PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat
manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal
bahwa sumber ajaran islam adalah Al-Quran dan Sunnah yang sangat lengkap.
Selain Al-Quran dan As-Sunnah, terdapat pula Ijtihad. Para ulama bersepakat
tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya
secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad
mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai
hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Melalui makalah yang kecil lagi tipis ini, kami akan membahas mengenai As-
Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam. Kami juga berusaha menjelaskan
kepada pembaca sekelumit tentang kedua perkara di atas, dan juga menjelaskan
pentingnya pembahasan mengenai kedua sumber hukum Islam tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Secara bahasa, hadis dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan
menurut istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, atau segala tingkah laku yang Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapannya. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi
pengertian hadits hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan
dengan hukum, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan
dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan As-Sunnah.
Terjemahannya: Akutelahmeninggalkankepada kalian duaperkara, kalian
tidakakansesatuntuk (selamanya) selama kalian
berpegangteguhkepadakeduanyayaituKitab Allah danSunnahNabi-Nya
1. Setiap Mumin harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-
Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali Imran:
31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah:
5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadis karena selain memang
di perintahkan oleh Al-Quran, juga untuk memudahkan dalam menentukan
(menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali
tidak dibicarakan di dalam Al Quran sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah
tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan
zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Quran dalam hal ini tersebut
hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci
justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran
dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal
(mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan
Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya
didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan
tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
1. Bayan Tafsir,
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti
hadis : Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli (Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Quran yang
umum, yaitu : Aqimush-shalah (Kerjakan shalat). Demikian pula hadis:
Khudzu anni manasikakum (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir
dari ayat Al-Quran Waatimmulhajja ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir,
3. Bayan Taudhih,
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka
jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-
Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah)
sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan
maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi
jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri) adalah harus menjadi pedoman
bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain:
Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Quran
sebagaimana penegasan Allah:
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Quran
meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Quran sendiri menegaskan
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama
adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah
sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Quran yang membahasnya secara umum dan
tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi
mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Quran pernah menyinggungnya atau
tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran
yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu
harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah
sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau.
Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di
sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah.
Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal
ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai
sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila
dikerjakan. Contohnya antara lain:
Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu
bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan
hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu
yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang,
sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan
oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
Shalat Dhuha
Shalat dhuha yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya
wajib.
Qiyamullail
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya
Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
Bersiwak
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya
hukumnya hanya Sunnah saja.
Bermusyawarah
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat.
Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau,
seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya
malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau
isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan
cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada
di dalam Sunnah Nabi SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
Sementara itu, nash Al-Quran dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus
berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (Al-
wahyu qad intaha wal Al-Waqa ila yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha
penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad menjadi sangat penting.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal dari bahasa arab dari bentuk fiil madli yaitu ijtahada, bentuk fiil
mudlarek yaitu yajtahidu, dan bentuk masdar yaitu ijtihadan yang artinya telah
bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja
semaksimal mungkin.
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi
(t.th: 112) menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian
sesuatu, supaya sampai pada ujung yang ditujunya.
Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara
bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Quran surat An-
Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusyi
wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-
yamin).
Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-
hukum amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Quran dan Sunnah. Diantara ayat Al-Quran
yang menjadi dasar ijtihad: adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya
Hadis Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam
ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala . (HR. Muslim, 11,t.th :62).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu
melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum
syariat dan tathbiqh / penerapan hukum)
E. HUKUM IJTIHAD
Ulama berendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa,
atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Syara, maka
hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ain, wajib kifayat, sunnat atau haram,
tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan
hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib
kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus
tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka
melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau
kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah
jelas hukumnya secara qathi, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, atau ijtihad atas
peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma. (Wahbah Al Juhaili
1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).
F. LANDASAN IJTIHAD
Hai orang-orang beriman taatilah Alloh dan RosulNya dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Alloh dan Rosul, jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS.
An-Nisa:59)
Untuk memberikan bukti bahwa ijtihad pernah dilakukan para sahabat, pada
masa nabi sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh Al-Baghawi dari Muadz bin
Jabal yang artinya sebagai berikut:
: : :
: : :
Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Muadz bin Jabal) ke Yaman, Nabi
Mahammad SAW berkata: bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?,
jawabnya: saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Quran, nabi berkata:
bagaimana kalau kau tidak mendapati dalam Al-Quran?, jawabnya: dengan
sunnah nabi, selanjutnya nabi berkata: bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?,
jawabnya: saya akan mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum
dengan pikiran saya, akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada dengan
mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq (kecocokan) pada
utusan Rosulullah (Muadz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para sahabat adalah ketika Abu Bakar
menjadi khalifah, waktu itu terdapat sekelompok yang tidak mambayar zakat fitrah.
Abu Bakar bertindak memerangi mereka. Tidakan Abu Bakar tidak disetujui oleh
Umar bin Khatab dengan alasan menggunakan sabda Nabi SAW yang artinya:
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad
perorangan dan ijtihad jami. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan
oleh seorang mujtahid dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jami atau
ijtihad kelompok adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam
menganalisa suatu masalah untuk menentukan suatu hukum.
H. KEDUDUKAN IJTIHAD
a. Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena
mengingat hasil ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal
manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa
berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
b. Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam
ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam
bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda.
Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah
belum tentu berlaku di daearah lain.
d. Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah
tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Quran dan sunnah. Dengan demikian
kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak
boleh bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah.
I. METODE IJTIHAD
a. QIYAS. Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna aslinya adalah mengukur atau
membandingkan atau menimbang dengan menimbangkan sesuatu. Contoh: pada
masa Nabi Muhammad SAW, ada belum ada permasalahan padi. Dengan demikian
diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan zakat.
b. IJMA atau konsensus. Kata ijma berasal dari kata jamun yang artinya menghimpun
atau mengumpulkan. Ijma mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur
sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan
suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan
pendapat berdasarkan dengan hasil ijma ini contohnya bagaimana masalah kelurga
berencana.
c. ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu
barang atau menyukai barang itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti
didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Dengan kata lain
menetapkan hukum masalah yang tidak ditentukan secara rinci dalam Al-Quran
maupun hadis yang didasarkan atas kepentingan umum (kemaslahatan) umum dan
demi keadilan. Sebagai cotoh adalah peristiwa Ummar bin hatab yang tidak
melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa peceklik.
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan
Madzhab Sababi