Anda di halaman 1dari 6

1.

Latar belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan,
sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan
manusia akan sulit untuk berkembang dan bahkan akan sangat terbelakang. Dengan demikian
pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu
bersaing, disamping memiliki budi perkerti yang luhur dan moral baik.

Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini adalah peningkatan
mutu pendidikan, namun yang terjadi justru kemrosotan pendidikan dasar, menengah, maupun
tingkat pendidikan tinggi. Hal ini berlangsung akibat penyelenggaraan pendidikan yang lebih
menitikberatkan pada aspek kuantitas dan kurang dibarengi dengan aspek kualitasnya. Peningkatan
kualitas pendidikan ditentukan oleh peningkatan proses belajar mengajar. Dengan adanya
peningkatan proses belajar mengajar dapat meningkat pula kualitas lulusannya. Peningkatan kualitas
proses pembelajaran ini sangat tergantung pada pengelolaan sekolah dan pengajaran/pendekatan
yang diterapkan guru.

Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan denagn mudah,
praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Contohnya kita ingin berbincang
dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka
internet. Ingin transaksi (transfer uang), bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa tidak perlu susah-
susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Hidup yang baik dan sukses
adalah hidup yang sesuai dengan proses alam. Sampai level tertentu teknologi bisa dipakai untuk
mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan
zaman memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus
tetap terjaga. Padi 100 hari baru panen itu bagus. Tapi ingat, itu ada yang bisa dipercepat.
Mestinya hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama.

Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang
enggan bersusah payah. Tidak mau melewati proses. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Parahnya
virus itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instant. Jadilah,
banyak orang korupsi, memiliki gelar palsu, membeli skripsi, cepat kaya lewat penggandaan uang,
dan lain sebagainya. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk
mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.
2. Konsep Sekolah yang berkualitas
Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah,
bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini
diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik
yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya,
keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal.
Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah
pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim
sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.
Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai
organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana
warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang
sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung
jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan
kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut
Profesor Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis
menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan
kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa
menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke
dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di
masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen (Kompas, 29-4-
2002, h.4).
3. Syarat Sekolah yang bermutu
Sekolah yang berkualitas tidak lahir dengan sendirinya. Juga tidak lahir semata-mata karena fasilitas
yang dimiliki. Sekolah yang berkualitas harus dibentuk dan direncanakan dengan baik serta
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Komitmen warga sekolah dan stake holder, adalah bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari lahirnya sebuah sekolah yang berkualitas.
Glasser, dalam bukunya yang kedua, The Quality School Teacher memberi pesan kepada kita bahwa
sedikitnya ada enam syarat yang harus dipenuhi sebuah sekolah agar menjadi sekolah berkualitas.
Keenam syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Harus ada lingkungan kelas yang hangat dan mendukung.

Tanpa adanya jalinan yang akrab antara semua warga sekolah (guru, siswa, staf, dan karyawan lain)
tidak bias dihasilkan tugas-tugas sekolah yang berkualitas, dan lebih dari semua itu harus terbangun
saling percaya/kepercayaan.
b) Siswa harus selalu diminta untuk melakukan hal-hal yang berguna.

Tidak boleh ada siswa yang diminta untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti
mengingat atau menghafal (secara berlebihan). Apa pun yang mereka kerjakan, harus ada
manfaatnya secara praktis, estetis, intelektual, atau pun sosial.
c) Siswa selalu diminta untuk mengerjakannya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya.

Ini berarti siswa harus diberi kesempatan yang memadai untuk dapat mengerjakan tugas-tugasnya
agar pekerjaannya berkualitas. Mereka sebenarnya sudah biasa diberi tugas, tetapi bukan belajar,
dan hampir tidak pernah berusaha melakukan pekerjaan yang berkualitas.
d) Siswa diajari dan diberi kesempatan mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri, kemudian diminta
untuk meningkatkannya.

Mengevaluasi sendiri adalah hal yang paling sulit diterapkan, tetapi penting dilakukan untuk
mencapai perbaikan yang konstan dalam usaha siswa menghasilkan pekerjaan berkualitas.
e) Pekerjaan yang berkualitas selalu terasa menyenangkan.

Sungguh menyedihkan melihat sangat sedikit siswa yang merasa nyaman dalam pelajaran-pelajaran
mereka sekarang. Bukan hanya siswa yang merasa senang jika mereka berhasil mengerjakan sesuatu
dengan berkualitas, guru dan orangtua pun merasa senang memerhatikan proses itu.
f) Pekerjaan berkualitas tidak pernah bersifat merusak.

Tidak berkualitas namanya, jika meraih perasaan senang dengan cara memakai obat adiktif atau
merugikan orang lain, makhluk hidup, benda milik orang lain, atau lingkungan.

4. Ciri-ciri sekolah yang bermutu


Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu dan memang tidak
diberdayakan untuk mampumengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat,
mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, SMA
berbasis komputer, SD berbasis kelas kecil, SMP berbasis IST (information system technology),
SMK bersistem asrama, Aliyah dengan pengantar tiga bahasa, dan sebagainya.Konsep iman dan
taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga
maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional.
Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya membangun siswa
yang kreatif dan disiplin, dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam
rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan
sekolah.Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti
ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4)
perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu
kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan
(8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad
yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga
semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk
berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya
konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah pemimpin dari pemimpin bukan
pemimpin dari pengikut. Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup
kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision
making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami
budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan
terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan model
mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai
siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan
pembelajaran yang efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota
masyarakat lain demi pembelajaran siswa.
Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa
yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh
bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi
penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum
dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik
yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai
berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang
terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan
terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar.
Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning),
menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas,
semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi
sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi
tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai
anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan. Dengan melibatkan mereka pada kegiatan
ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan
pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret
hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua
sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi
dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun kepercayaan dan silaturahmi sehingga masing-
masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.
Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan
hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk
memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer
memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.
Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-
referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based,
criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan
dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini
bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua.
Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil
memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini
merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah
makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking)
kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak
menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap
nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan
individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada
sekolah.
Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan
keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah,
akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di
atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada
pembentukan manusia kapital di tanah air.
5. Restrukturisasi Sekolah bermutu.
Sekarang ini masih banyak sekolah yang mengaku seklah yang bermutu namun masih menerapkan
konsep sekolah yang tidak bermutu. Maka konsep sekolah bermutu yang tidak unggul ini harus
segera direstrukturisasi. Restrukrutisasi sekolah bermutu yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat
keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen
sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang
dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu
dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan
dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak
yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan
pelajaran seni.
Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam
lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ.
Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini
dikenal adanya 8 macam.
Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak
yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang
dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang
dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela
anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan
School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan
pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh
Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada
siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer
dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.
Keempat, sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu yang
melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki
budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa
berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan
memuaskan.
Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri
bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan
sekolah unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang
didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan Kabupaten/Kota
diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan sekolah unggulan semakin
serius.
Kelima, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004
yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui
pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam
mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk
mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh.
Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka
sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah
unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua
sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari
keterpurukannya.
6. Kerangka Kerja dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam
koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut :

Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai
dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan
harus ditujukan untuk :
Memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas
yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, Pemisahan antara biaya yang bersifat
akademis dari proses pengadaannya, dan Pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.

Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada


masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar
keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban ini bertujuan
untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah
ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan
informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan
pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah,
dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas
sekolah dalam proses peningkatan mutu.

Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah
bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses
penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap
siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua
indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara
intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana,
karakter dan memiliki
kematangan emosional. Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui
proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif,
affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang
secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang
bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses
peningkatan mutu pendidikan.

Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti
penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka
pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam
pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus
atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan
instrumen pendukung. Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam
hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan,
harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan
yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otoritas
pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan
pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di
dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional
dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk
setiap komunitas masyarakat

Anda mungkin juga menyukai