Anda di halaman 1dari 41

PASSIVE COMPACT MOLTEN SALT REACTOR (PCMSR) TINJAUAN UMUM

I. PENDAHULUAN

A. Prospek Teknologi Energi Nuklir

Hingga pada masa sekarang, sumber daya energi bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara dan
gas alam) masih mendominasi pemenuhan kebutuhan energi dunia. Penggunaan bahan bakar fosil
dewasa ini diketahui menimbulkan dampak lingkungan yang serius yaitu pemanasan global atmosfir
dunia (global warming) sebagai konsekuensi dari emisi CO2. Sementara itu, cadangan terbukti bahan
bakar fosil diketahui semakin menipis. Pada sisi lain permintaan energi dunia semakin meningkat
sebagai akibat dari pertambahan penduduk dunia serta tuntutan untuk kehidupan yang lebih baik.
Oleh karena itu, perlu dicari sumber energi alternatif yang mampu menggantikan peran sumber
daya bahan bakar fosil. Sumber daya energi nuklir dan sumber daya energi terbarukan merupakan
sumber daya energi alternatif yang mampu menggantikan peran sumber daya bahan bakar fosil. Secara
aspek teknologi dan aspek ekonomi, sumber daya energi nuklir lebih siap diaplikasikan untuk
menggantikan sumber daya energi fosil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi manusia secara
masif, kontinyu dan murah.
Teknologi energi nuklir telah berkembang dewasa ini hingga mampu mensuplai sekitar 6 % dari
kebutuhan energi final dunia. Sebagian besar aplikasi teknologi energi nuklir adalah untuk pembangitan
listrik. Sedangkan teknologi reaktor nuklir yang digunakan dewasa ini sebagian besar adalah teknologi
LWR (Light Water Reactor), yang didominasi oleh PWR (Pressurized Water Reactor), dan BWR
(Boiling Water Reactor). Teknologi berikutnya dalam urutan kapasitas total pembangkitan daya adalah
PHWR (Pressurized Heavy Water Reactor) yang utamanya adalah reaktor nuklir jenis CANDU
(Canadian Deuterium Uranium). Inggris hingga hari ini masih menggunakan reaktor nuklir jenis AGR
(Advanced Gas Cooled Reactor). Negara-negara eks Uni Sovyet menggunakan reaktor nuklir sebagian
besar dari jenis LWR. Disamping itu, juga digunakan reaktor nuklir jenis LWGR (Light Water Graphite
Reactor). Jenis-jenis lain yang digunakan adalah HTR (High Temperature Reactor) dan LMFBR
(Liquid Metal Fast Breeder Reactor).

B. Berbagai problema pada Teknologi Energi Nuklir Sekarang dan Solusinya untuk
Pengembangan Teknologi Energi Nuklir Masa Depan

1. Problema ketersediaan bahan bakar nuklir dan penanganan limbah nuklir


Kecuali LMFBR, semua jenis reaktor yang digunakan dewasa ini bukan merupakan reaktor
pembiak, yang artinya tidak mampu memanfaatkan bakan bakar nuklir fertil yang terdapat di alam (U238
dan Th232) dengan terlebih dahulu mengkonversi menjadi bahan bakar nuklir fisil (Pu 239 dan U233).
Hanya jenis LMFBR yang mampu mengkonversi U238 menjadi Pu239.
Karena tidak mampu memanfaatkan bahan bakar fertil secara optimal, semua jenis reaktor
nuklir yang ada sekarang selain LMFBR pada dasarnya menggunakan bahan bakar nuklir fisil yang ada
di alam yaitu U235. Uranium merupakan aktinida yang termasuk dalam kelompok unsur tanah jarang
(rare earth) sehingga cadangan uranium alam yang dapat ditambang secara ekonomis jumlahnya
terbatas. Sementara itu, uranium alam hanya mengandung 0,71 % U 235. Dengan demikian ketersediaan
bahan bakar nuklir untuk teknologi reaktor nuklir sekarang adalah terbatas. Keterbatasan adalah dalam
arti upaya untuk mengembangkan ketersediaan dengan melakukan berbagai eksplorasi sulit untuk
mengimbangi permintaan kenaikan kebutuhan energi.
Sementara itu, U238 yang merupakan 99,29 % dari uranium belum dapat dimanfaatkan secara
optimal. Thorium tersedia di alam lebih melimpah daripada uranium. Cadangan thorium yang dapat
ditambang secara ekonomis diperkirakan dalam jumlah 3 hingga 4 kali cadangan uranium yang dapat
ditambang. Semua thorium alam adalah Th233 yang bersifat fertil. Dengan munggunakan U238 dan
thorium, maka masalah keterbatasan sumber daya energi nuklir menjadi teratasi karena total cadangan
uranium dan thorium terbukti di dunia sekarang dapat digunakan untuk menggantikan seluruh
pemakaian sumber daya energi fosil sekarang ini hingga ribuan tahun ke depan.
Problema berikutnya pada aplikasi teknologi nuklir sekarang adalah penanganan limbah nuklir.
Teknologi reaktor nuklir sekarang rata-rata membutuhkan sekitar 170 ton U alam per GWey. Pada
umumnya diperlukan proses pengkayaan uranium. Pada proses ini, reaktor nuklir membutuhnan
sebanyak 20 hingga 33 ton per GWey bahan bakar berupa uranum diperkaya (EU / enriched uranium).
Sisanya berupa DU (depleted uranium) yang berjumlah sekitar 140 hingga 150 ton per GWey tidak
dapat dimanfaatkan.
Dari 20 hingga 33 ton per GWey bahan bakar, reaktor nuklir teknologi sekarang hanya mampu
menggunakan sekitar 3 hingga 5 % saja, yaitu U235. Setelah digunakan dalam reaktor, bahan bakar
menjadi bahan bakar bekas dengan jumlah yang sama dengan bahan bakar baru yaitu 20 hingga 30 ton
per GWey. Bahan bakar nuklir yang terpakai berubah menjadi produk fisi, yaitu sekitar 1 ton per
GWey. Sisanya sebesar 19 hingga 32 ton per GWey merupakan aktinida yang terdiri dari sebagian besar
aktinida fertil, sisa aktinida fisil serta aktinida yang terbentuk dari transmutasi aktinida fertil maupun
fisil yang disebut sebagai aktinida minor.
Komponen produk fisi dari bahan bakar bekas (1 ton per GWey) memiliki aktivitas radioaktif
spesifik tinggi tetapi memiliki umur relatif pendek. Diperlukan waktu puluhan tahun untuk meluruh
hingga level aktivitas spesifiknya setara dengan level aktivitas spesifik bijih uranium alam. Sementara
itu komponen aktinida dari bahan bakar bekas (19 hingga 32 ton per GWey) memiliki aktivitad spesifik
lebih rendah dari komponen produk fisi tetapi memiliki umur sangat panjang. Diperlukan waktu hingga
puluhan ribu tahun untuk meluruh supaya level akitivitas spesifiknya setara dengan level aktivitas
spesfik bijih uranium alam. Teknologi untuk menangani material radioaktif, yaitu mengungkung
dengan selamat , selama waktu puluhan tahun telah berhasil dikembangkan. Akan tetapi kemampuan
teknologi tersebut untuk mengungkung material radioaktif secara selamat hingga puluhan ribu tahun
hingga sekarang masih dipertanyakan. Oleh sebab itu, problema utama penanganan bahan bakar bekas
justru terdapat pada penanganan komponen aktinida.
Sebagian besar komponen aktinida dari bahan bakar bekas yang dihasilkan reaktor nuklir
teknologi sekarang adalah material fertil yang sebenarnya dapat digunakan pada reaktor pembiak untuk
dikonversi menjadi material fisil dan digunakan lagi. Pada reaktor pembiak pula sebagian komponen
aktinida minor pada bahan bakar bekas yang dihasilkan reaktor nuklir teknologi sekarang juga dapat
ditransmutasikan menjadi material fisil yang selanjutnya dapat dimanfaatkan. Dengan
dikembangkannya reaktor nuklir jenis pembiak, maka kebutuhan bahan bakar nuklir menjadi hanya 1
ton per GWey. Dengan demikian angka pemanfaatan sumber daya bahan bakar nuklir alam dapat
ditingkatkan hingga 150 x dibandingkan dengan pemanfaatan pada teknologi nuklir sekarang.
Untuk dapat lebih mendayagunakan aktinida minor, maka perlu dikembangkan reaktor nuklir
yang dirancang secara khusus untuk mentransmutasikan aktinida minor menjadi material fisil. Reaktor
jenis ini disebut sebagai reaktor transmuter. Hanya saja reaktor jenis ini dibutuhkan dalam jumlah yang
lebih terbatas dibandingkan dengan reaktor pembiak. Dengan dikembangkannya reaktor nuklir
pembiak dan reaktor nuklir transmuter, maka limbah bahan bakar nuklir sebagian besar berupa
komponen produk fisi yang berumur paruh relatih pendek dan dapat ditangani dengan teknologi
penanganan material radioaktif yang telah dikembangkan dengan baik
Sebagian nuklida produk fisi ternyata memiliki manfaat, misalnya Mo 99 dan Cs137. Dengan
demikian, pada masa depan, apa yang sekarang disebut sebagai limbah nuklir akan menjadi sumber
daya yang dapat dimanfaatkan.

2. Peningkatan aspek keselamatan


Persyaratan-persyaratan keselamatan yang telah dikembangkan pada teknologi reaktor nuklir
sekarang perlu untuk semakin ditingkatkan pada teknologi nuklir di masa depan. Persyaratan
keselamatan tersebut meliputi konsep keselamatan melekat (inherent safety), konsep sistem shutdown
pasif. konsep pendinginan pasif pasca shutdown dan konsep hambatan ganda (multiple barrier).
Konsep keselamatan melekat yang paling utama adalah sifat reaktivitas umpan balik daya yang
negatif (yaitu koefisien reaktivitas suhu yang negatif dan koefisien reaktivitas pemuaian (void) yang
juga negatif). Konsep sistem shutdown pasif berupa desain reaktor nuklir dengan rancangan yang tepat
sehingga semua gangguan yang mengarahkan kepada kecelakaan reaktor nuklir akan mematikan
(menshutdown) reaktor nuklir sebelum kecelakaan terjadi. Dengan dimatikannya reaktor, maka potensi
terjadinya kecelakaan dapat dinetralkan. Selanjutnya setelah reaktor dimatikan (shutdown),
pengambilan kalor peluruhan harus dapat dilakukan secara pasif yaitu dengan cara konveksi alam
(natural circulation). Hal ini disebut sebagai konsep pendinginan pasif pasca shutdown. Sementara itu
konsep hambatan ganda (multiple barrier) diaplikasikan untuk mencegah terlepasnya material
radioaktif dari kungkungannya.

3. Kendala biaya modal dan solusinya


Teknologi reaktor nuklir pembangkit listrik (PLTN) yang telah berkembang sekarang mampu
membangkitkan listrik dengan daya besar secara relatif murah. Permasalahan yang dialami dalam
pembangunan PLTN sekarang adalah tingginya komponen biaya modal (capital cost) sekalipun
komponen biaya lain cukup rendah. Di samping itu, waktu untuk kontruksi PLTN sekarang cukup
panjang yaitu 4 sampai 6 tahun untuk kondisi normal di negara maju. Lamanya waktu konstruksi dan
tingginya biaya modal berkonsekuensi pada resiko investasi yang tinggi. Hal ini menjadi kendala
pembangunan PLTN sekarang.
Pada reaktor nuklir masa depan, dapam aspek ekonomi pengembangan diarahkan kepada
reduksi biaya pembangkitan total dan secara lebih khusus juga reduksi biaya modal (capital cost) dan
mempersingkat waktu konstruksi.
Reduksi biaya pembangkitan total dapat dilakukan dengan :
reduksi biaya bahan bakar dan penanganan limbah
peningkatan efisiensi termal
reduksi biaya modal

a. Reduksi biaya bahan bakar dan penangan limbah


Kebutuhan bahan bakar untuk reaktor pembiak jauh lebih kecil daripada kebutuhan bahan bakar
reaktor nuklir sekarang dengan perbandingan 1 : 150. Disamping limbah jumlah limbah dari reaktor
nuklir pembiak jauh lebih kecil daripada jumlah limbah reaktor nuklir sekarang dengan perbandingan 1
: 20. Limbah reaktor pembiak didominasi oleh produk fisi yang berumur paruh lebih pendek dan lebih
mudah ditangani. Karena teknologi reaktor nuklir masa depan diarahkan kepada reaktor pembiak atau
reaktor transmuter, maka Hal ini tentu saja akan berkonsekuensi pada reduksi biaya bahan bakar dan
penganganan limbah secara signifikan.
Beberapa desain reaktor nuklir masa depan (MSR) menggunakan bahan bakar cair serta dapat
melakukan reprosesing bahan bakar secara on line. Hal ini akan mereduksi kebutuhan fabrikasi bahan
bakar di luar lokasi reaktor serta aktivitas terkait lainnya seperti transportasi bahan bakar. Dengan
demikian reduksi biaya bahan bakar lebih lanjut dapat dilakukan.

b. Peningkatan efisiensi termal


Kebanyakan LWR dan HWR sekarang memiliki efisiensi termal berkisar antara 30 % hingga 37
%. Peningkatan efisiensi termal lebih lanjut sulit dilakukan. Hal ini karena reaktor-reaktor tersebut
menggunakan pendingin air. Untuk mencapai suhu tinggi supaya efisiensi termal lebih tinggi, reaktor
harus beroperasi pada tekanan lebih tinggi. Desain reaktor nuklir masa depan menggunakan material
yang tahan suhu tinggi (misalnya grafit) serta pendingin yang mampu dioperasikan pada suhu lebih
tinggi (molten salt, gas helium, logam cair). Dengan demikian efisiensi lebih tinggi dapat dicapai. MSR
dan HTR mampu beroperasi hingga suhu 1000 derajat C dan mencapai efisiensi termal hingga 50 %.
Peningkatan efisiensi termal akan mereduksi lebih lanjut kebutuhan bahan bakar dan mengurangi kalor
buangan. Pengurangan kalor buangan dapat mereduksi ukuran komponen yang berkaitan dengan
pembuangan kalor.

c. Reduksi biaya modal


Secara lebih khusus, reduksi biaya modal sangat berkaitan dengan reduksi waktu konstruksi.
Hal ini dapat dilakukan dengan :
membuat desain lebih sederhana
membuat desain lebih bersifat integral
membuat desain lebih kompak
meningkatkan modularitas

d. Penyederhanaan desain
Desain reaktor nuklir masa depan harus dibuat lebih sederhana tetapi mampu meningkatkan
keselamatan dan kehandalan. Penyederhanaan desain berarti mengurangi jumlah komponen. Desain
reaktor yang menggunakan sistem keselamatan pasif (yaitu sistem shutdown pasif dan sistem
pendinginan pasca shutdown yang pasif) pada dasarnya memberikan dua keuntungan sekaligus, yaitu
penyederhanaan desain dan peningkatan keselamatan. Penyederhanaan desain terjadi karena dengan
penggunaan sistem keselamatan pasif, berbagai komponen yang berkaitan dengan sistem keselamatan
aktif dapat ditiadakan. Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah sistem penyedia daya untuk
sistem keselamatan aktif (sistem penyedia daya darurat) misalnya mesin diesel genetaror listrik darurat,
perlengkapan kelistrikan darurat (transformator, switchgear, bushing, baterai, kabel), sistem fluida
untuk pendinginan darurat dan pasca shutdown (pipa-pipa, pompa, alat penukar kalor, katup-katup)
serta sistem kendali yang berkaitan.
Selama reaktor beroperasi normal pada sebagian besar usia pakainya, komponen-komponen
keselamatan aktif tersebut pada dasarnya tidak bekerja tetapi harus selalu dalam kondisi siap berfungsi
(stand by). Karena menyangkut masalah keselamatan nuklir, maka komponen-komponen ini harus
didesain denga kualitas tinggi sehingga peluang kegagalannya kecil. Adanya komponen berkualitas
tinggi, yang pada sebagian besar masa operasi reaktor tidak bekerja tetapi harus selalu siap berfungsi,
tentu saja akan menambah biaya modal.
Pada desain reaktor yang menggunakan sistem keselamatan pasif, komponen-komponen
keselamatan yang berkaitan dengan sistem penyedia daya darurat sepenuhnya dapat ditiadakan. Hal ini
karena aliran fluida untuk pendinginan pasca shutdown atau pendinginan darurat sepenuhnya dilakukan
dengan cara sirkulasi alam. Sementara itu komponen-komponen yang berkaitan dengan sistem fluida
untuk pendinginan darurat dan pasca shutdown yang berupa pipa-pipa, katup-katup dan alat penukar
kalor masin diperlukan, sedangkan pompa tidak lagi diperlukan. Dengan demikian jumlah komponen-
komponen keselamatan dapat dikurangi secara signifikan. Dengan pengurangan ini, maka biaya modal
(capital cost) juga dapat ditekan, Sekalipun demikian, berbagai perhitungan dan optimasi diperlukan
untuk menghasilkan reduksi biaya modal secara signifikan.
Keuntungan kedua dari pengunaan sistem keselamatan pasif adalah peningkatan keselamatan
berupa pengurangan peluang kegagalan. Pada sistem keselamatan aktif, banyak terdapat komponen
komponen aktif seperti mesin diesel generator, sistem kelistrikan, pompa-pompa dan katup-katup.
Masing-masing komponen tersebut sekalipun sudah dirancang untuk handal masih saja punya peluang
untuk gagal. Pada sistem keselamatan pasif, komponen-komponen aktif tidak lagi diperlukan. Katup-
katup hanya diperlukan untuk mengkoneksikan sistem keselamatan pasif ke sistem fluida transfer kalor
reaktor. Katup-katup ini dapat dirancang untuk bekerja secara pasif atau bersifat gagal selamat (fail
safe).
Pada sistem keselamatan aktif, kegagalan aliran fluida sistem keselamatan disebabkan dua hal
yaitu kegagalan komponen aktif pendorong aliran (pompa dan sistem penyedia daya darurat) serta
kegagalan saluran (pemipaan) yang berupa sumbatan dan pecahnya saluran. Sementara itu, pada sistem
keselamatan pasif, kegagalan aliran fluida sistem keselamatan hanya terjadi karena sumbatan aliran.
Dari berbagai pengalaman operasi sistem aliran fluida, peluang kegagalan aliran akibat kegagalan
sistem pendorong aliran lebih tinggi daripada peluang kegagalan aliran akibat kegagalan saluran.
Peluang pecahnya saluran (pipa) dapat dikurang secara signifikan dengan penggunaan konsep desain
integral yang akan dijelaskan berikutnya. Dengan berkurangnya penyebab kegagalan, maka peluang
kegagalan sisten keselamatan pasif jauh lebih kecil daripada peluang kegagalan sistem keselamatan
aktif. Dengan demikian aspek keselamatan reaktor dapat ditingkatkan dengan penggunaan sistem
keselamatan pasif.
Penyederhanaan desain selanjutnya adalah mengurangi komponen. Hal ini dilakukan dengan
menghilangkan komponen yang fungsinya dapat digabungkan dengan komponen lainnya. Reduksi
komponen ini dilakukan tetap dengan memperimbangan prinsip-prinsip keselamatan nuklir, terutama
kehandalan, redundansi dan konsep hambatan ganda (multiple barrier).

e. Desain integral
Desain integral adalah menggabungkan berbagai komponen yang memiliki fungsi yang saling
berkaitan menjadi satu kesatuan. Sebagai contohnya adalah menggabungkan reaktor dengan alat
penukar kalor dalam satu bejana. Keuntungan utama dari desain integral adalah mengurangi volume
total sistem dan sekaligus juga mengurangi junlah material yang dibutuhkan. Dalam kasus
penggabungan reaktor dan alat penukar kalor dalam satu bejana, pemipaan terbuka dari reaktor ke alat
penukar kalor dapat dihilangkan. Hal ini akan mereduksi kegagalan aliran fluida akibat pecahnya pipa.
Penggunaan desain integral memberikan keuntungan berikutnya yaitu dapat mengehasilkan desain
sistem yang lebih kompak dan meningkatkan aspek modularitas.

f. Desain kompak
Desain kompak adalah desain yang memiliki ukuran sistem keseluruhan yang relatif kecil.
Kunci utama dasr desai kompak adalah reduksi volume keseluruhan. Reduksi volume ini selanjutnya
akan mereduksi jumlah material yang dibutuhkan (misalnya mereduksi kebutuhan beton). Hal ini akan
menuruhkan biaya berkaitan dengan material tersebut. Penggunaan desain integral merupakan faktor
penting untuk memperoleh desain yang lebih kompak. Reduksi volume sistem secara keseluruhan ini
dilakukan tetap dengan memperimbangan prinsip-prinsip keselamatan nuklir, terutama kehandalan,
redundansi dan konsep hambatan ganda (multiple barrier).

g. Modularitas
Modularitas adalah membagi sistem secara keseluruhan menjadi beberapa modul. Setiap modul
terdiri dari komponen-komponen yang telah dintegrasikan. Dengan demikian terdapat hubungan yang
kuat antara konsep desain integral dengan konsep modularitas. Komponen-komponen yang telah
diintegrasikan dikarenakan saling terkait fungsinya sebagaimana dalam konsep desain integral
selanjutnya akan menjadi satu modul.
Modul-modul tersebut didesain untuk dapat dilakukan fabrikasi dan perangkaian off site (tidak
dirangkai di lokasi reaktor). Konstruksi sitem reaktor nuklir secara keseluruhan di lokasi dilakukan
dengan memasang modul demi modul, bukan dengan memasang per komponen. Konsep modularitas
akan mempersingkat waktu konstruksi sistem reaktor secara keseluruhan.

4. Problema penyalahgunaan material nuklir dan solusinya


Problema penting yang sering dikhawatirkan dalam pengunaan energi nuklir adalah
penyalahgunaan material nuklir (yaitu bahan bakar nuklir dan material radioaktif) untuk dipergunakan
sebagai senjata nuklir. Uranium berpengkayaan tinggi dan plutonium fisil adalah material bahan bakar
nuklir yang dapat disalahgunakan sebagai senjata nuklir. Untuk itu, desain reaktor nuklir masa depan
harus mampu mengurangi peluang penyalahgunaan tersebut. Beberapa hal yang dapat mengurangi
penyalahgunaan tersebut antara lain :
menggunakan bahan bakar campuran bahan fisil dan fertil dengan kandungan bahan fisil serendah
mungkin
menghindari proses pengolahan bahan bakar yang mampu menghasilkan bahan fisil dengan
kandungan tinggi
mereduksi kebutuhan untuk memindahkan bahan bakar dari lokasi reaktor nuklir

5. Perluasan aplikasi reaktor nuklir


Teknologi energi nuklir dewasa ini hanya diaplikasikan untuk pembangkitan listrik dalam
bentuk PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir). Karena alasan besarnya biaya modal, aplikasi PLTN
pada umumnya adalah untuk pembangkit listrik berskala besar untuk memikul beban dasar.
Sementara itu, manusia membutuhkan energi dalam tiga bentuk, yaitu :
dalam bentuk energi listrik
dalam bentuk bahan bakar
dalam bentuk energi termal
Bentuk energi listrik merupakan bentuk energi yang paling fleksibel untuk ditransmisikan dan
dkonversikan menjadi berbagai bentuk energi lain bagi berbagai keperluan manusia. Akan tetapi
terdapat berbagai penggunaan energi yang sulit untuk dipenuhi dalam bentuk energi listrik.
Penggunaan energi untuk transformasi darat berupa kereta api dengan mudah dapat dialihkan ke
bentuk energi listrik. Sementara itu penggunaan energi untuk transportasi darat jalan raya sulit untuk
dipenuhi dalam bentuk energi listrik secara masif. Demikian juga dengan penggunaan energi bagi
sistem transportasi laut dan udara. Untuk hal-hal yang terakhir ini, diperlukan energi dalam bentuk
bahan bakar.
Pada berbagai industri, sering dilakukan berbagai proses yang melibatkan reaksi kimia yang
bersifat endotermik. Dalam hal ini, seringkali diperlukan suplai energi termal pada berbagai tingkat
suhu sesuai dengan prosesnya.
Untuk lebih mendayagunakan reaktor nuklir pada masa depan, maka reaktor nuklir harus
mampu menghasilkan energi keluaran dalam bentuk yang lebih bervariasi. Di samping tetap
menghasilkan energi keluaran dalam bentuk energi listrik, maka reaktor nuklir juga harus mampu untuk
menghasilan energi keluaran dalam bentuk energi termal dengan berbagai tingkat suhu, yaitu suhu
rendah, suhu menengah maupun suhu tinggi. Keluaran energi termal ini selanjutnya dapat
dipergunakan dalam berbagai proses fisika maupun kimia.
Energi termal suhu rendah dapat dipergunakan untuk proses desalinasi air laut, refrigerasi
termal, pengeringan material dan pemanasan ruangan. Energi termal suhu menengah dapat
diperbunakan pada berbagai reaksi endotermik suhu menengah. Sedangkan energi termal suhu tinggi
dapat dimanfaatkan untuk berbagai proses bersuhu tinggi seperti gasifikasi batubara, pembuatan bahan
bakar hidrokarbon sintetik, produksi hidrogen dengan bahan baku air, reduksi bijih logam dan
sebagainya. Di antara produk-produk dari proses-proses yang disebutkan ini merupakan bahan bakar.
Karena reaktor nuklir masa depan harus dapat diaplikasikan untuk keperluan yang levbih
beragam, maka reaktor nuklir masa depan juga perlu didesain dengan spektrum tingkat daya yang lebih
lebar serta moda operasi yang lebih beragam.
Reaktor nuklir sekarang umumnya didesain dengan tingkat daya tinggi dengan moda operasi
beban dasar yang relatif daya keluarannya tidak banyak bervariasi. Reaktor nuklir pada masa depan
didesain untuk berbagai tingkat daya, yaitu rendah, menengah atau tinggi serta mampu dioperasikan
pada beban yang lebih bervariasi.
C. Kriteria Pengembangan Reaktor Nuklir Masa Depan

Berdasarkan uraian pada Sub Bab I.B pada tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa desain reaktor
nuklir masa depan, yang juga disebut sebagai reaktor nuklir maju atau reaktor nuklir generasi keempat
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Mampu mereduksi kebutuhan bahan bakar nuklir dan volume limbah nuklir dengan
mengaplikasikan kemampuan pembiakan (breeding) atau kemampuan melakukan transmutasi
nuklida
2. Mampu meningkatkan aspek keselamatan dengan mengaplikasikan konsep keselamatan
melekat (inherent safety, yaitu koefisien umpan balik daya yang negatif dan nilai reaktivitas
lebih yang kecil), konsep keselamatan pasif (yaitu sistem shutdown pasif dan sistem
pendinginan pasca shutdown yang pasif) serta konsep hambatan ganda (multiple barrier)
3. Mampu mereduksi biaya pembangkitan dengan cara mereduksi kebutuhan bahan bakar dan
produksi limbah nuklir, meningkatkan efisiensi termal dan mereduksi biaya modal
4. Secara lebih khusus, mampu mereduksi biaya modal serta mempersingkat waktu konstruksi
dengan mengaplikasikan konsep penyederhanaan, desain integral, kompak dan peningkatan
modularitas
5. Mampu menghasilkan energi keluaran dalam bentuk listrik dan kalor untuk berbagai aplikasi
proses termal
6. Lebih fleksibel dalam moda operasi dan tingkat daya keluaran
7. Mampu mengurangi peluang penyalahgunaan material nuklir menjadi senjata nuklir

II. PASSIVE COMPACT MOLTEN SALT REACTOR (PCMSR)

A. Penjelasan Umum

PCMSR (Passive Compact Molten Salt Reactor) adalah reaktor nuklir yang dikembangkan
bebasis pada MSR (Molten Salt Reactor). Sebagaimana MSR pada umumnya, maka PCMSR
menggunakan bahan bakar cair dalam bentuk leburan garam fluoride, yaitu LiF-BeF 2-ThF4-UF4.
Lithium yang digunakan dalam bahan bakar adalah Li 7 yang memiliki tampang lintang serapan neutron
sangat rendah. Lithium alam terdiri dari campuran Li6 yang memiliki tampang lintang serapan neutron
sangat tinggi dan Li7. Untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar pada MSR atau PCMSR, Li 6 yang
terdapat pada lithium alam harus dihilangkan. Thorium (Th232) berfungsi sebagai material fertil yang
akan menyerap neutron dan akhirnya menghasilkan material fisil berupa U 233. Dengan demikian
PCMSR, sebagaimana MSR dirancang sebagai reaktor pembiak. Hal ini bertujuan untuk memenuhi
kriteria pertama (nomor 1) dan sekaligus kriteria nomor 3 dari kriteria-kriteria pengembangan reaktor
nuklir maju yang disebutkan pada Sub Bab I.C pada tulisan ini.
PCMSR dirancang sebagai reaktor pembiak termal, yaitu menggunakan spektrum neutron
termal. Keuntungan penggunaan spektrum termal adalah reaktor dapat mencapai kondisi kritis dan
sekaligus kemampuan pembiakan yang dengan kandungan nuklida fisil (U 233) sangat sedikit. Bahan
bakar PCMSR tersusun dari 70 % LiF atau campuran LiF dan BeF 2 dan 30 % lainnya adalah garam
flouride dari bahan bakar. Garam fluoride bahan bakar tersusun dari hampir 98 % Th 232F4 dan sekitar 2
% U233F4. Ketika reaktor beroperasi terbentuk aktinida minor dan produk fisi dalam bentuk garam
fluoride. Kandungan material fisil yang sedikit menyulitkan penyalahgunaan bahan bakar nuklir. Hal
ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kriteria nomor 7 dari kriteria-kriteria pengembangan
reaktor maju yang disebutkan pada Sub Bab I.C pada tulisan ini.
Karena menggunakan spektrum neutron termal, maka PCMSR menggunakan moderator grafit
sebagaimana pada MSR lainnya yang menggunakan spektrum neutron termal. Penggunaan moderator
grafit pada MSR menimbulkan masalah karena grafit dalam jangka panjang akan mengalami degradasi
akibat tumbukan neutron. Untuk jangka waktu tertentu (setiap 4 hingga 10 tahun sekali) reaktor harus
dimatikan (shutdown) untuk mengganti moderator grafit. Pada PCMSR, masalah ini diatasi dengan
mengaplikasikan sistem penggantian moderator tanpa mematikan reaktor (On Line Moderator
Replacement System).
Untuk mempertahankan komposisi bahan bakar maka PCMSR, seperti halnya MSR pada
umumnya, menggunakan sistem reprosesing bahan bakar on line. Tujuan utama sistem ini adalah
mengambil Pa233 dan menahannya di luar reaktor serta mengambil produk fisi. Pa 233 terbentuk akibat
serapan neutron oleh Th232. Jika berada dalam reaktor Pa233 akan menyerap neutron dan akhirnya
menjadi U234 yang tidak dapat digunakan. Serapan neutron oleh Pa 233 juga akan mengganggu reaktor
untuk mencapai kondisi kritis. Dengan demikian terdapat dua kerugian jika Pa233 tetap berada dalam
reaktor. Jika Pa233 dikeluarkan dari reaktor, maka disamping tidak mengganggu reaktor juga
berkesempatan untuk meluruh menjadi U233 yang merupakan bahan bakar fisil yang berguna.
Sementara itu, pengambilan produk fisi secara on line juga memberikan dua keuntungan utama.
Keuntungan pertama adalah mengurangi serapan neutron oleh produk fisi tersebut sehingga ktirikalitas
dapat dicapai dengan kandungan nuklida fisil lebih rendah. Keuntungan kedua adalah mengurangi
pembangkitan kalor peluruhan yang dilakukan oleh produk fisi tersebut. Dengan demikian fraksi
pembangkitan kalor pasca shutdown dari PCMSR (atau MSR secara umum) menjadi lebih kecil
daripada desain reaktor laiinya yang tidak dilengkapi dengan sistem reprosesing bahan bakar on line.
Hal ini akan menyederhakanan desain sistem pengambilan kalor pasca shutdown dan sekaligus
meningkatkan aspek keselamatan sebagaimana yang dituntut pada kriteria No. 2 yang disebutkan pada
Sub Bab I.C pada tulisan ini. .
PCMSR (sebagaimana MSR pada umumnya) menggunakan sistem pengisian ulang bahan bakar
secara on line (on line refueling system), yaitu pengisian ulang bahan bakar tanpa mematikan reaktor.
Dalam hal ini bahan bakar diinjeksikan secara kontinyu ke reaktor. Pada 3 hingga 5 tahun pertama
MSR atau PCMSR memerlukan injeksi bahan bakar fisil eksternal. Bahan ini bisa berupa Pu fisil yang
diambil dari pengolahan ulang (reprosesing) bahan bakar bekas LWR sekarang. Pada tahun-tahun
berikutnya, akan terbentuk U233 dalam jumlah yang mampu untuk mempertahankan kekritisan reaktor.
Dengan demikian bahan bakar yang dinjeksikan hanya berupa material fertil Th 232. PCMSR
diestimasikan hanya membutuhkan 800 kg thorium alam per GWey. Jauh lebih kecil daripada
kebutuhan bahan bakar untuk LWR sekarang yang sebesar 21 ton (21000 kg) uranium diperkaya per
GWey atau setara dengan 170 ton (170000 kg) uranium alam per GWey. Dengan demikian, hal ini
akan memenuhi kriteria reaktor maju No. 1 yang disebutkan pada Sub Bab 1.C pada tulisan ini.
Adanya kemampuan pembiakan (breeding) serta penggunaan sistem pengisian bahan bakar on
line yang digabungkan dengan sistem reprosesing bahan yang juga on line membuat PCMSR (seperti
halnya MSR pada umumnya) tidak memerlukan reaktivitas lebih (excess) reactivity yang terlalu tinggi.
Pada reaktor non pembiak yang menggunakan moda off line refueling (pengisian ulang bahan
bakar dengan mematikan reaktor) sebagaimana pada LWR (PWR dan BWR), reaktivitas lebih
diperlukan. Reaktivitas lebih ini diperlukan untuk empat hal, yaitu :
untuk mengkompensasi susut bahan bakar
untuk mengkompensasi reaktivitas umpan balik daya yang negatif
untuk mengkompensasi pembentukan produk fisi yang menyerap neutron (racun neutron)
untuk memungkinkan memberikan cukup reaktivitas lebih pada saat kenaikan daya diperlukan
Kompensasi susut bahan bakar diperlukan pada reaktor non pembiak sangat diperlukan karena
jumlah material fisil yang terkonsumsi lebih besar daripada jumlah material fisil yang terbentuk.
Dengan demikian, jumlah material fisil selalu berkurang. Pada reaktor non pembiak yang
menggunakan moda off line refueling, untuk mendapatkan nilai operasi reaktor yang ekonomis, rentang
waktu antar pengisian bahan bakar ini harus cukup lama. Pada sesaat sebelum reaktor harus diisi ulang
bahan bakar. Reaktor tersebut masih harus memiliki reaktivitas lebih yang cukup untuk
mengkompensasi reaktivitas umpan balik daya yang negatif, racun neutron produk fisi, serta untuk
keperluan menaikkan daya. Hal ini berarti pada waktu sesaat setelah pengisian ulang bahan bakar,
reaktor harus diberi reaktivitas lebih yang cukup untuk mengkompensasi susut bahan bakar hingga
waktu pengisian ulang bahan bakar berikutnya. Nilai reaktivitas lebih untuk kompensasi susut bahan
bakar semakin tinggi ketika reaktor didesain untuk memiliki rentang waktu pengisian ulang bahan
bakar yang semakin panjang atau reaktor memiliki nilai rasio konversi (CR) yang kecil (dengan kata
lain reaktor secara relatif mengandung lebih banyak komponen bahan bakar fisil atau lebih sedikit
komponen bahan bakar fertil).
Pada reaktor non pembiak yang menggunakan moda on line refueling, seperti reaktor jenis
PHWR (CANDU), reaktivitas lebih yang terlalu tinggi tidak diperlukan. Hal ini karena pengisian ulang
bahan bakar dapat dilakukan setiap saat tanpa mematikan reaktor.
Pada reaktor pembiak yang menggunakan moda off line refueling, seperti LMFBR, jumlah
material fisil akan semakin bertambah dengan semakin bertambahnya waktu operasi reaktor. Dengan
demikian, secara teoritis reaktor jenis ini bisa diperasikan dalam waktu sangat panjang (puluhan tahun)
tanpa pengisian ulang bahan bakar. Sekalipun demikian, dalam kenyataannya reaktor jenis ini
memerlukan pengisian ulang bahan bakar karena dua alasan.
Alasan pertama adalah keterbatasan kemampuan material bahan bakar dan struktur
pendukungnya (misalnya kelongsong). Selama berada dalam reaktor material tersebut secara
berangsur-angsur mengalami kerusakan akibat efek irradiasi neutron dan sinar gamma. Alasan kedua,
sekalipun jumlah material fisil semakin meningkat akibat reaksi pembiakan, akan tetapi peningkatan ini
terjadi pada zona blanket, yaitu zona yang dipersiapkan untuk terjadinya reaksi pembiakan. Zona
blanket hanya dimuati sedikit material fisil sehingga tidak mampu mencapai kondisi kritis.
Penambahan jumlah material fisi pada zona blanket pada umumnya tidak mampu untuk mengkritiskan
reaktor akibat posisi geometris zona tersebut. Sementara itu zona core, yaitu zona yang dimuati cukup
material fisil sehingga reaktor secara keseluruhan dapat mencapai kondisi kritis, mengalami penyusutan
jumlah material fisil.
Oleh sebab itu, reaktor jenis LMFBR memerlukan reaktivitas lebih pada zona core-nya.
Reaktivitas lebih pada LMFBR diperlukan untuk mengkompensasi perubahan letak bahan bakar fisil,
mengkompensasi reaktivitas umpan balik daya yang negatif (dirancang untuk menjadi negatif),
mengkompensasi racun neutron produk fisi serta untuk keperluam menaikkan daya. Reaktivitas lebih
yang diperlukan LMFBR tidak sebesar karena dua hal. Alasan pertama adalah karena adanya efek
pembiakan. Alasan kedua adalah fakta bahwa serapan racum neutron produk fisi pada spektrum
neutron cepat tidak sebesar serapannya pada spektrum neutron termal.
Reaktor jenis MSR (termasuk PCMSR) adalah reaktor pembiak dengan bahan bakar cair yang
menggunakan moda pengisian ulang bahan bakar secara online dan moda reprosesing bahan bakar juga
secara on line. Dengan kemampuan pembiakan, maka reaktivitas lebih untuk mengatasi susut bahan
bakar (sebagaimana pada LWR) tidak diperlukan karena jumlah material fisil dapat dpertahankan untuk
mencapai ketritisan reaktor. Dengan menggunakan bahan bakar cair dan sekaligus moda pengisian
ulang bahan baar secara on line, maka reaktivitas lebih untuk mengkompensasi perubahan letak bahan
bakar fisil (sebagaimana pada LMFBR) tidak diperlukan karena komposisi bahan bakar (cair) selalu
seragam terhadap posisi.
Dengan menggunakan moda reprosesing bahan bakar secara secara on line, kebutuhan
reaktivitas lebih untuk mengkompensasi racun neutron produk fisi dapat dikurangi. Hal ini karena
bagian produk fisi dan juga aktinida minor yang menyerap neutron (seperti Pa 233) dapat dikeluarkan
dari reaktor.
Selanjutnya bahan bakar leburan garam mengandung sangat banyak material fertil dan sedikit
material fisil. Hal ini akan menyebabkan koefisien reaktivitas umpan balik suhu menjadi negatif. Efek
ini dapat dirancang supaya lebih mendominasi koefisien reaktivitas umpan bailk suhu dari grafit yang
bernilai positif. Dengan demikian koefisien reaktivitas umpan balik suhu dari MSR (termasuk PCMSR)
secara keseluruhan bernilai negativ. Dengan sifat ini, laju aliran bahan bakar, pendingin primer atau
pendingin intermediate (jika diperlukan) dapat dipakai untuk mengatur daya. Dengan demikian,
kebutuhan reaktivitas lebih untuk menaikkan daya dapat dikurangi.
Oleh karena itu, desain MSR (termasuk PCMSR) memiliki reaktivitas lebih paling kecil
dibandingkan dengan jenis reaktor lainnya. Reaktivitas lebih MSR (termasuk PCMSR) dapat didesain
untuk bernilai jauh di bawah reaktivitas lebih yang mampu mencapai krisis serempak. Dengan
reaktivitas lebih yang sangat kecil sekaligus dengan koefisien reaktivitas umpan balik daya (suhu) yang
negatif, maka kecelakaan reaktivitas berupa ekskursi daya tidak mungkin terjadi pada MSR maupun
PCMSR. Dengan sifat ini, maka MSR maupun PCMSR bersifat inherent safe, yang merupakan kriteria
yang harus dipenuhi pada desain reaktor maju, yaitu kriteria no. 2 sebagaimana disebutkan pada Sub
Bab 1.C pada tulisan ini.
Penggunaan bahan bakar cair dengan moda pengisian ulang bahan bakar dan reprosesing bahan
bakar yang keduanya secara on line mereduksi kebutuhan untuk pengolahan bahan bakar di luar lokasi
reaktor dan juga mereduksi kebutuhan pengangkutan bahan bakar dan limbah. Dalam hal ini, bahan
bakar bekas tidak perlu dipindahkan dari lokasi reaktor nuklir dan lokasi reprosesing yang terpisah.
Bahan bakar baru dikirimkan dalam bentuk garam flouride padat, dingin dalam kontainer yang
tersegel. Di lokasi reaktor, bahan bakar baru dan kontainernya (masih tersegel), langsung dipasang
pada ruang perenerimaan bahan bakar (yang berada di dalam gedung sistem bahan bakar) dan
dihubungkan dengan saluran bahan bakar menuju reaktor nuklir. Selanjutnya bahan bakar dicairkan di
lokasi tersebut dan dialirkan ke reaktor sesuai dengan kebutuhan. Satu kontainer bahan bakar dapat
didesain untuk mampu mencukupi kebutuhan reaktor hingga lebih dari 10 tahun. Dengan demikian
bahan bakar garam hanya boleh dicairkan di lokasi fabrikasi bahan bakar dan di lokasi reaktor (di
gedung sisem bahan bakar).
Sementara itu, limbah yang didominasi oleh produk fisi ditampung dalam kontainer pada ruang
penampung limbah (yang juga berada dalam gedung sistem bahan bakar), diberi pendinginan pasif
untuk jangka waktu cukup lama sehingga menjadi padat dan dingin. Limbah yang telah padat dan
dingin tersebut selanjutnya baru boleh dikeluarkan dari ruang penampung limbah.
Dengan sistem reprosesing on line, material fisil hasil pembiakan dapat langsung dikembalikan
ke reaktor tanpa memerlukan instalasi pengolahan dan fabrikasi bahan bakar di luar lokasi reaktor.
Bahkan bahan bakar fisil tersebut tidak pernah keluar dari gedung reaktor.
Dengan dapat dureduksinya kebutuhan untuk pengolahan bahan bakar dan transportasi bahan
bakar di luar gedung reaktor, maka peluang penyalahgunaan bahan bakar nuklir dapat sangat dikurangi.
Dengan demikian desain MSR (termasuk PCMSR) memenuhi kriteria nomor 7 dari kriteria-kriteria
pengembangan reaktor maju yang disebutkan pada Sub Bab I.C pada tulisan ini.

B. Inovasi khusus pada desain PCMSR

Pada desain PCMSR, dilakukan inovasi-inovasi khusus yang bertujuan untuk semakin
memenuhi kriteria-kriteria no. 4, no. 5 dan no. 6 yang disebutkan pada Sub Bab I.C pada tulisan ini.
Kriteria no. 4 memiliki tujuan utama untuk mereduksi biaya modal (capital cost) dan mempersingkat
waktu konstruksi dengan tetap meningkatkan aspek keselamatan dan kehandalan. Untuk itu PCMSR
dirancang sebagai reaktor yang sederhana, memiliki tingkat integrasi desain yang tinggi serta tingkat
modularitas yang tinggi.
PCMSR drancang sebagai reaktor bersuhu tinggi. Dengan suhu tinggi, PCMSR bersifat
fleksibel berkaitan dengan bentuk daya keluarannya. PCMSR mampu dikopel dengan sistem konversi
daya dengan efisiensi tinggi. Dalam hal ini, daya keluaran berbentuk listrik atau energi mekanik. Di
samping itu, PCMSR juga dapat dikopel dengan sistem proses termal baik dengan suhu rendah, suhu
medium maupun suhu tinggi. Pengkopelan dengan proses termal suhu rendah (desalinasi, refrigerasi
termal, pengeringan, pemanasan suhu rendah) cukup menggunakan kalor buangan sistem konversi
energi tanpa banyak mengurangi efisiensi dari sistem konversi tersebut. Sementara itu, sistem proses
termal bersuhu tinggi dikopel secara paralel dengan sistem konversi energi atau dikopel secara serial
sebagai topping. Dengan kemungkinan aplikasi termal selain sebagai pembangkit listrik maka desain
PCMSR memenuhi kriteria no. 5 dan kriteria no. 6 dari kriteria-kriteria desain reaktor maju yang
disebutkan pada Sub Bab I.C pada tulisan ini.
Dengan demikian PCMSR dikembangkan untuk memenuhi semua kriteria desain reaktor maju,
yaitu kriteria no. 1 hingga kriteria no. 7 yang disebutkan pada Sub Bab I.C dari tulisan ini.

C. Konfigurasi PCMSR
Konfigurasi PCMSR mengaplikasikan tiga konsep, yaitu : sederhana, integral dam modular.
PCMSR didesain sebagai reaktor yang sederhana dengan menggabungkan beberapa fungsi yang terkait
dalam satu sub sistem. Sementara itu, berbagai sub sistem yang fungsinya berkaitan digabungkan
menjadi satu sistem secara integral. Satu sistem yang bersifat integral ini akan menjadi sau modul.
Desain PCMSR selanjutnya merupakan gabungan dari berbagai modul.
Aplikasi sistem keselamatan pasif dan konsep hambatan ganda (multiple barrier) menjadi
pertimbangan penting. Integrasi komponen dalam sub sistem atau sistem mempertimbangkan
kemunginan dilakukannya prefabrikasi off site (fabrikasi awal di luar lokasi reaktor) secara maksimal
termasuk kemungkinan dilakukan kendali kualitas selama prefabrikasi off site. Pekerjaan kontruksi
pada lokasi reaktor diusahakan sebagian besar merupakan pekerjaan pemasangan sistem atau modul.
Desain PCMSR terdiri dari tiga modul utama, yaitu :
1. Modul reaktor (reactor module)
2. Modul turbin (turbine module)
3. Modul pengelolaan bahan bakar (fuel management module)

III. MODUL REAKTOR PCMSR

A. Penjelasan Umum

Modul reaktor PCMSR merupakan satu kesatuan integral yang terdiri dari reaktor nuklir, sistem
pengambilan kalor dan sistem pendinginan pasca shutdown. Modul reaktor PCMSR dapat dilihat pada
Gambar 1. Desain modul reaktor dibuat sedemikian rupa sehingga bahan bakar selalu dalam kondisi :
mendapatkan pengungkungan yang baik
berada dalam lingkungan garam pendingin yang befungsi sebagai media transfer kalor dan
sekaligus shielding
mendapatkan pendinginan (pengambilan kalor)
peluang untuk tumpah sangat kecil
Modul reaktor PCMSR terdiri dari sebuah silo dari beton yang terbuat dari material yang tahan
suhu tinggi. Permukaan dalam silo beton dilapisi dengan lapisan penahan panas. Bejana sistem reaktor
ditempatkan dalam silo tersebut. Ruang antara bejana dan silo diisi dengan gas inert. Volume ruang
antara ini dibuat minimal untuk meminimasikan jumlah cairan garam yang tumpah jika terjadi
kerusakan pada dinding bejana reaktor.
Volume ruang antara bejana dan silo dibuat cukup sehingga dalam kasus terjadinya gempa atau
guncangan, dinding bejana tidak bertumbukan cukup keras dengan dinding silo sehingga menimbulkan
kerusakan baik pada dinding bejana maupun dinding silo. Pengaturan reaktor dalam bejana, dinding
bejana, lapisan permukaan dalam silo dan silo beton dirancang untuk memenuhi konsep hambatan
ganda (multiple barrier) bagi terlepasnya material radioaktif (garam bahan bakar) ke lingkungan. Silo
beton diengkapi dengan sistem saluran untuk pendinginan pasif. Sistem saluran ini terdiri dari inlet
(pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 21), outlet (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 22) serta
sistem saluran yang memiliki percabangan untuk mendapatkan luas permukaan transfer kalor yang
cukup (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 15).

PASSIVE COMPACT MOLTEN


27 SALT REACTOR (PCMSR)

REACTOR SYSTEM
24

REMARKS :
1. Reactor
23 2. Primary Heat Exchanger

26 3. Fuel Flow Regulator Valve


4. Fuel Flow Regulator Mechanism
5. Fuel Circulation Pump
22
6. Intermediate Heat Exchanger
7. Post Shutdown Heat Exchanger
8. Passive Down Comer Pool
21 9. Passive Isolator Plenum
10 10. Passive Riser Pool
11. Post Shutdown Isolator Valve
25 12. 2nd Reactivity Control Mechanism
14
13. Intermediate Coolant Inlet Pipe
20
14. Intermediate Coolant Outlet Pipe
15. Passive Concrete Cooling Duct
11 16 13
12 16. On Line Moderator Replacement
System
17. Fuel Inlet Pipe (from On Line
9
8 Fuel Reprocessing System)

19 18. Fuel Outlet Pipe (to On Line Fuel


7
Reprocessing System)
19. Reactor Gas Cover System
(Argon or Helium)

28 20. Primary Coolant Gas Cover


System (Argon or Helium)
17 21. Passive Concrete Cooling Duct
18 Inlet
6 1 22. Passive Concrete Cooling Duct
Outlet
23. Passive Post Shutdown Cooling
3 Duct Inlet
24. Passive Post Shutdown Cooling
2 Duct Outlet
5
25. Reactor Primary Plug
4
26. Secondary Gas Cover (Air)
27. Reactor Secondary Plug
15
28. Reactor Off Gas Pipe
(Inlet and Outlet)

Gambar 1. Modul Reaktor pada PCMSR


Sistem saluran ini berfungsi sebagai sistem pengambilan kalor dari bahan bakar pasca shutdown ketika
mekanisme pendinginan pasca shutdown utama (yang juga pasif) mengalami kerusakan dan menjadi
tidak berfungsi.

B. Konfigurasi Sistem Reaktor Integral

Sistem reaktor integral dapat dilihat pada Gambar 1. Sistem ini dirancang untuk ditempatkan
dalam satu bejana secara integral. Komponen penting dari sistem reaktor integral adalah :
reaktor
alat penukar kalor primer
sistem pengatur aliran bahan bakar
alat penukar kalor intermediate
sistem saluran pendingin primer
alat penukar kalor pasca shutdown
sistem saluran pendingin intermediate
sistem pendinginan pasca shutdown
sistem pengaturan reaktivitas bantu
sistem penggantian moderator on line
sistem gas kover

1. Sistem fluida
Untuk mendapatkan penghalang (barrier) yang cukup bagi terlepasnya material radioaktif
(garam bahan bakar), maka desain PCMSR menggunakan dua tingkat fluida pendingin yaitu fluida
pendingin primer dan fluida pendingin intermediate. Dengan demikian, terdapat tiga sistem fluida pada
PCMSR yaitu garam bahan bakar, fluida pendingin primer dan fluida pendingin intermediate. Pada
Gambar 1, garam bahan bakar ditunjukkan dengan warna merah, garam pendingin primer ditunjukkan
dengan warna biru muda dan garam pendingin intermediate ditunjukkan dengan warna biru agak tua.
Garam bahan bakar tersusun dari campuran garam fluiride Li 7F-BeF2-Th232F4-U233F4-MaFx-FpFy.
Dalam hal ini Ma menyatakan aktinida minor sedangkan Fp adalah produk fisi. Berilium dan fluor
yang digunakan adalah berilium alam (Be 9) dan fluor alam (F19). Lithium yang digunakan dalam garam
bahan bakar harus berupa Li7 yang memiliki sifat serapan neutron sangat rendah. Li6 memiliki sifat
serapan neutron sangat tinggi sehingga menghalangi reaktor untuk mencapai kondisi kritis.
Komposisi garam bahan bakar terdiri dari 70 % mol berupa Li7F dan BeF2. Sedangkan 30 %
sisanya berupa garam fluoride yang mengandung bahan bakar (fertil, fisil maupun aktinida minor).
Setelah tercapai kesetimbangan (setelah reaktor dioperasikan cukup lama), garam yang mengandung
bahan bakar (yang merupakan 30 % mol dari campuran total) terdiri dari 97,8 % mol Th 233F4; sekitar 2
% mol U233F4 dan sisanya adalah aktinida minor dan produk fisi dalam bentuk garam fluoride. Aktinida
minor terdiri dari nuklida protaktinium (Pa233 dan Pa234), nuklida uranium lainnya (U234, U235, U236, U237
dan U238), sangat sedikit nuklida neptunium (Np237, Np238, Np239), nuklida plutonium (Pu238, Pu239, Pu240,
Pu241 dan Pu242), nuklida amerisium dan nuklida curium. Aktinida minor yang dominan adalah Pa233 ,
U234, U235 dan U236. Aktinida minor lainnya sangat sedikit.
Fluida pendingin primer dan intermediate juga merupakan garam fluoride. Garam primer dan
garam intermediate terdiri dari campuran LiF-NaF-KF. Garam ini dipilih karena memiliki titik lebur
cukup rendah (375 derajat C) dan viskositas cukup rendah dibandiingkan dengan garam fluiorde
lainnya. Lithium yang digunakan dalam garam primer dan intermediate adalam lithium alam yang
terdiri dari 80 % mol Li7 dam 20 % mol Li6. Bilamana perlu dapat digunakan lithium yang diperkaya
dengan Li6. Kehadiran Li6 yang memiliki sifat serapan neutron sangat tinggi pada garam primer dan
garam intermediate sangat diperlukan untuk menjaga supaya bahan bakar yang mengisi alat penukar
kalor utama tidak pernah mampu mencapai kondisi kritis. Jika terjadi kecelakaan sehingga garam
bahan bakar tercampur dengan garam pendingin primer, maka kondisi kritis tidak akan tercapai dan
reaktor secara otomatis mati (shutdown) dengan selamat.
Secara hierarki transfer kalor, garam bahan bakar mentransfer kalor ke garam pendingin primer
pada alat penukar kalor utama (primer). Berikutnya garam pendingin primer mentransfer kalor ke
garam intermediate pada alat penukar kalor intermediate. Selanjutnya garam intermediate membawa
kalor ke alat penukar kalor pemanas (heater) pada sistem turbin. Alat penukar kalor primer dan alat
penukar kalor intermediate dapat difungsikan sebagai penghalang (barrier) bagi pelepasan material
radioaktif (garam bahan bakar) ke lingkungan.

2. Reaktor
Pada Gambar 1, reaktor ditunjukkan oleh angka 1. Reaktor PCMSR terdiri dari zona core (teras)
yang dioptimalkan untuk reaksi fisi, zona blanket yang dioptimalkan untuk reaksi pembiakan, reflektor
samping, reflektor atas dan reflektor bawah dan plenum atas dan plenum bawah. Bahan bakar
memasuki reaktor pada bagian atas dan keluar dari reaktor pada bagian bawah. Plenum atas berfungsi
untuk mendistribusikan aliran bahan bakar masuk sedangkan plenum bawah berfungsi untuk
mengkondisikan aliran bahan bakar sebelum keluar dari reaktor.
Reaktor tersusun dari elemen-elemen bahan bakar dan elemen reflektor. Elemen bahan bakar
berupa prisma heksagonal grafit moderator yang memiliki saluran pada bagian tengahnya. Elemen
bahan bakar core memiliki ukuran saluran lebih kecil daripada elemen bahan bakar blanket. Dengan
demikian elemen bahan bakar core mengandung lebih banyak moderator (grafit). Dengan demikian,
moderasi berlangsung lebih baik dan kesempatan U 233 menyerap neutron lebih dominan daripada
kesempatan Th233 menyerap neutron. Dengan kata lain, pada zona core reaksi fisi lebih dominan
daripada reaksi pembiakan.
Sementara itu, elemen bahan bakar blanket mengandung lebih sedikit moderator dibandingkan
dengan elemen bahan bakar core. Pada elemen bahan bakar blanket kesempatan menyerap neutron
lebih didominasi oleh Th232 daripada U233. Dengan demikian, reaksi pembiakan pada blanket lebih
dominan daripada reaksi fisi. Teras selanjutnya didesain sedemikan rupa sehingga secara keseluruhan
laju pembentukan U233 oleh reaksi pembuakan lebih tinggi daripada laju konsumsi U233 oleh reaksi fisi.
Elemen reflektor terdiri dari prisma heksagonal grafit pejal. Pada bagian sumbu pusat dan
bagian tertentu lainnya reaktor terdapat elemen reflektor yang memiliki lubang (saluran) tengah untuk
mengakomodasi mekanisme sistem pengaturan reaktivitas bantu.

3. Alat penukar kalor utama


Alat penukar kalor utama berfungsi untuk mentransfer kalor dari garam bakar bakar ke garam
pendingin primer. Pada Gambar 1 alat penukar kalor utama ditunjukkan oleh angka 2. Alat penukar
kalor utama merupakan alat penukar kalor tipe shell and tube (cangkang dan tabung). Garam bahan
bakar mengisi ruang antar tabung (sisi cangkang / sisi shell) sedangkan garam pendingin primer
mengisi ruabg di dalam tabung (sisi tube). Alat penukar kalor utama diletakkan di bawah reaktor. Pada
saat reaktor beroperasi normal, alat penukar kalor utama hanya terisi sebagian oleh bahan bakar. Pada
saat reaktor dalam kondisi shutdown seluruh bahan bakar mengisi penuh alat penukar kalot utama.

4. Sistem pengaturan aliran bahan bakar


Sistem pengatur aliran bahan bakar terdiri dari pompa sirkulasi bahan bakar (pada Gambar 1
ditunjukkan oleh angka 5), saluran bahan bakar naik (fuel riser), saluran bahan bakar horizontal,
saluran penghubung antara reaktor dan alat penukar kalor utama, katup pengatur aliran bahan bakar
(pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 3) serta sistem mekanisme penggerakan katup pengatur aliran
bahan bakar (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 4).
Sistem saluran bahan bakar juga dihubungkan dengan sistem reprosesing bahan bakar on line.
Terdapat dua saluran, yaitu saluran outlet (dari sistem reaktor ke sistem reprosesing bahan bakar, pada
Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 18) dan saluran ilnet (dari sistem reprosesing bahan bakar ke sistem
reaktor, pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 17).

5. Alat penukar kalor intermediate


Alat penukar kalor intermediate (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 6). Alat penukar kalor
intermediate berfungsi untuk mentransfer kalor dari garam pendingin primer ke garam pendingin
intermediate. Alat penukar kalor intermediate diletakkan di atas alat penukar kalor utama. Hal ini
dimaksudkan untuk memungkinkan transfer kalor secara sirkulasi alam garam pendingin primer antara
alat penukar kalor utama dan alat penukar kalor intermediate pada saat reaktor shutdown.

6. Sistem saluran pendingin primer


Garam pendingin orimer mengisi bagian bawah bejana sistem reaktor dan ruang ekstensi di
atasnya pada bagian tengah hingga hampir mencapai ujung atas bejana sistem reaktor. Di atas
permukaan garam pendingin primer adalah ruang kompensasi ekspansi (pada Gambar 1 ditunjukkan
oleh angka 20) yang diisi dengan gas inert (argon / Ar).
Ruang yang diisi garam pendingin primer dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu
kompartemen aliran naik (riser) dan kompartemen aliran turun (downcomer). Reaktor dan alat penukar
kalor utama dalam posisi terbenam (submerged) oleh garam pendingin primer pada kompartemen riser.
Alat penukar kalor intermediate ditempatkan di atas kompartemen downcomer. Peletakan ini
dimaksidkan untuk memungkinkan transfer kalor secara sirkulasi alam garam pendingin primer antara
alat penukar kalor utama dan alat penukar kalor intermediate pada saat reaktor shutdown.
Pada saat reaktor beroperasi normal, sirkulasi garam primer antara alat penukar kalor utama dan
alat penukar kalor intermediate dapat menggunakan sirkulasi alam (tanpa pompa pendingin primer)
untuk reaktor berdaya rendah atau dengan menggunakan sirkulasi paksa (dengan pompa pendingin
primer) untuk reaktor berdaya tinggi.

7. Alat penukar kalor pasca shutdown


Alat penukar kalor pasca shutdown (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 7) berfungsi untuk
mentransfer kalor antara garam intermediate dengan fluida pelesap kalor (heat sink) pada saat reaktor
shutdown. Pada waktu awal setelah shutdown, fluida pelesap kalor adalah air. Untuk waktu yang cukup
lama setelah shutdown, yaitu ketika air telah habis karena menguap, fluida pelesap kalor adalah udara
lingkungan. Alat penukar kalor pasca shutdown diletakkan di atas alat penukar kalor intermediate. Hal
ini bertujuan untuk memungkinkan terjadinya aliran garam internediate secara sirkulasi alam antara alat
penukar kalor intermediate dan alat penukar kalor pasca shutdown pada saat reaktor dalam kondisi
shutdown.

8. Sistem saluran pendingin intermediate


Pendingin intermediate mengisi ruang bagian atas bejana sistem reaktor. Ruang pendingin
(garam) intermediate dibagi dua kompartemen yaitu kompartemen aliran naik (riser) dan kompartemen
aliran turun) downcomer. Alat penukar kalor intermediate diletakkan pada bagian bawah kompartemen
riser sedangkan alat penukar kalor pasca shutdown dihubungkan dengan bagian atas kompartemen
downcomer. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan sirkulasi alam garam intermediate antara alat
penukar kalor intermediate dan alat penukar kalor pasca shutdown pada saat reaktor shurdown.
Pada saat reaktor beroperasi secara normal, garam intermediate tidak dialirkan melalui alat
penukar pasca shutdown. Garam intermediate dialirkan menuju alat penukar kalor pemanas (heater)
pada sistem turbin melewati saluran keluaran (outlet) garam intermediate (pada Gambar 1 ditunjukkan
oleh angka 14). Pada heater tersebut, kalor ditransfer dari garam intermediate ke fluida kerja sistem
turbin. Selanjutnya garam intermediate dialirkan kembali ke sistem reaktor melalui saluran masukan
(inlet) garam intermediate (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 13). Aliran garam intermediate
antara sistem reaktor dan sistem turbin adalah aliran srkulasi paksa dengan menggunakan pompa
sirkulasi pendingin intermediate.

9. Sistem pendinginan pasca shutdown


Sistem pendinginan pasca shutdown bertujuan untuk memungkinkan terjadinya aliran fluida
pelesap kalor (heat sink) setelah reaktor shutdown. Fluida plesap kalor ini mengambil kalor melalui alat
penukar pasca shutdown.
Pada saat reaktor dalam kondisi operasi normal, sistem reaktor harus dapat diisolasi dari fluida
heat sink untuk mencegah terjadinya kerugian kalor yang terbuang memalui mekanisme heat sink
(pelesapan kalor) ini.
Sistem pendinginan pasca shutdown terdiri dari kolam downcomer pasif (pada Gambar 1
ditunjukkan oleh angka 8), plenum isolasi shutdown (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 9), kolam
riser pasif (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 10), katup isolasi shutdown (pada Gambar 1
ditunjukkan oleh angka 11), saluran udara masukan (pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 23) dan
saluran udara keluaran (pada Gambar 1 ditunjukkan oeh angka 24).

10. Sistem pengaturan reaktivitas bantu


PCMSR memiliki reaktivitas lebih sangat kecil dan koefisien reaktivtas umpan balik daya yang
negatif. Dalam hal ini, interaksi neutronik dan termalhidraulik antara laju aliran (baik bahan bakar,
pendingin primer maupun pendingin intermediate), suhu dan pengaruhnya pada parameter-parameter
neutronik dapat digunakan untuk penstabilan maupun pengaturan daya reaktor.
Daya reaktor dapat dinaikkan dengan secara sinkron menaikkan laju aliran bahan bakar,
pendingin primer maupun pendingin intermediate. Kenaikan laju aliran pendingin akan menurunkan
suhu dan memberikan efek reaktivitas positif. Hal ini akan menaikkan daya reaktor sehingga suhu
menjadi naik. Kenaikan suhu akan berhenti setelah tercapai kesetimbangan neutronik dan
termahidraulik pada tingkat daya yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Sementara itu untuk
menurunkan daya reaktor, laju aliran bahan bakar, pendingin primer dan pendingin intermediate
diturunkan sehingga suhu naik dan memberikan efek reaktivitas negatif. Hal ini akan menurunkan daya
reaktor hingga tercapai kesetimbangan neutronik dan termalhidraulik pada tingkat daya yang lebih
rendah daripada sebelumnya.
Dengan demikian, sistem pengaturan aliran (baik bahan bakar, pendingin primer maupun
pendingin intermediate) merupakan mekainisme utama untuk pengaturan reaktivitas (daya) reaktor.
Sekalipun demikian, terdapat beberapa kondisi di mana pengaturan reaktivitas melalui pengaturan
aliran tidak dapat dilakukan. Kondisi-kondisi tersebut diantaranya adalah :
pada saat start up
pada saat penggantian moderator secara on line
Pada saat start up, satu tahapan yang pasti harus dilakukan adalah pengisian reaktor. Pada saat
reaktor diisi hingga penuh, maka harus dapat dipastikan bahwa kekritisan tidak akan pernah tercapai
kecuali jika dikehendaki. Karena pada saat ini sistem pengaliran bahan bakar dan pendingin belum
dapat bekerja secara optimal, maka pengaturan reaktivitas dengan menggunakan pengaturan aliran
tidak dapat dilakukan. Untuk itu, material penyerap neutron harus disisipkan selama tahapan pengisian
bahan bakar pada saat start up.
Pada MSR, salah satu problema yang muncul adalah kerusakan moderator grafit akibat terkena
irradiasi neutron dan gamma. Untuk itu, moderator harus diganti. Untuk penggantian moderator,
reaktor harus dimatikan dan hal ini akan mengurangi faktor ketersediaan (availability factor) dari
reaktor. Pada PCMSR, masalah ini diatasi dengan konsep penggantian moderator tanpa mematikan
reaktor. Pada saat penggantian, satu elemen bahan bakar atau moderator lama diangkat dan selanjutnya
diganti dengan elemen bahan bakar atau moderator baru. Pengangkatan elemen bahan bakar atau
moderator akan memberikan efek reaktivitas negatif. Sistem pengaturan reaktivitas melalui mekanisme
pengaturan aliran hingga batas tertentu dapat digunakan untuk mengkompensasi hal ini. Akan tetapi
jika belum cukup maka diperlukan mekanisme pengaturan reaktivitas bantu untuk memberikan
reaktivitas positif pengkompensasi.
Dengan demikian pada tahapan pengisian bahan bakar pada saat start up, sistem pengaturan
reaktivitas bantu diperlukan untuk memberikan reaktivitas negatif sedangkan pada saat pengangkatan
moderator secara on line, sistem pengaturan reaktivitas bantu diperlukan untuk memberikan reaktivitas
kompensasi yang positif. Reaktivitas negatif diberikan dengan menyisipkan batang penyerap neutron
(B4C) ke reaktor sedangkan reaktivitas positif diberikan dengan menyisipkan sumber neutron.

11. Sistem Penggantian Moderator Secara On Line


Pada Gambar 1, sistem penggantian moderator secara on line ditunjukkan oleh angka 16.
Bagian bawah sistem ini berada pada ruang gas cover dan dapat digerakkan untuk mengangkat dan
memasukkan elemen bahan bakar atau moderator sesuai dengan posisinya. Bagian atas berupa bagian
penerima elemen baru maupun elemen bekas. Untuk penganganan elelem bekas, bagian ini dilengkapi
dengan sistem pendinginan yang menggunakan gas inert.

12. Sistem gas kover


Sistem gas kover (cover gas) berfungsi untuk mempertahankan kesetimbangan tekanan pada
sistem bejana reaktor terutama antara reaktor dan alat penukar kalor utama. Pada Gambar 1 sistem gas
kover ditunjukkan oleh angka 19. Sistem ini berupa ruang di atas reaktor yang diisi dengan gas inert
(argon). Bagian atas dari ruang gas cover ditutup dengan sumbat sistem reaktor utama (reactor primary
plug, pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 25).
Sistem gas kover juga difungsikan untuk menampung produk fisi yang berupa gas atau volatil
(xenon, iod). Untuk itu gas kover dihubungkan dengan sistem pengolahan gas melalui saluran inlet dan
outlet yang pada Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 28.
Ruang di atas reactor primary plug diisi dengan udara dengan tekanan sedikit lebih tinggi
daripada tekanan gas kover. Hal ini untuk menghalangi terlepasnya gas dari ruang gas cover jika terjadi
kebocoran. Selanjutnya bagian paling atas dari sistem bejana reaktor ditutup dengan sumbat sekunder
(secondary plug, dalam Gambar 1 ditunjukkan oleh angka 27). Sistem dua sumbat ini merupakan upaya
untuk menerapkan konsep hambatan ganda (multiple barrier) pelepasan material radioaktif melalui
jalur gas.

C. Aliran Fluida Pada Kondisi Operasi Normal

Gambar 1 pada dasarnya menunjukkan kondisi sistem fluida PCMSR saat operasi normal. Pada
kondisi operasi normal, terdapat beberapa beberapa hal sebagai berikut :
Pompa sirkulasi bahan bakar dalam kondisi bekerja
Reaktor terisi penuh dengan bahan bakar
Ruang sisi shell pada alat penukar kalor utama terisi sebagian oleh bahan bakar
Katup isolasi shutdown dalam kondisi terangkat ke atas dan menutup saluran penghubung plenum
isolasi shutdown dan kolam riser pasif
Sistem aliran pendingin intermediate yang menghubungkan bejana sistem reaktor dengan alat
penukar kalor pemanas (heater) sistem turbin berfungsi dengan baik

1. Aliran bahan bakar pada kondisi operasi normal


Pada kondisi operasi normal, reaktor diisi penuh dengan bahan bakar sehingga kondisi kritis
dapat dicapai. Pada bahan bakar dibangkitkan kalor sehingga mengalami kenaikan suhu. Bahan bakar
mengalir turun secara gravitasi ke alat penukar kalor utama. Sebelum mencapai alat penukar kalor
utama, terdapat katup pengatur aliran bahan bakar yang bukaannya dapat diatur untuk mengatur laju
aliran bahan bakar. Katup tersebut dikendalikan oleh suatu mekanisme hidrolik. Jika mekanisme ini
mengalami kegagalan, maka katup akan terbuka penuh sehingga bahan bakar mengalir cepat ke alat
penukar kalor utama dan reaktor menjadi kosong dari bahan bakar dan akhirnya shutdown. Dengan
demikian mekanisme pengendalian bukaan katup dirancang untuk gagal selamat.
Setelah mencapai alat penukar kalor utama, bahan bakar mentransferkan kalor yang dibawanya
ke fluida (garam) pendingin primer. Selanjutnya bahan bakar dihisap oleh pompa sirkulasi bahan bakar
dan dialirkan kembali ke reaktor melalui saluran naik dan saluran horizontal bahan bakar. Kemampuan
pompa bahan bakar diatur secara sinkron dengan bukaan katup aliran bahan bakar untuk mengatur laju
aliran bahan bakar untuk memperoleh tingkat daya yang dikehendaki.
Jika terjadi kegagalan pada pompa sirkulasi bahan bakar, misalnya jika pompa bahan bakar
mati, maka aliran bahan bakar dari alat penukar kalor utama ke reaktor akan terhenti tetapi aliran bahan
bakar dari reaktor ke alat penukar kalor utama tetap berlangsung karena terjadi secara gravitasi.
Akibatnya reaktor menjadi kosong dari bahan bakar dan reaksi nuklir terhenti. Bahan bakar mengisi
ruang yang tersisi pada alat penukar kalor utama. Dengan demikian sistem pompa bahan bakar juga
bersifat gagal selamat.

2. Aliran garam pendingin primer pada kondisi operasi normal


Pada kondisi operasi normal, garam pendingin primer menerima kalor dari bahan bakar melalui
alat penukar kalor utama. Selanjutnya garam pendingin primer mengalir ke atas melalui kompartemen
riser pendingin primer hingga mencapai masukan dari alat penuar kalor intermediate. Pada alat penukar
kalor intermediate, garam pendingin primer mentransferkan kalornya kepada garam pendingin
intermediate.
Selanjutnya garam pendingin primer mengalir turun melalui kompartemen downcomer
pendingin primer hingga mencapai plenum bawah bejana sistem reaktor. Dari plenum bawah bejana
sistem reaktor garam pendingin primer memasuki pipa-pipa alat penukar kalor utama untuk kembali
mengambil kalor dari bahan bakar.
Untuk PCMSR dengan daya kecil, aliran garam pendingin primer pada kondisi operasi normal
dimungkinkan untuk terjadi secara sirkulasi alam. Sementara itu, untuk PCMSR dengan daya besar,
diperlukan pompa pendingin primer untuk mempertahankan aliran garam pendingin primer pada
kondisi operasi normal.

3. Aliran garam pendingin intermediate pada kondisi operasi normal


Pada kondisi operasi normal, garam pendingin intermediate menerima kalor dari garam
pendingin primer melalui alat penukar kalor intermediate. Selanjutnya garam pendingin intermediate
mengalir ke atas melalui kompartemen riser pendingin intermediate hingga mencapau ujung atas dari
bejana sistem reaktor.
Garam pendingin intermediate selanjutnya mengalir keluar dari bejana sistem reaktor melalui
pipa keluaran (outlet) garam intermediate untuk selanjutnya menuju alat penukar kalor pemanas
(heater) dari sistem turbin. Sebelum mencapai heater sistem turbin, gama intermedate dilewatkan pada
tangki ekspansi. Tangki ini bertujuan untuk mengakomodasi perubahan volume dari garam
intermediate jika terjadi perubahan suhu.
Pada heater sistem turbin, garam intermediate mentransferkan kalornya ke fluida kerja sistem
turbin. Garam intermediate selanjutnya dialirkan kembali ke bejana sistem reaktor oleh pompa
pendingin intermediate melalui pipa inlet bejana sistem reaktor.

4. Sistem aliran fluida pelesap kalor (heat sink) pada kondisi operasi normal
Pada kondisi operasi normal, katup isolasi shutdown diangkat ke atas hingga menutup saluran
penghubung antara plenum isolasi shutdown dan kolam riser pasif. Pada kondisi operasi normal, kolam
riser pasif dan kolam downcomer pasif diisi dengan air. Karena tertutup oleh katup isolasi shutdown,
air yang berada di kolam riser pasif tertahan dan tidak dapat mengalir turun untuk mengisi plenum
isolasi shutdown.
Plenum isolasi shutdown diisi penuh dengan gas (udara atau nitrogen). Tekanan hidrostatik gas
menghalangi air pada kolam downcomer pasif untuk mengisi plenum isolasi shutdown. Gas yang
mengisi plenum isolasi shutdown akan memberikan efek isolasi termal terhadap alat penukar kalor
pasca shutdown. Efek isolasi ini dimaksudkan supaya hampir semua kalor yang dihasilkan oleh reaktor
pada kondisi operasi normal
Pengangkatan katup isolasi shutdown dilakukan secara elektromagnetik, pneumatik atau
hidrolik. Mekanisme pengangkatan ini dirancang sedemikian rupa sehingga diperlukan suplai arus
listrik untuk mempertahankan katup dalam posisi terangkat seperti ini. Dalam hal ini arus listrik
diperlukan untuk mengaktifkan sistem elektromagnet atau untuk memberikan tekanan pada sistem
pneumatik atau hidrolik.
Jika arus listrik mati, maka katup akan jatuh. Jatuhnya katup isolasi shutdown akan membuka
saluran penghubung antara plenum isolasi shutdown dengan kolam riser pasif. Sebagai akibatnya, gas
pengisi plenum isolasi akan mengalir ke atas melalui kolam riser pasif akibat efek gaya apung dan air
pada kolam riser pasif akan mengalir ke bawah akibat gaya gtavitasi dan mengisi plenum isolasi
shutdown. Demikian juga air pada kolan downcomer pasif akan mengisi plenum isolasi shutdown
karena tidag lagi terhalangi oleh gas yang sebelumnya mengisi plenum isolasi shutdown.
Plenum isolasi shutdown kemudian menjadi terisi dengan air, sehingga alat penukar kalor pasca
shutdown siap berfungsi untuk mentransferkan kalor dari garam pendingin intermediate ke air yang
mengisi plenum isolasi shutdown. Selanjutnya mekanisme pembuangan kalor ke lingkungan secara
pasif melalui alat penukar kalor pasca shutdown dan sirkulasi alam dari fluida pelesap kalor (yaitu air
yang mengisi plenum isolasi shutdown) dimulai. Dengan demikian katup isolasi shutdown juga
dirancang untuk memiliki sifat gagal selamat.

D. Aliran fluida pada kondisi shutdown normal

Kondisi shutdown normal adalah kondisi shutdown tanpa adanya kesurakanan pada sistem
bejana reaktor sehingga integritas sistem bejana reaktor tetap terjaga. Dalam hal ini, batas pemisah
antara garam bahan bakar, garam pendingin primer, garam pendingin intermediate serta fluida pelesap
kalor tetap utuh. Dengan kata lain fluida-fluida tersebut tidak saling tercampur da tidak ada yang
tumpah (tidak berkurang jumlahnya).

1. Sistem shutdown utama PCMSR


Sistem shutdown utama PCMSR adalah menggunakan sistem aliran bahan bakar. PCMSR
dishutdown dengan dua mekanisme, yaitu :
mematikan pompa sirkulasi bahan bakar
mematikan sistem pengatur katup aliran bahan bakar.
Kedua mekanisme ini dapat digunakan secara terpisah atau secara bersama-sama
Dengan dimatikannya sistem pengatur katup aliran bahan bakar, katup tersebut akan menjadi
terbuka penuh sehingga laju aliran bahan bakar dari reaktor ke alat penukar kalor utama yang terjadi
secara gravitasi melebihi laju aliran bahan bakar maksimal dari alat penukar kalor utama ke reaktor
yang dapat dilakukan oleh pompa sirkulasi bahan bakar.
Demikian juga dengan mematikan pompa sirkulasi bahan bakar, aliran bahan bakar dari alat
penukar kalor utama ke reaktor menjadi terhenti sedangkan aliran bahan bakar dari reaktor ke alat
penukar kalor utama tetap berlangsung akibat gravitasi.
Katup pengatur aliran bahan bakar dirancang untuk tidak dapat ditutup penuh kecuali hanya jika
penyerap neutron pada sistem pengatur reaktivitas bantu disispkan penuh ke reaktor. Sistem interlock
diperlukan untuk menjaga hal ini. Kondisi ini diperlukan pada saat pengisian bahan bakar ke reaktor
sebagai salah satu tahapan sebelum start up.
Pada kedua mekanisme shutdown utama tersebut, reaktor pada akhirnya akan kosong dari bahan
bakar sehingga reaksi fisi berantai di reaktor tidak dapat berlangsung. Seluruh bahan bakar akhirnya
mengisi penuh alat penukar kalor utama pada ruang sisi shell. Sementara ruang pada sisi tube telah
terisi oleh garam pendingin. Garam pendingin mengandung Li6 yang memiliki sifat serapan neutron
tinggi. Oleh karena itu, bahan bakar dalam alat penukar kalor utama tidak akan mampu mencapai
kondisi kritis sehingga reaksi fisi berantai tidak akan terjadi.

2. Sistem shutdown bantu PCMSR


Sistem shutdown bantu PCMSR dilakukan dengan menyisipkan penyerap neutron ke reaktor.
Hal ini dilakukan oleh sistem pengaturan reaktivitas bantu.

3. Kondisi PCMSR pada kondisi shutdown


Pada saat shutdown suplai daya untuk sistem pengangkat katup isolasi shutdown juga terhenti.
Dengan demikian katup isolasi shutdown akan jatuh (terbuka) sehingga plenum isolasi shutdown
menjadi terisi air. Air ini akan mengisi alat penukar kalor pasca shutdown pada sisi shell. Sementara itu
ruang pada sisi tube telah terisi oleh garam pendingin intermediate. Pada kondisi ini, alat penukar kalor
siap berfungsi untuk mentransfer kalor dari garam pendingin intermediate ke fluida pelesap kalor (air).
Dengan demikian kondisi PCMSR pada saat shutdown adalah sebagai berikut :
Reaktor kosong dari garam bahan bakar
Seluruh pompa (pompa sirkulasi bahan bakar, pompa pendingi primer (jika ada) dan pompa
pendingin intermediate) dalam kondisi mati
Ruang sisi shell pada alat penukar kalor utama terisi penuh oleh garam bahan bakar
Katup isolasi shutdown dalam kondisi terbuka plenum isolasi shutdown terhubungkan dengan
kolam riser pasif dan kolam downcomer pasif
Sistem aliran pendingin intermediate yang menghubungkan bejana sistem reaktor dengan alat
penukar kalor pemanas (heater) sistem turbin tidak berfungsi

4. Aliran bahan bakar pada kondisi shutdown


Pada kondisi shutdown, semua bahan bakar PCMSR mengisi penuh ruang sisi shell dari alat
penukar kalor utama. Dalam kondisi ini, bahan bakar dalam tidak mengalir. Kalor dibangkitkan pada
bahan bakar oleh peluruhan produk fisi dan aktinida minor yang tersisa dalam bahan bakar. Kalor
ditransfer melalui kontak bahan bakar dengan dinding pipa (tube) dan selanjutnya ditransfer ke garam
pendingin primer.

5. Aliran pendingin primer pada kondisi shutdown


Pada kondisi shutdown, garam pendingin primer menerima kalor peluruhan bahan bakar pada
alat penukar kalor utama. Garam pendingin primer mengalami kenaikan suhu pad penurunan densitas.
Garam pendingin primer selanjutnya mengalir naik melalui komparteme riser pendingin primer hingga
memasuki alat penukar kalor intermediate.
Pada alat penukar kalor intermediate, garam pendingin primer mentransfer kalor ke garam
pendingin intermediate. Garam pendingin primer mengalami penurunan suhu dan kenaikan densitas.
Garam pendingin primer selanjutnya mengalir turun melalui kompartemen downcomer pendingi primer
dan selanjutnya kembali memasuki alat penukar kalor utama.
Sistem pendingin primer dirancang sedemikian rupan sehingga aliran garam pendingin primer
pada kondisi shutdown semata-mata terjadi secara sirkulasi alam.

6. Aliran pendingin intermediate pada kondisi shutdown


Pada kondisi shutdown pompa pendingin intermediate yang mengalirkan garam intermediate ke
alat pemanas (heater) sistem turbin tidak berfungsi. Dengan demikian garam pendingin intermediate
tidak mengalir ke heater sistem turbin.
Garam intermeiate menerima kalor dari alat penukar kalor intermediate sehingga shunya naik
dan densitasnya turun. Garam intermediate selanjutnya mengalir ke atas melalui kompartemen riser
pendingin intermediate hingga memasuki alat penukar kalor pasca shutdown. Pada alat penukar kalor
pasca shutdown garam intermediate mentransferkan kalor ke fluida pelesap kalor. Garam intermediate
mengalamu penuruna suhu dan kenaikan densitas. Garam intermediate selanjutnya mengalir turun
melalui kompartemen downcomer alat penukar kalor dan kembali ke alat penukar kalor intermediate.
Sistem aliran pendingin intermediate juga dirancang sedemikian rupa sehingga aliran
garam pendingin intermediate pasca shutdown terjadi secara sirkulasi alam.ega
7. Sistem fluida pelesap kalor pasca shutdown
Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan modul reaktor PCMSR dalam kondisi shutdown normal
pada waktu awal setelah shutdown dan pada waktu cukup lama setelah shutdown. Pada saat shutdown,
air mengisi plenum isolasi shutdown dan sekaligus ruang sisi shell dari alat penukar kalor pasca
shutdown. Pada saat awal pasca shutdown, terjadi transfer kalor antara garam pendingin intermediate
dengan air melalui dinding pipa alat penukar kalor pasca shutdown.
Air akan mengalami pendidihan kolam (pool boiling) uap yang terbentuk mengalir ke atas
melalui ruang di atas kolam riser pasif dan selanjutnya terlepas ke atmosfir melalui saluran keluaran
sistem fluida heat sink. Mekanisme pendinginan pasif dengan air ini ditunjukkan pada Gambar 2
Mekanisme ini terjadi secara sirkulasi alam dan akan terus berlangsung hingga air yang mengisi kolam
riser pasif, kolam downcomer pasif dan plenum isolasi shutdown seluruhnya habis. Pada saat air ini
habis, pembangkitan kalor bahan bakar akibat peluruhan sisa produk fisi dan aktinida minor telah
berkurang.
Setelah air habis, pendinginan dilakukan dengan menggunakan udara sebagai fluida pelesap
kalor (heat sink). Garam intermediate memanasi udara pada plenum isolasi shutdown. Akibatnya suhu
udara naik dan densitasnya turun. Udara panas selanjutnya mengalir ke atas melalui ruang yang
sebelumnya adalah kolam riser pasif. Udara panas akhirnya terlepas ke atmosfir melalui saluran
keluaran pelesap kalor.
Udara lingkungan yang lebih dingin mengalir masuk untuk menggantikan udara pada plenum
isolasi shutdown yang mengalir ke atas akibat pemanasan. Udara masukan ini mengalir melalui saluran
masukan pelesap kalor dan ruang yang sebelumnya adalah kolam downcomer pasif. Aliran udara dalam
tahap ini juga terjadi secara sirkulasi alam. Tahap ini dapat berlangsung sangat lama dengan
pembangkitan kalot bahan bakar yang semakin berkurang. Mekanisme pendinginan pasif dengan aliran
udara ini ditunjukkan pada Gambar 3.

8. Tujuan sistem pelesapan kalor pasif dua tahap


Sistem pelesapan kalor pasif dua tahap ini memiliki dua tujuan, yaitu :
mereduksi ukuran dari sistem pelesapan kalor pasif
memberikan tambahan barrier pelepasan material radioaktif pada saat kalor peluruhan masih cukup
tinggi.
Berkaitan dengan tujuan pertama, sebenarnya adalah mungkin untuk mengaplikasikan sistem
pelesapan kalor pasif satu tahap, yaitu menggunakan udara sejak reaktor shutdown hingga waktu lama.
Akan tetapi udara memiliki sifat transfer kalor tidak sebaik air. Untuk itu, diperlukan luas area transfer
kalor yang lebih besar sehingga ukuran alat penukar kalor pasca shutdown lebih besar. Di samping itu
udara memiliki kalor spesifik lebih kecil daripada air. Hal ini mengakibatkan kebutuhan laju aliran
udara yang cukup tinggi. Untuk menghasilkan aliran sirkulasi alam dengan laju aliran yang cukup
tinggi, diperlukan riser yang cukup tinggi sehingga ukuran geometri sistem pelesapan kalor menjadi
cukup besar. Hal ini bertentangan dengan tujuan perancangan PCMSR yaitu untuk memperoleh desai
reaktor yang kompak
Sementara itu air memiliki sifat transfer kalor lebih baik, apalagi jika terjadi pendidihan. Hal ini
akan mereduksi luas transfer kalor yang diperlukan. Dengan demikian ukuran alat penukar kalor pasca
shutdown dengan pendingin air akan lebih kecil daripada jika digunakan pendingin udara. Air juga
mampu menampung kalor lebih banyak dari pada udara karena air memiliki nilai kalor spesifik lebih
tinggi. Jika air dibiarkan mendidih, maka kalor dapat dtampung sebagai kalor laten yang nilai
spesifiknya jauh lebih tinggi daripada kalor sensibel. Semua ini menyebabkan kebutuhan laju aliran
yang jauh lebih kecil daripada jika digunakan udara.
Dalam kondisi mengalami pendidihan, perbedaan densitas uap dengan cairan sangat besar. Hal
ini merupaka potensi yang sangat baik untuk melakukan sirkulasi alam. Dengan kebutuhan laju aliran
yang kecil dan potensi untuk sirkulasi alam yang lebih baik, maka ukuran geometri pelesapan kalor
menjadi lebih kecil, sesuai dengan tujuan pengembangan PCMSR untuk memperoleh desain reaktor
nuklir uang kompak.
Hanya saja air akan menguap dan akhirnya habis. Jika digunakan air sebagai fluida pelesap
kalor untuk jangka waktu yang lama, maka diperlukan tindakan aktif (active action) untuk mengisi
plenum isolasi shutdown pada waktu-waktu tertentu. Hal ini juga bertentangan dengan tujuan
pengembangan PCMSR yaitu untuk mendapatkan desain reaktor dengan sistem keselamatan pasif
secara total.
Untuk itu, digunakan dua tahap pelesapan kalor pasif. Air digunakan sebagai fluida pelesap
kalor pada tahap awal, yaitu ketika laju pembangkitan kalor pasca shutdown masih cukup tinggi. Air
digunakan berdasarkan sifat-sifat transfer kalor dan potensi aliran sirkulasi alam yang jauh lebih baik
daripada udara. Hal ini akan mereduksi ukuran alat penukar kalor pasca shutdown serta tinggi saluran
untuk sirkulasi alam. Sementara air akan semakin berkurang dan hingga akhirnya habis, maka laju
pembangkitan kalor bahan bakar juga semakin berkurang.
Selanjutnya udara digunakan sebagai pelesap kalor ketika air telah habis. Sementara itu laju
pembangkitan kalor bahan bakar sudah sangat rendah dibandingkan dengan pada waktu awal pasca
shutdown. Karena kalor yang harus dibuang cukup rendah, maka tidak diperlukan ukuran alat penukar
kalor pasca shutdown dan tinggi saluran untuk sirkulasi alam yang sangat besar. Penggunaan udara
sebagai fluida pelesap kalor tidak memerlukan tindakan aktif berupa penambahan udara.
Dengan demikian, dengan konsep dua tahap ini, pelesapan kalor pasif secara total dapat
diaplikasikan dengan ukuran geometri yang tidak terlalu besar.
Berkaitan dengan tujuan kedua, air berfungsi sebagai penghalang tambahan bagi pelepasan
material radioaktif ke lingkungan. Materal radioaktif dalam hal ini berupa produk fisi dan aktinida yang
terdapat dalam garam bahan bakar. Penghalang bagi pelepasan material radioaktif yang berupa
senyawa garam adalah :
Batas fisik antara bahan bakar dan garam pendingin primer (termasuk alat penukar kalor utama)
Batas fisik antara garam pendingin primer dan garam pendingin intermediate (termasuk alat
penukar kalor intermediate)
Batas fisik antara garam pendingin intermediate dengan fluida pelesap kalor (termasuk alat penukar
kalor pasca shutdown)
Material radioaktif yang terdapat dalam bahan bakar hanya akan terlepas ke lingkungan jika
ketiga penghalang ini semuanya gagal (rusak). Peluang kegagalan bersama ketiga penghalang ini
tentunya sangat kecil. Sekalipun bernilai sangat kecil, peluang kegagalan ini bernilai lebih besar pada
saat laju pembangkitan kalor tinggi dibandingkan pada saat laju pembangkitan kalor telah menjadi
cukup rendah. Dengan kata lain, sekalipun bernilai sangat kecil, peluang kegagalan pada waktu awal
pasca shutdown lebih tinggi dibandingkan pada waktu cukup lama pasca shutdown.
Untuk itu, air memberikan barrier tambahan untuk waktu awal pasca shutdown. Jika
penghalang yang disebutkan pertama dan kedua tersebut mengalami kegagalan, maka terjadi
percampuran antara garam bahan bakar, garam pendingin primer dan garam pendingin intermediate.
Karena volume garam bahan bakar jauh lebih kecil daripada volume garam primer dan garam
intermediate, maka percampuran ini akan memberikan efek pengenceran (dilution) material radiaoaktif.
Hal ini akan mengurangi peluang pelepasan ke lingkungan.
Seandianya penghalang yang disebutkan terakhir juga mengalami kegagalan, maka terjadi
pertemuan antara air dengan garam fluoride. Secara fisik, garam fluoride tidak besifat tercampur dan
tidak bereaksi secara kimia dengan air. Beberapa senyawa garam fluoride larut dalam air dengan
kelarutan kecil. Dengan demikian, mateial radioaktif akan tertahan sebagai larutan. Ketika air
menguap, maka senyawa garam yang pada umumnya memiliki volatilitas jauh lebih rendah daripada
air ini tidak ikut menguap. Dengan demikian barrier tambahan dalam hal ini adalah tertahannya
material radioaktif tersebut sebagai larutan dalam air.
Pada tahap kedua, yaitu setelah air habis dan pendinginan dilakukan dengan menggunakan
sirkulasi alam udara, tentu saja barrier (penghalang) tambahan ini menjadi tidak ada. Akan tetapi, pada
tahap tersebut laju pembangkitan kalor bahan bakar telah jauh berkurang sehingga peluang kegagalan
ketiga penghalang yang disebutkan di atas menjadi lebih kecil.

IV. KECELAKAAN YANG MUNGKIN TERJADI PADA PCMSR DAN PENANGANANNYA

A. Penjelasan Umum

Pada PCMSR, kecelakaan yang bersifat katastropik, yaitu yang akan melepaskan material
radioaktif dalam jumlah besar dari kungkungannya hampir tidak mungkin untuk terjadi. Pada desain
LWR, kecelakaan katastropik diawali dari Loss of Cooling Accident (LOCA). LOCA ini menyebabkan
reaktor mengalami overheating dan akhirnya mengalami kegagalan integritas. Kegagalam integritas
selanjutnya menyebabkan material radioaktif terlepas dari kunkungannya.
PCMSR beroperasi dengan tekanan rendah sehingga gaya pendorong bagi lepasnya pendingin
dari reaktor secara ekspansif menjadi hampir tidak ada. PCMSR mengunakan desain integral di mana
bahan bakar dan pendingin berada dalam sebuah bejana. Dengan desain ini, tidak terdapat pemipaan
pendingin primer di luar bejana. Peluang tumpahnya pendingin primer akibat pecahnya pipa di luar
bejana menjadi tidak ada. PCMSR memiliki pemipaan eksternal (pemipaan di luar bejana) untuk
pendingin intermediate. Akan tetapi pemipaan tersebut diposisikan pada ujung atas bejana. Jika pipa
tersebut pecah, pendingin intermediate tidak keluar dari bejana reaktor.
Tumpahnya garam radioaktif dalam jumlah besar hanya bisa terjadi jika sistem bejana reaktor
rusak. Akan tetapi hal ini hampir tidak mungkin untuk terjadi. Untuk bisa tumpah semacam ini, bahan
bakar garam dilindungi dengan beberapa lapis penghalang (barrier), yaitu :
batas pemisah antara bahan bakar dan pendingin primer
dinding bejana sistem reaktor
silo beton
Jika batas pemisah yang disebutkan pertama gagal, maka terjadi percampuran antara garam
bahan bakar dan garam pendingin primer. Pencampuran ini bersifat mengencerkan material radioaktif
yang terdapat pada garam bahan bakar serta menghasilkan komposisi sangat subkritis. Hal ini akan
sangat mengurangi potensi bahaya pada tahap propagasi kecelakaan berikutnya.
Jika selanjutnya bejana reaktor mengalami kegagalan, maka pada desain PCMSR campuran
bahan bakar dan pendingin tersebut tidak tumpah tetapi mengisi ruang dalam silo beton. Sistem silo
beton dilengkapi dengan sistem pendinginan pasif. Hanya jika silo beton juga gagal, maka material
radioaktif dapat mencapai lingkungan.
Untuk mampu menimbulkan kerusakan (kegagalan), harus terdapat kekuatan penyebab.
PCMSR beroperasi pada tekanan rendah, sehingga gaya mekanik akibat tekanan fluida tidak akan
cukup untuk mengakibatkan kegagalam tersebut. Penyebab kegagalan yang mungkin berupa suhu,
korosi dan gaya mekanik akibat gerakan eksternal (misalnya gempa bumi).
Berkaitan dengan suhu, maka PCMSR memang beroperasi pada suhu tinggi. Akan tetapi semua
material pada bejana sistem reaktor dan juga silo beton adalah material yang tahan suhu tinggi. Dalam
masalah korosi, berbagai penelitian telah dilakukan dan telah berhasil mengembangkan material yang
memiliki ketahanan korosi terhadap garam fluoride pada suhu tinggi. Sementara itu, berkaitan dengan
gaya mekanik eksternal, terutama gempa, berbagai sistem isolasi seismik telah dikembangkan.
Dengan demikian kecelakaan semacam LOCA pada PCMSR dapat diasumsikan tidak mungkin
terjadi. Sementara itu, PCMSR merupakan reaktor pembiak (breeder) dan beroperasi dengan moda
pengisian ulang dan reprosesing bahan bakar secara on line. Semuanya ini memungkinkan PCMSR
untuk beroperasi dengan reaktvitas lebih yang sangat kecil. Bahkan pada kondisi operasi setimbang
antara aspek neutronik dan termal hidraulik, PCMSR pada dasarnya tidak punya reaktivitas lebih. Sifat
bahan bakar PCMSR adalah memiliki koefisien reaktivitas suhu yang negatif. Dengan reaktivitas suhu
yang negatif serta reaktivitas lebih yang sangat kecil atau bahkan nol, maka kecelakaan reaktivitas
berupa ekskursi daya tidak mungkin terjadi pada PCMSR. Dengan demikian, kecelakaan yang terjadi
pada PCMSR tidak bersifat katastropik sebagaimana pada desain reaktor sekarang (LWR da HWR)

B. Kecelakaan yang mungkin terjadi pada PCMSR

Kecelakaan yang dipostulasian dapat terjadi pada PCMSR adalah :


Kecelakaan kehilangan aliran bahan bakar (Loss of Fuel Flow Accident = LOFFA)
Kecelakaan kehilangan aliran pendingin (Loss of Coolant Flow Accident = LOCFA)
Kecelakaan kehilangan pelesap kalor untuk operasi normal (Loss of Heat Sink Accident = LHSA)
Kecelakaan pecahnya pipa pendingin intermediate yang menghubungkan sistem reaktor dengan
sistem turbin
Kecelakaan kehilangan integritas sistem bejana reactor (Loss of Vessel Integrity Accident = LVIA)
Semua kecelakaan ini akan dengan sendirinya membawa PCMSR ke kondisi shutdown
sekalipun jika mekanisme untuk menshutdown reaktor gagal dilakukan. Dengan demikian desain
PCMSR mengaplikasikan konsep shutdown pasif, yaitu gangguan yang mengarah kepada kecelakaan
akan dengan sendirinya menshutdown reaktor tanpa adanya mekanisme shutdown lainnya.

1. Kecelakaan kehilangan aliran bahan bakar (Loss of Fuel Flow Accident = LOFFA)
Kecelakaan kehilangan aliran bahan bakar terjadi akibat kegagalan pompa sirkulasi bahan bakar
atau kegagalan sistem pengatur katup aliran bahan bakar. Dalam hal ini diasumsikan sistem pengatur
reaktivitas bantu tidak bekerja untuk menshutdown reaktor.
Kegagalan sistem pengatur katup aliran bahan bakar akan menyebabkan katup tersebut akan
menjadi terbuka penuh sehingga laju aliran bahan bakar dari reaktor ke alat penukar kalor utama yang
terjadi secara gravitasi melebihi laju aliran bahan bakar maksimal dari alat penukar kalor utama ke
reaktor yang dapat dilakukan oleh pompa sirkulasi bahan bakar. Demikian juga kegagalan pompa
sirkulasi bahan bakar mengakibatkan aliran bahan bakar dari alat penukar kalor utama ke reaktor
menjadi terhenti sedangkan aliran bahan bakar dari reaktor ke alat penukar kalor utama tetap
berlangsung akibat gravitasi.
Pada kedua jenis kegagalan tersebut, reaktor pada akhirnya akan kosong dari bahan bakar
sehingga reaksi fisi berantai di reaktor tidak dapat berlangsung. Seluruh bahan bakar akhirnya mengisi
penuh alat penukar kalor utama pada ruang sisi shell. Sementara ruang pada sisi tube telah terisi oleh
garam pendingin. Garam pendingin mengandung Li6 yang memiliki sifat serapan neutron tinggi. Oleh
karena itu, bahan bakar dalam alat penukar kalor utama tidak akan mampu mencapai kondisi kritis
sehingga reaksi fisi berantai tidak akan terjadi.
Dengan demikian kegagalan pompa sirkulasi bahan bakar dan sistem pengatur katup aliran
bahan bakar, atau dengan kata lain kecelakaan kehilangan aliran bahan bakar, akan membawa reaktor
dalam kondisi shutdown yang sama dengan kondisi shutdown normal. Proses pembuangan kalor
peluruhan selanjutnya terjadi dengan mekanisme yang sama dengan proses pembuangan kalor pada
kondisi shutdown normal.

2. Kecelakaan kehilangan aliran pendingin (Loss of Coolant Flow Accident = LOCFA)


Kecelakaan kehilangan aliran pendingin terjadi akibat kegagalan sistem aliran pendingin
intermediate baik akibat sumbatan aliran atau kegagalan pompa pendingin intermediate. Pada PCMSR
berdaya besar, kegagalan aliran pendingin juga disebabkan oleh kegagalan pompa pendingin primer.
Kehilangan ini bisa bersifat total atau parsial. Diasumsikan dalam hal ini sistem yang lain termasuk
sistem aliran bahan bakar bekerja secara normal dan sistem pengatur reaktivitas bantu tidak bekerja
untuk menshutdown reaktor.
Dengan hilangnya aliran pendingin (baik pendingin intermediate maupun pendingin primer,
baik secara parsial maupun total), pengambilan kalor bahan bakar dari bahan bakar tidak berlangsung
optimal sehingga suhu bahan bakar akan naik.
Pada kasus kegagalan aliran pendingin secara parsial, masih terjadi aliran pendingin tetapi
dengan laju aliran di bawah laju aliran operasi yang diharapkan. Karena bahan bakar memiliki
koefisien reaktivitas suhu yang negatif, maka kenaikan suhu bahan bakar akan memberikan efek umpan
balik daya negatif sehingga daya reaktor akan berkurang. Berkurangnya daya akan menurunkan suhu
bahan bakar. Proses ini terus berlangsung sampai terjadi kesetimbangan aspek neutronik dan
termalhiddraulik (laju aliran dan suhu) tercapai. Daya reaktor ditentukan dari kesetimbangan ini sesuai
dengan laju aliran pendingin pada saat itu. Daya ini tentunya lebih rendah dari tingkat daya nominal
yang diharapkan. Semakin besar laju aliran pendingin tereduksi, semakin rendah tingkat daya
kesetimbangan yang dapat dicapai.
Pada kasus kehilangan aliran pendingin secara total, maka kenaikan suhu bahan bakar terjadi
secara cepat. Suhu bahan bakar akhirnya melampaui titik lebur dari katup aliran bahan bakar. Katup
aliran bahan bakar akhirnya melebur dan saluran penghubung antara reaktor dengan alat penukar kalor
utama terbuka penuh. Bahan bakar akan mengalir secara gravitasi ke alat penukar kalor utama dengan
laju aliran melebihi kemampuan maksimal pompa bahan bakar untuk mengalirkan kembali bahan bakar
dari alat penukar kalor utama ke reaktor.
Reaktor akhirnya kosong dari bahan bakar dan semua bahan bakar mengisi penuh ruang sisi
shell dari alat penukar kalor utama. Hal ini tidak lain adalah kondisi yang sama dengan kondisi
shutdown normal. Dengan kata lain, kehilangan total aliran pendingin akan membawa reaktor pada
kondisi shutdown tanpa memerlukan mekanisme shutdown lainnya. Proses pembuangan kalor
peluruhan selanjutnya terjadi dengan mekanisme yang sama dengan proses pembuangan kalor pada
kondisi shutdown normal.

3. Kecelakaan kehilangan pelesap kalor untuk operasi normal (Loss of Heat Sink Accident = LHSA)
LHSA terjadi berkaitan dengan kegagalan sistem turbin. Kegagalan sisdtem turbin bisa bersifat
parsial atau total. Akibat kegagalan sistem turbin, tidak sekua kalor yang dibangkitkan reaktor dapat
dimanfaatkan oleh sistem turbin. Dalam hal ini diasumsikan bahwa sistem lainnya (sistem sirkulasi
bahan bakar da sistem sirkulasi pendingin baik primer maupun intemediate) berlangsung normal. Juga
diasumsikan bahwa sistem pengatur reaktivitas bantu tidak bekerja untuk menshutdown reaktor.
Pada kegagalan parsial, hanya sebagian kalor yang dapat dimanfaatkan oleh sistem turbin.
Bahan bakar akan mengalami overheating. Kenaikan suhu bahan bakar akan memberikan efek
reaktivitas negatif sehingga daya reaktor turun. Efek yang terjadi adalah sama dengan kegagalan parsial
sistem pendingin (LOCFA secara parsial). Kesetimbangan daya baru akan terbentuk dengan tingkat
daya yang lebih rendah daripada tingkat daya nominal yang diharapkan.
Pada LHSA secara total, sistem turbin sama sekali tidak mampu untuk memanfaatkan kalor
yang dibangkitkan oleh reaktor. Bahan bakar akan mengalami kenaikan suhu lebih cepat hingga
melampaui titik lebur katup aliran bahan bakar. Selanjutnya terjadi hal yang sama sebagaimana pada
kecelakaan jenis LOCFA secara total.
Seluruh bahan bakar akan mengisi ruamg sisi shel dari alat penukar kalor utama, yaitu
sebagaimana pada kondisi shutdown secara normal. Proses pembuangan kalor peluruhan selanjutnya
terjadi dengan mekanisme yang sama dengan proses pembuangan kalor pada kondisi shutdown normal.

4. Kecelakaan pecahnya pipa pendingin intermediate yang menghubungkan sistem reaktor dengan
sistem turbin
Kecelakaan ini memberikan efek yang sama dengan kecelakaan kehilangan aliran pendingin
intermediate secara total. Hanya saja pada kecelakaan ini sempat terjadi tumpahnya pendingin
intermediate. Karena saluran masukan dan keluaran pendingin intermediate ditempatkan pada ujung
atas bejana sistem reaktor, maka pada bejana sistem reaktor masih tersisa pendingin intermediate
dengan permukaan di atas posisi masukan alat penukar kalor pasca shutdown. Dengan demikian
sirkulasi alam pendingin intermediate antara alat penukar kalor intermediate dengan alat penukar kalor
pasca shutdown masih mungkin untuk terjadi.
Proses pembuangan kalor peluruhan selanjutnya terjadi dengan mekanisme yang sama dengan
proses pembuangan kalor pada kondisi shutdown normal, dengan perbedaan bahwa sebagian kecil
pendingin intermediate telah tumpah. Gambar 4 menunjukkan kondisi PCMSR pada wktu awal setelah
kecelakaan semacam semantera Gambar 5 menunjukkan kondisi untuk waktu yang cukup lama.
Dalam hal ini, juga diambil asumsi bahwa sistem pengatur reaktivitas bantu tidak bekerja untuk
menshutdown reaktor.
12 12

Gambar 4. Modul Reaktor PCMSR dalam kondisi Gambar 5. Modul Reaktor PCMSR dalam kondisi
setelah kecelakaan pecahnya pipa pendingin setelah kecelakaan pecahnya pipa pendingin
intermediate untuk waktu awal intermediate untuk waktu lama

5. Kecelakaan kehilangan integritas sistem bejana reactor (Loss of Vessel Integrity Accident = LVIA)
Kecelakaan kehilangan integritas sistem bejana reaktor adalah kecelakaan yang menyebabkan
rusaknya batas pemisah antara bahan bakar, garam pendingin primer dan garam pendingin intermediate
hingga bejana sistem reaktor.

a. Kerusakan batas penisah antara pendingin primer dan pendingin intermediate


Kerusakan batas pemisah antara pendingin primer dan pendingin intermediate menyebabkan
percampuran antara pendingin primer dengan pendingin intermediate. Garam pendingin primer dan
garam pendingin intermediate mempunyai komposisi sama, yaitu LiF-NaF-KF dengan lithium alam
yang mengandung Li6. Akibat dari kerusakan ini adalah berkurangnya satu penghalang (barrier)
terlepasnya material radioaktif (garam bahan bakar) ke lingkungan. Campuran garam pendingin primer
dan garam pendingin intermediate akan mengalir dari sistem bejana reaktor ke sistem turbin.
Selama batas pemisah antara garam bahan bakar dan garam pendingin primer tidak mengalami
kerusakan, maka rusaknya batas pemisah antara garam pendingin primer dan garam pendingin
intermediate tidak akan menimbulkan efek yang membahayakan, yaitu terlepasnya material radioaktif
(garam bahan bakar ke lingkungan). Kerusakan ini juga tidak menyebabkan terjadinya kondisi yang
mengarahkan kepada reaktor untuk shutdown.
Karena tahap transfer kalor berkurang satu, suhu bahan bakar akan turun. Hal ini justru akan
memberikan umpan balik reaktivitas positif dan akan menaikkan daya reaktor. Sistem pengaturan
reaktivitas bantu diperlukan jika reaktor diinginkan untuk tetap beroperasi dalam kondisi ini pada daya
nominal yang dikehendaki.
Jika kondisi ini tidak dikehendaki karena berkurangnya satu penghalang (barrier) dipandang
akan meningkatkan peluang terlepasnya material radioaktif (garam bahan bakar) ke lingkungan, maka
reaktor harus di-shutdown. Karena kerusakan batas pemisah antara garam primer dan garam
intermediate tidak memberikan efek yang mengarahkan reaktor kepada kondisi shutdown, maka dalam
hal ini reaktor hanya dapat di-shutdown dengan cara aktif. Cara shutdown aktif dapat dilakukan dengan
menggunakan mekanisme shutdown utama, yaitu dengan mematikan pompa sirkulasi bahan bakar atau
dengan mematikan mekanisme pengaturan katup aliran bahan bakar. Cara shutdown aktif juga dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem pengaturan reaktivitas bantu yaitu dengan menyisipkan
penyerap neutron ke reaktor.

b. Kerusakan batas pemisah antara garam bahan bakar dengan garam pendingin primer
Kerusakan batas pemisah antara garam bahan bakar dengan garam pendingin primer
menyebabkan percampuran antara garam bahan bakar dengan garam pendingin primer. Garam
pendingin primer mengandung Li6. Akibat percampuran ini, Li6 yang memiliki sifat serapan neutron
tinggi akan mencemari bahan bakar sehingga bahan bakar di reaktor tidak dapat mempertahankan
kondisi kritis dan reaktor akar shutdown. Hal ini dapat terjadi sekalipun sistem pengaturan reaktivitas
bantu tidak bekerja untuk menshutdown reaktor. Percampuran ini sekaligus akan mengencerkan
konsentrasi material radioaktif bahan bakar.
Karena reaktor shutdown, maka pompa sirkulasi bahan bakar dan sistem pengaturan katup
aliran bahan bakar akan mati. Demikian juga pompa pendingin primer (jika ada) dan pompa pendingin
intermediate juga akan mati. Mekanisme penahan katup isolasi shutdown juga akan mati sehingga
katup isolasi shutdown terbuka dan plenum isolasi shutdown terisi oleh air.
Ketika batas pemisah antara garam bahan bakar dan pendingin primer mengalami kerusakan,
campuran garam bahan bakar dan pendingin primer akan mengisi ruang kompartemen bahan bakar dan
ruang gas kover. PCMSR dirancang dengan meminimalkan volume garam bahan bakar tetapi memiliki
garam pendingin primer dengan volume cukup besar. Karena volume garam pendingin primer cukup
besar, maka campuran garam bahan bakar dan garam pendingin primer mampu mengisi dengan
ketinggian permukaan di atas saluran masuk alat penukar kalor intermediate.
Campuran garam pendingin primer dan garam bahan bakar mampu melakukan sirkulasi alam
dari alat penukar kalor utama ke alat penukar kalor intermediate untuk mentransferkan kalor pasca
shutdown. Pada alat penukar kalor intermediate, garam intermediate mengambil kalor tersebut dan
kemudian mengalir secara sirkulasi alam ke alat penukar kalor pasca shutdown.
Pada alat penukar kalor pasca shutdown, kalor ini selanjutnya ditransfer ke fluida pelesap kalor
yaitu air pada waktu awal atau udara untuk waktu cukup lama. Gambar 6 menunjukkan PCMSR dalam
kondisi kerusakan batas pemisah garam bahan bakar dan garam pendingin primer untuk waktu awal
dan Gambar 7 menunjukkan PCMSR pada kondisi serupa untuk waktu lama.
12 12

Gambar 6. Modul Reaktor PCMSR dalam kondisi Gambar 7. Modul Reaktor PCMSR dalam kondisi
kerusakan batas pemisah antara garam bahan kerusakan batas pemisah antara garam bahan
bakar dan garam pendingin primer untuk waktu bakar dan garam pendingin primer untuk waktu
awal lama

c. Kerusakan batas pemisah antara garam bahan bakar, garam pendingin primer dan garam pendingin
intermediate sekaligus
Pada kondisi ini terjadi percampuran antara garam bahan bakar, garam pendingin primer dan
garam pendingin intermediate. Campuran ini mengisi ruang bejana sistem reaktor yang sudah tidak lagi
tersekat secara efektif. PCMSR dirancang untuk memiliki volume garam intermediate cukup besar
sehingga campuran ini mengisi ruang bejana sistem reaktor hingga permukaannya di atas masukan alat
penukar kalor pasca shutdown.
Percampuran ketiga garam ini akan mengencerkan material radioaktif yang terdapat pada garam
bahan bakar dan sekaligus menyebabkan kondisi kekritisan tidak dapat tercapai. Reaktor selanjutnya
akan menjadi shutdown sekalipun sistem pengaturan reaktivitas bantu tidak bekerja untuk
menshutdown reaktor.
Pembuangan kalor pasca shutdown selanjutnya terjadi melalui serangkaian alira sirkulasi alam
dari alat penukar kalor utama ke alat penukar kalor intermediate dan dari alat penukar kalor
intermediate ke alat penukar kalor pasca shutdown. Pada alat penukar kalor pasca shutdown, kalor
selanjutnya ditransfer ke fluida pelesap kalor yaitu air pada waktu awal atau udara untuk waktu cukup
lama. Gambar 8 menunjukkan PCMSR dalam kondisi kerusakan batas pemisah garam bahan bakar,
garam pendingin primer dan garam pendingin intermediate sekaligus untuk waktu awal dan Gambar 9
menunjukkan PCMSR pada kondisi serupa untuk waktu lama.

12 12

Gambar 8. Modul Reaktor PCMSR dalam kondisi Gambar 9. Modul Reaktor PCMSR dalam kondisi
kerusakan batas pemisah antara garam bahan kerusakan batas pemisah antara garam bahan
bakar, garam pendingin primer dan garam bakar, garam pendingin primer dan garam
pendingin intermediate sekaligus untuk waktu pendingin intermediate sekaligus untuk waktu
awal lama

d. Kerusakan total integritas bejana sistem reaktor


Dalam kondisi ini, disamping kerusakan batas pemisah garam bahan bakar, garam pendingin
primer dan garam pendingin intermediate, kerusakan juga terjadi pada bejana sistem reaktor. Peluang
kerusakan semacam ini tentu saja sangat kecil. Garam bahan bakar, garam pendingin primer dan garam
pendingi intermediate akan saling tercampur. Percampuran ini mengencerkan materal radioaktif garam
bahan bakar dan sekaligus menyebabkan reaktor shutdown. Campuran ketiga fluida ini akan mengisi
ruang dalam silo beton. Kalor peluruhan ditransfer secara konduksi melalui dinding silo beton dan
selanjutnya diterima oleh fluida pelesap kalor yang mengalir melalui sistem saluran pendinginan pasif
silo beton.

V. MODUL TURBIN PCMSR

1. Sistem Konversi Energi pada PCMSR

PCMSR merupakan reaktor yang menggunakan bahan bakar dan pendingin (baik primer
maupun intermediate) berupa garam lebur. Garam lebur memiliki titik didih sangat tinggi, yaitu sekitar
1400 derajat C. Terdapat variasi titik didih berdasarkan bahan campuran garamnya. Garam bahan bakar
yang mengandung senyawa fluoride dari aktinida memiliki titik didih yang lebih tinggi. Sementara itu,
PCMSR menggunakan material yang tahan suhu tinggi seperti grafit sebagai moderator dan grafit
komposit sebagai material struktur serta material lainnya yang tahan suhu tinggi sebagai bejana, pipa
dan peralatan lainnya yang berada dalam bejana sistem reaktor.
Dengan pengginaan bahan bakar yang memiliki titik didih tinggi serta material yang tahan suhu
tinggi, maka PCMSR dapat dioperasikan pada suhu tinggi dengan tekanan rendah. Karena dapat
dioperasikan pada suhu tinggi, sistem konversi energi pada PCMSR tidak lagi menggunakan siklus
Rankine (siklus mesin turbin uap) sebagaimana yang banyak digunakan pada reaktor nuklir sekarang.
PCMSR menggunakan mesin turbin gas dengan siklus Brayton. Karena garam lebur memiliki
kalor spesifik cukup tinggi, maka PCMSR dapat dioperasikan dengan beda suhu masukan dan keluaran
dari fluida pendingin intermediate (demikian juga dengan fluida pendingin primer dan garam bahan
bakar) yang tidak terlalu besar. Dengan pengoperasian pada suhu tinggi dan beda suhu masukan
keluaran yang tidak begitu besar, maka PCMSR akan menjadi lebih efektif untuk mengunakan siklus
Brayton multi reheat (banyak tingkat pemanasan) multi cooling (banyak tingkat pendinginan)
regeneratif. Siklus semacam ini mendekati siklus ideal teoritis, yaitu siklus Ericsson (setara dengan
siklus Carnot) sehingga mampu menghasilkan efisiensi konversi tinggi. Efisiensi konversi lebih dari 50
% dapat dicapai dengan suhu maksimum gas masuk turbin sekitar 1000 derajat C.
Gambar 10 menunjukkan diagram skematik sistem konversi energi pada PCMSR. Sistem
konversi tersebut terdiri dari 4 tingkat turbin dan 4 tingkat kompresor. Jumlah tingkat turbin atau
kompresor sebanyak 4 ini dianggap sebagai jumlah yang optimal. Kurang dari jumlah tersebut,
efisiensi termal maksimal yang dicapai akan lebih rendah. Lebih dari jumlah tersebut, terjadi
peningkatan efisiensi termal. Akan tetapi peningktanan ini relatif sedikit dibandingkan dengan
peningkatan kerumitan akibat penambahan jumlah tingkat turbin atau kompresor.
Semua alat penukar kalor pada Gambar 10 bertipe shell dan tube (cangkang dan pipa). Pada alat
penukar kalor pemanas (heater) fluida kerja sistem konversi mengalir di dalam pipa (sisi pipa / tube)
dan garam pendingin intermediate mengalir di luar pipa (sisi cangkang / shell). Pada rekuperator, fluida
kerja sistem konversi bertekanan tinggi mengalir di dalam pipa (sisi pipa / tube) dan fluida kerja sistem
konversi bertekanan rendah mengalir di luar pipa (sisi cangkang / shell). Pada alat penukar kalor
pendingin (cooler), fluida kerja sistem konversi mengalir di dalam pipa (sisi pipa / shell) dan fluida
pendingin sistem konversi (air) mengalir di luar pipa (sisi cangkang / shell).
Secara proses transfer pada PCMSR (yaitu pada operasi normal) dari reaktor ke sistem konversi
energi dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Bahan bakar membangkitkan kalor akibat reaksi fisi pada reaktor
b) Bahan bakar selanjutnya dialirkan ke alat penukar kalor primer secara gravitasi dan
dkembalikan ke reaktor oleh pompa sirkulasi bahan bakar
c) Pada alat penukar kalor primer, bahan bakar menstransferkan kalor ke pendingin primer
d) Pendingin primer selanjutnya bersirkulasi ke alat penukar kalor intermediate dan kembali ke
alat penukar primer. Sirkulasi ini dapat berlangsung secara alamiah (untuk daya kecil) atau
dengan pompa sirkulasi pendingin primer (untuk daya besar)
e) Pada alat penukat kalor intermediate, pendingin primer mentransferkan kalornya ke pendingin
intermediate.
f) Pendingin intermediate selanjutnya dialirkan ke 4 alat pemanas (heater) sistem turbin secara
paralel dan selanjutnya dikembalikan ke alat penukar kalor intermediate. Aliran ini dilakukan
dengan menggunakan pompa sirkulasi pendingin intermediate.

10 9 8 7 PCMSR ENERGY
6
CONVERSION SYSTEM
4
SCHEMATIC DIAGRAM

1 20
19 18 17 16

14 13 12 11

15 24 23 22 21

26
3 2 5
25

1. Reactor 14. 4th stage turbine (low pressure)


2. Primary heat exchanger 15. Recuperator
3. Fuel circulation pump 16. 1st stage compressor (low pressure)
4. Intermediate heat exchanger 17. 2nd stage compressor (medium low pressure)
5. Primary coolant circulation pump (if necessary) 18. 3rd stage compressor (medium high pressure)
6. Intermediate coolant circulation pump 19. 4th stage compressor (high pressure)
7. 1 st stage heater (high presure) 20. Electric generator
8. 2 nd stage heater (medium high pressure) 21. 1st stage cooler (low pressure)
9. 3 rd stage heater (medium low pressure) 22. 2nd stage cooler (medium low pressure)
10. 4 th stage heater (low pressure) 23. 3rd stage cooler (medium high pressure)
11. 1 st stage turbine (high pressure) 24. 4th stage cooler (high pressure)
12. 2 nd stage turbine (medium high pressure) 25. Cooling water circulation pump
13. 3 rd stage turbine (medium low pressure) 26. Heat sink system

Gambar 10. Diagram skematik sistem konversi energi pada PCMSR

Adapun aliran fluida kerja sistem turbin dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Fluida kerja bertekanan tinggi setelah keluar dari rekuperator dialirkan ke alat penukar kalor
pemanas (heater) tingkat 1 yang bertekanan tinggi untuk mererima kalor dari pendingin
intermediate
b) Fluida kerja selanjutnya diekspansikan pada turbin tingkat 1 hingga tekanannya turun menjadi
tekanan medium tinggi
c) Selanjutnya fluida kerja dialirkan ke alat penukar kalor pemanas (heater) tingkat 2 dengan
tekanan medium tinggi untuk menerima kalor dari pendingin intermediate
d) Fluida kerja selanjutnya diekspansikan pada turbin tingkat 2 hingga tekanannya turun menjadi
tekanan medium rendah
e) Selanjutnya fluida kerja dialirkan ke alat penukar kalor pemanas (heater) tingkat 3 yang
bertekanan medium rendah untuk menerima kalor dari pendingin intermediate
f) Fluida kerja selanjutnya diekspansikan pada turbin tingkat 3 hingga tekanannya turun menjadi
tekanan rendah
g) Selanjutnya fluida kerja dialirkan ke alat penukar kalor pemanas (heater) tingkat 4 yang
bertekanan rendah
h) Fluida kerja selanjutnya diekspansikan pada turbin tingkat 4 hingga tekanannya turun menjadi
tekanan terendah dari sistem konversi
i) Fluida kerja yang keluar dari turbin tingkat rendah (bertekanan terendah) selanjutnya dialirkan
ke sisi shell dari rekuperator dan mentransferkan kalor kepada (memanasi) fluida kerja
bertekanan tinggi yang mengalir pada sisi tube dari rekuperator
j) Fluida kerja bertekanan rendah keluar dari rekuperator dialirkan ke alat penukar kalor pendingin
(cooler) tingkat 1 untuk mentransferkan kalor ke fluida pendingin sistem konversi (air)
k) Fluida kerja selanjutnya dikompresi oleh kompresor tingkat 1 hingga mencapai tekanan rendah
l) Selanjutnya fluida kerja dialirkan ke alat penukar kalor pendingin (cooler) tingkat 2 untuk
menstransferkan kalor ke fluida pendingin sistem konversi (air)
m) Fluida kerja selanjutnya dikompresi oleh kompresor tingkat 2 hingga mencapai tekanan
medium rendah
n) Selanjutnya fluida kerja dialirkan ke alat penukar kalor pendingin (cooler) tingkat 3 untuk
menstransferkan kalor ke fluida pendingin sistem konversi (air)
o) Fluida kerja selanjutnya dikompresi oleh kompresor tingkat 3 hingga mencapai tekanan
medium tinggi
p) Selanjutnya fluida kerja dialirkan ke alat penukar kalor pendingin (cooler) tingkat 4 untuk
menstransferkan kalor ke fluida pendingin sistem konversi (air)
q) Fluida kerja selanjutnya dikompresi oleh kompresor tingkat 4 hingga mencapai tekanan tinggi
r) Fluida kerja bertekanan tinggi setelah keluar dari kompresor bertekanan tinggi selanjutnya
dialirkan melalui sisi tube dari rekuperator untuk menerima kalor dari fluida kerja bertekanan
terendah yang mengalir pada sisi shell dari rekuperator.
s) Selanjutnya fluida kerja bertekanan tinggi yang keluar dari rekuerator dialirkan kembali ke alat
penukar kalor pemanas (heater) tingkat 1 hingga siklus aliran fluida kerja terulang kembali.
Fluida pendingin sistem konversi (air) setelah menerima kalor dari keempat alat penukar kalor
pendingin (cooler) secara paralel dialirkan ke sistem pelesap kalor (heat sink system). Dari sistem
pelesap kalor, fluida pendingin sistem konversi (air) selanjutnya dipompakan kembali ke keempat alat
penukar kalor pendingin (cooler) secara paralel. Pengaliran ini dilakukan dengan menggunakan pompa
sirkulasi pendingin sistem konversi.
Sistem pelesap kalor dapat berupa badan air alamiah yang cukup besar (sungai, danau atau laut)
atau dengan menstransferkan kalor ke udara lingkungan dengan menggunakan semacam menara
pendingin (cooling tower) baik tipe basah maupun tipe kering serta bai yang menggunakan aliran udara
secara alamiah maupun yang menggunakan aliran udara dengan konveksi paksa.

2. Modul Turbin PCMSR dan Komponen-komponennya

PCMSR dirancang sebagai sistem reaktor nuklir dengan tingkat modularitas tinggi. Untuk ini
sistem turbin dan komponen-komponen pendukungnya dirancang secarai integral sebagai satu modul
yaitu modul turbin. Gambar 11 menunjukkan modul turbin dari PCMSR. Modul turbin ini terdiri dari
dua kelompok komponen, yaitu modul sistem turbin dan komponen pendukung. Modul sistem turbin
berupa suatu sistem turbine yang dikemas secara integral.
PASSIVE COMPACT MOLTEN SALT
REACTOR (PCMSR) 9. 1st stage heater (high pressure)
TURBINE SYSTEM 10. 1st stage cooler (low pressure)
11. Recuperator
REMARKS : 12. Bottom bearing and flywheel
1. 1st stage turbine (high pressure) 13. Top bearing and flywheel
2. 2nd stage turbine (medium high 14. Generator
pressure) 15. Exciter
3. 3rd stage turbine (medium low 15 16. Electrical bush
pressure) 17. Intermediate salt expansion tank
4. 4th stage turbine (low pressure) 18. intermediate salt pump
5. 1st stage compressor (low pressure) 19. Helium storage tank for turbine maintenance
6. 2nd stage compressor 20. Compartment for helium purification system
(medium low pressure) 21. Compartment for auxiliary machinery system
7. 3rd stage compressor 22. Compartment for auxiliary electrical system
(medium high pressure) 23. Cooling water circulation pump
8. 4th stage compressor 24. Air cooled heat rejection system
(high pressure) 14 25. Cooling air induced fan

22
16

13

17
25
4
20 21

3 2
4
9

18 1 19
11

10 23
7

12

Gambar 11. Modul turbin pada PCMSR

Komponen pendukung sistem turbin terdiri dari :


sistem penanganan fluida kerja sistem turbin
sistem bantu fluda pendingin intermediate
sistem mesin-mesin pendukung
sistem kelistrikan dan sistem tenaga cadangan (auxiliary power)
sistem pelesapan kalor

a. Sistem penanganan fluida kerja sistem turbin


PCMSR menggunakan siklus Brayton tertutup dengan fluida kerja gas inert (misalnya helium,
argon atau nitrogen). Untuk menjaga performansi dari fluida kerja tersebut (sifat transfer kalor,
minimasi rugi-rugi friksi dan menghindari terjadinya reaksi antara gas fluida kerja atau material yang
terbawa oleh gas tersebut dengan material yang terdapat pada sistem turbin), maka gas fluida kerja
perlu dipertahankan kemurniannya.
Pengotoran fluida kerja bisa diakibatkan oleh reaksi antara fluida kerja dengan material yang
terdapat pada sistem turbin seperti pipa-pipa alat penukar kalor, saluran penghubung antar komponen,
sudu turbin serta komponen pengaturan aliran. Karena digunakan gas inert, maka reaksi antara fluida
kerja dengan komponen ini dapat diminimalkan. Pengotoran fluida kerja juga dapat terjadi akibat abrasi
dan keausan komponen pada sistem turbin.
Fluida gas inert pada umumnya merupakan material yang mahal. Dengan demikian kehilangan
fluida kerja harus diminimalkan. Sistem penambahan fluida kerja diperlukan untuk menambahkan
fluida kerja akibat kebocoran (sekalipun demikian, harus diusahakan kebocoran tersebut sangat kecil).
Pada saat sistem turbin harus dibongkar untuk keperluan maintenance, maka fluida kerja harus dapat
ditampung dalam suatu sistem back up.
Dengan demikian, sistem penanganan fluida kerja terdiri dari :
sistem pemurnian (purification system)
sistem make up
sistem back up

Sistem pemurnian fluida kerja


Sistem ini bertujuan untuk mempertahankan kemurnian fluida kerja untuk mempertahankan
performansi dari fluida kerja tersebut. Sistem ini meliputi sistem aliran (kompresor atau blower), sistem
pengkondisian suhu dan tekanan, sistem proses pemurnian.
Sistem aliran berfungsi untuk mengambil sejumlah tertentu fluida kerja yang diambil dari port-
port tertentu dari sistem turbin untuk dialirkan ke komponen-komponen proses pemurnian dan
selanjutnya dikembalikan ke sistem turbin melalui sejumlah port tertentu. Sistem aliran ini terdiri dari
pipa-pipa, katup-katup dan kompresor atau blower.
Sistem pengkondisian berfungsi untuk menyesuaikan suhu dan tekanan fluida kerja dengan
suhu dan tekanan operasi optimal dari peralatan proses pemurnian fluida kerja. Pengkondisian tekanan
dapat dilakukan dengan kompresor atau blower serta katup-katup yang sama denga yang terdapat pada
sistem aliran. Sistem pengkondisian suhu terdori dari alat pemanas dan pendingin untuk membuat gas
sesuai dengan suhu operasi optimal proses pemurnian dan mengembalikan ke suhu operasi yang sesuai
pada port pengembalian ke sistem turbin.
Sistem proses pemurnian berupa sistem untuk menghilangkan pengotor yang berbentuk padat
(debu), cair (droplet) maupun gas. Sistem ini bisa berupa sistem filter, pertisipasi listrik, adsorber,
absorber maupun mekanisme lainnya.

Sistem make up fluida kerja


Sistem make up fluida kerja bertujuan untuk menambah jumlah fluida kerja untuk mengatasi
kebocoran (sekalipun kebocoran fluida kerja harus dibuat sangat minimal). Sistem ini terdiri dari tangki
penampung fluida kerja untuk penambahan, sistem aliran (pipa, katup dan kompresor atau blower)
serta sistem pengkondisian
Sistem back up fluida kerja
Sistem back up fluida kerja befungsi untuk menangani fluida kerja pada saat sistem turbin
dimatikan atau dibongkar untuk keperluan maintenance. Sistem back up fluida kerja terdiri dari sistem
penampung, sistem aliran dan sistem pengkondisian.
Pada saat sistem turbin dimatikan, maka setelah itu diperlukan pendinginan komponen sistem
turbin. Untuk itu, fluida kerja tetap dipertahankan untuk mengalir melalui komponen-komponen sistem
turbin (alat penukar kalor pemanas (heater), turbin, rekuperator, alat penukar kalor pendingin (cooler)
dan kompresor) dengan urutan lewat yang sama dengan urutan lewat pada saat operasi normal. Beda
tekanan antar masing-masing komponen tidak perlu dipertahankan, yang harus dipertahankan hanyalah
adanya aliran tersebut dengan laju alir yang cukup dan tidak perlu dengan laju alir sebesar laju alir pada
saat operasi normal. Karena dalam kondisi dimatikan turbin dan kompresor tidak bekerja, maka
diperlukan blower khusus untuk mempertahankan laju aliran flida kerja setelah turbin dimatikan.
Tujuan aliran ini adalah untuk memungkinkan fluida kerja mengambil kalor dari komponen
bersuhu tinggi dan mentransferkan kalor tersebut ke fluida pendingin sistem turbin melalui alat penukar
kalor pendingin (cooler). Untuk itu aliran fluida pendingin sistem turbin harus dipertahankan untuk
tetap ada dengan laju alir yang cukup (tidak perlu sebesar laju alir ketika dalam kondisi operasi
normal). Pendinginan turbin ini terus dilakukan hingga suhu dari komponen-komponen sistem turbin
yang pada oerasi normal bersuhu tinggi turun ke tingkat suhu yang memungkinkan pembongkaran
sistem turbin untuk keperluan maintenance.
Setelah suhu turun ke tingkat yang cukup dan sebelum dilakukan pembongkaran, maka fluida
kerja (gas inert) yang terdapat pada sistem turbin harus dipindahkan ke tangki penampung. Sistem
pemindahan ini terdiri dari sistem aliran (saluran gas, katup dan kompresor) dan sistem pengkondisian
suhu (pemanasan dan pendinginan) sehingga tekanan dan suhu gas sesuai dengan tekanan dan suhu
operasi tangki penampung.

b. Sistem bantu fluida pendingin intermediate


Sistem bantu fluida pendingin intermediate yang menjadi bagian dari modul turbin adalah
tangki ekspansi fluida pendingin intermediate, pompa sirkulasi fluida pendingin intermediate serta
sistem pengaturan dan distribusi aliran fluida intermediate ke heater sistem turbin.

c. Sistem mesin-mesin pendukung


Sistem mesin-mesin pendukung terdiri dari sistem pendinginan komponen (misalnya generator
listrik, komponen sistem penanganan fluida kerja dan komponen-komponen lain yang memerlukan
pendinginan), sistem pelumasan, sistem pengaturan udara (suhu, kelembaban), sistem drainase.

d. Sistem kelistrikan dan sistem sistem tenaga cadangan (auxiliary power)


Sistem kelistrikan berupa sistem bush dan transformator serta perlengkapannya. Sistem
transformator dan perlengkapannya tidak harus diintegrasikan dengan modul turbin.
PCMSR dirancang sepenuhnya dengan sistem keselamatan pasif termasuk sistem pendinginan
pasca shutdown yang bersifat pasif. Dengan sistem keselamatan pasif, maka kebutuhan daya listrik
untuk keperluan sistem keselamatan dapat dihilangkan sepenuhnya.
Sekalipun demikian, PCMSR masih memerlukan sistem tenaga cadangan untuk digunakan pada
saat reaktor dimatikan. Pada desain reaktor nuklir sekarang (LWR dan HWR sekarang), sistem tenaga
cadangan ini seringkali disebut sebagai sistem tenaga darurat (emergency power system). Sistem ini
terdiri dari generator listrik darurat (pada umumnya menggunakan mesin diesel) sistem kelistrikan
darurat (transformator, bushing, sirkuit pengatur, kabel-kabel dan baterai). Istilah darurat digunakan
sesuai dengan fungsi utamanya yaitu adalam untuk menggerakkan sistem pendinginan reaktor
(pengambilan kalor peluruhan) pasca shutdown. Hal ini sangat bekaitan dengan keselamatan reaktor
nuklir tersebut (LWR dan HWR sekarang).
Pada desain PCMSR yang menggunakan sistem keselamatan yang sepenuhnya pasif, kebutuhan
suplai energi listrik untuk penanganan kondisi darurat dan pasca shutdown tidak diperlukan. Dengan
demikian, tidak diperlukan sistem suplai daya listrik untuk keperluan keselamatan reaktor.
Sistem daya listrik pasca reaktor shutdown diperlukan untuk hal-hal yang tidak terkait langsung
dengan sistem keselamatan. Sistem daya listrik ketika reaktor shutdown pada desain PCMSR
diperlukan untuk :
mensuplai daya pada ruang kendali sehingga parameter-parameter penting reaktor pasca shutdown
masih dapat dimonitor dan tindakan-tindakan aktif yang diperlukan masih dapat dilakukan
mempertahankan garam bahan bakar dan garam pendingin untuk tetap dalam kondisi cair. Hal ini
diperlukan jika reaktor perlu di-shutdown untuk waktu lama (misalnya untuk maintenance)
mencairkan bahan bakar baru
memberikan suplai daya listrik untuk berbagai keperluan (penerangan, pengkondisian udara, sistem
ventilasi)
memberikan suplai daya listrik untuk peralatan-peralatan proses penganganan bahan bakar dan
limbah selain untuk keperluan pendinginan (karena pendinginan bahan bakar dan limbah
sepenuhnya dilakukan secara pasif)
memberikan suplai daya listrik untuk penangangan sistem turbin pasca shutdown (pendinginan
turbin, pemindahan fluida kerja ke sistem back up dan pengoperasian mesing-mesin pendukung
yang diperlukan)
memberikan suplai daya listrik untuk keperluan maintenance (alat-alat pengangkat, keperluan lain)
Karena tidak berkaitan langsung dengan keselamatan, maka sistem daya listrik pasac shutdown
pada PCMSR tidak disebut dengan sistem daya listrik darurat (emergency power system) melainkan
disebut sebagai sistem tenaga cadangan atau sistem daya listrik bantu (auxiliary power system).
Sistem daya listrik bantu PCMSR terdiri dari generator listrik bantu da sstem kelistrikan bantu
(trafo, sirkuit pengatur, bush, baterai, kabel dan sistem pendukung lainnya). Karena tika berkitan
langsung dengan proses pendinginan pasca shutdown, daya listrik yang dibutuhkan pada sistem
tebanaga cadangan pada PCMSR tidak sebesar kebutuhan daya listrik pada sistem kelistrikan darurat
pada desain LWR dan HWR sekarang.

e. Sistem pelesapan kalor


Untuk PCMSR berdaya kecil, dimungkinkan untuk secara integral menggabungkan sistem
pelesapan kalor ke dalam modul turbin. Dengan penggabungan ini, ukuran keseluruhan sistem reaktor
(sistem energi nuklir) dapat dibuat menjadi lebih kompak dan biaya modal (capital cost) dapat
direduksi. Hal ini karena kebutuhan untuk membangun sistem pelesapan kalor yang besar seperti
menara pendingin dapat dihindari. Dengan sistem pelesapan kalor yang diintegrasikan dengan modul
turbin, maka pemilihan lokasi sistem energi nuklir menjadi lebih fleksibel. Sistem energi nuklir tidak
lagi harus diletakkan pada tempat-tempat yang berdekatan dengan badan air yang besar (di tepi sungai
besar, di tepi danau ata di pantai).
Sistem pelesapan kalor (heat sink) integral terdiri dari pipa-pipa paralel. Fluida pendingin
sistem turbin (air) yang telah menerima kalor pada alat penukar kalor pendingin (cooler) mengalir di
dalam pipa-pipa sistem pelesap kalor. Udara dihembuskan dengan blower untuk mengalir di luar pipa-
pipa tersebut untuk mendisipasikan kalor ke atmosfir. Cara pendinginan ini adalah mirip dengan cara
pendinginan sebagaimana pada radiator mobil. Disain alat pelesap kalor ini mungkin cukup besar
supaya rugi-rugi tekanan aliran udara cukup rendah. Akan tetapi karena suhu buangan kalor rerata pada
mesin turbin gas lebih tinggi daripada suhu buangan kalor rerata pada siklus Rankine (mesin turbin
uap) maka adalah mungkin untuk menempatkan sistem pelesap kalor ini pada dinding luar dari modul
turbin. Gambar 11 menunjukkan diagram skematik modul turbin PCMSR yang dilengkapi dengan
sistem pelesap kalor integral.
3. Sistem turbin dan konfigurasinya

Komponen utama pada modul turbin adalah sistem turbin. Sistem turbin PCMSR terdiri dari 4
tingkat turbin, 4 tingkat alat penukar kalor pemanas (heater), rekuperator, 4 tingkat alat penukar kalor
pendingin (cooler), 4 tingkat kompresor serta generator listrik dan perlengkapannya (termaruk exciter
dan konektor bush).
Pada PCMSR sistem turbin ini dikemas secara integral dengan orientasi vertikal. Sistem turbin
PCMSR terdiri dari tiga seksi, yaitu :
seksi kompresor
seksi turbin
seksi generator
Seksi kompresor berada pada lokasi paling bawah. Seksi konpresor terdiri dari 4 tingkat
kompresor dengan susunan seri dan 4 tingkat alat penukar kalor pindingin (cooler) dengan susunan
paralel. Sistem saluran (ducting) dirancang sedemikian rupa hingga dapat menghubungkan kompresor
dan alat penukar kalor pendingin (cooler) secara tepat sesuai dengan tingkat tekanannya. Komponen-
komponen yang berada pada seksi kompresor semuanya bersuhu relatif rendah.
Seksi turbin berada pada posisi pertengahan. Seksi turbin terdiri dari 4 tingkat turbin dengan
susunan seri dan 4 tingkat alat penukar kalor pemanas (heater) dengan susunan paralel. Sistem saluran
(ducting) dirancang sedemikian rupa hingga dapat menghubungkan turbin dan alat penukar kalor
pemanas (heater) secara tepat sesuai dengan tingkat tekanannya. Komponen-komponen yang berada
pada seksi turbin semuanya bersuhu relatif tinggi.
Seksi turbin dan seksi kompresor dikemas dalam sebuah bejana integral sistem turbin. Secara
radial, bejana integral ini terdiri dari dua kompartemen baik pada seksi turbin maupun seksi kompresor.
Kompartemen dalam adalah kompartemen mesin berputar (rotating machine) sedangkan kompartemen
luar adalah kompartemen alat penukar kalor.
Pada seksi kompresor, kompresor menempati kompartemen dalam sedangkan alat penukar kalor
pendingin (cooler) menempati kompartemen luar. Pada seksi turbin, turbin menempati kompartemen
dalam sedangkan alat penukar kalor pemanas (heater) menempati kompartemen luar. Rekuperator
menempati kompartemen luar dari bejana tersebut dari seksi kompresor hingga seksi turbin. Ujung
bersuhu rendah dari rekuperator menempati kompertemen alat penukar kalor (kompartemen luar) dari
seksi kompresor sedangkan ujung bersuhu tinggi dari rekuperator menempati kompartemen alat
penukar kalor (kompartemen luar) dari seksi turbin.
Ruang antar komponen dalam bejana diisi oleh gas fluida kerja pada tingkat tekanan terrendah.
Sementara itu, fluida kerja pada tingkat tekanan yang lebih tinggi mengisi masing-masing komponen
(turbin, heater, kompresor, cooler) pada tingkat tekanan yang sesuai. Pada seksi kompresor, gas pengisi
ini bersuhu relatif rendah sedangkan pada sesi turbin gas pengisi ini bersuhu relatif tinggi. Oleh karena
itu, diperlukan sekat antara seksi turbin dan seksi kompresor.
Material komponen-komponen pada seksi turbin termasuk sekat antar komponen, sistem saluran
(ducting) dan dinding bejana adalah material yang tahan suhu tinggi. Sementara itu komponen-
komponen pada seksi kompresor termasuk sekat antar komponen, sistem saluran (ducting) dan dinding
bejana tidak perlu menggunakan material yang tahan suhu tinggi. Dengan demikian dinding bejana
integral sistem turbin tersusun dalam dua bagian, yaitu bagian seksi kompresor (bagian bawah) dan
bagian seksi turbin (bagian atas). Dinding bejana bagian atas terbuat dari material yang tahan suhu
tinggi sedangkan dinding bejana bagian bawah terbuat dari material yang tidak perlu tahan suhu tinggi.
Di antara dua bagian dinding bejana ini terdapat sambungan baut dan dilengkapi dengan seal yang
sekaligus berfungsi sebagai isolator termal.
Seksi generator terdapat di atas bejana integral sistem turbin. Seksi generator terdiri dari
generator listrik, exciter dan konektor bush. Kompresor, turbin dan generator dihubungkan dengan
poros yang terdiri dari tiga segmen, yaitu segmen poros kompresor, segmen poros turbin dan segmen
poros generator. Ketiga segmen ini dapat saling dilepas untuk memudahkan maintenance.
Dua bearing yang dilengkapi dengan flywheel terdapat pada dua ujung bejana. Bearing pada
ujung atas berfungsi untuk menahan beban vertikal komponen berputar dari turbin dan generator.
Sedangkan bearing yang berada pada ujung bawah berfungsi untuk menahan beban vertikal komponen
berputar dari kompresor.
Diagram skematik sistem turbin dan penjelasan komponennya dapat dilihat pada Gambar 11.

a a
A A

1 1
5 5 5 5 b
b

4 2 4 2

c c
3 6 3 3 6 3

7 7
2 4 2 4
8 d 8
d
5 5 5 5
1 1

TURBINE SECTION ARRANGEMENT OF PCMSR COMPRESSOR SECTION ARRANGEMENT OF


TURBINE SYSTEM PCMSR TURBINE SYSTEM
st
1. 1st stage heater (high pressure) 1. 1 stage cooler (low pressure)
nd
2. nd
2 stage heater (medium high pressure) 2. 2 stage cooler (medium low pressure)
3. 3rd stage heater (medium low pressure) 3. 3rd stage cooler (medium high pressure)
4. 4th stage heater (low pressure) 4. 4th stage cooler (high pressure)
5. Recuperator 6. Turbine shaft 5. Recuperator 6. Compressor shaft
7. Turbine disk 8. Turbine blade 7. Compressor disk 8. Compressor blade

Gambar 12. Susunan radial komponen sistem Gambar 13. Susunan radial komponen sistem
turbin PCMSR pada seksi turbin turbin PCMSR pada seksi kompresor

Gambar 12 menunjukkan susunan komponen sistem turbin PCMSR pada arah radial sedangkan
Gambar 13 menunjukkan susunan kompenen sistem turbin PCMSR pada arah radial. Dalam hal ini
rekuperator dibagi menjadi 4 komponen paralel. Alat penukar kalor pemanas (heater) dan alat penukar
kalor pendingin (cooler) pada setiap tingkat masing-masing dibagi menjadi dua komponen paralel. Alat
penukar kalor pemanas (heater) dan alat penukar kalor pendingin (cooler) tingkat pertama diletakkan
dengan posisi diapit oleh rekuperator.
Gambar 14, Gambar 15, Gambar 16 dan Gambar 17 menunjukkan diagram skematik dari sistem
turbin PCMSR sesuai dengan arah potongan yang ditunjukkan pada Gambar 12 dan Gambar 13.
Gambar 14 menunjukkan diagram skematik pada potongan rekuperator dan pemanasan serta
pendinginan tingkat 1 (potongan A-a). Gambar 15 menunjukkan diagram skematik pada potongan
rekuperator dan pemanasan serta pendinginan tingkat 2 (potongan A-b). Gambar 16 menunjukkan
diagram skematik pada potongan rekuperator dan pemanasan serta pendinginan tingkat 3 (potongan A-
c). Sedangkan Gambar 17 menunjukkan diagram skematik pada potongan rekuperator dan pemanasan
serta pendinginan tingkat 4 (potongan A-d).
Susunan sistem turbin integral ini bertujuan untuk mendapatkan desain yang memiliki
karakteristik sebagai berikut :
kompak
memperkecil kobocoran gas
mudah untuk dilakukan pembongkaran dan pemasangan
meningkatkan modularitas

PASSIVE COMPACT MOLTEN SALT REACTOR (PCMSR) PASSIVE COMPACT MOLTEN SALT REACTOR (PCMSR)
TURBINE SYSTEM (VIEW A-a) TURBINE SYSTEM (VIEW A-b)
6. 2nd stage compressor REMARKS : 6. 2nd stage compressor
REMARKS :
(medium low pressure) 1. 1st stage turbine (medium low pressure)
1. 1st stage turbine
7. 3rd stage compressor (high pressure) 7. 3rd stage compressor
(high pressure)
(medium high pressure) 2. 2nd stage turbine (medium high pressure)
2. 2nd stage turbine 8. 4th stage compressor
(medium high pressure) 8. 4th stage compressor (medium high pressure)
(high pressure) 3. 3rd stage turbine (high pressure)
3. 3rd stage turbine 9. 2nd stage heater
(medium low pressure) 9. 1st stage heater (medium low pressure)
(high pressure) 4. 4th stage turbine (medium high pressure)
4. 4th stage turbine
10. 1st stage cooler (low pressure) 10. 2nd stage cooler (medium
(low pressure)
(low pressure) 5. 1st stage low pressure)
5. 1st stage 11. Recuperator
compressor 11. Recuperator compressor
(low pressure) (low pressure)

4 4

3 3

9 9

2 2

1 1

11 11

5 5

6 6

10 10

7 7

8 8

Gambar 14. Diagram skematik pada potongan Gambar 15. Diagram skematik pada potongan
rekuperator dan pemanasan serta pendinginan rekuperator dan pemanasan serta pendinginan
tingkat 1 (potongan A-a). tingkat 2 (potongan A-b).

Disain sistem turbin integral akan menjadi lebih kompak karena sistem saluran (ducting) gas
secara eksternal dapat dihilangkan. Penghilangan sistem saluran gas external juga sekaligus mereduksi
peluang kebocoran gas. Dalam desain sistem turbin PCMSR kebocoran gas harus dibuat sangat
minimal karena gas yang digunakan sebagai fluida kerja adalah gas inert yang pada umumnya berharga
cukup mahal.
Dalam desain sistem turbin integral ini, komponen-komponen sistem turbin (yaitu turbin,
kompresor, rekupertor, alat penukar kalor pemanas (heater) dan alat penukar kalor pendingin (cooler))
masing-masing dapat dibuat sebagai sebuah modul. Pada komponen sebagai modul tersebut dapat
dilakukan prefabrikasi. Komponen-komponen tersebut selanjutnya dirangkai menjadi sistem turbin.
Pada saat pembongkaran untuk maintenance, komponen-komponen tersebut dapat diambil sebagai satu
modul. Hal ini akan meningkatkan modularitas sehiingga menyederhanakan proses pemasangan dan
pembongkaran.
Secara keseluruhan, desain sistem turbin integral akan mereduksi ukuran geometri modul
turbin serta keseluruhan PCMSR sebagai sistem energi nuklir. Reduksi ini juga akan diikuti dengan
reduksi kebutuhan material lainnya seperti material bangunan gedung.

PASSIVE COMPACT MOLTEN SALT REACTOR (PCMSR) PASSIVE COMPACT MOLTEN SALT REACTOR (PCMSR)
TURBINE SYSTEM (VIEW A-c) TURBINE SYSTEM (VIEW A-d)
REMARKS : 6. 2nd stage compressor REMARKS : 6. 2nd stage compressor
st
1. 1 stage turbine (medium low pressure) st
1. 1 stage turbine (medium low pressure)
(high pressure) 7. 3rd stage compressor (high pressure) 7. 3rd stage compressor
2. 2nd stage turbine (medium high pressure) 2. 2nd stage turbine (medium high pressure)
(medium high pressure) 8. 4th stage compressor (medium high pressure) 8. 4th stage compressor
3. 3rd stage turbine (high pressure) 3. 3rd stage turbine (high pressure)
(medium low pressure) 9. 3rd stage heater (medium low pressure) 9. 4th stage heater
th
4. 4 stage turbine (medium low pressure) th
4. 4 stage turbine (low pressure)
(low pressure) 10. 3rd stage cooler (medium (low pressure) 10. 4th stage cooler (high
st
5. 1 stage high pressure) st
5. 1 stage pressure)
compressor 11. Recuperator compressor 11. Recuperator
(low pressure) (low pressure)

4 4

3 3

9 9

2 2

1 1
11 11

5 5

6 6

10 10
7 7

8 8

Gambar 16. Diagram skematik pada potongan Gambar 17. Diagram skematik pada potongan
rekuperator dan pemanasan serta pendinginan rekuperator dan pemanasan serta pendinginan
tingkat 3 (potongan A-c). tingkat 4 (potongan A-d).

Anda mungkin juga menyukai