Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN DAN HEALT EDUCATION

RHINITIS ALERGIKA

SGD 7

Komang Noviantari (1302105006)


Luh Putu Utami Adnyani (1302105013)
Ni Komang Trisna Maha Natalya (1302105019)
Ida Ayu Inten Ratna Keswari (1302105029)
Putu Winda Mahayani (1302105051)
Ni Ketut Natalia Kristianingsih (1302105054)
Dewa Ayu Dwi Shintya Anggreni (1302105067)
I Ketut Dian Lanang Triana (1302105074)
Sagung Dyah Pridami Maheswari (1302105083)
Ni Made Eny Tisna Wati (1302105086)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2015

LEARNING TASK

1
LEUKEMIA, THALASEMIA, DERMATITIS ALERGIKA, RHINITIS ALERGIKA
TANGGAL 30 MARET 2015

KASUS 4 (KELOMPOK 7&8): RHINITIS ALERGIKA


Tugas:
1. Buatlah pathway rhinitis alergika
2. Apa saja yang perlu dikaji dan apa kemungkinan data yang didapatkan, meliputi:
a. Pengkajian pola Gordon
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
3. Diagnosa keperawatan apa yang mungkin muncul pada pasien dengan rhinitis alergika
4. Bagaimana rencana asuhan keperawatan pasien dengan rhinitis alergika?
5. Discharge planning apa yang perlu diberikan kepada pasien dengan rhinitis alergika?
6. Carilah 2 buah evidence based terkait dengan thalasemia rhinitis alergika!

PEMBAHASAN

1. Buatlah pathway rhinitis alergika


Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan alergen/antigen oleh
sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut
berperan sebagai sel penyaji ( antigen presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa
saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap

2
oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen
pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC.
Komplek peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama
Helper-T cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek
peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan
mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5
dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-B,
akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE.
Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap
eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka akan terjadi
degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis.Mediator yang
terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet
mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung,
bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat
pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala sumbatan hidung.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase
cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan
berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepas
molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of
anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul
tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat
(RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya
pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yangberakumulasi di jaringan sasaran
dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak
jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya
gejala pasca paparan adalah eosinofil (Sumarman, 2000).
Pathway terlampir

2. Apa saja yang perlu dikaji dan apa kemungkinan data yang didapatkan, meliputi:
a. Pengkajian pola Gordon
1) Pola Persepsi & Penanganan Kesehatan

3
Tanyakan pandangan klien & keluarga tentang penyakit dan pentingnya kesehatan
bagi klien dan keluarga? Apakah klien merokok / minum alkohol / pernah
mengkonsumsi obat obat tertentu ? apakah ada alergi dengan serbuk bunga,
hewan peliharaan atau dengan debu rumah?
2) Pola Nutrisi & Metabolisme
Kaji Pola nutrisi dan riwayat diet klien. Pola nutrisi dan metabolisme juga akan
mempengaruhi penyakit Rhinitis, dimana rongga hidung yang dipenuhi sekret
dapat menurunkan nafsu makan.
3) Pola Eliminasi
Kaji pola miksi dan defekasi klien? Apakah terdapat gejala inkontinensia kandung
kemih, gangguan fungsi usus ? apakah memakai alat bantu?
4) Pola Aktivitas Dan Latihan
Perubahan aktifitas biasanya/hobi sehubungan dengan Rhinitis alergi.
5) Pola Istirahat Dan Tidur
Kaji perubahan pola tidur, adanya factor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti,
hidung tersumbat dan gatal yang dirasakan dihidung dapat menyebabkan
terganggunya pola tidur dan istirahat pasien.
6) Pola Persepsi Kognitif
Kaji adanya gangguan aspirasi, perubahan tingkah laku, gangguan adanya gatal
dan nyeri, pada musim tertentu menyebabkan bersin, kesulitan memfokuskan
kerja dengan karena gatal-gatal pada bagian hidung. Kemungkinan juga
didapatkan penurunan kemampuan menghidu karena penumpukan secret yang ada
di rongga hidung.
7) Pola Persepsi Dan Konsep Diri
Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait dengan penyakitnya?
Bagaimana harapan klien terkait dengan penyakitnya? Pada rhinitis alergi
biasanya dimanifestasikan dengan terus keluarnya sekret sehingga menyebabkan
pasien terutama remaja merasa malu dengan lingkungan terkait kondisinya.
8) Pola Peran Hubungan
Tanyakan bagaimana fungsi peran klien dalam keluarganya sebelum & sesudah
terkena penyakit Rhinitis alergi, siapa saja sistem pendukung klien dan apakah ada
masalah dilingkunagn keluarga ataupun sosial, apakah klien mendapatkan
perlakuan khusus didalam keluarga terkait dengan penyakit yang dideritanya saat
ini.
4
9) Pola Seksualitas
Kaji adanya masalah hubungan dengan pasangan. Jika wanita : Kaji pola
menstruasi.
10) Pola Koping Toleransi Stres
Kaji perasaan khawatir dan takut, perasaan ketergantungan akibat adanya
kenyamann beraktivitas mempengaruhi harga diri klien , perlu pengkajian
efektifitas teknik koping ketersediaan suport sistem keluarga atau orang yang
berarti
11) Pola Keyakinan Nilai
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapai penyakitnya?

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dikhususkan pada daerah hidung dengan cara inspeksi,
dimana akan didapatkan mukosa hidung edema, berwarna pucat atau keabuan, basah,
dan disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Tentukan karakteristik dan
kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan
purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen
dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi. Tanda dan gejala yang khas dari rhinitis
alergika adalah allergic shiner, allergic solute, dan allergic crease. Allergic shiner
adalah warna kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena adanya stasis
dari vena yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus. Allergic solute
adalah sering mengusap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal,
sedangkan allergic crease adalah timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah, karena kebiasaan mengusap hidung. Perlu juga dilihat adanya
septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Pada pemeriksaan telinga dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi
membran timpani, air-fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran
timpani dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut
dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan
otitis media sekunder. Sedangkan pada pemeriksaan mata ditemukan injeksi dan
pembengkakkan konjungtiva palpebral yang disertai dengan produksi air mata. Pada
pemeriksaan leher perhatikan adanya limfadenopati. Pada pemeriksaan paru
perhatikan adanya tanda-tanda asma. Pada pemeriksaan kulit perhatikan kemungkinan
adanya dermatitis atopi (Irawati, 2002).
5
Gambar 1. Membran mukosa hidung Gambar 2. allergic shiner

6
Gambar 3. allergic solute Gambar 4. allergic crease

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan secret hidung atau sediaan apusan nasal menunjukkan adanya
peningkatan jumlah eosionofil.
Pemeriksaan darah tepi juga akan ditemukan peningkatan jumlah eosinofil.
Pemeriksaan total serum IgE menunjukkan hasilnya >400mg/dL, normalnya
adalah 200 mg/dL.
Pemeriksaan tes kulit merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan
karena pelaksanaanya mudah, murah, aman, dan cukup sensitive dan spesifik.
Dasar tes kulit adalah menguji ekstrak allergen yang terikat dengan sel mast di
jaringan kulit. Hasil tes kulit akan menunjukkan reaksi kemerahan dan urtikaria.
Pemeriksaan RAST (Radioallergosorbent test) merupakan suatu teknik untuk
menentukan kuantitas immunoglobulin E spesifik-alergen. Pada tindakan ini,
allergen secara kimiawi diikat dengan partikel pembawa dan hasil konjugasi
direaksikan dengan serum yang diduga mengandung IgE spesifik. Jika sudah
terikat, IgE akan bereaksi dan mengikat anti IgE manusia berlabel radioaktif
membentuk suatu kompleks radioaktif. Dengan menghitung radioaktif dapat
dihitung jumlah IgE spesifik yang ada. (Price, 2005)

Gambar 2. Proses Pemeriksaan RAST

3. Diagnosa keperawatan apa yang mungkin muncul pada pasien dengan rhinitis alergika
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan rhinitis alergika, yaitu:

7
1) Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas berhubungan dengan alergi jalan napas
ditandai dengan sputum dalam jumlah yang berlebih, beban frekuensi nafas, dan
rinore.
2) Gangguan Rasa Nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit ditandai
dengan ansietas, melaporkan perasaan tidak nyaman, melaporkan rasa gatal pada
hidung, bersin-bersin, melaporkan kurang senang dengan situasi tersebut, dan
gelisah.

4. Bagaimana rencana asuhan keperawatan pasien dengan rhinitis alergika?


rencana asuhan keperawatan terlampir

5. Discharge planning apa yang perlu diberikan kepada pasien dengan rhinitis alergika?
Terkadang pasien tidak mengetahui penyebab rhinitis alergi yang dialaminya sehingga
perlu adanya peningkatan pengetahuan tentang alergi dan strategi untuk mengendalikan
alergi. Instruksi bagi pasien mencakup pembahasan tentang strategi untuk meminimalkan
pajanan terhadap allergen, prosedur desensitisasi dan penggunaan obat yang benar.
Instruksi mengenai strategi lainnya untuk mengendalikan gejala alergik harus didasarkan
pada kebutuhan masing-masing pasien yang ditentukan oleh hasil tes, intensitas gejala
dan motivasi pasien serta keluarganya untuk menghadapi keadaan ini. Menurut Smeltzer
(1997) Beberapa petunjuk umum bagi mereka yang sensitif terhadap allergen dirumah
mencakup hal-hal berikut ini :
1) Mencoba mempertahankan lingkungan yang bebas debu, khususnya di tempat tidur :
a. Mengurangi isi kamar sampai sedikit mungkin ; tanggalkan gorden serta tirai
dan gantikan dengan skrin yang ditarik
b. Keluarkan karpet ; cuci lantai dan papan alas rumah, bersihkan debunya dan
gunakan alat vacuum setiap hari.
c. Gantikan perabotan yang sarat hiasan kayu sehingga mudah berdebu.
d. Hindari seprei yang berbulu, mainan yang berbulu, bantal atau guling dari
kapuk.
e. Tutupi kasur dengan tutup tempat tidur.
f. Hindari penggunaan kain yang menimbulkan gatal.
2) Di dalam rumah sebagai satu kesatuan, kurangi debu dengan mengikuti praktik
berikut ini:
a. Gunakan uap panas atau air panas untuk pemanasan ketimbang udara panas.

8
b. Gunakan alat penyaring udara atau pengatur suhu udara.
c. Kenakan masker jika ingin membersihkan rumah.
3) Untuk pasien yang sensitif terhadap tepung sari (pollen) atau kapang (mold), kurangi
kontak dengan cara :
a. Menentukan saat pollen mencapai jumlah tertinggi ; kurangi kontak pada saat-
saat ini.
b. Menghindari gudang jerami, gulma, dedaunan kering dan rumput yang baru
dipotong.
c. Kenakan masker pada saat kemungkinan kontak meningkat.
d. Mencari tempat yang ber-AC ketika musim alergi mencapai puncaknya.
e. Meminum antihistamin sesuai dengan resep dokter.
f. Menghindari obat semprot dan parfum ; menggunakan kosmetik yang
hipoalergen.
4) Menentukan makanan khusus yang dapat menimbulkan masalah. Hindari makanan
yang tampaknya menyebabkan masalah selama suatu periode waktu. Dengan cara
mencoba, kita dapat menyusun daftar makanan yang perlu dihindari. Contohnya
adalah ikan, biji-bijian, telur, dan cokelat.

6. Carilah 2 buah evidence based terkait dengan rhinitis alergika!


Pada jurnal pertama yang berjudul Randomized Double-Blind Study of Prophylactic
Treatment with an Antihistamine for Seasonal Allergic Rhinitis dijelaskan kelompok
yang menerima intervensi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1. kelompok A (menerima intervensi dengan placebo selama 8 hari)
2. kelompok B (menerima intervensi dengan placebo selama 7 hari dan hari berikutnya
mendapat intervensi levocitirizine selama 1 hari)
3. kelompok C (menerima intervensi dengan levocitirizine selama 8 hari)
Hasil yang didapatkan adalah intervensi levocetirizine yang diberikan secara dini
dengan segera setelah terjadinya gejala dapat meringankan gejala dengan keefektifan
yang sama dengan intervensi yang diberikan sebelum terpapar serbuk sari (intervensi
pencegahan). Treatment ini sesuai dengan intervensi yang telah dicantumkan dalam NIC
yang kita rencanakan yaitu pada label Medication Administration: Oral and Inhalation
dengan intervensi kolaborasi pemberian antihistamin.

9
Pada jurnal kedua yang berjudul Evaluation of Olopatadine Hydrochloride Nasal
Spray 0,6% Used in Combination with an Intranasal Corticosteroid in Seasonal Allergic
Rhinitis dijelaskan treatment yang digunakan dalam menangani Rinitis Alergi adalah
kombinasi dua antihistamin dengan kortikosteroid yang membandingan keamanan dan
kemanjuran antara 2 kombinasi tersebut.
Kombinasi pertama adalah antara kortikosteroid (fluticasone) dengan antihistamin
(olopatadine hydrochloride/OLO) dan yang kedua adalah kortikosteroid (fluticasone)
dengan antihisamin (azelatine/AZE) yang diberikan dalam bentuk nasal spray.
Menurut penelitian dalam jurnal hasil yang didapatkan adalah kombinasi antara OLO
dan kortikosteroid lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi antara AZE dan
kortikosteroid.
Kombinasi yang diberikan melalui nasal spray dengan kombinasi antara
kortikosteroid dan antihistamin menunjukan penurunan gejala rinitis alergi.
Treatment ini sesuai dengan intervensi yang telah dicantumkan dalam NIC yang kita
rencanakan yaitu pada label Medication Administration: Inhalation dengan intervensi
kolaborasi pemberian antihistamin kortikosteroid.

Daftar Pustaka

Doctherman, J.M. and Gloria, N.B. Nursing Interventtions Classification (NIC), Fifth
Edition.USA : Mosby Elsevier

10
Herdman, T.H. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi (NANDA) 2012-
2014. Jakarta: EGC
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium Current Opinion In Allergy andClinical Immunology,
Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta : 55-65
Moorhead, Sue, et.al. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition. St. Louis
Missouri : Mosby Elsevier
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Vol. 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
Smeltzer Suzanne C,bare Brenda G.1997. buku ajar keperawatan medical bedah.edisi 8.vol
3.EGC:Jakarta
Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis Alergis,
Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17. 2000.

11

Anda mungkin juga menyukai