Anda di halaman 1dari 69

MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

1P endahuluan

Proses-proses geologi baik yang bersifat endogenik maupun eksogenik dapat menimbulkan bahaya
bahkan bencana bagi kehidupan manusia. Bencana yang disebabkan oleh proses-proses geologi
disebut dengan bencana geologi. Longsoran Tanah, Erupsi Gunungapi, dan Gempabumi adalah
contoh-contoh dari bahaya geologi yang dapat berdampak pada aktivitas manusia di berbagai
wilayah di muka bumi.

Berdasarkan catatan, bencana yang diakibatkan oleh bahaya geologi yang terjadi di berbagai
belahan dunia meningkat secara tajam, baik dalam tingkat dan frekuensi kejadiannya dan secara
statistik jumlah korban jiwa dan harta benda juga meningkat. Berdasarkan catatan BAKORNAS,
bencana yang melanda Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan yang cukup
signifikan. Selama periode 2003 2005 telah terjadi 1.429 bencana, baik yang disebabkan oleh
bencana geologi maupun bencana hidro-meteorologi.

Untuk membangun sistem mitigasi bencana alam (geologi), pertama tama yang harus dilakukan
adalah mengkaji dan menganalisa bagaimana suatu bahaya geologi dapat berubah menjadi
bencana dan seberapa besar tingkat probabilitas daerah yang rentan bahaya geologi terkena
bencana geologi serta resiko apa saja yang mungkin terjadi apabila bencana geologi menimpa
daerah tersebut. Bahaya geologi akan berubah menjadi bencana geologi hanya jika bahaya tersebut
mengakibatkan korban jiwa atau kerugian harta benda.

Sebagai contoh jika suatu gempa yang sangat kuat terjadi di daerah yang tidak berpenghuni, maka
gempa tersebut boleh jadi hanya akan menjadi catatan statistik saja bagi para seismolog, akan
tetapi sebaliknya apabila gempa tersebut terjadi di kawasan yang penghuninya sangat padat,
seperti gempa yang terjadi di Bantul, Yogyakarta pada tahun 2006, walaupun kekuatan gempanya
tidak begitu besar namun menyebabkan kerusakan yang sangat luas serta menelan korban jiwa
yang tidak sedikit. Pertanyaannya selanjutnya adalah mengapa hal ini dapat terjadi ? Jawabannya
adalah karena hampir semua bangunan yang ada di wilayah tersebut tidak dirancang sebagai
bangunan tahan gempa, sehingga ketika terjadi gempa, bangunan-bangunan tersebut runtuh yang
mengakibatkan banyak penghuninya menemui ajalnya terkena oleh reruntuhan rumahnya. Oleh
karena itu diperlukan suatu standarisasi bangunan tahan gempa, terutama untuk bangunan-
bangunan yang berada di wilayah wilayah yang rentan terkena bahaya gempabumi, sehingga dapat
menyelamatkan penghuninya ketika terjadi gempabumi. Penerapan strategi pengelolaan resiko
bencana berbasis masyarakat saat ini sudah mulai diterapkan dan program ini didukung oleh
pemerintah, baik dukungan yang berupa bantuan keuangan dan pembangunan kembali rumah
rumah yang rusak melalui standarisasi bangunan tahan gempa.

Bahaya geologi yang berada di muka bumi pada hakekatnya merupakan hasil dari proses-proses
geologi, baik yang bersifat endogenik maupun eksogenik dimana proses proses tersebut tidak bisa
dikendalikan oleh manusia. Dalam beberapa kasus, tingkat kerusakan relatif terhadap jumlah
korban dan kerugian harta benda dapat dipakai sebagai pembanding antara skala bencana dan
resiko bencana yang terjadi di suatu wilayah. Manusia dapat juga menjadi faktor penyebab yang
merubah bahaya geologi menjadi bencana geologi serta menjadi faktor penentu dari tingkat
kerusakan suatu bencana, seperti misalnya pertumbuhan penduduk yang tinggi, kemiskinan,
degradasi lingkungan, dan kurangnya informasi. Meskipun ke-empat faktor tersebut dianggap

1 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

sebagai faktor yang saling berpengaruh satu dan lainnya serta ke-empat faktor tersebut sulit
dipisahkan mana yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat kerusakan suatu bencana.

Kerentanan terhadap bencana geologi di suatu wilayah akan semakin besar seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk dan menjadi salah satu faktor utama dari penyebab bencana
geologi. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi secara langsung akan berdampak pada
tingginya tingkat pembangunan infrastruktur. Apabila tidak ada upaya upaya untuk mencegah
bahaya geologi yang mungkin terjadi, maka apabila bencana geologi benar-benar terjadi di kawasan
tersebut maka sudah barang tentu akan memakan korban serta kerugian harta benda yang tinggi
pula. Dibeberapa kawasan yang konsentrasi penduduknya tinggi, meskipun sudah menpunyai
sistem peringatan dini untuk suatu bahaya geologi tertentu, namun untuk menyebarkan informasi
dan peringatan ke setiap orang di seluruh kawasan tersebut tidak dimungkinkan, sehingga sangat
memungkinkan setiap orang bertindak dan merespon suatu peringatan bahaya sesuai dengan
persepsinya masing-masing. Dan hal ini akan menimbulkan kepanikan dan kekacauan di masyarakat
yang pada akhirnya dapat menimbulkan korban jiwa yang lebih besar.

1.1. Pengertian

a. Mitigasi:

Berdasarkan Undang-undang No 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 9


(PP No 21 Tahun 2008, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6, pengertian mitigasi adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Adapun mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. (UU No 24 Tahun 2007 Pasal
47 ayat (1). Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan untuk
mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada
pada kawasan rawan bencana. (PP No 21 Tahun 2008 Pasal 20 ayat (1)

Secara umum pengertian mitigasi adalah pengurangan, pencegahan atau bisa dikatakan sebagai
proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalisasi dampak negatif bencana
yang akan terjadi. Pengertian dari Mitigasi Bencana Geologi (Geological Hazard Mitigation) adalah
pengurangan, pencegahan atau proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk
meminimalisasi dampak negatif terhadap bencana alam geologi.

Definisi Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU
No. 24 tahun 2007).

b. Mitigasi Bencana

Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tindakan untuk mengurangi
dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan
dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Dalam UU No. 24 Tahun 2007, usaha
mitigasi dapat berupa prabencana, saat bencana dan pasca bencana. Prabencana berupa
kesiapsiagaan atau upaya memberikan pemahaman pada penduduk untuk mengantisipasi bencana,
melalui pemberian informasi, peningkatan kesiagaan kalau terjadi bencana ada langkah-langkah
untuk memperkecil resiko bencana.

Penanganan bencana harus dengan strategi proaktif, tidak semata-mata bertindak pascabencana,
tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
bencana. Berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi datangnya bencana dengan

2 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

membentuk sistem peringatan dini, identifikasi kebutuhan dan sumber-sumber yang tersedia,
penyiapan anggaran dan alternatif tindakan, sampai koordinasi dengan pihak-pihak yang memantau
perubahan alam. Dalam mitigasi dilakukan upaya-upaya untuk meminimalkan dampak dari bencana
yang akan terjadi yaitu program untuk mengurangi pengaruh suatu bencana terhadap masyarakat
atau komunitas dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan,
penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data base, pemantauan dan pengembangan.

Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana karena
kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk
mengantisipasi agar korban jiwa dan kerugian materi yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat
yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya,
sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan
lingkungan hidup serta kedisiplinan terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Istilah program
mitigasi bencana mengacu kepada dua tahap perencanaan yaitu:

Pertama, perencanaan sebelum kejadian untuk manajemen bencana, mencakup aktivitas-aktivitas


mitigasi dan perencanaan bencana; Kedua, perencanaan serta tindakan sesudah kejadian, meliputi
peningkatan standar teknis dan bantuan medis serta bantuan keuangan bagi korban (Inoghuci et.al,
2003). Dalam mitigasi bencana dilakukan tindakan-tindakan antisipatif untuk meminimalkan dampak
dari bencana yang terjadi dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan,
penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data, pemantauan dan pengembangan. Di
negara-negara maju, kesalahan dalam pembangunan diimbangi melalui perencanaan yang matang
(Inoghuci et.al, 2003).

Informasi tempat pengungsian saat terjadi bencana alam sangat penting sebab penduduk yang
menyelamatkan diri saat terjadinya bencana seharusnya tahu kemana mereka harus
menyelamatkan diri. Keberadaan rambu-rambu petunjuk arah penyelamatan seperti yang dilakukan
di Jepang mutlak diperlukan agar masyarakat tahu jalur yang akan dilaluinya untuk menyelamatkan
diri sebelum terjadi bencana. Dengan demikian akan berkurang kepanikan masyarakat pada saat
bencana akan terjadi sehingga masyarakat bisa dengan lebih tenang dalam melakukan upaya
mitigasi bencana. Penerapan informasi yang efektif dan program-program pendidikan, masyarakat
dapat menggunakan brosur, instruksi satu lembar, uji coba sistem peringatan secara berkala,
informasi media cetak dan elektronik dan lain-lain.

Beberapa informasi ini ditujukan bagi institusi-institusi seperti sekolah-sekolah, rumah sakit, fasilitas
perawatan-pemulihan, dan komunitas yang tidak bisa berbahasa setempat (para wisatawan).
Upaya-upaya informasi dan pendidikan ini penting diadakan secara rutin dan komprehensif.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota ditujukan untuk mengurangi kerugian dan
kerusakan akibat bencana yang sewaktu-waktu dapat melanda kota.

Pemerintah pada daerah yang rawan bencana gempa intensif melakukan simulasi upaya evakuasi
dan penyelamatan terhadap bencana. Demikian juga media membantu dengan menayangkan
program yang memberi informasi upaya penyelamatan terhadap bencana gempa. Dalam hal
bencana yang disebabkan oleh gempa bumi di daerah perkotaan, berdasarkan fakta dan hasil
penelitian beberapa pakar, menunjukkan bahwa sebagian besar korban terjadi akibat keruntuhan
dan kerusakan bangunan, seperti jatuhnya atap, runtuhnya kolom, hancurnya dinding, dll. Hal ini
menunjukkan bahwa upaya mitigasi bencana gempa bumi melalui pengembangan disain rumah
tahan gempa sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil.

Hal lain juga yang menyebabkan korban akibat bencana gempa sangat besar adalah tidak adanya
lokasi evakuasi yang mampu memberikan perlindungan bagi warga ketika bencana terjadi yaitu
berupa bangunan penyelamatan yang telah dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan dalam
keadaan darurat.

Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh dari
bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk mengurangi bencana yang lebih besar

3 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

dikemudian hari. Karena itu seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau
bagian/elemen dari ancaman.

c. Kesiapsiagaan

Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi melalui pengorganisasian yang tepat dan berdaya
guna. Menurut Randolph Kent (1994) kesiapan bencana mencakup peramalan dan pengambilan
keputusan tindakan-tindakan pencegahan sebelum munculnya ancaman, didalamnya meliputi
pengetahuan tentang gejala munculnya bencana, gejala awal bencana, pengembangan dan
pengujian secara teratur terhadap sistem peringatan dini, rencana evakuasi atau tindakan lain yang
harus diambil selama periode waspada untuk meminimalisir kematian dan kerusakan fisik yang
mungkin terjadi.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep
pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu
elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum
terjadinya suatu bencana. Di dalam proses pengelolaan bencana yang direpresentasikan sebagai
model siklus, peningkatan kesiapsiagaan merupakan bagian dari proses pengelolaan risiko
bencana, seperti diperlihatkan pada gambar 1.

Bencana

Pertolongan
Peringatan
Bencana

Penilaian Resiko Pembangunan

Mitigasi

Gambar 1. Kesiapsiagaan dalam Model Siklus Pengelolaan Bencana

Model ini memiliki kelemahan karena seolah-olah komponen-komponen kegiatan pengelolaan


bencana tersebut berjalan secara sekuensial (berurutan), padahal sesungguhnya tidak demikian.
Gambar 1. memperlihatkan peranan peningkatan fase pengurangan resiko bencana terjadi Fase
pemulihan setelah bencana terjadi.

Kegiatan tanggap darurat meliputi langkah-langkah tindakan sesaat sebelum bencana, seperti:
peringatan dini (bila memungkinkan) meliputi penyampaian peringatan dan tanggapan terhadap
peringatan; tindakan saat kejadian bencana, seperti: melindungi/menyelamatkan diri, melindungi
nyawa dan beberapa jenis benda berharga, tindakan evakuasi; dan tindakan yang harus dilakukan
segera setelah terjadi bencana, seperti SAR, evakuasi, penyediaan tempat berlindung sementara,
perawatan darurat, dapur umum, bantuan darurat, survei untuk mengkaji kerusakan dan

4 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

kebutuhan-kebutuhan darurat serta perencanaan untuk pemulihan segera terhadap infrastuktur


kritis, sarana sosial seperti pendidikan dan ibadah.

1.2. Respon Manusia Terhadap Bencana

Untuk dapat hidup secara aman dan nyaman selaras dengan perubahan yang terjadi dimuka bumi,
maka kita harus dapat memahami lingkungan alam dan kecepatan perubahan yang terjadi di bumi
serta mampu menyesuaikan diri dari karakteristik perubahan alam tersebut. Berkaitan dengan reaksi
manusia terhadap bencana alam yang mungkin terjadi di lingkungan dimana manusia itu tinggal
adalah antara lain :

1. Menghindar (Avoidance). Reaksi manusia terhadap potensi bencana alam yang paling
banyak adalah dengan cara menghindar, yaitu dengan cara tidak membangun dan
menempatkan bangunan di tempat-tempat yang berpotensi terkena bencana alam seperti
daerah banjir, daerah rawan longsor atau daerah rawan gempa.

2. Stabilisasi (Stabilization). Beberapa bencana alam dapat diseimbangkan dengan


menerapkan rekayasa keteknikan, seperti misalnya di daerah-daerah yang berlereng dan
berpotensi longsor, yaitu dengan cara membuat kemiringan lereng menjadi landai dan stabil
sehingga kemungkinan longsor menjadi kecil, atau bangunan yang akan didirikan
menggunakan pondasi tiang pancang sampai ke bagian lapisan tanah yang stabil.

3. Penetapan Persyaratan Keselamatan Struktur Bangunan (Provision for safety in structures).


Dalam banyak kasus bangunan yang akan didirikan di tempat-tempat yang berpotensi
terjadi bencana alam seperti gempa bumi, maka struktur bangunan harus dirancang dengan
memperhitungkan keselamatan jiwa manusia, yaitu dengan bangunan yang tahan gempa.
Untuk daerah-daerah yang berpotensi terkena banjir, maka bangunan harus dibuat dengan
struktur panggung guna menghindari terpaan air.

4. Pembatasan penggunaan lahan dan penempatan jumlah jiwa (Limitation of land-use and
occupancy). Jenis peruntukan lahan, seperti lahan pertanian atau lahan pemukiman dapat
dilakukan dengan cara membuat peraturan peraturan yang berkaitan dengan potensi
bencana yang mungkin timbul. Penempatan jumlah jiwa per hektar dapat disesuaikan untuk
mengurangi tingkat bencana.

5. Membangun Sistem Peringatan Dini (Establishment of early warning system). Beberapa


bencana alam dapat diprediksi, sehingga memungkinkan tindakan darurat dilakukan. Banjir,
Angin Puyuh, Gelombang Laut, serta Erupsi Gunungapi adalah beberapa jenis bencana alam
yang dapat diprediksikan. Sistem Peringatan Dini telah terbukti efektif dalam mencegah dan
meminimalkan bencana yang akan terjadi di suatu daerah, seperti banjir dan gelombang
laut di daerah-daerah pantai.

Dimanakah tempat yang baik dan aman bagi aktifitas manusia? Barangkali yang paling mudah dan
kecil resikonya adalah dengan cara menghindar dari lokasi-lokasi yang rawan bencana. Dalam
kenyataannya kebanyakan komunitas manusia bertempat tinggal pada lingkungan yang rawan
bencana. Dengan demikian untuk meminimalkan dampak bencana geologi yang mungkin melanda
di tempat dimana manusia berdomisili adalah cara nomor 2 sampai nomor 5 diatas. Tingkat
keselamatan yang ingin dicapai dalam menghadapi bencana geologi seringkali merupakan fungsi
dari nilai investasi yang dibelanjakan untuk mencegah bencana tersebut.

Pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar biaya yang harus disediakan untuk
mencegah suatu bencana geologi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka harus ada suatu
keputusan tentang tingkat resiko yang akan terjadi dan ikut terlibat di dalamnya. Sebagai contoh
adalah resiko penggunaan dan pemanfaatan lahan pemukiman yang berada di kawasan dataran
banjir dapat dikurangi menjadi nol, apabila semua kontruksi bangunan dan aktivitas manusia yang
berada di wilayah tersebut terlindungi. Akan tetapi pada kenyataannya, biaya produktivitas serta
ruang dimana manusia beraktivitas apabila dihitung akan sangat mahal dan bahkan tidak mungkin

5 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

dikonversi kedalam nilai rupiah. Oleh karena itu resiko banjir yang hanya terjadi seratus tahun satu
kali barangkali merupakan tingkat resiko yang dapat diterima untuk kasus diatas.

Tingkat resiko yang dapat diterima adalah tingkat resiko yang harus memperhitungkan semua
aspek secara rinci dan biasanya hanya untuk beberapa jenis bencana saja. Walaupun perhitungan
secara tepat sangat sulit dilakukan, akan tetapi perhitungan suatu resiko sangat erat kaitannya
dengan pengambilan keputusan. Pertanyaan yang sama dapat kita ajukan untuk tempat-tempat
dimana gempabumi sering melanda di suatu daerah yaitu: Berapa banyak dana tambahan yang
harus disediakan dan dikeluarkan untuk membangun suatu konstruksi bangunan yang akan
didirikan di lokasi yang tingkat kegempaannya sangat tinggi, walaupun frekuensi kejadian
gempabuminya sangat jarang terjadi? Tingkat resiko yang dapat diterima adalah tingkat resiko yang
harus sudah mempertimbangkan secara sistematis untuk beberapa tipe bencana saja.

Meskipun perhitungan secara akurat tidak mungkin dilakukan, akan tetapi suatu penilaian umum
dari resiko harus dituangkan dalam suatu keputusan dan harus mendapat pertimbangan dari suatu
badan/ lembaga yang berwenang. Oleh karena itu biasanya perhitungan suatu resiko bencana
dilakukan oleh suatu lembaga pembuat keputusan dan dalam hal ini dapat juga dilakukan oleh
suatu perusahaan asuransi yang memang bergerak dalam bidang pertanggungan asuransi bencana
alam.

1.3. Sistem Penanggulangan Bencana

Undang-undang no. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana merupakan landasan bagi
sistem nasional penanggulangan bencana yang terdiri atas:

1. Legislasi
2. Kelembagaan
3. Perencanaan
4. Pendanaan
5. Ilmu Penegtahuan dan Teknologi
6. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

1.4. Pengelolaan Resiko Bencana (Disaster Risk Management)

Pengelolaan resiko bencana pada dasarnya adalah suatu upaya yang ditujukan untuk meminimalkan
resiko yang mungkin terjadi serta melakukan upaya-upaya pencegahan (mitigasi) di wilayah yang
rentan terkena bencana. Pengelolaan resiko bencana merupakan istilah yang umum dipakai dalam
penilaian resiko, pencegahan bencana, mitigasi bencana, dan persiapan menghadapi bencana.

Beberapa istilah yang sering dipakai dalam pembahasan pengelolaan resiko bencana antara lain
adalah Bahaya (Hazard), Bencana (Disaster), Kerentanan (Vulnerability), Resiko Bencana (Disaster
Risk), Penilaian Resiko / Analisa Resiko (Risk Assessment/Risk Analysis), Pencegahan Bencana dan
Mitigasi (Disaster Prevention and Mitigation), Kewaspadaan Terhadap Bencana (Disaster
Preparedness). Adapun pengertian dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :

Bahaya (Hazard) adalah suatu ancaman yang berasal dari peristiwa alam yang bersifat ekstrim
yang dapat berakibat buruk atau keadaan yang tidak menyenangkan. Tingkat ancaman ditentukan
oleh probabilitas dari lamanya waktu kejadian (periode waktu), tempat (lokasi), dan sifatnya saat
peristiwa itu terjadi. Bahaya alam (Natural hazard) adalah probabilitas potensi kerusakan yang
mungkin terjadi dari fenomena alam di suatu area / wilayah.

Bencana (Disaster) merupakan fungsi dari kondisi yang tidak normal yang terjadi pada
masyarakat dan mempunyai kecenderungan kehilangan kehidupannya, harta benda dan lingkungan
sumberdayanya, serta kondisi dimana masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk keluar dari
dampak / akibat yang ditimbulkannya.

6 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Kerentanan/kerawanan (Vulnerability) dapat diartikan sebagai ketidakmampuan menangkal


/menahan dampak dari kejadian/peristiwa alam yang berasal dari luar atau kecenderungan dari
sekumpulan masyarakat terkena atau mengalami kerusakan, masalah dan sebab akibat sebagai
hasil dari suatu bahaya.

Resiko Bencana (Disaster Risk) adalah tingkat kerusakan dan kerugian yang sudah
diperhitungkan dari suatu kejadian atau peristiwa alam. Resiko Bencana ditentukan atas dasar
perkalian antara faktor bahaya dan faktor kerentanannya. Yang termasuk bahaya disini adalah
probabilitas dan besaran yang dapat diantisipasi pada peristiwa alam; sedangkan
kerentanan/kerawanan dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, sosial budaya dan geografis.
Berikut ini adalah rumusan yang dipakai secara luas untuk menghitung resiko bencana yang
merupakan perkalian 2 faktor, yaitu:

Resiko (Risk) = Bahaya (Hazard) x Kerentanan (Vulnerability)

Pengelolaan resiko bencana (Disaster risk management) secara teknis terdiri dari tindakan
(program, proyek dan atau prosedur) serta pengadaan peralatan yang dipersiapkan untuk
menghadapi dampak atau akibat dari suatu bencana sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan,
yaitu untuk mengurangi resiko bencana yang ditimbulkannya. Secara operasional, pengelolaan
resiko bencana adalah kegiatan yang terdiri dari penilaian resiko, pencegahan bencana, mitigasi dan
waspada bencana.

Penilaian Resiko atau Analisa Resiko adalah survei yang dilakukan terhadap bahaya yang baru
terjadi yang disebabkan oleh suatu peristiwa alam yang ekstrim seperti yang terjadi juga pada
kerentanan lokal dari populasi yang didasari atas kehidupan untuk memastikan resiko tertentu di
wilayah. Berdasarkan informasi ini resiko bencana dapat dikurangi.

Kapasitas adalah kebijakan dan sistem kelembagaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun
daerah dalam upaya mengurangi potensi kerusakan akibat bencana serta mengurangi kerentanan
terhadap bencana. Bencana alam yang disebabkan oleh gempabumi, angin topan, banjir, tanah
longsor dan kekeringan seringkali mengingatkan pada kita tentang bencana akan benar-benar
terjadi. Resiko bencana sebagai hasil dari frekuensi dan kondisi yang rentan dapat berubah menjadi
suatu bencana. Resiko bencana adalah hasil dari tingkat kejadian, intensitas bahaya dan sistem
kehidupan yang sangat rentan. Peran dari sistem sosial dalam arti kepedulian masyarakat dan
sistem pengelolaan memungkinkan merubah sifat kerentanan terhadap bahaya dan mengurangi
tingkat kerawanan melalui intervensi yang sistematik.

Pencegahan Bencana dan Mitigasi

Adalah aktivitas / kegiatan dalam rangka mencegah dan memitigasi dampak yang sangat buruk dari
peristiwa alam yang sangat ekstrim yang dilakukan untuk periode jangka menengah dan jangka
panjang. Dari sudut pandang politik, hukum, administrasi, dan infrastruktur, pencegahan bencana
merupakan salah satu ukuran untuk menyatakan kondisi /situasi bahaya dan disisi lain melibatkan
gaya hidup dan karakter dari penduduk/masyarakat yang tinggal di daerah yang rentan untuk dapat
mengurangi resiko bencana yang mungkin dapat menimpanya.

Kewaspadaan Terhadap Bencana

Kewaspadaan terhadap bencana adalah suatu ukuran yang mencakup kegiatan evakuasi yang dapat
dilakukan secara cepat dan efektif dalam usaha penyelamatan nyawa manusia, mitigasi terhadap
hilang dan rusaknya harta benda serta penyediaan bantuan darurat. Kewaspadaan terhadap
bencana dalam arti yang lebih luas adalah suatu usaha dalam menyediakan sistem peringatan dini,
kemampuan dalam meng-koordinasi dan meng-operasikan, perencanaan kondisi darurat,
menyalurkan bantuan dalam keadaan darurat dan pelatihan.

7 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

1.5. Kegiatan Pengelolaan Resiko Bencana

1. Penilaian Resiko

a. Melakukan pendataan bencana yang pernah terjadi dimasa lalu termasuk pendataan
terhadap kejadian/peristiwa bencana yang besar yang pernah terjadi
b. Mengkaji secara terukur bencana yang disebabkan oleh hidro-meteorologi dan geologi,
termasuk penyebab bencana
c. Mendata jumlah penduduk (populasi penduduk) yang berada di areal yang beresiko tinggi
terkena bencana atau areal yang paling bahaya.
d. Melakukan persiapan dan memperbaharui (updating) peta-peta bencana dan area yang
sangat berbahaya.

2. Pencegahan dan Mitigasi Bencana

a. Menetapkan dan memperkuat pembangunan regional dan perencanaan tataguna lahan,


perencanaan pengawasan bangunan yang sesuai dengan zonasi bahaya dan peraturan
bangunan.
b. Melaksanakan pelatihan bagi masyarakat dan perwaklian kelembagaan
c. Membangun dan meningkatkan kemampuan pengelolaan resiko bencana di tingkat lokal
dan nasional
d. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (seperti misalnya pengelolaan Daerah Aliran
Sungai), meningkatkan infrastruktur (bendungan, saluran air, bangunan yang mampu
menahan suatu bencana).

3. Kesiapan Menghadapi Bencana

a. Partisipasi dan kesadaran terhadap pentingnya rencana tanggap darurat


b. Mempersiapkan infrastruktur (akomodasi saat kondisi darurat,
c. Melakukan latihan secara teratur dalam menghadapi situasi darurat
d. Membangun dan atau meningkatkan kemampuan dalam kesiapan menghadapi bencana,
baik di tingkat lokal maupun nasional dan pelayanan penyelamatan
e. Koordinasi dan perencanaan operasional
f. Sistem Peringatan Dini :
1) Menyiapkan dan meng-operasikan sistem komunikasi
2) Menempatkan peralatan teknis di tempat yang aman
3) Melakukan pelatihan tenaga penyelamat

4. Pengelolaan resiko bencana sebagai bagian dari rehabilitasi dan rekontruksi

a. Melakukan penilaian resiko bencana


b. Melakukan penilaian infrastruktur, seperti kontruksi banguan tahan gempa, kontruksi
bangunan tahan banjir, skema pembangunan, selter tempat pengungsian, dsb
c. Membentuk kelembagaan, seperti peran serta masyarakat dan meningkatkan kerjasama
diantara individu-individu
d. Membentuk organisasi, untuk memperkuat kapabilitas lokal
e. Mengembangkan dan memperkenalkan ukuran-ukuran pencegahan dimasa mendatang
(seperti pengelolaan DAS, konservasi sumberdaya alam, skema pencegahan banjir)

5. Peran pengelolaan resiko bencana dalam sektor kerjasama pembangunan

Kebutuhan pencegahan harus di-integrasikan kedalam sektor pembangunan, hal ini akan
membantu pada peningkatan pengelolaan resiko bencana, terutama pada sektor-sektor yang
terkait, termasuk desentralisasi dan atau pembangunan masyarakat, pembangunan desa,
pencegahan lingkungan dan konservasi sumberdaya alam, perumahan, kesehatan dan
pendidikan.

8 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

1.6. Pendekatan Multi Sektoral

1. Meningkatkan kewaspadaaan

a. Dukungan keuangan untuk meningkatkan kewaspadaan, dinilai berdasarkan hubungan


antara biaya yang diinvestasikan dengan keuntungan yang akan diperoleh dalam
pengeloalaan resiko bencana.
b. Meningkatkan kewaspadaan diantara penduduk/masyarakat yang bermukim di areal yang
beresiko tinggi terkena bencana dan dikawasan yang rentan serta mendapat prioritas utama
dalam memperoleh pelatihan untuk mengelola resiko bencana.
c. Meng-implementasikan sistem peringatan dini
d. Partisipasi antara masyarakat, pemerintah kota dan lembaga-lembaga lainnya dalam
pengelolaan resiko bencana.

2. Penguatan kemampuan pengelolaan resiko bencana di tingkat daerah (lokal)

Efektifitas pengelolaan resiko bencana adalah memantapkan dan atau penguatan sistem di
tingkat daerah/lokal yang berupa kegiatan seperti yang ada dalam daftar diatas dari
keseluruhan sistem nasional, memobilisasi semua yang mungkin dilakukan oleh para relavan
dibidang sosial dan politik, baik ditingkat lokal dan perkotaan serta bertanggungjawab atas apa
yang dilakukan.

1.7. Pengurangan Resiko Bencana (Disaster Risk Reduction)

Indonesia merupakan salah satu negara yang sering dilanda bencana. Lebih dari 4 tahun terakhir
Indonesia mengalami serangkaian bencana alam yang menewaskan manusia dan mempengaruhi
perekonomian negeri ini. Bencana ini termasuk tsunami Aceh pada Desember 2004, Gempa Nias di
Maret 2005, Gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah di Mei 2005 dan gempa serta tsunami di Jawa
Barat pada bulan Juli 2006. Indonesia juga berpotensi tinggi terhadap gunung meletus dengan 128
gunung api aktif (31 di antaranya dalam pemantauan) dari 600 gunung berapi di seluruh
khatulistiwa. Bencana-bencana ini memberikan dampak besar terhadap perekonomian negara,
kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami diperkirakan sebesar 4 juta Dolar AS dan gempa
Yogyakarta dan Jawa Tengah sebesar 3 juta Dolar AS. Bencana alam mengancam pembangunan
manusia di Indonesia dan mengakibatkan rusaknya pencapaian kesejahteraan nasional.

Upaya untuk melindungi dan mempersiapkan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang sering
dilanda bencana, serta upaya untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah dalam menaggapi keadaan
darurat, dapat membantu mengurangi resiko secara signifikan bila terjadi bencana serta mendorong
masyarakat untuk menerapkan budaya aman. Untuk meningkatkan ketahanan nasional dan daerah
dalam mengurangi resiko bencana dan membantu peralihan dari budaya tanggap dan meminta
bantuan menjadi budaya mengurangi resiko bencana yang komprehensif dan terintegrasi dalam
fungsi utama pemerintah di seluruh tingkat serta di sektor swasta dan Organisasi-organisasi
Masyarakat Madani:

a. menyediakan saran kebijakan dan peningkatan kapasitas untuk mengurangi dan mengelola
resiko bencana ke dalam kerangka kebijakan, hukum, regulasi dan perencanaan;
b. meningkatkan kapasitas dalam mempersiapkan diri menghadapi situasi darurat dan sistem
tanggap di tingkat nasional, provinsi dan daerah; dan
c. membantu penanganan resiko bencana berdasarkan kemasyarakatan.

Untuk membantu meningkatkan peraturan yang terkait dengan upaya untuk mengurangi resiko
bencana di Indonesia, perlu penyediaan petunjuk strategis dan saran kebijakan untuk perumusan
RUU dan regulasi penanggulangan bencana. RUU ini telah disahkan pada tahun 2007. Meningkatkan
kapasitas pemerintah pusat maupun daerah untuk menyiapkan dan mengelola bencana dan
pemulihan selanjutnya adalah penting pada negara yang mudah terkena bencana dan pemerintahan
terpusat seperti Indonesia. Kapasitas pengurangan resiko bencana dan penanganan memerlukan

9 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

pengetahuan, sistem, informasi, perangkat dan sumberdaya yang diperlukan dalam merespon
bencana.

Kapasitas yang efektif dalam menurunkan resiko bencana memerlukan pengurangan resiko bencana
yang terintegrasi ke dalam perencnaan dan anggaran nasional di tingkat nasional, propinsi dan
kabupaten. Perumusan dan penyebaran Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Resiko Bencana
(DRR) dan rencana aksi DRR di tingkat regional. Perencanaan menjadi penting untuk meningkatkan
kapasitas Pemerintah dalam mengurangi dampak bencana, mengelola bahaya bencana dan
menurunkan resiko bencana ke dalam pengembangan perencanaan dan anggaran. Untuk
meningkatkan kapasitas Pemerintah perlu adanya perencanaan Sistem Informasi Resiko Bencana
yang membantu mengadakan informasi yang relevan sehubungan dengan pengurangan,
pencegahan, dan penanggulangan bencana.

1.8. Rencana Tindak Mengurangi Resiko Bencana (Action Plan for


Disaster Risk Reduction)

Usaha usaha untuk mengurangi resiko bencana di Indonesia telah diatur dan disusun dalam suatu
kerangka kerja yang implementasinya menfokuskan pada beberapa kegiatan yang menjadi kunci
dalam menanggulangi resiko bencana. Beberapa prioritas diantaranya harus diimplementasikan
dalam rencana kegiatan operasionalnya.

1. Prioritas

Inisiatif untuk mengurangi resiko bencana di Indonesia terutama diprioritaskan pada keberlanjutan
dan partisipasi seluruh stakeholder. Perlu adanya komitmen yang kuat dalam memilih prioritas serta
tindakan tindakan yang akan diambil menjadi ciri dalam usaha ini. Prioritas prioritas tersebut
diperlukan sebagai dasar yang terintegrasi dalam implementasi program pengurangan resiko
bencana yang berkelanjutan yang sejalan dengan usaha usaha yang sudah dilaksanakan pada
tingkat internasional.

Ada 5 prioritas kunci yang yang harus diperhatikan dalam mengurangi resiko bencana, yaitu:

1. Memastikan bahwa pengurangan resiko bencana merupakan prioritas nasional dan daerah,
oleh karenanya diperlukan suatu kelembagaan yang kuat yang menjadi dasar dalam
implementasinya.
2. Melakukan kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi, penilaian dan pengawasan resiko
bencana dan peningkatan terhadap peringatan dini.
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun suatu budaya yang
aman dan fleksibel untuk semua tingkatan.
4. Mengurangi faktor faktor penyebab resiko bencana.
5. Meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana disetiap tingkat dan mampu bertindak
secara efektif.

2. Rencana Tindak (Action Plan)

Cermin dari perubahan paradigma pencegahan dimasa depan adalah sebagai bagian dalam
memenuhi persyaratan dasar hak asasi manusia, pengurangan resiko bencana diperlukan ciri-ciri
sebagai berikut:

1. Mengakui bahwa hak azasi merupakan suatu kehormatan hidup dan kehidupan setiap manusia,
oleh karenanya pemerintah bertanggungjawab dalam memberi perlindungan terhadap bencana,
terutama menghindari dengan tanpa membuat resiko pada proses perbaikan.
2. Mengurangi faktor-faktor resiko bencana dari praktek pembangunan yang tidak berkelanjutan
adalah suatu hal yang lebih buruk dari dampak perubahan iklim.

10 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

3. Agar supaya kepercayaan dapat diraih, maka resiko dan atau bencana yang berdampak pada
masyarakat serta kepekaan pada gender, partisipasi, kesetaraan dan perspektif hukum harus
ditingkatkan.

Berikut adalah aktivitas / kegiatan yang menjadi kunci dan harus ditingkatkan sebagai bagian dari
implementasi Rencana Tindak Nasional dalam mengurangi resiko bencana:

1. Memastikan bahwa pengurangan resiko bencana harus menjadi prioritas utama bagi
pemerintah pusat maupun daerah yang diimplementasikan dalam suatu
kelembagaan yang kuat untuk melakukan kegiatan sebagai berikut:

1). Kelembagaan Nasional dan Kerangka Hukum

a. Mendukung pembentukan dan penguatan mekanisme pengurangan resiko bencana


tingkat nasional secara terpadu.
b. Mengurangi resiko secara terpadu melalui kebijakan pembangunan dan perencanaan,
termasuk strategi mengurangi kemiskinan.
c. Bila perlu mengadopsi atau memodifikasi undang-undang guna mendukung
pengurangan resiko bencana, termasuk didalamnya mekanisme serta peraturan
peraturan yang memperkuat dan memberi insentif kepada pihak pihak yang
mensosialisasikan kegiatan mitigasi dan pengurangan resiko.
d. Menyadarkan betapa pentingnya penanganan resiko bencana serta tanggungjawab
masyarakat yang terdesentralisasi untuk mengurangi resiko bencana, terutama dalam
hal kewenangan daerah atau propinsi.

2). Sumberdaya

a. Akses kepada sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dalam mengurangi


resiko bencana dan kemampuan dalam pengembangan dan perencanaan serta
membuat program program dalam menyatukan kondisi saat ini dan kebutuhan dimasa
yang akan datang.
b. Mempersiapkan dan menyediakan sumberdaya untuk pengembangan dan implementasi
dari kebijakan pengelolaan resiko bencana, program-program, hukum dan peraturan
yang berhubungan dengan pengurangan resiko bencana.
c. Pemerintah berkewajiban memperlihatkan kemauan politik yang kuat yang dibutuhkan
untuk mensosialisasikan dan memadukan pengurangan resiko bencana kedalam
program program pembangunan.

3). Partisipasi Masyarakat

Secara sistimatik melibatkan peran masyarakat dalam pengurangan resiko bencana,


termasuk dalam proses pengambilan keputusan untuk hal hal yang berkaitan dengan
pemetaan, perencanaan, implementasi, pengawasan, dan evaluasi melalui pembuatan
jejaring, termasuk jejaring tenaga sukarela, manajemen sumberdaya strategis, dan dengan
membuat aturan-aturan hukum serta menetapkan tanggungjawab dan otoritas/kewenangan
perwakilan.

2. Mengidentifikasi, akses, dan pengawasan resiko bencana dan meningkatkan


peringatan dini, melalui kegiatan-kegiatan:

1). Penilaian Resiko pada skala Nasional dan Daerah

a. Membangun, memperbaharui, dan menyebarkan peta peta resiko bencana serta


informasi informasi yang berhubungan dengan bencana kepada para pengambil
keputusan dan masyarakat umum.

11 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

b. Membangun sistem penciri/penunjuk resiko bencana dan kerentanan pada tingkat


nasional dan propinsi yang memungkinkan pembuat keputusan dapat meng-akses
dampak dari bencana.
c. Mencatat, meng-analisa, menyimpulkan, dan menyebarkan informasi secara statistik
terhadap kejadian kejadian bencana, dampaknya dan kerugiannya.

2). Peringatan Dini

a. Membangun sistem peringatan dini di tengah tengah masyarakat, terutama sistem yang
dapat memberi peringatan tepat waktu dan dapat dimengerti makna masalah
resikonya.
b. Secara periodik mengulang kembali dan merawat sistem informasi sebagai bagian dari
sistem peringatan dini.
c. Memantapkan kapasitas kelembagaan untuk memastikan bahwa sistem peringatan dini
benar-benar terintegrasi dalam kebijakan pemerintah dan proses pengambilan
keputusan.
d. Memperkuat koordinasi dan kerjasama diantara semua sektor yang terkait dan aktor
dalam rantai peringatan dini dalam rangka memperoleh efektifitas penuh dari sistem
peringatan dini.
e. Membangun dan memperkuat efektiifitas sistem peringatan dini di pulau pulau yang
lebih kecil.

3). Kapasitas

a. Mendukung pengembangan dan keberlanjutan infrastruktur, ilmu pengetahuan dan


teknologi, kapasitas kelembagaan serta teknis lainnya yang diperlukan untuk penelitian,
pengamatan, analisa, pemetaan, prediksi alam dan bahaya yang terkait, kerentanan
serta dampak bencana.
b. Mendukung dalam pengembangan dan peningkatan basisdata yang relevan dan
memperkenalkan pertukaran data secara terbuka dan penyebaran data untuk keperluan
penilaian, pengawasan dan keperluan peringatan dini.
c. Mendukung dalam peningkatan metoda metoda melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kemampuan dalam penilaian resiko, pengawasan, dan peringatan dini
melalui penelitian, kerjasama, pelatihan dan membangun kemampuan teknis.
d. Memantapkan dan memperkuat kemampuan dalam menrekam, menganalisa,
meringkas, menyebarkan, serta pertukaran data dan informasi.

4). Resiko Darurat Regional

a. Mengkompilasi dan membuat standarisasi data dan informasi pada resiko bencan
regional, dampak dan kerugiannya.
b. Kerjasama secara regional dan internasional untuk penilaian dan pengawasan regional
dan bahaya lintas batas.
c. Penelitian, analisa, dan pelaporan perubahan jangka panjang dan isu isu bersama yang
mungkin meningkat kerentanannya dan resiko atau kapasitas otoritas dan masyarakat
dalam menghadapi bencana.

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan sebagai sarana untuk


membangun suatu budaya aman dan nyaman pada setiap tingkatan, melalui
kegiatan sebagai berikut:

1) Menyediakan informasi yang mudah dimengerti mengenai resiko bencana dan pilihan
pencegahan, khususnya kepada penduduk perkotaan yang berada di wilayah yang beresiko
tinggi.
2) Peningkatan jejaring diantara sesama akhi kebencanaan, para manajer, dan perencana
lintas sektoral dan antar wilayah, dan membangun atau meningkatkan prosedur

12 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

pemanfatan tenaga akhli yang tersedia pada pembangunan perencanaan pengurangan


resiko di daerah.
3) Mempromosikan dan meningkatkan dialog dan kerjasama diantara masyarakat ilmiah dan
praktisi yang bekerja dibidang pengurangan resiko bencana.
4) Memperkuat dan mengimplementasikan penggunaan informasi terbaru, serta informasi dan
teknologi untuk penanganan pengurangan resiko bencana.
5) Dalam jangka menengah, mengembangkan direktori, inventarisasi, dan sistem pertukaran
informasi pada tingkat daerah, propinsi, nasional dan tingkat internasional.
6) Kelembagaan yang berorientasi kepada pembangunan perkotaan harus menyediakan
informasi pada masyarakat mengenai pilihan pengurangan bencana terutama kepada para
kontraktor bangunan, pembeli lahan atau penjual tanah.
7) Memperbaharui dan menyebarkan secara luas dengan menggunakan standar internasional
yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana.

4. Pendidikan dan pelatihan

1) Memperkenalkan pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana dalam kurikulum


sekolah
2) Memperkenalkan implementasi dari penilaian resiko di tingkat daerah dan program
kewaspadaan terhadap bencana di sekolah sekolah dan lembaga pendidikan tinggi.
3) Memperkenalkan implementasi program dan kegiatan di sekolah untuk pembelajaran
bagaimana meminimalkan suatu dampak bencana.
4) Mengembangkan pelatihan dan program pembelajaran dengan sasaran untuk mengurangi
resiko bencana pada sektor tertentu (Perencana Pembangunan, Pegawai/staff Pemerintah
Daerah, Manajer Pabrik, dsb)
5) Memperkenalkan inisiatif pelatihan berbasis masyarakat guna meningkatkan kapasitas
daerah dalam mitigasi dan keluar dari bencana.
6) Memastikan kesetaraan akses untuk mendapat kesempatan mengikuti pelatihan dan
pendidikan, baik untuk perempuan maupun dari kalangan yang rentan.

5. Penelitian

1) Pengembangan metoda metoda untuk memprediksi penilaian multi resiko dan analisa
untung rugi berdasarkan sosial-ekonomi dari tindakan dalam pengurangan resiko.
2) Meningkatkan kemampuan, secara ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk
mengembangakan dan menerapkan metodologi dan model untuk menilai kerentanan
terhadap dan dampak geologi, cuaca, air, dan iklim yang berhubungan dengan bahaya.

6. Kepedulian masyarakat

Memperkenalkan melalui media guna membangun budaya peduli terhadap bencana dan mengajak
seluruh masyarakat untuk terlibat langsung dalam pencegahan terhadap bencana.

7. Mengurangi faktor faktor penyebab resiko, melalui kegiatan :

1). Pengelolaan Sumberdaya alam dan Lingkungan, meliputi:


a. Pengelolaan ekosistem dan pemanfaatan yang berkelanjutan, termasuk melalui
perencanaan tata guna lahan yang lebih baik dan aktivitas kegiatan untuk mengurangi
resiko dan kerentanan.
b. Mengimplementasikan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
terpadu yang selaras dengan pengurangan resiko bencana
c. Memperkenalkan pengurangan resiko secara terpadu yang berkaitan dengan variabilitas
iklim yang ada dan perubahan iklim dimasa mendatang.

2). Pembangunan Ekonomi dan Sosial


a. Memperkenalkan pentingnya keamanan pangan

13 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

b. Memadukan perencanaan pengurangan resiko bencana kedalam bidang kesehatan


sebagai panduan keamanan rumah sakit dari dampak bencana.
c. Pencegahan dan peningkatan fasilitas darurat milik masyarakat/publik (sekolahan,
rumahsakit, pembangkit listrik, dll) sehingga aman terhadap dampak bencana.
d. Meningkatkan implementasi mekanisme keselamatan masyarakat
e. Mengintegrasikan pengurangan resiko bencana kedalam perbaikan pasca bencana dan
proses rehabilitasi.
f. Meminimilisasi resiko bencana dan kerentanan yang disebabkan oleh gerakan masa.
g. Mempromosikan diserfikasi pilihan pendapatan untuk penduduk yang berada di areal
yang beresiko tinggi guna mengurangi kerentanan terhadap bahaya.
h. Mempromosikan pengembangan resiko keuangan dengan cara mengasuransikan
melalui asuransi bencana.
i. Mempromosikan pembentukan kerjasama swasta dan masyarakat untuk mendorong
sektor swasta peduli terhadap kegiatan pengurangan resiko bencana.
j. Mengembangkan dan mempromosikan alternatif dan inovasi intrumen keuangan dalam
mendorong pengurangan resiko bencana.

3). Perencanaan tata guna lahan dan peraturan teknis lainnya.


a. Mengintegrasikan penilaian resiko bencana kedalam perencanaan kota dan pengelolaan
pemukiman manusia yang rentan bencana.
b. Menjadikan resiko bencana kedalam prosedur perencanaan untuk proyek proyek kunci
infrastruktur, termasuk pada kriteria desain, persetujuan dan implementasi dari proyek.
c. Mengembangkan panduan dan alat pengawasan untuk mengurangi resiko bencana
dalam kontek kebijakan tataguna lahan dan perencanaan.
d. Mengintegrasikan penilaian resiko bencana kedalam perencanaan pembangunan kota.
e. Menyarankan perlu adanya revisi kode bangunan baru atau yang ada, perlu adanya
standarisasi, rehabilitasi, dan rekontruksi.

4). Meningkatkan kesiapan/kewaspadaan terhadap bencana disemua tingkatan, melalui


kegiatan:
a. Penguatan kebijakan, kapasitas dan kelembagaan dan teknis dalam pengelolaan
bencana, baik secara lokal, regional, dan nasional, termasuk didalamnya yang berkaitan
dengan teknologi, pelatihan, dan sumberdaya manusia dan sumberdaya material.
b. Memberi dukungan diadakannya dialog, pertukaran informasi dan melakukan koordinasi
diantara lembaga-lembaga yang berhubungan dengan peringatan dini, pengurangan
resiko bencana, tanggap darurat, pembangunan dan hal-hal lainnya yang relevan.
c. Memperkuat dan apbila diperlukan membangun koordinasi dengan penndekatan
regional dan membuat atau meningkatkan kebijakan regional, mekanisme operasional,
perencanaan dan sistem komunikasi pada kejadian bencana yang melewati batas
wilayah/propinsi.
d. Mempersiapkan atau menilai ulang secara periodik tentang persiapan menghadapi
bencana dan rencana darurat dan kebijakan pada semua tingkat.
e. Mempromosikan pembangunan dana darurat untuk mendukung kesiapan, perbaikan
dan reaksi terhadap bencana.
f. Mengembangkan mekanisme khusus untuk menggugah partisipasi aktif dan
pemilik/stakeholder.

1.9. Bencana Alam Di Indonesia

Indonesia adalah negara yang rentan terhadap bencana alam, apakah itu bencana yang berasal dari
peristiwa alamiah maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. Beberapa penyebab
bencana erat kaitannya dengan kondisi geografi, geologi, iklim atau faktor-faktor lainnya.

1.9.1. Faktor Faktor Penyebab Bencana Alam.

Bencana alam dapat disebabkan oleh peristiwa alamiah ataupun akibat dari aktifitas manusia.
Berikut ini adalah interaksi antara faktor-faktor yang berperan pada terjadinya bencana:

14 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

1. Faktor alamiah, meliputi kondisi geografi, geologi, hidro-meteorologi, biologi, dan degradasi
lingkungan.
2. Komunitas yang padat, infrastruktur dan elemen-elemen dalam wilayah / kota yang berada
di kawasan yang rawan bencana.
3. Rendahnya kapasitas dari elemen-elemen masyarakat

Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada pada pertemuan 4 lempeng
tektonik, yaitu lempeng Asia, lempeng Australia, lempeng Samudra India, dan lempeng Samudra
Pasifik. Di Indonesia bagian selatan dan timur terbentang rangkaian busur gunungapi, yang
tersebar mulai dari Sumatra-Jawa-NusaTenggara-Sulawesi. Sebagian besar kepulauan Indonesia
ditempati oleh jalur gunungapi dan dataran rendah sedangkan sisanya ditempati oleh daratan rawa.
Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang rawan dan berpotensi terkena bencana,
seperti rawan terkena letusan gunungapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan longsor. Berdasarkan
data bahwa Indonesia memiliki tingkat seismisitas yang sangat tinggi diantara negara-negara di
dunia, dengan frekuensi rata-rata lebih dari 10 kali lipat dibandingkan dengan Amerika Serikat
(Arnold, 1986).

Pergerakan lempeng bumi memicu terjadinya gempabumi yang apabila terjadi dibawah laut
seringkali menghasilkan gelombang pasang. Kecenderungan yang tinggi terhadap pergerakan
lempeng tektonik, Indonesia sudah sering terkena bencana tsunami. Hampir semua tsunami di
Indonesia disebabkan oleh gempabumi tektonik yang terjadi disepanjang zona tumbukan (subduksi)
dan di daerah daerah yang seismisitasnya aktif. Sejak tahun 1600 hingga tahun 2000 telah terjadi
105 kali tsunami di Indonesia, 90% tsunami tersebut disebabkan oleh gempabumi tektonik, 9 %
disebabkan oleh letusan gunungapi, dan 1 % oleh longsoran. Kawasan pantai /pesisir di Indonesia
umumnya rawan terhadap tsunami. Daerah daerah seperti pantai barat Sumatra, pantai selatan
Jawa, pantai utara dan selatan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pantai utara Papua dan sebagian
besar pesisir Sulawesi, serta laut Maluku merupakan daerah yang sangat rawan terkena tsunami.
Antara tahun 1600 hingga tahun 2000, sudah terjadi 32 kali tsunami, dimana 28 kali disebabkan
oleh gempabumi dan 4 kali disebabkan oleh letusan gunungapi bawah laut.

Keberadaan Indonesia yang terletak di daerah yang beriklim tropis dan hanya mengenal 2 musim,
yaitu musim kemarau dan penghujan serta perubahan cuaca, temperatur, arah angin yang cukup
ekstrim menyebabkan Indonesia sangat rentan terkena bencana geologi. Perpaduan antara keadaan
bentangalam dan jenis bebatuan yang ada dimana secara fisik dan kimiawi berbeda menjadikan
kondisi tanah di Indonesia cukup subur disamping berpotensi dan rawan terkena bencana hidro-
meteorologi, seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan meningkatnya
aktifitas manusia, kerusakan lingkungan juga semakin bertambah luas dan pada akhirnya dapat
menjadi pemicu terjadinya bencana hidro-meteorologi dengan frekuensi dan intensitas yang
semakin tinggi di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagai contoh bencana banjir dan tanah longsor
yang terjadi di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan beberapa tempat lainnya pada
tahun 2006.

Meskipun ada usaha usaha dalam meminimalkan terjadinya degradasi lingkungan, proses
pembangunan di indonesia juga telah mengakibatkan rusaknya ekologi dan lingkungan hidup.
Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia sejauh ini hanya terfokus pada eksploitasi
sumberdaya alam (terutama dalam skala besar) untuk kelangsungan hidup manusia Indonesia.
Sumberdaya hutan Indonesia menurun dari tahun ke tahun, sedangkan penambangan sumberdaya
mineral telah menyebabkan rusaknya ekosistem dan struktur tanah serta meningkatkan resiko
terkena bencana.

1.9.2. Jenis Bencana Alam Yang Sering Terjadi Di Indonesia

Berdasarkan catatan BAKORNAS, bencana yang melanda Indonesia dari tahun ke tahun
menunjukan peningkatan yang cukup signifikan. Selama periode 2003 2005 telah terjadi 1.429
bencana, baik yang disebabkan oleh bencana geologi maupun bencana yang berasal dari bencana
hidro-meteorologi.

15 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Berdasarkan jenis bencananya, bencana banjir menempati urutan pertama, yaitu sebesar 34,1 %
diikuti oleh bencana tanah longsor sebesar 16 %, sedangkan bencana geologi (gempabumi, tsunami
dan letusan gunungapi) menempati 6,4 %. Meskipun bencana geologi hanya menempati urutan
ketiga dari seluruh bencana yang terjadi pada periode tersebut, namun tingkat kerusakan dan
besarnya kerugian yang disebabkan oleh bencana geologi tersebut sangat tinggi. Berdasarkan
catatan, tingkat kerusakan dan kerugian yang terjadi oleh kombinasi antara bencana gempabumi
dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 serta
gempabumi di Nias, Sumatra Utara pada tanggal 28 Maret 2005 merupakan bencana yang paling
dahsyat sepanjang sejarah Indonesia.

1. Gempabumi dan Tsunami

Gempabumi relatif sering terjadi di Indonesia dan umumnya disebabkan oleh pergerakan lempeng
lempeng tektonik dan letusan gunungapi. Pergerakan lempeng tektonik yang terjadi disepanjang
pantai barat pulau Sumatra merupakan tempat pertemuan lempeng Asia dan lempeng Samudra
India sedangkan di pantai selatan pulau Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara merupakan tempat
pertemuan lempeng Australia dan lempeng Asia. Sulawesi dan Maluku sebagai tempat pertemuan
lempeng Asia dan lempeng Samudra Pasifik. Pusat pertemuan antar lempeng tersebut menjadikan
Indonesia sebagai daerah yang sering dilanda gempabumi dengan ribuan episenter yang tersebar
disepanjang pertemuan lempeng. Gempabumi bawah laut merupakan pemicu terjadinya tsunami,
terutama gempabumi yang terjadi di bawah laut yang diikuti oleh deformasi lantai samudra, seperti
yang terjadi di pantai barat Sumatra dan pantai utara Papua. Letusan Gunungapi juga dapat
menimbulkan tsunami seperti yang terjadi pada Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tahun 1883.

Bencana gempabumi dan tsunami umumnya berdampak pada hilanganya harta benda dan korban
jiwa dan untuk merehabilitasi dan rekontruksinya dibutuhkan waktu yang cukup lama. Waktu yang
diperlukan untuk membangun kembali infrastruktur dan bangunan yang rusak akibat bencana tidak
dapat secara langsung dilakukan namun memerlukan waktu hingga bertahun tahun. Dalam sejarah
modern kehidupan manusia, bencana tsunami sangat merusak dan berdampak sangat luas serta
memakan korban jiwa dan harta benda adalah tsunami yang terjadi pada tanggal 26 desember
2004 di samudra India sebagai akibat dari gempabumi berskala 8.9 Richter yang berpusat di dekat
pulau Simeulue, provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Tsunami ini telah merusak kota Banda Aceh,
Pantai Barat Aceh dan Nias. Bencana juga menghantam negara-negara disepanjang Samudra India
termasuk Thailand, Malaysia, Andaman dan Nicobar, Sri Langka hingga ke pantai timur Afrika.
Berdasarkan catatan lebih dari 165.862 jiwa manusia menjadi korban dalam peristiwa ini dan
37.066 orang dinyatakan hilang. Total kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 41 triliun rupiah
diluar dari kerugian yang diakibatkan oleh terganggunya kegiatan ekonomi dan produksi.

Hanya 3 bulan setelah gempabumi Aceh terjadi lagi gempabumi yang sangat kuat yang
menghantam pulau Nias pada tanggal 28 Maret 2005. Pusat gempabumi ini berada didasar laut
disekitar kepulauan Nias dengan magnitud 8,2 skala Richter. Meskipun tidak memicu terjadinya
tsunami, gempa Nias menyebabkan kerusakan yang cukup luas, terutama di kepulauan Nias dan
Nias Selatan yang berada di propinsi Sumatra Utara serta wilayah Simeulue di Aceh. Jumlah korban
jiwa yang tercatat sebanyak 915 jiwa dengan tingkat kerusakan yang cukup berat di seluruh
kepulauan Nias. Pada tanggal 27 Mei 2006 terjadi lagi gempabumi dengan magnitude 5,9 skala
Richter yang berpusat di selatan Yogyakarta, tepatnya kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Gempabumi ini telah menelan korban sebanyak 5.749 jiwa, 38.568 luka-luka dan
ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggalnya. Total kerugian ekonomi diperkirakan mencapai
29,2 triliun rupiah.

2. Letusan Gunungapi

Di Indonesia terdapat 129 gunungapi aktif dan 500 gunungapi tidak aktif. Dari 129 gunungapi aktif
atau 13 persen dari jumlah gunungapi aktif di dunia ada di Indonesia dan 70 persen eruptif dan 15
dalam kondisi kritis. Persebaran gunungapi di Indonesia membentuk satu jalur yang berupa garis
mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sebelum membelok ke arah utara, kearah laut
Banda dan Sulawesi bagian utara. Panjang jalur gunungapi kurang lebih 7000 kilometer yang terdiri

16 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

dari gunungapi dengan karakteristik campuran. Saat ini lebih dari 10 persen penduduk Indonesia
mendiami wilayah wilayah yang rentan terhadap letusan gunungapi. Selama lebih dari 100 tahun,
sudah 175.000 jiwa telah menjadi korban dari letusan gunungapi.

Indonesia yang berada pada zona beriklim tropis dengan musim kemarau dan penghujan telah
berpengalaman menghadapi ancaman bencana longsoran dari material piroklastik yang berasal dari
hasil erupsi gunungapi, seperti aliran lahar atau perpindahan material gunungapi (piroklastik) yang
berbahaya. Gunung Merapi adalah salah satu gunungapi sangat aktif di dunia. Gunungapi ini
menunjukkan erupsi menghasilkan awan panas piroklastik dan longsoran kubah lava. Luncuran
kubah lava yang terjadi secara berulang-ulang sepanjang periode erupsi dan dapat memakan waktu
hingga berbulan bulan. Sebagai gambaran, dari 13 Mei hingga 21 Juni 2006, gunung Merapi
ditetapkan dalam kondisi Siaga namun demikian tidak menunjukkan tanda tanda penurunan
aktivitasnya. Semburan material piroklastik mencapai ratusan kali dengan radius hingga mencapai 6
kilometer yang membahayakan pemukiman penduduk, terutama di wilayah kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Klaten, dan Magelang di wilayah Jawa Tengah. Lebih dari 17.212 jiwa
telah diungsikan sementara dan 2 orang meninggal dikarenakan terperangkap di lubang
perlindungan yang berada di Kaliadem, Cangkringan, Sleman. (Data Bakornas pada 15 Juni 2006).

3. Banjir

Banjir merupakan kejadian yang selalu berulang setiap tahunnya di Indonesia, tercatat bahwa
kebanyakan terjadi pada musim penghujan. Berdasarkan sudut pandang morfologi, banjir terjadi di
negara negara yang mempunyai bentuk bentangalam yang sangat bervariasi dengan sungai nya
yang banyak. Banjir di Indonesia umumnya terjadi di Indonesia bagian barat, karena tingkat curah
hujan yang sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian timur. Pertumbuhan
penduduk di Indonesia dan kebutuhan ruang sebagai tempat untuk mengakomodasi kehidupan
manusia dan mendukung aktivitasnya secara tidak langsung telah berperan terjadinya banjir.
Penebangan hutan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ruang telah meningkatkan
sedimentasi di sungai-sungai, tidak terkendalinya air permukaan dan tanah menjadi jenuh air. Hal
ini yang memungkinkan air permukaan menjangkau kawasan yang lebih luas yang pada akhirnya
menjadi penyebab banjir bandang seperti yang terjadi pada tahun 2003 di wilayah Bahorok dan
Langkat, Sumatra Utara dan di wilayah Ayah, Jawa Tengah.

Dalam tahun 2006 bencana banjir yang melanda beberapa wilayah, termasuk bencana banjir
bandang dan tanah longsor. Di Jember, Jawa Timur akibat banjir bandang dan tanah longsor telah
menelan korban sebanyak 92 orang meninggal dan 8.861 hanyut, sedangkan di Trenggalek 18
orang meninggal. Banjir bandang yang disertai dengan tanah longsor terjadi juga di Manado,
Sulawesi Utara yang memakan korban sebanyak 27 jiwa dan 30.000 hanyut. Bencana yang sama
terjadi juga di Sulawesi Selatan pada bulan Juni 2006. Lebih dari 200 orang meninggal dunia dan
puluhan lainnya hilang (Data Provinsi dari BAKORNAS, 23 Juni 2006).

4. Tanah Longsor

Di Indonesia peristiwa tanah longsor sering kali terjadi, terutama di tempat tempat yang berlereng
terjal. Peristiwa tanah longsor umumnya dipicu oleh curah hujan yang sangat tinggi. Berdasarkan
data, daerah daerah yang diduga rentan terhadap tanah longsor adalah kawasan pegunungan Bukit
Barisan di Sumatra, kawasan pegunungan di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Tanah longsor
yang yang sangat fatal juga terjadi di lokasi pemboran dan penggalian yang terjadi di daerah
pertambangan. Tanah longsor juga terjadi setiap tahun, terutama di tempat tempat yang lahannya
tidak stabil seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Hampir semua lahan di daerah tropis merupakan daerah yang rentan terhadap tanah longsor
karena tingkat pelapukan yang tinggi yang menyebabkan komposisi tanah didominasi oleh lapisan
material lepas. Di Indonesia, kestabilan lahan sangat besar peranannya sebagai zonasi penyangga
kerusakan. Penebangan hutan yang sangat ektensif di zona penyangga telah meningkatkan potensi
terjadinya tanah longsor. Sebagai contoh di Jawa Barat tercatat pada tahun 1990, sebanyak
791.519 Ha areal hutan telah mengalami penurunan menjadi 323.802 Ha pada tahun 2002. Hal ini

17 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

memungkinkan bahwa potensi tanah longsor diperkirakan terjadi di daerah ini. Tanah longsor yang
terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah pada awal 2006 telah merenggut 76 jiwa, dan 44 jiwa
dilaporkan hilang karena tertimbun longsoran tanah. Kerugian lainnya termasuk kerusakan yang
cukup parah pada 104 rumah penduduk dan rusaknya tanaman padi.

5. Kekeringan

Apabila peristiwa banjir dan tanah longsor terjadi pada musim penghujan, maka kekeringan pada
umumnya terjadi dimusim kemarau. Bencana kekeringan sudah menjadi permasalahan yang serius
ketika berdampak pada produksi tanaman pangan di suatu daerah, seperti yang terjadi di
Bojonegoro dengan 1000 ha sawah mengalami gagal panen ketika sistem irigasi tidak berfungsi
karena musim kemarau. Kasus yang sama juga terjadi di pantai Jawa bagian Utara, ketika
kekeringan melanda 12.985 ha. penghasil tanaman pangan di wilayah tersebut.

Saat ini bencana kekeringan juga berdampak pada pasokan energi listrik, hal ini disebabkan oleh
turunnya produksi listrik yang berasal dari PLTA. Perununan pasokan energi listrik yang berasal dari
PLTA akan mengganggu sistem jaringan interkoneksi kelistrikan di wilayah Jawa dan Bali.
Kekeringan yang melanda Indonesia, terutama terjadi pada musim kemarau yang berkepanjangan,
khususnya di Indonesia bagian timur seperti NTB, NTT dan beberapa daerah di Sulawesi,
Kalimantan dan Papua. Kekeringan juga dapat memicu penyebaran penyakit penyakit tropis seperti
malaria dan demam berdarah.

18 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

2M itigasi Bencana Gempabumi

2.1. Pendahuluan

Gempabumi adalah getaran dalam bumi yang terjadi sebagai akibat dari terlepasnya energi yang
terkumpul secara tiba-tiba dalam batuan yang mengalami deformasi. Gempabumi dapat
didefinisikan sebagai rambatan gelombang pada masa batuan/tanah yang berasal dari hasil
pelepasan energi kinetik yang berasal dari dalam bumi. Sumber energi yang dilepaskan dapat
berasal dari hasil tumbukan lempeng, letusan gunungapi, atau longsoran masa batuan/tanah.
Hampir seluruh kejadian gempa berkaitan dengan suatu patahan, yaitu satu tahapan deformasi
batuan atau aktivitas tektonik dan dikenal sebagai gempa tektonik. Sebaran pusat-pusat gempa
(epicenter) di dunia tersebar di sepanjang batas-batas lempeng (divergent, convergent, maupun
transform), oleh karena itu terjadinya gempabumi sangat berkaitan dengan teori Tektonik Lempeng.

Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada
bagian dalam bumi secara tiba-tiba. Gempabumi dapat disebabkan antara lain oleh:
1. Proses tektonik akibat pergerakan kulit/lempeng bumi
2. Aktivitas sesar di permukaan bumi
3. Pergerakan geomorfologi secara lokal, contohnya terjadi runtuhan tanah
4. Aktivitas gunung api
5. Ledakan Nuklir

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa penyebaran pusat-pusat gempabumi sangat erat kaitannya
dengan batas-batas lempeng. Pola penyebaran pusat gempa di dunia yang berimpit dengan batas-
batas lempeng. Disamping gempa tektonik, kita mengenal juga gempa minor yang disebabkan oleh
longsoran tanah, letusan gunungapi, dan aktivitas manusia. Gempa minor umumnya hanya
dirasakan secara lokal dan getarannya sendiri tidak menyebabkan kerusakan yang signifikan atau
kerugian harta benda maupun jiwa manusia. Adapun mekanisme terjadinya gempabumi dapat
dijelaskan seperti yang diilustrasikan pada gambar 2-1. Dalam gambar bagian atas mengilustrasikan
gambar permukaan bumi yang berada pada suatu jalur patahan aktif dengan beberapa bangunan
rumah sebelum terjadi gempa. Pada kondisi ini batuan berada dalam keadaan tegang (strained).
Gambar bagian tengah menjelaskan saat terjadi pergeseran disepanjang jalur patahan yang
diakibatkan oleh gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan dan energi yang terhimpun di
dalam masa batuan akan dilepas dan merambat kesegala arah sebagai gelombang longitudinal
(gelombang P) dan gelombang transversal (gelombang S). Rambatan gelombang yang menjalar
didalam batuan inilah yang menghancurkan bangunan bangunan yang ada disekitarnya. Gambar
bagian bawah mengilustrasikan kondisi setelah terjadi gempa dimana batuan kembali berada pada
keadaan seperti semula.

2.2. Intensitas dan Magnitude Gempabumi

Intensitas dan magnitude gempa yang terjadi di permukaan bumi dapat diketahui melalui alat
seismograf, yaitu suatu alat pencatat getaran seismik yang sangat peka yang ditempatkan
diberbagai lokasi di bumi. Alat seismograf akan mencatat setiap getaran seismik yang sampai ke
alat tersebut. Pada gambar 2-3 diperlihatkan bagaimana alat seismograf mencatat gelombang
seismik melaui suatu bandul yang digantung pada pegas dan dilengkapi dengan jarum pena sebagai

19 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

alat pencatat getaran seismik diatas kertas yang ada pada tabung silinder yang berputar. Pusat
gempa dapat diketahui dengan cara menghitung selisih waktu tiba dari gelombang P dan
gelombang S, sedangkan untuk mengetahui lokasi dari epicenter gempa melalui perpotongan 3
lokasi alat seismograf yang mencatat getaran seismik tersebut (gambar 2-4). Untuk menentukan
magnitute gempa didasarkan atas besarnya amplitudo gelombang seismik yang tercatat pada alat
seismograf.

Gambar 2- 1 Urut-urutan proses terjadinya gempabumi

Gambar 2-2 Gelombang P (Primer) sebagai gelombang kompresi yang mampu


merubah volume batuan dan gelombang S (Sekunder) sebagai
gelombang Shear yang mampu merubah bentuk.

20 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 2-3 Alat seismograf yang mencatat arah gerakan gempabumi oleh
jarum seismograf pada kertas yang berada dipermukaan
silinder

Gambar 2-4 Penentuan lokasi epicenter gempa didasarkan atas selisih waktu tiba dari
gelombang P dan gelombang S yang tercatat pada alat seismograf (gambar
kiri) dan epicenter gempa yang ditentukan berdasarkan perpotongan dari 3
lokasi alat seismograf yang mencatat kejadian gempabumi (gambar kanan).

21 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Skala Richter adalah satuan yang dipakai untuk mengukur besarnya magnitute gempa. Satuan
besaran gempa berdasarkan satuan skala Richter adalah 1 hingga 10. Satuan intensitas dan
magnitute gempabumi dapat juga diukur berdasarkan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh
getaran gelombang seismik dan satuan ini dikenal dengan satuan Intensitas Modifikasi Mercalli
(MMI), nilai satuan ini berkisar dari 1 s/d 12 (lihat Tabel 2-1).

Tabel 2-1 Skala Intensitas Modifikasi Mercalli (MMI)

2.3. Dampak Bencana Gempabumi

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa rambatan gelombang seismik yang berasal dari energi
yang dilepaskan dari hasil pergerakan lempeng dapat menimbulkan bencana. Bencana yang
disebabkan oleh gempabumi dapat berupa rekahan tanah (ground rupture), getaran tanah (ground
shaking), gerakan tanah (mass-movement), kebakaran (fire), perubahan aliran air (drainage
changes), gelombang pasang/tsunami, dsb.nya. Gelombang gempa yang merambat pada masa
batuan, tanah, ataupun air dapat menyebabkan bangunan gedung dan jaringan jalan, air minum,
telepon, listrik, dan gas menjadi rusak. Tingkat kerusakan sangat ditentukan oleh besarnya
magnitute dan intensitas serta waktu dan lokasi epicenter gempa.

1. Rekahan / patahan di permukaan bumi (Ground rupture)

Pada umumnya gempabumi seringkali berdampak pada rekah dan patahnya permukaan bumi yang
secara regional dikenal sebagai deformasi kerakbumi. Deformasi kerakbumi dapat mengakibatkan
permukaan daratan rekah dan terpatahkan hingga mencapai areal yang sangat luas. Salah satu
bukti nyata terjadinya ground rupture adalah gempa yang terjadi pada Februari, 1976 dimana areal
seluas 12.000 km2 yang terletak di jalur patahan San Andreas, 65 km di sebelah utara kota Los
Angeles mengalami pegangkatan (uplifted) oleh pergeseran sesar San Andreas.

22 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Pada umumnya gempabumi seringkali berdampak pada rekah dan patahnya permukaan bumi yang
secara regional dikenal sebagai deformasi kerakbumi. Deformasi kerakbumi dapat mengakibatkan
permukaan daratan rekah dan terpatahkan hingga mencapai areal yang sangat luas. Salah satu
bukti nyata terjadinya ground rupture adalah gempa yang terjadi pada Februari, 1976 dimana areal
seluas 12.000 km2 yang terletak di jalur patahan San Andreas, 65 km di sebelah utara kota Los
Angeles mengalami pegangkatan (uplifted) oleh pergeseran sesar San Andreas. Contoh lain dari
deformasi kerakbumi adalah gempabumi yang terjadi pada tahun 1964 di Alaska yang menghasilkan
suatu rekahan dan patahan serta deformasi batuan dimana daerah seluas 260.000 km2 terdiri dari
dataran pantai dan dasar laut secara lokal terangkat setinggi 2 meter dan secara regional mencapai
16 meter (gambar 2-5). Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat berdampak
pada bangunan-bangunan, jalan dan jembatan, pipa air minum, pipa listrik, saluran telepon, serta
prasarana lainnya yang ada di daerah tersebut.

Gambar 2-5 Gempa Alaska tahun 1964 yang menyebabkan wilayah seluas 260.000 km2
mengalami ground rupture setinggi 2 16 meter

2. Getaran / guncangan permukaan tanah (Ground shaking)

Bencana gempa yang secara langsung terasa dan berdampak sangat serius adalah runtuhnya
bangunan-bangunan yang disebabkan oleh getaran/guncangan gempa yang merambat pada media
batuan/tanah. Pada umumnya bangunan-bangunan yang berada diatas lapisan batuan yang padat
(firm) dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang berada
diatas batuan sedimen jenuh.

Gambar 2-6 menunjukkan bangunan yang roboh akibat goncangan gempa yang merusak kota San
Francisco pada tahun 1906 adalah gempa yang epicenter-nya berada di sepanjang jalur patahan
(sesar) San Andreas dan bagian dari segmen lepas pantai yang terletak disisi luar Golden Gate
merupakan segmen yang bertanggung jawab terhadap kerusakan kota San Francisco.

23 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 2-6 Gempa California tahun 1995 yang disebabkan oleh ground
shaking

3. Longsoran Tanah (Mass Movement)

Berbagai jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya
gempa. Hampir semua longsoran tanah dapat terjadi pada radius 40 km dari pusat gempa
(epicenter) dan untuk gempa yang sangat besar dapat mencapai radius 160 km dan salah satu
contoh adalah gempabumi Alaska tahun 1964 yang memicu terjadinya longsoran-longsoran tanah
yang terletak jauh dari epicenter gempa. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat sebagai
pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah. Dalam hal ini gempa bersifat meng-induksi
terjadinya gerakan tanah, sedangkan longsoran dan gerakan tanah baru akan terjadi apabila daya
ikat antar butiran lemah, kejenuhan batuan/sedimen, porositas dan permiabilitas batuan/tanah
tinggi.

Gambar 2-7 Gempa California tahun 1995 yang menyebabkan longsoran tanah

4. Kebakaran

Kerusakan yang utama dan sering terjadi pada saat terjadinya gempabumi adalah bahaya
kebakaran. Hampir sembilan puluh persen kerusakan yang terjadi di kota San Francisco pada tahun
1906 adalah disebabkan oleh kebakaran yang berasal dari material bahan bangunan yang mudah
terbakar, kerusakan peralatan yang berkaitan dengan listrik serta pecah dan patahnya saluran pipa

24 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

gas, listrik, dan air. Pada umumnya gempa meng-induksi api yang berasal dari putusnya saluran
listrik, gas, dan pembangkit listrik yang sedang beroperasi yang pada akhirnya menyebabkan
kebakaran.

5. Perubahan Pengaliran (Drainage Modifications)

Terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya (subsidence) permukaan daratan seperti
dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang diakibatkan oleh gempabumi merupakan suatu
permasalahan yang cukup serius. Perubahan pengaliran akibat penurunan permukaan daratan yang
disebabkan oleh gempa memungkinkan terbentuknya danaudanau buatan dan reservoir baru serta
rusaknya bendungan. Contoh kasus terjadinya perubahan pengaliran (drainage) adalah gempa yang
terjadi pada tahun 1971 di San Fernando, California telah menyebabkan hancurnya bendungan Van
Norman Dam, sedangkan gempa Alaska yang terjadi pada tahun 1864 meruntuhkan 2 Bendungan
tipe earth-fill yang berada di selatan kota Anchorage. Kedua bendungan tersebut dilalui oleh suatu
rekahan dan patahan yang memotong badan bendungan dan telah merubah pengaliran (drainase)
yang ada di wilayah tersebut.

6. Perubahan Air Bawah Tanah (Ground Water Modifications)

Regim air bawah tanah dapat mengalami perubahan oleh perpindahan yang disebabkan oleh sesar
atau oleh goncangan. Contoh kasus dari perubahan air bawah tanah adalah gempa yang terjadi
disepanjang suatu patahan yang mengakibatkan terjadinya offset batuan di kedua sisi permukaan
tanah dan aliran air bawah tanah di wilayah Santa Clara County, California, yaitu suatu wilayah yang
terletak di bagian selatan teluk San Francisco. Dalam kasus ini kipas aluvial yang sangat luas yang
terletak di Alameda Creek mengalami offset/perpindahan sejauh 2 km ke arah barat perbukitan.
Gawir yang terbentuk oleh sesar setinggi 8 meter menutup saluran-saluran sungai yang menuju ke
teluk San Francisco sehingga membentuk kolam-kolam yang sangat luas. Patahan ini juga berimbas
pada air yang berada dibawah tanah, offset yang terjadi pada batuan yang berada di bawah tanah
telah menyebabkan lapisan batuan yang permeabel tertutup oleh lapisan batuan impermeabel
sehingga mengakibatkan daerah yang berada diantara gawir dan perbukitan mendapat air bawah
tanah yang melimpah sebaliknya daerah yang lain sedikit menerima air bawah tanah.

7. Tsunami

Tsunami adalah suatu pergeseran naik atau turun yang terjadi secara tiba-tiba pada dasar samudra
pada saat terjadi gempabumi bawah laut, kondisi ini akan menimbulkan gelombang laut pasang
yang sangat besar yang lazim disebut tidal waves.

Tsunami berasal dari bahasa Jepang. "tsu" berarti pelabuhan, "nami" berarti gelombang sehingga
secara umum diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan. Istilah tsunami telah
digunakan secara luas, baik untuk gelombang pasang (tidal waves) maupun gelombang yang
disebabkan oleh gempabumi atau yang lebih dikenal dengan istilah seismic sea waves.

Tsunami dapat diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh
gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik,
erupsi vulkanik atau longsoran? Kecepatan tsunami yang naik ke daratan berkurang menjadi sekitar
25-100 Km/jam. Ketinggian tsunami yang pernah tercatat terjadi di Indonesia adalah 36 meter yang
terjadi pada saat letusan gunung api Krakatau tahun 1883.

Penyebab terjadinya Tsunami antara lain:


Gempa bumi yang diikuti dengan dislokasi/perpindahan masa tanah/batuan yang sangat
besar dibawah air (laut/danau)
Tanah longsor didalam laut
Letusan gunungapi dibawah laut atau gunungapi pulau.

25 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gejala terjadinya tsunami:

Gelombang air laut datang secara mendadak dan berulang dengan energi yang sangat kuat.
Kejadian mendadak dan pada umumnya di Indonesia didahului dengan gempa bumi besar
dan susut laut.
Terdapat selang waktu antara waktu terjadinya? gempa bumi sebagai sumber tsunami dan
waktu tiba tsunami di pantai mengingat kecepatan gelombang gempa jauh lebih besar
dibandingkan kecepatan tsunami.
Metode pendugaan secara cepat dan akurat memerlukan teknologi tinggi.
Di Indonesia pada umumnya tsunami terjadi dalam waktu kurang dari 40 menit setelah
terjadinya gempa bumi besar di bawah laut?

Mekanisme terjadinya tsunami (gambar 2-8):

1. Diawali dengan terjadinya gempa yang disertai oleh pengangkatan sebagai akibat kompresi.
2. Gelombang bergerak keluar ke segala arah dari daerah yang terangkat
3. Panjang gelombang berkurang tetapi tingginya meningkat saat mencapai bagian yang
dangkal, kemudian melaju ke arah darat dengan kecepatan +/-100 km/jam setelah
sebelumnya surut dulu untuk beberapa saat (gambar 2-9).

Gambar 2-10 s/d 2-12 memperlihatkan pembentukan, sebaran, dan dampak dari gelombang
tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dengan pusat gempa berada disebelah barat
pantai Sumatra, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Gambar 2-8 Mekanisme terjadinya tsunami

Gambar 2-9 Pergerakan gelombang tsunami ke daratan

26 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 2-10 Model gelombang tsunami yang terjadi oleh gempabumi tanggal 26 Desember
2004 dengan pusat gempa di pesisir sebelah utara pulau Sumatra (source:
www.usgs,gov).

Gambar 2-11 Kecepatan dan waktu tempuh gelombang tsunami yang terjadi oleh gempabumi tanggal
26 Desember 2004 dengan pusat gempa di pesisir sebelah utara pulau Sumatra

27 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 2-12 Menunjukan tinggi gelombang tsunami yang terjadi oleh gempabumi tanggal 26
Desember 2004 dengan pusat gempa di utara pantai pulau Sumatra.

2.4. Mitigasi Dan Upaya Pengurangan Bencana

Adanya tsunami tidak bisa diramalkan dengan tepat kapan terjadinya, akan tetapi kita bisa
menerima peringatan akan terjadinya tsunami sehingga kita masih ada waktu untuk menyelamatkan
diri. Sebesar apapun bahaya tsunami, gelombang ini tidak datang setiap saat. Janganlah ancaman
bencana alam ini mengurangi kenyamanan menikmati pantai dan lautan. Namun jika berada di
sekitar pantai, terasa ada guncangan gempa bumi, air laut dekat pantai surut secara tiba-tiba
sehingga dasar laut terlihat, segeralah lari menuju ke tempat yang tinggi (perbukitan atau
bangunan tinggi) sambil memberitahukan teman-teman yang lain. Jika sedang berada di dalam
perahu atau kapal di tengah laut serta mendengar berita dari pantai telah terjadi tsunami, jangan
mendekat ke pantai. Arahkan perahu ke laut. Jika gelombang pertama telah datang dan surut
kembali, jangan segera turun ke daerah yang rendah. Biasanya gelombang berikutnya akan
menerjang. Jika gelombang telah benar-benar mereda, lakukan pertolongan pertama pada korban.

Strategi Mitigasi Dan Upaya Pengurangan Bencana Tsunami:

1. Peningkatan kewaspadaaan dan kesiapsiagaan terhadap bahaya tsunami.


2. Pendidikan kepada masyarakat terutama yang tinggal di daerah pantai tentang bahaya
tsunami.
3. Pembangunan Tsunami Early Warning System (Sistem Peringatan Dini Tsunami).
4. Pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai yang beresiko.
5. Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis pantai untuk meredam gaya
air tsunami.
6. Pembangunan tempat-tempat evakuasi yang aman disekitar daerah pemukiman yang cukup
tinggi dan mudah dilalui untuk menghindari ketinggian tsunami.

28 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

7. Peningkatan pengetahuan masyarakat lokal khususnya yang tinggal di pinggir pantai


tentang pengenalan tanda-tanda tsunami cara-cara penyelamatan diri terhadap bahaya
tsunami.
8. Pembangunan rumah yang tahan terhadap bahaya tsunami.
9. Mengenali karakteristik dan tanda-tanda bahaya tsunami.
10. Memahami cara penyelamatan jika terlihat tanda-tanda akan terjadi tsunami.
11. Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi tsunami.
12. Melaporkan secepatnya jika mengetahui tanda-tanda akan terjadinyan tsunami kepada
petugas yang berwenang : Kepala Desa, Polisi, Stasiun Radio, SATLAK PB maupun institusi
terkait
13. Melengkapi diri dengan alat komunikasi.

2.5. Mitigasi Bencana Gempabumi

Mitigasi bencana gempabumi adalah hal yang paling sulit diatasi, hal ini dikarenakan berbagai faktor
yang sangat komplek seperti:

Interval kejadian yang tidak pasti. Karena interval kejadian gempa yang tidak pasti
disepanjang suatu patahan sehingga menyulitkan dalam perencanaan. Data yang sangat minim
akan menyulitkan dalam penyesuaian peruntukan lahan secara spesifik serta dalam pembuatan
aturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan di sekitar dan di sepanjang suatu patahan.
Peraturan yang dibuat dengan data yang sangat minim secara politis akan sulit memperoleh
dukungan.

Penetapan lebar zona patahan. Di perbagai instansi, data tentang lebar suatu zona patahan
dapat berbeda beda. Tanpa suatu dasar yang pasti maka untuk memprediksi patahan mana
yang berikutnya yang akan bergerak/patah sangat sulit dilakukan, sehingga penyesuaian
peruntukan lahan dan penyusunan aturan yang berkaitan dengan lahan juga menjadi sulit
dipertahankan.

Bangunan yang sudah terlanjur ada. Pembangunan yang dilaksanakan di tempat tempat
yang berdekatan dengan zona patahan dan disepanjang jalur patahan akan sulit dilarang dan
untuk menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan pembangunan di tempat tempat tersebut
akan menjadi sia-sia, hal ini disebabkan karena pemerintah / lembaga yang berwenang tidak
memiliki data yang memadai dan akurat terhadap kemungkinan bencana yang mungkin terjadi.

Berkaitan dengan ketidak pastian dan waktu terjadinya gempa, maka bencana gempa harus
diposisikan dalam perhitungan dan pengambilan keputusan yang tepat didasarkan atas data-data
yang tersedia. Oleh karena itu untuk bangunan bangunan, seperti perumahan, rumah sakit,
sekolahan dilarang dibangun di zona patahan. Untuk itu diperlukan suatu peraturan yang melarang
warga masyarakat membangun bangunan di tempat tempat yang berada di zona patahan aktif.

Mitigasi bencana geologi pada hakekatnya adalah mengurangi resiko bencana geologi terhadap
harta benda maupun jiwa manusia. Mitigasi merupakan suatu upaya kerjasama antara ahli-ahli
teknik dan para pembuat kebijakan dan menghasilkan peraturan peraturan pembangunan untuk
suatu wilayah yang rentan bahaya geologi. Usaha-usaha dalam penanggulangan bencana untuk
meminimalkan kerugian, baik kerugian harta benda ataupun jiwa manusia yang disebabkan oleh
gempabumi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain adalah:

1. Melakukan pemetaan penyebaran lokasi-lokasi gempa yang disajikan dalam bentuk Peta
Rawan Bencana Gempabumi / Seismik.
2. Membuat peraturan peraturan yang berkaitan dengan desain struktur bangunan tahan
gempa guna mencegah runtuhnya bangunan ketika terjadi gempa.
3. Tidak membangun bangunan di wilayah-wilayah yang rawan bencana gempa.
4. Menghindari lahan-lahan yang rawan gempa untuk areal pemukiman, dan aktivitas
manusia.

29 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

5. Melakukan penataan ruang baik yang berada di sekitar pantai ataupun di daratan guna
mencegah dan menghindari terjadinya korban jiwa dan harta serta dampak yang mungkin
timbul ketika bencana itu terjadi.
6. Memasang Sistem Peringatan Dini (Early Warning System).

2.5.1. Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana Gempa Bumi

1. Bangunan harus dibangun dengan konstruksi tahan gempa khususnya di daerah rawan
gempa.
2. Perkuatan bangunan yang telah ada dengan mengikuti standar kualitas bangunan.
3. Pembangunan fasilitas umum dengan standar kualitas yang tinggi.
4. Perkuatan bangunan-bangunan vital yang telah ada.
5. Rencanakan penempatan pemukiman untuk mengurangi tingkat kepadatan hunian di
daerah rawan gempa bumi.
6. Zonasi daerah rawan gempa bumi dan pengaturan penggunaan lahan.
7. Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya gempa bumi dan cara -
cara penyelamatan diri jika terjadi gempa bumi.
8. Ikut serta dalam pelatihan program upaya penyelamatan, kewaspadaan masyarakat
terhadap gempa bumi, pelatihan pemadam kebakaran dan pertolongan pertama.
9. Persiapan alat pemadam kebakaran, peralatan penggalian, dan peralatan perlindungan
masyarakat lainnya.
10. Rencana kedaruratan untuk melatih anggota keluarga dalam menghadapi gempa bumi.
11. Pembentukan kelompok aksi penyelamatan bencana dengan pelatihan pemadaman
kebakaran dan pertolongan pertama.
12. Persiapan alat pemadam kebakaran, peralatan penggalian, dan peralatan perlindungan
masyarakat lainnya.
13. Rencana kedaruratan untuk melatih anggota keluarga dalam menghadapi gempa bumi.

2.5.2. Sistem komunikasi dan peringatan dini

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bencana alam geologi yang menjadi ancaman adalah gempa
bumi tektonik. Gempa bumi tektonik sulit diprediksi kepastian waktu dan magnitudonya hanya
dapat dipetakan daerah patahan serta prakiraan kemungkinannya yaitu berdasarkan sejarah
kegempaan serta karakteristik wilayah kegempaan. Namun seperti dijelaskan para ahli bahwa
apabila pernah terjadi kegempaan besar yang merusak di suatu kawasan baik satu kali maupun
beberapa kali, maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempa bumi yang
paling tidak berkekuatan sama dengan yang pernah terjadi. Artinya wilayah tersebut harus siap
menghadapi kejadian gempa bumi serupa atau lebih besar dimasa yang akan datang, karena setiap
kejadian gempa bumi pasti berhubungan dengan adanya patahan aktif pada atau sekitar wilayah
tersebut dan proses gempa dengan skala magnitudo tertentu mempunyai siklus atau akan selalu
berulang dengan kisaran periode ulang tertentu (Natawidjaja, et. all, 1995).

Dalam persitiwa bencana alam gempa bumi dapat menimbulkan bencana ikutan seperti tanah
longsor seperti di Garut, tsunami di Aceh dan kebakaran di San Francisco AS. Jadi sistem
komunikasi dan peringatan dini bertujuan untuk menilai efektivitas sebuah informasi peramalan
potensi bencana dapat dikomunikasikan hingga ke tingkat komunitas yang terancam. Sehingga saat
terjadi sebuah bencana komunitas memiliki waktu untuk menyelamatkan aset-aset kehidupannya.
Tantangan yang seringkali muncul dalam sistem peringatan dini adalah bagaimana menterjemahkan
informasi teknis menjadi informasi yang mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat, sehingga
masyarakat dapat bertindak pada saat yang tepat. Tantangan tersebut sebenarnya dapat di reduksi
melalui keterlibatan komunitas yang terancam dan pihak yang berwenang dalam memberikan
informasi tersebut.

Untuk itu maka sebuah sistem informasi peringatan dini harus memiliki parameter sebagai berikut:
pertama menjangkau sebanyak mungkin anggota masyarakat, kedua segera, ketiga tegas, jelas dan
tidak membingungkan dan keempat bersifat resmi atau disepakati oleh semua pihak. Sistem
peringatan dini biasanya melalui jalur komunikasi yang menginformasikan ramalan ancaman dari

30 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

suatu lembaga yang berwenang hingga ke satuan kelompok masyarakat terkecil. Penyampaian
informasi peringatan dini harus mempertimbangkan hal-hal:

1. Menginformasikan peringatan secara bertingkat ke masyarakat. Setiap perubahan tingkat


peringatan bermakna pada peningkatan kewaspadaan yang harus dilakukan masyarakat.
2. Penyeragaman dan kesepakatan informasi mengenai tanda, simbol dan suara baik dari
lembaga yang berwenang maupun dari tim siaga desa sehingga semua pihak dapat
mengerti dan memahami informasi peringatan dini yang disamapaikan.
3. Menyepakati atau penunjukan terhadap individu yang berwenang di tingkat dusun, desa
atau kota untuk membunyikan tanda peringatan dini apabila terjadi ancaman berpotensi
menimbulkan risiko.
4. Penggunaan alat sistem informasi peringatan dini yang tepat guna. Peralatan informasi
peringatan dini yang digunakan tidaklah harus berteknologi tinggi dan mahal, yang penting
dapat berfungsi efektif dan cepat dalam memberikan informasinya. Disamping itu pemilihan
alat peringatan dini harus mempertimbangkan waktu ancaman berlangsung mulai dari
sumber ancaman hingga sampai di areal pemukiman. Masyarakat pedesaan pada umumnya
memiliki alat-alat tradisional yang berfungsi untuk menyampaikan informasi peringatan.
5. Penempatan alat peringatan dan papan informasi di tempat yang strategis sehingga semua
orang bisa mengetahui dan mendengarnya.
6. Saran tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat harus konkret dan spesifik, saran
mengenai tindakan yang tidak boleh dilakukan masyarakat sehingga dapat mengurangi
risiko.
7. Bahasa penyampaian informasi sesederhana mungkin dan dalam bahasa lokal/setempat
agar dapat dimengerti seluruh orang.
8. Melakukan latihan simulasi sistem komunikasi dan peringatan dini yang teratur dalam
periode tertentu di kawasan yang rawan bencana. Hal ini bertujuan untuk membentuk
kebiasaan dan melatih naluri penduduk untuk selalu siap siaga dalam menghadapi
ancaman. Disamping itu sebagai kontrol dan penilaian efektivitas dari sistem komunikasi
dan peringatan dini yang dilakukan di sebuah kawasan rawan bencana serta pengecekan
apakah alat komunikasi dan peringatan dini masih berfungsi dengan baik atau tidak.

2.6. Tindakan Yang Harus Dilakukan Saat Terjadi Gempabumi

Jika gempa bumi menguncang secara tiba-tiba, berikut ini 10 petunjuk yang dapat dijadikan
pegangan di manapun anda berada.

1. Di dalam rumah
Getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, anda harus mengupayakan
keselamatan diri anda dan keluarga anda. Masuklah ke bawah meja untuk melindungi tubuh
anda dari jatuhan benda-benda. Jika anda tidak memiliki meja, lindungi kepala anda dengan
bantal. Jika anda sedang menyalakan kompor, maka matikan segera untuk mencegah
terjadinya kebakaran.

2. Di sekolah
Berlindunglah di bawah kolong meja, lindungi kepala dengan tas atau buku, jangan panik, jika
gempa mereda keluarlah berurutan mulai dari jarak yang terjauh ke pintu, carilah tempat
lapang, jangan berdiri dekat gedung, tiang dan pohon.

3. Di luar rumah
Lindungi kepada anda dan hindari benda-benda berbahaya. Di daerah perkantoran atau
kawasan industri, bahaya bisa muncul dari jatuhnya kaca-kaca dan papan-papan reklame.
Lindungi kepala anda dengan menggunakan tangan, tas atau apapun yang anda bawa.

4. Di gedung, mall, bioskop, dan lantai dasar mall


Jangan menyebabkan kepanikan atau korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari petugas
atau satpam.

31 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

5. Di dalam lift
Jangan menggunakan lift saat terjadi gempa bumi atau kebakaran. Jika anda merasakan
getaran gempa bumi saat berada di dalam lift, maka tekanlah semua tombol. Ketika lift
berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan mengungsilah. Jika anda terjebak dalam lift,
hubungi manajer gedung dengan menggunakan interphone jika tersedia.

6. Di kereta api
Berpeganganlah dengan erat pada tiang sehingga anda tidak akan terjatuh seandainya kereta
dihentikan secara mendadak. Bersikap tenanglah mengikuti penjelasan dari petugas kereta.
Salah mengerti terhadap informasi petugas kereta atau stasiun akan mengakibatkan kepanikan.

7. Di dalam mobil
Saat terjadi gempa bumi besar, anda akan merasa seakan-akan roda mobil anda gundul. Anda
akan kehilangan kontrol terhadap mobil dan susah mengendalikannya. Jauhi persimpangan,
pinggirkan mobil anda di kiri jalan dan berhentilah. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus
mengungsi maka keluarlah dari mobil, biarkan mobil tak terkunci.

8. Di gunung/pantai
Ada kemungkinan longsor terjadi dari atas gunung. Menjauhlah langsung ke tempat aman. Di
pesisir pantai, bahayanya datang dari tsunami. Jika anda merasakan getaran dan tanda-tanda
tsunami tampak, cepatlah mengungsi ke dataran yang tinggi.

9. Beri pertolongan
Sudah dapat diramalkan bahwa banyak orang akan cedera saat terjadi gempa bumi besar.
Karena petugas kesehatan dari rumah-rumah sakit akan mengalami kesulitan datang ke tempat
kejadian, maka bersiaplah memberikan pertolongan pertama kepada orang-orang yang berada
di sekitar anda.

10. Dengarkan informasi


Saat gempa bumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya. Untuk mencegah kepanikan,
penting sekali setiap orang bersikap tenang dan bertindaklah sesuai dengan informasi yang
benar. Anda dapat memperoleh informasi yag benar dari pihak yang berwenang atau polisi.
Jangan bertindak karena informasi orang yang tidak jelas.

2.7. Arahan Mitigasi Bencana Perkotaan

Kepadatan penduduk yang terpusat di perkotaan, ditambah dengan pertumbuhan penduduknya


yang cukup tinggi (proses intensifikasi) menyebabkan daerah perkotaan tersebut menjadi
rawan/rentan terhadap bencana. Permintaan lahan untuk perumahan dan indusri (proses
ekstensifikasi) juga menyebabkan bertambahnya area yang potensial terhadap bencana. Mengingat
bahwa mitigasi ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana terhadap
manusia dan harta bendanya, maka prioritas perlu diberikan untuk kawasan-kawasan perkotaan
yang secara inherent mengandung potensi resiko yang tinggi jika terjadi bencana sebagai akibat
akumulasi dari tingkat kerentanan yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lain
yang secara umum kurang terbangun, dengan potensi bahaya yang dimilikinya.

Secara umum dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan kedalam mitigasi struktural dan
mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan pembangunan konstruksi fisik,
sedangkan mitigasi non-struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan yang
disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan pembangunan. Mitigasi
bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam dan buatan manusia, serta
kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko panjang, baik terhadap
kehidupan manusia maupun harta benda. Salah satu arahan kebijakan mitigasi perkotaan adalah
menitikberatkan pada sosialisasi bencana, dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

32 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Kebijakan ini dilakukan dengan program peningkatan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan,
diklat maupun sosialisasi. Kebijakan penting lainnya melakukan evaluasi dan merevisi RTRK untuk
kawasan terbangun, penerapan kebijakan ini dilakukan melalui program penambahan Ruang
Terbuka yang ada dalam rangka memfasilitasi terbentuknya fungsi-fungsi intergrasi sosial
masyarakat sekaligus sebagai tempat evakuasi bila terjadi bencana.

2.7.1. Konsep Kota yang Adaptif dan Berbasis Mitigasi Bencana

Konsep dasar penataan ruang adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan aman dari
bencana, untuk itu di setiap wilayah rawan bencana perlu dilengkapi: fasilitas perlindungan baik
berupa bentuk alami maupun bangunan, jalur penyelamatan menuju ketempat yang lebih aman dan
tempat aman untuk penyelamatan dapat berupa bangunan, alami dan lain-lain. Hancur dan
terkoyaknya fisik kota akibat bencana alam seperti gempa bumi, banjir dan lain-lain yang membawa
kesengsaraan penghuni kota tidak dapat begitu saja kita menyalahkan fenomena alam tersebut.
Namun yang perlu kita salahkan adalah diri kita sendiri yang mengembangkan atau membuat fisik
kota menjadi tidak adaptif terhadap bencana alam seperti disebutkan di atas.

Pengembangan kota sebaiknya tidak hanya dikembangkan berdasarkan aspek sosial, ekonomi,
politik dan kultural saja, namun sebaiknya kota juga dikembangkan berdasarkan aspek kebijakan
teknis sebagai berikut:
1. Struktur bangunan dan sistem infrastruktur di perkotaan sebaiknya dikembangkan dengan
sistem tahan terhadap gaya lateral atau gempa bumi.
2. Penyediaan ruang-ruang terbuka dan jauh dari kemungkinan runtuhnya bangunan yang
lebih banyak sebagai tempat berlindung dan tempat penyelamatan ketika terjadi gempa
bumi.
3. Vegetasi sebagai tata hijau kota sebaiknya dipilih model tanaman keras yang tidak mudah
tumbang.
4. Air hujan harus diberikan ruang yang cukup agar dapat menyerap dalam tanah sehingga
menjadi cadangan air tanah dan selebinya dibuang dengan saluran bebas sampah dengan
dimensi yang cukup agar tidak menimbulkan banjir.

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa resiko bencana selain terkait dengan
fenomena alam yang bersifat given juga sangat berhubungan dengan proses pembangunan yang
dilakukan oleh manusia. Disatu sisi keberadaan ancaman bencana alam menempatkan
pembangunan menjadi beresiko, tetapi di sisi lain, pembangunan yang dilakukan oleh manusia
dapat menimbulkan atau membangkitkan resiko bencana, tetapi sebaliknya ada juga pembangunan
yang dilakukan oleh manusia yang dilakukan sesuai dengan karakter suatu kawasan dapat
mengurangi resiko bencana. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perencanaan pembangunan
sebaiknya dilakukan untuk menghindari dan mengurangi ancaman bencana yang ada. Banyak kasus
khususnya di Indonesia, dimana pembangunan wilayah tanpa melalui perencanaan yang baik dan
menyeluruh dapat menimbulkan/memacu tingginya tingkat resiko bencana, khususnya untuk
ancaman bencana geologi dikawasan daerah patahan.

Pembangunan di kawasan patahan yang tidak terencana dengan baik dan khas sebagai satu
kawasan yang unik dapat meningkatkan tingkat kerentanan kawasan tersebut, dimana dengan
semakin berkembangnya kawasan tersebut otomatis dibarengi oleh proses urbanisasi dan konversi
lahan yang tidak terkendali secara keseluruhan, sangat mengundang resiko bencana untuk kawasan
tersebut. Kebijaksanaan Mitigasi perkotaan merupakan suatu kerangka konseptual yang disusun
untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di daerah perkotaan. Mitigasi
bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam buatan manusia, serta kegiatan
berkelanjutan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko panjang, baik terhadap kehidupan
manusia maupun harta benda.

Tujuan utama dari penyusunan kebijaksanaan mitigasi bencana perkotaan adalah mengurangi
resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk perkotaan, seperti korban
jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan sumber daya alam, sebagai landasan (pedoman) untuk
perencanaan pembangunan perkotaan, meningkatkan pengetahuan masyarakat perkotaan dalam

33 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup bekerja
dengan aman.

2.7.2. Sistem Kota

1. Aksesibilitas dan mobilitas

Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna
lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui suatu
sistem jaringan. Faktor yang menyatakan tingkat aksesibilitas adalah waktu tempuh, meskipun ada
juga yang menyatakan dengan faktor jarak. Suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat
dikatakan mempunyai aksesibilitas rendah atau sebaliknya, karena terdapat faktor lain dalam
menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh. Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan
transportasi pasti berbeda-beda baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan jalur evakuasi, tidak ada ketentuan yang baku tentang ukuran jalur evakuasi namun
secara umum yang harus diperhatikan adalah apakah jalur tersebut dapat dilalui dengan baik dan
cepat, untuk jalur evakuasi di luar bangunan hendaknya bisa memuat dua kendaraan jika saling
berpapasan tidak menghalangi proses evakuasi. Kemudian ada tempat pengungsian sementara
yang merupakan tempat aman dan tempat pengungsian akhir. Yang menjadi perhatian tentang
jalur evakuasi adalah jalur evakuasi cukup lebar bisa dilewati 2 kendaraan atau lebih, harus
menjauh dari sumber ancaman dan efek dari ancaman, harus baik dan mudah dilalui, harus
disepakati bersama oleh masyarakat, aman dan teratur.

2. Pola permukiman dan alokasi lahan

Pertumbuhan kota, selain memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat juga dapat
menyebabkan bencana karena mendorong lebih banyak orang yang tinggal di wilayah yang
berbahaya dan rentan bencana. Pendatang dan penduduk kumuh rentan terutama karena mereka
sering bertempat tinggal ditempat yang berbahaya seperti di kanal atau pinggiran saluran dan
sering tidak memiliki pelayanan dasar yang memadai (Inoghuci, 2003).

Sebagaimana kota di Indonesia, pola permukiman penduduk cenderung berada di sepanjang pinggir
jalan dan di sepanjang bantaran sungai dan umumnya membentuk kelompok-kelompok bangunan
hunian maupun tempat usaha yang cenderung tidak teratur. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan
sosial budaya penduduk. Munculnya pola pemukiman yang mengabaikan bahaya dan berada di
kawasan rawan bencana, dan juga berada pada daerah dataran rendah yang terlalu dekat dengan
kemiringan lereng yang curam karena pada kawasan tertentu gempa bumi yang terjadi dapat
disertai dengan longsor atau banjir, memberikan resiko yang besar ketika terjadi bencana (Eisner
and Gallion,1994). Budaya masyarakat Indonesia khususnya kaum petani yang menetap di wilayah
rawan bencana tentunya memerlukan pemahaman sosial dan antropologi budaya lokal agar strategi
penempatan pemukiman mereka di daerah bebas ancaman gempa berhasil dengan efektif.

Secara teoritis luasan kawasan penggunaan lahan telah terpolakan dalam teori tata guna lahan
perkotaan. Teori ini mencakup atas penggunaan lahan bagi perumahan, industri, perbelanjaan
/niaga dan sebagainya. Pola tata guna lahan ini dikemukaan oleh B.W. Burgess dengan teori pola
konsentrik/consentric zone theory), Hummer Hoyt dengan teori sektor /sector theory dan R.D.
Mc Kenzic dengan teori pusat lipat ganda/multiple nuclei theory). Mereka membuat suatu pola
penggunaan lahan di perkotaan. Pada pola jalur terpusat oleh Burgess menjelaskan bahwa
penggunaan lahan di perkotaan mempunyai atau pola bahwa pusat kota merupakan sumbu yang
dikelilingi oleh lahan-lahan yang sesuai dengan penggunaannya.

Pola consentric zone dapat diterangkan sebagai berikut:


1. Pusat Kota Central Business Distric (CBD) terdiri dari bangunan kantor, hotel, bank, bioskop,
pasar dan pusat perbelanjaan.
2. Merupakan jalur alih, yang terdapat rumah-rumah sewaan, kawasan industri dan
perumahan buruh.

34 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

3. Jalur wisma buruh yang yang terdapat kawasan perumahan untuk tenaga kerja
pabrik/industri (lower class residential).
4. Jalur madya wisma, yang terdapat kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja
(kantoran) dan kaum madya (medium class residenial).
5. Di luar lingkaran terdapat jalur pendugdag atau penglajon dimana terdapat masyarakat
golongan madya dan golongan atas (high class residential).

Teori sektor oleh H. Hoyt dapat diterangkan sebagai berikut:


1. Sektor ini terdapat pusat kota atau CBD.
2. Kawasan ini terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan.
3. Sektor ini dekat dengan pusat kota pada bagian sebelah menyebelahnya terdpata kawasan
murbawisma yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh (low income
housing).
4. Sektor ini agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan. Terdapat sektor
madya wisma atau perumahan kaum madya (middle income housing).
5. Sektor ini terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas (high
income housing).

Teori pusat lipat ganda atau Multiple Nuclei merupakan teori R.D. Mc Kenzic dengan keterangan
sebagai berikut:
1. Pusat kota atau CBD.
2. Kawasan niaga dan industri ringan.
3. Kawasan murbawisma, tempat tinggal kualitas rendah.
4. Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah.
5. Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi.
6. Kawasan industri berat.
7. Pusat niaga, perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota (sub urban), untuk kawasan madyawisma dan adiwima.
9. Upakota (sub urban) kawasan industri.

3. Jaringan jalan dan struktur ruang kota

Pada kota yang memiliki pola jaringan jalan berbentuk grid, untuk kawasan yang memiliki
kepadatan tinggi tingkat kemudahan dalam mitigasi sangat sulit hal ini disebabkan pada setiap siku
jalan (persimpangan) menjadi titik-titik kemacetan karena penuhnya kendaraan dari setiap blok-blok
bangunan yang akan melalui siku jalan dan memperlambat laju kendaraan. Demikian juga
sebaliknya untuk kawasan yang berkepadatan rendah tingkah mitigasinya lebih mudah karena
kepadatan lalulintas relatif lebih kecil. Kemudahan dalam proses mitigasi turut menentukan tingkat
resiko dan korban yang ditimbulkan ketika suatu daerah dilanda bencana. Jaringan-jaringan yang
saling menghubungkan dan memberikan lebih dari satu jalur menuju tempat evakuasi (Coburn,
et.al, 1994). Jalur-jalur jalan untuk mitigasi perlu disesuaikan dengan struktur bangunan yang ada
sehingga masyarakat dapat mengamankan diri menuju tempat tempat penyelamatan sementara
atau permanen dengan cepat.

Pelebaran jalan-jalan di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi untuk memudahkan
proses evakuasi (Coburn, et.al, 1994). Selain pelebaran jalan maka perlu adanya jalan-jalan baru
dari daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi menuju tempat-tempat yang aman. Jalan
tersebut merupakan jalan koridor dari pusat kota yang dapat mengurangi titik-titik kemacetan di
persimpangan jalan akibat pola jaringan jalan yang berbentuk grid dan kelebihan kapasitas jalan.
Jaringan jalan pada kota yang rawan bencana gempa sebaiknya direncanakan sebagai satu
kesatuan dengan rencana umum tata ruang kota. Rencana tata ruang tersebut mengarah pada
kelancaran evakuasi serentak dan besar-besaran dengan pola jaringan radial yang lebar dan
dilengkapi jalan lingkar yang berlapis-lapis.

Kota yang rawan bencana harus ditata ulang dengan jaringan jalan yang mengarah ke upaya
mitigasi massal yaitu pola menyebar ke arah daerah yang ditetapkan sebagai area evakuasi dengan
jalan raya radial yang dilengkapi dengan jalan lingkar (ring road) secukupnya.

35 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Pengertian jalan sesuai dengan Undang-Undang No.38 tahun 2004 adalah suatu prasarana
perhubungan darat dalam bentuk apapun yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas. Pola jaringan jalan merupakan
salah satu unsur terpenting dari morfologi kota. Beberapa pola jaringan jalan menurut Northam
dalam Yunus (2004) adalah sebagai berikut:

1. Sistem pola jalan tidak teratur, pada sistem ini terlihat adanya ketidak teraturan sistem
jalan baik ditinjau dari segi lebar maupun arah jalan. Ketidakteraturan ini terlihat pada
polajalan yang melingkar-lingkar, lebarnya bervariasi dengan cabang-cabang yang banyak.
Ketidakteraturan ini tercipta karena keadaan topografi kota yang mengharuskan demikian.
Bagi kota yang tidak mempunyai kendala medan, ketidakteraturan tersebut menunjukkan
tidak adanya perencanaan untuk menertibkan unsur-unsur morfologi kotanya dan ini
biasanya terjadi pada kota yang baru tumbuh.
2. Sistem pola jalan radial konsentris, dalam sistem ini ada beberapa sifat khusus yaitu
mempunyai pola jalan konsentris dan radial, bagian pusatnya merupakan daerah kegiatan
utama sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan, punya keteraturan
geometris, serta jalan besar menjari dari titik pusat dan membentuk asterisk shaped
pattern.
3. Sistem pola jalan bersudut siku atau grid, pada kota dengan sistem pola jalan bersudut siku
atau, bagian-bagian kotanya dibagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi
panjang dengan jalan-jalan yang pararel longitudinal dan transversal membentuk sudut
siku-siku. Jalan-jalan utama membentang dari pintu gerbang utama kota sampai pada
bagian pusat kota. Sistem ini merupakan pola yang cocok untuk pembagian lahan dan
pengembangan kota akan tampak teratur dengan mengikuti pola yang telah terbentuk.

4. Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung

Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung mengacu kepada Peraturan Menteri No.
06/PRT/M/2006 dan Peraturan Menteri No. 30/PRT/M/2006. Dimana prinsip-prinsip penataan
tersebut meliputi:
1. Kejelasan sistem sirkulasi terkait dengan jaringan evakuasi
2. Mobilitas publik menyangkut:
a. Peningkatan kaitan antar sistem pada kawasan perencanaan dengan sistem sirkulasi
kawasan sekitar.
b. Penciptaan sistem sirkulasi yang mudah diakses sebesar-besarnya oleh publik termasuk
penyandang cacat dan lanjut usia (difabel) sehingga memperkaya karakter dan
integritas sosial para pemakainya.

5. Keandalan bangunan rumah tinggal dan lingkungan terhadap bencana

Persyaratan keandalan bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan benanca gempa
meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kemudahan dan kenyamanan. Berikut ini adalah
beberapa persyaratan bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan gempa:

Tata letak

Tata letak bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan gempa:
a. Struktur bangunan rumah tinggal harus mampu memikul semua beban dan atau pengaruh
yang mungkin bekerja selama kurun waktu umur layan bangunan, termasuk pembebanan
yang kritis seperti beban gempa dan beban-beban lain.
b. Tata letak bangunan rumah tinggal untuk daerah rawan bencanan gempa harus diusahakan
sederhana, simetris, seragam dan satu kesatuan.
c. Jumlah lantai maksimum 1 lantai, didirikan di atas tanah yang stabil serta denah bangunan
simetris dengan dinding penyekat merupakan kotak-kotak tertutup.

36 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

d. Deretan bangunan dalam satu blok tidak boleh bergandengan hingga lebih dari 60m, setiap
60m panjang blok bangunan harus dipisahkan dengan jalan darurat sebagai akses
penyelamatan.

Bangunan dan Jalur Penyelamatan

Akibat kejadian gempa dapat menyebabkan kebakaran pada bangunan, oleh karena itu
lingkungan permukiman harus memperhitungkan aspek penyelamatan, baik berupa bangunan
penyelamatan maupun jalur penyelamatan. Untuk bencana gempa bumi, bangunan
penyelamatan dapat memanfaatkan bangunan ibadah, sekolah, balai pertemuan, perkantoran
dan bangunan lainnya apabila memiliki konstruksi yang kokoh dapat dicapai dalam waktu 15
menit dan mempunyai radius pelayanan maksimum 2 km dan dapat menampung orang banyak.
Dalam konteks bangunan penyelamatan dari bencana gempa dikenal 4 jenis shelter di Jepang
yang dikelompokkan ke dalam 2 bagian yakni: pertama temporary shelter, suatu tempat
terbuka untuk penampungan sementara, kedua accommodation shelter, suatu tempat tertutup
yang mencakup akomodasi untuk penampungan yang lebih lama, (Misumi. J, 1998).

Berdasarkan tipologi kawasan yang merupakan daerah rawan bencana khususnya bencana
gempa bumi, penyediaan RTH di lingkungan permukiman sangat diperlukan sebagai lokasi
evakuasi (Permen PU No. 05/PRT/M/2008). Aksesibilitas ke lokasi RTH sangat penting, karena
akan berfungsi sebagai jalur penyelamatan. Untuk konteks jalur penyelamatan, jalur
penyelamatan merupakan jalur terpendek keluar lingkungan ke arah jalan lokal dan kolektor
maupun ke lokasi RTH, dengan lebar minimal 6 meter. Pada jalur penyelamatan harus
dilengkapi dengan rambu-rambup penandaan dan arah penyelamatan, yang mudah terlihat,
kuat dan terpelihara. Untuk antisipasi bencana kebakaran, dalam lingkungan perumahan harus
disediakan jalur evakuasi berupa jalan lingkungan dengan lebar perkerasan jalan minimal 4
meter tanpa hambatan. Akses jalan lingkungan minimal masuk 45 meter ke dalam lingkungan
dari jalan masuk utama, harus mudah diakses oleh kendaraan pemadam kebakaran dan
sirkulasi petugas pemadam kebakaran.

Konsep Taman Rumah Tangga (RT) yang difungsikan sebagai lokasi pengungsian dalam
konteks pengungsian sementara dapat menerapkan konsep Taman RT untuk lokasi evakuasi.
Fasilitas yang harus dilengkapi untuk Taman RT yang difungsikan sebagai lokasi pengungsian
dalam konteks temporary shelter dapat berupa poskamling, pos kesehatan (P3K), gudang
penyimpanan tenda-tenda, sumber energi, MCK dan R. Genset & Menara, MCK, Poskamling,
Poskes, Pedestrian, Pohon Pelindung, Evacuation route, sumber air bersih, menara yang
diletakkan ditengah lapangan dilengkapi sirene, peralatan telekomunikasi. Konsep ini sesuai
dengan Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 tentang penyediaan dan pemanfaatan RTH di
perkotaan berdasarkan tipologi perkotaan, dimana untuk tipologi kawasan rawan bencana maka
fungsi utama RTH adalah sebagai sarana mitigasi atau lokasi evakuasi serta. Alasan lainnya
mengapa konsep ini lebih tepat adalah terkait dengan kebiasaan manusia yang tidak mau
berjalan atau menjangkau suatu lokasi jika lebih dari 400m dan dapat dicapai kurang dari 15
menit.

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam
lingkup satu RT, khususnya untuk keperluan mitigasi bencana yakni sebagai lokasi evakuasi
sesuai dengan tipologi kawasan perkotaan yang rawan bencana, selain fungsi tersebut juga
untuk sarana kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m per
penduduk RT, dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300
meter dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang
hijau) minimal seluas 70%-80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan
berbagai tanaman, juga terdapat minimal tiga pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau
sedang (Permen PU No. 05/PRT/M/2008). Selain bangunan penyelamatan yang dapat
memanfaatkan untuk kebutuhan pengungsian yang lebih lama (accommodation shelter) berupa
bangunan ibadah, sekolah, balai pertemuan, perkantoran dan fasilitas publik lainnya, konsep
Taman Evakuasi Bencana dapat diterapkan.

37 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Konsep ini dilatarbelakangi pengembangan konsep taman bale kambang yang sudah lama
dikenal masyarakat tradisional Jawa dan Bali. Konsep ini dikembangkan sesuai kebutuhan
antisipasi bencana karena memiliki kelenturan dan kemudahan modifikasi sesuai kondisi dan
bentuk lahan di setiap lokasi. Taman memiliki dua bentuk dasar taman dan bale kambang
(mengambang/melayang/menggantung). Bale merupakan bentuk tradisional yang biasa
digunakan untuk tempat berkumpul, bersantai, atau bersosialisasi di teras rumah. Rancangan
taman memiliki nilai artistik, prinsip optimalisasi lahan, multifungsi, menciptakan keteduhan
lingkungan, ruang gerak, dan berinteraksi sosial budaya. Pengembangan taman evakuasi
bencana mensyaratkan fungsi ekologis, ekonomis, edukatif, evakuasi (ruang penyelamatan
bencana banjir, kebakaran, gempa bumi), konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan
estetis. Lantai dasar taman dibangun sumur resapan air tersusun dari koral, pasir, pecahan batu
bata, ijuk, dan batu belah, seluas 75% dari luas taman. Sisanya 25% berupa tandon air untuk
cadangan air bersih pada musim kemarau dan kebakaran. Untuk membangun satu unit Taman
Evakuasi Bencana pemerintah cukup membebaskan lahan seluas 500 meter persegi.

Dengan standar kebutuhan ruang setiap orang 1m2 maka untuk ruang evakuasi setiap lantai
dapat menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800 orang dengan syarat
pengungsi tidak membawa banyak barang. Pada lantai satu seluas 400m2, lantai dapat
digunakan sebagai ruang evakuasi bencana dan di saat normal dapat difungsikan untuk
kegiatan sosial, kegiatan ibadah, balai warga RT/RW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini
dilengkapi fasilitas dapur umum dan toilet bersama. Pada lantai teratas berupa atap rumput
seluas 250m2. Fasilitas dapur umum dan toilet bersama dilengkapi panel sel surya untuk
menyuplai kebutuhan energi listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk rumah
tangga, sangat bermanfaat pada saat bencana terjadi ketika aliran listrik mati total. Sebagian
permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai untuk layar pemutaran film cerita atau film
penyuluhan warga.

38 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

3M itigasi Letusan Gunungapi

3.1. Pendahuluan

Bahaya Gunungapi adalah bahaya yang ditimbulkan oleh letusan/kegiatan gunungapi, berupa benda
padat, cair dan gas serta campuran diantaranya yang mengancam atau cenderung merusak dan
menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda dalam tatanan (lingkungan) kehidupan
manusia.

Di Indonesia terdapat 129 gunungapi aktif dan 500 gunungapi tidak aktif. Dari 129 gunungapi aktif
atau 13 persen dari jumlah gunungapi aktif di dunia ada di Indonesia dan 70 persen eruptif dan 15
dalam kondisi kritis. Persebaran gunungapi di Indonesia membentuk satu jalur yang berupa garis
mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sebelum membelok ke arah utara, kearah laut
Banda dan Sulawesi bagian utara. Panjang jalur gunungapi kurang lebih 7000 kilometer yang terdiri
dari gunungapi dengan karakteristik campuran. Saat ini lebih dari 10 persen penduduk Indonesia
mendiami wilayah wilayah yang rentan terhadap letusan gunungapi. Selama lebih dari 100 tahun,
sudah 175.000 jiwa telah menjadi korban dari letusan gunungapi.

Sebagaimana diketahui bahwa danau Toba yang terkenal itu sebetulnya adalah sebuah Kaldera atau
lubang dipermukaan bumi yang diakibatkan oleh gempa vulkanik. Bila luas danau toba mencapai
100 kilometer persegi, bisa dibayangkan betapa besar gempa yang terjadi saat itu, yang konon
terjadi sekitar 74000 tahun lalu. Berikut ini adalah beberapa catatan bencana letusan gunungapi
yang pernah terjadi di Indonesia, antara lain:

1. 1815 : Gunung tambora meletus. Jumlah korban saat itu tidak tercatat dengan baik, namun
dapat dipastikan melebihi jumlah korban letusan gunung krakatau.
2. 1883 : Gunung krakatau meletus, mengakibatkan tsunami dan menghilangkan lebih dari
36000 jiwa. Letusan ini menjadi catatan sejarah dunia tersendiri karena tsunami yang
diakibatkan mencapai hingga Hawaii dan Amerika Selatan.
3. 1930 : Gunung merapi meletus. Mengakibatkan 1300 orang harus kehilangan nyawa
4. 1963 : Gunung Agung Meletus. Menewaskan sekitar 1000 jiwa

Indonesia yang berada pada zona beriklim tropis dengan musim kemarau dan penghujan telah
berpengalaman menghadapi ancaman bencana aliran material piroklastik yang berasal dari hasil
erupsi gunungapi, seperti aliran lahar atau perpindahan material gunungapi (piroklastik) yang
berbahaya.

Gunung Merapi adalah salah satu gunungapi sangat aktif di dunia. Gunungapi ini menunjukkan
erupsi menghasilkan awan panas piroklastik dan longsoran kubah lava. Luncuran kubah lava yang
terjadi secara berulang-ulang sepanjang periode erupsi dan dapat memakan waktu hingga berbulan
bulan. Sebagai gambaran, dari 13 Mei hingga 21 Juni 2006, gunung Merapi ditetapkan dalam
kondisi Siaga namun demikian tidak menunjukkan tanda tanda penurunan aktivitasnya. Semburan
material piroklastik mencapai ratusan kali dengan radius hingga mencapai 6 kilometer yang
membahayakan pemukiman penduduk, terutama di wilayah kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Klaten, dan Magelang di wilayah Jawa Tengah. Lebih dari 17.212 jiwa telah diungsikan
sementara dan 2 orang meninggal dikarenakan terperangkap di lubang perlindungan yang berada di
Kaliadem, Cangkringan, Sleman.

39 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

3.2. Dampak Letusan Gunungapi Terhadap Lingkungan

Dampak letusan gunungapi terhadap lingkungan dapat berupa dampak yang bersifat negatif dan
positif. Dampak negatif dari letusan suatu gunungapi dapat berupa bahaya yang langsung dapat
dirasakan oleh manusia seperti awan panas, jatuhan piroklastik, gas beracun yang keluar dari
gunungapi dan lain sebagainya, sedangkan bahaya tidak langsung setelah erupsi berakhir, seperti
lahar hujan, kerusakan lahan pertanian, dan berbagai macam penyakit akibat pencemaran. Adapun
dampak positif dari aktivitas suatu gunungapi terhadap lingkungan adalah bahan galian mineral
industri, energi panasbumi, sumberdaya lahan yang subur, areal wisata alam, dan sebagai
sumberdaya air.

1. Dampak Negatif:

a. Bahaya langsung, terjadi pada saat letusan (lava, awan panas, jatuhan piroklastik/bom,
lahar letusan dan gas beracun).
b. Bahaya tidak langsung, terjadi setelah letusan (lahar hujan, kelaparan akibat rusaknya
lahan pertanian/perkebunan/ perikanan), kepanikan, pencemaran udara/air oleh gas racun:
gigi kuning/ keropos, endemi gondok, kecebolan dsb.

2. Dampak Positif :

a. Bahan galian: seperti batu dan pasir bahan bangunan, peralatan rumah tangga,patung, dan
lain lain.
b. Mineral : belerang, gipsum,zeolit dan juga mas (epitermal gold).
c. Energi panas bumi: listrik, pemanas ruangan, agribisnis
d. Mataair panas : pengobatan/terapi kesehatan.
e. Daerah wisata: keindahan alam
f. Lahan yang subur: pertanian dan perkebunan
g. Sumberdaya air: air minum, pertanian/peternakan, dll.

3.3. Material Produk Gunungapi

1. Awan panas

a. Awan Panas : Kecepatan sekitar 60 145 km/jam, suhu tinggi sekitar 2000 800oC, jarak
dapat mencapai 10 km atau lebih dari pusat erupsi, sehingga dapat menghancurkan
bangunan, menumbangkan pohon-pohon besar (pohon-pohon dapat tercabut dengan
akarnya atau dapat terpotong pangkalnya).

b. Awan panas Block and Ash Flow arahnya mengikuti lembah; sedangkan awan panas
Surge pelamparannya lebih luas dapat menutupi morfologi yang ada di lereng gunungapi
sehingga daerah yang rusak/hancur lebih luas (gambar 3-1).

2. Guguran Longsoran Lava

Guguran atau longsoran lava pijar pada erupsi efusif, sumbernya berasal dari kubah lava atau aliran
lava. Longsoran kubah lava dapat mencapai jutaan meter kubik sehingga dapat menimbulkan
bahaya. Guguran kubah lava dapat membentuk awan panas. Contoh : G. Merapi Jawa Tengah, G.
Semeru Jawa Timur. Jatuhan Piroklastik; Lemparan Bom yang di sebabkan oleh erupsi eksplosif
dapat merusak/menghancurkan, menimbulkan korban manusia, menimbulkan kebakaran (hutan
atau bangunan). Jarak lemparan batu tergantung dari tenaga dan sifat erupsinya, G. Agung (1963)
mencapai 7 km (kebakaran rumah), G. Semeru (19621963) mencapai 4 km (kebakaran hutan), G.
Krakatau 1883 mencapai 10 km. Hujan abu dapat menyebabkan runtuhnya bangunan, udara gelap,
jalan licin, mengganggu penerbangan, rusaknya tanaman, mengganggu kesehatan (mata,
pernapasan).

40 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 3-1 : Aliran lava yang memicu aliran awan panas

3. Lontaran Batuan Pijar

Pecahan batuan gunungapi, berupa bom atau bongkah batu gunungapi yang dilontarkan saat
gunungapi meletus. Dapat menyebar kesegala arah. Dapat menyebabkan kebakaran hutan,
bangunan dan kematian manusia, termasuk hewan. Cara terbaik untuk menyelamatkan diri dari
bahaya ini adalah menjauhi daerah yang akan terlanda lontaran batu (pijar).

4. Hujan Abu

Hujan material jatuhan yang terdiri dari material lepas berukuran butir lempung sampai pasir. Dapat
menyebabkan kerusakan hutan dan lahan pertanian. Dapat meninggikan keasaman air. Dapat menyebabkan
sakit mata dan saluran pernapasan. Pada saat hujan abu sebaiknya orang berlindung.

5. Aliran Lava

Karena suhunya yang tinggi (7000C 1200oC), volume lava yang besar, berat, sehingga aliran lava
mempunyai daya perusak yang besar, dapat menghancurkan dan membakar apa yang dilandanya
(gambar 3-2).

6. Lahar

Kecepatan aliran lava sangat lamban antara 5300 meter/hari, Kecepatannya tergantung dari
viskositas dan kemiringan lereng. Manusia dapat menghindar untuk menyelamatkan diri. Lahar
dapat dibedakan menjadi 2 jenis, lahar letusan dan lahar hujan. Lahar letusan disebut juga lahar
primer, sedangkan lahar hujan disebut juga lahar sekunder. Aliran lahar mempunyai berat jenis
yang besar (22,5), dapat mengangkut berbagai macam ukuran, sehingga laliran lahar ini
mempunyai daya perusak yang sangat besar dan sangat berbahaya terutama pada daerah aliran
yang cukup miring atau landai. Bangunan beton seperti jembatan dapat dihancurkan dalam sekejap
mata.

a. Lahar letusan : Lahar ini terjadi akibat letusan eksplosif pada gunungapi yang mempunyai
danau kawah.Luas daerah yang dilanda oleh lahar letusan tergantung kepada volum air
didalam kawah dan kondisi morfolog di sekitar kawah.Makin besar volum air di dalam

41 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

kawah dan makin luas dataran daerah sekitarnya, maka makin jauh dan makin luas pula
penyebaran laharnya.

b. Lahar hujan : Lahar hujan : lahar yang terbentuk akibat hujan. Bisa terjadi segera setelah
gunungapi meletus atau setelah lama meletus. Faktor yang menentukan besar kecilnya
lahar hujan adalah volume air hujan (curah hujan) yang turun diatas daerah endapan abu
gunungapi dan volume endapan gunungapi yang mengandung abu sebagai sumber material
pembentuk lahar. Di G. Merapi, curah hujan 70 mm/jam selama 3 jam mengakibatkan
terjadinya lahar. Contoh lahar hujan yang terkenal adalah: G. Semeru, G. Merapi, G. Agung,
juga G. Galunggung.

Gambar 3-2 : Aliran lava pijar

Gambar 3-3 : Pemandangan saat gunung Merapi mengeluarkan asap dilihat dari desa
Cangkringan, kabupaten Sleman pada tanggal 25 Oktober 2010.

42 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 3-4 : Pemandangan desa Kinahrejo, kabupaten Sleman pada tanggal 27


Oktober 2010.

Gambar 3-5 : Terbakarnya pepohonan dan rumah akibat awan panas di desa Kinahrejo,
kabupaten Sleman pada tanggal 27 Oktober 2010.

43 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 3-6 : Dampak aliran piroklastik panas yang menerjang desa Kinahrejo pada
tanggal 27 Oktober 2010 yang mengakibatkan seekor sapi mati dan
tertutup oleh debu volkanik.

Gambar 3-7 : Team SAR sedang mencari para korban akibat letusan gunung Merapi di
daerah Sleman setelah erupsi tanggal 27 Oktober 2010.

44 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 3-8 : Dampak aliran piroklastik panas yang menerjang desa Pakem pada
tanggal 27 Oktober 2010. Tampak sebuag mobil yang rusak akibat
aliran piroklastik yang bersumber dari gunung Merapi,

Gambar 3-9 : Pemandangan desa Pakem, kabupaten Sleman setelah dilanda aliran
piroklastik gunung Merapi pada tanggal 27 Oktober 2010.

45 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 3-10 : Para relawan membawa korban letusan gunung Merapi di desa
Kinahrejo, kabupaten Sleman pada tanggal 27 Oktober 2010.

Gambar 3-11 : Pemandangan desa Pakem, kabupaten Sleman setelah dilanda aliran
piroklastik gunung Merapi pada tanggal 27 Oktober 2010. Tampak
sapi-sapi yang terbakar oleh aliran piroklastik (awan panas).

46 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 3-12: Aliran lahar Merapi yang menimbum bis

3.4. Bahaya Letusan Gunungapi

Bahaya letusan gunungapi di bagi menjadi 2 (dua) berdasarkan waktu kejadiannya, yaitu:

1. Bahaya Utama (Primer)

a) Awan Panas, merupakan campuran material letusan antara gas dan bebatuan (segala
ukuran) terdorong ke bawah akibat densitas yang tinggi dan merupakan adonan yang jenuh
menggulung secara turbulensi bagaikan gunung awan yang menyusuri lereng. Selain
suhunya sangat tinggi, antara 300 - 700? Celcius, kecepatan lumpurnyapun sangat tinggi, >
70 km/jam (tergantung kemiringan lereng).
b) Lontaran Material (pijar),terjadi ketika letusan (magmatik) berlangsung. Jauh lontarannya
sangat tergantung dari besarnya energi letusan, bisa mencapai ratusan meter jauhnya.
Selain suhunya tinggi (>200?C), ukuran materialnya pun besar dengan diameter > 10 cm
sehingga mampu membakar sekaligus melukai, bahkan mematikan mahluk hidup. Lazim
juga disebut sebagai "bom vulkanik".
c) Hujan Abu lebat, terjadi ketika letusan gunung api sedang berlangsung. Material yang
berukuran halus (abu dan pasir halus) yang diterbangkan angin dan jatuh sebagai hujan
abu dan arahnya tergantung dari arah angin. Karena ukurannya yang halus, material ini
akan sangat berbahaya bagi pernafasan, mata, pencemaran air tanah, pengrusakan
tumbuh-tumbuhan dan mengandung unsur-unsur kimia yang bersifat asam sehingga
mampu mengakibatkan korosi terhadap seng dan mesin pesawat.
d) Lava, merupakan magma yang mencapai permukaan, sifatnya liquid (cairan kental dan
bersuhu tinggi, antara 700 - 1200?C. Karena cair, maka lava umumnya mengalir mengikuti
lereng dan membakar apa saja yang dilaluinya. Bila lava sudah dingin, maka wujudnya
menjadi batu (batuan beku) dan daerah yang dilaluinya akan menjadi ladang batu.
e) Gas Racun, muncul tidak selalu didahului oleh letusan gunung api sebab gas ini dapat
keluar melalui rongga-rongga ataupun rekahan-rekahan yang terdapat di daerah gunung
api. Gas utama yang biasanya muncul adalah CO2, H2S, HCl, SO2, dan CO. Yang kerap
menyebabkan kematian adalah gas CO2. Beberapa gunung yang memiliki karakteristik
letusan gas beracun adalah Gunung Api Tangkuban Perahu, Gunung Api Dieng, Gunung
Ciremai, dan Gunung Api Papandayan.
f) Tsunami, umumnya dapat terjadi pada gunung api pulau, dimana saat letusan terjadi
material-material akan memberikan energi yang besar untuk mendorong air laut ke arah

47 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

pantai sehingga terjadi gelombang tsunami. Makin besar volume material letusan makin
besar gelombang yang terangkat ke darat. Sebagai contoh kasus adalah letusan Gunung
Krakatau tahun 1883.

2. Bahaya Ikutan (Sekunder)

Bahaya ikutan letusan gunung api adalah bahaya yang terjadi setelah proses peletusan
berlangsung. Bila suatu gunung api meletus akan terjadi penumpukan material dalam berbagai
ukuran di puncak dan lereng bagian atas. Pada saat musim hujan tiba, sebagian material tersebut
akan terbawa oleh air hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan,
banjir tersebut disebut lahar.

3.5. Penanggulangan Bahaya Letusan Gunungapi

Erupsi gunungapi merupakan proses alam dan sampai saat ini belum dapat dicegah, sehingga untuk
menekan terjadinya korban dan kerugian harta benda perlu diadakan upaya penanggulangan
bencana.

Berikut ini adalah beberapa upaya yang dilakukan dalam rangka penanggulangan bencana geologi
yang disebabkan oleh erupsi gunungapi, yaitu:

a. Melakukan pengamatan dan pemantauan terhadap gunungapi aktif.

b. Dengan melakukan pengamatan dan pemantauan yang terus menerus, maka diharapkan
dapat dipelajari tingkah laku dan aktifitas semua gunungapi aktif yang ada sehingga usaha
perkiraan erupsi dan bahaya gunungapi akan tepat dan cepat. Penyampaian informasi
dalam rangka pengamanan penduduk dari kawasan rawan bencana dapat dilaksanakan
tepat waktu sehingga korban bisa dihindarkan.

Gambar 3-13 : Citra Satelit Gunung Semeru, Jawa Timur : Aliran Lahar (warna biru)

48 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

c. Melakukan pemetaan kawasan rawan bencana gunungapi:


Untuk mengetahui dan menentukan kawasan rawan bencana gunungapi (I, II,III, lihat
gambar 3-6), tempat-tempat yang aman jika terjadi letusan, tempat pengungsian, alur
pengungsian, puskesmas. Sehingga pada saat terjadi peningkatan aktifitas /letusan, kita
sudah siap dengan peta operasional lapangan.

d. Mengosongkan kawasan rawan bencana III


Daerah atau kawasan yang termasuk kedalam kawasan rawan bencana III harus
dikosongkan dan dilarang untuk hunian tetap, karena daerah ini sering terlanda oleh produk
letusan gunungapi (lava, awan panas, jatuhan piroklastika)

e. Melakukan usaha preventif:


Upaya untuk mengurangi bahaya akibat aliran lahar, yaitu dengan cara membuat tanggul
penangkis, tanggultanggul untuk mengurangi kecepatan lahar, serta mengurangi volume
air di kawah (Kelud, Galunggung).

Gambar 3-14 : Contoh Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi hasil penafsiran citra satelit

49 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 3-15: Contoh Peta Kawasan Rawan Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi

3.6. Status / Tingkat Kegiatan Gunungapi

1. Aktif Normal (Tingkat I). Kegiatan gunungapi dalam keadaan normal dan tidak
memperlihatkan adanya peningkatan kegiatan berdasarkan hasil pengamatan secara visual,
maupun hasil penelitian secara instrumental
2. Waspada (Tingkat II). Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang teramati
secara visual dan atau secara instrumental
3. Siaga (Tingkat III). Peningkatan kegiatan semakin nyata, yang teramati secara visual
dan atau secara instrumental serta berdasarkan analisis perubahan kegiatan tersebut
cenderung diikuti letusan/erupsi
4. Awas (Tingkat IV). Peningkatan kegiatan gunungapi mendekati/menjelang letusan utama
yang diawali oleh letusan abu/asap

3.7. Kegiatan Mitigasi Bencana Letusan Gunungapi

1. Penyelidikan gunungapi; untuk mengetahui karakter dan sifat letusannya.


2. Pemetaan kawasan rawan bencana; menentukan kawasan-kawasan yang rawan bagi
Penduduk terhadap ancaman bahaya letusan awan panas, aliran lava, aliran lahar, lontaran
batupijar, dan hujan abu, dalam bentuk peta.
3. Monitoring atau pemantauan gunungapi; memantau kegiatan gunungapi dengan
berbagai metode (kegempaan, deformasi, pengukuran geofisik gas gunungapi, remote
sensing, hidrologi, geologi dan geokimia), untuk mengetahui secara tepat pergerakan

50 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

magma dan gas yang terkandung didalamnya dalam bentuk manifestasi permukaan
maupun bawah permukaan.
4. Bimbingan, Informasi dan Rekomendasi; Data dan informasi dikemas dalam bentuk
tingkat kegiatan gunungapi setiap perubahan tingkat kegiatan gunungapi disampaikan
kepada masyarakat melalui provinsi, pemkab/kota disekitar gunungapi, membangkitkan
antisipasi terhadap pandangan dan reaksi dari masyrakat yang diberi informasi.
5. Komunikasi dan Pelaporan; komunikasi interaktif untuk memudahkan pelaksanaan
penanggulangan bencana bilamana diperlukan, pelaporan dari setiap pos pengamatan
gunungapi secara periodik.

3.8. Apa yang harus dilakukan dalam menghadapi letusan gunungapi

2. Sebelum terjadi letusan gunungapi:

a) Mengenali daerah setempat dalam menentukan tempat yang aman untuk mengungsi.
b) Membuat perencanaan penanganan bencana.
c) Mempersiapkan pengungsian jika diperlukan.
d) Mempersiapkan kebutuhan dasar

3. Jika Terjadi Letusan Gunungapi :

a) Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah dan daerah aliran lahar.
b) Ditempat terbuka, lindungi diri dari abu letusan dan awan panas. Persiapkan diri untuk
kemungkinan bencana susulan.
c) Kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh seperti: baju lengan panjang, celana
panjang, topi dan lainnya.
d) Jangan memakai lensa kontak.
e) Pakai masker atau kain untuk menutupi mulut dan hidung
f) Saat turunnya awan panas usahakan untuk menutup wajah dengan kedua belah
tangan.

4. Setelah Terjadi Letusan Gunungapi :

a) Jauhi wilayah yang terkena hujan abu


b) Bersihkan atap dari timbunan abu. Karena beratnya, bisa merusak atau meruntuhkan
atap bangunan.
c) Hindari mengendarai mobil di daerah yang terkena hujan abu sebab bisa merusak
mesin.

51 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

4M itigasi Longsoran Tanah

4.1. Pendahuluan

Longsoran Tanah atau gerakan tanah adalah proses perpindahan masa batuan / tanah akibat gaya
berat (gravitasi). Longsoran tanah telah lama menjadi perhatian ahli geologi karena dampaknya
banyak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda. Tidak jarang pemukiman yang
dibangun di sekitar perbukitan kurang memperhatikan masalah kestabilan lereng, struktur batuan,
dan proses proses geologi yang terjadi di kawasan tersebut sehingga secara tidak sadar potensi
bahaya longsoran tanah setiap saat mengancam jiwanya.

Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya ikat (kohesi)
tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat terlepas dari ikatannya dan
bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya membentuk massa yang
lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas)
dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang intensif dari masa
tanah/batuan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempercepat dan menjadi pemicu
longsoran tanah dapat terdiri dari berbagai faktor yang kompleks seperti kemiringan lereng,
perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan, tutupan lahan serta pola
pengolahan lahan, pengikisan oleh air yang mengalir (air permukaan), ulah manusia seperti
penggalian dan lain sebagainya.

4.2. Jenis Jenis Longsoran Tanah

Berdasarkan tipenya, longsoran tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:

(1). Longsoran tanah tipe aliran lambat (slow flowage ) terdiri dari:
a. Rayapan (Creep): perpindahan material batuan dan tanah ke arah kaki lereng dengan
pergerakan yang sangat lambat.
b. Rayapan tanah (Soil creep): perpindahan material tanah ke arah kaki lereng
c. Rayapan talus (Talus creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari material talus/scree.
d. Rayapan batuan (Rock creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari blok-blok batuan.
e. Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari limbah
batuan.
f. Solifluction/Liquefaction: aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng dari material
debris batuan yang jenuh air.

(2). Longsoran tanah tipe aliran cepat (rapid flowage) terdiri dari:
a. Aliran lumpur (Mudflow) : perpindahan dari material lempung dan lanau yang jenuh air
pada teras yang berlereng landai.
b. Aliran masa tanah dan batuan (Earthflow): perpindahan secara cepat dari material debris
batuan yang jenuh air.
c. Aliran campuran masa tanah dan batuan (Debris avalanche): suatu aliran yang meluncur
dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal.

(3) Longsoran tanah tipe luncuran (landslides) terdiridari:


a. Nendatan (Slump): luncuran kebawah dari satu atau beberapa bagian debris batuan,
umumnya membentuk gerakan rotasional.

52 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

b. Luncuran dari campuran masa tanah dan batuan (Debris slide): luncuran yang sangat cepat
ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran
ini ditandai oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya.
c. Gerakan jatuh bebas dari campuran masa tanah dan batuan (Debris fall): adalah luncuran
material debris tanah secara vertikal akibat gravitasi.
d. Luncuran masa batuan (Rock slide): luncuran dari masa batuan melalui bidang perlapisan,
joint (kekar), atau permukaan patahan/sesar.
e. Gerakan jatuh bebas masa batuan (Rock fall): adalah luncuran jatuh bebas dari blok batuan
pada lereng-lereng yang sangat terjal.
f. Amblesan (Subsidence): penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh pemadatan
dan isostasi/gravitasi.

4.3. Faktor Penyebab Longsoran Tanah

Faktor-faktor yang mempengaruhi longsoran tanah dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor
yang bersifat pasif dan faktor yang bersifat aktif.

(1) Faktor yang bersifat pasif pada longsoran tanah adalah:


a. Litologi: material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah meluncur karena basah
akibat masuknya air ke dalam tanah.
b. Susunan Batuan (stratigrafi): perlapisan batuan dan perselingan batuan antara batuan
lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang permeable dan batuan
impermeabel.
c. Struktur geologi: jarak antara rekahan/joint pada batuan, patahan, zona hancuran, bidang
foliasi, dan kemiringan lapisan batuan yang besar.
d. Topografi: lereng yang terjal atau vertikal.
e. Iklim: perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi hujan yang intensif.
f. Material organik: lebat atau jarangnya vegetasi.

(2) Faktor yang bersifat aktif pada longsoran tanah adalah:


a. Gangguan yang terjadi secara alamiah ataupun buatan.
b. Kemiringan lereng yang menjadi terjal karena aliran air.
c. Pengisian air ke dalam tanah yang melebihi kapasitasnya, sehingga tanah menjadi jenuh
air.
d. Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh seismisitas atau kendaran berat.

Pada gambar 4-1 diperlihatkan 5 tipe longsoran tanah yang didasarkan atas cara dan mekanisme
longsorannya, yaitu tipe runtuhan, tipe aliran, tipe luncuran, tipe nendatan, dan tipe rayapan.

4.4. Metoda Penanggulangan dan Pencegahan Longsoran Tanah

Penanggulangan dan pencegahan bahaya longsoran tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan metoda, baik yang berkaitan dengan tipe longsoran dan faktor penyebabnya. Terdapat
beberapa tipe longsoran tanah yang dapat ditanggulangi melalui rekayasa keteknikan, seperti
membuat terasering di kawasan perbukitan yang berlereng terjal agar lereng menjadi stabil, atau
struktur pondasi bangunannya menggunakan tiang pancang hingga mencapai kedalaman tertentu
sehingga dapat menahan bangunan jika terjadi longsoran tanah.

Untuk dapat mengetahui secara detil tentang tipe dan faktor penyebab longsoran tanah di suatu
wilayah, maka diperlukan penyelidikan geologi secara detail dan komprehensif sehinga dapat
diketahui secara pasti sebaran, lokasi, jenis gerakan tanahnya serta kestabilan wilayah di daerah
tersebut. Peta kestabilan wilayah dan lokasi gerakan tanah merupakan out-put dari penyelidikan
geologi yang berguna untuk perencanaan tataguna lahan.

53 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Gambar 4-1. Tipe-tipe longsoran tanah

Pada gambar 4-2 diperlihatkan beberapa lokasi pemukiman yang terlanjur ada di kawasan rawan
bencana geologi, terutama bahaya tanah longsor. Dalam gambar tampak lokasi pemukiman yang
berada di sekitar suatu jalur patahan (kiri) dan kawasan pemukiman yang berada di kaki perbukitan
yang rentan terhadap longsoran tanah (kanan). Pada gambar tampak pemukiman yang tersebar
hingga mencapai kawasan yang berada di lereng-lereng berbukitan tanpa memperhitungkan faktor
kestabilan lerengnya yang berpotensi longsor. Penelitian geologi untuk kerentanan longsoran tanah

54 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

umumnya melibatkan pemetaan dan kajian terhadap karakteristik tanah dan batuan. Sifat
tanah/struktur tanah yang harus diteliti adalah: kekerasan, klastisitas, permeabilitas, plastisitas, dan
komposisi mineralnya, terutama untuk tanah yang tersusun dari mineral lempung (mineral
montmorilonite) yang dapat memicu terjadinya gerakan tanah, sedangkan untuk batuan yang dikaji
adalah jenis dan struktur batuannya, terutama untuk lapisan batuan yang lemah dan banyak
rekahannya (kekarnya).

Gambar 4-2 Pemukiman yang berada di kawasan rawan bencana longsoran tanah
(gambar atas) dan pemukiman di daerah rawan amblesan (gambar
bawah).

Faktor hidrologi juga harus menjadi perhatian dalam penyelidikan, terutama mengenai penyebaran
pola pengaliran, sebaran mata air dan mata air panas, serta lapisan-lapisan batuan permeable yang
berhubungan dengan air tanah. Keterlibatan faktor pemicu gerakan tanah harus dikaji dan di
evaluasi, seperti:

a) cuaca dan iklim guna mengetahui hubungan antara periode curah hujan dengan longsoran.
b) data air bawah tanah sebelum dan sesudah terjadi longsoran.
c) catatan kegempaan untuk menentukan hubungan antara longsoran dengan gempabumi.
d) catatan mengenai pembukaan dan penggalian lahan dan aktivitas di atas lahan yang
kemungkinan melebihi beban atau penambangan tanah pada lereng-lereng bukit.

55 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Penelitian bawah permukaan diperlukan guna mengetahui hubungan 3 (tiga) dimensinya serta
mendapatkan contoh batuan yang diperlukan untuk diuji di laboratorium, seperti pengujian kuat
tekan (shear-strength), sensitivitas batuan, serta sifat-sifat keteknikan lainnya. Begitu juga dengan
sifat dan struktur tanah perlu dilakukan pengujian baik di laboratorium maupun pengujian lapangan
dengan cara pembuatan sumuran uji (testpit), pembuatan paritan uji (trenches) dan pemboran.
Observasi air tanah perlu dilakukan untuk mendapatkan data-data tinggi muka air, tekanan air, dan
arah aliran. Penyelidikan geofisika dapat juga dilakukan untuk mendapatkan data data tentang
ketebalan lapisan tanah dan kedalaman batuan dasar.

Pada tabel 4-1. diperlihatkan beberapa metoda penanggulangan dan pencegahan serta perbaikan
terhadap gejala gerakan tanah yang ditujukan terutama untuk mengurangi gaya geser (shear-
stress), peningkatan resistensi geser (shear-strength) atau kedua-duanya. Untuk mengurangi gaya
geser dapat dilakukan dengan cara penggalian material penyebab longsor, atau dengan cara
mengurangi keterjalan lereng serta memindahkan permukaan tanah yang tidak stabil. Pengurangan
derajat kelerengan akan berdampak pada berkurangnya beban masa batuan/ tanah yang dapat
meluncur atau longsor. Pemindahan masa batuan/tanah yang ada di bagian muka luncuran
sekaligus akan mengurangi beban dan gaya geser.

Pada tipe gerakan tanah jenis luncuran rotasional (slumping), resistensi geser batuan akan semakin
meningkat jika masa batuan/tanah dipindahkan ke arah bagian belakang luncuran. Menstabilkan
suatu longsoran yang komplek seringkali melibatkan pengendalian eksternal dan internal dari
pengaliran air. Air yang jatuh dan mengalir di permukaan lahan yang berlereng harus di alirkan dan
diusahakan jangan sampai diam ditempat. Pada beberapa lereng perlu dibuat agar supaya aliran air
lancar serta dihindarkan jangan sampai air terjebak pada bagian undak lereng. Untuk mencegah
aliran air yang masuk ke dalam rekahan (kekar) batuan, maka batuan harus ditutup dengan
lempung, aspal atau dengan material yang impermeable.

Aliran air bawah tanah harus dikurangi guna menghindari meningkatnya resistensi geser batuan.
Untuk mengurangi aliran air bawah tanah dilakukan dengan cara memindahkannya melalui
terowongan air yang dibuat secara horizontal atau dengan bantuan pipa perforasi, sumur vertikal
atau dibuat paritan (trench) yang diisi kembali dengan material yang kasar dan permeable.
Menstabilkan struktur untuk meningkatkan resistensi geser merupakan cara yang paling efektif
sebelum longsoran terjadi dibandingkan apabila longsoran sudah terjadi. Jenis yang sangat umum
dari masa batuan/tanah diletakkan sebagai beban dan ditempatkan pada bagian luar dari masa
longsoran untuk menahan reaksi gerakan ke atas, sedangkan bagian dasar berfungsi sebagai
penopang kearah lateral untuk bagian tepi dari masa longsoran, bagian pinggir atau lereng yang
sudah dikupas diisi untuk mencegah gerakan ke arah kaki lereng. Dinding yang dibuat dari semen
atau beton akan berguna untuk menahan laju masa batuan/tanah yang tidak stabil.

Untuk gerakan tanah yang berada di lereng bukit, pencegahan dapat dilakukan dengan cara
memasang tiang pancang, namun demikian untuk menahan luncuran masa batuan/tanah yang aktif
pemasangan tiang pancang tidak akan mampu menahan gerakan masa batuan/tanah tersebut dan
hal ini disebabkan karena perpindahan debris tanah yang mampu melewati tiang pancang, atau
membuat tiang pancang menjadi miring dan bahkan mematahkannya. Hal yang lebih ekstrim adalah
tiang pancang meluncur bersamaan dengan luncuran tanah. Resistensi geser pada masa batuan
atau tanah yang tidak stabil dapat meningkat karena pemadatan dan pengerasan internal melalui
injeksi semen, aspal atau bahan kimia tertentu.

Masalah longsoran yang terjadi di reservoir bendungan adalah masalah yang berkaitan dengan
luncuran masa batuan/tanah yang bersifat lepas dan erosi yang cepat. Luncuran masa
batuan/tanah dan erosi di dalam reservoir bendungan dapat mengakibatkan banjir yang cukup
besar dan bahkan bendungan dapat mengalami retak atau hancur. Kecepatan rembasan yang
terjadi melalui luncuran debris dapat memperbesar rembasan, yaitu melalui pelarutan atau
perpindahan sedimen yang berukuran halus dan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
breakout dibawah poros bendungan. Pengendalian rembasan yang melewati badan bendungan dari
jenis luncuran debris dapat di lakukan dengan cara menyuntik material/bahan penstabil atau
dengan cara bagian belakang bendungan ditutupi dengan material lempung, disiram semen, atau

56 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

dilapisi oleh bahan yang bersifat tidak lolos air. Apabila cara-cara tersebut diatas tidak bisa
dilakukan maka disarankan untuk dilakukan pendangkalan bagian dasar reservoir agar supaya
keamanan menjadi meningkat atau dengan cara menguras atau mengalirkan air yang terdapat
dalam reservoir melalui saluran pembuangan atau dengan cara memotong saluran.

Tabel 4-1 Metoda Pencegahan dan Perbaikan Gerakan Tanah / Longsoran


(Root, A.W., Prevention of Landslides, 1958)

57 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

4.5. Perencanaan Tataguna Lahan Dikawasan Rawan Longsor

Perencanaan tataguna lahan di kawasan rawan longsor lebih sulit dibandingkan dengan
perencanaan pada lahan yang rawan banjir atau pada lahan rawan gempa. Kesulitan perencanaan
pada lahan yang rawan longsor disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

1. Longsoran seringkali terjadi dengan jenis yang sangat komplek sehingga memerlukan
pemetaan yang lebih rinci guna menentukan batas-batas yang tegas yang akan dipakai
dalam perencanaan dan pembuatan aturan.

2. Longsoran seringkali memiliki tingkat potensi perpindahan masa tanah/batuan yang


berbeda beda. Penelitian yang lebih rinci perlu dilakukan untuk meng-klasifikasi-kan tipe-
tipe longsoran serta memperkirakan kapan longsoran tersebut akan terjadi.

Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut diatas maka diperlukan suatu peta yang disebut
dengan peta Kestabilan Lahan atau peta Kerentanan Longsoran Tanah. Peta kestabilan lahan
telah dikembangkan untuk membantu para perencana dalam mengenal lokasi lahan yang tidak
stabil (rawan longsor) dan peta ini dapat dipakai untuk pertimbangan awal dalam proses
perencanaan. Dengan peta kestabilan lahan, dimungkinkan untuk disiapkan suatu rencana umum
dari pemanfaatan lahan yang sesuai, terutama untuk lahan-lahan yang tidak stabil. Pemanfaatan
pada lahan-lahan yang tidak stabil harus mempertimbangkan resiko yang mungkin terjadi serta
biaya yang akan dikeluarkan untuk menstabilkan longsoran atau mencegah instalasi yang ada.

Gambar 4-3 Peta Kestabilan Lahan (warna hijau merupakan areal dengan
kestabilan sedang dan warna merah merupakan areal yang tidak
stabil).

Pada Peta Kerentanan Longsoran Tanah (gambar 4-4) dapat dilihat sebaran dari areaarea yang
berpotensi/rawan terhadap longsoran tanah. Pada peta, warna coklat tua adalah areal yang
berpotensi longsor dengan kedalaman bidang longsor kurang dari 10 meter sedangkan warna
kuning adalah areal yang berpotensi longsor dengan kedalaman bidang longsor kurang dari 3 meter
dan warna hijau merupakan area yang relatif stabil dengan lapisan tanah kurang dari 2 meter.

58 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Pada peta terlihat juga daerah yang landai bersifat stabil dan tidak rentan terhadap longsoran
tanah. Areal ini memiliki kesesuaian lahan yang cocok untuk dikembangkan menjadi areal
pemukiman, sedangkan di areal-areal yang bertopografi terjal secara umum tidak cocok/sesuai
untuk areal lahan pemukiman, mengingat prosentasi kelerengannya diatas 50%. Areal ini sangat
cocok untuk pengembangan hutan lindung.

Pada gambar 4-4 diperlihatkan beberapa jenis longsoran tanah yang berdampak pada bangunan
dan infrastruktur. Pemukiman yang berada dikawasan perbukitan yang rentan longsor (kiri atas);
pemukiman yang berada diatas tanah yang rentan terhadap amblesan (kanan atas); Bangunan
yang berada diatas areal tanah yang rentan longsor (kiri tengah); Jalan Raya yang melalui lereng
yang mudah longsor (kanan tengah); Bangunan yang berada di kaki lereng yang rentan longsor (kiri
bawah); dan Jalan Raya yang berada diatas tanah yang tidak stabil (kanan bawah)

Gambar 4-4 Peta Kerentanan Longsoran Tanah

59 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

4.6. Strategi dan upaya penanggulangan bencana longsoran tanah:

1. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan pemukiman dan fasilitas utama
lainnya
2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng
3. permukaan maupun air tanah. (Fungsi drainase adalah untuk menjauhkan airn dari lereng,
menghidari air meresap ke dalam lereng atau menguras air ke dalam lereng ke luar lereng.
Jadi drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau meresapkan air ke dalam
tanah).
4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling
5. Terasering dengan sistem drainase yang tepat.(drainase pada teras - teras dijaga jangan
sampai menjadi jalan meresapkan air ke dalam tanah)
6. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam yang tepat
(khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih dari 40 derajat atau sekitar 80%
sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diseling-selingi dengan tanaman yang lebih
pendek dan ringan , di bagian dasar ditanam rumput).
7. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat
8. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan
9. Pengenalan daerah rawan longsor
10. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall)
11. Penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air masuk secara cepat kedalam tanah.
12. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari bahaya liquefaction(infeksi
cairan).
13. Utilitas yang ada didalam tanah harus bersifat fleksibel
14. Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.

60 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

5M itigasi Bencana Banjir

5.1. Pendahuluan

Banjir merupakan kejadian yang selalu berulang setiap tahunnya di Indonesia, tercatat bahwa
kebanyakan terjadi pada musim penghujan. Berdasarkan sudut pandang morfologi, banjir terjadi di
negara negara yang mempunyai bentuk bentangalam yang sangat bervariasi dengan sungai nya
yang banyak. Banjir di Indonesia umumnya terjadi di Indonesia bagian barat, karena tingkat curah
hujan yang sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian timur. Pertumbuhan
penduduk di Indonesia dan kebutuhan ruang sebagai tempat untuk mengakomodasi kehidupan
manusia dan mendukung aktivitasnya secara tidak langsung telah berperan terjadinya banjir.
Penebangan hutan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ruang telah meningkatkan
sedimentasi di sungai-sungai, tidak terkendalinya air permukaan dan tanah menjadi jenuh air. Hal
ini yang memungkinkan air permukaan menjangkau kawasan yang lebih luas yang pada akhirnya
menjadi penyebab banjir bandang seperti yang terjadi pada tahun 2003 di wilayah Bahorok dan
Langkat, Sumatra Utara dan di wilayah Ayah, Jawa Tengah.

Dalam tahun 2006 bencana banjir yang melanda beberapa wilayah, termasuk bencana banjir
bandang dan tanah longsor. Di Jember, Jawa Timur akibat banjir bandang dan tanah longsor telah
menelan korban sebanyak 92 orang meninggal dan 8.861 hanyut, sedangkan di Trenggalek 18
orang meninggal. Banjir bandang yang disertai dengan tanah longsor terjadi juga di Manado,
Sulawesi Utara yang memakan korban sebanyak 27 jiwa dan 30.000 hanyut. Bencana yang sama
terjadi juga di Sulawesi Selatan pada bulan Juni 2006. Lebih dari 200 orang meninggal dunia dan
puluhan lainnya hilang (Data Provinsi dari BAKORNAS, 23 Juni 2006).

Hal yang sangat menarik dari peristiwa bencana banjir adalah mengapa kebanyakan dari manusia
bermukim di wilayah-wilayah yang berpotensi terkena bencana banjir. Berdasarkan sejarah
kehidupan manusia di muka bumi, umumnya pemukiman dan perkotaan dibangun di tepi tepi pantai
dan sungai. Hal ini dapat dimengerti karena manusia membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Permasalahannya adalah bagaimana cara untuk meminimalkan resiko dan menghindar
dari bencana banjir yang sudah terlanjur ada ditempat dimana manusia tinggal.

5.2. Penanggulangan Bahaya Banjir

Gambar 5-1 adalah contoh Peta Zona Genangan Dikawasan Rawan Banjir. Pada gambar
diperlihatkan zona genangan air yang dibuat berdasarkan hasil perhitungan data hidrologi untuk
siklus bencana banjir 1 tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, dan 100 tahunan serta areal /
kawasan yang terbebas dari zona genangan air. Pada umumnya, pencegahan fisik untuk semua
jenis bencana banjir dilakukan untuk siklus banjir yang terjadi hingga 100 tahun. Adapun
perhitungan siklus genangan bencana banjir biasanya dihitung untuk siklus 100 tahunan dengan
pertimbangan tingkat resiko yang dapat diterima dan umumnya dibutuhkan oleh pihak perusahaan
asuransi, khususnya yang menangani asuransi kerugian properti yang disebabkan oleh bencana
banjir.

Terdapat 4 cara untuk mengurangi potensi bahaya banjir, yaitu:


1. rekayasa keteknikan,
2. kebijakan tataguna lahan dan regulasi,

61 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

3. sistem peringatan dini,


4. asuransi.

Dalam penanggulangan bencana banjir, metoda pertama dan kedua merupakan metoda yang
menjadi perhatian utama. Metoda pendekatan rekayasa keteknikan dapat dilakukan dengan
pembangunan sistem drainase yang baik dan kontruksi bangunan yang tahan banjir serta
membangun sistem peringatan dini, sedangkan pendekatan kebijakan dan peraturan melalui
penerbitan aturan-aturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, khususnya peruntukan lahan
melalui zonasi kerentanan terhadap bahaya banjir. Hal yang terpenting dalam membuat kebijakan
dan peraturan adalah bahwa dengan adanya peraturan dapat memastikan masyarakat yang
bermukim di wilayah wilayah rawan bencana banjir tidak menjadi subyek dari bencana yang akan
menimpa dan aktivitas masyarakat tidak terganggu apabila terjadi banjir.

Gambar 5-1 Klasifikasi bencana banjir yang disajikan dalam bentuk peta Zona
Genagan Air dengan siklus genangan 1 tahunan, 5 tahunan, 10
tahunan, 25 tahunan, dan 100 tahunan serta zona bebas genangan

62 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

Salah satu pendekatan di dalam pengendalian banjir adalah dengan cara melakukan perencanaan
penanggulangan bencana banjir secara komprehensif, seperti misalnya perencanaan yang
disesuaikan dengan zona-zona genangan air, dan diikuti dengan pembuatan aturan aturan yang
berhubungan dengan persyaratan konstruksi bangunan yang diijinkan pada setiap zona. Agar dapat
efektif maka dalam perencanaan umum harus ada peta dokumen tentang zona-zona genangan air
serta frekuensi kejadian banjir. Informasi semacam ini sangat penting dan diperlukan dalam proses
perencanaan tataguna lahan, terutama dalam penetapan peruntukan lahan.

Dalam pemanfaatan lahan dapat juga terjadi dan sangat dimungkinkan membangun bangunan di
daerah dataran banjir (floodplain area) akan tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, seperti misalnya konstruksi bangunannya harus berada diatas genangan air atau
konstruksi jembatan yang melintasi sungai harus ditingkatkan guna menghindari terpaan arus air
ketika terjadi banjir, dan dapat juga bagian dari areal dataran banjir dibiarkan sebagai ruang
terbuka atau digunakan sebagai taman atau sarana olah raga. Dalam persiapan perencanaan,
pertimbangan harus diberikan untuk pemanfaatan lahan yang berada bagian hulu yang dapat
membantu meminimalkan frekuensi terjadinya banjir. Pemanfaatan lahan dan penggunaan aspal
dan beton pada lahan harus diminimalkan untuk membantu penyerapan air dan mengurangi runoff.

Aturan yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan persyaratan konstruksi di daerah rawan
bencana banjir merupakan hal yang umum diterapkan dan merupakan suatu kebijakan pemerintah
dalam rangka melindungi masyarakatnya terhadap bencana banjir. Peraturan yang berhubungan
dengan larangan membangun pada areal yang mudah tergenang air (flood plain area), dan aturan
yang berkaitan dengan jenis penggunaan lahan yang diijinkan serta konstruksi bangunan yang
diperbolehkan merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan, baik oleh
pemerintah (pemberian IMB), swasta, maupun masyarakat secara konsisten. Peta Zona Genangan
Air sangat berguna baik bagi Pemerintah Daerah dan Kontraktor karena peta ini merupakan rujukan
dasar dalam membuat aturan aturan yang berkaitan dengan jenis dan tipe bangunan yang harus
dipenuhi dalam membangun infrastruktur serta struktur dan fondasi bangunan.

Perusahaan asuransi dapat memanfaatkan peta zona genangan air sebagai dasar dalam penilaian
bangunan yang akan diasuransikan, khususnya untuk asuransi bencana banjir. Pemerintah
bertanggungjawab atas pembuatan aturan aturan yang berkaitan dengan persyaratan bangunan,
seperti konstruksi dan tipe bangunan yang akan dibangun di wilayah banjir, baik untuk banjir yang
sifatnya tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, dan seterusnya serta aturan-aturan yang berkaitan
dengan pemanfaatan lahan. Para kontraktor wajib memenuhi aturan-aturan yang telah dibuat dan
ditetapkan terhadap persyaratan konstruksi bangunan. Sedangkan bagi Perusahaan Asuransi peta
zona genangan banjir diperlukan guna kepentingan dalam penilaian dan besarnya tanggungan
suatu bangunan yang akan diasuransikan, khususnya asuransi kerugian bencana alam (banjir).

5.3. Mitigasi Bencana Banjir

Banjir adalah suatu peristiwa alamiah yang disebabkan oleh meluapnya air ke luar alur sungai
karena volume air yang melebihi kapasitas saluran sungai yang tersedia. Wilayah luapan air sungai
disebut sebagai daerah dataran banjir (flood-plain area). Disamping itu banjir juga dapat
disebabkan oleh akumulasi air hujan di suatu daratan yang berbentuk cekungan dimana lapisan
tanahnya bersifat impermeabel atau lapisan tanahnya jenuh air.

Bencana banjir baru akan timbul ketika di daerah tersebut terdapat areal pemukiman sehingga
luapan air berdampak pada kerugian dan kerusakan harta benda dan jiwa manusia. Peran dan
kontribusi manusia terhadap terjadinya bencana banjir sangatlah besar, hal ini dapat kita lihat dari
berbagai kasus bencana banjir yang melanda diberbagai wilayah dan perkotaan. Sebagai contoh
Jakarta sebagai ibukota negara setiap tahun menjadi langganan banjir. Adapun beberapa faktor
faktor yang menjadi penyebab banjir di wilayah Jakarta antara lain adalah:

1. Pembangunan dan perluasan pemukiman yang tidak mengikuti peta arahan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW),

63 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

2. Topografi Jakarta yang berbentuk cekungan sehingga di beberapa wilayah berfungsi


sebagai tandon aliran air,
3. Berkurangnya daerah resapan air sebagai dampak dari pembangunan,
4. Meningkatnya surface runoff yang disebabkan perubahan tutupan lahan,
5. Tidak berfungsinya sistem drainase secara maksimal akibat banyaknya sampah dan kotoran
lainnya,
6. Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang tidak terintegrasi serta degradasi lingkungan
di wilayah DAS akibat perubahan tataguna lahan dan tutupan lahan.

Usaha untuk mengurangi bencana banjir dapat dilakukan antara lain dengan cara antara lain:

1. Melakukan reboisasi di daerah tangkapan hujan,


2. Membuat sumur-sumur resapan air,
3. Mengurangi surface runoff dengan pembuatan drainase yang baik,
4. Pembuatan check-dam untuk pengendalian banjir,
5. Memodifikasi saluran sungai dan drainase,
6. Membersihkan saluran sungai dan pengelolaan DAS secara terintegrasi dan komprehensif.

5.4. Mengenal Penyebab Banjir

1. Curah hujan tinggi


2. Permukaan tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut.
3. Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keiuar
sempit.
4. Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran sepanjang sungai.
5. Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan di pinggir sungai.
6. Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.

5.4.1. Tindakan Untuk Mengurangi Dampak Banjir

a. Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai fungsi lahan.
b. Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering
menimbulkan banjir.
c. Tidak membangun rumah dan pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir.
d. Tidak membuang sampah ke dalam sungai.
e. Mengadakan Program Pengerukan sungai.
f. Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan laut.
g. Program penghijauan daerah hulu sungai harus selalu dilaksanakan serta mengurangi
aktifitas di bagian sungai rawan banjir.

5.4.2. Yang Harus Dilakukan Sebelum Banjir

1. Di Tingkat Warga

a. Bersama aparat terkait dan pengurus RT/RW terdekat bersihkan lingkungan sekitar Anda,
terutama pada saluran air atau selokan dari timbunan sampah.
b. Tentukan lokasi Posko Banjir yang tepat untuk mengungsi lengkap dengan fasilitas dapur
umum dan MCK, berikut pasokan air bersih melalui koordinasi dengan aparat terkait,
bersama pengurus RT/RW di lingkungan Anda.
c. Bersama pengurus RT/RW di lingkungan Anda, segera bentuk tim penanggulangan banjir di
tingkat warga, seperti pengangkatan Penanggung Jawab Posko Banjir.
d. Koordinasikan melalui RT/RW, Dewan Kelurahan setempat, dan LSM untuk pengadaan tali,
tambang, perahu karet dan pelampung guna evakuasi.
e. Pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna memudahkan mencari informasi,
meminta bantuan atau melakukan konfirmasi.

64 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

2. Di Tingkat Keluarga

a. Simak informasi terkini melalui TV, radio atau peringatan Tim Warga tentang curah hujan
dan posisi air pada pintu air.
b. Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: radio baterai, senter, korek gas dan lilin,
selimut, tikar, jas hujan, ban karet bila ada.
c. Siapkan bahan makanan mudah saji seperti mi instan, ikan asin, beras, makanan bayi, gula,
kopi, teh dan persediaan air bersih.
d. Siapkan obat-obatan darurat seperti: oralit, anti diare, anti influenza.
e. Amankan dokumen penting seperti: akte kelahiran, kartu keluarga, buku tabungan,
sertifikat dan benda-benda berharga dari jangkauan air dan tangan jahil.

5.4.3. Yang Harus Dilakukan Saat Banjir

a. Matikan aliran listrik di dalam rumah atau hubungi PLN untuk mematikan aliran listrik di
wilayah yang terkena bencana,
b. Mengungsi ke daerah aman sedini mungkin saat genangan air masih memungkinkan untuk
diseberangi.
c. Hindari berjalan di dekat saluran air untuk menghindari terseret arus banjir. Segera
mengamankan barang-barang berharga ketempat yang lebih tinggi.
d. Jika air terus meninggi hubungi instansi yang terkait dengan penanggulangan bencana
seperti Kantor Kepala Desa, Lurah ataupun Camat.

5.4.4. Yang Harus Dilakukan Setelah Banjir

a. Secepatnya membersihkan rumah, dimana lantai pada umumnya tertutup lumpur dan
gunakan antiseptik untuk membunuh kuman penyakit.
b. Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari terjangkitnya penyakit diare yang sering
berjangkit setelah kejadian banjir.
c. Waspada terhadap kemungkinan binatang berbisa seperti ular dan lipan, atau binatang
penyebar penyakit seperti tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk.
d. Usahakan selalu waspada apabila kemungkinan terjadi banjir susulan.

65 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

6M itigasi Bencana Hidrometeorologi

6.1. Kekeringan

Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air baik untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Kekeringan diklasifikasikan sebagai
berikut :

1. Kekeringan Alamiah

a. Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu
musim.
b. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
c. Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu
tertentu pada wilayah yang luas.
d. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi
kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian

2. Kekeringan Antropogenik

Kekeringan yang disebabkan karena ketidak-patuhan pada aturan terjadi karena :


a. Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak-patuhan
pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air.
b. Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia.

Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO (El-Nino
Southern Oscilation). Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan.
Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola:
a. akhir musim kemarau mundur dari normal
b. awal masuk musim hujan mundur dari normal
c. curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal
d. deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian Timur

Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan. Kekeringan
menyebabkan pepohonan akan mati dan tanah menjadi gundul yang pada musim hujan menjadi
mudah tererosi dan banjir. Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan bencana berupa
hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata
pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak terjadinya urbanisasi.

3. Gejala Terjadinya Kekeringan

a. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah normal dalam satu
musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya bencana
kekeringan.
b. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air
tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air
tanah. Kekeringan Hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.

66 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

c. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air
di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering
dan mengering.

4. Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana

a. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem pengiriman data iklim dari
daerah ke pusat pengolahan data.
b. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air dengan
memperhatikan historical right dan azas keadilan.
c. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
d. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim
pada daerah-daerah rawan kekeringan.
e. Pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan
kekeringan
f. Memberikan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang melakukan upaya
konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan hutan/lahan.

6.2. Angin Topan

Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang
sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang
sangat berdekatan dengan khatulistiwa.

Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca. Angin paling kencang
yang terjadi di daerah tropis ini umumnya berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar
daerah sistem tekanan rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20 Km/jam. Di Indonesia
dikenal dengan sebutan angin badai.

1. Gejala dan Peringatan Dini

Angin topan tropis dapat terjadi secara mendadak, tetapi sebagian besar badai tersebut terbentuk
melalui suatu proses selama beberapa jam atau hari yang dapat dipantau melalui satelit cuaca.
Monitoring dengan satelit dapat untuk mengetahui arah angin topan sehingga cukup waktu untuk
memberikan peringatan dini. Meskipun demikian perubahan sistem cuaca sangat kompleks sehingga
sulit dibuat prediksi secara cepat dan akurat.

2. Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana Angin Topan

a. Membuat struktur bangunan yang memenuhi syarat teknis untuk mampu bertahan terhadap
gaya angin.
b. Perlunya penerapan aturan standar bangunan yang memperhitungkan beban angin
khususnya di daerah yang rawan angin topan
c. Penempatan lokasi pembangunan fasilitas yang penting pada daerah yang terlindung dari
serangan angin topan.
d. Penghijauan di bagian atas arah angin untuk meredam gaya angin.
e. Pembuatan bangunan umum yang cukup luas yang dapat digunakan sebagai tempat
penampungan sementara bagi orang maupun barang saat terjadi serangan angin topan.
f. Pengamanan/perkuatan bagian-bagian yang mudah diterbangkan angin yang dapat
membahayakan diri atau orang lain disekitarnya.
g. Kesiapsiagaan dalam menghadapi angin topan, mengetahui bagaimana cara penyelamatan
diri
h. Pengamanan barang-barang disekitar rumah agar terikat/dibangun secara kuat sehingga
tidak diterbangkan angin
i. Untuk para nelayan, supaya menambatkan atau mengikat kuat kapal-kapalnya.

67 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

6.3. Gelombang Pasang

Gelombang pasang adalah gelombang air laut yang melebihi batas normal dan dapat menimbulkan
bahaya baik di lautan, maupun di darat terutama daerah pinggir pantai. Umumnya gelombang
pasang terjadi karena adanya angin kencang/topan, perubahan cuaca yang sangat cepat, dan
karena ada pengaruh dari gravitasi bulan maupun matahari. Kecepatan gelombang pasang sekitar
10-100 Km/jam.

Gelombang pasang sangat berbahaya bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada suatu wilayah
yang dapat menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Jika terjadi gelombang pasang di laut akan
menyebabkan tersapunya daerah pinggir pantai atau disebut dengan abrasi.

1. Karakteristik Terjadinya Gelombang Pasang

a. Angin kencang .
b. Terjadinya badai di tengah laut dan menyebabkan terjadinya gelombang pasang di pinggir
pantai.
c. Perubahan cuaca yang tiba-tiba menjadi gelap

2. Penanganan Bencana Gelombang Pasang

a. Pemberitahuan dini kepada masyarakat dari hasil prakiraan cuaca melalui radio maupun alat
komunikasi.
b. Bila sedang berlayar di tengah laut, usahakan menghindari daerah laut yang sedang dilanda
cuaca buruk.
c. Membuat/merencanakan pengungsian apabila terjadi gelombang pasang di pinggir pantai
d. Membuat infrastruktur pemecah ombak untuk mengurangi energi gelombang yang datang
terutama di daerah pantai yang bergelombang besar.
e. Tetap tenang jika terjadi gelombang pasang di tengah laut maupun di pinggir pantai.

68 Copyright by @ Djauhari Noor 2012


MITIGASI BENCANA GEOLOGI 2012

7D aftar Pustaka

1. Arthur D. Howard & Irwin Remson, 1978, Geology in Environmental Planning, Mc Graw
Hill Publishing Company, Inc.

2. Avery T. E., Interpretation of Aerial Photographs, Burgess Publishing Company,


Minneapolis, Minnesota, 1977.

3. Blyth, F.G.H and M.H. de Freitas, 1974, A Geology for Engineers, English Language Book
Society, Edward Arnold Publishers Ltd. 41 Bedford Square, London WC 1B3DQ.

4. Davenport, Th.E., 2003, The Watershed Project Management Guide, Lewis Publishing
company, New York, USA

5. Eckel, E. B., ed.,1958, Landslides and Engineeering Practice, Highway Research Board
Special Rept. 29, NAS-NRC Publ. 554, National Academy of Sciences, Washington, D.C.

6. Edward J. Tarbuck and Frederick K. Lutgens, 1987, The Earth : An Introduction to


physical geology, second edition, Merrill Publishing Company, A Bell & Howell Company,
Columbus, Ohio 43216.

7. Gerals Kiely, 1997, Environmental Engineering, Mc Graw Hill Publishing Company, Inc.

8. Nichols, D.R., and C.C. Campbell., eds., 1971, Environmental Planning and Geology,
Published cooperatively by U. S. Geological Survey, U.S. Dept. of Interior, and Office of
Research and Technology of U.S. Dept. of Housing and Urban Development, 1971.

9. National Action Plan For Disaster Risk Reduction 2006 2009, Cooperation between
Office of State Minister for National Development Planning / National Planning Agency with
National Coordinating Agency for Disaster Managemen, Perum. Percetakan Negara Republik
Indonesia.

10. Tagata, E., 1995, Understanding the Coastal Zone. Living in the Coastal Zone: ECOS:
83 (Autumn issue). CSIRO Coastal Zone Program. Australia.

11. Thornbury, W.D., 1969, Principles of Geomorphology, John Willey & Sons, New York.

12. United Nations Development Programmes - Indonesia, Laporan Tahunan 2007.

69 Copyright by @ Djauhari Noor 2012

Anda mungkin juga menyukai