Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, mempunyai berat sekitar 1.5 kg.
Walaupun berat hati hanya 2-3% dari berat tubuh , namun hati terlibat dalam 25-30% pemakaian
oksigen. Sekitar 300 milyar sel-sel hati terutama hepatosit yang jumlahnya kurang lebih 80%,
merupakan tempat utama metabolisme intermedier (Koolman, J & Rohm K.H, 2001).
Hati manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, dibawah diafragma, dikedua sisi
kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan.Beratnya 1200-1600
gram.Permukaan atas terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak
bersentuhan di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan
intraabdominal dan dibungkus oleh peritonium kecuali di daerah posterior-posterior yang
berdekatan dengan vena cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma.
Hepar dibungkus oleh simpai yang tebal, terdiri dari serabut kolagen dan jaringan elastis
yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenchym hepar mengikuti
pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa dari hepar seperti spons yg terdiri dari
sel-sel yg disusun di dalam lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem
pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-
kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terediri dari sel-
sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya mudah dilalui oleh sel-
sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain .Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1
sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid.
Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli Di tengah-
tengah lobuli tdp 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari vena-vena hepatika (vena yang
menyalurkan darah keluar dari hepar).Di bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan
jaringan ikat yang disebut traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung
cabang-cabang v.porta, A.hepatika, ductus biliaris.Cabang dari vena porta dan A.hepatika akan
mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan Sistem bilier
dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut
membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke

1
dalam empedu yang lebih besar , air keluar dari saluran empedu menuju kandung empedu. Hati
merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh sebanyak
20% serta menggunakan 20 25% oksigen darah.
Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500 cc/ menit
atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica 25% dan di dalam
v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor
mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik
matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.
Obat-obatan dapat memberikan efek samping, salah satunya adalah efek hepatotoksik, yaitu efek
samping kerusakan sel-sel atau jaringan hati dan sekitarnya akibat konsumsi suatu obat.

Pada dasarnya, obat dianggap sebagai penyebab kerusakan hati jika:

1. Obat tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hati pada binatang percobaan.


2. Jika suatu obat menyebabkan gangguan pada hati saat dikonsumsi dan
gangguan hati sembuh saat pemberian obat dihentikan, namun timbul kembali
saat diberikan obat lagi.
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan hepatotoksik dan mekanisme hepatotoksik oleh obat-obatan?
2. Apakah contoh obat yang menyebabkan hepatotoksik?
3. Bagaimana monitoring efek samping obat pada obat yang menyebabkan hepatotoksik?

C. TUJUAN

Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini antara lain :

1. Untuk mengetahui pengertian hepatotoksik dan mekanisme hepatotoksik oleh obat-


obatan
2. Untuk mengetahui salah satu obat yang dapat menyebabkan hepatotoksik

2
3. Untuk mengetahui bagaimana memonitoring efek samping obat pada obat penyebab
hepatotoksik

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HEPATOTOKSIK

Hati merupakan organ yang paling penting dalam toksisitas obat dengan dua alasan, yang
pertama secara fungsional, letaknya diantara tempat absorpsi dan sirkulasi sistemik dan
merupakan tempat utama dalam metabolisme dan eliminasi senyawa asing, yang kedua adalah
karena hati merupakan organ target dari obat/ senyawa yang toksik. Kerusakan hati yang
diinduksi oleh obat (DILI), menimbulkan masalah klinis, DILI telah menjadi penyebab utama
pada kerusakan hati akut dan tranplantasi hati di negara-negara barat.Hepatotoksik intrinsik yang
disebabkan oleh overdosis acetaminophen merupakan kasus utama dari DILI di amerika serikat
dan inggris. Sebaliknya, hepatotoksik yang disebabkan oleh kebanyakan obat lainnya adalah
idiosinkrasi, dengan kata lain bahwa kejadian DILI sangat kecil pada pasien yang diberikan obat
pada dosis terapinya dan resiko dari kerusakan akut pada hati yang melibatkan idiosinkrasi suatu
hepatotoksin bisanya kurang dari 1 per 10000 pasien. Namun lebih dari 1000 obat dan produk
herbal menghasilkan efek idiosinkarsi hepatotoksik dan ternyata idiosinkrasi menyumbang 10 %
dalam kasus kerusakan akut pada hati.

DILI juga merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah dan industri, karena merupakan
penyebab utama dari penghentian uji preklinis dan klinis bagi sejumlah obat dan merupakan
suatu adverse reaction yang umum terjadi yang mengakibatkan obat tersebut ditolak untuk
dipasarkan. Namun dalam banyak kasus, obat diketahui memiliki efek hepatotoksik setelah
beredar di pasaran, dan DILI juga lah yang membuat obat tersebut ditarik dari pasaran atau
diharuskan untuk memberi label tentang adanya kemungkinan DILI.Salah satu yang menarik
adalah DILI dapat mengikuti semua bentuk penyakit hati baik akut maupun kronis. Aspek lain
yang menarik adalah terjadinya idiosinkrasi pada DILI yang tidak dapat diprediksi dan
banyaknya senyawa kimia bersifat hepatotoksik yang menyebabkan DILI idiosinkrasi. Aspek
tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai jenis struktur dan tipe sel target, banyaknya
mekanisme yang terlibat dan pentingnya faktor resiko pasien. Selama beberapa tahun terakhir
berkembang berbagai persepsi mengenai keseluruhan proses maupun urutan proses yang terlibat
dalam kerusakan sel hati secara umum dan DILI secara khusus, yang berdampak pada
dilakukannya penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya

4
hepatotoksik. Padahal sebelumnya yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana suatu obat
tertentu dapat menyebabkan kerusakan awal pada sel hati.

DILI umumnya diklasifikasikan ke dalam hepatotoksik intrinsik vs idiosinkrasi, tapi


kemudian berubah menjadi alergi dan non alergi. Hepatotoksik intrinsik merupakan dose-
dependent dan diprediksi hanya terjadi pada dosis diatas dosis terapi, sedangkan hepatotoksik
idiosinkrasi terjadi tanpa adanya ketergantungan akan dosis dan tidak dapat diprediksi pada
kisaran dosis mana hal ini terjadi. Terjadinya reaksi alergi akibat hepatotoksik idiosinkrasi
dikarakterisasi melalui munculnya gejala tertentu dan adanya reaksi imun seperti demam, ruam
kulit, eosinofilia dan terbentuknya suatu antibodi. Gejala klinis lainnya dibedakan antara
hepatocellular, cholestatic atau mixed liver enzyme pattern, kriteria histologis, onset kronis vs
akut, dan tingkat keparahannya. Pembagian kelompok ini sangat berguna dalam praktek klinis
karena akan menjabarkan bagaimana ciri klinis dari DILI untuk tiap-tiap obat, dan akan
memberikan petunjuk mengenai mekanisme yang terlibat dalam DILI oleh obat-obat tersebut.

Namun demikian, kita harus menyadari bahwa pembagian ini hanya bersifat deskriptif
dan berdasarkan kriteria klinis maupun histopatologi. Pembagian kelompok ini akan juga
memberian informasi yang salah apabila digabung dengan konsep mekanis yang ada dan
mungkin memang akan menjadi dasar bagi paradigma klasik yang sangat berbeda dengan konsep
mekanisme hepatotoksik terkini. Sebagai contoh, kesalahan konsep yakni ada senyawa tertentu
yang jelas termasuk baik dalam kelompok hepaotoksik idiosinkrasi maupun intrinsik, dan dosis
atau kerusakan sel yang langsung tidak berperan penting pada terjadinya hepatotoksik
idiosinkrasi. Akan tetapi, secara tak terduga DILI dapat terjadi pada dosis yang rendah dan
sering pada senyawa transaminase. Isoniazid merupakan salah satu contoh hepatotoksin yang
mengakibatkan hepatotoksik intrinsik ringan dan juga idiosinkrasi yang parah pada DILI.

Hambatan utama pada pengelompokan berdasarkan mekanismenya adalah bahwa DILI


tidak bisa hanya dikarakterisasi dengan hanya kerusakan awal tetapi juga melibatkan banyak
mekanisme, sistem regulasi dan faktor resik dengan interaksi yang sangat kompleks, hal ini juga
menjelaskan bagaimana tidak banyak terdapat model penelitian untuk mengetahui mekanisme
bagi kebanyakan hepatotoksin,potensi sebuah obat menjadi hepatotoksin sering kali tidak
diketahui sebelum dia dipasarkan, dan kontribusi yang pasti di berbagai proses yang

5
mengakibatkan DILI pada manusia juga tidak dapat diketahui, dan pengobatan yang tepat untuk
DILI tidak tersedia kecuali untuk hepatotoksik yang diinduksi oleh APAP. Penyelesaian yang
mungkin tepat untuk problem ini adalah sebuah model penelitian yang umum yang merupakan
gabungan dari prinsip mekanisme awal dari toxic liver cell injury dengan pengetahuan terkini
mengenai regulasi komplek dari kerusakan vs proses proteksi yang terlibat dalam proses
rusaknya sel hati.

Ada tiga tahapan umum dalam mekanisme terjadinya Drug-Induced Liver Injury (DILI)

1. Mekanisme awal toksisitas : Direct cell stress, Direct mitochondrial impairment,


dan reaksi imun spesifik.

Baik metabolit obat ataupun obat induk dapat menyebabkan direct cell stress, dan
mengganggu fungsi mitokondria serta menstimulaasi suatu respon imun.Enzim
pemetabolisme obat yang sangat berperan dalam pembentukan suatu metabolit reaktif yang
toksik adalah kelompok sitokrom P450 (CYP450), yang berperan pada metabolisme obat
fase 1.Akan tetapi metabolisme fase II juga dapat menghasilkan metabolit yang bersifat
hepatotoksik seperti asil glukoronida yang telah diketahui menyebabkan DILI.Metabolit
reaktif dapat menyebabkan stress pada sel melalui banyak mekanisme termasuk diantaranya
deplesi dari glutathione (GSH) atau berikatan dengan suatu enzim, lemak, asam nukleat, dan
stuktur sel lain. Selanjutnya metabolit reaktif atau parent drug mungkin dapat spesifik
menghambat fungsi hepar tertentu seperti apical (canalicular) bile salt efflux pump (BSEP
ABCB 11 gene) yang dimana akan menimbulkan penumpukan substratnya di dalam sel yang
menyebabkan kerusakan sekunder pada sel hepar.

Pada tahap penyerangan mitokondria, maka metabolit reaktif ataupun parent drug
melepaskan atau menghambat jalur respiratory dari mitokondria yang menyebabkan deplesi
ATP sehingga meningkatkan jumlah reactive oxygen species (ROS), menghambat -oksidasi
yang mengarah pada steatosis, merusak DNA mitokondria atau menyisip di proses
replikasinya, atau secara langsung menyebabkan mitochondria permeability transition (MPT)
yaitu dengan membuat lubang di MPT pore yang letaknya ada dibagian dalam membran.
Inilah yang mungkin merupakan awal terjadinya kerusakan yang melibatkan penghambatan

6
transport elektron mitokondria sampai tahap kritis dan peningkatan aktivasi ROS dan JNK di
sitosol diatas batas yang ditentukan hingga menimbulkan kerusakan hepar.Inhibisi awal dari
transport elektron mitokondrial tidak dapat ditentukan dari nilai ALT yang tinggi, sehingga
dibutuhkan suatu marker yang bisa mendeteksi kerusakan mitokondrial sejak dini.

Respon imun spesifik yang melibatkan sel T sitotoksik yang bersamaan dengan
lepasnya sitokin inflamasi yang ditimbulkan oleh metabolit reaktif yang berikatan secara
kovalen dengan protein yang kemudian dikenali sebagai suatu antigen baru (pembentukan
hapten). Selanjutnya munculnya major histocompatibility complex (MHC) dependent pada
antigen presenting cells akan mengaktifkan proses terbentuknya suatu antibodi against
haptens atau autoantibodies against cell structure seperti enzim CYP450.

Dalam beberapa kasus kerusakan awal juga menargetkan nonparenchymal liver cells.
Contohnya adalah adanya toksisitas yang terhadap sel epitel empedu oleh metabolit
flucloxacillin atau aktivasi langsung sel steallate oleh methotrexate yang menyebabkan
fibrosis. Hepatotoksin yang berbeda memiliki pola yang khusus dalam mekanisme kerusakan
awalnya. Namun satu yang harus disadari bahwa satu obat bisa saja melalui banyak
mekanisme yang terjadi bersamaan, dan bahwa banyak obat yang masih belum diketahui
mekanismenya seperti apa dalam menimbulkan kerusakan hepar. Mekanisme kerusakan awal
yang spesifik ini juga bisa disebut upstream events yang pada tahap selanjutnya akan
berlanjut ke downstream events yang tidak spesifik yang melibatkan innate immune
system yang tugasnya menyeimbangkan respon pro dan anti inflamasi yang menentukan
proses lanjutnya untuk kerusakan yang makin parah ataukah pemulihan.

2. Mekanisme kematian sel diperantarai oleh reseptor yang menyebabkan


perubahanpermeabilitas mitokondria

Munculnya cell stress dan reaksi imun spesifik menyebabkan MPT. Jika mekanisme
awal ini tidak terjadi secara langsung pada target dan merusak fungsi mitokondria, maka
mekanisme ini terjadi melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur langsung yang diinisiasi
oleh cell stress yang parah (intrinsic pathway) atau melalui cara tidak langsung dengan death

7
receptor amplified yang dipicu oleh cell stress ringan dan/atau reaksi ion imun spesifik
(extrinsic pathway).

Pada jalur intriksik, stress intraselular yang parah mengaktivasi jalur reticulum
endoplasmic, permeabilitas lisosom, atau c-junN-terminal kinase (JNK) yang kemudian
mengaktivasi pro apoptotic (Bax, bak, bad) dan menghambat anti apoptotik (bel-2, belxL)
yang merupakan anggota protein bel2, kemudian mengaktivasi MPT. Sedangkan jalur
extrinsik, kerusakan awal yang ringan dapat terjadi jika response inflmasi karena mild stress
dan faktor tambahan memodulasi system imun bawaan ,dimana sinyal dari sitokin (IL-12)
yang memicu atau mencegah (IL4, IL10, IL13, MCP-1) luka biasanya seimbang. Sebagai
konsekuensinya, sel liver yang sensitif menjadi lebih rentan terhadap efek letal dari tumor
necrosis factor alpha (TNF), fas lingand (fasL), dan interferon gamma (IF). Hal ini sangat
penting jika memikirkan bahwa hati sebagai organ utama dalam detoksifikasi secara konstan
terpapar hingga membuat selnya menjadi stress yang akan mengaktifkan TNF dan fasL.
Jika awalnya sebuah reaksi imun spesifik, maka MHC-dependent antigen yang terbentuk
akan merelease TNFalfa dan FasL dari Kupffer cell (hepatic macrofag) dan sel T sitotoksik.
Sesuai dengan hipotesis bagi penyakit autoimun, haptenisasi sendiri tidak cukup untuk

8
memicu terjadinya frank allergic hepatotoxicity, karena membutuhkan stimulasi tambahan
yang disebut danger-signal. Jika metabolit reaktif menyebabkan stress sel ringan atau
munculnya inflamasi, bersamaan dengan lepasnya sitokin akan dibentuk sebuah danger
signal yang dapat meningkatkan keberadaan MHCII-dependent antigen, membuat hepatosit
lebih mudah luka, sehingga menyebabkan autoimmune hepatotoxicity. Terlepas dari
bagaimana extrinsic pathway dimulai, pada akhirnya TNF dan FasL berikatan pada
intracellular death receptors, serta TNF dan Fas reseptor-associated death domain proteins
(TRADD/FADD) akan mengaktivasi inisiator caspase 8. Aktivasi kompleks death-receptor
juga disebut sebagai death-inducing signaling complex (DISC). Walaupun caspase 8 dapat
memulai apoptosis melalui aktivasi langsung dari efektor caspase 3, 6, dan 7, namun aktivasi
langsung ini tampak terlalu lemah dalam hepatosit untuk memperantarai apoptosis.
Olehkarenanya diperlukan sebuah mekanisme amplifikasi: caspase 8 dapat mengaktivasi
protein pro-apoptitik Bcl-2 (seperti Bid), serta signaling ceramides.

3. Apoptosis dan Nekrosis

MPT menyebabkan influx proton besar-besaran melalui membrane dalam


mitokondria, yang menghentikan sintesis ATP oleh mitokondria.Menipisnya ATP
mitokondria yang disebabkan oleh MPT menyebabkan terjadinya pelebaran matriks dan
permeabilisasi membran luar mitokondria serta pecahnya membran dengan melepaskan
sitokrom C dan protein mitokondria pro-apoptotik lainnya dari ruang intermembran menuju
ke sitosol.

Pada apoptosis, sitokrom C kemudian berikatan pada sebuah cytoplasmic scaffold


(apaf-1) dan pro-caspase 9, membentuk sebuah kompleks yang disebut apoptosome, yang
mengaktivasi signaling procaspase 9. Proses ini membutuhkan ATP dan hanya dapat dimulai
bila MPT tidak muncul dengan cepat dan bersama-sama di seluruh mitokondria. Hanya jika
beberapa mitokondria tertinggal utuh dan melanjutkan sintesis ATP, aktivasi pro-caspase 9
dan memungkinkan protein mitokondrial pro-apoptotik lainnya mengaktivasi caspase 3.
Kemudian caspase 3 akan memecah protein sel spesifik dan lebih jauh lagi akan
mengaktivasi pro-caspase 6, 7, dan 2, yang memiliki protein targetnya masing-masing.
Nekrosis, sebaliknya, berkembang jika luka awal yang terjadi sangat parah sehingga MPT

9
secara cepat terbentuk di seluruh mitokondria, atau jika mekanisme lain menyebabkan
menipisnya ATP mitokondria secara cepat dan parah, menghalangi jalur apoptosis. Ini sangat
khas untuk hepatotoksin yang secara langsung menyebabkan inisiasi stress sel yang sangat
besar. Bagaimanapun, ketiadaan ATP juga aktivasi jalur ekstrinsik akan menghantarkan
kepada kematian sel nekrotik. Kesimpulannya, mitokondria merupakan tokoh penting dalam
kematian dan kehidupan sel dalam hepatotoksisitas: mereka dapat menjadi target dari inisiasi
toksisitas langsung, MPT memegang peran penting dalam signaling dari jalur ekstrinsik dan
intrinsik.

B. CONTOH OBAT YANG MENYEBABKAN HEPATOTOKSIK


Salah satu obat yang dapat menyebabkan hepatotoksik adalah azitromisin yang
merupakan antibiotika golongan makrolida.
1. Profil farmakologi
Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolida pertama yang termasuk dalam
kelas azalide. Azitromisin diturunkan dari eritromisin dengan menambahkan suatu atom
nitrogen ke cincin lakton eritromisin A. Pemberian azitromisin secara oral diserap secara
cepat dan segera didistribusi ke seluruh tubuh. Distribusi azitromisin yang cepat ke dalam
jaringan dan konsentrasi yang tinggi dalam sel mengakibatkan kadar azitromisin dalam
jaringan lebih tinggi dari plasma atau serum. Sebuah studi memperlihatkan bahwa
makanan meningkatkan kadar maksimum (Cmax ) hingga 23% tapi tidak ada perubahan
pada nilai AUC.
2. Profil farmakokinetika
Azitromisin diabsorbsi baik di usus halus bagian atas, namun karena sifatnya yang
basa azitromisin mudah hancur oleh asam lambung yang terdapat pada usus halus. Oleh
sebab itu obat ini harus diberikan dalam bentuk kapsul salut enterik. Kadar puncaknya
akan dicapai dalam waktu satu setengah jam pada orang normal dan lima jam pada
penderita anuri. Waktu eliminasi yang dibutuhkan oleh obat ini cukup lama, yaitu sekitar
dua sampai dengan 4 hari. Azitromisin didistribusikan secara luas keseluruh tubuh
kecuali otak dan cairan serebrospinal. Pada fungsi ginjal yang buruk tidak diperlukan
penyesuaian dosis.
Azitromisin tidak dibersihkan oleh dialisis. Sejumlah besar azitromisin yang diberikan

10
diekskresi dalam empedu dan hilang dalam feses, dan hanya 5% yang diekskresikan
melalui urin.
3. Mekanisme aksi
Azitromisin bekerja dengan cara mengikat sub unit 50s dari ribosom bakteri
sehingga menghambat translasi mRNA. Dengan demikian sintesis protein akan terganggu
sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat.
4. Efek samping
a. Gangguan saluran pencernaan
Anoreksia, mual, muntah dan diare terkadang timbul pada pemberian oral. Intoleransi
saluran cerna, yang timbul akibat perangsangan langsung terhadap motilitas usus
merupakan alasan tersering penghentian penggunaan antibiotik ini.
b. Toksisitas di Hati
Dapat menyebabkan hepatitis kolestatik akut (demam, ikterus, gangguan fungsi hati)
yang diakibatkan reaksi hipersensitifitas. Reaksi alergi lain yang mungkin timbul
meliputi demam, eosinofilia, dan ruam.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Melissa a. Mertinez, kerusakan hati akibat
azitromisin terjadi dalam waktu 1 sampai 3 minggu setelah inisiasi atau pemberian azitromisin
dan terutama bersifat hepatoseluler. Dan kebanyakan pasien dapat pulih sepenuhnya karena
mengalami reaksi ringan. Namun beberapa pasien mengalami cedera kronis dan komplikasi
serius yang menyebabkan kematian.

Dari 18 pasien yang 72%nya perempuan dilaporkan mengalami ikterus, nyeri pada perut, mual,
dan pruritus. Sedangkan pada 16 pasien lainya dilakukan pemeriksaan dan ditemui hasil
abnormal setelah 14 hari penghentiaan penggunaan azitromisin dengan durasi rata-rata
penggunaanya 4 hari. Cederanya berupa hepatoseluler dan kolestatis ataupun keduanya. Hasil
rata-rata kadar alanin aminotransferase sebesar 2127 iu/L , alkali fosfatase sebesar 481 iu/L dan
total bilirubin 9,2 mg/dL yang merupakan parameter dalam menentukan kelainan hati.

Pemulihan biasanya cepat, rata-rata dalam waktu 2- 5 minggu dan biasanya diikuti dengan kadar
serum enzim yang normal dan atau tanda penyakit hati yang persisten. Histologi hati mungkin
menunjukkan perubahan duktopenia dan veno-occlusive.

11
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hepatotoksik merupakan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh penggunaan obat-
obatan. Salah satu obat yang menyebabkanhepatotoksik adalah ezitromisin yang merupakan obat
antibiotik golongan makrolida. Berdasarkan penelitian, ezitromisin dapat menyebabkan
kerusakan hati dalam waktu 1-3 minggu setelah penggunaannya. Gejala yang dialami yang
paling umum adalah ikterus, nyeri pada perut, mual, kulit kuning, dan pruritus. Disfungsi hati
juga dapat dilihat dari enzim alanin transaminase yang meningkat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar.Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.

Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta: Gaya
Baru.
Mehta, Nilesh MD dkk.Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and
Hepatology. 2010

Melissa A. Martinez. 2015. Clinical and Histologi Features of Azithromycin-induced Liver Injury. Clinical
Gastroenterology and Hepatology Vol. 13 No 2

13

Anda mungkin juga menyukai