NIM : 20141542 Kelas : 2C Tugas : Anti Korupsi Dosen : Leo Hendra, S.Pd
Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan/Penanganan Korupsi ?
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta terakhir dengan diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan UU No. 7 Tahun 2006. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Rancangan Revisi Undang-Undang KPK ?
Dalam kondisi pemberantasan korupsi yang melemah dan keraguan publik terhadap komitmen pemberantasan korupsi Pemerintahan SBY, sebuah Rancangan Undang- undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) versi Pemerintah justru sedang disiapkan. Dilihat dari isi RUU, dokumen yang sedang berada di tangan Presiden ini sangat mengkhawatirkan untuk pemberantasan korupsi. Bahkan tidak berlebihan RUU Tipikor ini akan menjadi ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi dan nyaris menghilangkan semangat extraordinary/luar biasa pemberantasan korupsi. Dengan alasan, mengadopsi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC/United Nation Against Corruption, 2003) RUU ini disusun oleh pemerintah. UNCAC telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 2006, yang artinya Indonesia berkewajiban melakukan harmonisasi hukum positif nasional dengan standar internasional. Hal ini ditujukan untuk memudahkan pemberantasan korupsi yang sudah bersifat lintas negara Bahkan aset hasil korupsi diyakini dilarikan ke luar negeri sehingga aman dari intaian aparat penegak hukum. Akan tetapi, sejumlah pasal di RUU Tipikor tersebut justru lebih lemah dan kompromistis dibanding Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi yang ada dan berlaku saat ini. Sehingga, wajar jika langkah Pemerintah ini dikatakan berseberangan dengan upaya agenda pemberantasan korupsi. Bahkan, maraknya upaya kriminalisasi dan minimnya realiasisi atas janji-janji pemberantasan korupsi membuat publik ragu terhadap niat pemerintah tersebut. 1. Menghilangnya Pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat koruptor. Sebagai catatan di KPK di tahun 2010, KPK menjerat 42 tersangka korupsi dengan pasal tentang kerugian keuangan negara ini. Tampaknya ada miss- interpretasi dari penyusun RUU yang mengatakan bahwa UNCAC tidak lagi menganut prinsip tentang kerugian keuangan negara, sehingga RUU Tipikor tidak perlu mengatur soal penyelamatan kerugian negara tersebut. Hal ini tentu akan merugikan pemberantasan korupsi di Indonesia yang sebagian besar masih menekankan pada perampokan aset negara atau keuangan negara. Tidak bisa dibayangkan jika penyelematan keuangan negara tidak lagi menjadi salah satu prioritas dalam pemberantasan korupsi ke depan. Dalam tataran lebih ekstrim, sebenarnya penghilangan pasal ini bisa membuat kasus-kasur besar seperti Bank Century sulit diproses dengan UU Pemberantasan Korupsi. 2. Hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal ini adalah salah satu ciri dari sifat extraordinary korupsi di Indonesia. ICW menemukan 7 (tujuh) pasal di RUU Tipikor yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal, seperti: penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan. 3. Penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya 1 tahun. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor. Bandingkan dengan UU 31/1999 jo 20/2001 yang memiliki ancaman hukuman minimal bervariasi tergantung jenis kejahatan, yaitu: 1 tahun, 2, 3 dan bahkan 4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara. 4. Melemahnya sanksi untuk MAFIA HUKUM, seperti suap untuk aparat penegak hukum. Di UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan di RUU Tipikor ancaman minimal hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau 9 tahun. 5. Ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi. 6. Korupsi dengan kerugian negara dibawah Rp. 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum (Pasal 52). Meskipun dalam klausul tersebut disebutkan pelepasan dari penuntutan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah, hal ini tetap saja dapat dinilai sebagai bentuk sikap kompromi terhadap koruptor. Apalagi korupsi tidak bisa dinilai hanya dari nilai uang, melainkan harus dilihat dari unsur jahat dan busuknya perbuatan. Di pedesaaan misalnya, korupsi Rp. 25 juta sangat merugikan masyarakat jika itu berbentuk korupsi pupuk, beras, jaminan kesehatan, dan korupsi kecil lainnya. Hal ini dikhawatirkan akan membuat korupsi kecil-kecilan yang terjadi di pelayanan publik akan semakin marak. 7. Kewenangan PENUNTUTAN KPK tidak disebutkan secara jelas dalam RUU (Pasal 32), padahal di Pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. Hal ini harus dicermati agar jangan sampai menjadi celah untuk membonsai kewenangan penuntutan KPK.
Istilah-Istilah Hukum Dalam P-A-K (Pendidikan Anti Korupsi) ?
Didalam Komisi Tindak Pidana Korupsi kita kenal dengan Deputi Penindakan dan Deputi Pencegahan, fungsi Deputi Pencegahan sebagai berikut : a. Perumusan kebijakan untuk sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan; b. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN; c. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan penanganan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara d. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi, sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye antikorupsi; e. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan pemberantasan korupsi; f. Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik; g. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi Bidang Pencegahan. h. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan; i. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.