MAKALAH SANITASI
Oleh:
Monika Linda
1527040018
PTP A
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
limpahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Sanitasi
dan Penanganan Limbah Pertanian yang berjudul Pengolahan Limbah Padat,Cair,
B3, Dan Rumah Sakit
Penulis mendapatkan referensi dari beberapa literatur, dan juga dari UU yang
berkaitan dengan materi tersebut. Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari
kesulitan-kesulitan mendasar, tetapi apapun itu adalah proses pembelajaran untuk
hasil yang lebih baik. Kesulitan yang dihadapi bukan menjadi penghalang tetapi
menjadi motivasi untuk terus melakukan perbaikan.
Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada berbagai
pihak yang telah banyak membantu, khususnya kepada Dosen Pengampuh mata
kuliah yaitu Ibu Diyahwati,S.TP.,M.Pd yang telah membimbing dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan itu yang akhirnya bisa diatasi
Akhir kata penulis sangat menyadari bahwa isi dari makalah ini masih
sangat jauh dari yang semestinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
masukan dan saran yang bersifat membangun untuk tugas-tugas selanjutnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
C. Tujuan
Untuk mengetahui cara pengolahan limbah padat, limbah cair, limbah B3,
dan limbah rumah sakit
BAB II
PEMBAHASAN
Apabila BOD air buangan tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob
masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi
dari 4000 mg/l, proses anaerob menjadi lebih ekonomis.
D. PENGOLAHAN LIMBAH B3
1. Pengertian Limbah B3
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun
2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun pasal 1 ayat
1 bahwa Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah
zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 Limbah B3
didefinisikan sebagai setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya
dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat merusak dan/atau
mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan manusia.
Limbah B3 yang dibuang langsung ke dalam lingkungan hidup dapat
menimbulkan bahaya terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia serta
makhluk hidup lainnya. Mengingat risiko tersebut, perlu diupayakan agar setiap
usaha dan/atau kegiatan menghasilkan Limbah B3 seminimal mungkin dan
mencegah masuknya Limbah B3 dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pengelolaan Limbah B3 dimaksudkan agar Limbah B3 yang
dihasilkan masing-masing unit produksi sesedikit mungkin dan bahkan
diusahakan sampai nol, dengan mengupayakan reduksi pada sumber dengan
pengolahan bahan, substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan
digunakannya teknologi bersih.
2. Pengaturan Hukum Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun
(B3) Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Pengelolaan B3 semula diatur dalam Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie
(GSO), Stb. 1949 No.377 dan beberapa peraturan khusus, seperti PP No.7
Tahun 1972 tentang Pengawasan Atas Peredaran, penyimpanan dan
Penggunaan Pestisida. Dan yang terbaru diatur dalam PP No.101 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun mengantikan PP
No.18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengelolaan B3 maupun Limbah B3 telah diatur UU 32/2009 tentang PPLH.
Pasal 58 UUPPLH-2009 menentukan bahwa setiap orang yang memasukkan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indenesia, menghasilkan,
mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang,
mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 diatur dalam peraturan pemerintah. Dari
ketentuan tersebut jelas bahwa setiap aktivitas yang terkait dalam B3 wajib
melakukan pengelolaan B3. Kewajiban tersebut merupakan upaya untuk
mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup baik
berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, mengingat B3
mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif.8
Oleh karena itu menurut pendapat penulis, pengelolaan limbah B3 yang ada saat
ini perlu dilakukan dalam bentuk pengelolaan yang terpadu karena dapat
menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan
lingkungan hidup apabila tidak dilakukan pengelolaan dengan benar.
Pengaturan mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Pasal 59
UUPPLH-2009. Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang
mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan dan/atau pengolahan termasuk penimbunan limbah B3. Beberapa
ketentuan penting dari pasal ini bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah
B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Dalam hal
setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. Pengelolaan limbah B3 wajib
mendapat izin dari menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mencantumkan
persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus
dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
Selanjutnya, pada bagian mengenai Pengelolaan B3 diatur dalam UUPPLH-
2009, Pasal 58 dinyatakan sebagai berikut :
a. Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3
wajib melakukan pengelolaan B3.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Untuk pengelolaannya, ditentukan dalam bagian kedua tentang Pengelolaan
limbah B3. Dinyatakan pada Pasal 59 UUPPLH-2009, sebagai berikut :
3. Pengolahan limbah B3
Jenis-Jenis Proses Pengolahan Limbah secara Fisik dan Kimia:
a. Proses pengolahan secara kimia :
1) Reduksi-Oksidasi
2) Elektrolisasi
3) Netralisasi
4) Presipitasi / Pengendapan
5) Solidifikasi / Stabilisasi
6) Absorpsi
7) Penukaran ion, dan
8) Pirolisa
b. Proses pengolahan limbah secara fisik :
1) Pembersihan gas : Elektrostatik presipitator, Penyaringan partikel, Wet
scrubbing, dan Adsorpsi dengan karnbon aktif
2) Pemisahan cairan dengan padatan : Sentrifugasi, Klarifikasi, Koagulasi,
Filtrasi,
3) Flokulasi, Floatasi, Sedimentasi, dan Thickening
4) Penyisihan komponen-komponen yang spesifik : Adsorpsi, Kristalisasi,
Dialisa,
5) Electrodialisa, e, Leaching, Reverse osmosis, Solvent extraction, dan
Stripping.
4. Teknologi pengolahan limbah B3
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode
yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning,
solidification/Stabilization, dan incineration.
a. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning.
Tujuan utama dari chemical conditioning ialah:
1) Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam
lumpur
2) Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
3) Mendestruksi organisme pathogen
4) Memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioningyang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses
digestion
5) Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam
keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.
b. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization
juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi
dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan
tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar
dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan
solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya
dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait
sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama
c. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration) adalah alternatif yang menarik
dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan
massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini
sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena
pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat
mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan
energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan
di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan
limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan
yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi
(heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam
mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga
menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi.
Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah
padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single
chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit.
Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan
karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara
simultan.
E. PENGOLAHAN LIMBAH RUMAH SAKIT
1. Pengertian Limbah Rumah Sakit
Limbah rumah sakit menurut Permenkes RI nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit
dalam bentuk padat, cair, dan gas.
Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1994 tentang pengolahan limbah
bahan berbahaya dan beracun menetapkan bahwa limbah hasil kegiatan rumah
sakit danlaboratoriumnya termasuk dalam daftar limah B3 dari sumber yang
speseifik dengankode limbah D227.
Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme
bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum
dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung bahan organik dan
anorganik yang umumnya diukur dan parameter BOD, COD, TSS, dan lain-
lain. Sementara limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah mudah
membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah-limbah tersebut
kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia
beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke
lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang
kurang memadai, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan
peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masih buruk.
Limbah benda tajam adalah semua benda yang mempunyai permukaan tajam
yang dapat melukai / merobek permukaan tubuh.
2. Jenis limbah Rumah Sakit
Sampah dan limbah rumah sakit adalah sampah dan limbah yang dihasilkan
oleh aktifitas rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Apabila dibanding
dengan kegiatan instansi lain, maka dapat dikatakan bahwa jenis sampah dan
limbah rumah sakit dapat dikategorikan komplek, karena secara umum sampah
dan limbah rumah sakit dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
a. Limbah non klinis
Limbah berasal dari kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa
karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan,
sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur
dan lain-lain) (Satmoko Wisaksono, 2000:35).
Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup
merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut
dan membuangnya.
b. Limbah klinis
Limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinari,
farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan
yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa
membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu.
Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang
terkandung didalamnya, limbah klinis dapat dikelompokan sebagai
berikut:
1) Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut
tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau
menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena,
pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini
memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui
sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin
terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan
beracun.
2) Limbah infeksius, yakni limbah yang berkaitan dengan pasien yang
memerlukan isolasi penyakit menular, diantaranya limbah
laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari
poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.
3) Limbah jaringan tubuh, yakni limbah yang meliputi organ, anggota
badan, darah, cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat
pembedahan/otopsi.
4) Limbah sitotoksit, yakni bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat sitotoksit selama peracikan,
pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksit.
5) Limbah farmasi, yakni limbah yang berasal dari obat-obat
kadaluarsa, obat-obat yang terbuang karena tidak memenuhi
spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang
dibuang oleh pasien atau masyarakat, obat-obat yang tidak lagi
diperlukan oleh institusi yang bersangkutan dan limbah yang
dihasilkan selama produksi obatobatan.
6) Limbah kimia, yakni limbah yang dihasilakan dari penggunaan
bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses
sterilisasi, dan riset. 10. Limbah radioaktif, yakni bahan yang
terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan
medis atau riset radio nukleida. Limbah ini dapat berasal dari
tindakan kedokteran nuklir.
3. Pengolahan Limbah Rumah Sakit
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume,
konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui
proses fisika, kimia atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya
pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume
bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya
mengunangi limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah (Shahib,
1999). Program minimisasi limbah di Indonesia baru mulai digalakkan, bagi
rumah sakit masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk mengurangi
jumlah limbah dan pengolahan limbah yang masih mempunyainilai ekonomi
(Shahib, 1999).
Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan
teknologi mana yang terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah
berbahaya antara lain reduksi limbah (waste reduction), minimisasi limbah
(waste minimization), pemberantasan limbah (waste abatement), pencegahan
pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source reduction)
(Hananto, 1999).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan
pertama kali karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau
mengurangi terjadinya limbah yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah
pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan
tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan secara preventif
langsung pada sumber pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan yakni
meningkatkan efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya pengolahan limbah dan
pelaksanaannya relatif murah (Hananto, 1999). Berbagai cara yang digunakan
untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah (Arthono, 2000) :
a. Pengelolaan Limbah Padat Untuk memudahkan mengenal limbah yang
akan dimusnahkan, limbah lain yang terkontaminasi dari ruang pengobatan
hendaknya ditampung pada bak penampungan limbah klinis yang mudah
dijangkau atau bak sampah yang dilengkapi dengan pelapis pada tempat
produksi limbah.kantong plastik tersebut hendaknya diambil paling sedikit
satu hari sekali atau bila tiga perempat penuh. Kemudian diikat dengan kuat
bila tiga perempat penuh atau sebelum jadwal pengumpulan sampah.
Isi kantong tidak boleh sampai longgar pada saat pengangkutan dari
bak ke bak. Sampah kemudian hendaknya dibuang sebagai berikut:
(a) Sampah dari unit haemodialisis: sampah hendaknya
dimusnahkan dengan incinerator.
(b) Limbah dari unit lain: limbah hendaknya dimusnahkan dengan
incinerator.
(c) Prosedur yang digunakan untuk penyakit infeksi harus disetujui
oleh pimpinan yang bertanggung jawab, Kepala Bagian Sanitasi,
dan Dinas Kesehatan setempat.
b. Pengolahan Limbah cair rumah sakit
Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium,
dapur, laundry, toilet, dan lain sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam
equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor untuk dicampurkan dengan gas
ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi
senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair (Harper,
1986).
Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki
koagulasi untuk dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada
tangki berikutnya. Pada proses ini, polutan mikro, logam berat dan lain-lain
sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan (Harper,
1986).
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada
tangki ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan
yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan
permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah
jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan
berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti dengan karbon aktif
baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air yang keluar dari filter karbon
aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan aman ke sungai (Harper,
1986).
Cara lain pengolahan limbah cair yaitu harus dikumpulkan dalam kontainer
yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia dan radiologi, volume, dan
prosedur penanganan dan penyimpanannya.
1) Saluran pembuangan limbah harus menggunakan sistem saluran
tertutup, kedap air, dan limbah harus mengalir dengan lancar, serta
terpisah dengan saluran air hujan.
2) Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri
atau bersama-sama secara kolektif dengan bangunan di sekitarnya yang
memenuhi persyaratan teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau
sistem pengolahan air limbah perkotaan.
3) Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit
harian limbah yang dihasilkan.
4) Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air
limbah harus dilengkapi/ditutup dengan grill.
5) Air limbah yang berasal dari laboratorium harus diolah di Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL), bila tidak mempunyai IPAL harus
dikelola sesuai ketentuan yang berlaku melalui kerjasama dengan pihak
lain atau pihak yang berwenang.
6) Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) dilakukan
setiap bulan sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7) Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau
terkena zat radioaktif, pengelolaannya dilakukan sesuai ketentuan
BATAN.
8) Parameter radioaktif diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan
radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.
c. Limbah Gas
1) Monitoring limbah gas berupa NO2, SO2, logam berat, dan dioksin
dilakukan minimal satu kali setahun.
2) Suhu pembakaran minimum 1.000oC untuk pemusnahan bakteri
patogen, virus, dioksin, dan mengurangi jelaga.
3) Dilengkapi alat untuk mengurangi emisi gas dan debu.
4) Melakukan penghijauan dengan menanam pohon yang banyak
memproduksi gas oksigen dan dapat menyerap debu.
d. Limbah Infeksius dan Benda Tajam
1) Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen
infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan pengolahan panas
dan basah seperti dalam autoclave sedini mungkin. Untuk limbah
infeksius yang lain cukup dengan cara disinfeksi.
2) Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila memungkinkan, dan
dapat diolah bersama dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga
cocok untuk benda tajam.
3) Setelah insinerasi atau disinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat
pembuangan B3 atau dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.
e. Limbah Farmasi
1) Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan insinerator
pirolitik (pyrolytic incinerator), rotary kiln, dikubur secara
aman, sanitary landfill, dibuang ke sarana air limbah atau inersisasi.
Tetapi dalam jumlah besar harus menggunakan fasilitas pengolahan
yang khusus seperti rotary kiln, kapsulisasi dalam drum logam, dan
inersisasi.
2) Limbah padat farmasi dalam jumlah besar harus dikembalikan kepada
distributor, sedangkan bila dalam jumlah sedikit dan tidak
memungkinkan dikembalikan, supaya dimusnahkan melalui insinerator
pada suhu di atas 1.000 0
f. Limbah Sitotoksis
1) Limbah sitotoksis sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang dengan
penimbunan (landfill) atau ke saluran limbah umum.
2) Pembuangan yang dianjurkan adalah dikembalikan ke perusahaan
penghasil atau distributornya, insinerasi pada suhu tinggi, dan degradasi
kimia. Bahan yang belum dipakai dan kemasannya masih utuh karena
kadaluarsa harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada
insinerator dan diberi keterangan bahwa obat tersebut sudah kedaluarsa
atau tidak lagi dipakai.
3) Insinerasi pada suhu tinggi sekitar 1.200C dibutuhkan untuk
menghancurkan semua bahan sitotoksik. Insinerasi pada suhu rendah
dapat menghasilkan uap sitotoksik yang berbahaya ke udara.
4) Insinerator pirolitik dengan 2 (dua) tungku pembakaran pada suhu
1.200C dengan minimum waktu tinggal 2 detik atau suhu 1.000C
dengan waktu tinggal 5 detik di tungku kedua sangat cocok untuk bahan
ini dan dilengkapi dengan penyaring debu.
5) Insinerator juga harus dilengkapi dengan peralatan pembersih gas.
Insinerasi juga memungkinkan dengan rotary kiln yang didesain untuk
dekomposisi panas limbah kimiawi yang beroperasi dengan baik pada
suhu di atas 850C.
6) Insinerator dengan satu tungku atau pembakaran terbuka tidak tepat
untuk pembuangan limbah sitotoksis.
7) Metode degradasi kimia yang mengubah senyawa sitotoksik menjadi
senyawa tidak beracun dapat digunakan tidak hanya untuk residu obat
tapi juga untuk pencucian tempat urin, tumpahan dan pakaian pelindung.
8) Cara kimia relatif mudah dan aman meliputi oksidasi oleh kalium
permanganat (KMnO4) atau asam sulfat (H2SO4), penghilangan nitrogen
dengan asam bromida, atau reduksi dengan nikel dan aluminium.
9) Insinerasi maupun degradasi kimia tidak merupakan solusi yang
sempurna untuk pengolahan limbah, tumpahan atau cairan biologis yang
terkontaminasi agen antineoplastik. Oleh karena itu, rumah sakit harus
berhati-hati dalam menangani obat sitotoksik.
10) Apabila cara insinerasi maupun degradasi kimia tidak tersedia,
kapsulisasi atau inersisasi dapat dipertimbangkan sebagai cara yang
dapat dipilih.
g. Benda-benda tajam; berupa jarum suntik, syring, gunting, pisau, kaca pecah,
gunting kuku dan sebagainya yang dapat menyebabkan orang tertusuk
(luka) dan terjadi infeksi. Benda-benda ini mungkin terkontaminasi oleh
darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi atau bahan sitotoksik. Limbah ini
harus dikemas dalam kemasan yang dapat melindungi petugas dari bahaya
tertusuk, sebelum dibakar dalam insinerator.
Sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 58 Tahun 1995 Tentang
: Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit, maka Setiap penanggung
jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib:
PENUTUP
A. Kesimpulan
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi
baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat
bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan.
Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia di alam bermacam-
macam sepert limbah padat, cair, B3 dan juga limbah rumah sakit. Untuk
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan setiap limbah masing-masing
mempunyai cara pengolahan yang berbeda tergantung dari jenis limbah
tersebut
B. Saran
Saran dari penulis, masyarakat harus dapat memilah dan memilih
mana limbah yang masih dapat digunakan kembali agar dapat berdaya guna
dan memiliki nilai ekonomis. Yang paling utama adalah lingkungan tetap
terjaga kebersihannya dan derajat kesehatan masyarakat dapat tercapai
setinggi mungkin.
Masyarakat disarankan untuk terus mencari tahu berbagai cara
pengolahan dari setiap jenis limbah agar dapa mngurangi residu pencemaran
yang kiat hari semakin meningkat
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M., 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Indonesia
Djoko S (2001). Pengelolaan limbah rumah sakit. Sipil Soepra : jurnal sipil 3(8):
91-9
Udin Jabu, Dkk,. Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja Dan Air Limbah Pada
Institusi Pendidikan Sanitasi/Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Pusdiknakes.