Anda di halaman 1dari 31

BIMBINGAN

ENDOMETRIOSIS

Disusun Oleh:
Nama: Nazla Ananda
NIM: 2010-071-0074

Pembimbing:
dr. Semuel, Sp. OG

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Kebidanan dan Kandungan


Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I Raden Said Sukanto
Periode 3 November 2014 10 Januari 2015
BAB I

PENDAHULUAN

Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang


masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yangterdiri atas kelenjar-
kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium ataupun di luar uterus. Bila
jaringan endometrium terdpat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila
terdapat di luar uterus disebut endometriosis. Pada endometriosis jaringan
endometrium ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium. Daerah yang
paling sering terkena adalah organ pelvis da peritonium, walaupun organ lain seperti
paru-paru juga ikut terkena meskipun jarang. Penyakit ini berkembang dari lesi yang
kecil dan sedikit pada organ pelvis yang normal kemudian menjadi massa keras
infiltrat dan kista endometriosis ovarium (endometrioma. Perlangsungan
endometriosis sering disertai pembentukan fibrosis perlekatan luas menyebabkan
gangguan anatomi pelvis.

Endometriosis merupakan salah satu masalah kesehatan pada wanita yang


cukup penting. Endometriosis diperkirakan terjadi sebanyak 3-10% pada wanita
berusia reproduktif (usia 15-44 tahun), 25-35% pada wanita infertil, 1-2% pada
wanita yang menjalani steril, 10% pada operasi histerektomi, 16-31% pada
laparoskopi, dan 53% terjadi pada wanita dengan nyeri pelvis berat yang memerlukan
evaluasi pembedahan.

Endometriosis mengenai 40-60% wanita dengan dismenorhea dan 20-30%


wanita subfertil. Saudara perempuan dan anak perempuan dari wanita yang menderita
endometriosis berisiko 6-9 kali lebih besar untuk berkembang menjadi endometriosis.
Endometriosis menyebabkan nyeri panggul kronis berkisar 70%. Risiko untuk
menjadi tumor ovarium adalah 15-20%, angka kejadian infertilitas berkisar 30-40%,
dan risiko berubah menjadi ganas 0,7-1%. Endometriosis sekalipun sudah mendapat
pengobatan yang optimum memiliki angka kekambuhan sesudah pengobatan berkisar
30%.
BAB II

KONSEP TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang


masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri dan diluar miometrium.
Implantasi endometriosis bisa terdapat pada tempat-tempat berikut ini menurut
urutan yang tersering yaitu ovarium, peritoneum dan ligamentum sakrouterina, kavum
douglasi, dinding belakang uterus, tuba Falopii, vagina, plika vesikouterina,
ligamentum rotundum dan sigmoid, septum rektovaginal, kanalis inguinalis, apendiks,
umbilicus, serviks uteri, kandung kencing, vulva, perineum, parut laparotomi, kelenja
limfe, dan sangat jarang terjadi pada lengan, paha, pleura dan perikardium.

Menurut urutan yang tersering, endometrium ditemukan di tempat-tempat


berikut: (1) ovarium; (2) peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum
Douglasi; dinding belakang uterus, tuba Fallopii, plika retrouterina, ligamentum
rotundum dan sigmoid; (3) septum rektovaginal; (4) kanalis inguinalis; (5) apendiks;
(6) umbilikus; (7) serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum; (8) parut
laparotomi; (9) kelenjar limfe; dan (10) lengan,paha, pleura, dan perikardium tapi
sangat jarang. Kista endometriosis adalah suatu jenis kista yang berasal dari jaringan
endometrium. Ukuran kista bisa bervariasi antara 0.4-4 inchi. Jika kista mengalami
ruptur, isi dari kista akan mengisi ovarium dan rongga pelvis.

II. Epidemiologi
Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan antara semua operasi pelvik.
Endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda,
dan yang tidak mempunyai banyak anak. Selain itu endometriosis sering didapatkan
pada wanita dari golongan sosio-ekonomi yang kuat. Fungsi ovarium secara siklis
yang terus-menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam
terjadinya endometriosis.

III. Patofisiologi

Teori Penyebab Endometriosis

1. Menstruasi Mundur dan Transplantasi


Teori histogenesis dari endometriosis ini merupakan teori yang paling
penganutnya. Sampson (1920) mengatakan bahwa aliran menstruasi mundur
mengalir melalui saluran tuba (disebut "aliran mundur") dan tersimpan pada
rongga panggul dan tumbuh menjadi kista. Fragmen-fragmen refluks dari
endrometrium ini akan melekat dan menginvasi mesothelium peritoneal dan
menjadi suplai darah. Hal ini membuat implantasi jaringan endometrium dapat
bertahan hidup dan berkembang. Bertahun-tahun kemudian, para peneliti
menemukan bahwa 90% wanita memiliki aliran mundur.

2. Metaplasia Coelomik
Teori ini beranggapan bahwa peritoneum parietalis merupakan jaringan
pluripoten sehingga dapat mengalami transformasi metaplasia menjadi
jaringan yang secara histologi tidak dapat dibedakan dengan endometrium
normal. Ovarium dan duktus mullerian, progenitor endometrium, berasal dari
epitelium coelomik, sehingga hal ini bisa menjelaskan terjadinya
endometriosis ovarium. Teori ini banyak pro maupun kontra, terutama ketika
terjadinya endometriosis pada kondisi premenarche, pada laki-laki, dan pada
kelainan congenital dimana tidak memiliki uterus. Selain itu, secara umum,
metaplasia terjadi pada umur yang lebih tua, sedangkan endometriosis terjadi
pada usia yang lebih muda. Teori ini semakin banyak penentangnya.

3. Teori Induksi
Teori ini mengatakan bahwa beberapa hormon dan faktor biologis dapat
menstimulasi perubahan sel-sel yang belum terdiferensiasi menjadi jaringan
endometrium. Penelitian membuktikan potensi pada epitelium ovarium untuk
bertransformasi menjadi lesi endometriotik sebagai respons terhadap estrogen.

4. Predisposisi genetik
Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat keluarga
menderita endometriosis memiliki predisposisi yang lebih tinggi untuk terkena
endometriosis daripada wanita tanpa riwayat keluarga endometriosis. Semakin
diturunkan, maka penyakit ini cenderung menjadi lebih buruk pada generasi
berikutnya. Studi di seluruh dunia yang sedang berlangsung yaitu studi
Endogene International mengadakan penelitian berdasarkan sampel darah dari
wanita dengan endometriosis dengan harapan mengisolasi sebuah gen
endometriosis.

5. Pengaruh lingkungan
Beberapa studi telah menunjuk bahwa faktor lingkungan dapat menjadi
kontributor terhadap perkembangan endometriosis, khususnya senyawa-
senyawa yang bersifat racun memiliki efek pada hormon-hormon reproduksi
dan respon sistem kekebalan tubuh, walaupun teori ini tidak terbukti dan
masih kontroversial.

Teori-teori histogenesis tersebut sudah diajukan sebagai penyebab


endometriosis. Tetapi, tak satu pun dari teori-teori ini sepenuhnya terbukti, juga
tidak sepenuhnya menjelaskan semua mekanisme yang berhubungan dengan
perkembangan penyakit. Dengan demikian, penyebab endometriosis masih belum
diketahui.
Ketergantungan Hormonal
Estrogen merupakan penyebab berkembangnya endometriosis. Estrogen
sebagian besar dihasilkan oleh ovarium, tetapi ada beberapa jaringan perifer yang
menghasilkan estrogen dengan cara aromatisasi dari androgen adrenal dan ovarium.
Implantasi jaringan endometriotik mengekspresikan aromatase dan 17-
hikdroksisteroid dehidrogenase tipe 1. Enzim ini berperan dalam perubahan
androstenedion menjadi estron dan estron menjadi estradiol. Namun, jaringan
endometriotik ini kekurangan enzim 17-hikdroksisteroid dehidrogenase tipe 2 yang
berfungsi untuk menginaktivasi estrogen. Padahal, pada endometrium yang normal
tidak menghasilkan aromatase dan memiliki banyak 17-hikdroksisteroid
dehidrogenase tipe 2 dengan adanya progesteron, sehingga progesterone akan
melawan efek estrogen dalam fase luteal dari siklus menstruasi. Prostaglandin E2
(PGE2) menstimulasi aktivitas aromatase pada sel stromal endometrium.

Peran Sistem Imunitas


Jaringan menstruasi dan endometrium yang direfluks ke dalam kavum
peritoneum akan di makan oleh sel imun seperti makrofag, sel NK, dan limfosit. Oleh
karena itu, disfungsi dari sistem imun merupakan salah satu mekanisme terbentuknya
endometriosis dengan adanya menstruasi retrograde.
Makrofag berperan sebagai sel pemakan dalam beberapa jaringan dan sel
makrofag ini ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dalam kavum peritoneum
dari perempuan dengan endometriosis. Secara logika, peningkatan makrofag ini
berperan untuk mensupresi proliferasi endometrium. Namun, makrofag pada wanita
dengan endometriosis ini malah memiliki efek stimulasi pada jaringan endometrium.
Hal ini dikarenakan terjadinya kerusakan fungsi.
Imunitas selular juga dapat terganggu pada wanita dengan endometriosis. Total
jumlah limfosit pada wanita dengan endometriosis meningkat. Aktivitas sitotoksik
pada penderita endometriosis dalam melawan jaringan endometriotik ini terganggu.
Selain itu, imunitas humoral juga terganggu. Antibodi endometrial IgG sering
terdeteksi pada wanita dengan endometriosis. Penelitian ini membuat endometriosis
kemungkinan merupakan penyakit autoimun. Hal inilah yang membuat faktor
rendahnya kehamilan dan implantasi fertilisasi in vitro pada wanita dengan
endometriosis.
Sitokin juga berperan dalam endometriosis. Terdapat peningkatan interleukin-
1, IL-6 pada sel stromal endometrium. Jumlah IL-6 melebihi 2pg/mL dan TNF-
melebihi 15pg/mL bisa digunakan untuk membedakan pasien dengan dan tanpa
endometriosis. IL-8 juga meningkat dan berperan dalam stimulasi proliferasi sel
stromal endometrium. Selain itu, vascular endothelial growth factor (VEGF) yang
merupakan faktor pertumbuhan angiogenik, yang meningkat dengan adanya estradiol
pada sel stromal endometrium dan berhubungan positif dengan tingkat keparahan
penyakit.
IV. Patologi
Gambaran serta ukuran dari implantasi endometriosis cukup bervariasi. Area-
area endometriosis peritoneal tampak sebagai meninggi dengan flame-like patch, opak
putih, perubahan warna kuning-coklat, blebs yang translusen atau pulau-pulau
berwarna kemerahan atau biru kemerahan dengan bentuk yang tidak teratur.
Lesi kemerahan menunjukkan penyakit aktif proliferasi, sedangkan lesi yang
lebih gelap atau dengan area fibrosis menunjukkan lesi yang dorman. Pulau-pulau
endometrium ini dapat terjadi dimana saja pada peritoneum pelvik. Pada awalnya,
pulau ini hanya mengenai bagian permukaan saja, tetapi lama kelamaan dapat
menginfiltrasi lebih dalam (>5-6mm) ke retroperitoneum. Biasanya wanita dengan
endometriosis dan nyeri pelvik, memiliki jenis infiltrasi dalam ini. Kemudian, invasi
dan penetrasi akan mencapai sigmoid. Dengan progresivitas, akan terbentuk skar
sehingga terjadi konstriksi luminal. Terkenanya bagian mukosa dan perdarahan rectal
merupakan fenomena akhir.

Selain itu juga terdapat lesi berwarna biru/coklat yang disebut dengan area
powder burnt. Area Powder burnt ini merupakan lesi tidak aktif dan lama yang
tampak menyebar pada peritoneum di pelvik. Permukaan peritoneal bisa terdapat luka
parut atau mengerut, atau dapat menimbulkan nodul atau kista. Endometriosis jarang
muncul sebagai massa polyploid, yang dapat meniru penampilan tumor ganas. Jika
terdapat perlengketan fibrosa padat, hal ini menandakan penyakit berat.
Secara mikroskopik, jaringan endometriosis tampak sama dengan
endometrium pada kavum uteri. Dua komponen utama adalah kelenjar endometrial
dan stroma. Namun, berbeda dengan endometrium pada kavum uteri, implantasi
endometrium ini terdiri dari jaringan fibrous, darah, dan kista. Pemecahan dari sel
darah merah akibat inflamasi mengakibatkan pembentukan histiosit berpigmen.
Semakin tuanya lesi, maka semakin tinggi predisposisinya untuk berpigmentasi.
Lokasi yang sering terdapat endometriosis adalah ovarium dan biasanya
didapatkan pada kedua ovarium. Endometriosis pada ovarium bisa tampak sebagai
implantasi yang superficial bisa sebagai massa pada pelvis yang merupakan
endometrioma yang terdiri dari darah, cairan dan sisa menstruasi. Pada endometrioma
dinding fibrous tebal dan terdapat adhesi pada permukaannya. Hal ini lah yang
membedakan endometrioma dengan kista ovarium yang fisiologis. Endometrioma
biasanya berisi bahan yang tampak seperti sirup coklat tebal yang sangat menempel
sangat kuat.
Endometrioma sebagian besar permukaan dalamnya dilapisi oleh epitel
endometrium, stroma, dan kelenjar. Hal ini yang membedakan endometrioma dari
kista ovarium hemoragik. Kelainan epitel, seperti hiperplasia kompleks atau atypia,
bisa ada di lapisan kista.
Kadang-kadang epitel endometrium dan stroma yang merupakan lapisan
endometrioma hilang dari waktu ke waktu dan digantikan oleh jaringan granulasi dan
jaringan fibrosa padat, yang membuat diagnosis histologis sulit. Isi dari kista (semi
cair berwarna cokelat dibandingkan cairan berair), adanya adhesi dan makrofag berisi
hemosiderin (indikasi perdarahan kronis), dan histologis terbukti endometriosis di
tempat lain di panggul membantu mendukung diagnosis.
Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar (kadang-
kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau
endometrioma). Kista pada ovarium ini sangat rentan untuk terjadi perforasi walaupun
dengan ukuran yang kecil.

Kista Coklat pada Ovarium

Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan
dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan
dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke
dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan tanda akut
abdomen. Pada salah satu atau kedua ligamen sakrouterinum pada kavum Douglasi
dan pada permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa
bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan
sigmoid atau rectum seringkali ditemukan benjolan berwarna kebiru-biruan ini.
Penampakan kasar endometriosis dapat berupa suatu penebalan atau kista
yang berisi darah baru, merah atau biru hitam. Semakin lama lesi-lesi tersebut
berubah menjadi rata dan berwarna coklat tua. Struktur kista besar bisa tetap berisi
darah tua dan disebut kista cokelat. Lesi-lesi yang sudah lama bisa tampak pucat,
tersebar, dan mengerutkan jaringan setempat. Ukuran lesi bervariasi dari kecil kurang
dari 1 mm sampai dengan kista besar berukuran lebih dari 10 cm.
Lesi merah pada organ

Kista Coklat pada Ovarium


V. Manifestasi Klinik

Gejala yang sering ditimbulkan adalah:


Nyeri
Endometriosis merupakan penyebab sering dari nyeri pelvic, bisa siklik ataupun
kronik. Penyebab pastinya masih belum diketahui, tetapi faktor proinflamasi sitokin
dan prostaglandins yang dilepaskan dari implantasi endometrium ke cairan
peritoneum merupakan salah satu sumber. Nyeri yang dihasilkan dari endometriosis
berhubungan dengan kedalaman invasi dan tempat nyeri tersebut menjadi petunjuk
lokasi lesi.
Nyeri endometriosis juga dapat disebabkan akibat invasi implantasi
endometrium ke neuron sehingga mengalami sensitisasi sentral. Hal ini menyebabkan
hipereksitabilitas dari saraf.
1. Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama
haid (dismenorea). Sebab dismenorea tidak diketahui, tetapi mungkin ada
hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang
endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Biasanya, endometriosis
yang berhubungan dengan dysmenorrhea mengalami nyeri 24-48 jam sebelum
haid. Nyeri ini lebih parah derajatnya dibandingkan dengan nyeri
dismenorrhea primer. Selain itu, endometriosis yang menginvasi ke dalam
melebihi >5mm dibawah permukaan peritoneum berhubungan positif dengan
tingkat keparahan dismenorrhea.
2. Dispareunia, dapat disebabkan endometriosis di kavum Douglasi.
Biasa berhubungan dengan septum rektovaginal, penyakit ligamen uterosakral
dan jarang berhubungan dengan ovarium.
3. Nyeri waktu defekasi (dyschezia), khususnya pada waktu haid, karena
endometriosis pada dinding rektosigmoid.
4. Disuria, merupakan gejala yang paling jarang pada endometriosis.
Endometriosis bisa menjadi suspek apabila hasil kultur urine negatif.
5. Nyeri Non-siklik
Nyeri kronik ini merupakan gejala yang paling sering terdapat pada pasien
dengan endometriosis. Apabila mengenai septum rektovaginal atau
ligamentum uterosakral, nyeri dapat dirasakan pada rectum ataupun punggung
pinggang. Apabila nyeri beradiasi ke kaki dan menyebabkan siklik siatika,
maka menunjukkan endometriosis peritoneum posterior ataupun mengenai
secara langsung nervus sciatica.
6. Poli dan hipermenorea. Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada
endometriosis apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga
fungsi ovarium terganggu.
7. Infertilitas.
Pada derajat endometriosis ringan, dapat terjadi penurunan fekundabilitas
(kemungkinan untuk hamil dalam 1 siklus menstruasi). Hal ini dikarenakan
perubahan biokimia dan hormon-hormon pada endometriosis sehingga
mengganggu motilitas sprema dan peristaltis tuba. Pada endometriosis derajat
sedang dan berat, terjadi fibrosis dan perlekatan jaringan sekitarnya sehingga
dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas.

VI. Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kemudian dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada anamnesis ditanyakan
mengenai gejala-gejala seperti nyeri perut bawah, dispareunia, dismenorea, disuria,
dischezia. Pada pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian untuk menentukan
posisi, ukuran, dan mobilitas uterus: tetap, retroversi uterus mungkin mengindikasikan
penyakit adhesif yang parah.
Pemeriksaan rektovaginal mungkin perlu dan tepat untuk meraba ligamentum
uterosakrum dan septum rektovaginal, yang dapat merasakan nodul dengan nyeri
tekan yang mengindikasikan sugestif endometriosis dengan infiltrasi dalam. Massa
adneksa ditemukan pada pemeriksaan fisik mungkin menyarankan endometrioma
ovarium. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae
posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberikan
kepastian mengenai diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberikan tanda yang
khas. Namun apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat
menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung
kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan
pada waktu haid. Pembuatan foto rontgen dengan memasukkan barium dalam kolon
dapat memberikan gambaran filling defect pada rektosigmoid dengan batas-batas
yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi berguna untuk membedakan
endometriosis dari kelainan-kelainan di pelvis.
Ultrasonografi adalah alat lini pertama untuk membantu diagnosis dari
endometriosis. Dengan USG dapat di deteksi kista ovarium dan gangguan kelainan
panggul lainnya seperti fibroid uterina. Meskipun tingkat serum kanker antigen 125
(CA-125) dapat meningkat pada endometriosis sedang sampai berat, tetapi hal ini
tidak dapat menentukan diagnosis endometriosis karena sensitivitas yang rendah yaitu
sekitar 28% dengan spesifisitas 90%.
Ketika dicurigai adanya endometriosis yang sangat invasif misalnya ke usus
atau kandung kemih invasi, diperlukan tes tambahan seperti kolonoskopi, cystoscopy,
USG dubur, dan MRI.
Gold standar untuk mendiagnosis endometriosis adanaya laparoskopi dan
histologis. Keparahan penyakit paling tepat digambarkan oleh penampilan dan lokasi
lesi endometriosis dan keterlibatan organ. The American Society for Reproductive
Medicine telah mengembangkan klasifikasi untuk menentukan staging dari
endometriosis pada laparoskopi.
Laparoskopi diagnostik tidak diperlukan sebelum pengobatan pada semua
pasien dengan nyeri panggul. Meskipun laparoskopi dianggap prosedur invasif
minimal, namun laparoskopi memiliki risiko operasi, termasuk perforasi usus dan
kandung kemih dan cedera vaskular. Risiko keseluruhan komplikasi dengan
laparoskopi adalah sekitar 8.9% .

Laparoskopi
Laparaskopi pada organ reproduksi wanita
Temuan yang didapatkan dari laparoskopi bervariasi. Organ-organ pelvic dan
peritoneum pelvic merupakan lokasi tipikal untuk endometriosis. Terdapat berbagai
macam variasi warna lesi yaitu, merah (merah, merah-pink atau jernih),putih (putih
atau kuning coklat) dan hitam (hitam atau hitam kebiruan).
Lesi yang gelap merupakan akibat deposisi hemosiderin dari debris menstruasi
yang tertinggal. Lesi putih dan merah merupakan lesi yang paling umum ditemukan.
Selain warna yang bervariasi, bentuk dari lesi endometrium juga bervariasi seperti
bleb halus pada permukaan peritoneum, lesi stellate datar terbentuk dari jaringan skar
pada daerah sekitarnya.

VII. Klasifikasi Endometriosis


Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari
endometriosis dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi,
keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan
nilai-nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi
endometriosis.
Endometriosis <1cm 1-3 cm >1cm

Peritoneum Permukaan 1 2 4
Dalam 2 4 6
Ovarium Kanan Permukaan 1 2 4
Dalam 4 16 20
Kiri Permukaan 1 2 4
Dalam 4 16 20
Perlekatan kavum douglas Sebagian Komplit
4 40
Ovarium Perlekatan <1/3 1/3-2/3 >2/3
Kanan Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Kiri Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Tuba Kanan Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Kiri Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Nilai:
1-4 adalah minimal (stadium I)
5-15 adalah ringan (stadium II)
16-40 adalah sedang (stadium III)
lebih dari 40 adalah berat (stadium IV)

Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi AFS

Skema klasifikasi berdasarkan beratnya penyakit endometriosis menurut


American Fertility Society (2007a) dapat dilihat pada gambar dibawah.
Skema klasifikasi stage 1 sampai stage 3. (American Fertility
Society, 2007)

Skema klasifikasi stage 3 sampai stage 4. (American Fertility


Society, 2007)
Derajat Penyakit
a. Derajat I (Minimal)
Hanya terbatas pada lesi superficial dan kemungkinan terdapat sedikit
perlengketan.
b. Derajat II (Ringan)
Derajat I ditambah dengan beberapa lesi dalam yang terdapat pada cul-de-sac
c. Derajat III (Sedang)
Derajat I dan II ditambah dengan adanya endometrioma pada ovarium dan
lebih banyak terdapat perlengketan.
d. Derajat IV (Berat)
Derajat I,II, III dan ditambah dengan endometriomas berukuran besar serta
perlengketan yang ekstensif.

VIII. Diagnosis Banding


Nyeri pada pelvik memiliki banyak diagnosis banding, yang seperti ditunjukkan pada
tabel di bawah ini.
Sedangkan untuk endometriosis, seringkali sukar untuk dibedakan dengan
adenomiosis uteri. Selain itu endometriosis pada ovarii dapat di diagnosis banding
dengan kista ovarium. Begitu juga dengan endometriosis dari rektosigmoid perlu
dibedakan lagi dengan karsinoma.

IX. Penanganan
Penanganan endometriosis di bagi menjadi 2 jenis terapi yaitu terapi
medik dan terapi pembedahan.
a. Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan
kesuburannya atau yang gejala ringan. Jenis-jenis terapi medik:
Jenis Kandungan Fungsi Mekanisme Dosis Efek
samping
Progestin Progesteron Menciptakan Menurunkan Medroxyprogest Depresi,
kehamilan kadar FSH, LH, eron acetate: 10 peningkatan
palsu dan estrogen 30 mg/hari; berat badan
Depo-Provera
150 mg setiap 3
bulan
Danazol Androgen Menciptakan Mencegah 800 mg/hari Jerawat,
lemah menopause keluarnya FSH, selama 6 bulan berat badan
palsu LH, dan meningkat,
pertumbuhan perubahan
endometrium suara
GnRH Analog Menciptakan Menekan sekresi Leuprolide 3.75 Penurunan
agonis GnRH menopause hormon GnRH mg / bulan; densitas
palsu dan Nafareline 200 tulang, rasa
endometrium mg 2 kali sehari; kering
Goserelin 3.75 mulut,
mg / bulan gangguan
emosi

Jenis-jenis terapi medik endometriosis

b. Terapi pembedahan dapat dilaksanakan dengan laparoskopi untuk mengangkat


kista-kista, melepaskan adhesi, dan melenyapkan implantasi dengan sinar laser
atau elektrokauter. Tujuan pembedahan untuk mengembalikan kesuburan dan
menghilangkan gejala.
Terapi bedah konservatif dilakukan pada kasus infertilitas, penyakit berat
dengan perlekatan hebat, usia tua. Terapi bedah konservatif antara lain
meliputi pelepasan perlekatan, merusak jaringan endometriotik, dan
rekonstruksi anatomis sebaik mungkin.

Farmakoterapi
NSAIDS
Obat ini menghambat secara non selektif terhadap enzim COX-1 dan COX-2. Kedua
enzim ini berperan dalam sintesis prostaglandin yang berhubungan dengan nyeri dan
inflamasi pada endometriosis. Pada jaringan endometriotik, terdapat ekspresi COX-2
yang lebih banyak daripada jaringan endometrium yang normal. Sehingga, penurunan
prostaglandin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri pada endometriosis.
NSAIDS merupakan obat lini pertama pada wanita dengan endometriosis dengan
nyeri yang minimal.
Pada penggunaan jangka panjang obat penghambat selektif COX-2, terdapat resiko
kardiovaskular, sehingga penggunaannya harus dalam dosis yang terendah dengan
jangka waktu terpendek.

Kombinasi Kontrasepsi Oral


Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat pelepasan gonadotropin,
menurunkan aliran menstruasi, dan decidualizing implants. Selain itu, kombinasi
kontrasepsi oral juga menurunkan densitas saraf dan ekspresi pertumbuhan saraf pada
lesi endometriotik dan supresi ovulasi. Penggunaan kontrasepsi oral yang
menggabungkan estrogen dan progestin dianggap merupakan pengobatan lini pertama
untuk nyeri panggul yang berhubungan dengan endometriosis.

Progestins
Cara kerja progestins adalah antagonist dari efek estrogen pada endometrium, yang
menyebabkan inisial desidualisasi dan atrofi endometrium. Sama halnya dengan
kombinasi kontrasepsi oral, progestins juga menurunkan densitas saraf dan ekspresi
pertumbuhan saraf pada lesi endometriotik. Misalnya: depot medroxyprogesterone
acetate (DMPA) (Depo-Provera), levonorgestrel yang melepaskan IUD, dan
modulator reseptor progesterone (SPRMs).
Efek samping dari MPA dosis tinggi yaitu, jerawat, edema, peningkatan berat
badan, dan menstruasi yang tidak teratur. Dosis MPA yaitu 20-100 mg/ hari
secara oral, 150mg setiap 3 bulan secara intramuskular.
Depot progestin
DMPA, disuntikkan intramuskuler, secara luas digunakan di seluruh dunia
untuk pengendalian kelahiran dan untuk menghilangkan nyeri endometriosis.
Formulasi subkutan DMPA (104 mg) setara dengan leuprolide asetat dalam
menghilangkan rasa sakit pada endometriosis.
Efek samping dari penggunaan DMPA adalah lambatnya ovulasi sehingga
DMPA tidak dianjurkan untuk pasien yang ingin hamil dalam waktu dekat.
Selain itu juga terdapat efek samping dalam perdarahan. Dapat menurunkan
densitas tulang apabila digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan
bersifat reversible.
Indikasi: untuk endometriosis sisa setelah histerektomi dengan atau tanpa
bilateral salpingo-ooforektomi tanpa keinginan untuk hamil dan tidak adanya
perdarahan iregular pada uterus.
Penggunaan Depo-provera hingga 2 tahun harus dibatasi kecuali tidak ada
metode kontrasepsi lainnya yang berhasil. Selain itu, belum diketahui
penggunaan DMPA saat remaja dapat menurunkan densitas massa tulang dan
dapat meningkatkan resiko fraktur osteoporosis di masa depan.
Norethindrone asetat (NETA) merupakan progestin sintetik 19-
nortestosterone. Obat ini efektif dengan kombinasi terapi GnRH agonis dalam
terapi endometriosis. Dosis NETA 5mg/hari secara oral dengan pemanjangan
terapi GnRH agonis.
Norethindrone asetat dengan dosis 5-20 mg per hari, telah efektif pada
kebanyakan pasien untuk menghilangkan dismenore dan nyeri panggul kronis
Hasil pengobatan ini dalam terobosan pendarahan di sekitar setengah pasien
tetapi tampaknya memiliki efek yang positif pada metabolisme kalsium,
sehingga pemeliharaan yang relatif baik BMD. Mungkin ada efek negatif
terhadap kadar serum high-density lipoprotein kolesterol.
Dienogest merupakan sintetik progestin dengan dosis 2 mg/hari secara oral
dapat menurunkan nyeri akibat endometriosis. Dienogest adalah progestin
selektif 19-nortestosteron dan aktivitas progesterone. Dosis harian 2 mg telah
secara signifikan lebih baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri
panggul dan dismenore berkaitan dengan endometriosis dan sama efektifnya
dengan terapi agonis GnRH harian dalam mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan endometriosis.
Progestin intrauterine releasing system
Levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS), 19-nortestosteron
turunan progestin, telah terbukti memiliki efek anti-estrogenik kuat pada
endometrium.
Dosis: 20 g/hari
IUD membawa levonorgestrel langsung ke endometrium dan efektif selama 5
tahun. Percobaan dilakukan dengan membandingkan terapi LNG-IUS dengan
GnRH agonis menunjukkan perbaikan rasa nyeri yang sama tetapi terdapatnya
efek hipoestrogenisme pada GnRH agonis.
LNG-IUS dapat menjadi terapi yang efektif untuk endometriosis rektovaginal,
mengurangi dismenore dan non-menstruasi nyeri panggul serta secara
signifikan mengurangi dispareunia dan dyschezia.

Antagonist Progesteron dan Modulator Selektif Reseptor Progesteron


a. Antagonis progesteron akan berikatan dengan reseptor progesteron inaktif.
Contoh:
- Mifepristone (Mifeprex)
Dosis: 50mg/hari selama 6 bulan -> mengurangi nyeri pelvik dan pertambahan
endometriosis.
Efek samping: mengekspos endometrium terhadap estrogen
b. SPRM
Contoh:
-Asoprisnil -> atrofi endometrium dan amenorrhea.
Dosis: 5mg/hari selama 12 minggu
Androgens
- Danazol adalah sintetik androgen yang merupakan derivat isoxazole 17-- ethinyl
testosterone. Danazol merupakan androgen lemah yang dapat menghambat sekresi
gonadotropin dan menginduksi amenorrhea.
Mekanisme dominan: supresi siklus tengah LH surge sehingga menyebabkan
terbentuknya keadaan anovulatori kronik.
Danazol juga menempati reseptor dari SHBG untuk meningkatkan testosterone bebas
dalam serum dan mengikat reseptor androgen dan progesteron.
Efek samping: hipoestrogenik, hiperandrogenik yang memacu atrofi endometrium,
efek androgenik yaitu jerawat, muka kemerahan, hirsutisme, peningkatan profil lemak
serum, perendahan suara, peningkatan enzim hati dan perubahan mood, teratogen,dan
peningkatan risiko kanker ovarium pada pasien endometriosis.
Dosis: 600-800mg/hari secara oral. Danazol
- Gestrinone ( ethylnorgestrienone) merupakan antiprogestasional.
Cara kerja: induces a progesterone withdrawal effect , menurunkan jumlah reseptor
estrogen dan progesteron.
Dosis: 2.5-10mg/minggu secara oral dibagi dalam 1 atau 3x pemberian/minggu.

GnRH Agonis
GnRH agonist merupakan lini kedua bagi wanita yang tidak berhasil dengan
penggunaan CHCs atau progestin atau kambuhnya gejala setelah perbaikan awal,
Pelepasan GnRH menyebabkan pulsasi aktivitas sekresi dari gonadotrops pada
pituitari anterior dengan ovarian steroidogenesis dan ovulasi.
Jika pemberian nonpulsatil GnRH dilakukan secara terus-menerus, maka akan terjadi
penurunan sensitivitas pituitari dan penurunan ovarian steroidogenesis. Dengan
penurunan produksi estradiol pada ovarium yang membuat hipoestrogenik
menghilangkan stimulasi jaringan implantasi endometrium dan membuat kondisi
pseudomenopausal selama terapi.
Selain itu, GnRH agonis juga menurunkan COX-2 pada pasien endometriosis. GnRH
agonis menjadi tidak aktif apabila diberikan dalam pemberian oral, oleh karena itu
diberikan secara intramuskular, subkutan, intranasal.
Contoh:
- Leuprolide acetate (Lupron Depot)
Dosis: 3.75mg/bulan atau 11.25mg/3 bulan, secara intramuskular.
- Goserelin (Zoladex)
Dosis: 3.6mg/bulan atau 11.8mg/3 bulan, secara subkutan implan.
- triptorelin (trelstar)
Dosis: 3.75mg/bulan, secara intramuskular
- Nafarelin (Synarel)
Dosis; 200mg , 2 kali /hari secara nasal spray.
Efek samping penggunaan agonis GnRH sendirian yaitu gejala defisiensi estrogen,
seperti kemerahan pada muka, insomnia, vagina kering, hilangnya libido, dan
hilangnya densitas tulang apabila terapi >6bulan, dan sembuh sempurna dalam 12-
24bulan setelah berhenti terapi.

Terapi Add-Back
Terapi add-back ini merupakan terapi pemberian estrogen pada terapi GnRH agonis
untuk mengatasi penurunan densitas tulang. Dengan pemberian estrogen, terapi
GnRH agonis dapat diberikan melebih 6 bulan. Jumlah rata-rata estradiol yang
dibutuhkan adalah 30-40 pg/mL.
Pemberian terapi add-back ini bisa secara langsung bersamaan dengan pemberian
GnRH agonis ataupun setelah 3-6 bulan terapi GnRH agonis.
Contoh:
- Norethindrone acetate 5mg/hari secara oral, dengan atau tanpa konjugasi equine
estrogen (Premarin) 0.625mg/hari secara oral selama 12 bulan
- Transdermal estradiol 25g dengan MPA 5mg oral/hari

Penghambat Aromatase
Jaringan endometriosis secara lokal memproduksi aromatase yang berperan dalam
sintesis estrogen.
- Anastrozole (Arimidex)
Efek samping penghambat aromatase: hipoestrogenik
Terapi Pembedahan
Indikasi terapi bedah pada endometriosis, yaitu:
1 Pasien dengan nyeri panggul
a.yang tidak memberikan respon pada penurunan, atau memiliki kontraindikasi untuk
terapi medis
b. yang memiliki adneksa akut (torsi adneksa atau ovarium kista pecah)
c. yang memiliki penyakit invasif yang parah yang melibatkan usus, kandung kemih,
ureter, atau saraf panggul
2 Pasien yang memiliki atau diduga memiliki endometrioma ovarium terutama
berukuran >= 2 cm (karena terapi hormonal saja tidak dapat menghilangkan secara
sempurna kista endometrioma yang dapat menyebabkan nyeri akut dari pecahnya
kista dan perdarahan internal.

a. Pasien dengan ketidakpastian diagnosis (seperti nyeri panggul kronis)


b. Pasien dengan infertilitas dan faktor terkait (yaitu rasa sakit atau massa pelvis)
Secara umum, terapi bedah pada tatalaksana endometriosis dapat dibagi menjadi 3
bagian yaitu:
1. Konservatif: mempertahankan fungsi reproduksi
Tujuan: merusak jaringan implantasi endometrium dan melisis perlengketan
peritubal, periovarian yang merupakan sumber nyeri dan menjadi faktor
penyebab gangguan transportasi ovum.
Contoh:
- Drainage laparoskopi
- Kistektomi laparoskopi
- Ablasi laparoskopi
- LUNA
- Presakral neurektomi
2. Semi-konservatif: eliminasi fungsi reproduksi tetapi menyisakan fungsi
ovarium
Indikasi: pada wanita yang sudah cukup memiliki anak, tetapi usianya terlalu
muda untuk mengalami menopause akibat terapi bedah
Contoh:
- histerektomi
- sitoreduksi endometriosis pada pelvik
3. Radikal: uterus dan ovarium dibuang
Terapi pembedahan radikal ini termasuk histerektomi dengan bilateral
oophorectomy (TAH-BSO) dan sitoreduksi dari endometriosis yang kelihatan.
Adhesiolisis juga digunakan untuk mengembalikan mobilitas dan hubungan
dari organ-organ dalam pelvik menjadi fungsi yang normal kembali.
Laparoscopy adalah pilihan untuk manajemen bedah endometriosis, terlepas
dari keparahan, karena visualisasi yang lebih besar melalui pandangan diperbesar dan
pemulihan lebih cepat pasien dan kembali ke aktivitas normal bila dibandingkan
dengan laparotomy.
Endometriosis yang menginvasi dalam (deeply infiltrating endometriosis)
Berbeda dengan endometriosis peritoneal dangkal, infiltrasi endometriosis
mengacu pada lesi yang menembus 5 mm atau lebih. Biasanya lesi sering multifokal
dan lebih dalam daripada yang dilihat. Kedalaman lebih besar dari 10 mm
berhubungan dengan nyeri. Tindakan pembedahan dalam kasus ini memerlukan
konsultasi dengan dokter kandungan lainnya yang lebih berpengalaman.

Keuntungan dan kerugian terapi medik dan terapi pembedahan


Jenis terapi Keuntungan Kerugian
Terapi medik 1. Biaya lebih murah 1. Sering ditemukan efek
2. Terapi empiris (dapat di samping
modifikasi dengan mudah) 2. Tidak memperbaiki
fertilitas
3. Efektif untuk
menghilangkan rasa nyeri 3. Beberapa obat hanya
dapat digunakan untuk
waktu singkat
Terapi 1. Efektif untuk 1. Biaya mahal
pembedahan menghilangkan rasa nyeri 2. Resiko medis penetapan
2. Lebih efisien kurang baik dan penaksiran
dibandingkan terapi medis kurang baik sekitar 3%

3. Melalui biopsi dapat 3. Efisiensi diragukan, efek


ditegakkan diagnosa pasti menghilangkan rasa nyeri
temporer

Pembuangan Lesi dan adhesiolisis

Pembuangan lesi bisa secara eksisi maupun ablasi. Rekurensi sering terjadi setelah
eksisi dengan waktu median adalah 20 bulan setelah operasi. Adhesiolisis dianggap
efektif untuk menangani gejala nyeri pada wanita dengan endometriosis dengan
mempertahankan anatomi normal.

Reseksi Endometrioma

Endometrioma sering ditangani secara pembedahan. Menurut penelitian, sekitar 15%


akan terjadi rekurensi dalam 2 tahun setelah pembedahan. Apabila tindakan
pembedahan menjadi indikasi, untuk meminimalisir kehilangan fungsi dari ovarium,
maka reseksi endometrioma harus minimal. Selain itu, membatasi penggunaan
koagulasi elektrosurgikal dapat mencegah kerusakan ovarium.

Presakral Neurektomi

Pada beberapa wanita, transeksi dari nervus presakral dalam triangulus interiliaka
dapat menyembuhkan nyeri pelvic kronik. Presakral neurektomi ini membutuhkan
teknik yang susah sehingga jarang digunakan sebagai tatalaksana nyeri pada
endometriosis.

Histerektomi dengan Salpingo-oophorectomy Bilateral

Prosedur ini merupakan terapi yang paling efektif dan definitive untuk wanita dengan
endometriosis yang tidak membutuhkan fungsi reproduktifnya lagi. Wanita dengan
bilateral oophorectomy dengan histerektomi memiliki resiko 6 kali lebih besar untuk
terjadi nyeri pelvic kronik dan 8 kali membutuhkan operasi tambahan dibandingkan
dengan wanita dengan oophorectomy bilateral. Oleh karena itu, histerektomi sendiri
tidak mempunyai peran dalam terapi nyeri pelvic kronik pada endometriosis sekunder.

Di samping dari keefektifan dari histerektomi dengan salpingo-oophorectomy


bilateral, terdapat juga sisi negatifnya yaitu resiko operasi, rekurensi nyeri, efek
hipoestrogenisme seperti penurunan libido dan osteoporosis.

Postoperative Hormone Replacement

Penggantian hormon estrogen harus dipertimbangkan pada wanita dengan post


operasi histerektomi dengan oophorectomy untuk mencegah terjadinya efek
hipoestrogenisme seperti muka memerah, osteoporosis maupun penurunan libido.
Walaupun belum cukup bukti, tetapi beberapa penelitian menyarankan untuk
pemberian penggantian hormon ini dimulai setelah 6 minggu post operasi untuk
memberikan waktu bagi ablasi hormon dari sisa penyakit dan dihentikan hingga
waktu asli wanita menopause untuk mengurangi resiko penyakit kardiovaskular dan
resiko kanker payudara.

BAB 3
KESIMPULAN

Endometriosis adalah terdapatnya kelenjar seperti endometrium dan stroma


diluar uterus. Menurut urutan yang tersering endometriosis ditemukan adalah di
ovarium. Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan
angka kejadian yang meningkat. Terdapat beberapa teori yang dianggap menjadi
etiologi endometriosis yaitu Metaplasia coelom, Transplantasi sel endometrium yang
terlepas, Menstruasi retrograde, Defek Immunogenetik. Diagnose ditegakkan dari
anamneses, pemeriksaan fisik, dan laparoskopi biopsy. Penanganan endometriosis
terdiri dari terapi hormonal, pembedahan. Prinsip pertama pengobatan hormonal
adalah menciptakan lingkungan hormone rendah estrogen dan asiklik.

Referensi
1. Baggish Karram. Atlas of Pelvic Anatomy and Gynecologic Surgery , 3rd ed.
St.Louis: Elsevier; 2011

2. F. Gary Cunningham, MD, Kenneth J. Leveno, MD, Steven L. Bloom, MD, John
C. Hauth, MD, Dwight J. Rouse, MD, Catherine Y. Spong, MD. Williams Obstetrics,
23rd ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2010

3.Hoffman, Schorge, Schaffer, Halvorson, Bradshaw,Gunningham. Williams


Gynecology, 2nd ed. San Fransisco: McGraw-Hill; 2012

4. Lauren Rubal, Robert Israel. Endometriosis, 5th ed. United State: Wiley-blackwell;
2010

5. Nicholas Leyland, MD, Toronto ON Robert Casper, MD, Toronto ON Philippe


Laberge, MD, Quebec QC Sukhbir S. Singh, MD, Ottawa ON. Endometriosis:
Diagnosis and Management. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada 2010;
(244): 1-3

6. Prof.dr. Abdul Bari Saifuddin, SpOG(K),MPH, dr. Trijatmo


Rachimhadhi,SpOG(K). Prof. Dr. dr. Gulardi H.Wiknjosastro, SpOG(K). Ilmu
Kebidanan, 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.

Anda mungkin juga menyukai