Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Laporan Field Trip
untuk matakuliah Geologi dan sumber daya lingungan di PT. NEWMONT pada 3 november
2017.
Dalam proses penyusunan laporan ini, penulis banyak mengalami kesulitan. Namun berkat
bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu. Untuk
itu penulis mengucapkan banyak terima kasih serta penghargaan sebesar-besarnya, dan semoga
Tuhan yang maha Esa dapat melimpahkan Rahmat-Nya atas segala amal yang dilakukan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan laporan
ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan yang maha Esa senantiasa
memberkati segala usaha yang telah dilakukan.
Penyusun
Daftar isi
Kata Pengantar
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Maksud dan Tujuan
1.3 Letak, waktu dan kesampaian daerah
BAB 11 GEOLOGI REGIONAL
2.1 Geomorfologi Regional
2.1.1 Morfologi
2.1.2 Ujung Utara
2.1.3 Bagian Tengah
2.1.4 Satuan Morfologi
2.1.4.1 Satuang Pegunungan
2.1.4.2 Satuan Perbukitan Tinggi
2.1.4.3 Satuan Perbukitan Rendah
2.1.4.4 Satuan Daratan
2.1.4.5 Satuan Karsit
2.2 Stratigrafi Regional
2.3 Struktur Geologi Regional
2.3.1 Parit Sulawesi Utara
2.3.2 Sistem Sesar Palu-Koru
2.3.3 Sesar Naik Batui
2.3.4 Sesar Naik Poso
2.3.5 Sesar Walanea
2.3.6 Tektonik Sulawesi
2.3.6.1 Subduksi Tipe Cordilerar Kapur
2.3.6.2 Tumpukan Divergen Mesozoikum
2.3.6.3 Tumpukan Tipe Tethyan Neogen
2.3.6.4 Tumbukan Kuarter
BAB III PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sulawesi dan daerah sekitarnya terletak pada pertemuan tiga lempeng yang saling bertabrakan;
Lempeng Benua Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat dan Lempeng
Australia-Hindia yang bergerak ke utara, sehingga kondisi tektoniknya sangat kompleks, dimana
kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofiolit, dan
bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik
lainnya. Adapun struktur geologi yang berkembang didominasi sesar-
sesar mendatar, dimana mekanisme pembentukan struktur geologi Sulawesi bisa dijelaskan dengan
model simple shear.
Pulau Sulawesi adalah pulau di negara Indonesia yang mempunyai batuan penyusun paling
kompleks diantara batuan penyususun pulau-pulau yang lain. Seperti di provinsi Sulawesi Utara di
Kabupaten Minahasa Tenggara tepatnya di teluk Buyat yang merupakan teluk kcil yang terletak di pantai
selatan semenanjung Minahasa. Teluk inimulai terkenal dikarenakan adanya aktivitas pertambangan yang
dilakukan oleh PT. NEWMONT Minahasa Raya sejak tahun 1996, dimana Newmont Mining Corporation
dibawah cabangnya PT. NEWMONT Minahasa Raya memanfaatkan Teluk ini sebagai aliran penempatan
Tailing(limbah pertambangan) untuk aktivitas pertambangan emasnya.
GEOLOGI REGIONAL
2.1Geomorfologi Regional
Pulau Sulawesi, yang mempunyai luas sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen, 1949),
dikelilingi oleh laut yang cukup dalam. Sebagian besar daratannya dibentuk oleh pegunungan
yang ketinggiannya mecapai 3.440 m (gunung Latimojong). Seperti telah diuraikan sebelumnya,
Pulau Sulawesi berbentuk huruf K dengan empat lengan: Lengan Timur memanjang timur laut
barat daya, Lengan Utara memanjang barat timur dengan ujung baratnya membelok kearah
utara selatan, Lengan tenggrara memanjang barat laut tenggara, dan Lengan Selatan mebujur
utara selatan. Keempat lengan tersebut bertemu pada bagian tengah Sulawesi.
Sebagian besar Lengan Utara bersambung dengan Lengan Selatan melalui bagian tengah
Sulwesi yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh batuan gunung api. Di ujung timur
Lengan Utara terdapat beberapa gunung api aktif, di antaranya Gunung Lokon, Gunung Soputan,
dan Gunung Sempu. Rangakaian gunung aktif ini menerus sampai ke Sangihe. Lengan Timur
merupakan rangkaian pegunungan yang dibentuk oleh batuan ofiolit. Pertemuan antara Lengan
Timur dan bagian Tengah Sulawesi disusun oleh batuan malihan, sementara Lengan Tenggara
dibentuk oleh batuan malihan dan batuan ofiolit.
Van Bemmelen (1945) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian: ujung
utara, bagian tengah,dan ujung selatan (gambar 3.1), Ujung utara mulai dari palopo sampai teluk
tolo; dibentuk oleh batuan ofiolit, Bagian tengah ,yang merupakan bagian paling lebar (sampai
162,5 km), didominasi oleh batuan malihan dan batuan sedimen mesozoikum. Ujung selatan
lengan tenggara merupakan bagian yang relative lebih landai ; batuan penyusunya didominasi
oleh batuan sedimen tersier ,uraian dibawah ini merupakan perian morfologi dan morfogenesis
lengan tengah Sulawesi.
Ujung utara lengan tenggara Sulawesi mempunyai cirri khas dengan munculnya
kompleks danau malili yang terdiri atas danau matano,danau towuti,dan tiga danau kecil
disekitarnya (danam mahalona,danau lantoa, dan danau masapi; pembentuka kelima danau itu
diduga akibat sistem system sesar matano,yang telah diketahui sebagai sesar geser mengiri.
Pembedaan ketinggian dari kelima danau itu memungkinkan air dari suatu danau mengalir ke
danau yang terletak lebih rendah.
Morfologi bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi oleh pegunungan yang
umumnya memanjang hampir sejajar berarah barat laut - tenggara. Pegunungan tersebut
diantaranya adalah Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelamboke, dan Pegunungan
Matarombeo. Morfologi bagian tengah ini sangat kasar dengan kemiringan lereng yang tajam.
Puncak tertinggi pada rangkaian pegunungan Mengkoka adalah Gunung Mengkoka yang
mempunyai ketinggian 2790 m dpl. Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung
Tangkelamboke (1500 m dpl). Sedangkan Pegunungan Matarombeo berpuncak di barat laut
Desa Wawonlondae dengan ketinggian 1551 m dpl.
Setidaknya ada lima satuan morfologi yang dapat dibedakan dari citra IFSAR bagian tengah dan
ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni satuan pegunungan, perbukitan tinggi,
perbukitan rendah, dataran rendah, dan karst. Uraian di bawah ini merupakan perian secara
singkat dari kelima satuan morfologi tersebut.
2.1.4.1. Satuan Pegunungan
Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini, terdiri atas
Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelemboke, Pegunungan Mendoke dan Pegunungan
Rumbia yang terpisah di ujung selatan Lengan Tenggara. Satuan morfologi ini mempunyai
topografi yang kasar dengan kemiringan lereng tinggi. Rangkaian pegunungan dalam satuan ini
mempunyai pola yang hampir sejajar berarah barat laut tenggara. Arah ini sejajar dengan pola
struktur sesar regional di kawasan ini. Pola ini mengindikasikan bahwa pembentukan morfologi
pegunungan itu erat hubungannya dengan sesar regional.
Satuan pegunungan terutama dibentuk oleh batuan malihan dan setempat oleh batuan
ofiolit. Ada perbedaan yang khas di antara kedua penyusun batuan itu. Pegunungan yang disusun
oleh batuan ofiolit mempunyai punggung gunung yang panjang dan lurus dengan lereng relatif
lebih rata, serta kemiringan yang tajam. Sementara itu, pegunungan yang dibentuk oleh batuan
malihan, punggung gunungnya terputus pendek-pendek dengan lereng yang tidak rata walaupun
bersudut tajam.
Satuan morfologi perbukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan Tenggara, terutama
di selatan Kendari. Satuan ini terdiri atas bukit-bukit yang mencapai ketinggian 500 m dpl
dengan morfologi kasar. Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sediman klastika
Mesozoikum dan Tersier.
Satuan morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan ujung selatan
Lengan Tenggara Sulawesi. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah dengan morfologi yang
bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama batuan sedimen klastika Mesozoikum dan
Tersier
Dataran Langkowala yang melampar luas di ujung selatan Lengan Tenggara, merupakan
dataran rendah. Batuan penyusunnya terdiri atas batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa
Formasi Langkowala. Dalam dataran ini mengalir sungai-sungai yang pada musim hujan berair
melimpah sedang pada musim kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan
konglomerat sebagai dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah merembes masuk ke
dalam tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai Langkowala dan Sungai Tinanggea. Batas
selatan antara Dataran Langkowala dan Pegunungan Rumbia merupakan tebing terjal yang
dibentuk oleh sesar berarah hampir barat-timur. Pada Dataran Langkowala, terutama di dekat
batas tersebut, ditemukan endapan emas sekunder. Surono (2009) menduga emas tersebut berasal
dari batuan malihan di Pegunungan Rumbia dan sekitarnya.
Satuan morfologi karst melampar di beberapa tempat secara terpisah. Satuan ini dicirikan
perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan tanah. Sebagian besar batuan penyusun
satuan morfologi ini didominasi oleh batugamping berumur Paleogen dan selebihnya
batugamping Mesozoikum. Batugamping ini merupakan bagian Formasi Tampakura, Formasi
Laonti, Formasi Tamborasi dan bagian atas dari Formasi Meluhu. Sebagian dari batugamping
penyusun satuan morfologi ini sudah terubah menjadi marmer. Perubahan ini erat hubungannya
dengan pensesar-naikkan ofiolit ke atas kepingan benua. Di sekitar Kendari batugamping terubah
tersebut ditambang untuk bahan bangunan.
2.2Stratigrafi Regional
Formasi Meluhu mempunyai penyebaran yang sangat luas di Lengan Tenggara Sulawesi.
Formasi ini telah dipublikasikan secara luas; di antaranya oleh Surono dkk. (1992); Surono
(1997b, 1999), serta Surono & Bachri (2002), Sebagian besar bahasan selanjutnya merupakan
terjemahan dan/atau kompilasi dari publikasi tersebut.
Surono (1997b) membagi Formasi Meluhu menjadi tiga anggota (dari bawah ke atas):
Parit Sulawesi Utara yang memanjang barat-timur, merupakan zona benioff, tempat
Kerak Laut Sulawesi menunjam di bawah Lengan Utara Sulawesi mulai pada akhir Paleogen
(Fitch, 1970; Katili, 1971; Cardwell & Isack, 1978; Hamilton, 1979; McCaffrey dkk, 1983).
Subduksi ini mencapai puncaknya pada Neogen. Namun demikian, hasil analisis seismologi
menunjukkan bahwa Parit Sulawesi Utara ini sudah menyurut aktivitasnya (McCaffrey dkk,
1983; Kertapati dkk, 1992). Simandjuntak (1988; dalam Darman dan Sidi, 2000) menduga
bagian timur parit ini menunjukkan gejala aktif kembali ditandai aktivitas vulkanisme di ujung
timur dan daerah sekitar Lengan Utara.
Nama sesar Palu-Koro diusulkan pertama kali oleh Sarasin (1901) yang kemudian
diulangi oleh Rutten (1927). Sistem sesar ini menorah mulai ujung utara Selat Makassar, melaui
Kota Palu dan menerus sampai Teluk Bone. Hasil pemetaan geologi yang dilakukan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang menjadi Pusat Survei Geologi) menunjukkan
bahwa sistem sesar ini berhubungan juga dengan Sesar Matano dan Sesar Lawanopo
(Simandjuntak dkk, 1993a, b, c, d; Rusmana, dkk,1993; Sukamto, 1975a; Rusmana dkk, 1993).
Gerakan horizontal dan vertikal Sesar Palu-Koro telah dianalisis oleh beberapa penulis
Van Bemmelen (1970) dan Katili (1978) setuju bahwa bagian utara sesar ini didominasi oleh
gerakan vertikal, sedangkan bagian selatannya oleh gerakan horizontal mengiri. Kecepatan
gerakan horizontal, yang dianalisis oleh beberapa penulis, hasilnya berbeda, misalnya sudradjat
(1981, dalam Darman & Sidi, 2000) 2-3,5 mm sampai 14-17 mm/tahun; Indriastuti (1990, dalam
Darman & Sidi, 2000) 1,23 mm/tahun. Sementara itu, kecepatan gerakan vertical, yang dihitung
berdasarkan pengangkatan koral, adalah 4,5 mm/tahun (Tjia & Zakaria, 1974), dan 3,4
mm/tahun (Walpersdoft dkk, 1997; dalam Darman & Sidi, 2000). Sistem Sesar Palu-Koro
walaupun didominasi oleh gerakan horizontal mengiri, juga secara setempat membentuk tinggian
dan rendahan. Bentuk rendahan semacam cekungan dapat dikenali Danau Matano, Danau Poso,
dan Lembah Palu.
Sesar Naik Batui ini dipotong oleh beberapa sesar geser yang hadir belakangan, di
antaranya Sesar Toili, Ampana, dan Wekuli (Simandjuntak, 1986; Rusmana dkk, 1993; Surono
ddk, 1993). Berdasarkan rekaman seismik sesar naik ini mengalami pengaktifan kembali
(McCaffrey dkk, 1983; Kertapati dkk, 1992). Endapan teras terumbu koral Kuarter yang tersebar
mulai Batui sampai ujung Lengan Timur Sulawesi (Rusmana dkk, 1993; Surono dkk, 1993)
menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga kali periode pengangkatan. Besar kemungkinan
pengangkatan terumbu koral tersebut diakibatkan karena kegiatan Naik Sesar Batui.
Sesar Naik Poso memanjang utara-selatan, mulai dari Tanjung Peindilisa di Teluk
Tomini sampai Masamba di pantai utara Teluk Bone (Sukamto, 1975a; Simandjuntak dkk,
1993b;d). Sesar naik ini memisahkan Lajur Malihan Sulawesi Tengah di bagian timur dengan
Lajur Vulkanik Sulawesi Barat di barat.
Berdasarkan hasil rekaman seismik, Kertapati dkk, (1992) menduga saat ini Sesar Naik
Poso dalam keadaan tidak aktif. Namun demikian, gempa yang terjadi di bagian barat Teluk
Tomini beberapa waktu lalu memungkinkan paling tidak ujung utara sesar tersebut teraktifkan
kembali (Darman & Sidi, 2000).
Sesar Walanae, yang berarah hampir utara-selatan, menorah Lengan Selatan Sulawesi
dan menerus memotong Pulau Selayar yang berada di selatannya (Sukamto, 1975a; Sukamto, R.
& Supriatna, S, 1982; Sukamto, R, 1982). Bahkan Darman & Sidi, (2000) menduga sesar ini
menerus ke selatan sampai ke Sesar Naik Flores di utara Pulau Flores. Ke arah utara Sesar
tersebut mungkin menerus sampai Selat Makassar dan bersatu dengan rantas (suture)
Paternoster-Lupar.
Sesar Walanae teraktifkan kembali pada kuarter sehingga membentuk depresi Walanae
yang luas. Namun rekaman seismik tidak menunjukkan keaktifan sesar ini (Darman & Sidi,
2000).
Berdasarkan data geologi dan geofisika, Simandjuntak (1993 dalam Darman dan Sidi,
2000) menyatakan bahwa Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya mengalami empat kali kegiatan
tektonik seperti dijelaskan di bawah ini.
Subduksi tipe Cordileran dicirikan oleh zona Beniof yang miring kea rah barat di bagian
barat Sulawesi. Subduksi ini mengakibatkan proto-laut Banda menunjam di bawah tepi timur
Paparan Sunda. Subduksi ini juga ditandai oleh keberadaan batuan malihan berderajat rendah
berumur Kapur Akhir di Sulawesi Tengah, batuan campur aduk (mlange) berumur Kapur
Paleogen, dan Lajur Gung Api Sulawesi Barat. Batuan endapan turbidit laut dalam berumur
Kapur di Sulawesi Barat mungkin merupakan endapan sepanjang palung.
Tektonik divergen pada Mesozoikum terjadi akibat pemekaran tipe utara Benua
Australia. Pemekaran pada tepi benua itu mengakibatkan beberapa keping benua terpisah dari
induknya dan kemudian bergerak ke arah utara utara barat ke posisi sekarang yang tersebar di
Kawasan Laut Banda. Garrad dkk, (1988) menduga proses pemisahan ini terjadi sejak Jura.
Beberapa penulis (di antaranya Simandjuntak, 1986; 1993; Garrad dkk, 1988; Darman & Sidi,
2000) menduga pergerakan kepingan benua tersebut melalui Sesar Sorong.
` Sebagian kepingan benua tersebut bertumbukan dengan kompleks subduksi Kapur dan
ofiolit di Sulawesi dan daerah sekitarnya pada Neogen. Pada kawasan ini dijumpai di antaranya
Kepingan Banggai-Sula, Kepingan Sulawesi Tenggara, Paparan Buton dan Tukangbesi. Pada
tumbukan tipe Tethyan ini kepingan benua tersebut menyusup di bawah ofiolit dan kompleks
subduksi (Darman & Sidi, 2000). Simandjuntak (1986) menemukan batuan campur aduk
(mlange) sepanjang Sesar Naik Batui, di Lengan Timur Sulawesi. Akhir dari tumbukan Neogen
ini mengakibatkan Lajur Ofiolit Sulawesi Timur Naik ke atas tepi beberapa kepingan benua
tersebut.
Pada waktu ini kawasan Sulawesi dan daerah sekitarnya menunjukkan adanya tektonik
aktif:
Lajur subduksi di utara Lengan Utara Sulawesi (North Sulawesi Trench), tempat lempeng Laut
Sulawesi menunjam masuk di bawah Lengan Utara Sulawesi. Lajur subduksi ini berhubungan
dengan sesar geser mengiri aktif Palu-Koro, Matano, dan Lawanopo.
Jalur gunung api aktif mulai ujung utara Lengan Utara sampai ke Sangihe yang diakibatkan
oleh subduksi ganda di utara Sulawesi pada Neogen, kemudian diaktifkan kembali oleh Kuarter.
Pergerakan ke barat Kepingan Benua Banggai-Sula menyebabkan Lajur Ofiolit Sulawesi Utara
tersesar-naikkan di atas kepingan itu.
Teras batugamping terumbu yang memanjang dari Batui sampai ujung utara Lengan Utara
Sulawesi.