Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disususun Oleh:
GILANG HIJRAH ANDANI PUTRA AJA
E1A115141
KELAS D
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Profesi advokat lahir dari masyarakat untuk masyarakat yang di dorong oleh hati
nuraninya untuk berkiprah menegakkan hukum dan keadilan serta mewujudkan supermisi
hukum untuk semua aspek kehidupan. Profesi advokat/penasehat hukum adalah profesi yang
mulia dan terhormat (offium nobile), menjalankan tugas pekerjaan menegakkan hukum di
pengadilan bersama jaksa dan hakim (officars of the court) dimana dalam tugas
pekerjaannya dibawah lindungan hukum dan undang-undang.
Jika profesi advokat telah diatur dengan suatu UU maka agar jelas kiprah dan fungsi
serta perannya ditengah lapisan masyarakatnya khusus pencari keadilan. Advokat perannya
ditengah hukum harus mampu mengoreksi dan mengamati putusan dan tindakan para praktisi
hukum lainnya dan hal ini dibenarkan hukum dan perundang-undangan.
Advokat setiap nafasnya, harus tanggap terhadap tegaknya hukum dan keadilan
ditengah lapisan masyarakat, dengan menghilangkan rasa takut kepada siapapun dengan
tidak membeda-bedakan tempat, etnis, agama, kepercayaan, miskin atau kaya dan lain-lain.
Sebagainya memberi bantuan hukum setiap saat, demi tegaknya hukum keadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Hubungan Advokad dengan Pemberi Bantuan Hukum?
2. Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup Undang Undang Bantuan Hukum?
3. Syarat bagi penerima bantuan hokum?
BAB II
PEMBAHASAN
1
Kadafi, Binziad dkk.,2002. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang Tanggung Jawab
Profesi Hukum di Indonesia, Penerbit: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta.
Walaupun demikian, UU Bantuan Hukum ini secara jelas menyebutkan posisi
Advokat menjadi bagian dari Pemberi Bantuan Hukum yang dalam hal ini bernaung
dalam wadah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan.
Untuk itulah maka diharapkan tidak ada kesalahan penafsiran menyangkur Ruang
Lingkup Pemberian Bantuan Hukum antara seorang Advokat dengan Pemberi Bantuan
Hukum dalam konteks Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Prinsipnya adalah tanpa
bernaung dalam Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan, seorang
Advokat tetap memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-
Cuma bagi orang yang tidak mampu (miskin).
Dalam konteks UU Bantuan Hukum ini bisa dikatakan bahwa untuk menjalankan
fungsi seperti proses konsultasi, pendidikan hukum, investigasi maupun dokumentasi
dapat dilakukan oleh pembela publik lainnya, namun untuk menghadap di persidangan
tetap harus dilakukan seorang Advokat.
Untuk mengatasinya biasanya dilakukan dengan merekrut Voluntary Lawyer,
yaitu advokat yang menjadi relawan (part time) di organisasi bantuan hukum maupun
Ghost Lawyer, yaitu advokat mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan
persidangan seperti gugatan, jawab-menjawab dalam peradilan perdata, namun yang
hadir/menghadap di persidangan adalah pencari keadilan sendiri.
2
Abdurrahman, 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Penerbit: Cendana Press, Jakarta.
Bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum
lengkap, benar, jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar
4. Asas efisiensi:
Memaksimalkan pemberian Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber
Ruang Lingkup Pemberian Bantuan Hukum tercantum dalam Pasal 4 dan pasal 5.
Dalam pasal 4 disebutkan bahwa:
1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi
masalah hukum.
2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum
keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa,
mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
C. Syarat bagi penerima bantuan hukum
3
Soekanto, Soerjono. Bantuan Hukum suatu Tinjauan Yuridis.Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Dalam UU Bantuan Hukum pengertian tentang Penerima Bantuan Hukum terdapat
dalam Pasal 5 yang berbunyi:
1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi
setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara
layak dan mandiri.
2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang,
layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Menurut penulis rumusan pengertian Penerima Bantuan hukum ini telah mengalami
penyempitan makna dari orang yang tidak mampu menjadi orang yang tidak mampu
secara ekonomi. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan orang atau kelompok tidak
mampu lainnya, antara lain orang atau kelompok yang termarjinalkan karena suatu
kebijakan publik; Orang atau kelompok yang hak-hak sipil dan politiknya terabaikan;
Komunitas masyarakat adat; perempuan dan penyandang cacat hingga mereka para korban
pelanggaran hak-hak dasar seperti penggusuran dan lain-lain. Penyempitan makna ini jelas
berbenturan dengan semangat Konstitusi, sehingga hal ini mesti di diskusikan kembali oleh
para Pembuat dan Pengambil Kebijakan sebelum Undang-Undang ini diberlakukan.
Penerima Bantuan Hukum yang diterjemahkan dengan orang orang atau kelompok
orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, memang tidak
begitu saja bisa memperoleh atau mengakses bantuan hukum sebagaimana yang
diamanatkan. Hal ini bisa dilihat dalam syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:
1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat-
syarat:
a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas
pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan
Hukum;
b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang
setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara
tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.
Sementara itu syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum juga diatur dalam Pasal
15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi4:
BAB III
PENUTUP
4
Rambe, Ropalin. Teknik Praktek Advokat. PT. Grasindo, Jakarta, 2001
Kesimpulan
Di Indonesia, hak atas bantuan hukum memang tidak secara tegas dinyatakan
dalam Konstitusi. Namun, bahwa Indonesia adalah negara hukum dan prinsip persamaan
di hadapan hukum, menjadikan hak bantuan hukum sebagai hak konstitusional.
Sehinggga negara berkewajiban untuk melaksanakannya terutama bagi orang yang tidak
mampu. Maka, kehadiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum menunjukan bentuk tanggung jawab negara terhadap Hak Bantuan Hukum bagi
warga negara sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum berbeda dengan apa yang selama ini
diatur dalam Undang-Undang Advokat yang menekankan Bantuan Hukum Cuma-Cuma
sebagai kewajiban Advokat. Dalam Undang-Undang Bantuan Hukum ini posisi Advokat
tetap diakomodir sebagai Pemberi Bantuan Hukum namun dalam naungan Lembaga
Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan. Selain itu Undang-Undang Bantuan
Hukum ini secara eksplisit menyebutkan peran Paralegal, yang menurut hemat penulis
menjadi sebuah istilah baru dalam sebuah produk perundang-undangan (Hukum Positif).
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrahman, 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Penerbit: Cendana
Press, Jakarta.
- Kadafi, Binziad dkk.,2002. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Penerbit: Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia, Jakarta.
- Rambe, Ropalin. Teknik Praktek Advokat. PT. Grasindo, Jakarta, 2001
- Soekanto, Soerjono. Bantuan Hukum suatu Tinjauan Yuridis.Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983.