Anda di halaman 1dari 6

REFERAT ETIKA KEDOKTERAN

SAKSI AHLI TIDAK IMPARTIAL

A. Definisi
Impartial berasal dari bahasa inggris yaitu impartiality yang memiliki
arti sifat tidak memihak, sikap atau sifat jujur, sikap atau sifat adil, kejujuran,
keadilan, sifat atau sikap netral (Echols J. dan Hassan S., 2010). Sedangkan
saksi ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan
keahlian khusus sebagai dasar dalam memberikan keterangan pada suatu
perkara pidana (Susanti R., 2013). Menurut Franklin dalam Susanti R. (2013)
saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan
pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatu kejadian, baik
yang ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu
menyampaikan pendapatnya tersebut. Dua definisi kata tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa saksi ahli tidak impartial yaitu seseorang yang
memiliki pengetahuan, pengalaman dan keahlian khusus tetapi memihak
pada salah satu dari dua pihak atau lebih dengan kata lain orang tersebut
tidak jujur atau tidak netral dalam memberi kesaksian di pengadilan.
Pasal 27 pada pedoman Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
mengenai saksi dan saksi ahli (IDI, 2008) disebutkan bahwa saksi ahli yaitu
dokter yang memiliki keahlian dan keilmuan yang tidak terkait langsung
dengan kejadian atau perkara dan tidak memiliki hubungan keluarga atau
kedinasan dengan dokter teradu atau dengan pasien pengadu. Saksi ahli
tersebut harus diambil dari dokter praktisi yang sama jenis keahlian atau
keseminatannya dan setara fasilitas tempat bekerjanya dengan dokter teradu
atau yang ditunjuk oleh Perhimpuan Dokter Spesialis/Seminat atau perangkat
dan jajaran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) lainnya atas permintaan MKEK.
Selain itu, berdasarkan Ethical Guidelines for Doctors Acting as
Medical Witnesses dalam Susanti (2013) terdapat dua jenis saksi medis yaitu

1
saksi fakta (dokter yang merawat) dan saksi pendapat (ahli independen).
Seorang dokter (teman sejawat dokter tergugat) yang turut serta dalam
memeriksa, merawat, atau memberikan penatalaksanaan pada pasien
merupakan saksi fakta sehingga dokter tersebut diminta mempresentasikan
bukti medis yang telah dilakukannya dan memberi indormasi yang faktual
terkait hasilnya. Sedangkan dokter sejawat yang tidak menangani pasien
tersebut tetapi memiliki keahlian dalam bidang tersebut disebut saksi ahli.
Seseorang yang dipilih sebagai saksi ahli, harus cukup siap dan harus
bersaksi dengan jujur dan benar dalam persidangan (Grobler, 2007). Saksi
ahli juga harus mampu memberikan bukti dan berlaku obyektif tentang hal-hal
dalam bidang keahliannya (Expert Evidance, 2015). Dokter sebagai saksi
ahli dapat membantu pengadilan dalam dua cara, yaitu dengan
memberikan pendapat ahli berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya terhadap fakta dan menginformasikan pengadilan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keahlian khusus mereka (Susanti
R., 2013).

B. Prevalensi dan epidemiologi kasus


Saksi ahli tidak impartial belum diketahui berapa banyak jumlahnya di
Indonesia maupun negara lain.

C. Etiologi/penyebab
Solidaritas dokter terhadap teman sejawatnya merupakan penyebab
yang mendasari seorang saksi ahli menjadi tidak impartial di dalam
persidangan (Achadiat, 2006). Aksi solidaritas tersebut didasari oleh
pengertian yang salah dari salah satu hukum yang berlaku bagi dokter bahwa
teman sejawat akan saya perlakukan sebagaimana saya ingin diperlakukan
(KODEKI dalam Achadiat, 2006) dan pemikiran yang salah bahwa tindakan

2
dokter tidak dapat dipersalahkan atau dituntut jika bermaksud untuk
menolong pasien dan demi kemanusiaan.

D. Dilema etik yang dihadapi ditinjau dari sisi medis, ekono-sosio kultural, dan
Islami perspektif
Sanksi yang didapatkan oleh dokter yang melakukan malpraktik atau
dokter yang melanggar aturan hukum kedokteran bisa menyebabkan banyak
kerugian pada dokter tersebut. Uang ganti rugi yang harus diberikan oleh
seorang dokter mungkin tidak sebanding dengan gaji yang biasa ia peroleh
sehingga menyebabkan masalah tersendiri di dalam keluarganya. Masalah
keuangan selalu dapat berimbas pada psikis seseorang. Sebagai manusia
biasa, tidak menutup kemungkinan seorang dokter juga mengalami hal
tersebut. Pencabutan Surat Ijin Praktek (SIP) juga bisa terjadi pada kasus
berat sehingga dokter tersebut tidak bisa melanjutkan profesinya. Hal
tersebut juga akan menimbulkan berbagai dampak tersendiri bagi dirinya dan
keluarganya. Kerugian yang mungkin tidak kecil tersebut dapat menjadi salah
satu dilema bagi dokter saksi ahli kepada rekan sejawatnya.
Sedangkan agama Islam selalu mengajarkan pada seluruh umatnya
untuk memiliki sifat jujur. Jujur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
(2002), memiliki makna lurus hati atau tidak berbohong (misalnya dengan
berkata apa adanya). Rasulullah bersabda yang artinya Sesungguhnya
kejujuran menunjukkan pada kebajikan dan kebajikan menunjukkan pada
surga. Seseorang senantiasa berbuat jujur hingga ditetapkan baginya watak
jujur (HR. Bukhari). Allah juga berfirman Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
jujur (At-Taubah: 119). Secara umum kejujuran ditampilkan melalui tiga hal
yaitu ucapan lisan, air muka, dan penampilan (Ahmadi, 2004). Ahmadi (2004)
juga berpendapat bahwa ucapan yang jujur berarti ucapan yang bertanggung
jawab dan yang diucapkan adalah sesuatu yang ada di dalam hati dan

3
pikiran. Hal yang diucapkan merupakan hal yang dikerjakan (satu kata satu
tindakan).

E. Pendapat terkait solusi/penyelesaian dilema etik


Sebagai salah satu calon dokter, saya pasti tidak tega jika teman
sejawat saya terseret kasus hukum dan mungkin ada rasa belas kasihan
kepada sejawat tersebut. Akan tetapi, hukum dibentuk untuk mengatur hidup
masyarakat agar tidak bertindak semaunya sendiri sehingga tidak merugikan
hidup orang lain. Tujuan dan maksud untuk menolong sesamapun ada aturan
dan ilmunya, tidak asal-asalan. Oleh karena itu, seorang dokter yang menjadi
saksi ahli dalam suatu persidangan teman sejawatnya haruslah tetap
berdasar hukum yang berlaku di negaranya. Sedangkan dalam ajaran Islam
yang telah mengatur seluruh kehidupan manusia, telah diatur pula
bagaimana seharusnya seorang muslim bertindak. Jujur dalam segala hal
merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Sifat
jujur tersebut langsung diperintahkan oleh Allah dan nabiNya melalui Al-
Quran dan hadist sehingga tidak ada alasan lagi bagi seluruh umat muslim
untuk tidak memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya.
Selain itu, kewajiban seorang dokter terhadap teman sejawatnya
(seperti yang tertera pada salah satu lafal sumpah dokter saya akan
memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan) bukan dalam bentuk keburukan atau kejahatan. Dijelaskan
dalam IDI (2002), solidaritas antar sejawat berupa saat berhadapan dengan
pasien tidak boleh memperlihatkan jika tidak sepaham dengan teman
sejawatnya (dengan menyindir atau dengan sikap yang menjurus kearah hal
tersebut). Disebutkan juga jika kunjungan pasien ke kita merupakan
kunjungannya yang kedua atau lebih dokter, jangan sekali-kali memberi
kesempatan pada pasien untuk menjelekkan nama teman sejawat yang lebih
dulu menolongnya.

4
F. Kesimpulan
Kesaksian seorang saksi ahli sangat dibutuhkan di pengadilan untuk
menyelesaikan suatu masalah. Kesaksian tersebut harus didasarkan pada
ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh saksi ahli dan disampaikan dengan
sejujur-jujurnya tanpa memandang siapa yang duduk sebagai penggugat dan
tergugat. Solidaritas terhadap teman sejawat tidak dapat digunakan pada
persoalan yang menyangkut hukum yang berlaku bagi para dokter. Ketika
seorang dokter tersangkut ranah hukum karena kelalaiannya, tidak
selayaknya seorang saksi ahli memberi kesaksian untuk membela dokter
yang terbukti bersalah karena hal tersebut akan merugikan banyak pihak dan
dikhawatirkan akan terjadi kasus serupa pada pasien-pasien dokter tersebut
kelak dikemudian hari.

5
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, C. M., 2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam


Tantangan Zaman. EGC: Jakarta.
Ahmadi, W., 2004. Risalah Akhlak, Panduan Perilaku Muslim Modern. Era
Intermedia: Solo.
Echols, J. dan Hassan S., 2010. Kamus Inggris Indonesia. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Expert Evidance, 2015.
Grobler, S., 2007. The Role of the Expert Witness. The South African
Gastroenterology Review.
IDI, 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta.
IDI, 2008. Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran.Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT).
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Balai Pustaka: Jakarta.
Susanti R., 2013. Peran Dokter sebagai Saksi Ahli Di Persidangan.Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013; 2(2).

Anda mungkin juga menyukai