PENDAHULUAN
2. Kekurangan
Memiliki kestabilan yang rendah.
Jika terbentuk caking maka akan sulit terdispersi kembali,
sehingga homogenitasnya menjadi buruk.
Aliran yang terlalu kental menyebabkan sediaan sulit untuk
dituang.
Ketetapan dosis lebih rendah dibandingkan sediaan larutan.
Suspensi harus dilakukan pengocokan sebelum digunakan
(Parrot, 1968).
II.3 Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan
berat kurang lebih 1,5 kg (Junqueira, 2007). Hati adalah organ viseral
terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004). Hepar
bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis
tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda
arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar
dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah
kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2004).
II.3.3 Hepaprotektor
Hepatoprotektor adalah suatu senyawa obat yang dapat
memberikan perlindungan pada hati dari kerusakan yang
ditimbulkan oleh obat, senyawa kimia, dan virus. Zat-zat beracun,
baik yang berasal dari luar tubuh seperti obat maupun dari sisa
metabolisme yang dihasilkan sendiri oleh tubuh akan didetoksifikasi
oleh enzim-enzim hati sehingga menjadi zat yang tidak aktif (Hadi,
2000).
Hepatoprotektor yaitu senyawa atau zat berkhasiat yang
dapat melindungi sel-sel hati terhadap pengaruh zat toksik yang
dapat merusak sel hati. Mekanisme obat hepatoprotektif antara lain
dengan cara detoksikasi senyawa racun baik yang masuk dari luar
(eksogen) maupun yang terbentuk dalam tubuh (endogen) pada
proses metabolisme, meningkatkan regenerasi hati yang rusak,
antiradang, dan sebagai imunostimulator (Dalimartha, 2005).
II.4.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian komponen kimia atau zat-zat
aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis hewan
termasuk biota laut. Komponen kimia yang terdapat pada tanaman,
hewan dan beberapa jenis ikan pada umumnya mengandung
senyawa-senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik. Pelarut
organik yang paling umum digunakan untuk mengekstraksikan
komponen kimia dari sel tanaman adalah methanol, etanol,
kloroform, heksan, eter, aseton, benzene dan etil asetat. Proses
pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman adalah
pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam
pelarut organic di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi
keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi
keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di
luar sel (Gritter, 1991).
Maserasi
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang
sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada
temperatur kamar terlindung dari cahaya.
Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia
yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam
cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin.
Prinsip maserasi adalah memasukkan simplisia yang
sudah diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10
bagian ke dalam bejana maserasi yang dilengkapi pengaduk
mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar
terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5
hari, disaring kedalam dalam bejana penampung, kemudian
ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi
secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi hingga
diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan
disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama 2
hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya
dipekatkan (Depkes RI, 1985).
6. Aquadest (Pembawa/Pelarut)
Aquadest merupakan pembawa atau pelarut yang paling
sering digunakan dalam sediaan farmasi. Range konsentrasinya
yaitu hingga 100% (Rowe, dkk, 2006).
H-O-H
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa.
Kegunaan : Pembawa, pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
II.8 Evaluasi
1. Organoleptis
Evaluasi organoleptis suspensi dilakukan dengan menilai
perubahan rasa, warna, dan bau (Suena, 2015).
2. Viskositas
Uji visikositas dilakukan dengan menggunakan visikometer
stormer. Cara penentuan visikositas dari sediaan suspensi adalah
sebagai berikut: masukan sediaan suspensi sebanyak 50 mL kedalam
cup. Alas wadah dinaikkan sedemikian rupa sehingga slinder (bob)
tetap berada ditengah-tengah cup dan terbenam dalam sediaan.
Skala diatur sehingga menunjukkan angka nol. Berikan beban tertentu
dan lepaskan kunci pengatur putaran sehingga beban turun dan
mengakibatkan bob berputar. Catatlah waktu yang diperlukan bob
untuk berputar 100 kali putaran. Dengan menambah dan mengurangi
beban akan didapat pengukuran pada beberapa kecepatan geser
(Suena, 2015).
3. Pengukuran pH
Suspensi ditentukan dengan menggunakan pH meter digital.
Kalibrasi alat, lalu elektroda dari pH meter digital dicelupkan ke dalam
suspensi, biarkan selama 30 detik, catat nilai pH yang muncul pada
layar alat (Suena, 2015).
4. Volume Sedimentasi
Suspensi dimasukkan ke dalam gelas ukur bervolume 10 mL.
Kemudian biarkan tersimpan tanpa gangguan, catat volume awal (Vo),
simpan maksimal hingga 4 minggu. Volume tersebut merupakan
volume akhir (Vu) (Suena, 2015).
5. Volume Terpindahkan
Dilakukan untuk mengetahui volume suspensi ketika
dipindahkan dari wadah asli akan memberikan volume sediaan seperti
yang tertera pada etiket (Suena, 2015).
6. Dispersibilitas
Pengujian dispersibiltas dilakukan untuk mengetahui waktu
yang dibutuhkan sediaan suspensi untuk terdispersi kembali secara
sempurna (Suena, 2015).
III.1.2 Bahan
Aquadest, Ekstrak rimpang temulawak, Etanol 70%, Natrium
benzoate, Natrium CMC, Oleum citri, Polisobate-80, dan Sorbitol.
III.2 Perhitungan
250
1. Ekstrak rimpang temulawak : 60 = 3000 = 3
5
0,5
2. Na. CMC : 100 60 = 0,3
0,1
3. Polisorbate-80 : 100 60 = 0,06
20
4. Sorbitol : 100 60 = 12
0,5
5. Na. Benzoat : 100 60 = 0,3
Anief, Moh. 2006. Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Ditjen POM : Jakarta.
Fatmawati, A., dkk. 2012. Teknologi Sediaan Farmasi. Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi : Makassar.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
EGC : Jakarta.
Hadi S. 2000. Hepatologi. Mandar Maju : Bandung.
Putz, R dan Pabst, R. 2003. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 edisi
21. EGC : Jakarta.
Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
Suena Ni Made. D. S. 2015. Evaluasi Fisik Sediaan Suspensi Dengan
Kombinasi Suspensi Agent PGA dan NA.CMC. Akademi Farmasi
Saraswati Denpasar : Bali.