan

proses sains pada indikator perumusan hipotesis.

c. Norming, menentukan sumber-sumber yang berkaitan untuk

memecahkan permasalahan yang dibahas dalam LKS. Selain sumber


12

dari buku yang terkait, siswa juga dapat melakukan suatu penyelidikan

sebagai sumber lain dalam pemecahan masalah. Dalam penyelidikan

ilmiah, siswa tersebut diberi kesempatan untuk merumuskan

permasalahan, sampai mengkomunikasikan penelitian, sehingga akan

dapat mengembangkan indikator keterampilan proses sains siswa.

d. Performing, mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah melalui

kegiatan presentasi tim. Kegiatan ini, memberikan kesempatan kepada

siswa untuk mengkomunikasikan hasil penyelidiknya. Hal tersebut

juga dapat mengembangkan keterampilan proses sains siswa

khususnya indikator mengkomunikasikan hasil.

e. Adjourning, mencakup kegiatan pengkolaborasian pemahaman

berdasarkan presentasi yang telah dilakukan. Kegiatan ini memberikan

kesempatan kepada siswa untuk merangkum hasil diskusi sehingga

dapat meningkatkan pemahaman siswa pada indikator merangkum.

Tahapan model collaborative teamwork learning yang akan digunakan

pada penelitian ini, yakni forming, stroming, norming, performing,

adjourning. Pertama, tahap forming, yaitu kegiatan membentuk kelompok

dan mendiskusikan permasalahan yang diberikan oleh guru. Kedua, tahap

stroming, yaitu kegiatan membuat hipotesis terkait permasalahan yang

diberikan oleh guru. Ketiga, tahap norming, yaitu menentukan dan

mengumpulkan sumber-sumber terkait dengan permasalahan. Keempat,

tahap performing, yaitu mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah

melalui presentasi kelompok. Kelima, tahap adjourning, yaitu kegiatan

pengkolaborasikan pemahaman siswa berdasarkan presentasi yang telah


13

dilakukan. Tahapan pada model collaborative teamwork learning tersebut

saling berkaitan langkah demi langkah.

Menurut Raharjo (2012), beberapa kelebihan pembelajaran kolaboratif,

yaitu:

1. Siswa belajar bermusyawarah.


2. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain.
3. Dapat mengembangkan berpikir kritis dan rasional.
4. Dapat memupuk rasa kerja sama.
5. Adanya persaingan yang sehat.

Kemudian kelemahan pembelajaran kolaboratif, yaitu:

1. Pendapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok


persoalan.
2. Membutuhkan waktu cukup banyak.
3. Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau
sebaliknya yang lemah merasa rendah diri dan selalu tergantung
pada orang lain.
4. Kebulatan atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai.

Model pembelajaran secara kolaboratif memiliki kelebihan dan

kekurangan. Kelebihan tersebut yakni, siswa dapat belajar untuk

bermusyawarah, saling menghargai pendapat sesama teman, saling

bekerjasama, berpikir secara kritis dan rasional, dan persaingan yang sehat.

Disamping kelebihan tersebut pembelajaran dengan kolaboratif memiliki

beberapa kekurangan diantaranya: pendapat atau pertanyaan dari siswa

dapat menyimpang dari masalah yang sedang dipelajari, membutuhkan

waktu yang relatif lama, sifat-sifat siswa yang menonjol, melemah, dan

selalu bergantung dengan orang lain, dan kesimpulan sulit dicapai.


14

3. Keterampilan Proses Sains

Gunawan (2012: 222), berpendapat bahwa:

Pendekatan keterampilan proses yaitu suatu pendekatan


pembelajaran yang menekankan pada pengembangan kemampuan
peserta didik tentang apa yang diperolehnya untuk mempelajari
materi yang baru dan lebih diorientasikan pada pengembangan
kemampuan mereka untuk mengorganisasikan apa yang telah
diperolehnya dalam belajar untuk menghadapi kegiatan
pembelajaran selanjutnya.

Kemudian Hamalik (2009: 149) dalam bukunya yang berjudul Kurikulum

dan Pembelajaran, menjelaskan bahwa:

Pendekatan keterampilan proses ialah pendekatan pembelajaran


yang bertujuan mengembangkan sejumlah kemampuan fisik dan
mental sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan yang
lebih tinggi pada diri siswa. Kemampuan-kemampuan fisik dan
mental pada dasarnya telah dimiliki oleh siswa meskipun masih
sederhana dan perlu dirangsang agar menunjukkan jati dirinya.

Menurut Ramli (2011), menyatakan bahwa,keterampilan proses sains

merupakan seperangkat keterampilan yang digunakan para ilmuwan dalam

melakukan penyelidikan ilmiah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai pendekatan keterampilan

proses adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang bertujuan

mengembangkan kemampuan/keterampilan peserta didik, seperti

kemampuan intelektual, sosial, fisik, dan mental yang pada dasarnya ada

didalam dirinya. Kemampuan peserta didik tersebut dikembangkan melalui

aktivitas siswa dalam mempelajari materi yang baru dan lebih

diorientasikan untuk mengorganisasikan dalam belajar untuk mengahadapi

kegiatan pembelajaran selanjutnya. Dalam pendekatan proses, pendekatan

pembelajaran didasarkan pada anggapan bahwa IPA itu terbentuk dan


15

berkembang akibat diterapkannya suatu proses yang dikenal dengan

metode ilmiah dengan menerapkan keterampilan-keterampilan proses IPA,

yaitu mulai dari menemukan masalah hingga mengambil keputusan

(Wisudawati, 2015: 113-114).

Tujuan diterapkannya pendekatan keterampilan proses sains menurut

Gunawan (2012: 224), yaitu:

Tujuan diterapkannya pendekatan keterampilan proses dalam


pembelajaran adalah untuk mencapai tujuan pembelajaran secara
optimal, efektif, dan efisien. Hal ini didasarkan pada suatu
pandangan bahwa pendekatan keterampilan proses akan
memberikan suatu alternatif proses pembelajaran yang lebih
efektif, terutama karena pendekatan keterampilan proses lebih
memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk terlibat aktif
dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.

Menurut Susilawati (2015: 28), menjelaskan bahwa:

Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman


langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Proses pembelajaran seperti
ini menuntut agar dalam kegiatan belajar mengajar siswa tidak lagi
berperan pasif hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat
hal-hal yang dianggap penting.

Lebih fokus menurut Trianto (2012: 146), mengungkapkan bahwa:

Melatihkan keterampilan proses merupakan salah satu upaya yang


penting untuk memperoleh keberhasilan belajar siswa yang
optimal. Materi pelajaran akan lebih mudah dipelajari, dipahami,
dihayati, dan diingat dalam waktu yang relatif lama bila siswa
sendiri memperoleh pengalaman langsung dari peristwa belajar
melalui pengamatan atau eksperimen.

Salah satu upaya pentingnya untuk mencapai hasil belajar yang optimal,

efektif, efisien, yakni melatihkan keterampilan proses. Melatihkan

keterampilan proses melalui eksperimen dalam pembelajaran akan

menjadikan siswa lebih mudah merima, memahami, mengingat materi


16

yang dipelajari dalam waktu yang relatif lama. Selain itu siswa juga dapat

mengembangkan keterampilan siswa dalam berpikir logis, dalam

memecahkan masalah yang dihadapinya, memperdalam pengetahuan

siswa, meningkatkan motivasi belajar,dan keterlibatan siswa secara aktif

dan efisien dalam belajar.

Keterampilan proses sains merupakan keterampilan yang perlu

dikembangkan pada diri siswa. Beberapa alasan mengapa keterampilan

proses sains harus dimiliki oleh siswa menurut Zulaeha ( 2014: 2), adalah

sebagai berikut:

a. Sains (khususnya fisika) terdiri dari tiga aspek yaitu produk, proses,

dan sikap. Dengan mengembangkan KPS siswa akan memahami

bagaimana terbentuknya hukum, teori, dan rumus yang sudah ada

sebelumnya melalui percobaan.

b. Sains (fisika) berubah seiring dengan perkembangan jaman. Oleh

karena itu, guru tidak mungkin lagi mengajarkan semua konsep dan

fakta pada siswa dari sekian mata pelajaran. Siswa perlu dibekali

keterampilan yang dapat membantu siswa menggali dan menemukan

informasi dari berbagai sumber bukan dari guru saja.

c. Siswa akan lebih memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak

jika disertai dengan contoh-contoh konkrit.

d. Siswa akan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap materi

pelajaran dan mendorong siswa lebih aktif dalam pembelajaran.


17

Bentuk-bentuk keterampilan yang dikembangkan melalui pendekatan

keterampilan proses seperti dideskripsikan dalam Tabel 1. di bawah ini.

Tabel 1. Keterampilan melalui Pendekatan Keterampilan Proses


No. Kemampuan Keterampilan yang dikembangkan
1 Pengamatan Melihat, mendengar, merasa, meraba,
mencium, mencicipi, mengecap, menyimak,
mengukur, dan membaca.

2 Pengelompokkan Mencari persamaan, menyamakan, mencari,


perbedaan, membedakan, membandingkan,
mengontraskan, mencari dasar
penggolongan.

3 Menafsirkan Menaksir, memberi arti, mengartikan,


mencari hubungan ruang dan waktu,
menemukan polam menarik kesimpulan,
menggeneralisasikan.

4 Meramalkan Mengantisipasi berdasarkan kecenderungan


pola atau hubungan antara data atau
informasi.

5 Menerapkan Menggunakan informasi, kesimpulan,


konsep, hukum, teori, sikap, nilai atau
keterampilan dalam situasi, menghitung,
menentukan variabel, menghubungkan
konsep, merumuskan pertanyaan, menyusun
hipotesis.

6 Merencanakan Menentukan masalah yang akan diteliti,


Penelitian tujuan, ruang lingkup, sumber data atau
informasi, cara menganalisis, alat, bahan,
sumber kepustakaan, dan menentukan cara
penelitian.

7 Mengkomunikasikan Berdiskusi, mengarang, mendeklamasikan,


mendramakan, bertanya, merenungkan,
mengungkapkan, melaporkan dalam bentuk
lisan, tulisan, gerak, dan penampilan
(Gunawan, 2012: 228)

Lebih lanjut menurut Hamalik (2009: 150-151), ada 7 jenis kemampuan

yang hendak dikembangkan melalui proses pembelajaran berdasarkan

pendekatan keterampilan proses, yakni:


18

1. Mengamati, siswa harus mampu menggunakan alat-alat


inderanya: melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa.
Dengan kemampuan ini, dia dapat mengumpulkan
data/informasi yang relevan dengan kepentingan belajarnya.
2. Menggolongkan/mengklasifikasikan; siswa harus terampil
mengenal perbedaan dan persamaan atas hasil pengamatannya
terhadap suatu objek, serta mengadakan klasifikasi berdasarkan
ciri khusus, tujuan, atau kepentingan tertentu. Pembuatan
klasifikasi memerlukan kecermatan dalam melakukan
pengamatan.
3. Menafsirkan (menginterpretasikan); siswa harus memiliki
keterampilan menafsirkan fakta, data, informasi, atau peristiwa.
Keterampilan ini diperlukan untuk melakukan percobaan atau
penelitian sederhana.
4. Meramalkan, siswa harus memiliki keterampilan
menghubungkan data, fakta, dan informasi. Siswa dituntut
terampil mengantisipasi dan meramalkan kegiatan atau peristiwa
yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.
5. Menerapkan, siswa harus mampu menerapkan konsep yang
telah dipelajari dan dikuasai ke dalam situasi atau pengalaman
baru. Keterampilan itu digunakan untuk menjelaskan tentang
apa yang akan terjadi dan dialami oleh siswa dalam proses
belajarnya.
6. Merencanakan penelitian, siswa harus mampu menentukan
masalah dan variabel-variabel yang akan diteliti, tujuan, dan
ruang lingkup penelitian. Dan harus menentukan langkah-
langkah kerja pengumpulan dan pengolahan data serta prosedur
melakukan penelitian.
7. Mengkomunikasikan, siswa harus mampu menyusun dan
menyampaikan laporan secara sistematis dan menyampaikan
perolehannya, baik proses maupun hasil belajarnya kepada
siswa lain dan peminatnya.

Lebih fokus menurut Putri (2014), terdapat 8 keterampilan proses sains,

yaitu keterampilan mengamati, merumuskan hipotesis, merencnakan

percobaan, melakukan percobaan, menginterpretasi data, memprediksi,

menerapkan konsep, dan berkomunikasi.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai bentuk-bentuk keterampilan

proses sains ada 8 keterampilan. Keterampilan-keterampilan tersebut,

yakni (1) mengamati, (2) merumuskan hipotesis, (3) merencanakan


19

percobaan, (4) melakukan percobaan, (5) menginterpretasi data, (6)

memprediksi, (7) menerapkan konsep, dan (8) berkomunikasi.

Keterampilan-keterampilan tersebut yang digunakan dalam penelitian ini.

4. Kepribadian

Proses belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi proses belajar siswa

menurut Aunurrahman (2012: 178-195), adalah sebagai berikut:

a. Ciri khas/ karakteristik siswa


b. Sikap terhadap belajar
c. Motivasi belajar
d. Konsentrasi belajar
e. Mengolah bahan belajar
f. Menggali hasil belajar
g. Rasa percaya diri
h. Kebiasaan belajar

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi proses belajar siswa

adalah sebagai berikut:

a. Faktor guru
b. Lingkungan sosial (termasuk teman sebaya)
c. Kurikulum sekolah
d. Sarana dan prasarana

Masalah dalam proses belajar salah satunya adalah ciri khas/karakteristik

siswa yang berkaitan dengan kepribadian siswa. Kepribadian siswa

memiliki pengaruh dalam proses belajar. Selama proses belajar seorang

guru juga ikut serta dalam mengenali dan memahami kepribadian siswa.

Hal ini dapat meningkatkan keterampilan-keterampilan yang dimiliki

siswa.
20

Yusuf dan Achmad Juntika Nurihsan (2008: 6), menyatakan:

Kepribadian adalah seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah


laku manusia beserta definisi empirisnya. Mengenai asumsi ini
dapat diberikan contoh sebagai berikut: (1) semua tingkah laku
dilatarbelakangi motivasi, (2) Kecemasan yang tinggi
menyebabkan penurunan mutu kegiatan bekerja atau belajar, dan
(3) perkembangan (psikofisik) individu dipengaruhi oleh
pembawaan, lingkungan, dan kematangan.

Lebih fokus menurut Sjarkawi (2006: 11) dalam bukunya berjudul

Pembentukan Kepribadian Anak menjelaskan bahwa:

Kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas
dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya, keluarga pada masa kecil, dan
juga bawaan seseorang sejak lahir

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kepribadian adalah ciri

khas/karakteristik pada diri seseorang yang terbentuk melalui lingkungan,

misal keluarga pada masa kecil, interaksi individu dengan individu,

interaksi individu dengan lingkungan yang akan menentukan pola tingkah

laku seseorang. Pola tingkah laku tersebut diungkapkan dan dinyatakan

dalam bentuk pemikiran, perkataan, perbuatan, dan perasaan.

Kepribadian dari seseorang bisa berubah dan berkembang seiring dengan

adanya proses sosialisasi yang dilakukan orang tersebut. Adapun faktor-

faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang menurut Yusuf dan

Achmad Juntika Nurihsan (2008: 11), antara lain:

1. Faktor fisik, seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisis),

mengkonsumsi obat-obat terlarang NAPZA atau NARKOBA),

minuman keras, dan gangguan organik (sakit atau keselakaan)


21

2. Faktor lingkungan sosial budaya, seperti: krisis politik, ekonomi, dan

kemanan yang menyebabkan terjadinya masalah pribadi(stres,

depresi) dan masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan

kriminalitas).

3. Faktor diri sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang

berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi terhadap orang lain

yang berkepribadian menyimpang.

Kemudian Sunarto dan Agung Hartono (2006: 4), berpendapat bahwa:

Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan


(heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh
lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik
keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor
biologis maupun faktor sosial psikologis.

Kepribadian seseorang dapat dipengaruhi dari berbagai faktor,

diantaranya: faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan

keadaan jasmani seringpula disebut faktor fisik berkaitan dengan keadaan

genetik, pencernaan, pernafasan, tinggi badan, berat badan dan lain-lain,

faktor lingkungan sosial budaya berkaitan dengan lingkungan yang ada

disekitar siswa, dan faktor diri sendiri yang ada pada diri siswa seperti

tekanan dan emosional. Keadaan seperti ini yang menyebabkan

kepribadian seseorang bisa berubah.

Empat corak dasar kepribadian yang menyangkut watak atau tempramen

menurut Risnawaty (2008: 25-28), dalam bukunya yang berjudul

Kepribadian dan Etika Profesi adalah sebagai berikut:


22

a. Sanguine

Orang yang termasuk tipe sanguine tampak selalu gembira, bahagia,

suka ngomong ceplas-ceplos, mudah melupakan tindakan orang lain

yang menyinggung perasaannya.

b. Choleric

Orang yang termasuk tipe chorelic cenderung menjadi pemimpin.

Kelompok chorelic tampak optimis, selalu berusaha untuk mencapai

tujuan hidup.mereka memiliki kemauan keras, dan berani mengambil

keputusan dan menanggung risiko.

c. Melancholy

Orang yang tergolong tipe melancholy adalah mereka yang termasuk

pemikir, yang selalu memikirkan kesempurnaan, dan amat peka.

Seorang pribadi melancholy suka mendalami sesuatu permasalahan,

mereka terkenal sebagai pemusik, seniman, dan yang memiliki bakat

khusus, dan amat kreatif. Ia suka berpikir secara sistematis, suka

membaca grafik, senang mengadakan riset, dan menganalisa.

d. Phlegmatic

Orang yang tergolong phlegmatic tampak kalem, suka diajak ngobrol,

tidak lekas mengambil kesimpulan. Di satu kesempatan ia tampak

seolah-olah pesimis. Orang-orang tipe ini lebih suka menonton

daripada melakukan pekerjaan. Mereka terkenal sebagai orang-orang

yang tidak punya musuh di dunia ini. Mereka suka santai, kalem,

berkepala dingin, punya pertimbangan akal sehat dan seimbang,

konsisten, tenang dan pandai mengendalikan diri.


23

Secara umum kepribadian yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari

dibagi menjadi 4 macam tipe. Keempat macam tipe kepribadian tersebut

yakni tipe sanguine, tipe chorelic, tipe melancholy, dan tipe phlegmatic.

Selain itu, dalam pembagiannya tipe kepribadian dapat dikaitkan dengan

tipe postur tubuh (somatotype). Untuk lebih jelasnya jenis-jenis tipe

tempramen dapat dideskripsikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Tipe Tempramen Dikaitkan dengan Tipe Postur Tubuh


Sometotipe Temperamen Sifat-Sifat
1. Endomorp= Piknis Viscerotonia Tenang, pandai bergaul, senang
(pendek, gemuk) bercinta, gemar makan, tidur
nyenyak.

2. Mesomorp= Atletis Samatotonia Aktif, asertif, kompetitif, teguh,


(tubuhnya dan agresif.
harmonis)
3. Ectomorp= Cerebrotonia Introvert (senang menyendiri),
Asthenis (tinggi, menahan diri, peragu, kurang
kurus) berani bergaul dengan orang
banyak (sociophobia), kurang
berani berbicara di depan orang
banyak.
(Yusuf dan Achmad Juntika Nurihsan, 2008: 25)

Tipe Kepribadian (Tempramen) jika dikaitkan dengan tipe-tipe postur

tubuh dapat dibedakan menjadi 3 jenis. Ketiga jenis kepribadian tersebut

yakni: Viscerotonia dengan postur tubuh pendek dan gemuk,

Samatotonia dengan postur tubuh harmonis, dan Cerebrotonia dengan

postur tubuh tinggi, kurus.

Lebih fokus menurut Littauer (1996: 22-27), tipe kepribadian dibagi

menjadi empatdapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.


24

Tabel 3. Tipe Kepribadian (Watak) Menurut Littauer


No. Tipe Kepribadian Sifat-Sifat
(1) (2) (3)
1 Sanguinis a. Suka berbicara
b. Emosional dan demonstratif
c. Antusias dan ekspresif
d. Periang dan penuh semangat
e. Penuh rasa ingin tahu
f. Sukarelawan untuk tugas
g. Kreatif dan inovatif
h. Mudah berteman
i. Suka kegiatan spontan

2. Melankolis Sempurna a. Mendalam dan penuh pikiran


b. Analitis
c. Serius dan tekun
d. Cenderung jenius
e. Berbakat dan kreatif
f. Perasa terhadap orang lain
g. Idealis
h. Perfeksionis, standar tinggi
i. Gigih dan cermat
j. Tertib dan terorganisasi
k. Hati-hati dalam berteman
l. Mau mendengarkan keluhan
m. Sangat memperhatikan orang lain

3. Koleris Kuat a. Berbakat pemimpin


b. Dinamis dan aktif
c. Berkemauan kuat dan tegas
d. Tidak emosional bertindak
e. Tidak mudah patah semangat
f. Memancarkan keyakinan
g. Berorientasi target
h. Terorganisasi dengan baik
i. Mencari pemecahan praktis
j. Bergerak cepat untuk bertindak
k. Berkembang karena saingan
l. Tidak terlalu perlu teman
m. Mau bekerja untuk kegiatan

4. Phlegmatis Damai a. Diam, tenang, dan mampu


b. Sabar, baik keseimbangannya
c. Hidup konsisten
d. Tenang tetapi cerdas
e. Menyembunyikan emosi
f. Cakap dan mantap
g. Damai dan mudah sepakat
25

(1) (2) (3)


h. Menjadi penengah masalah
i. Menemukan cara yang mudah
j. Mudah diajak bergaul
k. Pendengar yang baik
l. Tidak tergesa-gesa
m. Tidak mudah marah

Berdasarkan deskripsi dari tabel 3 macam-macam tipe kepribadian, maka

tipe kepribadian terdiri atas empat macam, yaitu: tipe kepribadian

sanguinis (populer), tipe kepribadian melankolis (sempurna), tipe

kepribadian koleris (kuat), dan tipe kepribadian plegmatis (damai). Tipe

kepribadian tersebut yang akan digunakan dalam penelitian ini.

B. Kerangka Pikir

Pembelajaran fisika, siswa tidak hanya dilihat dari hasil yang dicapai siswa,

melainkan dilihat juga saat proses belajar. Selama proses pembelajaran

berlangsung, keterampilan proses sains perlu dilatihkan pada diri siswa.

Keterampilan proses sains siswa yang dilatihkan diduga akan memudahkan

siswa dalam memahami konsep fisika sehingga keterampilan siswa dalam

menyelesaikan permasalahan fisika menjadi meningkat. Begitupun

sebaliknya keterampilan proses sains siswa yang tidak dilatihkan diduga akan

mempersulit siswa dalam memahami konsep fisika, sehingga keterampilan

siswa dalam menyelesaikan permasalahan fisika menjadi menurun.

Adapun bentuk-bentuk keterampilan yang dikembangkan melalui pendekatan

keterampilan proses dikemukakan oleh Mike Anita Putri dkk., dengan

membagi delapan keterampilan yaitu, mengamati, merumuskan hipotesis,


26

merencanakan percobaan, melakukan percobaan, menginterpretasi data,

memprediksi, menerapkan konsep, dan berkomunikasi.

Peningkatan keterampilan proses sains siswa dapat ditentukan dengan

penggunaan model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran

collaborative teamwork learning ini, baik digunakan untuk pembelajaran

fisika, karena model ini mengutamakan teamwork dan kolaborasi dalam

belajar. Berbagai aktivitas pembelajaran, siswa dapat berkolaborasi dengan

temannya untuk memecahkan permasalahan sehingga diduga dapat

meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

Tahapan pembelajaran dirumuskan oleh Frances, yaitu forming, stroming,

norming, performing, adjourning. Tahapan forming, siswa cenderung

mengembangkan kemampuan mengamati dan mengelompokkan. Tahapan

stroming, siswa cenderung mengembangkan kemampuan meramalkan. Tahap

norming, siswa cenderung mengembangkan kemampuan menafsirkan,

menerapkan, dan merencanakan penelitian. Tahap performing, siswa

cenderung mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan.

Selain model pembelajaran yang diterapkan sebagai faktor eksternal yang

mempengaruhi proses belajar siswa. Perlu adanya pemahaman dari guru

untuk memperhatikan dan mengenal kepribadian siswa dalam melaksanakan

pembelajaran sebagai faktor internal. Adapun kepribadian siswa dapat

dibedakan menjadi empat menurut Littauer, yaitu kepribadian sanguinis,

kepribadian melankolis, kepribadian koleris, dan kepribadian plegmatis.


27

Siswa dengan kepribadian sanguinis yang populer diduga keterampilan proses

sains yang dimiliki tinggi. Siswa dengan kepribadian koleris yang kuat

diduga keterampilan proses sains yang dimiliki tinggi. Siswa dengan

kepribadian melankolis yang sempurna diduga keterampilan proses sains

yang dimiliki tinggi. Siswa dengan kepribadian plegmatis yang damai diduga

keterampilan proses sains yang dimiliki rendah. Dalam pembelajaran, siswa

dikelompokkan sesuai dengan tipe kepribadiannya sehingga keterampilan

proses sains diduga dapat dikembangkan melalui aktivitas di dalam kelompok

tersebut.

Bila digambarkan dalam sebuah tabel, hubungan antara model pembelajaran

collaborative teamwork learning (sebagai variabel bebas) dengan kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis, dan plegmatis (sebagai variabel bebas)

terhadap keterampilan proses sains fisika yang dicapai siswa (sebagai variabel

terikat) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Model Collaborative Keterampilan Proses


teamwork learning Sains

Tipe Kepribadian
1. Sanguinis
2. Koleris
3. Melankolis
4. Phlegmatis

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran


28

C. Anggapan Dasar

Anggapan dasar penelitian berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka

pemikiran adalah:

1. Dalam satu kelas sampel, kepribadian siswa terdiri atas kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis.

2. Keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan model

pembelajaran collaborative teamwork learning akan berbeda dilihat dari

kepribadian sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis.

3. Berbagai faktor lain diluar penelitian, selain model pembelajaran

collaborative teamwork learning, keterampilan proses sains dan tipe

kepribadian siswa tidak diperhitungkan.

D. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka dapat

disimpulkan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh model collaborative teamwork learning terhadap

keterampilan proses sains siswa pada tipe kepribadian sanguinis, koleris,

melankolis dan phlegmatis.

2. Terdapat perbedaan rata-rata keterampilan proses sains siswa pada tipe

kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis dalam

pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork learning.


III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan kepada siswa kelas X MIPA SMA Negeri 1

Sidomulyo pada semester genap Tahun Pelajaran 2016/2017 yang terdiri dari

5 kelas dengan jumlah keseluruhan yaitu 196 siswa. Dari seluruh kelas X

dipilih sampel menggunakan teknik purposive sampling. Penelitian ini

mengambil sebagian dari populasi yang akan dijadikan sampel, yaitu satu

kelas dari lima kelas yang ada. Menurut hasil angket tes profil kepribadian

yang diberikan kepada seluruh populasi, kelas dengan latar belakang

mempunyai 4 tipe kepribadian, yaitu tipe kepribadian sanguinis, koleris,

melankolis, dan phlegmatis yang digunakan sebagai kelas sampel penelitian.

Kemudian ditentukan kelas X MIPA 5 sebagai kelas eksperimen dengan

jumlah 40 siswa yang terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 28 siswa perempuan

yang diberi perlakuan model collaborative teamwork learning.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat komparasi atau

perbedaan, yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk membedakan atau

membandingkan hasil penelitian antara dua kelompok atau lebih kelompok


30

penelitian. Tipe kepribadian dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi

empat, yaitu tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis.

C. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel penelitian yaitu variabel bebas, dan

terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran

collaborative teamwork learning dan tipe kepribadian siswa yang dibagi

menjadi empat, yaitu tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis, variabel terikatnya adalah keterampilan proses sains pada tipe

kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis dengan perlakuan

collaborative teamwork learning.

D. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:

1. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tes profil

kepribadian dalam buku Florence Littaeuer yang berjudul Personality

Plus.

2. Angket diberikan kepada seluruh siswa kelas X MIPA SMA Negeri 1

Sidomulyo tahun pelajaran 2016/2017.

3. Menganalisis hasil angket yang telah diberikan kepada seluruh populasi

untuk memperoleh kelas yang memiliki tipe kepribadian sanguinis,

melankolis, koleris, dn plegmatis.

4. Menetapkan sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling,

mengambil sebagian dari seluruh populasi dengan latar belakang


31

mempunyai 4 tipe kepribadian, yaitu tipe kepribadian sanguinis, koleris,

melankolis, dan phlegmatis

5. Melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran collaborative teamwork learning dilihat dari tipe

kepribadian siswa yaitu sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis

materi hukum Newton tentang gravitasi.

6. Melakukan observasi terhadap keterampilan proses sains siswa yang

bertipe kepribadian sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis.

7. Menganalisis hasil observasi mengenai keterampilan proses sains siswa

yang memiliki tipe kepribadian sanguinis, melankolis, koleris, dan

plegmatis.

8. Membuat kesimpulan penelitian berkaitan dengan apakah terdapat

pengaruh model collaborative teamwork learning terhadap keterampilan

proses sains siswa pada tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis,

dan phlegmatic, bagaimanakah perbandingan keterampilan proses sains

siswa pada tipe kepribadian sangunis, koleris, melankolis, dan phlegmatis

dalam pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork

learning.
32

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RPP dengan model pembelajaran collaborative teamwork learning

digunakan sebagai acuan guru pada pelaksanaan pembelajaran yang

digunakan selama proses pembelajaran

2. Lembar Observasi

Lembar observasi ini digunakan untuk mengukur keterampilan proses

sains siswa pada saat pembelajaran. Pedoman observasi keterampilan

proses sains yang digunakan merupakan produk rubrik penilaian

keterampilan proses sains

3. Angket

Angket ini digunakan untuk mengetahui tipe kepribadian pada masing-

masing siswa sebelum pembelajaran. Peneliti menggunakan tes profil

kepribadian dalam buku Florence Littaeuer yang berjudul Personality

Plus.

F. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan pekerjaan yang penting sekali dalam penelitian

(Arikunto, 2010: 266). Metode yang digunakan untuk pengambilan data

dalam penelitian ini, yaitu observasi dan angket.

1. Observasi

Lembar observasi yang digunakan untuk memperoleh data keterampilan

proses sains siswa yang dilakukan pada saat proses pembelajaran. Proses
33

analisis untuk data keterampilan proses sains adalah dengan menilai

perilaku siswa dengan mengacu pada aspek yang diukur. Penilaian

keterampilan proses sains ini dinilai oleh 5 observer, yaitu 4 mahasiswa

pendidikan fisika Universitas Lampung dan 1 guru.

Data keterampilan proses sains didapat dari pengamatan kepada seluruh

sampel. Pengamatan dilakukan dengan 5 observer, yaitu 4 mahasiswa

pendidikan fisika Unila dan 1 Guru. Keterampilan proses sains tersebut

terdiri atas 8 keterampilan dengan kriteria penskoran yang telah

ditentukan. Skor yang didapat siswa setelah dilakukannya pengamatan

menjadi data keterampilan proses sains siswa. Kemudian skor yang

diperoleh diubah menjadi nilai. Nilai inilah yang digunakan untuk uji

Kruskal Wallis menggunakan program SPSS 21.

2. Angket

Teknik pengumpulan data tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis

dan phlegmatis dalam penelitian ini menggunakan angket. Tujuan

penggunaan angket dalam proses pembelajaran terutama adalah untuk

memperoleh data mengenai latar belakang peserta didik sebagai salah satu

bahan dalam menganalisis tingkah laku dan proses belajar mereka

(Sudiyono, 2009: 84). Data tipe kepribadian siswa diperoleh melalui

penyebaran angket sebelum pembelajara menggunakan tes kepribadian

yang terdapat dalam buku Florence Littauer yang berjudul Personality

Plus yang terdiri dari 40 item, dimana ditiap nomor terdiri dari deret
34

empat kata ke samping. Responden diminta untuk membubuhkan tanda

silang (x) satu kata yang paling cocok dengan diri mereka.

G. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

1. Analisis Data

Pada penelitian ini keterampilan proses sains siswa yang diukur

menggunakan lembar observasi berupa pengisian skor dengan nilai antara

1 sampai 5. Lembar observasi digunakan untuk mengetahui gambaran

keterampilan proses sains siswa pada saat proses pembelajaran. Pedoman

penilaian yang dibuat untuk mengukur keterampilan proses sains siswa

terdiri dari 8 aspek yang dinilai. Dari kedelapan aspek tersebut skor

maksimal yang diperoleh siswa per kriteria, yakni 5 yang artinya skor

diperoleh siswa apabila memenuhi kriteria ketujuh butir kriteria dengan

baik dan benar akan mendapat skor 40. Kemudian skor yang diperoleh

siswa tersebut dibagi 40 dan dikalikan 100, sehingga skor maksimal siswa

yakni 100.

Tabel 4. Kategori Nilai Persentase Keterampilan Proses Sains


Persentase Kategori
86-100 Sangat Baik
76-85 Baik
66-75 Cukup Baik
56-65 Kurang Baik
55 Sangat Kurang
(Arikunto, 2006: 18)

Tipe kepribadian siswa dalam penelitian ini dapat diketahui menggunakan

angket sebelum kegiatan pembelajaran. Angket yang digunakan bertujuan

untuk mengetahui apakah siswa memiliki kepribadian sanguinis, koleris,


35

melankolis, dan phlegmatis. Pilihan jawaban siswa dari pernyataan pada

angket kemudian dipindahkan pada lembar penilaian kepribadian.

Penentuan kepribadian masing-masing siswa dilihat dari lembar penilaian

kelebihan dan kelemahan yang ditambahkan ke jumlah total. Jumlah total

yang paling banyak, berarti kepribadian tersebut yang dominan dimiliki

siswa.

2. Pengujian Hipotesis

Data hasil penelitian dianalisis dengan melakukan uji sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah sampel penelitian

berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang digunakan adalah

uji statistik parametrik Shapiro-Wilk. Data yang diuji normalitasnya

adalah data nilai keterampilan proses sains siswa yang menggunakan

model pembelajaran collaborative teamwork learning pada tipe

kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis.

1. Rumusan Hipotesis

H0 : data berdistribusi normal

H1 : data tidak berdistribusi tidak normal

2. Kriteria Uji

Data berdistribusi normal jika sig. 0,05 maka H0 diterima,

sedangkan jika sig. <0,05 maka H0 ditolak.

b. Uji Homogenitas
36

Uji homogentias digunakan untuk mengetahui apakah data

keterampilan proses sains dari empat kelompok sampel mempunyai

varians yang homogen atau tidak homogen. Uji homogenitas

dilakukan secara manual menggunakan Shapiro-Wilk (Uji F) atau

menggunakan uji Homogenitas Levene. Jika salah satu data tidak

berdistribusi normal, maka tidak perlu dilanjutkan uji homogentitas

(Sudjana, 2005). Data yang diuji homogentitasnya adalah data nilai

keterampilan proses sains siswa menggunakan model pembelajaran

collaborative teamwork learning pada tipe kepribadian sanguinis,

koleris, melankolis, dan phlegmatis.

1. Rumusan Hipotesis

H0 : data keterampilan proses sains siswa memiliki varians

homogen

H1 : data keterampilan proses sains siswa memiliki varians

tidak homogen

2. Kriteria Uji

Keempat data homogen jika sig. 0,05 maka H0 diterima,

sedangkan jika sig. <0,05 maka H0 ditolak.

c. Uji Beda

Jika keempat data sampel berasal dari populasi berdistribusi normal,

maka uji beda yang digunakan adalah uji parametrik (Sudjana, 2005).

Sedangkan untuk data sampel yang berasal dari populasi yang tidak

berdistribusi normal, uji beda menggunakan uji non parametrik. Uji

non paramterik yang digunakan adalah Kruskal Wallis.


37

1. Rumusan Hipotesis

a. H0 : Tidak terdapat pengaruh model collaborative teamwork

learning terhadap keterampilan proses sains siswa pada

tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis

H1 :Terdapat pengaruh model collaborative teamwork


learning terhadap keterampilan proses sains siswa pada

tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis.

b. H0 :Tidak terdapat perbedaan rata-rata keterampilan proses

sains pada tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis,

dan phlegmatis dalam pembelajaran menggunakan model

collaborative teamwork learning.

H1 :Terdapat perbedaan rata-rata keterampilan proses sains

pada tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis dalam pembelajaran menggunakan model

collaborative teamwork learning.

2. Uji Kruskal Wallis

Uji Kruskal Wallis merupakan uji non parametrikyang digunakan

untuk menguji apakah dua atau lebih rata-rata sampel dari

populasi memiliki nilai yang sama.Uji ini merupakan alternatif


38

dari uji ANOVA dan digunakan bila salah satu syarat dari uji

ANOVA tidak terpenuhi.

3. Kriteria Uji

Jika sig. <0,05 maka H0 ditolak, sedangkan jika sig. 0,05 maka

H0 diterima.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model collaborative

teamwork learning terhadap keterampilan proses sains pada tipe kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis serta perbandingan keterampilan

proses sains pada tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis dalam pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork

learning materi hukum Newton tentang gravitasi ini dilaksanakan pada tanggal

23 Maret-22 April 2017 di SMA Negeri 1 Sidomulyo, dengan satu kelas

eksperimen dan tiga kali pertemuan. Alokasi waktu satu kali pertemuan adalah

3x45 menit.

1. Tahap Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan di kelas X MIPA 5 sebagai kelas eksperimen

yang diikuti oleh 40 siswa. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan sesuai

jadwal pelajaran fisika di sekolah, yaitu pada hari Selasa pukul 10.00 WIB

sampai dengan pukul 12.15 WIB. Keseluruhan proses pembelajaran

dilaksanakan sebanyak 3 kali pertemuan. Sebelum tahap pelaksanaan

pembelajaran guru telah mengetahui tipe kepribadian siswa melalui

penyebaran angket yang dilakukan pada hari sebelumnya. Pengelompokkan


40

siswa pada proses pembelajaran dikelompokkan sesuai dengan tipe

kepribadian siswa, yaitu sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis.

Pelaksanaan pertemuan pertama dilakukan selama tiga jam pelajaran

dengan alokasi waktu 3x45 menit untuk pembelajaran sub pokok bahasan

hukum gravitasi Newton. Alokasi waktu pembelajaran sama untuk setiap

pertemuan, yaitu 3x45 menit dan dilaksanakan diruang kelas. Pertemuan

kedua dilakukan pembelajaran sub pokok materi kuat medan gravitasi.

Pertemuan ketiga dilakukan pembelajaran sub pokok materi hukum

Keppler.

Pertemuan pertama, guru membuka proses pembelajaran dengan

memberikan motivasi dan apersepsi yaitu melemparkan gumpalan kertas ke

atas, samping, dan depan, kemudian siswa menjawab pertanyaan yang

diberikan oleh guru mengenai definisi gaya gravitasi berdasarkan

percobaan yang dilakukan guru di depan kelas. Kemudian siswa menyimak

tujuan pembelajaran yang disampaikan guru. Siswa berkelompok

berdasarkan intruksi dari guru, dimana setiap kelompok terdiri 5 orang

yang memiliki tipe kepribadian sangunis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis.

Selanjutnya, siswa mengamati video bumi mengelilingi matahari yang

ditayangkan oleh guru, lalu siswa menjawab pertanyaan dari guru

mengenai bagaimana gaya gravitasi yang dimiliki bumi dan matahari?

Bagaimana hubungan gaya gravitasi dengan massa dan gaya gravitasi

dengan jarak antar keduanya?. Siswa bersama kelompok mendiskusikan


41

permasalahan dan bersama guru membuat hipotesis yang akan diuji

kebenarannya, bahwa gaya gravitasi bumi lebih kecil dari matahari, dan

semakin besar massa benda, semakin besar pula gaya gravitasi yang

dimiliki benda, sedangkan semakin besar jarak antar kedua benda tersebut,

semakin kecil gaya gravitasinya.

Siswa melakukan penyelidikan melalui pengamatan menggunakan simulasi

dari Phet Colorado yang ditampilkan guru yaitu bumi dan matahari untuk

diketahui massanya, lalu siswa menuliskan hasil pengamatannya.

Selanjutnya, siswa dengan bimbingan guru menganalisis hasil pengamatan

melalui simulasi Phet Colorado untuk menjawab permasalahan. Kemudian

siswa membuat kesimpulannya bahwa massa bumi lebih kecil dari

matahari, dan semakin besar massa semakin besar pula gaya gravitasi yang

dimiliki benda, sedangkan semakin besar jarak antar kedua benda tersebut,

maka semakin kecil gaya gravitasi antar kedua benda tersebut.

Setelah siswa menuliskan hasil diskusi dan pembahasannya secara

berkelompok, lalu setiap kelompok menyampaikan hasil diskusinya secara

lisan di depan kelas dan kelompok lain menanggapi. Selain menanggapi,

setiap kelompok merangkum hasil diskusi kelompok yang telah presentasi.

Pertemuan kedua, guru membuka proses pembelajaran dengan

menyampaikan motivasi dan apersepsi yaitu mengingatkan materi yang

telah dipelajari sebelumnya dan memahami materi yang akan dipelajari,

lalu siswa mengungkapkan pendapatnya mengenai materi sebelumya

tentang gaya gravitasi. Selanjutnya siswa menyimak tujuan pembelajaran


42

yang disampaikan guru. Siswa berkelompok berdasarkan intruksi dari guru,

dimana setiap kelompok terdiri 5 orang yang memiliki tipe kepribadian

sangunis, koleris, melankolis, dan phlegmatis.

Siswa mengamati video mengenai berat orang di bumi dan di bulan, lalu

menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru berkaitan tentang Apa yang

menyebabkan berat orang di bumi dengan di bulan berbeda?, kemudian

siswa mengungkapkan pendapatnya. Selanjutnya siswa menyimak materi

tentang kuat medan gravitasi, perbandingan kuat medan gravitasi di tempat

yang berbeda, dan perbandingan kuat medan gravitasi antara permukaan

bumi dan ketinggian tertentu yang disampaikan guru. Kemudian siswa

bersama guru mendiskusikan permasalahan terkait Bagaimana hubungan

antara gaya gravitasi dengan kuat medan gravitasi? Hal apa sajakah yang

mempengaruhi kuat medan gravitasi setiap planet?. Siswa bersama

kelompoknya melalui bimbingan guru membuat hipotesis yang akan diuji

kebenarannya, bahwa semakin besar gaya gravitasi, semakin besar pula

kuat medan yang dimiliki oleh benda tersebut, dan kuat medan gravitasi

dipengaruhi oleh jarak atau ketinggian tertentu dari pusat bumi, dan massa

planet

Tahap selanjutnya, siswa dengan bimbingan melakukan kajian literatur

terkait kuat medan gravitasi, lalu siswa bersama kelompok mendiskusikan

permasalahan dari hasil kajian literaturnya. Kemudian siswa membuat

kesimpulannya bahwa kuat medan gravitasi yang menyebabkan benda

yang berada di sekitarnya mengalami gaya gravitasi. Kuat medan gravitasi


43

dapat diartikan sebagai besarnya gaya gravitasi yang bekerja tiap satuan

massa, dan Kuat medan gravitasi dipengaruhi oleh massa dan jarak benda

terhadap pusat planet. Kuat medan gravitasi berbanding lurus dengan

massa planet dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya.artinya

semakin besar massa planet semakin besar pula kuat medan gravitasi yang

dimiliki planet, dan sebaliknya.kemudian kuadrat jarak planet semakin

besar, kuat medan gravitasnya semakin kecil begitu sebaliknya.

Tahap selanjutnya, siswa menuliskan hasil diskusinya secara berkelompok,

lalu setiap kelompok menyampaikan hasil diskusinya secara lisan di depan

kelas dan kelompok lain menanggapi. Selain menanggapi, setiap kelompok

merangkum hasil diskusi kelompok yang telah presentasi.

Pertemuan ketiga, guru membuka proses pembelajaran dengan

memberikan motivasi dan apersepsi yaitu menampilakan video sistem tata

surya, kemudian siswa mengamati dan menjawab pertanyaan yang

diajukan guru mengenai mengapa planet-planet, bintang, dan bumi

bergerak mengelilingi matahari serta tidak saling bertabrakan? Mengapa

bulan mengelilingi bumi?, lalu siswa mengungkapkan pendapatnya, bahwa

planet-planet, bintang, dan bumi bergerak mengelilingi matahari untuk

menjaga keseimbangan, agar tidak tertarik ke dalam matahari. Kemudian

Bulan mengelilingi bumi juga karena keseimbangan agar tidak tertarik ke

bumi. Selanjutnya siswa menyimak tujuan pembelajaran yang disampaikan

guru. Siswa berkelompok berdasarkan intruksi dari guru, dimana setiap


44

kelompok terdiri 5 orang yang memiliki tipe kepribadian sangunis, koleris,

melankolis, dan phlegmatis.

Siswa mengamati gambar sistem tata surya yang ditampilkan guru, dan

siswa dengan bimbingan guru menjawab pertanyaaan yang diajukan guru

terkait bagaimanakah gerak planet-planet dalam sistem tata surya?.

Siswa menyimak penjelasan dari guru terkait materi tentang hukum

Keppler. Selanjutnya, siswa melalui bimbingan guru berdiskusi dengan

kelompoknya mengenai Bagaimana lintasan planet-planet mengelilingi

matahari? Bagaimana luas juring yang di sapu planet pada posisi

tertentu? Bagaimana periode planet-planet mengelilingi matahari?.

Siswa bersama kelompoknyanya mendiskusikan permasalahan dan

bersama guru membuat hipotesis yang akan diuji kebenarannya, bahwa

lintasan planet elips, luas juring sama yang disapu planet, dan periode

planet-planet mengelilingi berbeda-beda tergantung jarak antar planet

dengan matahari.

Tahap selanjutnya siswa melalui bimbingan guru melakukan kajian

literatur dan mengamati simulasi dari phet colorado mengenai bumi

mengitari matahari yang ditampilkan oleh guru. Kemudian siswa

mendiskusikan dengan kelompoknya mengenai hasil kajian literatur dan

pengamatan melalui simulasi phet colorado terkait pemecahan masalah,

siswa membuat kesimpulannya, bahwa semua planet bergerak pada

lintasan elips mengitari matahari dengan matahari berada di salah satu

fokus elips, suatu garis khayal yang menghubungkan matahari dengan


45

planet menyapu luas juring yang sama dalam selang waktu yang sama, dan

perbandingan kuadrat periode terhadap pangkat tiga dari setengah sumbu

panjang elips adalah sama untuk semua planet.

Siswa menuliskan hasil diskusi dan pembahasannya, lalu setiap kelompok

menyampaikan hasil diskusinya secara lisan di depan kelas dan kelompok

lain menanggapi. Selain menanggapi, setiap kelompok merangkum hasil

diskusi kelompok yang telah presentasi..

2. Penyajian Data

a. Data Tipe Kepribadian

Data penggolongan tipe kepribadian siswa dapat dilihat pada lampiran

ke 12 halaman 155. Dari pilihan pernyataan pada tes tersebut diperoleh

data hasil tipe kepribadian siswa pada Tabel 5 sebagai berikut:

Tabel 5. Data Tipe Kepribadian Siswa


No. Tipe Kepribadian Siswa Persentase (%)
1 Sanguinis 37,50
2 Koleris 25,00
3 Melankolis 12,50
4 Phlegmatis 25,00
Jumlah 100,00

Tabel 5 menunjukkan bahwa siswa yang bertipe kepribadian sanguinis

sebanyak 15 siswa (37,50%), koleris sebanyak 10 siswa (25,00%),

melankolis sebanyak 5 siswa (12,50%), dan phlegmatis sebanyak 10

siswa (25,00%). Banyaknya pilihan siswa setelah mengisi angket tes

kepribadian hanya bertujuan untuk menggolongkan siswa yang


46

memiliki tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, ataupun

phlegmatis.

b. Data Keterampilan Proses Sains

Data keterampilan proses sains dengan menggunakan model

collaborative teamwork learning ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Data Keterampilan Proses Sains


Nilai Nilai
Mean Standar Deviasi Varians
Minimum Maksimum
79,37 5,68 32,29 57,50 87,50

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai keterampilan proses sains yang

mengikuti model collaborative teamwork learning memiliki rentang

nilai 57,50 sampai 87,50. Rata-rata nilai keterampilan proses sains

adalah 79,37. Jika data tersebut dikategorikan berdasarkan metode

penelitian, dimana nilai di bawah 55,00 dikategorikan sangat kurang,

nilai dari 56,00 sampai 65,00 dikategorikan kurang, nilai 66,00 sampai

75,00 dikategorikan cukup, nilai 76,00 sampai 85,00 dikategorikan

baik, dan nilai 86,00 sampai 100 dikategorikan sangat baik.

Hasil perhitungan diketahui bahwa siswa yang memperoleh kategori

sangat baik sebanyak 4 siswa (10,00%), kategori baik sebanyak 32

siswa (80,00%), kategori cukup 3 siswa (7,50%), dan 1 siswa (2,50%)

yang memperoleh kategori kurang. Hasil lengkapnya disajikan dalam

tabel 7.
47

Tabel 7. Persentase Nilai Keterampilan Proses Sains


Nilai Mentah Kategori Frekuensi Persentase (%)
81-100 Sangat Baik 4 10,00
61-80 Baik 32 80,00
41-60 Cukup 3 7,50
21-40 Kurang 1 2,50
0-20 Sangat Kurang 0 0

Keterampilan proses sains digolongkan menjadi empat, meliputi:

keterampilan proses sains pada kepribadian sanguinis, koleris,

melankolis, dan phlegmatis. Data pengelompokkan keterampilan proses

sains siswa dapat dilihat pada lampiran ke 14 halaman 72. Dari hasil

analisis keterampilan proses sains tersebut diperoleh data pada Tabel 8

sebagai berikut:

Tabel 8. Deskripsi Nilai Keterampilan Proses Sains


Nilai
Data
Sanguinis Koleris Melankolis Phlegmatis
Nilai Rata-rata 80,50 82,00 82,00 73,75
Standar Deviasi 3,43 4,04 3,25 7,19
Nilai Minimum 75,00 77,50 80,00 57,50
Nilai Maksimum 87,50 87,50 87,50 80,00

Tabel 8 menunjukkan nilai keterampilan proses sains pada masing-

masing tipe kepribadian yang dimiliki siswa. Pertama keterampilan

proses sains siswa yang mengikuti pembelajaran collaborative

teamwork learning dengan kepribadian sanguinis mempunyai rentang

nilai 75,00 sampai 87,50 dengan jumlah siswa 15. Nilai minimum dan

maksimum adalah 75,00 dan 87,50 serta rata-rata adalah 80,50.

Kedua keterampilan proses sains siswa yang mengikuti pembelajaran

collaborative teamwork learning dengan kepribadian koleris


48

mempunyai rentang nilai 77,50 sampai 87,50 dengan jumlah siswa 10.

Nilai minimum dan maksimum adalah 77,50 dan 87,50 serta rata-rata

adalah 82,00.

Ketiga keterampilan proses sains siswa yang mengikuti pembelajaran

collaborative teamwork learning dengan kepribadian melankolis

mempunyai rentang nilai 80,00 sampai 87,50 dengan jumlah siswa 10.

Nilai minimum dan maksimum adalah 80,00 dan 87,50 serta rata-rata

adalah 82,00.

Keempat keterampilan proses sains siswa yang mengikuti pembelajaran

collaborative teamwork learning dengan kepribadian koleris

mempunyai rentang nilai 57,50 sampai 87,50 dengan jumlah siswa 10.

Nilai minimum dan maksimum adalah 57,50 dan 87,50 serta rata-rata

adalah 73,75.

3. Pengujian Asumsi Data

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan sebagai prasyarat sebelum melakukan uji One

Way Anova untuk melihat apakah data yang diperoleh berdistribusi

normal atau tidak. Uji normalitas dengan menggunakan program

komputer SPSS 21 dengan metode Shapiro-Wilk dengan

membandingkan nilai sig. dengan taraf sig. 5 % atau 0,05. Hasil

pengujian normalitas keterampilan proses sains dapat dilihat pada Tabel

9 sebagai berikut.
49

Tabel 9. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk


Tipe Shapiro-Wilk
Data Kepribadian
Statistic df Sig.
Siswa
Sanguinis 0,932 15 0,296
Koleris 0,875 10 0,109
Keterampilan Proses Sains
Melankolis 0,735 5 0,021
Phlegmatis 0,723 10 0,002

Tabel 9 menunjukkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk, nilai sig. untuk

data keterampilan proses sains pada tipe kepribadian sanguinis sebesar

0,296. Tipe kepribadian koleris memperoleh nilai sig. sebesar 0,109.

Tipe kepribadian melankolis memperoleh nilai sig. sebesar 0,021. Tipe

kepribadian phlegmatis memperoleh nilai sig .sebesar 0,002.

Berdasarkan hasil uji diperoleh nilai sig. di atas 0,05 untuk kepribadian

sanguinis dan koleris. Sedangkan tipe kepribadian melankolis dan

phlegmatis diperoleh nilai sig. di bawah 0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa data nilai keterampilan proses sains pada tipe

kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis berdistribusi

tidak normal, sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilakukan analisis

One Way Anova.

4. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Hasil uji prasyarat One Way Anova tidak terpenuhi, maka dapat dilakukan

uji beda menggunakan non-parametric. Adapun hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah:


50

Hipotesis Pertama

H0 : Tidak terdapat pengaruh model collaborative teamwork learning

terhadap keterampilan proses sains siswa pada tipe kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis dan phlegmatis.

H1 : Terdapat pengaruh model collaborative teamwork learning

terhadap keterampilan proses sains siswa pada tipe kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis dan phlegmatis.

Hipotesis Kedua

H0 : Tidak terdapat perbedaan rata-rata keterampilan proses sains pada

tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis

dalam pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork

learning.

H1 : Terdapat perbedaan rata-rata keterampilan proses sains pada tipe

kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis dalam

pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork

learning.

Hasil uji hipotesis keterampilan proses sains dalam penelitian ini

menggunakan teknik Kruskal Wallis dengan nilai sig. sebesar 0,003 yang

artinya kurang dari 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan

bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran collaborative teamwork

learning terhadap keterampilan proses sains siswa pada tipe kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis.


51

Keterampilan proses sains dari masing-masing tipe kepribadian

dibandingkan. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil Uji Beda antara Tipe Kepribadian Siswa


Tidak ada
Sample 1-Sample 2 Sig. Ada Perbedaan
perbedaan
Phlegmatis-Sanguinis 0,039
Phlegmatis-Koleris 0,009
Phlegmatis-Melankolis 0,022
Sanguinis-Koleris 1,000
Sanguinis-Melankolis 1,000
Koleris-Melankolis 1,000

Tabel 11 menunjukkan hasil uji statistik keterampilan proses sains antar tipe

kepribadian. Tipe kepribadian phlegmatis dengan sanguinis diperoleh nilai

sig. sebesar 0,039 yang artinya nilai sig. kurang dari 0,05. Hal ini

menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat perbedaan keterampilan proses sians antara siswa phlegmatis

dengan sanguinis. Tipe Kepribadian phlegmatis dengan koleris diperoleh

nilai sig. sebesar 0,009 yang artinya nilai sig. kurang dari 0,05. Hal ini

menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara siswa phlegmatis

dengan koleris.

Tipe kepribadian phlegmatis dengan melankolis diperoleh nilai sig. sebesar

0,022 yang artinya nilai sig. kurang dari 0,05. Hal ini menunjukkan H0

ditolak dan H1 diterima, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

keterampilan proses sains antara siswa phlegmatis dengan melankolis. Tipe

kepribadian sanguinis dengan koleris diperoleh nilai sig. sebesar 1,000 yang

artinya nilai sig. lebih dari 0,05. Hal ini menunjukkan H0 diterima dan H1
52

ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan keterampilan

proses sains siswa antara sanguinis dengan koleris secara signifikan.

Tipe kepribadian sanguinis dengan melankolis diperoleh nilai sig. sebesar

1,000 yang artinya nilai sig. lebih dari 0,05. Hal ini menunjukkan H0

diterima dan H1 ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

keterampilan proses sains antara siswa sanguinis dengan melankolis secara

signifikan. Tipe kepribadian koleris dengan melankolis diperoleh nilai sig.

sebesar 1,000 yang artinya nilai sig. lebih dari 0,05. Hal ini menunjukkan H0

diterima dan H1 ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan keterampilan proses sains antara siswa koleris dengan melankolis

secara signifikan.

B. Pembahasan

1. Pengaruh Model Collaborative Teamwork Learning terhadap


Keterampilan Proses Sains pada Tipe Kepribadian Sanguinis,
Koleris, Melankolis, dan Phlegmatis

Hasil pengujian Kruskal Wallis pada keterampilan proses sains siswa

setelah diterapkan model pembelajaran collaborative teamwork learning

diperoleh nilai sig. sebesar 0,003. Berdasarkan data tersebut diketahui

bahwa nilai sig. <0,05. Artinya terdapat pengaruh model pembelajaran

collaborative teamwork learning terhadap keterampilan proses sains

siswa pada tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis.
53

Pengaruh model collaborative teamwork learning terhadap keterampilan

proses sains berkaitan dengan karakteristik tipe kepribadian menurut

Littauer (1996). Tipe kepribadian yang pertama adalah sanguinis. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa model collaborative teamwork learning

terhadap keterampilan proses sains siswa sanguinis tampak lebih antusias

dalam berkomunikasi, siswa merasa yakin dengan pendapat yang

diungkapkannya. Saat guru atau siswa memberikan pertanyaan maka

siswa lain mengungkapkan pendapatnya. Selain itu, selama proses diskusi

memiliki keterampilan mengamati, merencanakan percobaan, melakukan

percobaan, menginterpretasi data, memprediksi, dan menerapkan konsep

yang tinggi dapat dilihat pada tabel 11. Hal ini dikarenakan siswa

sanguinis memiliki sifat yang cenderung optimis, kreatif, penuh rasa ingin

tahu, dan mudah berteman. Namun, keterampilan membuat hipotesis

siswa sanguinis rendah dikarenakan memiliki sifat yang cenderung

emosional. Saat diskusi terkait permasalahan, siswa sanguinis tampak

lebih emosional dalam mengungkapkan pendapatnya.

Tipe kepribadian yang kedua adalah koleris. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa model collaborative teamwork learning terhadap

keterampilan proses sains siswa koleris tampak lebih aktif dalam

berkomunikasi, dan siswa merasa tertarik dengan komunikasi tersebut.

Saat guru atau siswa meminta memberikan permasalahan, maka siswa

lain mengungkapkan pendapatnya dengan yakin dan tegas. Selain itu,

selama proses diskusi juga memiliki keterampilan mengamati, membuat

hipotesis, merencanakan percobaan, melakukan percobaan,


54

menginterpretasi data, memprediksi, dan menerapkan konsep yang tinggi

dapat dilihat pada tabel 11. Hal ini dikarenakan siswa koleris memliki

sifat yang cenderung berkemauan yang kuat dan tegas, berbakat

pemimpin, aktif, tidak emosional, penuh keyakinan, berorientasi pada

target dan terorganisasi dengan baik.

Tipe kepribadian yang ketiga adalah melankolis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa model collaborative teamwork learning terhadap

keterampilan proses sains siswa melankolis tampak lebih teliti dalam

merencanakan penyelidikan, siswa merasa tertarik dengan penyelidikan

tersebut. Saat guru atau siswa memberikan penjelasan maka siswa lain

mencatat hal-hal penting yang disampaikan. Selain itu, selama proses

diskusi siswa juga memiliki keterampilan mengamati, membuat hipotesis,

melakukan percobaan, menginterpretasi data, memprediksi dan

menerapkan konsep yang tinggi dapat dilihat pada tabel 11. Siswa

melankolis memiliki sifat yang cenderung mendalam penuh pikiran, dan

analisis yang tinggi dalam pemecahan masalah. Namun, untuk

keterampilan berkomunikasi siswa melankolis cenderung rendah

dikarenakan sifat yang tertutup dan hati-hati dalam berteman.

Tipe kepribadian yang keempat adalah phlegmatis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa model collaborative teamwork learning terhadap

keterampilan proses sains siswa phlegmatis tampak lebih tenang dalam

merencanakan percobaan dan menginterpretasi data, siswa merasa tertarik

dengan percobaan dan interpretasi data tersebut. Saat guru atau siswa
55

memberikan penjelasan sebelum melakukan penyeldidikan maka siswa

lain mampu menuliskan rencana percobaan. Setelah melakukan

penyelidikan siswa mampu menginterpretasi data yang diperoleh dengan

baik.

Selain itu, selama proses diskusi memiliki keterampilan melakukan

percobaan, memprediksi, menerapkan konsep yang tinggi dapat dilihat

pada tabel 11. Hal ini dikarenakan siswa phlegmatis memiliki sifat yang

cenderung konsisten, tenang, baik keseimbangannya, menyembunyikan

emosi, pendengar yang baik, tidak tergesa-gesa, dan mudah diajak

bergaul. Namun, keterampilan mengamati, membuat hipotesis, dan

berkomunikasi siswa phlegmatis rendah dikarenakan memiliki sifat

cenderung mudah sepakat. Saat guru atau siswa lain memberikan

penjelasan atau pertanyaan, siswa phlegmatis kurang antusias dalam

mengungkapkan pendapatnya, dan cenderung mudah sepakat dengan

pendapat orang lain.

Pembelajaran collaborative teamwork learning, siswa diberikan

permasalahan melalui video bumi mengelilingi matahari, aktivitas di

dalam kelompoknya nampak siswa mengungkapkan pendapat mengenai

hal yang yang terjadi ketika matahari dan bumi tidak memiliki gravitasi.

Kemudian siswa juga berdiskusi untuk saling memberikan informasi

mengenai gaya gravitasi yang dimiliki bumi dan matahari. Siswa juga

mengungkapkan dugaan sementara terkait jawaban dari masalah,

sehingga siswa dapat mengembangkan pemahaman konsep dan


56

keterampilan proses sains pada indikator hipotesis. Menurut Sudarman

(2008), pembelajaran kolaboratif adalah proses belajar kelompok yang

setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap,

pendapat, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara

bersama-sama saling mengembangkan keterampilan proses sains seluruh

anggota.

Selain menggunakan sumber buku terkait pemecahan masalah, siswa juga

dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Siswa dengan bimbingan guru

melakukan penyelidikan ilmiah menggunakan simulasi Phet Colorado

mengenai gaya gravitasi bumi dan matahari, hal ini memberikan

kesempatan kepada siswa untuk merumuskan permasalahan, menganalisis

hasil penyelidikan hingga mengkomunikasikan hasil penyelidikannya

terkait pemecahan masalah, sehingga siswa dapat mengembangkan

keterampilan proses sainsnya pada indikator keterampilan mengamati,

merencanakan dan melakukan percobaan, menginterpretasi data,

memprediksi, menerapkan konsep dan berkomunikasi. Proses

penyelidikan dianggap sebagai proses terbuka yang berarti siswa memiliki

pertanyaan sendiri dan mencari jawaban sendiri (Kim dan Chin, 2008).

Pembelajaran collaborative teamwork learning melibatkan siswa untuk

bekerja sama dalam tim, sehingga siswa mengalami pembelajaran lebih

mudah untuk memahami konsep yang telah diberikan melalui aktivitas

diskusi kelompok, seperti yang diungkapkan oleh Gunawan (2012) bahwa

tujuan diterapkannya pendekatan keterampilan proses dalam


57

pembelajaran adalah untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal,

efektif, dan efisien.

2. Perbandingan Keterampilan Proses Sains pada Tipe Kepribadian


Sanguinis, Koleris, Melankolis, dan Phlegmatis dalam pembelajaran
menggunakan Model Collaborative Teamwork Learning
84
82 82
82 80.5
80
78
76
73.75
74
72
70
68
Sanguinis Koleris Melankolis Phlegmatis
Gambar 2. Rata-rata KPS Berdasarkan Tipe Kepribadian Siswa

Gambar 2 menunjukkan rata-rata keterampilan proses sains berdasarkan

tipe kepribadian. Keterampilan proses sains pada siswa koleris dan

melankolis memiliki rata-rata yang sama dan lebih tinggi dibandingkan

dengan rata-rata keterampilan proses sains siswa sanguinis dan

phlegmatis. Namun, rata-rata keterampilan proses sains siswa sanguinis

lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata siswa phlegmatis.

Siswa yang bertipe kepribadian sanguinis, koleris, dan melankolis

cenderung mudah untuk mengembangkan keterampilan proses sainsnya,

sehingga pemahaman konsep siswa tertanam dengan baik. Dari hasil

analisis yang dilakukan, didapati rata-rata nilai keterampilan proses sains

siswa sanguinis sebesar 80,50. Siswa koleris dan melankolis sebesar


58

82,00. Sedangkan siswa phlegmatis sebesar 73,75. Perbedaan rata-rata ini

menunjukkan bahwa siswa yang bertipe kepribadian sanguinis, koleris

dan melankolis lebih baik dalam mengembangkan keterampilan proses

sainsnya jika dibandingkan dengan siswa yang bertipe kepribadian

phlegmatis.

Tabel 11. Pencapaian KPS berdasarkan Tipe Kepribadian

Siswa yang Bertipe Kepribadian


Indikator Pencapaian
Sanguinis Koleris Melankolis Phlegmatis
Mengamati 72% 88% 84% 52%
Membuat Hipotesis 68% 82% 88% 68%
Merencanakan 83% 82% 92% 86%
percobaan
Melakukan percobaan 81% 74% 72% 88%
Menginterpretasi Data 83% 80% 84% 86%
Memprediksi 84% 84% 88% 76%
Menerapkan Konsep 84% 74% 88% 78%
Berkomunikasi 89% 92% 60% 56%

a. Keterampilan Proses Sains siswa pada Tipe Kepribadian


Phlegmatis Vs Sanguinis

Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan Kruskal Wallis, maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan keterampilan proses

sains siswa antara tipe kepribadian phlegmatis dengan sanguinis.

Rata-rata nilai keterampilan proses sains pada siswa sanguinis lebih

tinggi dari pada rata-rata keterampilan proses sains yang diperoleh

dari siswa phlegmatis setelah diterapkan pembelajaran collaborative

teamwork learning. Perbedaan keterampilan proses sains tersebut

berkaitan dengan indikator pencapaian keterampilan proses sains

menurut putri (2014) dan karakteristik dari kedua tipe kepribadian

menurut Littauer (1996).


59

Pencapaian indikator KPS yang pertama adalah keterampilan

mengamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

mengamati sanguinis lebih tinggi dibandingkan phlegmatis. Jika

meninjau teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua kepribadian

tersebut, siswa phlegmatis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam

proses pengamatan (sabar, tenang, tidak tergesa-gesa, cakap dan

konsisten).

Berbeda dengan sanguinis yang emosional. Seharusnya siswa

phlegmatis lebih besar dari sanguinis. Namun karena pembelajaran

disajikan dengan model collaborative teamwork learning yang

menuntut untuk interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat

phlegmatis yang sulit mengambil kesimpulan membuatnya kurang

termotivasi melakukan pengamatan. Sehingga pada akhirnya siswa

phlegmatis akan mengikuti pendapat teman kelompok yang

mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang kedua adalah keterampilan membuat

hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

membuat hipotesis sanguinis sama dengan phlegmatis. Jika meninjau

teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua kepribadian tersebut,

siswa sanguinis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses

membuat hipotesis yaitu antusias dan penuh rasa ingin tahu. Begitu

juga dengan siswa phlegmatis yang memiliki sifat konsisten dan

cakap. Namun, karena pembelajaran disajikan dengan model


60

collaborative teamwork learning yang menuntut untuk interaksi

dalam kelompok kecenderungan sifat sanguinis yang emosional dan

phlegmatis mudah menerima pendapat orang lain. Sehingga pada

akhirnya siswa sanguinis dan phlegmatis memiliki keterampilan

membuat hipotesis yang sama.

Pencapaian indikator KPS yang ketiga adalah keterampilan

merencanakan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan merencanakan percobaan phlegmatis lebih tinggi dari

sanguinis. Hal ini senada dengan penelitian Littauer (1996) mengenai

karakterisik dua kepribadian tersebut, siswa phlegmatis memiliki sifat

yang dibutuhkan dalam proses merencanakan percobaan (sabar,

tenang, tidak tergesa-gesa, cakap dan konsisten). Berbeda dengan

sanguinis yang terburu-buru dan emosional.

Pencapaian indikator KPS yang keempat adalah keterampilan

melakukan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan melakukan percobaan phlegmatis lebih tinggi

dibandingkan sanguinis. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik dua tipe kepribadian tersebut, siswa

phlegmatis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses melakukan

percobaan (sabar, tenang, tidak tergesa-gesa, cakap dan konsisten).

Berbeda dengan sanguinis yang terburu-buru dan emosional.

Pembelajaran collaborative teamwork learning yang menuntut untuk

interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat sanguinis terburu-buru


61

dalam bertindak sehingga membuatnya ceroboh melakukan

percobaan. Pada akhirnya siswa sanguinis memiliki keterampilan

melakukan percobaan yang lebih rendah dari phlegmatis.

Pencapaian indikator KPS yang kelima adalah keterampilan

menginterpretasi data. Hasil penelitian menunjukikan bahwa

keterampilan menginterpretasi data siswa phlegmatis lebih tinggi

dibandingkan sanguinis. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik dua tipe kepribadian tersebut, siswa

phlegmatis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses

menginterpretasi data (tenang, cakap, dan konsisten). Berbeda dengan

sanguinis yang terburu-buru.

Pembelajaran collaborative teamwork learning yang menuntut untuk

interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat sanguinis terburu-buru

membuatnya kurang konsisten menginterpretasi data. Pada akhirnya

siswa sanguinis memiliki keterampilan menginterpretasi data yang

lebih rendah dari phlegmatis.

Pencapaian indikator KPS yang keenam adalah keterampilan

memprediksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

memprediksi sanguinis lebih tinggi dari phlegmatis. Hal ini didukung

oleh teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua kepribadian

tersebut, siswa sanguinis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses

memprediksi (penuh rasa ingin tahu, kreatif, suka berbicara dan


62

antusias). Berbeda dengan siswa phlegmatis yang memiliki sifat

pesimis dan mudah sepakat.

Pembelajaran disajikan dengan model collaborative teamwork

learning yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok

kecenderungan sifat phlegmatis sulit membuat kesimpulan

membuatnya kurang termotivasi untuk memprediksi. Sehingga pada

akhirnya siswa phlegmatis akan mengikuti pendapat teman kelompok

yang mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang ketujuh adalah keterampilan

menerapkan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menerapkan konsep sanguinis lebih tinggi dibandingkan

phlegmatis. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai

karakteristik dua kepribadian tersebut, siswa sanguinis memiliki sifat

yang dibutuhkan dalam proses menerapkan konsep (penuh rasa ingin

tahu, kreatif, suka berbicara dan antusias). Berbeda dengan siswa

phlegmatis yang memiliki sifat pesimis dan mudah sepakat.

Pembelajaran disajikan dengan model collaborative teamwork

learning yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok

kecenderungan sifat phlegmatis sulit mengambil kesimpulan yang

mebuatnya kurang termotivasi menerapkan konsep. Sehingga pada

akhirnya siswa phlegmatis akan mengikuti pendapat teman kelompok

yang mendominasi.
63

Pencapaian indikator KPS yang kedelapan adalah keterampilan

berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

berkomunikasi sanguinis jauh lebih tinggi dibandingkan phlegmatis.

Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua

kepribadian tersebut, siswa sanguinis memiliki sifat yang dibutuhkan

dalam proses berkomunikasi yaitu suka berbicara dan penuh

semangat. Berbeda dengan siswa phlegmatis yang memiliki sifat diam

dan sebagai pendengar yang baik.

Pembelajaran disajikan dengan model collaborative teamwork

learning yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok

kecenderungan sifat phlegmatis lebih suka diam dan menjadi

pendengar membuatnya kurang antusisas berkomunikasi. Sehingga

pada akhirnya siswa phlegmatis akan menjadi pendengar teman

kelompok yang mendominasi.

b. Keterampilan Proses Sains Siswa pada Tipe Kepribadian


Phlegmatis Vs Koleris

Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan Kruskal Wallis, maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan keterampilan proses

sains siswa antara tipe kepribadian phlegmatis dengan sanguinis.

Rata-rata nilai keterampilan proses sains pada siswa koleris lebih

tinggi dari pada rata-rata keterampilan proses sains yang diperoleh

dari siswa phlegmatis setelah diterapkan pembelajaran collaborative

teamwork learning. Perbedaan keterampilan proses sains tersebut

berkaitan dengan indikator pencapaian keterampilan proses sains


64

menurut putri (2014) dan karakteristik dari kedua tipe kepribadian

menurut Littauer (1996).

Pencapaian indikator KPS yang pertama adalah keterampilan

mengamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

mengamati koleris lebih tinggi dibandingkan phlegmatis. Jika

meninjau teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua kepribadian

tersebut, siswa phlegmatis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam

proses pengamatan (sabar, tenang, tidak tergesa-gesa, cakap dan

konsisten).

Hal yang sama juga dibutuhkan dalam proses pengamatan siswa

koleris yang memiliki sifat aktif, tegas, dan percaya diri. Seharusnya

koleris dan phlegmatis memiliki keterampilan mengamati yang sama.

Namun, karena pembelajaran disajikan dengan model collaborative

teamwork learning yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok

kecenderungan sifat phlegmatis yang sulit mengambil kesimpulan

membuatnya kurang termotivasi melakukan pengamatan. Sehingga

pada akhirnya siswa phlegmatis akan mengikuti pendapat teman

kelompok yang mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang kedua adalah keterampilan membuat

hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

membuat hipotesis koleris lebih tinggi dibandingkan phlegmatis. Hal

senada didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua

kepribadian tersebut, siswa koleris memiliki sifat yang dibutuhkan


65

dalam proses membuat hipotesis (aktif, tegas, tidak emosional,

percaya diri). Berbeda dengan siswa phlegmatis yang memiliki sifat

diam, mudah sepakat dan pendengar yang baik. Sehingga siswa

koleris lebih tinggi dari phlegmatis.

Pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork learning

yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat

phlegmatis yang sulit mengambil kesimpulan membuatnya kurang

antusias membuat hipotesis. Pada akhirnya siswa phlegmatis akan

mengikuti pendapat teman kelompok yang mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang ketiga adalah keterampilan

merencanakan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan merencanakan percobaan phlegmatis lebih tinggi

dibandingkan koleris. Jika meninjau teori Littauer (1996) mengenai

karakteristik dua kepribadian tersebut, siswa koleris memiliki sifat

yang dibutuhkan dalam proses merencanakan percobaan (aktif, penuh

keyakinan, tegas, berorientasi target, dan terorganisasi dengan baik).

Berbeda dengan phlegmatis yang memiliki sifat diam, tenang, mudah

sepakat, dan pendengar yang baik. Seharusnya siswa koleris lebih

tinggi dari phlegmatis. Namun, karena karena pembelajaran disajikan

dengan model collaborative teamwork learning yang menuntut untuk

interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat koleris sulit untuk

berteman membuatnya kurang bekerjasama merencanakan percobaan.


66

Sehingga pada akhirnya siswa koleris akan sulit menerima pendapat

teman kelompok yang mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang keempat adalah keterampilan

melakukan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan melakukan percobaan phlegmatis lebih tinggi

dibandingkan dengan koleris. Jika meninjau teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik dua kepribadian tersebut, siswa koleris

memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses melakukan percobaan

yaitu aktif, tegas, yakin, optimis, dan terorganisasi dengan baik.

Berbeda dengan phlegmatis yang memiliki sifat tenang, diam,

pendengar yang baik. Seharusnya siswa koleris lebih tinggi

dibandingkan phlegmatis. Namun, karena pembelajaran disajikan

dengan model collaborative teamwork learning yang menuntut untuk

interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat koleris sulit untuk

berteman membuatnya kurang bekerjasama melakukan percobaan.

Sehingga pada akhirnya siswa koleris akan sulit berinteraksi dengan

teman kelompok yang mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang kelima adalah keterampilan

menginterpretasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menginterpretasi data phlegmatis lebih tinggi

dibandingkan koleris. Jika meninjau teori Littauer (1996) mengenai

karakteristik dua kepribadian tersebut, siswa phlegmatis memiliki sifat


67

yang dibutuhkan dalam proses menginterpretasi data (tenang, cakap,

dan konsisten).

Berbeda dengan siswa koleris yang memiliki sifat berkembang karena

saingan, sulit menerima pendapat orang lain. Dalam pembelajaran

menggunakan model collaborative teamwork learning yang menuntut

untuk interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat koleris sulit

untuk menerima pendapat dan berkomunikasi membuatnya kurang

bisa bekerja sama dengan kelompokknya. Sehingga pada akhirnya

siswa koleris akan sulit berinteraksi dengan teman kelompok yang

mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang keenam adalah keterampilan

memprediksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

memprediksi koleris lebih tinggi dibandingkan phlegmatis. Hal ini

senada dengan teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua

kepribadian tersebut, siswa phlegmatis memiliki sifat yang dibutuhkan

dalam proses memprediksi (tenang, cakap, dan konsisten). Berbeda

dengan siswa koleris yang memiliki sifat berkembang karena saingan,

sulit menerima pendapat orang lain.

Pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork learning

yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat

phlegmatis sulit membuat kesimpulan yang membuatnya kurang

antusias memprediksi. Sehingga pada akhirnya siswa phlegmatis akan

mengikuti pendapat teman kelompok yang mendominasi.


68

Pencapaian indikator KPS yang ketujuh adalah keterampilan

menerapkan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menerapkan konsep phlegmatis lebih tinggi

dibandingkan koleris. Hal senada dengan teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik dua kepribadian tersebut, siswa phlegmatis

memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses menerapkan konsep

(tenang, tidak tergesa-gesa, cakap, dan konsisten). Berbeda dengan

siswa koleris yang memiliki sifat aktif, tegas, dan bergerak cepat

untuk bertindak.

Pembelajaran disajikan menggunakan model collaborative teamwork

learning yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok

kecenderungan sifat koleris tidak mudah menerima pendapat orang

lain membuatnya kurang dapat bekerja sama dengan teman

kelompoknya. Sehingga pada akhirnya siswa koleris tidak dapat

berinteraksi dengan teman kelompok yang mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang kedelapan adalah keterampilan

berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koleris lebih

tinggi dibandingkan phlegmatis. Hal senada dengan teori Littauer

(1996) mengenai karakteristik dua kepribadian tersebut, siswa koleris

memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses berkomunikasi (aktif,

berbakat pemimpin, percaya diri, tegas). Berbeda dengan siswa

phlegmatis yang memiliki sifat diam, tenang, mudah sepakat dan

sebagai pendengar yang baik.


69

Pembelajaran disajikan menggunakan model collaborative teamwork

learning yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok

kecenderungan sifat phlegmatis lebih suka menjadi pendengar yang

membuatnya kurang termotivasi untuk berkomunikasi. Sehingga pada

akhirnya siswa phlegmatis akan menjadi pendengar teman kelompok

yang mendominasi.

c. Keterampilan Proses Sains Siswa pada Tipe Kepribadian


Phlegmatis Vs Melankolis

Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan Kruskal Wallis, maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan keterampilan proses

sains siswa antara tipe kepribadian phlegmatis dengan sanguinis.

Rata-rata nilai keterampilan proses sains pada siswa melankolis lebih

tinggi dari pada rata-rata keterampilan proses sains yang diperoleh

dari siswa phlegmatis setelah diterapkan pembelajaran collaborative

teamwork learning.Perbedaan keterampilan proses sains tersebut

berkaitan dengan indikator pencapaian keterampilan proses sains

menurut putri (2014) dan karakteristik dari kedua tipe kepribadian

menurut Littauer (1996).

Pencapaian indikator KPS yang pertama adalah keterampilan

mengamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

mengamati melankolis lebih tinggi dibandingkan phlegmatis. Hal ini

didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat yang dibutuhkan


70

dalam proses mengamati yaitu cermat dan serius. Berbeda dengan

siswa phlegmatis yang memiliki sifat diam, tenang, dan mudah

sepakat.

Pencapaian indikator KPS yang kedua adalah keterampilan membuat

hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

membuat hipotesis melankolis lebih tinggi dibandingkan phlegmatis.

Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996) yang menyatakan bahwa

siswa melankolis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses

membuat hipotesis yaitu analitis, serius, cermat, mendalam dan penuh

pikiran. Berbeda dengan siswa phlegmatis yang memiliki sifat diam,

tenang, dan mudah sepakat.

Pencapaian indikator KPS yang ketiga adalah keterampilan

merencanakan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan merencanakan melankolis lebih tinggi dibandingkan

phlegmatis. Hal ini didukung oleh penelitian Risnawaty (2008),

bahwa siswa melankolis memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses

merencanakan percobaan. Berbeda dengan siswa phlegmatis yang

memiliki sifat tidak lekas mengambil kesimpulan.

Pencapaian indikator KPS yang keempat adalah keterampilan

melakukan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oleh

penelitian Littauer (1996) yang menyatakan bahwa keterampilan

melakukan percobaan phlegmatis lebih tinggi dibandingkan

melankolis. Jika meninjau teori Littauer mengenai karakteristik dua


71

kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat yang dibutuhkan

dalam proses melakukan percobaan yaitu cermat, teliti, tertib dan

terorganisasi.

Berbeda dengan siswa phlegmatis yang memiliki sifat diam, tenang,

mudah sepakat dan sebagai pendengar yang baik. Seharusnya

melankolis lebih tinggi daripada phlegmatis. Namun, dalam

pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork learning

yang menuntut untuk interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat

melankolis lebih hati-hati dalam berteman yang membuatnya kurang

berinteraksi untuk melakukan percobaan. Sehingga pada akhirnya

siswa melankolis memiliki keterampilan melakukan percobaan yang

lebih rendah.

Pencapaian indikator KPS yang kelima adalah keterampilan

menginterpretasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menginterpretasi data phlegmatis lebih tinggi

dibandingkan melankolis. Jika meninjau teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik dua kepribadian tersebut, siswa melankolis

memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses menginterpretasi data

yaitu perfeksionis, cermat, tekun, tertib dan terorganisasi.

Berbeda dengan siswa phlegmatis yang memiliki sifat diam, tenang,

dan mudah sepakat. Seharusnya siswa melankolis lebih tinggi

dibandingkan phlegmatis. Namun, dalam pembelajaran menggunakan

model collaborative teamwork learning yang menuntut untuk


72

interaksi dalam kelompok kecenderungan sifat melankolis lebih hati-

hati dalam berteman yang membuatnya kurang berinteraksi untuk

melakukan percobaan. Sehingga pada akhirnya siswa melankolis

memiliki keterampilan melakukan menginterpretasi data yang lebih

rendah.

Pencapaian indikator KPS yang keenam adalah keterampilan

memprediksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

memprediksi melankolis lebih tinggi dibandingkan phlegmatis. Hal ini

didukung oleh penelitian Littauer (1996) mengenai karakteristik

kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat analitis,

cermat, mendalam dan penuh pikiran. Berbeda dengan siswa

phlegmatis menurut Risnawaty bahwa tidak lekas mengambil

kesimpulan, dan santai.

Pencapaian indikator KPS yang ketujuh adalah keterampilan

menerapkan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menerapkan konsep melankolis lebih tinggi

dibandingkan phlegmatis. Hal ini didukung oleh penelitian

Risnawaty (2008), bahwa melankolis termasuk pemikir, suka

mendalami permasalahan. Berbeda dengan siswa hlegmais yang

memiliki sifat pesimis, sulit mengambil kesimpulan.

Pencapaian indikator KPS yang kedelapan adalah keterampilan

berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

berkomunikasi melankolis lebih tinggi dibandingkan phlegmatis.


73

Namun, keduanya memiliki selisih yang tidak terlalu jauh dan

dikatakan sangat rendah dalam proses berkomunikasi. Hal ini

didukung oleh penelitian Littauer keduanya memiliki sifat yang

tertutup, suka memperhatikan orang lain, dan sebagai pendengar yang

baik.

d. Keterampilan Proses Sains Siswa pada Tipe Kepribadian


Sanguinis Vs Koleris

Keterampilan proses sains setelah melakukan pengujian Kruskal

Wallis didapatkan hasil yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan

rata-rata secara signifikan keterampilan proses sains siswa sanguinis

dan koleris dalam pembelajaran menggunakan model collaborative

teamwork learning. Namun, berdasarkan hasil perbandingan antara

indikator keterampilan proses sains sanguinis dan koleris diketahui

bahwa terdapat perbedaan, meskipun hasil tersebut tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Pencapaian indikator KPS yang pertama adalah keterampilan

mengamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

mengamati koleris lebih tinggi dibandingkan sanguinis. Jika meninjau

teori Littauer (1996) mengenai karakteristik dua kepribadian tersebut

siswa sanguinis yang memiliki sifat suka berbicara, antusias, penuh

rasa ingin tahu, penuh semangat. Begitu juga dengan siswa koleris

memiliki sifat aktif, memancarkan keyakinan yang diperlukan dalam

proses mengamati. Seharusnya kedua kepribadian tersebut memiliki

keterampilan mengamati yang sama. Namun, karena pembelajaran


74

disajikan menggunakan model collaborative teamwork learning yang

menuntut siswa berinteraksi dan bekerjasama kecenderungan

sanguinis tampak tidak tertib sehingga membuatnya kurang

terorganisasi dengan baik untuk keterampilan mengamati.

Pencapaian indikator KPS yang kedua adalah keterampilan membuat

hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

membuat hipotesis koleris jauh lebih tinggi dibandingkan sanguinis.

Jika meninjau teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebut diperlukan dalam proses membuat hipotesis.

Siswa koleris memiliki sifat aktif, dinamis, tegas, berkemauan kuat,

dan selalu semangat. Kemudian siswa sanguinis memiliki sifat suka

berbicara, demonstratif, antusias, dan penuh semangat. Seharusnya

kedua kepribadian tersebut memiliki keterampilan membuat hipotesis

yang sama. Namun, karena pembelajaran disajikan menggunakan

model collaborative teamwork learning menuntut siswa untuk saling

bekerja sama dalam kelompokknya kecenderungan sanguinis tampak

lebih mementingkan diri sendiri yang membuatnya tidak mau

mendengarkan pendapat teman dalam kelompokknya. Sehingga

keterampilan membuat hipotesis siswa sanguinis lebih rendah.

Pencapaian indikator KPS yang ketiga adalah keterampilan

merencanakan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan merencanakan percobaan siswa sanguinis lebih tinggi

dibandingkan koleris sama. Jika meninjau teori Littauer (1996)


75

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut dibutuhkan dalam

keterampilan mengamati. Siswa sanguinis memiliki sifat demonstratif,

antusias, penuh rasa ingin tahu, suka berbicara, kreatif, dan mudah

berteman. Lebih lanjut, siswa koleris memiliki sifat dinamis, aktif,

berkemauan kuat, tegas, yakin, berorientasi target, dan terorganisasi

dengan baik. Seharusnya kedua kepribadian tersebut memiliki

keterampilan merencanakan percobaan yang sama. Namun, karena

pembelajaran disajikan menggunakan model collaborative teamwork

learning menuntut siswa berinteraksi kecenderungan sifat koleris

tidak terlalu membutuhkan teman sehingga membuatnya kurang

komunikasi dalam proses merencanakan percobaan. Pada akhirnya,

siswa koleris memperoleh keterampilan merencanakan percobaan

lebih rendah.

Pencapaian indikator KPS yang keempat adalah keterampilan

melakukan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanguinis

lebih tinggi dibandingkan koleris. Jika meninjau teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut memiliki sifat yang

dibutuhkan dalam proses melakukan percobaan. siswa sanguinis

memiliki sifat suka berbicara, demonstratif, antusias, penuh semangat,

dan kreatif. Lebih lanjut, siswa koleris memiliki sifat berbakat

pemimpin, aktif, tegas, tidak emosional, memancarkan keyakinan, dan

terorganisasi dengan baik. Namun, karena pembelajaran disajikan

menggunakan model collaborative teamwork learning menuntut siswa

untuk berinteraksi dalam kelompok kecenderungan sifat koleris tidak


76

terlalu membutuhkan teman sehingga membuatnya kurang

komunikasi dalam proses melakukan percobaan. Pada akhirnya, siswa

koleris memperoleh keterampilan melakukan percobaan yang lebih

rendah.

Pencapaian indikator KPS yang kelima adalah keterampilan

menginterpretasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menginterpretasi data sanguinis lebih tinggi

dibandingkan koleris. Jika meninjau teori Littauer (1996) mengenai

karakteristik kedua kepribadian yang dibutuhkan dalam proses

menginterpretasi data. Siswa sanguinis memiliki sifat demonstratif,

penuh rasa ingin tahu, kreatif, dan sukarelawan untuk tugas. Lebih

lanjut koleris memiliki sifat berkemauan tegas, yakin, berorientasi

target, dan bergerak cepat untuk bertindak. Seharusnya kedua tipe

tersebut memiliki keterampilan menginterpretasi data yang sama.

Namun, karena pembelajaran disajikan menggunakan model

collaborative teamwork learning menuntuk siswa untuk berinteraksi

dalam kelompok kecenderungan koleris tidak terlalu perlu teman dan

berkembang karena saingan membuatnya kurang bekerjasama dalam

proses menginterpretasi data. Pada akhirnya siswa koleris memiliki

keterampilan menginterpretasi data yang lebih rendah.

Pencapaian indikator KPS yang keenam adalah keterampilan

memprediksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

memprediksi sangunis dan koelris adalah sama. Hal ini didukung oleh
77

teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua kepribadian

tersebut memiliki sifat yang diperlukan dalam proses memprediksi.

Siswa sanguinis memiliki sifat antusias, penuh rasa ingin tahu, kreatid

dan inovatif. Lebih lanjut, siswa koleris memiliki sifat aktif,

berkemauan kuat, dan memancarkan keyakinan.

Pencapaian indikator KPS yang ketujuh adalah keterampilan

menerapkan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menerapkan konsep sanguinis jauh lebih tinggi

dibandingkan koleris. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut, siswa sanguinis

memiliki sifat yang diperlukan dalam proses menerapkan konsep yaitu

penuh rasa ingin tahu, dan antusias. Sedangkan siswa koleris memiliki

sifat berkemauan kuat, penuh keyakinan, bergerak cepat untuk

bertindak, dan mencari pemecahan praktis. Pembelajaran disajikan

menggunakan model collaborative teamwork learning menuntut siswa

berinteraksi dalam kelompok, kecenderungan koleris yang bergerak

cepat untuk bertindak tanpa memperhatikan teman kelompok,

membuatnya kurang berkolaborasi dengan baik dalam menerapkan

konsep. Sehingga keterampilan menerapkan konsep siswa koleris

lebih rendah.

Pencapaian indikator KPS yang kedelapan adalah keterampilan

berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

berkomunikasi koleris lebih tinggi dibandingkan sanguinis. Jika


78

meninjau teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua tipe

kepribadian tersebut memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses

keterampilan berkomunikasi. Siswa koleris memiliki sifat berbakat

pemimpin, aktif, tegas, tidak emosional bertindak, dan memancarkan

keyakinan. Lebih lanjut siswa sanguinis memiliki sifat suka berbicara,

demonstratif, ekspresif, dan penuh semangat. Seharusnya kedua

kepribadian tersebut memiliki keterampilan berkomunikasi yang

sama. Namun, karena pembelajaran disajikan menggunakan model

collaborative teamwork learning menuntuk siswa untuk berinteraksi

dalam kelompok, kecenderungan sifat sanguinis yang emosional

membuatnya kurang berkolaborasi dengan baik selama

berkomunikasi.

e. Keterampilan Proses Sains Siswa pada Tipe Kepribadian


Sanguinis Vs Melankolis

Keterampilan proses sains setelah melakukan pengujian Kruskal

Wallis didapatkan hasil yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan

rata-rata keterampilan proses sains siswa sanguinis dan melankolis

dalam pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork

learning. Namun, berdasarkan hasil perbandingan antara indikator

keterampilan proses sains sanguinis dan melankolis diketahui bahwa

terdapat perbedaan, meskipun hasil tersebut tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan.

Pencapaian indikator KPS yang pertama adalah keterampilan

mengamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan


79

mengamati melankolis lebih tinggi dibandingkan sanguinis. Hal

didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua tipe

kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat yang diperlukan

dalam proses mengamati yaitu mendalam penuh pikiran dan cermat.

Berbeda dengan sanguinis yang memiliki sifat suka kegiatan spontan

dan emosional.

Pencapaian indikator KPS yang kedua adalah keterampilan membuat

hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

membuat hipotesis jauh lebih tinggi melankolis dibandingkan

sanguinis. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai

karakteristik kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki

sifat yang dibutuhkan dalam proses membuat hipotesis yaitu

mendalam penuh pikiran, cermat, serius, dan perfeksionis. Berbeda

siswa sanguinis yang memiliki sifat emosional, suka menyela

pendapat orang lain.

Pencapaian indikator KPS yang ketiga adalah keterampilan

merencanakan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan merencanakan percobaan melankolis lebih tinggi

dibandingkan sanguinis. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996)

mengenai kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat

yang dibutuhkan dalam keterampilan merencanakan percobaan yaitu

analitis, mendalam dan penuh pikiran, pefeksionis, cermat, tertib, dan

terorganisasi. Berbeda dengan sanguinis yang memiliki sifat tidak


80

tertib, lebih suka berbicara dan tidak mau mendengarkan pendapat

temannya.

Pencapaian indikator KPS yang keempat adalah keterampilan

melakukan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan melakukan percobaan sanguinis lebih tinggi

dibandingkan melankolis. Jika meninjau teori Littauer (1996)

mengenai kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat

yang dibutuhkan dalam proses melakukan percobaan yaitu tertib dan

terorganisasi, perasa terhadap orang lain, mau mendengarkan keluhan,

dan sangat memperhatikan orang lain.

Berbeda dengan siswa sanguinis yang memiliki sifat tidak tertib,

mudah berteman, suka berbicara, antusias, demonstratif, dan tidak

mau mendengarkan keluhan orang lain. Seharusnya keterampilan

melakukan percobaan siswa melankolis lebih tinggi dibandingkan

sanguinis. Namun, karena pembelajaran disajikan menggunakan

model collaborative teamwork learning menuntut siswa untuk

berinteraksi dalam kelompok, kecenderungan siswa melankolis yang

memiliki sifat hati-hati dalam berteman, membuatnya sulit untuk

berinteraksi dalam melakukan percobaan. Pada akhirnya,

keterampilan melakukan percobaan siswa melankolis cenderung lebih

rendah.

Pencapaian indikator KPS yang kelima adalah keterampilan

menginterpretasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa


81

keterampilan menginterpretasi data melankolis lebih tinggi

dibandingkan sanguinis. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis

memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses menginterpretasi data

yaitu analitis, mendalam penuh pikiran, serius, perfeksionis, dan

cermat. Berbeda dengan sanguinis yang memiliki sifat lebih suka

berbicara daripada mendengarkan pendapat orang lain, emosional, dan

suka kegiatan spontan.

Pencapaian indikator KPS yang keenam adalah keterampilan

memprediksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

memprediksi melankolis lebih tinggi dibandingkan sanguinis. Hal ini

didukung oleh teori Littuer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebur, siswa melankolis memiliki sifat yang

dibutuhkan dalam proses memprediksi yaitu analitis, mendalam penuh

pikiran, serius, perfeksionis, dan cermat. Berbeda dengan sanguinis

yang memiliki sifat lebih suka berbicara daripada mendengarkan

pendapat orang lain, emosional, dan suka kegiatan spontan.

Pencapaian indikator KPS yang ketujuh adalah keterampilan

menerapkan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menerapkan konsep melankolis lebih tinggi

dibandingkan sanguinis. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996)

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis

memiliki sifat yang dibutuhkan dalam proses menerapkan konsep


82

yaitu analitis, mendalam penuh pikiran, serius, cenderung jenius,

perfeksionis, dan cermat. Berbeda dengan sanguinis yang memiliki

sifat lebih suka berbicara daripada mendengarkan pendapat orang lain,

emosional, dan suka kegiatan spontan.

Pencapaian indikator KPS yang kedelapan adalah keterampilan

berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

berkomunikasi sanguinis jauh lebih tinggi dibandingkan melankolis.

hal ini didukung teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebut, siswa sanguinis memiliki sifat yang diperlukan

dalam proses berkomunikasi yaitu suka berbicara, aktif, antusias,

penuh semangat, dan demonstratif. Berbeda dengan siswa melankolis

yang memiliki sifat cenderung muram, pesimis, dan perasa terhadap

orang lain.

f. Keterampilan Proses Sains Siswa pada Tipe Kepribadian Koleris


Vs Melankolis

Keterampilan proses sains setelah melakukan pengujian Kruskal

Wallis didapatkan hasil yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan

rata-rata keterampilan proses sains siswa koleris dan melankolis

dalam pembelajaran menggunakan model collaborative teamwork

learning. Namun, berdasarkan hasil perbandingan antara indikator

keterampilan proses sains koleris dan melankolis diketahui bahwa

terdapat perbedaan, meskipun hasil tersebut tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan.


83

Pencapaian indikator KPS yang pertama adalah keterampilan

mengamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

mengamati koleris lebih tinggi dibandingkan melankolis. jika

meninjau teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat yang dibutuhkan

dalam proses mengamati yaitu mendalam dan penuh pikiran, serius,

dan cermat.

Berbeda dengan siswa koleris yang memiliki sifat bergerak cepat

untuk bertindak, dan berkembang karena saingan. Seharusnya

keterampilan mengamati siswa melankolis lebih tinggi dibandingkan

koleris. Namun, karena pembelajaran disajikan menggunakan model

collaborative teamwork learning menuntut siswa untuk berinteraksi

dalam kelompok, kecenderungan sifat melankolis yang kurang

antusias membuatnya kurang aktif dalam keterampilan mengamati.

Pada akhirnya, siswa melankolis memiliki keterampilan mengamati

yang lebih rendah dalam kelompok yang mendominasi.

Pencapaian indikator KPS yang kedua adalah keterampilan membuat

hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

membuat hipotesis melankolis lebih tinggi dibandingkan koleris. Hal

ini didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebut, siswa melankolis memiliki sifat yang dibutuhkan

dalam proses membuat hipotesis yaitu mendalam dan penuh pikiran,


84

analitis, dan cermat. Berbeda dengan sifat koleris yang memiliki sifat

mencari pemecahan praktis.

Pencapaian indikator KPS yang ketiga adalah keterampilan

merencanakan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan merencanakan percobaan melankolis lebih tinggi

dibandingkan koleris. Hal ini didukung oleh teori Littuer (1996)

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis

memiliki sifat yang diperlukan dalam proses merencanakan percobaan

yaitu mendalam dan penuh pikiran, analitis, cermat, dan perfeksionis.

Berbeda dengan siswa koleris yang memiliki sifat mencari pemecahan

praktis, dan menganggap dirinya selalu benar.

Pencapaian indikator KPS yang keempat adalah keterampilan

melakukan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan melakukan percobaan koleris lebih tinggi dibandingkan

melankolis. Hal ini didukung oleh teori Littuer (1996) mengenai

karakteristik kedua tipe kepribadian tersebut, siswa koleris memiliki

sifat yang dibutuhkan dalam proses melakukan percobaan yaitu

berorientasi target, terorganisasi dengan baik, dan berbakat pemimpin.

Berbeda dengan siswa melankolis memiliki sifat kurang aktif.

Pencapaian indikator KPS yang kelima adalah keterampilan

menginterpretasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menginterpretasi data melankolis lebih tinggi

dibandingkan koleris. Hal ini didukung oleh teori Littauer (1996)


85

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis

memiliki sifat yang diperlukan dalam proses menginterpretasi data

yaitu mendalam dan penuh pikiran, analitis, cermat, dan perfeksionis.

Berbeda dengan siswa koleris yang memiliki sifat selalu menganggap

dirinya benar dan berkembang karena saingan.

Pencapaian indikator KPS yang keenam adalah keterampilan

memprediksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

memprediksi melankolis lebih tinggi dibandingkan koleris. Jika

meninjau teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebut memiliki keterampilan memprediksi yang sama.

Siswa melankolis memiliki sifat yang mendalam dan penuh pikiran,

analitis, perfeksionis, dan cermat. Lebih lanjut, siswa koleris memiliki

sifat yang aktif, berkemauan kuat, memancarkan keyakinan, dan tidak

emosional dalam bertindak. Namun, karena pembelajaran disajikan

menggunakan model collaborative teamwork learning yang menuntut

siswa untuk berinteraksi dalam kelompoknya, kecenderungan koleris

memiliki sifat mencari pemecahan yang praktis membuatnya kurang

analitis dalam proses memprediksi. Pada akhirnya siswa koleris

memiliki keterampilan memprediksi yang lebih rendah.

Pencapaian indikator KPS yang ketujuh adalah keterampilan

menerapkan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keterampilan menerapkan konsep jauh lebih tinggi melankolis

dibandingkan koleris. Hal ini didukung oleh teori Liuttauer (1996)


86

mengenai karakteristik kedua kepribadian tersebut, siswa melankolis

memiliki sifat yang diperlukan dalam proses menerapkan konsep yaitu

mendalam dan penuh pikiran, analitis, perfeksionis, dan cermat.

Berbeda dengan koleris yang memiliki sifat pemecahan yang praktis.

Pencapaian indikator KPS yang kedelapan adalah keterampilan

berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan

berkomunikasi koleris jauh lebih tinggi dibandingkan melankolis. Hal

ini didukung oleh teori Littauer (1996) mengenai karakteristik kedua

kepribadian tersebut, siswa koleris memiliki sifat yang diperlukan

dalam proses berkomunikasi yaitu berbakat pemimpin, dinamis, aktif,

tegas, dan memancarkan keyakinan. Berbeda dengan siswa melankolis

yang memiliki sifat cenderung pesimis.


87

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan model

collaborative teamwork learning terhadap keterampilan proses sains

siswa pada tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan

phlegmatis, ditunjukkan dengan nilai sig sebesar 0,03.

2. Terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara keempat tipe

kepribadian, yaitu phlegmatis dan sanguinis; phlegmatis dan koleris;

phlegmatis dan melankolis. Siswa yang bertipe kepribadian sanguinis,

koleris dan melankolis lebih tinggi keterampilan proses sainsnya

dibandingkan dengan siswa yang bertipe kepribadian phlegmatis.

Sedangkan sanguinis dan koleris; sanguinis dan melankolis memperoleh

nilai rata-rata keterampilan proses sains yang berbeda, namun tidak

berbeda secara signifikan. Sementara siswa koleris dan melankolis

memiliki nilai keterampilan proses sains yang sama atau tidak ada

perbedaan yang signifikan, hal ini disebabkan siswa koleris dan

melankolis ini berorientasi target dan merinci selama proses pembelajaran

berlangsung.
88

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Pengelompokkan tipe kepribadian pada pembelajaran collaborative

teamwork learning dilakukan dengan setara, sehingga tidak ada tipe

kepribadian yang akan mendominasi pada kelompok tersebut.

2. Perlu adanya penilaian menggunakan instrumen tes berupa soal dalam

pembelajaran collaborative teamwork learning sehingga keterampilan

proses sains siswa yang dimiliki tidak hanya performanya saja melainkan

pengetahuannya juga.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina


Aksara.

. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta.

Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Dahlan, Ahmad. 2014. Definisi dan Pengertian Model Pembelajaran. (Online)


http://www.eurekapendidikan.com/2014/10/defenisi-dan-pengertian-
model.html, diakses 10 Januari 2017.

Darmayanti, N.W.S., W. Sadia., A.A.I.A.R. Sudiatmika. 2013. Pengaruh Model


Collaborative Teamwork Learning terhadap Keterampilan Proses Sains Dan
Pemahaman Konsep Ditinjau dari Gaya Kognitif. e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan
Sains Volume 3. (Online). Tersedia di dihttp://pasca.undiksha.ac.id. diakses
pada 10 Januari 2017.

Fathurrohman, Muhammad. 2015. Paradigma Pembelajaran Kurikulum 2013.


Yogyakarta: Kalimedia.

Fitria, Camelina dan Siswono, Tatag Yuli Eko. Profil Keterampilan Berpikir
Kreatif Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika ditinjau dari Tipe
Kepribadian. Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika Volume 3 Nomor 3
(Online). Tersedia dihttp://eprints.uny.ac.id/10793/1/P%20-%2070.pdf
diakses pada 5 Mei 2017.

Frances, Mary. 2008. Stages of Group Development A Pcp Approach. Personal


Construct Theory dan Practice. [Online]. Tersedia di http://www.pcp-
net.org/journal/pctp08/frances08.pdf. diakses pada 10 Januari 2017.

Gunawan, Heri. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.


Bandung: Alfabeta.

Hamalik, Oemar. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.


90

Jiwa, I Wayan Merta., Nengah Bawa Atmadja., Made Yudayana. 2013. Pengaruh
Model Collaborative Teamwork Learning terhadap Motivasi dan Prestasi
Belajar Sosiologi Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Amlapura. e- Journal
Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi
Administrasi Pendidikan Volume 4. (Online). Tersedia
dihttp://pasca.undiksha.ac.id diakses pada 10 Januari 2017.

Kim, M., & Chin, C. (2011). Pre-Service Teachers' Views on Practical Work with
Inquiry Orientation in Textbook-Oriented Science Classrooms.
International Journal of Environmental and Science Education,6(1), 23-37.
Tersedia dihttps://eric.ed.gov/?id=EJ930276 diakses pada 10 Agustus 2017.

Laksmi, N.M. Darma., M. Ardana., dan W. Sadra. 2013. Pengaruh Model


Collaborative Teamwork Learning (CTL) Berorientasi Polya terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Ditinjau dari Gaya
Kognitif. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi Pendidikan Matematika. (Online). Tersedia di
http://119.252.161.254/e-journal/index.php/JPM/article/view/1354. diakses
pada 10 Januari 2017.

Littauer, Florence. 1996. Personality Plus. Jakarta Barat: Binarupa Aksara.

Pannen, Paulina., Dina Mustafa., dan Mestika Sekarwinahyu. 2005.


Konstruktivisme dalam Pembelajaran.Jakarta: PAU-PPAI, Universitas
Terbuka.

Putri, Mike Anita, I Dewa Putu Nyeneng, Undang Rosidin. 2014. Pengembangan
Rubrik Penilaian Keterampilan Proses Sains. Skripsi (Tidak Diterbitkan)
Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Raharjo, Kurniawan Budi. 2012. Model Pembelajaran Kolaborasi (Collaborative


Learning). (Online), kurniawanbudi04.wordpress.com, diakses 21
Desember 2016.

Ramli, Kamrianti. 2011. Keterampilan Proses Sains. (Online), kamrianti.word


press.com, diakses 20 Desember 2016.

Risnawaty. 2008. Kepribadian dan Etika Profesi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rosidin, Undang., dan Nina Kadaritna. 2011. Pembelajaran Aktif Model


Collaborative Teamwork Learning dengan Penilaian Otentik untuk
Meningkatkan Aktivitas dan Soft Skills Mahasiswa. Penelitian (Tidak
Dipublikasikan) Bandar Lampung: FKIP Universitas Lampung.

Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Sinar Grafika Offset.


91

Sudarman, Paryati. 2008. Penerapan Model Collaborative Teamwork Learning


untuk Meningkatkan Pemahaman Materi Mata Kuliah Metodologi
Penelitian. Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 3 Nomor 2 (Online). Tersedia
dihttp://jurnalipi.files.wordpress.com/2009/09/vol-3-2-sudarman.pdf.
diakses pada 10 Januari 2017.

Sudiyono, Anas. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.

Sunarto dan Agung Hartono. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT


Asdi Mahasatya.

Susilawati., susilawati., dan Nyoman Sridana. 2014. Pengaruh Model


Pembelajaran Inkuiri Terbimbing terhadap Keterampilan Proses Sains
Siswa. Jurnal Tadris IPA Biologi FITK IAIN Mataram Volume 8 Nomor 1.
(Online). Tersedia dihttp://iainmataram.ac.id diakses pada 10 Januari 2017.

Thobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: AR-RUZZ.

Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan


Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Jakarta: Bumi Aksara.

Wirtha, I M. dan Rapi, N. K. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran dan Penalaran


Formal terhadap Penguasaan Konsep Fisika dan Sikap Ilmiah Siswa SMA
Negeri 4 Singaraja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).UNDISKSHA
Singaraja. Tersedia https://komunitasfisikaunimed.files.wordpress.com/
2010/02/jurnal-fisika1.pdf diakses pada 15 Januari 2017.

Wisudawati, Asih Widi. 2015. Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi


Aksara.

Yusuf L.N., Syamsu dan Achmad Juntika Nurihsan. 2008. Teori Kepribadian.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Yuwono, Aries. 2010. Profil Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah


Matematika Ditinjau dari Tipe Kepribadian. Skripsi (Tidak Diterbitkan)
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Zaini, H., Munthe, B., dan Aryani, S. A. (2008). Strategi Pembelajaran Aktif.
Yogyakarta: Insan Madani.

Zulaeha., I Wayan Darmadi., dan Komang Werdhiana. 2014. Pengaruh Model


Pembelajaran Predict, Observe, and Explain terhadap Keterampilan Proses
Sains Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Balaesang. Jurnal Pendidikan Fisika
Tadulako (JPFT) Volume 2 Nomor 2. (Online). Tersedia
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/EPFT/article/view/2771. diakses
pada 10 Januari 2017.

Anda mungkin juga menyukai