Disusun oleh:
Rafenia Nayani, S.Ked. 04084821618165
Tiara Putri Ramadhani, S.Ked. 04084821618167
Pembimbing:
dr. Dewi Rosariah A., Sp.A
1. Judul Jurnal
Iron deficiency anemia in infants and toddlers.
2. Pendahuluan
Prevalensi Anemia dan Anemia Defisiensi Besi (ADB) tetap tinggi pada usia
lanjut dan masa kanak-kanak, meskipun sudah terdapat peningkatan angka menyusui,
perbaikan kesehatan masyarakat, dan pengembangan makanan yang diperkaya zat besi.
Hopkins dkk. menggunakan definisi anemia yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) (hemoglobin [Hb] <11 g / dL), menunjukkan bahwa prevalensi anemia
adalah 23% pada usia 8 bulan, dan 18% pada usia 12 bulan. Prevalensi defisiensi besi
non-anemia bisa setinggi 30% pada balita dari negara maju. Menurut kriteria WHO,
prevalensi anemia diperkirakan 15% pada anak usia prasekolah di Korea (usia 6-59
bulan), dan sampai saat ini, anemia tetap menjadi masalah kesehatan yang penting.
Selain itu, tuntutan dan biaya perawatan di rumah sakit untuk anak-anak yang terkena
dampak ADB telah meningkat dari tahun 2006 sampai 2014.
Anemia Defisiensi Besi pada bayi masih kurang terdiagnosis walaupun setelah
pengambilan sampel darah bayi dan memenuhi volume darah yang cukup untuk
mendeteksi pemeriksaan di laboratorium juga cukup sulit. Sebagian besar bayi tidak
menjalani tes darah kecuali jika ada kejadian klinis yang masuk akal. Selanjutnya, gejala
ADB (pucat, mudah tersinggung, kurang makan, kelelahan, lesu, dan pica) tidak spesifik.
Meskipun anemia dan kekurangan zat besi biasanya dikoreksi pada usia 2-3 tahun, anak-
anak dampak terkena dampak negatif oleh ADB.
Penyakit ADB dikaitkan dengan gangguan fungsi neurokognitif dan intoleransi
olahraga, dan hubungan tersebut terjadi bahkan setelah pengobatannya berhasil. Oleh
sebab itu perkembangan defisiensi besi sangat penting selama masa infantil dan masa
kanak-kanak ketika tingkat perkembangan mengalami perkembangan yang pesat,
terutama pada otak, dapat meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan akibat ADB.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi ADB pada usia dini dan mengurangi
dampak buruk kekurangan zat besi, penelitian ini juga menilai karakteristik klinis bayi
dan anak-anak dengan ADB yang mengunjungi Rumah Sakit Universitas Inha dalam 17
3
tahun terakhir. Peneliti menyelidiki distribusi ADB sesuai usia (dalam bulan) dan jenis
kelamin dan menganalisis faktor risiko ADB yang buruk.
setelah ditatalaksana dengan zat besi. Penelitian ini menyingkirkan anak-anak dengan
tingkat protein C-reaktif (CRP) 5 mg/dL untuk menyingkirkan peradangan aktif atau
infeksi bakteri. Pemberian ASI jangka panjang didefinisikan sebagai ASI eksklusif
sampai usia 6 bulan. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) didefinisikan sebagai berat badan
<2,5 kg saat lahir. Follow-up berakhir jika Hb 11 g/dL, dan / atau kenaikan Hb> 1 g/dL.
Kegagalan follow-up didefinisikan sebagai tidak ada kunjungan setelah diagnosis ADB
atau tidak ada hasil tes Hb setelah pengobatan suplementasi besi.
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS
IBM versi 19. Statistik deskriptif [mean, standar deviasi (SD), dan proporsi] yang sudah
dihitung. Unpaired t-tes digunakan untuk perbandingan kelompok. Analisis regresi
logistik dan analisis regresi berganda dilakukan untuk memberi stratifikasi faktor risiko
anemia berat. Untuk semua analisis statistik, P <0,05 dianggap signifikan.
4. Hasil
ADB ditemukan terutama pada anak laki-laki daripada anak perempuan [906
anak laki-laki (M), dan 424 anak perempuan (F); M: F = 2.14: 1]. Tingkat CRP rata-rata
populasi penelitian adalah 0,62 ( 1,01) mg / dL. Durasi tindak lanjut rata-rata adalah 10
hari (kisaran, 0-11 mo), dan tingkat kerugian tindak lanjut adalah 47,2% (N = 628). Usia
rata-rata ADB adalah 11,9 ( 3,9) bulan. Insiden ADB tertinggi ditemukan pada bayi
berusia 9-12 bulan; Insiden kemudian menurun sampai usia 18 bulan dan ditunjukkan
pada plateau sesudahnya (Gambar 1).
5
Proporsi anemia ringan, sedang, dan berat adalah 36,9% (N = 491), 59,3% (N =
789), dan 3,8% (N = 50), masing-masing. Pengukuran berbasis laboratorium untuk
semua parameter (MCV + ferritin + TS + RDW) hanya dilakukan pada 59,2% (N = 788)
pasien, sementara hanya tingkat MCV dan RDW yang diukur pada 86,5% pasien (Tabel
1). Dalam penelitian ini, rata-rata usia gestasi bayi BBLR adalah 35 ( 2,5) minggu. Di
antara bayi-bayi BBLR, rata-rata BBLR (BBLSR) (berat badan <2 kg dan <2,5 kg)
tercatat pada bayi 68,4%.
Keluhan utama pada saat kunjungan ke rumah sakit adalah adanya gejala
pernafasan bagian atas (46,6%), diikuti gejala gastrointestinal seperti muntah atau diare
(Tabel 2). Hanya 7,0% (N = 96) pasien yang mengunjungi rumah sakit karena gejala
ADB, seperti pucat, iritabilitas pada malam hari (2 gelisah dan/atau menangis), atau
pica. Bahkan dalam kasus di mana diagnosis anemia parah terjadi, hanya 23,6% pasien
yang dirawat di rumah sakit dengan gejala ADB, dan 76,4% sisanya didiagnosis hanya
berdasarkan tes laboratorium, tanpa gejala yang menyertainya. Insiden ADB yang
mengalami perdarahan (melena, hematuria, epistaksis) adalah 0,8% (N = 11) pada
populasi penelitian ini.
6
5. Diskusi
Peneliti menilai karakteristik klinis ADB pada bayi dan anak kecil. Serupa
dengan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Swedia, dan di Asia Tenggara,
ADB pada bayi lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan (M: F
= 2.14: 1; usia <2 tahun). Menurut Domellf dkk., pada usia 9 bulan, bayi laki-laki
memiliki tingkat Hb yang jauh lebih rendah dan menunjukkan risiko 10 kali lipat lebih
tinggi untuk didiagnosis dengan ADB daripada bayi perempuan. Mereka selanjutnya
menyarankan bahwa alasan peningkatan risiko ADB pada bayi laki-laki adalah tingkat
pertumbuhan pra dan pasca kelahiran yang lebih tinggi, peningkatan aktivitas
eritropoietik janin yang mengakibatkan keadaan penyimpanan zat besi rendah,
penyerapan zat besi lebih rendah, kehilangan zat besi usus yang lebih besar, dan lebih
banyak lagi. Sering terjadi infeksi pada anak laki-laki daripada pada anak perempuan.
8
Namun, perbedaan berbasis gender ini hilang saat diberi makanan yang mengandung zat
besi diberikan, dan jumlah kebutuhan zat besi oral dilaporkan 6-10 mg / hari.
Dalam penelitian ini, prevalensi ADB tertinggi tercatat pada bayi berusia 9-12
bulan. Hal ini disebabkan oleh pasokan besi yang tidak memadai meski memiliki
kebutuhan besi tinggi pada usia ini. Perkiraan kebutuhan zat besi terserap selama tahun
pertama bayi berkisar antara 0,55 mg / hari dan 0,75 mg / hari. Namun, setelah usia 6
bulan, mendapatkan cukup zat besi melalui menyusui saja menjadi sulit. Tingkat zat besi
rata-rata dalam ASI sekitar 0,4 mg / L, dan meskipun separuh zat besi yang terkandung
dalam ASI diserap karena bioavailabilitasnya yang tinggi, hanya 0,2 mg / hari zat besi
total yang dapat diserap melalui pemberian ASI eksklusif bahkan jika bayi
mengkonsumsi 1 L ASI setiap hari, yang masih jauh lebih rendah dari jumlah besi yang
dibutuhkan. Selain itu, karena sup beras mengandung besi rendah biasanya diberikan
pada bayi Korea pada tahap awal penyapihan, bayi dapat dengan mudah mengalami
defisiensi zat besi.
Bayi BBLR umumnya dianggap sebagai kelompok risiko ADB karena persediaan
besi rendah saat lahir. Oleh karena itu, suplemen zat besi direkomendasikan untuk
mereka; namun, kepatuhan mereka terhadap suplementasi zat besi rendah. Bayi
prematur, yang terdiri dari sebagian besar bayi BBLR, memiliki cadangan besi yang
lebih rendah karena trimester ketiga kehamilan yang lebih pendek ketika sebagian besar
besi terakumulasi. Bayi-bayi ini memiliki persyaratan zat besi yang lebih tinggi untuk
pertumbuhan tangkapan, dan bayi prematur harus menerima suplemen unsur besi (2 mg /
kg / hari) dari 1 bulan sampai 12 bulan. Dalam penelitian ini, tidak ada bayi BBLSR
yang telah menerima suplemen zat besi selama lebih dari 30 hari pada saat diagnosis
ADB.
Kebutuhan suplemen zat besi pada bayi BBLSR telah diperdebatkan di masa lalu;
Namun, suplementasi zat besi baru-baru ini direkomendasikan untuk bayi BBLSR
(dengan dosis 2 mg / kg / hari) dari 6 minggu sampai 6 bulan. Kami sebelumnya telah
melaporkan perbedaan yang signifikan dalam suplemen zat besi dan praktik menyusui
antara bayi BBLR di ADB dan kelompok bukan-ADB. Pada bayi BBLR, penggunaan
fortiver susu manusia sampai pencapaian berat badan 3 kg juga bisa mencegah ADB.
Kami menganggap dermatitis atopik sebagai faktor risiko ADB karena banyak ibu
dengan bayi yang terkena atopik yang cenderung menyusui, dan dengan demikian
9
membatasi pilihan makanan. Namun, terlepas dari prevalensi dermatitis atopik di Korea
(26,5% di antara 12-23 anak usia lanjut), hasil kami menunjukkan bahwa dermatitis
atopik bukanlah faktor penyebab total ADB dan tidak berpengaruh pada risiko anemia
berat (OR, 1,38; 95% CI, 0,39-4,90).
Prevalensi ADB yang cukup tinggi di antara balita Korea dapat disebabkan oleh
beberapa alasan. Pertama, menurut Survei Kesehatan dan Gizi Nasional Korea VI-2,
tingkat pemberian ASI meningkat dari 10,2% di tahun 2000 menjadi 45,6% pada tahun
2012, sementara penerapan suplementasi zat besi belum mencukupi. Kedua, 47% bayi
yang disusui secara eksklusif membutuhkan waktu 2 bulan atau lebih untuk beradaptasi
dengan penyapihan, dan banyak MPASI buatan sendiri mengandung zat besi rendah.
Ketiga, di Korea, kejadian BBLR meningkat dari 2,7% di tahun 1993 menjadi 5,6% di
tahun 2010. Keempat, kepatuhan terhadap suplementasi zat besi rendah pada bayi
BBLR. Secara khusus, lebih banyak dorongan diperlukan untuk menerapkan
suplementasi zat besi pada bayi BBLSR. Konsumsi susu sapi yang tidak tepat merupakan
faktor penting lainnya bagi keberadaan ADB; pengenalan awal susu sapi dapat
menyebabkan ADB. Usia pengenalan susu sapi rata-rata adalah 14 bulan; namun, 6,6%
bayi minum susu sapi sebelum usia 12 bulan. Asupan susu sapi yang tidak tepat tinggi
(0,7 L / hari) setelah bayi juga dapat menyebabkan ADB.
Di Korea, bayi dibawa ke klinik kira-kira 5 kali sampai usia 1 tahun untuk
vaksinasi dan pemeriksaan kesehatan. Namun, hanya 7,1% bayi yang terinfeksi ADB
diidentifikasi selama vaksinasi dan pemeriksaan kesehatan dalam penelitian ini, yang
mengindikasikan bahwa banyak klinisi mengabaikan keseriusan ADB pada anak-anak
yang sedang tumbuh. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
penyaringan ADB untuk semua bayi berusia 9-12 bulan. Baru-baru ini, Satuan Tugas
Pencegahan Amerika Serikat menyimpulkan bahwa bukti penyaringan ADB pada anak-
anak yang tidak menunjukkan gejala tidak cukup karena penurunan kejadian ADB.
Namun, ADB masih tinggi di kalangan bayi dan anak kecil di Korea. Oleh karena itu,
peneliti merekomendasikan penyaringan nutrisi zat besi, terutama pada bayi berisiko
tinggi kekurangan zat besi. Meskipun kadar Hb dapat dinilai dengan menggunakan tes
tusukan jari, pengukuran besi lainnya memerlukan pengambilan sampel darah perifer
yang sulit dilakukan pada bayi. Papan Skor Besi berguna dalam memilih bayi yang
memerlukan evaluasi status zat besi untuk skrining dan perawatan yang sesuai. Papan
10
skor mencakup kriteria berikut: (1) usia inisiasi MPASI >6 bulan; (2) asupan MPASI
buatan sendiri; (3) berhasil menyapih di > 1 bulan; (4) kandungan zat besi rendah dalam
MPASI; (5) lamanya menyusui; (6) metode pemberian makan; dan (7) respon terhadap
MPASI yang diberikan. Dengan menggunakan papan skor ini, ADB dapat diprediksi
dengan sensitivitas 86,8% pada bayi yang menunjukkan 3 atau lebih kriteria di atas. Hal
ini sangat berguna karena dapat membantu mencegah kekurangan zat besi pada bayi
tanpa memerlukan tes laboratorium yang tidak perlu.
Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak kecil pada dasarnya adalah sebuah
masalah gizi, dibandingkan dengan ADB pada anak yang lebih tua, dimana hal ini
terutama disebabkan oleh kehilangan darah. Karena nutrisi konseling itu penting, dan
rekomendasi mencakup asupan hampir setiap hari dari satu porsi ikan; daging; ayam;
atau telur sebagai makanan pelengkap, atau penggunaan bubuk mikronutrien. The AAP
merekomendasikan suplementasi zat besi (2 mg / kg / hari) untuk bayi BBLR, termasuk
bayi BBLSR, dari usia 6 minggu sampai 6 bulan. Direkomendasikan lebih lanjut
suplementasi zat besi (1 mg / kg / hari) untuk bayi usia menyusui mulai usia 4 bulan dan
dipelihara sampai makanan pelengkap yang mengandung zat besi yang sesuai telah
diperkenalkan
Keterbatasan penelitian ini adalah karena merupakan studi pada rumah sakit
berbasis tersier, mungkin ada pilihan yang menjadi bias, dan keparahan penyakit
mungkin telah dibesar-besarkan. Selanjutnya, karena studi ini didasarkan pada survei
retrospektif catatan medis, ada kekurangan informasi mengenai status anemia ibu hamil
prenatal, waktu penyapihan untuk makanan, dan tingkat kenaikan berat badan
pascakelahiran. Kehilangan tindak lanjut cukup besar, terutama pada kelompok anemia
ringan, dan dengan demikian, evaluasi respons pengobatan bisa tidak akan selesai dalam
banyak kasus.
Sebagai kesimpulan, sebagian besar anak-anak dengan ADB tidak ditindaklanjuti
karena banyak dokter tidak mempertimbangkan ADB menjadi masalah kesehatan yang
nyata. Dengan demikian, dokter harus merekomendasikan suplementasi zat besi yang
tepat kepada anak-anak, terutama pada bayi dengan risiko lebih tinggi terkena
kekurangan zat besi.
Khususnya, bayi BBLSR perlu mendapat perhatian khusus untuk memastikan
kepatuhannya terhadap suplementasi zat besi. Dokter anak harus mengumpulkan riwayat
11
praktik pemberian makanan bayi yang akurat (pemberian jenis makanan , waktu inisiasi
penyapihan, dan isi MPASI yang diberikan) selama kunjungan pemeriksaan kesehatan
untuk memungkinkan deteksi dini ADB, dan sebaiknya merekomendasikan tes darah
untuk bayi berisiko tinggi. Kuesioner beserta penilaian nutrisi zat besi direkomendasikan
untuk mendeteksi anemia dan status zat besi di klinik anak. Selain itu, penilaian risiko
studi prospektif dan terorganisir dengan baik pada bayi dan anak kecil perlu ditingkatkan
mengenai status gizi zat besi dan untuk mengendalikan angka kejadian ADB.
12
Telaah Kritis
Jurnal yang diakses dari Blood Research Korea ini merupakan bagian dari
kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) diartikan sebagai suatu proses
evaluasi secara cermat dan sistematis suatu artikel penelitian untuk menentukan
reabilitas, validitas, dan kegunaannya dalam praktik klinis. Komponen utama yang
dinilai dalam critical appraisal adalah validity, importancy, applicability. Telaah kritis
meliputi semua komponen dari suatu penelitian dimulai dari komponen pendahuluan,
metodologi, hasil, dan diskusi. Masing-masing komponen memiliki kepentingan yang
sama besarnya dalam menentukan apakah hasil penelitian tersebut layak atau tidak
digunakan sebagai referensi.
Evaluasi Jurnal
Telaah kritis meliputi semua komponen dari suatu penelitian dimulai dari komponen
pendahuluan, metodologi, hasil dan diskusi. Masing-masing komponen memiliki
kepentingan yang sama besarnya dalam menentukan apakah hasil penelitian tersebut
layak atau tADBk digunakan sebagai referensi.
I. Latar belakang
Secara garis besar, latar belakang jurnal ini cukup memenuhi komponen-
komponen yang harusnya terpapar dalam latar belakang. Dalam latar
belakang dipaparkan prevalensi anemia dan ADB di Korea. Tujuan penelitian
juga sudah dituliskan dalam latar belakang.
PICO VIA
I. Population
Dari 1.782 pasien dengan anemia defisiensi besi yang berkunjung ke Departemen
Anak di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Inha antara bulan Januari 1997 dan
Desember 2013, 1.332 pasien berusia 6 bulan 23 bulan dimasukkan ke dalam
penelitian.
II. Intervention
Penelitian ini hanya menggunakan data rekam medis dan bersifat deskriptif,
sehingga tidak dilakukan intervensi pada subyek penelitian.
III. Comparison
Penelitian ini melakukan survei berbasis kuesioner terhadap pasien anemia
defisiensi besi rawat jalan di klinik hematologi dan onkologi anak untuk
mengumpulkan informasi mengenai: (1) inisiasi pemberian makanan pendamping
ASI (MPASI) yang terlambat usia pemberian MPASI awal > 6 bulan; (2)
penggunaan MPASI yang yang tidak mengandung besi-fortifikasi; (3) pemilih
soal makanan, atau bayi yang membutuhkan lebih dari 1 bulan untuk penyapihan
14
yang berhasil; (4) riwayat minum susu sapi saat bayi (infant) (> 700 mL/hari) (5)
Gejala dan tanda ADB seperti pucat, pica atau pada malam hari anak menangis
dua kali atau lebih pada malam hari; dan (6) tidak ada suplementasi zat besi pada
bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Sehingga dengan pengisian kuesioner
tersebut dapat dilakukan penyelidikian faktor resiko apa yang paking sering
menyebabkan anemia defisiensi besi pada anak.
IV. Outcome
ADB dominan pada anak laki-laki (2.14: 1) selama masa kanak-kanak dan anak
usia dini. Kejadian ADB puncak tercatat di antara bayi berusia 9-12 bulan. Hanya
7% pasien yang menunjukkan gejala ADB, sementara 23,6% pasien dengan ADB
parah menunjukkan gejala / tanda klasik ADB. Bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) dengan ADB menunjukkan kepatuhan rendah terhadap suplementasi zat
besi. Dalam analisis multivariat, pemberian ASI berkepanjangan tanpa fortifikasi
besi (rasio odds [OR] 5.70), dan BBLR (OR 6.49) diidentifikasi sebagai faktor
risiko anemia berat.
V. Study Validity
Research questions
Is the research question well-defined that can be answered using this study design?
Ya. Penelitian dengan menggunakan desain penelitian retrospektif ini dapat
menjawab tujuan utama dari dilakukannya penelitian, yaitu untuk mendeteksi ADB
pada usia dini dan mengurangi dampak buruk kekurangan zat besi, penelitian ini
juga menilai karakteristik klinis bayi dan anak-anak dengan ADB yang
mengunjungi Rumah Sakit Universitas Inha dalam 17 tahun terakhir.
Randomization
Was the randomization list concealed from patients, clinicians, and researchers?
Ya, pada penelitian ini sampel yang diambil adalah seluruh subjek yang sesuai
dengan kriteria inklusi yaitu anak berusia 6 bulan hingga 23 bulan dengan ADB.
VI. Importance
Is this study important?
Ya, penelitian ini penting untuk dilakukan. Telah diketahui penyakit ADB
dikaitkan dengan gangguan fungsi neurokognitif dan intoleransi olahraga, dan
hubungan tersebut terjadi bahkan setelah pengobatannya berhasil. Oleh sebab itu
perkembangan defisiensi besi sangat penting selama masa infantil dan masa kanak-
kanak ketika tingkat perkembangan mengalami perkembangan yang pesat,
terutama pada otak, dapat meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan akibat
ADB. Penelitian ini penting untuk mengetahui faktor resiko apa saja yang dapat
menyebabkan ADB pada anak sehingga dapat membantu dalam alur diagnosis
ADB di kemudian hari.
VII. Applicability
Are your patient so different from these studied that the results may not apply to
them?
Tidak. Pasien pada penelitian ini cukup menggambarkan populasi pasien di
Indonesia. Penjelasan mengenai sampel penelitian dijelaskan dengan baik di dalam
jurnal. Oleh karena itu penelaah berkesimpulan bahwa hasil penelitian ini dapat
digeneralisasikan.
16
Is your environment so different from the one in the study that the methods could
not be use there?
Tidak, penelitian dengan metode penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia.
Kesimpulan: Jurnal ini valid, penting, dan dapat diterapkan sehingga jurnal ini
dapat digunakan sebagai referensi.