Anda di halaman 1dari 2

Pangan Fungsional vs Suplemen

8:42 AM | Label: Nutrisi Pangan


A. PANGAN FUNGSIONAL

Konsep gizi tentang pangan telah berubah secara nyata dari yang menekankan tentang pemuasan rasa lapar dan
pencegahan timbulnya pengaruh yang merugikan bagi tubuh, menjadi konsep yang menekankan tentang bagaimana hidup
sehat dan mencegah timbulnya penyakit. Dewasa ini konsumen cenderung mengkonsumsi pangan tidak hanya enak
melainkan juga mempertimbangkan aspek nilai gizi dan pengaruh pangan tersebut terhadap kesehatan tubuh.
Dengan demikian, pangan tidak hanya enak tetapi juga harus memiliki kandungan gizi lengkap dan bersifat fungsional.
Suatu pangan dapat dikatakan fungsional apabila mengandung komponen yang dapat mempengaruhi satu atau sejumlah
terbatas fungsi dalam tubuh tetapi juga bersifat positif sehingga dapat memenuhi kriteria fungsional atau menyehatkan
(Muchtadi, 2004).
Pangan funsional adalah produk pangan yang selain memiliki fungsi dasarnya sebagai pangan juga mempunyai nilai
tambah diluar fungsi dasarnya (fungsi nutrisi). Nilai tambah dari bahan pangan funngsional berhubungan dengan kesehatan
dan funngsi organ tubuh, menurunkan resiko timbulnya penyakit dan mencegah timbulnya penyakit (Kusumawati, 2009).
Menurut Muchtadi (2004) pangan fungsional mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu :
1. sensory (warna dan penampilan menarik, citarasa enak)
2. nutritional (bernilai gizi)
3. physiological (memberikan pengaruh fisiologis menguntungkan bagi tubuh)
Sedangkan fungsi fisiologis daei suatu pangan fungsional antara lain :
1. penyakit yang berhubungan dengan konsumsi pangan
2. meningkatkan daya tahan tubuh (regulating bio-defensiveness)
3. regulasi rithme kondisi fisik tubuh
4. memperlambat proses penuaan (aging)
5. penyehatan kembali (recovery)tubuh setelah menderita suatu oenyakit tertentu
6. dan lain-lain
Istilah pangan fungsional (functional foods) merupakan nama yang paling tepat dan dapat diterima oleh semua pihak
untuk segolongan pangan (makanan dan minuman) yang mengandung bahan yang telah terbukti dapat meningkatkan status
kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit tertentu. Untuk konsumen istilah health food mungkin lebih menarik dan lebih
berarti, namun hal ini tidak dapat digunakan karena pada prinsipnya semua bahan pangan akan menyehatkan tubuh apabila
dikonsumsi dengan baik dan benar.
Sampai dengan tahun 1995, diantara negara-negara di dunia, baru Jepang yang telah mempersiapkan peraturan tentang
makanan fungsional. Peraturan baru yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang telah
diberlakukan sejak tanggal 1 Juni 1993 (Arai, 1997 dalam Astuti, 2007) untuk makanan fungsional dikatagorikan sebagai
FOSHU. Untuk mendapat lisensi FOSHU, permintaan yang diajukan akan dievaluasi oleh tim ahli yang dibentuk oleh
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan dan harus mengikuti kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Peraturan tersebut
dipersiapkan terutama untuk melindungi konsumen dan agar para produsen tidak sembarang memberikan pernyataan dalam
label tentang kehebatan produknya terutama yang terkat dengan kesehatan (Astuti, 2007).
Dalam peraturan pelabelan pangan di Jepang, dikelompokkan untuk (1) Special Nutritive Foods, termasuk makanan
yang difortifikasi, (2) Food for Special Dietary Uses, termasuk Food for the Sick seperti makanan untuk penderita diabetes,
dan (3) FOSHU untuk makanan fungsional (Kojima, 1995 dalam Astuti, 2007). Dalam peraturan yang dikeluarkan,
disebutkan yang dinaksud dengan FOSHU adalah suatu makanan yang mengandung komponen yang diharapkan
memberikan manfaat kesehatan tertentu. Klaim kesehatan tersebut telah diijinkan untuk dipasang dalam label yang dapat
menyatakan bahwa seseorang yang mengkonsumsi makanan tersebut akan memperoleh manfaat kesehatan yang
dimaksudkan (Astuti, 2007).
Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa makanan fungsional harus tetap dalam bentuk makanan biasa dan tidak
dalam bentuk lain seperti yang digunakan untuk obat dan merupakan makanan yang dikonsumsi sebagai diet sehari-hari,
bukan dikonsumsi bila hanya diperlukan saja (Astuti, 2007).
Di Cina, masyarakatnya lebih mengenal istilah makanan kesehatan dibandingkan dengan makanan fungsional.
Makanan kesehatan di Cina dikatagorikan menjadi 3 yaitu (1) Fortified foods; (2) Special Nutrition Foods dan (3) Foods for
Special Health Use. Definisi makanan kesehatan tersebut belum ditetapkan, demikian pula peraturan yang khusus mengatur
makanan kesehatan belum ditentukan. Meskipun demikian, dari beberapa aspek yang terkait dengan makanan kesehatan
diatur dalam Provisional Laz on Food Hygiene (FHL) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Cina (Astuti, 2007).
Di Amerika Serikat belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang makanan fungsional. Menurut FDA yang perlu
aibuat adalah peraturan yang memutuskan apakah makanan fungsional dikatagorikan sebagai makanan atau sebagai obat
(Yetley, 1995 dalam Astuti, 2007).
Bagi negara ASEAN, istilah makanan fungsional relatif masih baru meskipun masyarakatnya juga mengenal makanan
yang dipercaya dapat menjaga kesehatan. Malaysia, Indonesia dan Thailand belum mempunyai peraturan tentang makanan
fungsional. Di Indonesia makanan fungsional dikatagorikan sebagai makanan suplemen (Astuti, 2007).

B. SUPLEMEN
Suplemen adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau
lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang
mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi. Suplemen makanan harus diproduksi dengan
menggunakan bahna yang memenuhi standar mutu sesuai dengan Farmakope Indonesia, Meteria Medika Indonesia atau
standar lain yang diakui (BPOM RI, 2005).
Komponen suplemen makanan menyebutkan susunan kualitatif dan kuantitatif bahan utama, sedangkan dalam
Peraturan Perundang-undangan Dibidang Suplemen Makanan dari BPOM RI (2005) tercantum daftar batas maksimum per
hari untuk penggunaan vitamin, mineral, asam amino dan bahan lain serta bahan (tumbuhan, hewan, mineral) yang dilarang
dalam suplemen makanan.
Peraturan Perundang-undnagan Dibidang Supelmen Makanan menurut BPOM RI (2005) menyebutkan bahwa
suplemen makanan harus memiliki kriteria sebagai berikut :
a). Menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan serta standar dan persyaratan yang ditetapkan
b). Manfaat yang dinilai dari komposisi dan atau didukung oleh data pembuktian
c). Diproduksi dengan menetapkan cara pembuatan yang baik
d). Penandaan yang harus mencantumkan informasi yang lengkap, obyektif, benar dan tidak menyesatkan
e). Dalam bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, serbuk, granul, setengah padat dan cairan yang tidak dimaksudkan untuk pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Arai, S. 1997. Studies on Functional Foods in Japan : State of The Art. In Food Factors for Cancer Prevention. Springer-Verlag,
Tokyo dalam Astuti, Mary. 2005. Makanan Fungsional, Konsep dan Peraturan. Agritech Vol. 17 No 4 halaman 29-32

Astuti, Mary. 2005. Makanan Fungsional, Konsep dan Peraturan. Agritech Vol. 17 No 4 halaman 29-32

[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Suplemen
Makanan. Cetakan Pertama. Jakarta : 3-6,16

Muctadi, Deddy. 2004. Komponen Bioaktif dalam Pangan Fungsional. Majalah Gizi Medik Indonesia Vol. 3 No. 7 Januari 2004

Kojima, K. 1995. Control of Health Claim on Food in Japan. A paper presented in the First International Conference on : East-West
Perspective on Functional Foods. Singapore, September 26-27 dalam Astuti, Mary. 2005. Makanan Fungsional, Konsep dan
Peraturan. Agritech Vol. 17 No 4 halaman 29-32

Kusumawati, Pipin. 2009. Potensi Pengembangan Produk Pangan Fungsional Berantioksidan dari Makroalga dan Mikroalga.
Oseana, Volume XXXIV, Nomor 3, Tahun 2009 : 9-18

Yetley, E. 1995. Regulatory and Legal Policies : U.S. Food and Drug Perspective. A paper presented in the First International
Conference on : East-West Perspective on Functional Foods. Singapore, September 26-27 dalam Astuti, Mary. 2005.
Makanan Fungsional, Konsep dan Peraturan. Agritech Vol. 17 No 4 halaman 29-32

Anda mungkin juga menyukai