Anda di halaman 1dari 13

PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM

Oleh: Shahib Al-Adiby, M.S.I

A. Pengertian Pendidikan Anak

Sebelum sampai pada pengertian pendidikan anak, maka perlu di awali apa yang dimaksud dengan
pendidikan itu sendiri. Terdapat beragam pandangan mengenai pengertian pendidikan. Ahmad D
Marimba misalnya, mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan terdapat lima unsur
utama pendidikan, yaitu: pertama, usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau
pertolongan yang dilakukan secara sadar. Kedua, terdapat pendidik, pembimbing atau penolong.
Ketiga, ada yang di didik atau si terdidik. Keempat, adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan
tersebut.Kelima, dalam usaha itu ada alat-alat yang dipergunakan.[1]

Menurut Ahmad Tafsir definisi tersebut dinilai sebagai definisi yang belum mencakup semua unsur
yang dikenal sebagai pendidikan. Definisi tersebut cukup memadai bila pendidikan dibatasi hanya
pada pengaruh seseorang pada orang lain, dengan sengaja atau sadar. Pendidikan oleh diri sendiri
dan oleh lingkungan, nampak belum mencakup kedalam batasan pendidikan dalam pandangan
Ahmad D Marimba tersebut.[2]

Formulasi definisi pendidikan selanjutnya diajukan oleh tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar
Dewantoro. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk
keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi
sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan,
tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha
kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat
kemanusiaan.[3]Rumusan pendidikan ini nampak bernuansa dinamis dan modern. Pendidikan tidak
boleh hanya memberikan bekal untuk membangun, tetapi seberapa jauh didikan yang diberikan itu
dapat berguna untuk menunjang kemajuan suatu bangsa. Hal yang demikian ini nampaknya sejalan
dengan pesan Khalifah Umar Ibn Al-Khatab yang mengatakan anak-anak masa sekarang adalah
generasi muda dimasa yang akan datang. Dunia dan kehidupan yang akan mereka hadapi berbeda
dengan dunia yang sekarang. Untuk itu apa yang diberikan kepada anak didik harus memperkirakan
kemungkinan-kemungkinan relevansi dan kegunaannya dimasa datang.[4]

Definisi pendidikan yang agak luas cakupannya dapat dilihat dari pendapatnya Soegarda
Poerbacaraka. Menurutnya, pendidikan mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua
untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada
generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya. Lebih
lanjut, ia menambahkan bahwa corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan.
Karenanya jika corak penghidupan itu berubah, maka corak pendidikan itu akan berubah pula, agar
si anak siap untuk memasuki lapangan pendidikan itu.[5]

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah kegiatan yang dilakukan dengan
sengaja, seksama, terencana, dan bertujuan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam arti memiliki
bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap.
Apa yang diberikan kepada anak didik diharapkan dapat menolong tugas dan perannya dimasyarakat
dimana kelak mereka hidup.

Adapun pengertian anak sebagaimana tertulis dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti
sebagai keturunan kedua. Disamping itu anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang
masih kecil.[6]Selain itu tedapat pengertian lain, bahwa anak pada hakekatnya adalah seorang yang
berada pada suatu masa perkembangan tertentu atau mempunyai potensi untuk menjadi
dewasa.[7]

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa anak adalah seseorang yang masih berada dalam
tahap perkembangan menuju dewasa. Adanya pentahapan yang mesti dilalui menunjukkan bahwa
anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya baru mencapai
kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya.

Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan anak adalah usaha orang dewasa yang
dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan untuk membantu agar potensi anak
dapat dikembangkan secara maksimal dan proporsional sehingga ia mampu menjalani kehidupannya
ditengah masyarakat.

B. Aspek-aspek Pendidikan Anak

Pendidikan anak merupakan sebuah sistem yang memiliki beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut
saling memiliki kaitan antara satu dengan lainnya. Aspek-aspek pendidikan anak meliputi tujuan,
kurikulum, guru, anak didik, metode, evaluasi dan lingkungan.[8]

1. Tujuan.

Tujuan pendidikan memiliki kedudukan yang amat penting[9]. Ahmad D.Marimba menyebutkan
empat fungsi pendidikan. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri suatu usaha. Sesuatu usaha yang
tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan
dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan sebelum mencapai
tujuan, tetapi usaha itu belum disebut terakhir. Pada umumnya suatu usaha baru berakhir jika
tujuan akhir telah dicapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi
(pandangan kedepan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang
dilakukan tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal
untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Keempat, fungsi dari tujuan adalah memberi nilai (sifat) pada
usaha itu. Ada usaha-usaha yang lebih luhur, mulia, luas, dari usaha-usaha lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa rumusan setiap tujuan selalu disertai dengannilai-nilai yang hendak diusahakan
perwujudannya dengan demikian, suatu rumusan tujuan pendidikan, harus memiliki muatan
subjektifitas dari yang merumuskannya, walaupun subjektifitas itu tidak selamanya berkonotasi
negatif.

Sehubungan dengan fungsi keempat dari tujuan tersebut di atas, yakni sebagai pemberi nilai
terhadap suatu kegiatan, Hasan Langgulung memberikan pandangannya bahwa tujuan-tujuan
pendidikan agama harus mampu mengakomodasi tiga fungsi utama dari agama. Yakni fungsi
spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah
laku individu termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia kederajat yang lebih
sempurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia
dengan manusia lain atau masyarakat, di mana masing-masing memiliki hak-hak dan tanggung jawab
untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.[10] Dari sini dapat dipahami bahwa
dalam perumusan tujuan pendidikan Islam, tidaklah bebas dibuat sekehendak yang menyusunnya,
melainkan berpijak pada nilai-nilai yang digali dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan demikian, tujuan
tersebut dapat memberi niali terhadap kegiatan pendidikan.

Berkaitan dengan muatan nilai dalam tujuan pendidikan, menarik apa yang dikatakan oleh
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, menurutnya hubungan antar tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan
erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah nilai itu sendiri.Pendidikan mengandung pilihan
bagi arah kemana perkembangan murid-murid akan diarahkan. Pengarahan itu sendiri sudah tentu
berkaitan erat dengan nilai-nilai. Pilihan terhadap suatu tujuan mengandung unsur mengutamakan
terhadap beberapa nilai atas yang lainnya. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengarah dalam
merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang
akan dibina melalui pendidikan itu.[11]

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tujuan adalah merupakan puncak dari suatu kegiatan
sebagai tanda tercapainya apa yang direncanakan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan.
Kaitannya dengan pendidikan Islam, maka tujuan yang dimaksud adalah didasarkan pada nilai-nilai
ajaran Islam. Oleh sebab itu, tujuan dapat dikatakan puncak atau final dari seluruh rangkaian proses
kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam.

2. Kurikulum.

Secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa latin, curriculum yang berarti bahan pelajaran. Dalam
bahasa perancis courier yang berarti nilai.[12] Secara istilah kurikulum dapat digunakan untuk
menunjukan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempah untuk mencapai suatu gelar atau
ijazah. Pendapat ini sejalan dengan pandanganya crow and crow yang mengatakan bahwa
kurikukulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu.[13]

Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan
berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
yang ditetapkan.[14]

Dalam perkembangan selanjutnya istilah kurikulum menurut saylor dan Alex sebagaimana dikutip
oleh S. Nasution, dikatakan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata
pelajaran, namun juga segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha itu
dilakukan dilingkungan sekolah maupun di luar sekolah.[15] Pengertian kurikulum yang terakhir
adalah sejalan dengan pendapat Hasan Langgulung, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman
pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga, dan kesenian baik yang berada di dalam maupun di luar
kelas yang dikelola sekolah.[16]

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kurikulum pada awalnya hanya terbatas pada kegiatan
pengajaran diruang kelas, kemudian pada perkembangan berikutnya kurikulum memiliki pengertian
yang lebih luas. Karena pendidikan dapat pula memanfaatkan berbagai sumber pengajaran yang
terdapat di luar kelas, seperti perpustakaan, musium, pameran, pabrik dan sebagainya. Hal ini
dengan maksud agar siswa dapat terus mengikuti segala perkembangan kemajuan yang terjadi
dibelahan dunia. Kegiatan inilah yang kemudian dianggap sebagai arti luas dari kurukulum.

3. Pendidik.

Pendidik merupakan salah satu unsur penting dari proses pendidikan. sebab, dipundak pendidik
terletak tanggung jawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan
pendidikan yang dicita-citakan.Mengapa demikian? Sebab, pendidikan merupakan cultur transition
yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinyu, sebagai sarana fital bagi
pembangunan kebudayaan dan peradaban ummat manusia. Karena itu, pendidik bertanggung jawab
memenuhi kebutuhan peserta didik, baik dalam segi spiritual, intelektual, moral, estetika maupun
fisik peserta didik.

Secara lughowi pendidik seperti yang dijelaskan oleh WJS Poerwadarminta adalah orang yang
mendidik.[17] dalam pengertian tersebut terdapat kesan, bahwa pendidik adalah orang yang
melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Sedang dalam bahsa Inggris terdapat beberapa kata
yang berdekatan artinya dengan pendidik. Seperti kata teacher, artinya guru dantutor artinya guru
pribadi, atau guru yang mengajar dirumah.[18] Sedang dalam bahasa Arab terdapat kata ustdz,
mudaris, mu'alim, mu'addib.[19]

Beberapa kata tersebut di atas tampak terhimpun dalam kata pendidik, sebab seluruh kata tersebut
mengacu pada seseorang yang memberikan pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman kepada
orang lain. Hanya saja, perbedaan penyebutan tersebut disesuaikan dengan ruang gerak dan
lingkungan dimana pengetahuan tersebut diberikan.

Dari sini dapat dipahami bahwa, kata pendidik secara fungsional tertuju kepada seseorang yang
melakukan kegiatan dalam memberikan ketrampilan pendidikan, pengalaman, dan sebagainya.
Orang yang melakukan tugas tersebut bisa siapa saja dan dimana saja. Dalam lingkungan keluarga,
tugas tersebut berada pada pundak orang tua, di sekolah tugas tersebut berada ditangan guru dan
dimasyarakat dilakukan oleh organisasi-organisasi kependidikan dan sebagainya. Dengan demikian
yang termasuk kategori pendidik adalah bisa kedua orang tua, guru, termasuk tokoh masyarakat.

Selanjutnya adalah pengertian pendidik sebagaimana yang lazim digunakan dalam masyarakat.
Ahmad D Marimba memberikan pandangan bahwa secara umum pendidik adalah orang yang
memiliki tanggung jawab untuk mendidik.[20] Secara khusus, pendidik dalam prespektif pendidikan
Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif maupun
psikomotorik sesuai dengan niali-nilai ajaran Islam. Adapun Ahmad Tafsir mengatakan bahwa
pendidik dalam agama Islam adalah, sama dengan di barat yaitu siapa saja yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak didik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam Islam orang yang
paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu
disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal, pertama: kodrat alam, yaitu karena orang tua
ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya. Kedua: karena kepentingan kedua orang tua,
yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah
sukses orang tuanya juga.
Berdasarkan pengertian di atas, pendidik dalam prespektif pendidikan Islam adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan ruhani peserta didik agar mencapai
tingkat kedewasaan sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan (baik sebagai al-
khalifatullah maupun al-Abdullah) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pendidik adalah orang yang memiliki
tanggung jawab dalam mengarahkan, mengajar dan mendidik peserta didik. Oleh karena itu, seorang
pendidik selain seorang yang memiliki pengetahuan tentang apa yang akan diajarkan, ia juga seorang
yang berkepribadian baik, berpandangan luas, dan berjiwa besar. Dengan demikian pendidik
merupakan cermin bagi peserta didik baik dalam ucapan, sikap, maupun segala yang berhubungna
dengan tindakan pendidik.

Dalam pandangan Islam, pada umumnya tugas pendidik adalah mendidik.[21] Dalam
operasionalisasinya, mendidik merupakan rangkaian proses mengajar, memberikan dorongan,
memuji, menghukum dan lain-lain. Pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidik
bukan hanya mengajar saja, namun juga berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam proses
belajar mengajar, sehingga seluruh potensi peserta didik dapat teraktualisasi secara baik dan
dinamis.[22]

4. Anak didik.

Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
pengembangan dan pertumbuhan menurut fitarahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.

Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran
pendidikan sebagaimana di sebutkan di atas, melainkan juga harus diperlukan sebagai subjek
pendidikan. Hal ini antara lain dilakukan dengan melibatkan mereka dalam memecahkan masalah
dalam proses belajar mengajar.

Sebab anak didik adalah pihak yang meraih cita-cita, memiliki tujuan, dan kemudian ingin
mencapainya secara optimal. Karena itu, keadaan atau karakteristik anak adalah sebagai bahan
pertimbangan yang penting terhadap proses belajar mengajar. Statemen yang berlaku adalah bahwa
anak didik dalam proses belajar mengajar adalah sebagai kelompok manusia yang belum dewasa
baik jasmani maupun ruhani, sehingga membutuhkan pembinaan, bimbingan, dan pendidikan dari
orang lain yanglebih dewasa dalam mencapai tingkat kedewasaannya. Meskipun demikian bukan
berarti anak sebagai makhluk yang lemah tanpa memilki potensi dan kemampuan. Anak secara
kodrati telah memiliki potensi atau talenta tertentu. Dengan demikian, tepat jika anak dikatakan
sebagai subjek belajar.[23]

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa anak didik adalah senantiasa memerlukan bimbingan dan
arahan dari orang dewasa dalam mengarahkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat
menemukan eksistensi kediriannya secara utuh. Mengenal dan mempelajari seluk beluk anak didik
adalah sebuah keniscayaan bagi setiap orang yang berkompetensi sebagai pendidik, apalagi anak
didik merupakan bahan mentah di dalam proses transformasi pendidikan. Karena itu, seorang
pendidik harus mampu mengenal dan memahaminya, sehingga mampu mendidik secara benar.

5. Metode.
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan bodos. Meta berarti melalui dan
bodos berarti jalan atau cara.[24]Dengan demikian, metode dapat berarti cara atau jalan yang harus
dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu terdapat pengertian lain, metode adalah suatu sarana
untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi perkembangan disipin
tersebut.[25]Pengertian lain bahwa metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan.[26]

Muhammad al-Toumy al-Syaibani mengemukakan pendapat beberapa ahli pendidikan Islam


mengenai definisi metode. Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, demikian lanjut al-Syaibani,
mendefinisikannya sebagai jalan yang kita ikuti untuk memberi faham kepada murid-murid dalam
segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Metode adalah rencana yang kita buat untuk
diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama kita mengajar di dalam
kelas. Abd al-Rahim Ghunaimah, sebagaimana di kutip al-Syaibani menyebut metode sebagai cara-
cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik. Adapun Edgar Bruce
Wesley, seperti dikutip oleh al-Syaibani, mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi
guru yang menyebabkan terjadi proses belajar mengajar, sehingga pengajaran menjadi
berkesan.[27]

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditangkap suatu pemahaman bahwa metode pendidikan
adalah cara yang digunakan untuk menjelaskan materi pada anak didik dengan catatan bahwa cara
tersebut dianggap tepat dalam kondisi tertentu serta mampu memberikan kesan yang mendalam
terhadap anak.

Kaitanya dengan alat dan cara dalam menyampaikan pelajaran kepada anak, maka sudah menjadi
kewajiban bagi setiap pendidik untuk dapat memilih dan menetapkan metode yang akan digunakan
dalam kegiatan belajar mengajar. Menurut Zakiah Darajat terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi atau harus diperhatikan dalam proses penetapan suatu metode, yaitu tujuan
intruksional, khusus, keadaan murid, materi atau bahan pelajaran, situasi (suasana belajar atau
kelas), fasilitas (fisik maupun non fisik), guru (pendidik) serta kelebihan dan kekurangan metode-
metode.[28]

Selanjutnya, jika kata metode dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode
sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam
pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode dapat pula membawa arti sebagai cara
untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman.

Mengacu pada kepentingan tersebut, maka metode paling tidak harus disesuaikan dengan materi,
kondisi, dan keadaan anak didik.[29]Oleh karena itu, metode itu sangat variatif dan relatif. Artinya,
suatu metode mungkin dinilai baik untuk materi dan kondisi tertentu, namun sebaliknya dinilai
kurang tepat digunakan pada penyampaian materi yang berbeda dan suasana yang berlainan.
Dengan demikian, inti dari suatu metode adalah berfungsi mengantarkan suatu tujuan kepada objek
sasaran dengan cara yang sesuai dengan perkembangan objek sasaran tersebut.

6. Evaluasi.
Secara bahasa evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti tindakan atau proses
untuk menentukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk
menentukan nilai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan.[30]

Sedang dalam bahsa Arab Evaluasi di kenal dengan al imtihan yang berarti ujian. Di kenal pula istilah
khataman untuk padanan kata pada evaluasi yakni sebagai cara menilai hasil akhir dari proses
pendidikan.[31] Jika evaluasi dihubungkan dengan istilah pendidikan, maka dapat diartikan sebagai
suatu proses situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalah-masalah yang berkaitan
dengan pendidikan. Untuk evaluasi pendidikan sebenarnya tidak hanya menilai hasil belajar para
siswa dalam suatu jenjang pendidikan tertentu, melainkan juga berkenaan dengan penilaian
terhadap aspek yang mempengaruhi proses belajar tersebut, seperti evaluasi terhadap guru,
kurikulum, metode, sarana prasarana, mapun lingkungannya. Namun pada umumnya evaluasi
pendidikan diarahkan pada upaya mengetahui dengan jelas dan objektif terhadap hasil belajar
peserta didik yang diakukan oleh suatu lembaga pendidikan.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa evaluasi pendidikan adalah suatu kegiatan yang berisi
mengadakan pengukuran dan penilaian terhadap keberhasilan pendidikan dari berbagai aspek yang
berkaitan dengan ungkapan lain bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan mengukur dan menilai
terhadap sesuatu yang terjadi dalam kegiatan pendidikan.

7. Lingkungan.

Lingkungan biasanya sering dipahami dalam arti yang sangat sempit, seolah-olah hanya alam sekitar
di luar diri manusia. Lingkungan itu sebenarnya mencakup segala material dan stimulus di dalam dan
di luar individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosio-kultural. Dengan demikian
lingkungan dapat diartikan secara fisiologis, psikologis dan sosio-kultural.

Secara fisiologis, lingkungan meliputi segala kondisi dan material-jasmaniah di dalam tubuh seperti
gizi, air, vitamin, zat asam, suhu, sistem syaraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan makanan,
kelenjar-kelenjar doktrin, sel-sel pertumbuhan, dan kesehatan jasmani.

Secara psikologis, lingkungan mencakup segenap stimulasi yang diterima oleh individu mulai sejak
dalam konsepsi, kelahiran sampai mati. Stiulasi itu misalnya berupa sifat-sifat genes, interaksi genes,
keinginan, perasaan, tujuan-tujuan, minat, kebutuhan, kemauan, emosi, dan kapasitas intelektual.

Secara sosio-kultural, lingkungan mencakup segenap stimulasi, interasi, dan kondisi daam
hubungannya dengan perlakuan, atau pun karya orang lain. Pola hidup keluarga, pergaulan
kelompok, pola hidup masyarakat, latihan, belajar, pendidikan, pengajaran, bimbingan dan
penyuluhan, adalah termasuk lingkungan ini.

Lingkungan sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Lingkungan merupakan
keluarga yang mengasuh dan membesarkan anak, sekolah tempat mendidik, masyarakat tempat
bergaul juga bermain sehari-hari dan keadaan alam sekitar dengan iklimnya, flora dan faunanya.
Besar kecilnya pengaruh lingkungan terhadap perubahan dan perkembangannya tergantung kepada
keadaan lingkungan anak itu sendiri serta jasmani dan ruhaninya.[32]
Adapun macam-macam lingkungan mengutip pendapat Sertain (ahli psikologi Amerika) terdapat tiga
macam, yaitu: lingkungan alam atau luar (eksternal or physical environment), lingkungan dalam
(internal environment), dan lingkungan sosial (social environment).

Jika dikaitkan dengan pendidikan, dapat dikatakan bahwa lingkungan pendidikan segala sesuatu
yang bersifat fisiologis, psikologis, dan sosial yang mempengaruhi proses pendidikan.[33] Sejauh
seseorang berhubungan dengan lingkungannya, maka sejauh itu pula terbuka peluang masuknya
pengaruh pendidikan kepadanya. Namun keadaan-keadaan itu tidak selamanya bernilai pendidikan,
artinya memiliki nilai positif bagi perkembangan seseorang karena bisa saja merusak
perkembangannya.

C. Pendidikan Anak; Telaah Teoritik.

Periodisasi perjalanan pendidikan anak dalam sejarah telah berjalan kurang lebih empat belas abad
lamanya. Oleh Harun Nasution peroidisasi perjalanan tersebut dipetakan menjadi tiga bagian yaitu,
Periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 M-
sekarang).[34]

Berdasarkan periodisasi ini dapat diketahui perjalanan perkembangan pendidikan anak berdasarkan
pemikiran para tokoh. Pemikiran para tokoh tersebut diakui keberadaannya oleh dunia pendidikan
Islam. Selain itu, pemikiran para tokoh tersebut juga sangat dikenal dan dianggap berpengaruh
dalam dunia pendidikan dan menghasilkan beberapa teori tentang pendidikan anak. Di antara para
tokoh yang dimaksud dapat dilihat dalam uraian di bawah ini.

1. Al-Qabisi.

Al-Qabisi adalah salah seorang tokoh ulama ahli hadis dan seorang pendidik yang ahli. Hidup pada
324-403 H di kota Qairawan, Tunisia. Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Bin Muhammad bin
Khalaf al-Qabisi. Lahir pada bulan Rajab tahun 224 H atau 13 Mei 1936 M di Kota Qawairan dan
Wafat pada 3 Rabi al Awal 403 H atau 23 Oktober 1012 M.[35]

Al-Qabisi memiliki pendapat tentang pendidikan yaitu mengenai pengajaran anak-anak di kuttab-
kuttab. Barang kali pendapatnya tentang pendidikan anak-anak ini merupakan tiang yang pertama
dalam pendidikan Islam dan juga bagi pendidikan ummat yang lainnya. Dengan lebih memperhatikan
dan menekuni, maka mengajar anak-anak sebagai tuntunan bangsa yang harus dilaksanakan dengan
penuh kesungguhan dan ketekunan, ibaratnya seperti membangun piramida pendidikan (institusi
pendidikan). Al-Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk mensekolahkan anak di lembaga
kuttab. Oleh karena itu, pendidikan anak merupakan tanggung jawab oarang tuanya semenjak anak
mulai dapat berbicara fasih.[36]

Tujuan pendidikan yang dikehendaki adalah bahwa pendidikan dan pengajaran dapat
menumbuhkembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.[37]Artinya, tujuan
umum pendidikan Islam yang dipegang al-Qabisi adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak,
menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh pada ajaran-ajaran-Nya, serta berprilaku sesuai
dengan nilai-nilai agama yang murni. Namun demikian, al-Qabisi juga menghendaki tujuan
pendidikan yang mengarahkan agar anak dapat memiliki ketrampilan dan keahlian pragmatis yang
dapat menolong kemampuannya untuk mencari nafkah.[38] Dengan demikian al-Qabisi nampaknya
menghendaki setelah anak memiliki bekal yang berkaitan dengan bidang agama dan akhlak, maka
dilengkapi dengan kemampuan untuk mencari penghidupan bagi dirinya.

Mengenai metode belajar al-Qabisi mengemukakan metode belajar yang efektif yaitu menghafal,
melakukan latihan, dan demonstrasi. Belajar dan menghafal yang dimulai dengan memahami
pelajaran dengan baik akan membantu hafalan yang baik. Pendidikan modern saat ini menganjurkan
agar mengajar anak-anak dengan cara menghafalkan pelajaran agama serta memahami maksudnya
secara jelas.[39] Agaknya metode belajar yang digunakan al-Qabisi cukup tepat yaitu ketika anak
menghafal, maka dilakukan terus dan selanjutnya di demonstrasikan dihadapan guru dan teman-
temanya.

2. Ibn Sina.

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al Husan Ibn Abdullah. Ia lahir pada 370 H atau 930 M di Afshana
dan meninggal pada 428 H atau 1037 M.[40] Pemikiran pendidikan Ibn Sina dapat di lihat dari
beberapa pandangannya, antara lain tentang tujuan pendidikan dan metode.

Tujuan pendidikan dalam pandangannya harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang
dimiliki seseorang kearah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual,
dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan harus di arahkan pada upaya mempersiapkan
seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama melakukan pekerjaan atau keahlian
yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya.[41]

Dalam pandangan Ibn Sina setiap pembahasan materi pelajaran didasarkan pada pertimbangan
psikologis. Untuk itu, suatu mata pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada semua anak
didik dengan satu metode atau satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai
dengan perkembangan psikologisnya. Adapun metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibn Sina
antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan.

3. Al-Ghazali.

Imam al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450 H
atau 1058 M).[42] Ia termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian besar
terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak suatu bangsa dan
pemikirannya.

Menurut al-Ghazali anak dilahirkan tanpa dipengaruhi oleh sifat-sifat hereditas kecuali hanya sedikit
sekali, karena faktor pendidikan, lingkungan, dan masyarakat merupakan faktor yang paling kuat
mempengaruhi sifat-sifat anak. Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat para ahli psikologi
(behaviorisme) yang mengingkari adanya faktor keturunan secara mutlak. Pandangan ini mirip
dengan pandangan yang menyatakan bahwa anak lahir ke dalam kehidupan dengan akal pikirannya
bagaikan lembaran putih yang bersih dari ukiran atau gambar-gambar (seperti teori tabula rasa
John Locke).

Oleh karena itu, dalam pandangannya seorang anak tergantung pada kedua orang tua yang telah
mendidiknya sehingga hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang berharga,
sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[43] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa anak
dilahirkan dalam fitrah yang netral.
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah. Pertama: Tercapainya kesempurnaan insani yang
bermuara pada pendekatan diri pada Allah. Kedua: Kesempurnaan insani yang bermuara kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.[44] Tujuan yang demikian nampak bercorak religius dan moral tanpa
mempermasalahkan duniawi.

Metode pengajaran yang diterapkan adalah khusus ditujukan untuk mengajar agama pada anak-
anak. Dalam hal ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak,
pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka.[45]

4.Ibn Jamaah.

Nama lengkapnya adalah Badruddin Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Saadullah Ibn Jamaah Ibn Hazm
Ibn Shakr Abdullah al Kinnany (639 H/1241 M 733 H/1333 M).[46]Konsep pendidikan Ibn Jamaah
secara keseluruhan dituangkan dalam karyanyaTadzkirah al-Sami wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim
wa al-Muataallim di dalam karyannya ini Ibn Jamaah mengemukakan tentang ilmu pengetahuan
dan orang-orang yang mencarinya ketika orang-orang yang berilmu, termasuk para pendidik,
kewajiban guru terhadap peserta didik, mata pelajaran, etika peserta didik, etika dalam
menggunakan literatur serta etika tempat tinggal bagi para guru dan murid.[47]

Metode pengajaran banyak ditekankan pada hafalan dari pada dengan metode lain sebagaimana
dikatakan bahwa hafalan sangat penting dalam proses pembelajarannya, sebab ilmu didapat bukan
dari tulisan yang ada di buku, melainkan dengan pengulangan secara rutin. Penekanan pada metode
hafalan selain sebagai salah satu karakteristik tradisi Syafiiyah juga agaknya menjadi satu ciri umum
dalam pendidikan Islam.[48] Pemikiran pendidikan ibn Jamaah tampaknya masih mengutamakan
aspek keagamaan, sehingga aspek lain kurang mendapat perhatian.

5. Muhammad Abduh.

Muhammad Abduh dilahirkan pada 1849 M di desa Mahallat Nasr Mesir dan wafat pada 1905 M.
ayahnya bernama Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tingal di Mesir. Ibunya berasal dari
bangsa Arab yang silsilahnya meningkat hingga keluarga Umar bin Khattab. Muhammad Abduh
dibesarkan dalam lingkungan desa di bawah asuhan kedua orang tuanya yang tidak pernah
mengenyam pendidikan formal, namun memilki jiwa keagamaan yang teguh dan taat.[49]

Sistem pendidikan yang diperjuangkan Muhammad Abduh adalah mencakup pendidikan universal
bagi semua anak laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus memiliki kemampuan dasar seperti
membaca, menulis dan berhitung. Disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama. Isi
dan lama pendidikan haruslah seragam sesuai dengan tujuan, dan profesi yang dikehendaki oleh
pelajar dan semua kalangan berhak untuk mendapatkan pendidikan.[50]

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan anak adalah suatu
keniscayaan, sebab anak adalah makhluk yang sedang berkembang dengan tahapan-tahapan
tertentu dalam menuju kedewasaan, oleh karena itu masih membutuhkan bimbingan dan arahan
dari orang dewasa (pendidik). Kajian secara teoritis tentang aspek-aspek pendidikan dan pemikiran
anak pada masa klasik, pertengahan dan modern di atas dikemukakan guna sebagai langkah awal
untuk memahami bagaimana metode tafsir al-Quran yang ditawarkan oleh Afif Muhammad bisa
diterima dan dipahami dengan baik oleh anak dan sebagai dasar awal sebelum mengkaji bagaimana
metode tafsir yang ditawarkan Afif Muhammad dan bagaimana relevansinya dengan metode
pendidikan agama Islam.

________________________________________

1) Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1962), hlm. 19.

2) Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm.
25.

3) Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman
Siswa, 1962), hlm. 166.

4) Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 9-10.

5) Soegarda Poerbacaraka, Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka (Jakarta: Gunung Agung,
1970) hlm. 11.

6) Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 30-31.

7) Wasti Soemanto, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 166.

8) Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1995), hlm. 178-
186.

9) Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat, hlm. 45-46.

10) Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), hlm. 178.

11) Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, alih bahasa Hasan
Langgulung(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 403.

12) S. Nasutin, Pengembangan Kurikulum ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 9.

13) Crow and Crow. Pengantar Ilmu Pendidikan(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990) hlm. 75.

14) Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Teori a Qur'anic Outlook (Maktab al-Mukarromah,
Umm al-Qura University, tt.), hlm. 123.

15) S. Nasution, Pengembangan, hal 9.

16) Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), hlm. 483-484.

17) WJS Poerwadarminta. Kamus Umum BahasaIndonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 250.

18) John M Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 560-
608.
19) Kata ustdz berarti teacher (guru), profesor (gelar akademik), jenjang dibidang intelektual,
pelatih, penulis, dan penyair. Selanjutnya al-mudaris berarti teacher atau guru instructor(pelatih),
lecturer (dosen). Sedangkan katamu'alim juga berarti teacher (guru) instructor(pelatih) dan trainer
(pemandu). Yang terakhirmu'addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (guru
dalam lembaga pendidikan al-Quran). Lihat. Hans Wehr, A dictinory of modern written Arabic,
(Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979), hlm. 12,18,279 dan 637.

20) Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat, hlm. 37

21) Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, hlm. 78

22) Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21 (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988),
hlm. 86-87.

23) Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam(Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 119-110.

24) H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Prkatis Berdasarkan Pendekatan
Indisipline (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 61.

25) Imam Barnadib, Fisafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit IKIP
Jakarta, 1990), hlm. 85.

26) Hasan Langgulung. Pendidikan Islam,hlm. 234.

27) Muhammad al Toumy al Syaibani.Falsafah Pendidikan, hlm. 551-552. Bandingkan dengan


Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.
52-53.

28) Zakiah Darajat, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 137-143.

29) Abd Al-Wahhab Abd al Salam Tsuwailah. Al-Tarbiyah al-Islmy wa fan al-Tadris(Beirut: Dar al-
Salam, 1997), hlm. 2-1.

30) Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 1.

31) H.M. Ilmu Pendidikan, hlm. 247.

32) M. Dalyono. Psikologi Pendidikan(Jakarta: Rinika Cipta, 1997), hlm. 129-130.

33) Dalam arti yang luas lingkungan dapat mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat
istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Baca Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Depag, 1984), hlm. 61.

34) Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Perss, 1985), hlm. 65.

35) Muhammad Munir Mursyi. Al Tarbiyah Al-Islamiyah Ushluha wa Tathawuruha fi Bild Al-
Arabiyyah (Mesir: Dar al-Maarif, 1978), hlm. 229. Selanjutnya lihat. Suwito dan Fauzan, Sejarah
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan(Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 98.

36) Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), hlm.
27.
37) Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. H.M.Arifin (Jakarta: Rinika Cipta, 2002),
hlm. 81.

38) Ibid., hlm. 87-89.

39) Ibid., hlm. 34.

40) Lihat. B. Lewis et.al., The Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill Vol. III, 1979), hlm. 126. Lihat
pula Said Ismail Ali, Al-Falsafah Al-Tarbiyah Inda Ibn Sina (Mesir: Dar al-Maarif, 1969), hlm.31.

41) Abuddin Nata. Pemikiran Para, hlm. 667.

42) Nicholas Drake and Elizabeth Davis (ed.), The Councise Encyclopedia of Islam(Sanfrancisco:
Harper & Row Publisher, 1989), hlm. 37. Fatiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan:
Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali, terj. H. Said Agil Husin al-Munawar dan Hadri
Hasan (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 9.

43) Ali al Jumbulati, Perbandingan, hlm. 147.

44) Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islmiyyah wa Fal Saftuh (Mesir: Isa al-Babi al-
Halabi, 1975), hlm. 237. Lihat pula H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 87. Rumusan tujuan yang demikian adalah sejalan dengan (Qs: al Dzariyat: (51): 56).

45) Al-Ghazali, Ihya Ulum al Din, Juz. I tp. tt. hlm. 18-19.

46) Hasan Ibrahim Abdul al-Ala, Al-Fikr al-Tarbawy Inda Badruddin ibn Jamaah, Min Alam li al-
Tarbiyyah al-Islmiyah. Vol.III (ttp. Maktabah al-Tarbiyah al-Araby li Dauli al-Khalij, tt), hlm. 275. Lihat
pula Suwito dan Fauzan.Sejarah, hlm. 241.

47) Ibn Jamaah al-Kinnany, Tadzkirah al-Sami wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim wa al-Muataallim
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), Hlm. 5-6.

48) Lihat Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husaein (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hlm. 122.

49) Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 2001), hlm. 5.

50) Margaret Marcus, Islam dan Modernisme, terj.A. Jainuri dan Syafi'i A. Mughni (Surabaya: Usaha
Nasional, 1982), hlm. 180.

Anda mungkin juga menyukai