Anda di halaman 1dari 3

Menakar Bobot Skenario Tel Aviv

Deret peristiwa Timur Tengah terjadi secara sistematis, meski terkesan sporadis akan tetapi
menyimpan tanda besar. Akankah Israel berani adu militer dengan Hizbullah dalam waktu
dekat?. Tulisan ini akan berusaha menilai bahwa Israel tidak akan tergoda perang dengan
Hizbullah dalam waktu dekat selagi aliansi AS dan Arab Saudi masih bisa diekploitasi oleh
Israel.

Oleh: M. Maruf, Direktur-Religious Democracy Institute

Pertanyaan ini bisa dilihat dan di telusuri jawabanya dari ragam kejutan peristiwa yang terjadi.
Peristiwa tersebut bila di hitung mundur sejak tulisan ini dibuat diantaranya; terjadinya
deligitimasi senjata HAMAS dengan dalih rekonsiliasi Hamas-Fatah, pengulangan skenario
pembuatan aliansi anti terorisme oleh aliansi AS-Arab Islam persis skenario aliansi penurunan
Bassar Assad.

Upaya deligitimasi Hizbullah melalui Arab Saudi meliputi; isu legalitas intervensi Hizbullah
di Suriah, penggundulan senjata Hizbullah sebagai organisasi teroris, hingga eksistensi
Hizbullah sebagai partai resmi dan organisasi militer yang ditandai dengan manuver
pengunduran Hariri sebagai justifikasi untuk mendestabilisasi Lebanon.

Peristiwa lain, reformasi ala Raja muda Arab, MBS atau Mohammed bin Salman dengan
menangkapi para menteri dan pangeran dengan dalih korupsi, juga peristiwa sebelumnya yaitu
blokade Arab Saudi terhadap Qatar karena tuduhan dukungan terorisme dan menjalin
hubungan dengan Iran. Meski yang sebenarnya adalah kekecewaan Arab Saudi karena Turki
masuk aliansi Rusia, Suriah dan Iran.

Inilah ragam peristiwa berturut turut yang sebenarnya bermuara pada kegelisahan Israel karena
pengumuman militer Suriah yang menyatakan Al-Bukamal sebagai pembebasan terakhir
markas ISIS.

Israel sedang berupaya menutup celah secepat mungkin agar kemenangan perang atas ISIS
oleh aliansi Suriah, Rusia dan Iran- serta Hizbullah menjadi mati dan layu sehingga tidak
menjadi headline berita di media dunia. Karena jika kemenangan ini dibiarkan terlalu lama,
maka akan semakin memperkuat posisi Hizbullah-Iran di mata dunia Internasional sebagai
kelompok perlawanan sekaligus pahlawan karena berprestasi pernah mengalahkan ISIS dan
Israel. Sementara, posisi AS dan Israel dimata dunia lambat laun akan melemah- seiring
dengan makin terbongkarnya konspirasinya sebagai pencipta ISIS.

Oleh karenanya, Israel berusaha membangun perang baru di Lebanon setelah sebelumnya
gagal membangun proyek ISIS di Suriah dan Irak, dengan berharap terjadi pelemahan
sehingga pendirian negara Kurdi bisa serempak di Irak dan Suriah sekaligus membangkitkan
sentimen Kurdi di Iran dan Turki (baca; referendum Kurdi dan politik pecah belah Israel).

Namun demikian, Israel juga banyak mendapat kritik dari dalam Israel sendiri.
Bahwa manuver memblokade Qatar tidak efisien dan justru membuka potensi Qatar mengkritik
Arab meski terkesan masih bisa di kendalikan oleh Israel dan USA. Buah pengendalian itu bisa
dikapitalisasi dengan baik oleh Trump yang memaksa Qatar membeli sejumlah pesawat tempur
AS.

Manuver Israel juga banyak mendapat kritik dengan memaksa skenario pengunduran Hariri di
Arab Saudi. Pengunduran diri ini atas dasar skenario atas nama instabilitas karena ulah
Hizbullah yang mengintervensi Suriah. Namun, bukannya rakyat Lebanon terpecah antara
kubu Sunni (Perdana Menteri Hariri), Syiah (Parlemen-Hizbullah) dan Kristen Maronit
(Presiden Michel Aoun), justru persatuan rakyat Lebanon makin kuat dibuktikan dengan
penolakan intervensi Arab, juga manuver pagelaran kesiapan tentara Lebanon menghadapi
skenario perang yang di tabuh Israel.

Tidak hanya itu, skenario pelemahan Iran, dengan menuduh Iran mengirim misil ke Houthi
untuk ditembakkan ke Bandara Internasional King Abdul Aziz di Kota Jeddah tidak terlalu
mempengaruhi kekuatan aliansi Iran, Rusia dan Suriah. Meski bencana rakyat Yaman begitu
dahsyat akibat ulah aliansi Saudi yang tidak berperikemanusiaan, tetapi di sisi lain, justru
semakin menjustifikasi Houthi untuk menjadi kuat sebagai kelompok perlawanan terhadap
kezaliman Arab Saudi.

Skenario Israel Perang dengan Hizbullah

Dari seluruh skenario Israel ini, pertanyaanya kemudian, apakah Israel segera akan
melancarkan perang melawan Hizbullah? Jawaban penulis, tidak. Kenapa demikian, karena
selagi aliansi AS-Arab Islam wahabi bisa dipakai untuk menghantam kubu perlawanan, maka
Israel akan memanfaatkan itu sebaik-baiknya. Sayangnya pemanfaatan Arab oleh Israel, justru
bisa dibaca sebagai tanda kelemahan Israel untuk berhadapan secara langsung
dengan Hizbullah. Makin memanfaatkan Arab Saudi, maka Israel makin tersedot dengan
manuvernya sendiri, karena di mata publik, raja Arab hanya menjalankan posisi boneka.

Israel tidak putus asa melihat ISIS kalah di Suriah dan Irak, karenanya Israel berupaya dengan
gigih memanfaatkan aliansi negara pendukung ISIS-yakni berusaha menciptakan perang antar
negara, dengan memprovaksi Arab Saudi, Emirat, dll untuk melawan kubu Iran. Oleh karena
itu pembelian S-400 oleh Arab Saudi dan Bahrain menjadi masuk akal bagi skenario Israel. Di
samping karena faktor pembelian senjata kepada Rusia sebagai uang diam untuk merayu
Rusia.

Jika misil Iran dan Hizbullah bisa menjangkau Israel, maka sebelum jatuh ke Tel Aviv, S-400
dan patriot aliansi Arab harus lebih dulu menghujam ke Lebanon dan Iran. Itulah skenario
terdekat Israel.

Faktor lain yang menghalangi Israel untuk segera adu militer dengan Hizbullah karena
beberapa hal,

Pertama makin menguatnya keterampilan ofensif milisi Hizbullah yang dulu hanya defensif.
Dengan terjunya milisi Hizbullah memburu ISIS di seantero Suriah, maka memperkuat
pernyataan Sayid Hasan Nasrullah, bahwa perang paska 2006 tidak hanya akan menghujani
Israel dengan 2000 misil perhari, tetapi juga masuknya milisi Hizbullah ke wilayah Israel.
Menerobos masuk wilayah musuh artinya aman dari serangan udara Israel, artinya juga senjata
anti pesawat udara, radar dan drone sudah dipunyai Hizbullah.
Kedua, setelah Hizbullah terlibat di Suriah, maka akses senjata yang dulu diam-diam, sekarang
menjadi terbuka. Misil Hizbullah lebih modern, akurat, dan memiliki daya jangkau yang lebih
jauh. Sehingga target-target yang sebelumnya hanya acak dan membuat panik warga Israel,
maka perang yang akan datang, misil Hizbullah lebih terkendali untuk menyasar target-target
yang lebih fundamental seperti reaktor nuklir, pelabuhan militer, bandara, PLN dan barak
militer.

Ketiga, dengan menangnya kubu perlawanan dalam melawan ISIS, maka kubu perlawanan
makin mendapat simpati dan pembenaran dari masyarakat Internasional bahwa operasi
Regime Change terhadap Bassar Assad adalah semata-mata murni mengamankan Israel.
Oleh karena itu momentum kemenangan ini meski dirusak dan dialihkan oleh media pro Israel,
tetap saja kemenangan itu tidak terlupakan dari publik Internasional.

Keempat, rencana penarikan AS dari kesepakatan nuklir dengan Iran, menjadikan AS semakin
terkucil dan legitimasinya semakin tergerus sebagai penjaga perdamaian. Lemahnya posisi AS
dalam menjaga kepentingan Israel dengan memanipulasi PBB, secara otomatis menjadikan
posisi Israel semakin lemah di mata dunia Internasional.

Kelima, doktrin perang Israel yang singkat dengan destruksi maksimal di pihak musuh, tidak
akan berlaku lagi, karena daya tahan Hizbullah dalam perang ke depan tentu lebih lama karena
dukungan teknologi militer relatif seimbang dan hal itu tidak diinginkan oleh Israel.

Keenam, paska keterlibatan Hizbullah di Suriah, menjadikan Lebanon aman dari ISIS,
sehingga berimbas pada militer Lebanon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Hizbullah.
Sehingga meski secara militer tentara Lebanon belum tentu efektif membantu Hizbullah
melawan Israel, akan tetapi Hizbullah mendapat poin politik dari dukungan nasional Lebanon.

Ketujuh, penguatan militer Hizbullah di Suriah terutama di perbatasan Golan, tidak akan
terpengaruh meski Israel mengkampanyekan sebagai penumpukan tentara Iran. Sehingga Israel
memiliki dua kesulitan sekaligus jika perang meletus karena berhadapan dua front sekaligus di
Lebanon Selatan dan Golan, Suriah.

Kedelapan, keterlibatan Rusia di Suriah yang begitu jauh meski baru mulai tahun 2015,
membuat Israel harus berhitung, karena Rusia dapat sewaktu waktu terlibat jika Israel gegabah
berperang dengan Hizbullah, apalagi membuka fron tempur di Golan- Suriah.

Dari kedelapan faktor diatas, maka penulis berkesimpulan, Israel tidak akan buru-buru perang
dengan Hizbullah. Jikapun banyak riak dan manuver Israel seperti ragam peristiwa diatas, hal
itu lebih pada perang urat saraf (manipulasi media) dengan hitungan cost yang lebih murah
dibanding menanggung derita perang akibat spekulasi yang prematur dan buruk.

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan
Parstoday Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai