Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDIDIKAN PROFESI NERS DAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KASUS DHF RUANG FLAMBOYAN


RST TK II Dr. SOEPRAOEN MALANG
TAHUN 2017

M. FAISOL
NIM. 17640715

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KADIRI
2017
PENDAHULUAN
DENGUE HAEMORAGIC FEVER

a. Definisi
DHF adalah suatu infeksi arbovirus akut yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan
nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering menyerang anak, remaja, dan dewasa yang ditandai
dengan demam, nyeri otot dan sendi. Demam Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue
Haemoragic Fever ( DHF ).
Demam dengue/dengue fever adalah penyakit yang terutama pada anak, remaja, atau
orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot, atau sendi yang disertai
leukopenia, dengan/tanpa ruam (rash) dan limfadenophati, demam bifasik, sakit kepala yang
hebat, nyeri pada pergerakkan bola mata, rasa menyecap yang terganggu, trombositopenia
ringan, dan bintik-bintik perdarahan (ptekie) spontan (Noer, dkk, 1999).
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
(arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Suriadi &
Yuliani, 2001).
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa
ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui
gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman, 1990).
DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain
yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,
Patrick manson, 2001).
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus
dengue dengan gejala utama demamj dan manifestasi perdarahan pada kuilt ataupun bagian
tubuh lainnya yang bertendensi menimbulkan renjatan dan dapat berlanjut dengan kematian.
Dengue adalah penyakit virus didaerah tropis yang ditularkan oleh nyamuk dan ditandai
dengan demam, nyeri kepala, nyeri pada tungkai, dan ruam (Brooker, 2001).
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus Dengue yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Virus Dengue termasuk
genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang dibedakan menjadi 4 serotipe yaitu DEN 1, DEN 2,
DEN 3 dan DEN 4. (Syahrurahman A et al., 1995)

b. Epidemiologi
Wabah Dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia dan
selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai Dengue telah
digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim sedang. Vektor penyakit ini berpindah
dan memindahkan penyakit dan virus Dengue melalui transportasi laut. Seorang pakar bernama
Rush telah menulis tentang Dengue berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di
Philadelphia tahun 1780. Kebanyakan wabah ini secara klinis adalah demam Dengue walaupun
ada beberapa kasus berbentuk haemorrhargia. Penyakit DBD di Asia Tenggara ditemukan
pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958 (Soegijanto S., Sustini F, 2004)
dan dilaporkan menjadi epidemi di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965), dan
Calcutta (1963) (Soedarmo, 2002).
DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, tetapi konfirmasi
virologis baru diperoleh tahun 1970. Kasus pertama di Jakarta dilaporkan tahun 1968, diikuti
laporan dari Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972) (Soedarmo, 2002). Epidemi pertama di
luar Jawa dilaporkan tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi
Utara, dan Bali (1973), serta Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (1974). DBD telah
menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia sejak tahun 1997 dan telah terjangkit di daerah
pedesaan (Suroso T, 1999). Angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari
0,05 (1968) menjadi 8,14 (1983), dan mencapai angka tertinggi tahun 1998 yaitu 35,19 per
100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang (Soegijanto S., 2004).
Selama awal tahun epidemi di setiap negara, penyakit DBD ini kebanyakan menyerang
anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur kurang dari 15 tahun. Walaupun demikian,
berbagai negara melaporkan bahwa kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi kejadian luar
biasa (Soegijanto S., 2004).
Jumlah kasus dan kematian Demam Berdarah Dengue di Jawa Timur selama 5 tahun
terakhir menunjukkan angka yang fluktuatif, namun secara umum cenderung mengalami
peningkatan. Pada tahun 2001 dan 2004 terjadi lonjakan kasus yang cukup drastis karena
adanya KLB, yaitu tahun 2001 sebanyak 8246 penderita (angka insiden: 23,50 per-100 ribu
penduduk), dan tahun 2004 (sampai dengan Mei) sebanyak 7180 penderita (angka insidens:
20,34 per 100 ribu penduduk). Sasaran penderita DBD juga merata, mengena pada semua
kelompok umur baik anak-anak maupun orang dewasa, baik masyarakat pedesaan maupun
perkotaan, baik orang kaya maupun orang miskin, baik yang tinggal di perkampungan maupun
di perumahan elite, semuanya bisa terkena Demam Berdarah (Huda AH., 2004).
Case Fatality Rate penderita DBD pada tahun 2004 sebesar 0,7 dan insidence rate
sebesar 45. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus, prevalensi serotipe virus Dengue, dan kondisi metereologis. DBD secara
keseluruhan tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi kematian ditemukan lebih
banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki (Soegijanto S., 2003; Soegijanto S.,
Sustini F., 2004). Distribusi umur pada mulanya memperlihatkan proporsi kasus terbanyak
adalah anak berumur 15 tahun.

c. Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe.
Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan
dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 1954. Keempat serotif
tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling
banyak
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh
dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang
paling banyak beredar.
Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di samping pula
Aedes albopictus. Vektor ini mepunyai ciri-ciri:
Badannya kecil, badannya mendatar saat hinggap
Warnanya hitam dan belang-belang
Menggigit pada siang hari
Gemar hidup di tempat tempat yang gelap
Jarak terbang <100 meter dan senang mengigit manusia
Bersarang di bejana-bejana berisi air jernih dan tawar seperti bak mandi, drum penampung
air, kaleng bekas atau tempat-tempat yang berisi air yang tidak bersentuhan dengan tanah.
Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk sekitar 10 hari.

d. Patofisiologi
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan
kemudian bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibody, dalam
asirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen (Suriadi & Yuliani, 2001).Akibat aktivasi C3
dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan
merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah
dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang
biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang
mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DHF dapat terjadi
bila seseorang setelah terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya.
Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan
konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi .
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang
mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal
diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggoroka dan
kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-
kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh
darah dibawah kulit pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa
(Splenomegali).Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya
volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan
renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan
adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk
patokan pemberian cairan intravena. .Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler
dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan
melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan
kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi
kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya
jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang
dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Renjatan yang
terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis setelah pemberian plasma/ekspander plasma yang
efektif, sedangkan pada autopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang
destruktif atau akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding
pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakolgis yang bekerja singkat. Jika renjatan
atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan
kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF
menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF
ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin
dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler.
Hal ini berakibat berkurangnya volume plamsa, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi dan renjatan. perdarahan umumnya dihubungkan dengan
trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit. Fungsi agregasi
trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan terdapatnya
kompleks imun dalam peredaran darah.
Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya
memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada
DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat. Terjadinya trobositopenia,
menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen)
merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran
gastrointestinal pada DHF. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya mega
karoisit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan
dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyidikan dengan radioisotop membuktikan
bahwa penghancuran trombosit terjadinya dalam sistem retikuloendotelial. Yang menentukan
beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemoragik, renjatan terjadi
secara akut. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik.

e. Klasifikasi
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4
golongan, yaitu :
Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet
positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie,
ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. Ditemukan pula perdarahan kulit.
Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt)
tekanan nadi sempit , tekanan darah menurun.
Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur,anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit
tampak biru.

f. Gejala klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa
inkubasi anatara 13 15 hari, tetapi rata-rata 5 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak
berupa suhu tinggi, Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah
menurun, gelisah, capillary reffil time lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah), nyeri pada
otot dan tulang, abdomen dan ulu hati, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan, lidah
kotor, tidak ada napsu makan, diare, konstipasi.Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat
pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot
perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot
sekitar mata terasa pegal.Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal
demam (6 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang
berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.
Ruam berikutnya mulai antara hari 3 6, mula mula berbentuk makula besar yang
kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada
dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-
bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih
lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa
penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis,
hematemesis, epistaksis melena, hematuria. Hati, limpa dan kelenjar getah bening. umumnya
membesar dan nyeri tekan, tetapi pembesaran hati tidak sesuai dengan beratnya penyakit.uga
kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3
dan ke-7 dengan tanda anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin
dan lembab, denyut nadi terasa cepat.
g. Pemeriksaan fisik
Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada simetris,
perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat trjadi
DSS
Sistem Cardiovaskuler
Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni, pada grade
III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut,
hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa,
pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat
menelan, dapat hematemesis, melena.
Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat
kencing, kencing berwarna merah.
Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet,
terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.

h. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin untuk penderita DBD adalah jumlah trombosit dan kadar
hematokrit. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat menjadi pertanda penyakit demam
berdarah adalah:
o Ig G dengue positif.
o Trombositopenia, yaitu menurunnya jumlah trombosit darah hingga kurang dari
100.000/mm3.
o Hemokonsentrasi; peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20% atau lebih.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura (tampak melalui rontgen dada)
dan atau hipoalbuminemia menjadi bukti penunjang adanya kebocoran plasma. Bukti ini sangat
berguna terutama pada pasien yang anemia dan atau mengalami perdarahan berat. Pada kasus
syok, jumlah hematokrit yang tinggi dan trombositopenia memperkuat diagnosis terjadinya
Dengue Shock Syndrom (WHO, 2004).
o Leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofilyang akan
terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya
leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
o Isolasi virus
o Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
o Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam apabila
sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto dada, BUN, creatinin
serum.
o Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3) Waktu perdarahan memanjang.
4) Asidosis metabolik.
5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
b. Foto toraks lateral dekubitus kanan.
Terdapat efusi pleura dan bendungan vaskuler

i. Prognosis
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang
dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari
sakit ketiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/ul atau kurang dari 1-2
trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan
sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan
perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal
sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonis atau ringer laktat,
yang kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Ada DBD derajat I dan II,
cairan intravena dapat diberikan selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan
peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/ul.6(art
DHF).
j. Terapi
Belum atau tanpa renjatan:
1) Grade I dan II :
a. Oral ad libitum atau
b. Infus cairan Ringer Laktat dengan dosis 75 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg
atau 50 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg bersama-sama diberikan minuman oralit,
air buah atau susu secukupnya.
Untuk kasus yang menunjukkan gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak-
banyaknya dan sesering mungkin.
Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus
diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang
diestimasikan sebagai berikut :
100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg
75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg
60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg
50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg
Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk anti panas, darah 15
cc/kgBB/hari perdarahan hebat.

Dengan Renjatan ;
2) Grade III
a. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan
frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10
mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan
dihitung berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah
masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi
renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg
75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg.
60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg.
50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.
b. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan tensi masih
terukur kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut
memperoleh plasma atau plasma ekspander ( dextran L atau yang lainnya ) sebanyak 10 mL/
Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika
keadaan umum membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam
dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
c. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1 jam keadaan tensi
menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka
penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya)
sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu
24 jam.

k. Penatalaksanaan
a. Tirah baring atau istirahat baring.
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue :
Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang ) atau kejang-kejang.
Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif / negatif, kesan sakit
keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
Panas disertai perdarahan
Panas disertai renjatan.
c. Diet makan lunak.
d. Minum banyak (2 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita
sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
e. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang
paling sering digunakan.
f. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien
memburuk, observasi ketat tiap jam.
g. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
h. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
i. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
j. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
k. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil
pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
l. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
m. Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat.
Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara
klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

1. Wawancara

a. Biodata klien

Meliputi identitas pasien dan keluarga.

b. Riwayat kesehatan

- Riwayat kesehatan sekarang.

Biasanya klien demam, lemah, sakit kepala, anemia, nyeri ulu hati dan nyeri otot.

- Riwayat kesehatan keluarga.

Sebelumnya apakah ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama.

- Riwayat kesehatan dahulu

Apakah sebelumnya klien pernah mengalami penyakit yang sama.

2. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum

Kesadaran : Composmentis, samnolen, koma (tergantung derajat DHF)

TTV : Biasanya terjadinya penurunan

2) Kepala

- Wajah : Kemerahan (flushig), pada hidung terjadi epistaksis

- Mulut : Perdarahan gusi, muosa bibir kering dan kadang-kadang lidah kotor dan hiperemia pada
tenggorokan

- Leher : Tidak ada masalah

- Thorak

3) Paru : Pernafasan dangkal, pada perkusi dapat ditemukan bunyi redup karena efusi fleura
Jantung : Dapat terjadi anemia karena ekurangan cairan

- Abdomen : Nyeri ulu hati, pada palpasi dapat ditemukan pembesaran hepar dan limpa

4) Ekstremitas : Nyeri sendi

5) Kulit : Ditemukan ptekie, ekimosis, purpura, hematoma, hyperemia

3. Analisa data

a. Data Subjektif

Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain :

Breath: sesak napas

Blood: penurunan trombosit, perdarahan

Brain: sakit kepala

Blandder: urine menurun

Bowel: konstipasi

Bone: nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, lemah
Anoreksia (tak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan
Demam atau panas

b. Data Objektif

Data objektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :

Suhu tubuh tinggi: menggigil; wajah tampak kemerahan (flushimg)

Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)

Tampak bintik merah pada kulit (petekie)

kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak buang air kecil dan
kelenturan kulit menurun

DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).

2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
3. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding
plasma.

4. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.

5. Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.

6. Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.

7. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk, hospitalisasi dan perdarahan

INTERVENSI

NO. DIAGNOSA TUJUAN & INTERVENSI RASIONAL


DX KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1 Peningkatan suhu Setelah dilakukan
1. Kaji saat
1. untuk
tubuh berhubungan tindakan keperawatan timbulnya mengidentifikasi
dengan proses diharapkan demam demam. pola demam
penyakit (viremia). pasien teratasi, dengan pasien.
2. Observasi tanda
criteria hasil : 2. tanda vital
vital (suhu, nadi,
- Suhu tubuh normal merupakan acuan
tensi,
(36 370C). untuk
pernafasan)
- Pasien bebas dari mengetahui
setiap 3 jam.
demam. keadaan umum

3. Berikan pasien.
kompres hangat. 2,5 liter/24
jam.7)Anjurkan
4. Anjurkan untuk
pasien untuk
tidak memakai
banyak minum
selimut dan
pakaian 3.
yang Dengan
tebal. vasodilatasi
5. Berikan terapi dapat
cairan intravena meningkatkan
dan obat-obatan penguapan yang
mempercepat
sesuai program penurunan suhu
dokter. tubuh.

4. pakaian tipis
membantu
mengurangi
penguapan
tubuh.

5. pemberian
cairan sangat
penting bagi
pasien dengan
suhu tinggi.

2 Gangguan Setelah dilakukan


1. Kaji keluhan
1. Untuk
pemenuhan tindakan keperawatan mual, sakit menetapkan cara
kebutuhan nutrisi diharapkan kebutuhan menelan, dan mengatasinya
kurang dari nutrisi pasien muntah yang
2. Cara
kebutuhan terpenuhi, dengan dialami pasien. menghidangkan
berhubungan kriteria hasil : makanan dapat
2. Kaji cara /
dengan mual, - pasien mampu mempengaruhi
bagaimana
muntah, anoreksia. menghabiskan nafsu makan
makanan
makanan sesuai dengan pasien.
dihidangkan.
posisi yang diberikan 3. Membantu
/dibutuhkan. mengurangi
3. Berikan
kelelahan pasien
makanan yang
dan
mudah ditelan
meningkatkan
seperti bubur.
asupan makanan .

4. 4.
Berikan Untuk

makanan dalam menghindari


mual
porsi kecil dan
5. Untuk
frekuensi sering. mengetahui
pemenuhan
5. Catat jumlah /
kebutuhan
porsi makanan
nutrisi.
yang dihabiskan
6. Antiemetik
oleh pasien
membantu pasien
setiap hari.
mengurangi rasa
mual dan muntah
6. Berikan obat-
dan diharapkan
obatan
intake nutrisi
antiemetik
pasien
sesuai program
meningkat.
dokter.
7. Untuk

7. Ukur berat mengetahui


badan pasien status gizi pasien
setiap minggu.

3 Kurangnya volume Setelah dilakukan


1. Kaji keadaan
1. Menetapkan
cairan tubuh tindakan keperawatan umum pasien data dasar pasien
berhubungan diharapkan volume (lemah, pucat, untuk
dengan peningkatan cairan tubuh pasien takikardi) serta mengetahui
permeabilitas terpenuhi, dengan tanda-tanda penyimpangan
dinding plasma. criteria hasil: vital. dari keadaan
normalnya.
2. Observasi
2. Agar dapat
tanda-tanda segera dilakukan
syock. tindakan untuk
menangani syok.
3. Berikan cairan
3. Pemberian
intravena sesuai
cairan IV sangat
program dokter
penting bagi
4. Anjurkan pasien pasien yang
untuk banyak mengalami
minum. kekurangan
cairan tubuh
5. Catat intake dan
karena cairan
output.
tubuh karena
cairan langsung
masuk ke dalam
pembuluh darah.
4. Asupan cairan
sangat diperlukan
untuk menambah
volume cairan
tubuh.
5. Untuk
mengetahui
keseimbangan
cairan.

4 Gangguan aktivitas Setelah dilakukan


1. Kaji keluhan
1. Untuk
sehari-hari tindakan keperawatan pasien. mengidentifikasi
berhubungan diharapkan kebutuhan masalah-masalah
dengan kondisi aktivitas sehari-hari
2. Kaji hal-hal pasien.
tubuh yang lemah. terpenuhi yang mampu
2. Untuk
, dengan criteria hasil : atau yang tidak mengetahui
- Pasien mampu mampu tingkat
mandiri setelah bebas dilakukan oleh ketergantungan
demam. pasien. pasien dalam
memenuhi
3. Bantu pasien
kebutuhannya.
untuk
3. Pemberian
memenuhi
bantuan sangat
kebutuhan
diperlukan oleh
aktivitasnya
sehari-hari pasien pada saat
sesuai tingkat kondisinya lemah
dan perawat
4. Letakkan mempunyai
barang-barang tanggung jawab
di tempat yang dalam
mudah pemenuhan
terjangkau oleh kebutuhan
pasien. sehari-hari pasien
tanpa mengalami
ketergantungan
pada perawat.
4. Akan
membantu pasien
untuk memenuhi
kebutuhannya
sendiri tanpa
bantuan orang
lain.

5 Resiko terjadi syok Setelah dilakukan


1. Monitor
1. Memantau
hypovolemik tindakan keperawatan keadaan umum kondisi pasien
berhubungan diharapkan resiko pasien selama masa
dengan kurangnya syok hypovolemik perawatan
volume cairan dapat teratasi
2. Observasi terutama pada
tubuh. , dengan criteria hasil : tanda-tanda vital saat terjadi
- Tidak terjadi syok tiap 2 sampai 3 perdarahan
hipovolemik. jam. sehingga segera
- Tanda-tandavital diketahui tanda
3. Monitor tanda
dalam batas normal. syok dan dapat
perdarahan
- Keadaan umum baik. segera ditangani.
2. Tanda vital
4. Chek
normal
haemoglobin,
hematokrit, menandakan
trombosit keadaan umum
baik.
5. Berikan
3. Perdarahan
transfusi sesuai
cepat diketahui
program dokter.
dan dapat diatasi

6. Lapor dokter sehingga pasien


bila tampak tidak sampai

syok syok

hipovolemik. hipovolemik.
4. Untuk
mengetahui
tingkat
kebocoran
pembuluh darah
yang dialami
pasien sebagai
acuan melakukan
tindakan lebih
lanjut.
5. Untuk
menggantikan
volume darah
serta komponen
darah yang
hilang.
6. Untuk
mendapatkan
penanganan lebih
lanjut sesegera
mungkin
6 Resiko terjadi Setelah dilakukan
1. Monitor tanda
1. Penurunan
perdarahan lebih tindakan keperawatan penurunan trombosit
lanjut berhubungan diharapkan resiko trombosit yang merupakan tanda
dengan terjadi perdarahan disertai gejala kebocoran
trombositopenia. dapat teratasi, dengan klinis. pembuluh darah.
criteria hasil : 2. Aktivitas
-Tidak terjadi tanda-
2. Anjurkan pasien pasien yang tidak
tanda perdarahan lebih untuk banyak terkontrol dapat
lanjut. istirahat menyebabkan
- Jumlah trombosit perdarahan.
3. Beri penjelasan
meningkat. 3. Membantu
untuk segera
pasien
melapor bila ada
mendapatkan
tanda
penanganan
perdarahan lebih
sedini mungkin.
lanjut.
4. Memotivasi

4. Jelaskan obat pasien untuk mau


yang diberikan minum obat

dan manfaatnya. sesuai dosis yang


diberikan.

7 Kecemasan Setelah dilakukan


1. Kaji rasa cemas
1. Menetapkan
berhubungan tindakan keperawatan yang dialami tingkat
dengan kondisi diharapkan kecemasan pasien. kecemasan yang
pasien yang pasien dapat teratasi,
2. Jalin hubungan dialami pasien.
memburuk dan dengan criteria hasil : saling percaya
2. Pasien bersifat
perdarahan Kecemasan dengan pasien. terbuka dengan
berkurang. perawat.
3. Tunjukkan sifat
3. Sikap empati
empati
akan membuat

4. Beri kesempatan pasien merasa


pada pasien diperhatikan
untuk dengan baik.
mengungkapkan
4. Meringankan
perasaannya beban pikiran
pasien
5. Gunakan
5. Agar segala
komunikasi
sesuatu yang
terapeutik
disampaikan
diajarkan pada
pasien
memberikan
hasil yang
efektif.

EVALUASI
a. Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
b. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi
yang diberikan atau dibutuhkan.
c. Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
d. Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
e. Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital
dalam batas normal.
f. Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
g. Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses
penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Sunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta.

Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta.

Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.

Carpenito,Lynda Jual.2001.Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi8.Jakarta:EGC.

Carpenito, Lynda Juall.2000.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktis klinis edisi


6. Jakarta.EGC

Doengoes, Marilynn E, dkk.2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC.

Mansjoer, Arif, dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta:Media Aeculapius FKUI.

Kim, Mi Ja.1995.Diagnos aKeperawatan edisi 5.Jakarta:EGC

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2006.Panduan Pelayanan


Medik.Jakarta:PBPAPDI.

Price, Sylvia A, dkk.2006.Patofisiologi volume 1.Jakarta:EGC.

Soedarto.2002.Sinopsis Klinis Penyebab, Gejala Klinis Diagnosa Banding, Diagnosa


Laboratoris dan Terapi.Surabaya:Airlangga.University Press.

Suyono, Slamet, dkk.2001.Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi ketiga.Jakarta:Balai


Penerbit FKUI.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.1985.Buku Kuliah 2 Kesehatan


Anak.Jakarta:Infomedika.

Anda mungkin juga menyukai