Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan
hayati terbesar di dunia setelah Brasil. Indonesia memiliki lebih dari
30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga kini tercatat 7000
spesies tanaman telah diketahui khasiatnya, namun hanya kurang dari
300 tanaman yang telah digunakan sebagai bahan baku industri
farmasi secara regular (Saifudin, dkk., 2011). Kekayaan alam yang
memiliki berbagai jenis tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat dan
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Obat
tradisional telah dikenal dan telah digunakan secara turun temurun oleh
masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu masyarakat mengenal dan
menggunakan tumbuhan sebagai salah satu upaya dalam
penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya. Oleh karena
itu, dilakukan pengujian terhadap komponen tumbuhan obat (Haris,
2011).
Tumbuhan obat di Indonesia digunakan untuk meningkatkan
kesehatan (promotif), memulihkan kesehatan (rehabilitative),
pencegahan penyakit (preventif) dan penyembuhan (kuratif) (Saifudin,
dkk., 2011).
Berbagai tanaman yang dapat dijadikan dalam pengobatan
karena adanya bahan yang terkandung di dalamnya yang dapat
diekstraksi untuk dijadikan bahan baku berbagai jenis obat-obatan.
Pemanfaatan potensi bahan obat yang berasal dari alam di Indonesia
kini mulai dikembangkan karena adanya kesadaran yang semakin
tinggi dalam penggunaan bahan-bahan yang berasal dari alam.
Salah satu bahan tanaman yang telah dipergunakan masyarakat
selama ini, yaitu rimpang temulawak. Memiliki ciri-ciri khas pada tiap-
tiap aspeknya seperti bentuk, bau, rasa, warna, bahkan zat aktif yang
terkandung di dalamnya. Berdasarkan kepercayaan oleh masyarakat
dan berdasarkan hasil penelitian rimpang temulawak memiliki khasiat
sebagai hepaprotektor karena adanya kandungan kurkumin. Oleh
sebab itu, dibuatlah ekstrak rimpang temulawak dengan metode
maserasi, yang nantinya dibuat sediaan suspensi sesuai dengan
khasiat dan indikasi dari ekstrak.

I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan


I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami proses formulasi dan
pembuatan sediaan suspensi dengan menggunakan ekstrak.

I.2.2 Tujuan Percobaan


Memformulasi dan membuat sediaan dengan
menggunakan ekstrak rimpang temulawak sebagai obat
hepaprotektor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum Sediaan


II.1.1 Definisi Suspensi
Suspensi oral adalah sediaan cair yang mengandung partikel
padat dalam bentuk halus yang terdispersi dalam fase cair dengan
bahan pengaroma yang sesuai yang ditujukan untuk penggunaan
oral (Syamsuni, 2015).
Suspensi juga dapat didefenisikan sebagai preparat yang
mengandung partikel obat yang terbagi secara halus (dikenal
sebagai suspensoid) disebarkan secara merata dalam pembawa
dimana obat menunjukan kelarutan yang sangat minimum.
Beberapa suspensi resmi diperdagangkan tersedia dalam bentuk
siap pakai, telah disebarkan dalam cairan pembawa dengan atau
tanpa penstabil dan bahan tambahan farmasetik lainnya (Ansel,
1989).
Bahan obat yang diberikan dalam bentuk suspensi untuk
obat minum, mempunyai keuntungan bahwa (oleh karena partikel
sangat halus) penyarapan zat berkhasiatnya lebih cepat dari pada
bila obat diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet,
bioavailabilitasnya pun baik. Suspensi dapat dibagi dalam dua jenis
yaitu suspensi yang siap digunakan atau suspensi yang
dikonstitusikan dengan jumlah air untuk injeksi atau pelarut lain
yang sesuai sebelum digunakan. Suspensi tidak boleh diinjeksikan
secara intevena. Pada bentuk sediaan suspensi harus diperhatikan
bahawa obatnya betul diminum dengan sendok yang sesuai,
sehingga obat diminum dengan dosis yang tepat (Joenoes, 1990).
II.1.2 Kelebihan dan Kekurangan Suspensi
1. Kelebihan
Baik digunakan untuk orang yang sulit menelan tablet, pil,
kapsul, terutama untuk anak-anak.
Memiliki homogenitas yang cukup tinggi.
Lebih mudah diabsorpsi daripada tablet, karena luas
permukaan saluran cerna tinggi dengan permukaan.
Dapat menutupi rasa tidak enak/pahit dari obat.
Dapat mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam
air (Parrot, 1968).

2. Kekurangan
Memiliki kestabilan yang rendah.
Jika terbentuk caking maka akan sulit terdispersi kembali,
sehingga homogenitasnya menjadi buruk.
Aliran yang terlalu kental menyebabkan sediaan sulit untuk
dituang.
Ketetapan dosis lebih rendah dibandingkan sediaan larutan.
Suspensi harus dilakukan pengocokan sebelum digunakan
(Parrot, 1968).

II.2 Uraian Tanaman


Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tumbuhan
obat yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae).
Temulawak di kenal dengan banyak nama di berbagai daerah
seperti temu besar (bahasa Melayu), koneng gede (Sunda), temu lobak
(Madura), dan temu lawak (Indonesia). Tanaman ini tidak hanya dikenal
sebagai bahan baku jamu tradisional dalam negeri saja tetapi sudah
sejak lama dikenal di Eropa Barat sebagai bahan obat-obatan
(Rukmana, 2006).
II.2.1 Klasifikasi Tanaman
Dalam taksonomi tanaman temulawak diklasifikasikan
sebagai berikut:
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Rukmana, 2006).

II.2.2 Morfologi Tanaman


Temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh
merumpun. Tanaman ini berbatang semu dan habitatnya dapat
mencapai ketinggian 2-2,5 m. Tiap tanaman terdiri dari 2-9 helai
daun. Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak
lebar. Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam.
Panjang daun sekitar 50-55 cm, lebarnya 18 cm, dan tiap helai
daun melekat pada tangkai daun yang posisinya saling menutupi
secara teratur.
Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga
kuning tua, serta pangkal bunganya berwarna ungu. Panjang
tangkai bunga 3 cm dan rangkaian bunga mencapai 1,5 cm.
Rimpang induk temulawak bentuknya bulat seperti telur,
sedangkan rimpang cabang terdapat pada bagian samping yang
bentuknya memanjang. Tiap tanaman memiliki rimpang cabang
antara 3-4 buah.
Warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua
adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning dengan
cita rasanya pahit, berbau tajam, serta keharumannya sedang. Tiap
rumpun tanaman temulawak umumnya memiliki 6 buah rimpang tua
dan 5 buah rimpang muda (Rukmana, 2006).

II.2.3 Kandungan Kimia


Kandungan zat yang terdapat pada rimpang temulawak
terdiri atas pati, abu, serat dan minyak atsiri. Komponen utama
kandungan zat yang terdapat dalam rimpang temulawak adalah zat
kuning (kurkumin). Minyak atsiri temulawak mengandung
phetandren, kamper, borneol, xanthorizol, turmeol dan sineal.
Kandungan kurkumin dalam rimpang 1,6 - 2,22% dihitung
berdasarkan berat kering (Rukmana, 2006).

II.2.4 Kegunaan/ Efek farmakologi


Mekanisme hepatoprotektor terjadi karena efek curcumin
sebagai antioksidan yang mampu menangkap ion peroksida dan
memutus rantai antar ion superoksida (O2-) sehingga mencegah
kerusakan sel hepar karena peroksidasi lipid dengan cara dimediasi
oleh enzim antioksidan yaitu Super Okside Dismutase (SOD)
dimana enzim SOD akan mengonversi O2- menjadi produk yang
kurang toksik (Marinda, 2014).
Curcumin juga mampu meningkatkan gluthation s-
transferase (GST) dan mampu menghambat beberapa faktor
proinflamasi seperti Nuclear Factor-KB (NF-KB) dan profibrotik
sitokin. Aktivitas penghambatan pembentukan NF-KB merupakan
faktor transkripsi sejumlah gen penting dalam proses imunitas dan
inflamasi, salah satunya untuk memebentuk TNF-alfa. Dengan
menekan kerja NF-KB maka radikal bebas dari hasil sampingan
inflamasi berkurang (Marinda, 2014).

II.3 Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan
berat kurang lebih 1,5 kg (Junqueira, 2007). Hati adalah organ viseral
terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004). Hepar
bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis
tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda
arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar
dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah
kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2004).

II.3.1 Anatomi Hati

Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada


masing-masing lobulus bermuara ke venae hepaticae. Dalam
ruangan antara lobuluslobulus terdapat canalis hepatis yang berisi
cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah
cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena
berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke
vena centralis (Sloane, 2004).
Selsel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel
endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan
sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit berderet secara radier
dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa
dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian
lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk
struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng
ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati (Junquiera,
2007).
Sinusoid hati adalah saluran yang berlikuliku dan melebar,
diameternya tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak
utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel
(mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer yang fagositik
dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik
yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi
matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal
dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa
darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen
dari jantung (Eroschenko, 2010).
Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada
traktus portal, darah yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik
dialirkan ke vena sentralis. Traktus portal terdiri dari 3 struktur
utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar adalah
venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih.
Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang
merupakan cabang terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga
adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga
struktur itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira, 2007).

II.3.2 Fisiologi Hati


Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa
fungsi yaitu:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah
menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi
galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan
membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak,
antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi
bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar
kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari
protein dan karbohidrat.
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi
asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia
dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan
interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa
lain dari asam amino.
d. Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat
penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi
dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan
untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati
mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan
zat lain.

II.3.3 Penyakit Hati


Penyakit hati atau penyakit liver adalah penyakit
yang disebabkan oleh berbagai faktor yang merusak hati, seperti
virus dan penggunaan alkohol. Obesitas juga berhubungan dengan
kerusakan hati. Seiring waktu, kerusakan hati berdampak pada luka
di jaringan (sirosis), yang dapat menyebabkan gagal hati, suatu
kondisi yang mengancam jiwa (Nurdjanah, 2009).
Sirosis adalah proses difusi yang ditandai oleh fibrosis dan
perubahan struktur hepar yang normal menjadi nodula-nodula yang
abnormal. Hasil akhirnya adalah destruksi hepatosit dan digantikan
oleh jaringan fibrin serta gangguan atau kerusakan vascular. Sirosis
merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena mengganggu
fungsi-fungsi di atas. Selain itu, sirosis juga berisiko menjadi kanker
hati (hepatocellular carcinoma). Risiko terbesar sirosis yang
disebabkan oleh infeksi hepatitis C dan B, diikuti dengan sirosis
yang disebabkan oleh hemokromatosis. (Dipiro et al, 2006).
Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan
inflamasi akut dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan panas badan (Brooker, 2001). Kolesistitis
adalah radang kandung empedu yang merupakan reaksi inflamasi
akut dinding kandung empedu disertai keluhan nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan panas badan. Dikenal klasifikasi kolesistitis
yaitu kolesistitis akut dan kronik (Suparyanto, 2009).
Hepatitis adalah suatu proses peradangan pada jaringan
hati. Secara populer dikenal juga dengan istilah penyakit hati, sakit
liver, atau sakit kuning. Hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai
macam penyebab seperti virus, bakteri, parasit, jamur, obat-obatan,
bahan kimia, alkohol, cacing, gizi buruk, dan autoimun. Penyakit
hepatitis terbanyak disebabkan oleh virus. Penyakit hati yang
disebabkan oleh infeksi virus hepatitis masih merupakan penyakit
endemis di Indonesia. Sebagian besar hepatitis viral disebabkan
oleh infeksi virus hepatitis A, B, C, D, E, F, dan G (Dienstag and
Isselbacher, 2005).
Sampai saat ini belum ditemukan obat spesifik untuk
penyakit penyakit hati yang disebabkan oleh virus. Obat-obat yang
selama ini diberikan untuk pengobatan penyakit hati umumnya
hanya diketahui sebagai pengobatan simptomatis, yaitu untuk
meringankan gejala penyakit yang timbul disamping sebagai
pengobatan suportif atau promotif yang berguna untuk membantu
kelangsungan fungsi hati. Oleh karena itu, berbagai penelitian terus
dilakukan untuk mencari obat-obat alternatif yang dapat digunakan
sebagai hepatoprotektor (Suparyanto, 2009).

II.3.3 Hepaprotektor
Hepatoprotektor adalah suatu senyawa obat yang dapat
memberikan perlindungan pada hati dari kerusakan yang
ditimbulkan oleh obat, senyawa kimia, dan virus. Zat-zat beracun,
baik yang berasal dari luar tubuh seperti obat maupun dari sisa
metabolisme yang dihasilkan sendiri oleh tubuh akan didetoksifikasi
oleh enzim-enzim hati sehingga menjadi zat yang tidak aktif (Hadi,
2000).
Hepatoprotektor yaitu senyawa atau zat berkhasiat yang
dapat melindungi sel-sel hati terhadap pengaruh zat toksik yang
dapat merusak sel hati. Mekanisme obat hepatoprotektif antara lain
dengan cara detoksikasi senyawa racun baik yang masuk dari luar
(eksogen) maupun yang terbentuk dalam tubuh (endogen) pada
proses metabolisme, meningkatkan regenerasi hati yang rusak,
antiradang, dan sebagai imunostimulator (Dalimartha, 2005).

II.4 Penyiapan Bahan Baku


II.4.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai
obat yang belum mengalami pengolahan apapun kecuali
dinyatakan lain simplisia adalah bahan baku yang dikeringkan.
Tahapan pembuatan simplisia.
a. Pengumpulan rimpang temulawak yang akan dijadikan sebagai
bahan baku simplisia.
b. Dilakukan sortasi basah untuk memisahkan kotoran dari
rimpang.
c. Rimpang temulawak dicuci bersih dengan air mengalir.
d. Rimpang temulawak yang telah bersih dirajang 1 mm.
e. Setelah dirajang, rimpang dikeringkan (sinar matahari langsung
atau alat pengering).
f. Sortasi kering, pemilihan rimpang yang telah dikeringkan
(Depkes RI, 1985).

II.4.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian komponen kimia atau zat-zat
aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis hewan
termasuk biota laut. Komponen kimia yang terdapat pada tanaman,
hewan dan beberapa jenis ikan pada umumnya mengandung
senyawa-senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik. Pelarut
organik yang paling umum digunakan untuk mengekstraksikan
komponen kimia dari sel tanaman adalah methanol, etanol,
kloroform, heksan, eter, aseton, benzene dan etil asetat. Proses
pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman adalah
pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam
pelarut organic di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi
keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi
keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di
luar sel (Gritter, 1991).
Maserasi
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang
sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada
temperatur kamar terlindung dari cahaya.
Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia
yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam
cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin.
Prinsip maserasi adalah memasukkan simplisia yang
sudah diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10
bagian ke dalam bejana maserasi yang dilengkapi pengaduk
mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar
terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5
hari, disaring kedalam dalam bejana penampung, kemudian
ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi
secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi hingga
diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan
disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama 2
hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya
dipekatkan (Depkes RI, 1985).

II.5 Rancangan Formula


Tiap 5 ml mengandung :
Ekstrak Rimpang Temulawak 250 mg
Na. CMC 0,5%
Polisorbate-80 0,1%
Na. Benzoat 0,5%
Sorbitol 20%
Oleum Citri q.s
Aquadest ad 100 %

II.6 Studi Preformulasi


II.6.1 Dasar Pembuatan Sediaan
Dibuat dalam bentuk sediaan suspensi karena obat-obat
tertentu tidak stabil secara kimia bila ada dalam larutan tetapi stabil
bila ada dispersi dalam hal ini suspensi oral menjamin stabilitas
kimia dan memungkinkan terapi dengan cairan untuk pasien yang
sulit menelan tablet/kapsul dan juga untuk anak-anak (Ansel, 1989).

II.6.2 Dasar Pemilihan Bahan Aktif


Efek kurkumin pada rimpang temulawak sebagai antioksidan
yang mampu menangkap ion superoksida dan memutuskan rantai
antara ion superoksida sehingga mencegah kerusakan sel hepar.
Kurkumin juga mampu meningkatkan gluthation s-transperase
(GST) dan mampu menghambat beberapa factor. Proinflamasi
ekspresi gen replikasi virus hepatitis B melalui daun regulation dari
PGC, sehingga dapat disimpulkan curcumin dapat dijadikan
alternative hepatoprotektor pada pasien hepatitis kronis (Marinda,
2014).
Digunakan dosis 250 mg untuk dosis manusia, mengikuti
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes,
2016).

II.6.3 Dasar Pemilihan Bahan Tambahan


1. Tween 80 (surfaktan/pembasah)
Bahan pembasah adalah surfaktan yang dapat
menurunkan sudut kontak antara padatan dan cairan
pembasahan. Polisorbat 80 masih digunakan secara luas
sebagai formulasi suspensi karena kurang toksik dan cocok
untuk kebanyakan bahan formulasi.
Penggunaan surfaktan sebagai pembasah juga akan
mencegah adanya kristal. Penggunaan surfaktan pada
konsentrasi rendah berkisar 0,05% dapat menghasilkan
pembasahan yang tidak sempurna konsentrasi yang lebih besar
dari 0,5% dari surfaktan dapat melarutkan partikel yang sangat
halus dan menyebabkan pergantian didalam distribusi ukuran
partikel yang timbulnya kristal. Range polisorbat yaitu 0,1-3%
(Fatmawati A., dkk., 2012).
Penggunaan surfaktan sebagai pembasah dapat
digunakan dengan konsentrasi hingga 0,1%. Jika digunakan
dengan konsentrasi lebih dari 0,1% akan menyebabkan sistem
deflukolasi (Kulshreshtha, dkk., 2010).

2. Natrium CMC (Pensuspensi)


Na. CMC diguanakan sebagai suspending agent dalam
sediaan cair, oral, dapat juga digunakan sebagai penstabil
suspensi dan melarutkan endapan. Endapan Na. CMC larut
dalam air dingin dan panas pada perendaman akan
menghasilkan larutan jernih (Suena, 2015).
Range Na. CMC yaitu 0,5 - 1% . Penggunaan Na.CMC
berguna untuk meningkatkan kekentalan pada bahan Na. CMC
merupakan pengental yang mampu mengikat air sehingga
molekul air terperangkap dalam struktur suspensi (Rowe, dkk,
2006).

3. Natrium Benzoat (Pengawet)


Na. Benzoat lebih efektif menghambat kamir dan bakteri
dari pada jamur dan mempertahankan keasaman makanan sirup
dan lain-lain (Zentimer, 2007).
Mekanisme kerja Na. Benzoat sebagai bahan pengawet
adalah berdasarkan pemeabilitas membran sel mikroba terhadap
molekul Na. Benzoat tidak terdisosiasi. Suasana pH 4,5 molekul
Na. Benzoat tersebut daspat mencapai sel mikroba yang
membrannya tersebut dapat mencapai sel mikroba yang
membran selnya mempunyai sifat permeable terhadap molekul-
molekul Na. Benzoat yang akan teroksidasi (Zentimer, 2007).
Aktivitas antimikroba dari Na. Benzoat dapat turun akibat
penambahan dari surfaktan nonionik. Hal ini dapat diatasi
dengan penambahan konsentrasi antimikroba dari jumlah
konsentrasi sebelumnya (Jones, 2018).

4. Sorbitol (Pemanis dan Anticapslooking)


Sorbitol digunakan sebagai pemanis dalam sediaan ini
karena sorbitol memiliki viskositas yang tinggi selain dari itu
efektif disekitar tutup botol. Sorbitol juga dapat digunakan secara
analitis sebagai penanda untuk menilai aliran darah hati (Rowe,
dkk, 2006).
Penggunaan sorbitol 20% dapat digunakan sebagai agen
pemanis dan anticapslooking (Wulandari Rini, dkk, 2014).
5. Oleum Citri (Pengaroma)
Pengaroma digunakan untuk dapat membuat obat lebih
diterima terutama jika obat mempunyai rasa yang tidak
menyenangkan pengaroma yang digunakan dalam percobaan ini
yaitu oleum citri. Digunakan oleum citri untuk memberi sensasi
kesejukan sesuai dengan bahan-bahan lain (Rowe, dkk, 2006).

6. Aquadest (Pembawa/Pelarut)
Aquadest merupakan pembawa atau pelarut yang paling
sering digunakan dalam sediaan farmasi. Range konsentrasinya
yaitu hingga 100% (Rowe, dkk, 2006).

II.6.4 Dasar Pemilihan Bahan Kemas


Semua suspensi harus dikemas dalam wadah mulut botol
yang mempunyai ruang udara yang memadai diatas cairan
sehingga dapat dikocok dan mudah dituang (Ansel, 1989).
Bahan kemas yang digunakan untuk ekstrak rimpang
temulawak (suspensi) adalah berupa wadah botol coklat dengan
bahan kaca warna coklat dipilih agar bahan tambahan ataupun zat
aktif dapat terlindung dari degradasi oleh adanya cahaya (Ansel,
1989).

II.6.5 Dasar Pemilihan Metode


Metode dispersi, metode ini dilakukan dengan cara
menambahkan serbuk bahan obat kedalam mucilago yang telah
terbentuk kemudian diencerkan (Syamsuni, 2015).

II.7 Uraian Bahan


1. Polisorbate-80 (Depkes RI, 1979; Rowe, dkk, 2006)
Nama resmi : POLYSORBATUM 80
Nam lain : Tween 80, Polisorbat 80
RM/BM : C64 H124O26 /1310
Rumus struktur :

Kegunaan : Agen pembasah, surfaktan nonionik


Pemerian : Cairan kental seperti minyak, jernih, kuning, bau
asam lemak khas.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P,
dalam etil asetat P dan metanol P, sukar larut
dalam paraffin cair dan dalam minyak biji kapas.
Konsentrasi : 0,1-3%
pH : 6,0-8,0
Stabilitas : Stabil terhadap elektrolit, asam lemah dan basa.
Inkompatibilitas : Fenol, tannin, menurunkan aktivitas antimikroba
pengawet golongan paraben
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk dan kering.

2. Carboxymethylcellulosa Sodium (Depkes RI, 1979; Rowe, dkk,


2006)
Nama resmi : CARBOXYMETHYLCELLULOSA SODIUM
Nama lain : Na. CMC, Cellulosa gum
Rumus Struktur :

Kegunaan : Suspending agent


Pemerian : Hampir putih, tidak berbau, hambar, butiran-
butiran atau granul higroskopik.
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan
koloid, tidak larut dalam etanol, dalam eter, dan
dalam pelarut organik.
pH : 6,5-8,5
Stabilitas : Stabil meski bahannya higroskopik dalam kondisi
kelembapan tinggi, karboksilmetilseluosa sodium
bisa menyerap sejumlah besar (>50%) air.
Umumnya larutan menunjukkan viskositaas dan
stabilitas maksimum pada pH 7-9.
Inkompatibilitas : Tidak sesuai dengan larutan asam kuat dan
dengan garam besi terlarut dan bebelapa logam
lainnya seperti aluminium, merkuri, dan seng. Hal
ini juga tidak sesuai dengan xhantan gum.
Pengendapan mungkin terjadi pada pH<2 dan
juga bila bercampur dengan etanol 95%.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

3. Sorbitol (Depkes RI, 1979; Rowe, dkk, 2006)


Nama resmi : SORBITOLUM
Nama lain : Sorbitol
RM/BM : C6H14O6/182,17
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk, butiran atau kepingan putih, rasa manis,


higroskopik.
Kegunaan : pemanis dan anticapslooking
Inkompatibilitas : Sorbitol juga bereaksi dengan oksida besi menjadi
berubah warna.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung cahaya, di
tempat sejuk.

4. Natrium Benzoat (Depkes RI, 1979; Rowe, dkk, 2006)


Nama resmi : NATRII BENZOAT
Nama lain : Sodium benzoate, natrium benzoate
Rumus Struktur :

Pemerian : Granul putih, atau kristal, bersifat higroskopik


dalam bentuk serbuknya, tidak berbau atau
memiliki bau seperti benzoatnya, memiliki rasa
yang tidak manis.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam
etanol dan lebih mudah larut dalam etanol 90%.
Kegunaan : Antioksidan dan sebagai pengawet
Konsentrasi : 0,02-0,5%
Stabilitas : Larutan yang mengandung air dapat disterilkan
dengan autoclaf atau penyaringan.
Incompatibilitas : Incomp dengan komponen guarter, gelatin, garam
feri, garam kalsium dan garam dari heavy metalis
termasuk silver, leab dan menty. Activitas
pengawet mungkin turun jika berinteraksi dengan
kaolin ataupun sufaktan nonionik.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan baik.

5. Minyak jeruk (Depkes RI, 1979)


Nama Resmi : OLEUM CITRI
Sinonim : Minyak Jeruk
Pemerian : Cairan kuning pucat atau kuning kehijauan, bau
khas, rasa pedas dan agak pahit.
Kelarutan : Larut dalam 12 bagian etanol 90%, agak
beropalesensi dengan etanol mutlak.
Konsentrasi : 0.2%-0.3%
Kegunaan : Pengaroma
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

6. Aquadest (Depkes RI, 1979)


Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air suling, Aquadest
RM/BM : H2O/18,02
Rumus Struktur :

H-O-H
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa.
Kegunaan : Pembawa, pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

II.8 Evaluasi
1. Organoleptis
Evaluasi organoleptis suspensi dilakukan dengan menilai
perubahan rasa, warna, dan bau (Suena, 2015).

2. Viskositas
Uji visikositas dilakukan dengan menggunakan visikometer
stormer. Cara penentuan visikositas dari sediaan suspensi adalah
sebagai berikut: masukan sediaan suspensi sebanyak 50 mL kedalam
cup. Alas wadah dinaikkan sedemikian rupa sehingga slinder (bob)
tetap berada ditengah-tengah cup dan terbenam dalam sediaan.
Skala diatur sehingga menunjukkan angka nol. Berikan beban tertentu
dan lepaskan kunci pengatur putaran sehingga beban turun dan
mengakibatkan bob berputar. Catatlah waktu yang diperlukan bob
untuk berputar 100 kali putaran. Dengan menambah dan mengurangi
beban akan didapat pengukuran pada beberapa kecepatan geser
(Suena, 2015).

3. Pengukuran pH
Suspensi ditentukan dengan menggunakan pH meter digital.
Kalibrasi alat, lalu elektroda dari pH meter digital dicelupkan ke dalam
suspensi, biarkan selama 30 detik, catat nilai pH yang muncul pada
layar alat (Suena, 2015).

4. Volume Sedimentasi
Suspensi dimasukkan ke dalam gelas ukur bervolume 10 mL.
Kemudian biarkan tersimpan tanpa gangguan, catat volume awal (Vo),
simpan maksimal hingga 4 minggu. Volume tersebut merupakan
volume akhir (Vu) (Suena, 2015).

5. Volume Terpindahkan
Dilakukan untuk mengetahui volume suspensi ketika
dipindahkan dari wadah asli akan memberikan volume sediaan seperti
yang tertera pada etiket (Suena, 2015).

6. Dispersibilitas
Pengujian dispersibiltas dilakukan untuk mengetahui waktu
yang dibutuhkan sediaan suspensi untuk terdispersi kembali secara
sempurna (Suena, 2015).

7. Distribusi ukuran partikel


Formula dievaluasi distribusi ukuran partikel yang dilakukan
secara mikroskopis cahaya menggunakan lensa okuler pada 100x
(10x10) yang dilengkapi kamera. Ukuran partikel dilakukan dengan
mengukur 1000 partikel formula dan dilakukan pengelompokan ukuran
(Suena, 2015).
BAB III
METODE KERJA

III.1 Alat dan Bahan


III.1.1 Alat
Batang pengaduk, botol coklat, cawan porselin, erlenmeyer,
gelas arloji, gelas ukur, hot plate, lumpang, magnetik stirrer,
maserator, pinset, pipet tetes, sendok tanduk, stamfer, sudip, dan
timbangan analitik.

III.1.2 Bahan
Aquadest, Ekstrak rimpang temulawak, Etanol 70%, Natrium
benzoate, Natrium CMC, Oleum citri, Polisobate-80, dan Sorbitol.

III.2 Perhitungan
250
1. Ekstrak rimpang temulawak : 60 = 3000 = 3
5
0,5
2. Na. CMC : 100 60 = 0,3
0,1
3. Polisorbate-80 : 100 60 = 0,06
20
4. Sorbitol : 100 60 = 12
0,5
5. Na. Benzoat : 100 60 = 0,3

6. Oleum citri : q.s (secukupnya)


7. Aquadest : ad 60 ml

III.3 Cara Kerja


III.3.1 Pembuatan Ekstrak
Ditimbang simplisia rimpang temulawak sebanyak 100 gram.
Diukur pelarut etanol 70% sebanyak 750 ml.
Dimasukkan simplisia dan pelarut organik ke dalam bejana
maserator.
Dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar terlindung dari
cahaya sambil berulang-ulang diaduk.
Setelah 5 hari, disaring kedalam dalam bejana penampung,
kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi
dan diaduk kemudian disaring lagi hingga diperoleh sari 100
bagian.
Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang
terlindung dari cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk
dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.

III.3.2 Pembuatan Suspensi


Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
Dihitung setiap bahan menurut perhitungannya.
Dikalibrasi botol 60 ml menggunakan aquadest.
Dididihkan air dan didinginkan dalam kondisi tertutup agar
dihasilkan air bebas (CO2).
Dimasukkan polisorbate-80 kedalam lumpang lalu ditambahkan
ekstrak, digerus hingga homogen.
Didispersikan Na. CMC ke dalam aquadest digerus sampai
membentuk mucilago.
Dicampurkan ekstrak yang telah dibasahi ke dalam mucilago
Na. CMC di dalam lumpang.
Dilarutkan Na. Benzoat kedalam aquadest secukupnya sampai
larut kemudian masukkan ke dalam lumpang.
Dilarutkan sorbitol ke dalam aquadest secukupnya sampai larut
kemudian masukkan ke dalam lumpang, digerus sampai
homogen.
Ditambahkan oleum citri secukupnya hingga diperoleh aroma
yang diinginkan.
Dimasukkan ke dalam botol yang telah dikalibrasi, lalu
dicukupkan volumenya dengan aquadest hingga batas tanda
(60 ml).
Diberi etiket dan brosur, lalu dimasukkan ke dalam wadah
sekunder.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2006. Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.

Ansel, H., C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press :


Jakarta.
Ardiansyah, Ardi. 2016. Ekstraksi dan Formulasi Suspensi Oral Teripang
Sebagai Sumber Antioksidan. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI :
Jakarta.

Dalimartha, Setiawan. 2005. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan


Hepatitis. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Ditjen POM : Jakarta.

Depkes RI.1985. Cara Pembuatan Simplisia. Ditjen POM : Jakarta.

Dienstag J.L., and Isselbacher K.J. 2005. Toxic and drug-induced


hepatitis. In: Kasper D.L., Braunwauld E., Fauci A.S., Hausser
S.L., Longo D.L., Jameson J.R. Harrisons principle for medicine.
16th edition. United States of America : McGraw-Hill.
Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional
Edisi 11. EGC : Jakarta.

Fatmawati, A., dkk. 2012. Teknologi Sediaan Farmasi. Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi : Makassar.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
EGC : Jakarta.
Hadi S. 2000. Hepatologi. Mandar Maju : Bandung.

Joenoes, N., Z. 1990. Art Prescribendi (Resep Yang Rasional). Airlangga


University Press : Surabaya.

Jones, David. 2008. FASTtrack Pharmaceutics Dosage Form and Design.


Pharmaceutical press : London.

Junqueira,LC., 2007. Persiapan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik.


Histology Dasar Edisi 10. EGC : Jakarta.
Kulshreshtha, Alok, K., dkk. 2010. Pharmaceutical suspensions from
formulation development to manufacturing. Springer : London.
Marinda, Ferina, D. 2014. Hepatoprotektif Effect of Curcumin in Chronic
Hepatitis. Faculty Of Medicine, Lampung University : Lampung

Parrot, Eugene L. 1968. Pharmaceutical Technologi. Burgess Publishing


Company : Lowa.

Putz, R dan Pabst, R. 2003. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 edisi
21. EGC : Jakarta.

Rahman, Ika Restia . 2010. Formuasi Suspensi Eritromisin Mengunakan


Suspending Agen Pulvis Gummi Arabici (PGA). Fakultas Farmasi,
Universitas Muhammadiyah : Surakarta.

Rowe, Raymond.C., dkk. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th


Edition. Pharmaceutical Press : London.

Rukmana, Rahmat. 2006. Temulawak Tanaman Rempah Dan Obat.


Kanisius : Yogyakarta.

Sayuti, Nutrisia Aquariushinta. 2013. Pengaruh Na.CMC Sebagai


Pengental Terahadap Stabilitas Sirup Temuawak. Kemenkes
Poltekkes. : Surakarta.

Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
Suena Ni Made. D. S. 2015. Evaluasi Fisik Sediaan Suspensi Dengan
Kombinasi Suspensi Agent PGA dan NA.CMC. Akademi Farmasi
Saraswati Denpasar : Bali.

Syamsuni, H.A. 2015. Ilmu Resep. EGC. : Jakarta.

Wulandari, Rini, dkk. 2014. Penggunaan Pemanis Rendah Kalori Pada


Pembuatan Velva Ubi Jalar Ungu. Fakultas Pertanian, Universitas
Sebelas Maret : Surakarta.

Zentimer, Suyetmi. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Benzoat dan


Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Minuman Sari Buah Sirsak
Berkarbonasi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara :
Medan.

Anda mungkin juga menyukai