Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke
rumah sakit, penilaian dan tindakan awal diruang gawat darurat sangat menetukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan
fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis
dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsure vital. Tingkat keparahan cedera
kepala menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.cedera kepala meliputi
kepala, tengkorak, dan otak. cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius.
Sedangkan trauma pada tulang belakang adalah cidera mengenai
servikalis, vertebralis dan lumbalis, akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang, seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Semua trauma tulang belakang harus
dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal pertolongan dan transportasi ke
rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hati-hati trauma pada tulang belakang dapat
mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen, dan diskus tulang belakang
sendiri dan sumsum tulang belakang. (Suzanne C. Smeltzer :2008).
Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan atau dibawahnya maka dapat
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih. Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet dan tidak komplet. Cidera
medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di
Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini
lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian
rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir
terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah
berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis
yang berjumlah 20 orang (12,5%). Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di
bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi
belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di
asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause). (Medical Surgical Nursing, Charle
:2008).

1.2 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui anatomi system saraf


2. Untuk mengetahui histologi system saraf
3. Untuk mengetahui defisini cedera kepala dan cedera spinalis
4. Untuk mengetahui etiologi cedera kepala dan cedera spinalis
5. Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala dan cedera spinalis
6. Untuk mengetahui gejala klinis cedera kepala dan cedera spinalis
7. Untuk mengetahui klasifikasi cedera kepala dan cedera spinalis
8. Untuk mengetahui tatalaksana cedera kepala dan cedera spinalis
9. Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala dan cedera spinalis
10. Untuk mengetahui prognosis cedera kepala dan cedera spinalis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Capitis


2.1.1 Anatomi

Gambar 1.1. Potongan otak secara sagital


(Sumber: Netter, F.H., 2011. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. United States of America:
Saunders Elsevier, 105)

Menurut Hansen (2010), otak dan medula spinalis dikelilingi oleh tiga lapisan jaringan ikat
membranosa yang disebut meninges, yang meliputi:

1. Dura mater, yaitu lapisan terluar yang kaya akan serabut saraf sensoris. Dura mater terutama
disarafi oleh cabang-cabang sensoris meningeal dari nervus trigeminus, nervus vagus, dan
saraf-saraf servikal atas. Dura mater juga membentuk lipatan atau lapisan jaringan ikat tebal
yang memisahkan berbagai regio otak seperti falks serebri, falks serebeli, tentorium serebeli,
dan diafragma sella.

2. Araknoid mater, yaitu lapisan di bawah dura mater yang avaskular. Ruang di antara
araknoid mater dan pia mater disebut spatium subarachnoideum dan mengandung cairan
serebrospinalis.

3. Pia mater, yaitu lapisan jaringan ikat yang langsung membungkus otak dan medula spinalis.
Araknoid mater dan pia mater tidak memiliki serabut saraf sensoris.
Bagian yang paling menonjol dari otak manusia adalah hemisfer serebri. Beberapa regio
korteks serebri yang berhubungan dengan fungsi-fungsi spesifik dibagi atas lobus-lobus.
Lobus-lobus tersebut dan fungsinya masing-masing antara lain:
1. Lobus frontal memengaruhi kontrol motorik, kemampuan berbicara
ekspresif, kepribadian, dan hawa nafsu

2. Lobus parietal memengaruhi input sensoris, representasi dan integrasi, serta kemampuan
berbicara reseptif

3. Lobus oksipital memengaruhi input dan pemrosesan penglihatan

4. Lobus temporal memengaruhi input pendengaran dan integrasi ingatan

5. Lobus insula memengaruhi emosi dan fungsi limbik

6. Lobus limbik memengaruhi emosi dan fungsi otonom (Hansen, 2010)


Komponen-komponen otak lainnya antara lain:
1. Talamus merupakan pusat relai di antara area kortikal dan subkortikal.

2. Serebelum mengkoordinasikan aktivitas motorik halus dan memproses posisi otot.

3. Batang otak (otak tengah, pons, dan medula oblongata) menyampaikan informasi sensoris
dan motorik dari somatik dan otonom serta informasi motorik dari pusat yang lebih tinggi ke
target-target perifer (Hansen, 2010).
Otak mengandung empat ventrikel, yaitu dua ventrikel lateral serta ventrikel ketiga dan
keempat yang terletak di sentral. Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroideus,
beredar melalui ventrikel-ventrikel, dan kemudian memasuki ruang subaraknoid melalui
foramen Luschka atau foramen Magendie di ventrikel keempat. Otak terutama diperdarahi
oleh arteri vertebral yang berasal dari arteri subklavia, naik melalui foramen transversum dari
vertebra C1-C6, dan memasuki foramen magnum tengkorak; dan arteri karotid internal yang
berasal dari arteri karotis komunis di leher, naik di leher, dan memasuki kanalis karotis dan
melintasi foramen laserum sehingga berakhir sebagai arteri serebral anterior dan medial yang
beranastomosis dengan sirkulus Willisi (Hansen, 2010).

Dermatom

Dermatom adalah kawasan/area kulit pada satu sisi tubuh yang menerima sinyal dari satu saraf
spinalis. Dermatom merupakan zona dari informasi sensoris atau perasaan yang dibawa oleh
cabang saraf di area tersebut. Para dokter menggunakan pengetahuan mereka tentang peta
dermatom untuk memeriksa area atau zona yang terjadinya disfungsi atau nyeri. Peta tersebut
membantu mereka untuk melokalisasi saraf yang menghantarkan rangsang nyeri (Asher,
2010).
2.1.2 Histologi

Menurut Eroschenko (2008), otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang, jaringan ikat,
dan cairan serebrospinalis. Di dalam kranium dan foramen vertebrale terdapat meninges, yaitu
suatu jaringan ikat yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu dura mater, araknoid mater, dan pia
mater. Di antara araknoid mater dan pia mater terdapat spatium subarachnoideum, tempat
beredarnya cairan serebrospinalis yang membasahi dan melindungi otak dan medula spinalis.
Sel struktural dan fungsional jaringan saraf adalah neuron. Setiap neuron terdiri dari soma atau
badan sel, banyak dendrit, dan satu akson. Badan sel atau soma mengandung nukleus,
nukleolus, berbagai organel, dan sitoplasma atau perikarion. Dari badan sel muncul tonjolan-
tonjolan sitoplasma yang disebut dendrit yang membentuk percabangan dendritik. Neuron
dikelilingi oleh sel yang lebih kecil dan lebih banyak yaitu neuroglia, yaitu sel penunjang
nonneural yang memiliki banyak percabangan di SSP dan mengelilingi neuron, akson, dan
dendrit. Sel ini tidak terangsang atau menghantarkan impuls karena secara morfologis dan
fungsional berbeda dari neuron. Sel neuroglia dapat dibedakan dari ukurannya yang jauh lebih
kecil dan nukleus yang berwarna gelap dan jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat lebih banyak
daripada neuron (Eroschenko,2008)
Gambar 2.2. Bagian-bagian neuron (X100, H&E)
(Sumber: Mescher, A.L., 2009. Junqueiras Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. United
States of America: The McGraw-Hill Professional

Empat jenis sel neuroglia adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal.
Astrosit adalah sel neuroglia terbesar dan paling banyak ditemukan di substansia grisea.
Astrosit terdiri dari dua jenis, yaitu astrosit fibrosa dan astrosit protoplasmik. Oligodendrosit
membentuk selubung mielin akson di SSP. Mikroglia berasal dari sumsum tulang dan fungsi
utamanya mirip dengan makrofag jaringan ikat. Sel ependimal adalah sel epitel kolumnar
pendek atau selapis kuboid yang melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis medula spinalis
(Eroschenko, 2008).
Otak dan medula spinalis mengandung substansia grisea dan substansia alba. Substansia grisea
terdiri dari neuron-neuron, dendrit-dendritnya, dan neuroglia, sedangkan substansia alba tidak
mengandung badan sel neuron dan terutama terdiri dari akson bermielin, sebagian akson tidak
bermielin, dan oligodendrosit penunjang (Eroschenko, 2008).
Gambar 2.3. Astrosit fibrosa dan kapiler di otak. Pewarnaan: metode Cajal. Pembesaran
sedang.
(Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiores Atlas of Histology with Functional Correlations.
11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U.
Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC,
159)
Gambar 2.4. Oligodendrosit otak. Pewarnaan: metode Cajal. Pembesaran sedang.
(Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiores Atlas of Histology with Functional Correlations.
11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U.
Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC,
159).
Gambar 2.5. Mikroglia otak. Pewarnaan: metode Hortega. Pembesaran sedang.
(Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiores Atlas of Histology with Functional Correlations.
11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U.
Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC,
159).

Gambar 2.6. Sel ependimal pada kanalis sentralis medula spinalis (X200, H&E)
(Sumber: Mescher, A.L., 2009. Junqueiras Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. United
States of America: The McGraw-Hill Professional)
2.1.3 Epidemiologi Trauma Kapitis

Di Amerika setiap cedera kepala sebanyak 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut 10%
meninggal sebelum masuk rumah sakit. Yang dapat masuk rumah sakit, 80% cedera kepala
ringan, 10% Cedera kepala sedang, 10% sisanya lagi cedera kepala berat. Lebih dari 100.000
daripada jumlah tersebut menderita berbagai kecacatan karena cedera kepala dan otak.

2.1.4 Etiologi Trauma Capitas

- Kecelakaan atau jatuh


- Cedera akibat kekerasan
- Benda tumpul
- Benda tajam

2.1.5 Klasifikasi Trauma Capitis

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis cedera kepala
diklasifikasikan berdasarkan : Mekanisme, beratnya dan morfologi cedera kepala.

A. Mekanisme cedera kepala


Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas:
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul, dapat terjadi:
1. Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil-Motor
2. Kecepatan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari ketinggian atau dipukul
dengan benda tumpul
b. Cedera kepala tembus
Disebabkan oleh :
1. cedera peluru
2. cedera tusukan

Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tumpul atau tembus.
B. Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya respon membuka mata, respon motorik
dan respon verbal.

Respon membuka mata (E)


Membuka mata spontan 4
Buka mata bila ada rangsangan suara atau sentuhan ringan 3
Membuka mata bila ada rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Mampu melokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Respon verbal
Orientasi baik 5
Kebingungan (tidak mampu berkomunikasi ) 4
Hanya ada kata kata tapi tidak berbentuk kalimat ( teriakan) 3
Hanya asal bersuara atau berupa erangan 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :
a. Cedera kepala ringan : GCS 14 15
b. Cedera kepala sedang : GCS 9 13
c. Cedera kepala berat : GCS 3 - 8

C. Morfologi cedera kepala


Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas:
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Dibagi atas :
o Fraktur kalvaria : bisa berbentuk garis atau bintang
depresi atau non depresi
terbuka atau tertutup

o Fraktur dasar tengkorak : dengan atau tanpa kebocoran CSF


dengan atau tanpa paresis N.VII

b. Lesi intrakranium
Dapat digolongkan menjadi :
o Lesi fokal : Perdarahan epidural
Perdarahan subdural
Perdaraha intraserebral

o Lesi difus : Komosio ringan


Komosio klasik
Cedera akson difus
2.1.6 Patofisiologi Trauma Capitis
Patofisiologi cedera kepala diawali dengan pemahaman mengenai biomekanika
trauma. Benturan kepala akan menimbulkan respons pada tengkorak dan otak, misalnya perge-
rakan (displacement). Secara klinis, respons ini dapat berupa fraktur dan cedera otak. Risiko
pasien mengalami fraktur dan cedera otak ini bergantung kepada faktor akselerasi kepala.
Benturan pada permukaan yang keras memiliki durasi singkat dengan akselerasi tinggi.
Sementara itu, durasi yang lebih lama pada permukaan yang kurang keras menurunkan risiko
fraktur, tetapi tidak untuk cedera otak, asalkan akselerasinya tetap tinggi. Pemahaman inilah
yang menyebabkan ada kasus dengan fraktur tengkorak tanpa perdarahan otak, atau cedera
aksonal difus tanpa fraktur tengkorak.
Disamping cedera otak sekunder tersebut, konsekuensi lanjutan dari cedera otak primer
dapat berupa kerusakan sekunder (secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam,
hipo/hiperglikemia, gangguan elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme. Diantara semua itu,
faktor yang paling berpengaruh terhadap prognosis buruk adalah hipotensi dan hipoksia yang
akan memperberat cedera otak.
Cedera otak primer akibat benturan pada kepala menimbulkan serangkaian proses yang
pada akhirnya menjadi cedera otaksekunder. Saat benturan terjadi, neuron mengalami
regangan dan tarikan yang termasuk dalam cedera otak primer. Peristiwa inimenggangu
integritas dan kerja pompa ion natrium dan kalsium ke intrasel dan ion kalium ke ekstrasel.
Hal ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium intrasel yang kemudian memiliki
konsekuensi, yaitu aktivasi calpain yang bisa mendegradasi protein sitoskeletal dan induksi
penglepasan glutamate yang akhirnya mengaktivasi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium di mitokondria, sehingga terbentuk banyak
radikal bebas (reactive oxygen species/ROS), aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan
fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi terakhir ini selanjutnya akan menyebabkan
metabolism anaerob dan pada akhirnya kegagalan energy. Inilah yang menjadi inti
permasalahan karena neuron membutuhkan energy yang cukup pada kondisi cedera. Neuron
dengan kegagalan energy tidak dapat berfungsi normal dan selanjutnya terjadi asidosis, edema,
dan iskemia yang menambah berat kerusakan otak.
2.1.7 Diagnosis Trauma Capitis

Anamnesis
Identitas
Keluhan utama + onset
Riwayat penyakit sekarang (mekanisme trauma, jenis trauma apakah tembus atau
tidak, waktu terjadinya trauma, ada tidaknya nyeri, gangguan fungsi sensorik,
gangguan motoric yang dialami, gangguan miksi, defekasi dan fungsi seksual,
gangguan pernapasan, mual-muntah)
Riwayat penyakit dahulu (riwayat kejang, riwayat terjatuh, operasi)
Riwayat penyakit keluarga (hipertensi, stroke, DM)
Riwayat pengobatan
Riwayat kebiasaan (merokok, minuman beralkohol, narkoba)
Pemeriksaan Fisik
Status neurologis
PF neurologi dan intepretasi (pada pasien composmentis)
Defisit neurologi (global : kesadaran. Fokal : kelemahan tungkai)
Kekuatan motorik

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lab : darah perifer lengkap, urinalisis, gula darah sewaktu, ureum
kreatinin, analisis gas darah.
Pemeriksaan radiologi; Foto vertebra AP / lateral / odontoid sesuai letak lesi
CT scan / MRI

2.1.8 Tata Laksana

2.1.9 Prognosis

prognosis dan perjalanan penyakitnya berhubungan dengan beratnya dan letak cedera
kranial. Pada commotio biasa, biasanya kesembuhan terjadi dengan cepat. Pada laceratio otak,
angka mortalitasnya dapat 40%-50%
2.2 Trauma Medula Spinalis
2.2.1 Epidemiologi Trauma Medula Spinalis

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami cedera
medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai 203.000
orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.

Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan,
rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi.

Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui epidemiologi
penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika
Serikat.

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000 orang
melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang digunakan dalam
survei tersebut.Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang
dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis.

2.2.3 Etiologi Trauma Medula Spinalis

Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki,
Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%),
kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%).

Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara
lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup
sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di
Taiwan.Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis lebih tinggi di
negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal ini antara lain:
Kondisi jalan yang buruk
Berkendara melewati batas kecepatan
Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di dalam mobil
Korupsi dan suap yang melingkupi implementasi regulasi lalu lintas
Volume kendaraan yang berlebih
Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat menyelam dan bekerja
Kondisi-kondisi yang tidak lazim seperti jatuh dari pohon dan jembatan

2.2.4 Klasifikasi Trauma Medula Spinalis

Klasifikasi cedera medulla spinalis menurut ASIA


Grade Tipe Gangguan
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan
sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensoris masih baik tapi
motorik terganggu sampai S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah
level, tapi otot-otot motorik utama
masih punya kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah
level, tapi otot motorik utama punya
kekuatan >3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
2.2.5 Diagnosis Trauma Medula Spinalis
Anamnesis
Identitas
Keluhan utama + onset
Riwayat penyakit sekarang (mekanisme trauma, jenis trauma apakah tembus atau
tidak, waktu terjadinya trauma, ada tidaknya nyeri, gangguan fungsi sensorik,
gangguan motoric yang dialami, gangguan miksi, defekasi dan fungsi seksual,
gangguan pernapasan, mual-muntah)
Riwayat penyakit dahulu (riwayat kejang, riwayat terjatuh, operasi)
Riwayat penyakit keluarga (hipertensi, stroke, DM)
Riwayat pengobatan
Riwayat kebiasaan (merokok, minuman beralkohol, narkoba)

Pemeriksaan Fisik
Status neurologis
PF neurologi dan intepretasi (pada pasien composmentis)
Defisit neurologi (global : kesadaran. Fokal : kelemahan tungkai)
Kekuatan motorik

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lab : darah perifer lengkap, urinalisis, gula darah sewaktu, ureum
kreatinin, analisis gas darah.
Pemeriksaan radiologi; Foto vertebra AP / lateral / odontoid sesuai letak lesi
CT scan / MRI

2.2.6 Tata Laksana


2.2.7 prognoosis
pengelolaan secara konservatif dengan atau tanpa traksi dapat membawa perbaikan
sampai titik kesembuhan practical. Meredanya rasa nyeri biasanya terjadi setelah
pengangkatan diskus yang sakit. Disfungsi motorik, atrofi otot dan perubahan sensorik pada
kulit dapat pulih kembali

Anda mungkin juga menyukai