Anda di halaman 1dari 4

Kerangka pemikrian Muhammad bin Abd.

Wahab berangkat dari pemahaman ketauhidan kepada


Allah.

Ia membagi ketauhidan menjadi dua, yaitu tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah. Tauhid
uluhiyah artinya tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan
penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allalh, yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat
Laa Ilaaha Illallah. Selain itu hanya berbakti kepada-Nya saja. Dengan kata lain, kepercayaan
bahwa Tuhan yang menciptakan alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepadanya.
Sedangkan tauhid rububiyah artinya kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tapi
tidak dengan mengabdi kepada Allah.

Dalam pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab, tauhid uluhiyah inilah yang dibawa oleh para
nabi dan rasul, smentara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian manusia
kepada selain Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk
menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah.
Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik. Seperti
mengunjungi makam para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu
mendatangkan keuntungan atau kesusahan. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia
yang dapat didekati melalui para tokoh mereka.

Menurut Muhammad bin Abd. Wahab, pemurnian akidah merupakan pondasi utama dalam
pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan
metode pendidikan yang paling efektif. Hal ini sejalan dengan pemikiran Muhammad bin Abd.
Wahab agar umat manusia kembali kepada Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan
yang sangat baik bagi manusia.

Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran Ibn Taimiyah
dan Mazhab Hambali, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Esa yang mutlak


2. Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan Hadits
3. Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan pemberian amal
4. Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia
5. Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits
6. Percaya akan takdir
7. Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar

Menurutnya, manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan
Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bidah dan mengarahkan agar orang beribahad
dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, syekh atau kuburan. Jika akidah mereka
bersih seperti akidah para pandahulunya yang menjunjung tinggi kalimat Laa Ilaaha Illallah
yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka
kaum muslimin pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.

Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan


pemikiran pembaharuan pada periode modern,[1] diantaranya:
1. Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam,
pendapat ulama tidak merupakan sumber
2. Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan
3. Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka

[1] Suwitno dan fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003).
Hlm. 273.

Pemikiran Kalam Muhammad Ibnu Abdul Wahab

Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama
Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul
Wahab (1703-1787 M). Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah
upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan
umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang
sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam

Di setiap negara Islam yang dikunjunginya, Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam
syekh tarikat. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam sekh atau walinya masing-
masing. Umat Islam pergi ke makam-makam itu dan meminta pertolongan dari syekh atau wali
yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang
meminta diberi anak, jodoh, disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi
kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang
berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia. Menurut paham
Wahabiah, perbuatan ini termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan
kepada Allah SWT.

Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini.
Pokok-pokok pemikiran Muhammad Abdul Wahab yaitu:[3]
1. Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah
dinyatakan sebagai musyrik
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib.
Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan musyrik
3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa dikatakan sebagai syirik
4. Meminta syafaat selain kepada Allah adalah perbuatan syrik
5. Bernazar kepada selain Allah merupakan sirik
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Quran, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
7. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran
8. Menafsirkan Al Quran dengan takwil atau interpretasi bebas termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi
denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham
syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab
yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah
sebagai berikut:[4]
1. Hanya Al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
3. Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup

Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan pemikirannya. Ia


mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Suud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-
paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di
tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia
tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama
Wahabiyah.

Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-dawah (pejuang dakwah),
bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan kerajaan yang daerahnya meluas sampai
meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.

Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa pemilihan yang masih dalam
lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada nash dan ucapan para tokohnya-khususnya
ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah
(661-728 H/1263-1328 M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya
adalah pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang memurnikan
akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bidah, dan khurafat. [5]

Di samping itu, dari beberapa hal yang dikemukakannya di atas yang sangat diperhatikannya
adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa
Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti
mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu
mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang
dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia
yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia
telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain,
sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat
memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?

Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan
dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain
Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli
fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat
untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu
ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan
kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu
ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau
fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.

Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah. Atas
dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial. Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang
batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-quran dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk
bidah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdoa hanya untuk Allah, bukan untuk para
wali, syeikh, atau kuburan. Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang
suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah
mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang
menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai
Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum
Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para
pendahulu mereka.[6]

Anda mungkin juga menyukai