Anda di halaman 1dari 41

SISTEM PENGENDALIAN STRATEJIK PENEKANAN PADA

PENGENDALIAN KEUANGAN

MAKALAH
AKUNTANSI MANAJEMEN LANJUTAN

Dosen Pengampu:
Abdul Ghofar, DBA., Ak.,CPMA.,CA

OLEH:
Wa Ode Irma Sari 160020110011011
Wiwid Sukamto 160020110011024

JOINT PROGRAM REGULER II A


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
Kata Pengantar

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat ridho
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam tidak lupa selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Alhamdulillah makalah yang diberi judul Sistem Pengendalian Stratejik Penekanan
Pada Pengendalian Keuangan dapat terselesaikan dengan baik melalui bantuan berbagai
pihak yang terkait.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna,
karena itu kritik, saran dan masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan pendidikan di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Malang, Desember 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keterbatasan-keterbatasan dalam akuntansi akhir-akhir ini menjadi luas karena adanya


permintaan atau kebutuhan dan teknologi baru atas bagian yang selama ini dicari oleh
pemakain akuntansi sebagai bentuk dukungan dalam pelaporan akuntansi. Pertumbuhan yang
signifikan dalam manajemen penyedia baru bagi system informasi yang terdapat di setiap
organisasi selalu menjadi pemicu hadirnya kebutuhan-kebutuhan klien seperti di atas. Setiap
klien membutuhkan suatu dukungan untuk perancangan dan penerapan system-sistem
pengendalian keuangan. Pada kesempatan inim akan dibicarakan mengenai masalah-masalah
yang terkait dengan topic pengendalian dan dampak dari desain serta implementasi dan system
pengendalian keuangan.

Fokus utama dalam subsistem pengendalian keuangan adalah pada perilaku dari orang-
orang yang ada dalam organisasi dan bukan pada mesin.oleh karena itu, pengendalain
keuangan dapat dipahami secara baik melalui penekanan pada pentingnya asumsi-asumsi
keprilakuan. Sasaran perilaku utama dari pengendalian keuangan dapat dijelaskan
menggunakan definisi pengendalian secara umum. Pada umumnya, pengendalian
didefinisikan sebagai suatu inisiatif yang dipili, yang akan mengubah kemungkinan dari
pencapaian hasil yang diharapkan. Definisi pengendalian telah didasarkan pada konsep
kepercayaan dan konsep kemungkinan.
Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan desain pengendalian internal mencerminkan
pengalaman dari profesi audit. Pengalaman yang tidak terlihat tersebut dapat digunakan untuk
merancang dan menginplementasikan sistem pengendalian keuangan melalui perluasan
seperangkat tujuan yang dimiliki dari informasi akuntansi guna mencakup proses
adfministratif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis pusat pertanggung jawaban (responsibility center) ?
2. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap biaya (cost center)?
3. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap pendapatan (revenue center)?
4. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap laba (profit center) ?
5. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap laba dan investasi (investment center)
?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui jenis pusat pertanggung jawaban (responsibility center).
2. Untuk mengetahui pusat pertanggung jawaban terhadap biaya (cost center).
3. Untuk mengetahui pusat pertanggung jawaban terhadap pendapatan (revenue
center).
4. Untuk mengetahui pusat pertanggung jawaban terhadap laba (profit center).
5. Untuk mengetahui pusat pertanggung jawaban terhadap laba dan investasi
(investment center).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 JENIS-JENIS PUSAT PERTANGGUNG JAWABAN

Konsep sistem pengendalian manajemen ini membagi departemen-departemen yang


ada dalam perusahaan menjadi pusat-pusat pertanggung jawaban (responsibility Centers).
Setiap responsibility centers diberikan wewenang untuk melakukan pengambilan keputusan,
dan efektivitas dari keputusan yang diambil akan dievaluasi berdasarkan hasil-hasil keuangan
yang dicapai.

Empat jenis responsibility Centers, yaitu:

1. Cost Center (Bagian yang bertanggungjawab terhadap Biaya)


2. Revenue Center (Bagian yang bertanggungjawab terhadap Pendapatan)
3. Profit Center (Bagian yang bertanggungjawab terhadap Laba)
4. Investment Center (Bagian yang bertanggungjawab terhadap Laba dan Investasi)

2.1.1 COST CENTER

Bagian yang diperlakukan sebagai cost center, secara financial hanya


bertanggungjawab terhadap biaya-biaya yang mereka keluarkan. Hal ini disebabkan
keputusan-keputusan yang diambil oleh bagian tersebut, secara keuangan hanya berpengaruh
terhadap biaya. Cost center dapat dibagi menjadi 2 bagian:

1. Engineered cost center


Hubungan antara input dan output dapat dikuantifisir. Contoh Engineered cost
center adalah Departemen Produksi. Misalnya, untuk memproduksi 1 unit barang
(output) dibutuhkan 5 kg bahan mentah (input), sehingga jika departemen tersebut
mempergunakan 5.000 kg barang, seharusnya hasil produksi adalah 1.000 unit barang.
Cotoh dari engineered cost center adalah departemen produksi.
2. Discretionary cost center
Hubungan antara input dan output yang sulit dikuantifisir. Misalkan, jika dalam
departemen riset dan pengembangarkan pengalaman tahun lalu perusahaan
mengeluarkan biaya Rp1.000.000.000 untuk menemukan satu produk baru, maka tidak
ada jaminan jika perusahaan mengeluarkan Rp2.000.000.000 tahun ini, maka akan
ditemukan dua jenis produk baru. Selain departemen riset dan pengembangan, contoh
lain dari jenis cost center ini adalah departemen pemasaran, departemen akuntansi,
departemen sumber daya manusia, dan sebagainya.

2.1.1.1 Analisis Pertanggungjawaban Cost Center

Analisis Pertanggungjawaban untuk Engineered Cost dilakukan dengan menggunakan


biaya standar. Hal ini disebabkan waktu menyusun anggaran, biaya-biaya ini disususn dengan
menggunakan standar. Standar yang dibuat adalah standar kuantitas dan standar harga per
unit. Analisis biaya standar untuk biaya variabel seperti bahan mentah langsung adalah
sebagai berikut:

1. Analisis Varians untuk biaya Variabel Biaya Bahan Mentah Langsung

Biaya bahan mentah langsung merupakan biaya variabel, artinya semakin banyak unit
yang diproduksi maka semakin banyak pula jumlah bahan mentah langsung yang dipakai.
Akibatnya, analisis varians untuk biaya bahan mentah langsung tidak dapat dilakukan dengan
jumlah unit produksi yang berbeda, tapi harus dilakukan dengan mempergunakan unit
produksi yang sama adalah 1 unit mempergunakan 2 kg bahan mentah langsung. Standar
biaya untuk 1 kilogram bahan mentah langsung adalah Rp5.000 per kilogram. Dengan
demikian anggaran biaya bahan mentah langsung untuk tahun 2014 adalah 10.000 x 2 x
Rp5.000 = Rp100.000.000. kenyataannya pada tahun 2014 perusahaan memproduksi 11.000
unit barang, dengan biaya bahan mentah langsung aktual sebesar Rp106.425.000. Hasil
tersebut memperlihatkan adanya varians yang tidak baik (unfavorable) sebesar Rp6.425.000.

Varians tersebut tidak mencerminkan bahwa kinerja dari cost center tersebut kurang
baik, karena selisih tersebut diperoleh dengan memperbandingkan dua tingkatan volume
produksi yang berbeda. Untuk memperoleh perbandingan yang benar, maka harus dibuat
anggaran bahan mentah langsung dengan tingkatan produksi sebesar 11.000 unit, yaitu
1.000x2xRp5.000 = Rp110.000.000. Jika jumlah ini diperbandingkan dengan biaya bahan
mentah langsung aktual, maka pengeluaran biaya bahan mentah langsung aktual perusahaan
adalah Rp3.575.000 lebih rendah dibngan standar atau anggarannya.

Penyebab selisih tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu varians harga (price
variance) yang dapat dicari dengan rumus sebagai berikut:

Varian harga (Price Variance) = (Harga beli aktual bahan mentah langsung per unit
Harga beli bahan mentah langsung per unit standar) x Total aktual unit bahan mentah
langsung yang dibeli/dipakai.
Jika dalam rumus tersebut yang dipakai adalah total unit bahan mentah yang dibeli,
maka nama variannya adalah varians harga beli (Purchase price variance), namun bila yang
dipakai adalah unit yang dipergunakan, maka varians tersebut dinamakan dengan varian harga
penggunaan (Usage price variance.
Sedangkan varians kedua adalah varians penggunaan (quantity variance), yang dapat
dicari dengan mempergunakan rumus sebagai berikut:

Varian Penggunaan (Quantity Variance) = (Jumlah aktual bahan mentah langsung yang
dipergunakan Jumlah bahan mentah langsung yang seharusnya dipergunakan sesuai
standar) x Harga standar per unit bahan mentah langsung.

Misalkan, ternyata perusahaan memakai 21.500 kg unit bahan mentah langsung yang
dibeli dengan harga Rp4.950 per kg, maka besarnya varians harga adalah (Rp4.950
Rp5.000) x 21.500 kg = Rp1.075.000. Varians ini baik (favorable) karena harga beli aktual
lebih rendah dari yang dianggarkan. Sedangkan besarnya varians penggunaan adalah (21.500
kg 22.000 kg) x Rp5.000 = Rp2.500.000. Varians ini juga bersifat baik (favorable), karena
pemakaian bahan mentah langsung aktual lebih rendah dari pada standar yang ditetapkan. Cost
center tersebut harus mencari penyebab timbulnya varians ini, sebagai upaya untuk
memperbaiki kinerjanya.

2. Analisis Varians Biaya Buruh Langsung Biaya Tetap

Hampir semua buku akuntansi manajemen dan akuntansi biaya mengasumsikan biaya
buruh langsung sebagai biaya variabel. Jika memang hal tersebut yang terjadi dalam
perusahaan, maka analisis varians untuk biaya buruh langsung akan sama dengan analisis
varians untuk biaya bahan mentah langsung. Namun demikan, kebanyakan perusahaan saat
ini memilki karyawan produksi yang memilki gaji tetap per bulannya. Misalkan, seseorang
hanya ditugaskan untuk membuat satu jenis produk, karena itu biaya gaji karyawan tersebut
merupakan biaya langsung. Namun, karyawan tersebut merupakan karyawan tetap
perusahaan yang digaji dalam jumlah yang tetap per bulannya. Dalam hal ini, karyawa
perusahaan merupakan buruh langsung yang memilki gaji yang merupakan biaya tetap. Untuk
kondisi seperti ini, maka analisis varians harus dilakukan dengan cara yang berbeda.

Misalkan, PT. Kursi Sederhana memilki 7 orang karyawan yang bertugas untuk
memproduksi kursi. Perusahaan hanya memproduksi satu jenis kursi, sehingga biaya gaji dari
ketujuh karyawan tersebut adalah biaya buruh langsung. Setiap orang diberikan gaji sebesar
Rp3.000.000 per bulannya. Pada tahun 20X4 perusahaan menganggarkan untuk membuat
20.000 unit kursi. Untuk membuat 1 unit kursi diperlukan 25 menit buruh langsung.

Saat perusahaan menyusun anggaran, maka angka yang akan terlihat adalah sebagai
berikut:

Tabel 1. Penyusunan Anggaran Biaya Buruh Langsung


Biaya gaji buruh langsung (7 orang x 12 bulan x Rp3.000.00) Rp 252.000.000.00

Kapasitas Praktikal (365 hari 104 hari - 12 hari cuti 12 hari libur

X 6 jam x 7 orang x 60 menit 597.240.00

Tarif buruh per menit Rp 421.94

Total gaji buruh terpakai (20.000 unit x 25 menit x Rp421.94) Rp 210.970.464.14

Kapasitas menganggur (597,240 menit 500,000 menit) x Rp421.94 Rp 41.029.535.86

Total biaya gaji buruh langsung Rp 252.000.000.00

Kenyataanya, pada tahun 20X4 perusahaan memproduksi 20.500 unit kursi, dengan
total penggunaan menit buruh langsung sebanyak 514.000 menit. Karena banyakanya
tuntutan buruh, maka perusahaan terpaksa menaikkan gaji buruh menjadi Rp3.300.000 per
bulan dimulai pada pembayaran gaji bulan juli 20X4. Varians pertama dalam biaya buruh
langsung muncul karena perusahaan harus membayarkan gaji yang lebih tinggi dari yang
dianggarkan. Hal ini akan menimbulkan selisih antara jumlah total gaji buruh aktual yang
dibayarkan dengan total gaji buruh yang dianggarkan. Selisih ini disebut dengan Direct Labor
Spending Variance, seperti digambarkan dalam tabel berikut:

Biaya buruh langsung aktual (Rp3.300.000 x 7 orang x 6 bulan) +

(Rp3.000.000 x 7 orang x 6 bulan) Rp 264.600.000.00

Biaya buruh langsung yang dianggarkan Rp 252.000.000.00

Direct Labor Spending Variance Rp 12.600.000.00

Sedangkan analisis varians penggunaan buruh langsung dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Direct Labor Volume Variance Varians ini muncul karena adanya perbedaan antara
jumlah unit produksi yang dianggarkan untuk diproduksi dengan unit yang benar-
benar diproduksi.
Dalam hal ini, perusahaan menganggarkan untuk membuat 20.000 unit kursi dengan
total jam buruh langsung sebanyak 500.000 menit. Kenyataannya, perusahaan
memproduksi 20.500 unit kursi , sehingga memerlukan 512.500 menit sesuai dengan
standar yang ditetapkan. Selisih menit produksi inilah yang dinamakan dengan Direct
Labor Volume Variance.
2. Dicert Labor Efficiency variance Varians ini mengukur antara menit yang benar-
benar dipakai untuk memproduksi barang dengan menit yang seharusnya dipakai
berdasarkan standar.
Dalam contoh soal ini, perusahaan ternyata menggunakan 514.000 menit untuk
memproduksi 20.500 unit kursi, sedangkan waktu sesuai standar adalah 512.500
menit, sehingga terjadi ketidak efisienan sebesar 1.500 menit.
3. Direct Labor Idle Capacity Variance Varians ini mengukur selisih antara kapasitas
praktikal buruhlangsung yang dimiliki perusahaan dengan kapasitas yang benar-benar
terpakai. Selisih ini mencerminkan kapasitas menganggur yang sebenarnya terdapat
dalam perusahaan.

Rincian dari ketiga analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Direct Labor Volume Variance

(512.500 menit 500.000 menit) x Rp421.94 Rp 5.274.261.60

Direct Labor Efficiency Variance

(514.500 menit 512.500 menit) x Rp421.94 Rp 632.911.39

Direct Labor Idle Capacity Variance

(597.240 menit 514.000 menit) x Rp421.94 Rp 35.122.362.87

Total Direct Labor Usage Variance Rp 41.029.535.86


3. Analisis Varians Biaya Overhead Pabrik

Analisis Variance untuk Biaya


528.000 Unit
Overhead Pabrik 585.000 Unit
Aktual Anggaran Varians
Biaya Bahan Mentah Tidak
Langsung 2.673.450 2.050.000 623.450 u
Biaya Buruh Tidak Langsung 3.560.000 3.450.000 110.000 u
Biaya Listrik untuk Pabrik 2.134.765 1.855.000 279.765 u
Biaya Makan Buruh Pabrik 612.550 510.000 102.550 u
Biaya penyusutan Mesin 2.900.000 2.900.000 -
Biaya Penyusutan Gedung Pabrik 1.300.000 1.300.000 -
Biaya Asuransi 300.000 300.000 -
Biaya Pemeliharaan Mesin 325.885 294.000 31.885 u
Biaya Pemeliharaan Kebersihan 168.555 166.000 2.555 u
Biaya Overhead Pabrik Lain-lain 133.485 111.000 22.485 u
Total Biaya Overhead Pabrik
(BOP) 14.108.690 12.936.000 1.172.690 u
Tabel 4. Analisis Varians untuk Biaya Overhead Pabrik

Biaya overhead pabrik sebenarnya masuk dalam kategori biaya discreationary, karena
tidak adanya hubungan yang dapat dikuantifisir antara input dan output yang dihasilkan.
Karena itu analisis yang dilakukan adalah seperti yang ditunjukkan pada tabel diatas.

Karena anggaran biaya overhead tidak disususn berdasarkan standar kuantitas, maka
cara analisis varians seperti biaya bahan mentah langsung dan biaya buruh langsung tidak
dapat dilakukan. Analisis varians hanya dilakukan dengan memperbandingkan antara biaya
aktual dengan biaya yang dianggarkan, sedangkan penjelasan mengenai varians dilakukan
secara subyektif. Cara ini juga dikenal sebagai perbandingan antara realisasi versus rencana.
Karena proses analisis seperti ini kurang berarti, maka diperlukan tolak ukur lainnya yang
bersifat non keuangan untuk menilai efektifitas dari biaya-biaya ini.

Misalkan, biaya pemeliharaan mesin yang dikeluarkan perusahaan ternyanta 10,8% lebih
tinggi dari anggaran. Hal tersebut belum tentu menunjukkan bahwa biaya pemeliharaan
tersebut tidak efisien. Bagian pemeliharaan bisa saja beragumentasi bahwa unit aktual yang
diproduksi lebih besar dari yang dianggarkan, sehingga biaya pemeliharaan aktual melebihi
yang dianggarkan. Selama kelebihan biaya pemeliharaan sudah disetujui oleh tingkat yang
berwenang, maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah. Yang harus difokuskan adalah,
apakah jumlah biaya pemeliharaan tersebut benar-benar dapat efektif mencapai tolak ukur
yang berkaitan dengan pemeliharaan tersebut, misalkan tidak ada breakdown mesin.

2.2 Analisis Varians untuk Pusat Pendapatan (Revenue Center)

Contoh dari revenue center adalah departemen pemasaran dan penjualan. Departemen
yang diperlakukan sebagai revenue center bertanggungjawab terhadap pendapatan yang
diperoleh departemen tersebut. Namun, departemen tersebut juga bertanggungjawab terhadap
biaya-biaya yang dikeluarkannya. Misalkan departemen pemasaran dan penjualan bukan
hanya bertanggungjawab terhadap pendaptan yang dihasilkan,namun juga bertanggungjawab
terhadap biaya yang dikeluarkannya.

Evaluasi terhadap keberhasilan dari sebuah pusat pendapatan (revenue center) dapat
dilakukan dengan Konsep Sales Variance Anaysis, dengan skema sebagai berikut:

VARIANS
ANGGARAN
STATIS

VARIANS VARIANS
ANGGARAN VOLUME
FLEKSIBEL PENJUALAN

VARIANS VARIANS
VARIANS VARIANS
BIAYA BAURAN
HARGA JUAL KUANTITAS
VARIABEL PENJUALAN

VARIANS
VARIANS
PANGSA
BESAR PASAR
PASAR

Penjelasan dan Rumus Perhitungan Varians Penjualan:


a. Varians anggaran statis (static budget variance) merupakan selisih antara total marjin
kontribusi aktual yang diperoleh perusahaan dengan total marjin kontribusi yang
dianggarkan.
b. Terdapat dua hal yang menyebabkan timbulnya varians anggaran statis, yaitu varians
anggaran fleksibel (fleksibility budget variance) dan varians volume penjualan (sales
volume variance).
c. Nama lain dari varians anggaran flexible adalah varians marjin kontribusi
(contribution margin variance).
d. Rumus perhitungan varians anggaran flexible adalah (marjin kontribusi aktual per unit
dikurangi dengan marjin kontribusi anggaran per unit) dikalikan dengan aktual unit
terjual.
e. Varians anggaran fleksibel atau varians marjin kontribusi disebabkan karena adanya
selisih marjin kontribusi aktual dengan marjin kontribusi yang dianggarkan. Selisih
marjin kontribusi tersebut disebabkan dua hal, pertama terdapat selisih antara harga
jual per unit aktual dengan harga jual per unit dianggarkan, dan yang kedua adalah
selisih antara biaya variabel per unit aktual dengan biaya variabel per unit yang
dianggarkan.
f. Selisih antara harga jual per unit aktual yang aktual dengan yang dianggarkan akan
tercermin dalam varians harga jual (sales price variance), sedangkan selisih antara
biaya variabel per unit aktual dengan biaya variabel per unit yang dianggarkan akan
tercermin dalam varians biaya variabel (variable cost variance).
g. Rumus perhitungan varians harga jual adalah (biaya variabel per unit aktual harga
jual per unit yang dianggarkan ) x jumlah aktual unit terjual.
h. Rumus perhitungan varians biaya variabel adalah (biaya variabel per unit aktual
biaya variabel per unit yang dianggarkan) x jumlah aktual unit terjual.
i. Varians volume penjualan (sales volume varians) terjadi karena adanya selisih antara
volume penjualan aktual dengan volume penjualan yang dianggarkan untuk masing-
masing produk.
j. Rumus dari varians volume penjualan adalah (volume penjualan aktual volume
penjualan yang dianggarkan) x marjin kontribusi per unit.
k. Penyebab timbulnya varians volume penjualan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
varians bauran penjualan dan varians kuantitas penjualan.
l. Varians bauran penjualan (sales mix variance) muncul karena bauran penjualan aktual
yang dicapai perusahaan berbeda dengan bauran penjualan yang dianggarkan.
m. Perusahaan akan memiliki varians bauran penjualan yang menguntungkan (favorable)
apabila perusahaan dapat menjual produk-produk yang memiliki marjin kontiibusi
perunit yang lebih tinggi dalam volume yang lebih besar dibandingkan dengan yang
dianggaikan.
n. Rumus untuk menghiiung varians bauran penjualan adalah (bauran penjualan aktual
bauran penjualan yang dianggarkan) X total unit aktual barang terjual X marjin
kontribusi perunit.
o. Varians kuantitas penjualan {sales quantity variance) mengukur besarnya varians yang
timbul karena terdapatnva perbedaan antara total volume barang yang dapat dijual
perusahaan dengan total volume barang yang dianggarkan untuk dijual. dengan asumsi
perusahaan dapat menjual sesuai dengan bauran penjualan yang dianggarkan.
p. Rumus untuk menghitung varians kuantitas penjualan adalah (total volume penjualan
aktual total volume penjualan yang dianggarkan) X bauran penjualan yang
dianggarkan X marjin koniribusi perunit.
q. Arti total volume penjualan aktual dalam rumus perhitungan varians kuantitas
penjualan adalah total penjualan untuk semua produk yang dihasilkan perusahaan,
bukan penjualan per masing-masing produk.
r. Varians kuantitas penjualan muncul disebabkan karena dua hal, yaitu varians pangsa
pasar ( market share variance ) dan varians besar pasar (market size variance).
s. Perhitungan varians pangsa pasar dan varians besar pasar biasanya tidak dilakukan per
jenis produk, namun dilakukan secara gabungan untuk seluruh jenis produk yang
dihasilkan perusahaan. Karena marjin kontribusi yang dianggarkan untuk masing-
masing produk berbeda, niaka terlebih dahulu harus dilakukan perhitungan rata-rata
tertimbang marjin kontribusi (weighted average contribution margin).
t. Rumus perhitungan weighted average contribution margin adalah (Z bauran penjualan
masing-masing produk dikahkan dengan marjin kontribusi per unit yang dianggarkan
dari masing-masing produk).
u. Varians pangsa pasar terjadi karena adanya selisih antara pangsa pasar yangditargetkan
untuk dicapai dengan pangsa pasar yangbenar-benar dapat tercapai. Rumus
perhitungan varians pangsa pasar adalah (pangsa pasar aktual - pangsa pasar yang
ditargetkan) X total aktual penjualan industri X weighted average contribution margin.
v. Varians besar pasar terjadi karena besarnya permintaan industri yang diperkirakan
perusahaan berbeda dengan besarnya permintaan aktual dalam industri tersebut.
Rumus untuk menghitung varians besar pasar adalah (Besar aktual permintaan dalam
industri - Besar permintaan industri yang diperkirakan perusahaan) X pangsa pasar
yang dianggarkan X weighted average contribution margin.
w. Penyebab terjadinya varians besar pasar biasanya disebabkan oleh faktor-faktor diluar
kendali perusahaan.

Contoh Soal Analisis Varians Penjualan

Misalkan, PT Berdikari Sentosa adalah perusahaan yang khusus memproduksi lemari.


Ada tiga jenis lemari yang diproduksi perusahaan, yaitu lemari tipe A, tipe B, dan tipe C.
lnformasi mengenai anggaran dan hasil aktual yang dicapai perusahaan pada tahun 20X4
adalah sebagai berikut:

Tabel 11.5 - Data Anggaran dan Aktual Penjualan PT. Berdikari Sentosa

Anggaran

Marjin
Harga Jual Biaya Variabel
Tipe Unit Terjual Kontribusi
Perunit Perunit
Perunit

Tipe A 5.000 10.000 6.500 3.500

Tipe B 2.000 12.000 7.700 4.300

Tipe C 3.000 15.000 8.900 6.100

Aktual

Marjin
Harga Jual Biaya Variabel
Tipe Unit Terjual Kontribusi
Perunit Perunit
Perunit

Tipe A 6.500 12.000 7.000 5.000

Tipe B 1.500 11.500 8.200 3.300

Tipe C 4.000 14.500 8.700 5.800

Berdasarkan informasi yang diberikan, dapat dihilung besarnva varians anggaran statis,
yang merupakan selisih antara total marjin kontribusi aktual dengan total marjin kontribusi
yang dianggarkan, seperti yang terlihat pada tabel 11.3, yang memperlihatkan bahvva terdapat
selisih varians anggaran statis sebesar Rp16.250.000 yang bersifat baik atau favorable,
meskipun lemari tipe C varians anggaran statisnya bersifat tidak baik atau unfavorable.
Tabel 11.6 - Perhitungan Varians Anggaran Statis

Tipe Total Marjin Total Marjin Varians


Kontribusi Kontribusi
Aktual Anggaran

Tipe A 32.500 17.500.000 15.000.000

Tipe B 4.950.060 8.000.000 13.650.000

Tipe C 23.200.000 18.300.000 4.900.000

Total 60.650.000 44.400.000 16.250.000

Tabel 11.7 - Perhitungan Varians Anggaran Fleksibel

Varians Anggaran Fleksibel

Tipe A (Rp 5,000 - Rp3,500) X 6,500 unit = 9,750,000

Tipe B (Rp 3,300 - Rp4,300) X1,500 unit = (1.500.000)

Tipe C (Rp 5,800 - Rp 6,100) X 4,000 unit a (1.200.000)

Total 7.050.000

Penyebab timbulnya varians anggaran statis adalah karena adanya selisih antara marjin
kontribusi aktual dengan yang dianggarkan, seperti tercermin dalam varians anggaran
fleksibel, dan juga adanya selisih antara volume penjualan yang dianggarkan , seperti yang
tercermin pada varians volume penjualan. Dalam tabel 11.7. terlihat bahwa perusahaan
memiliki varians anggaran fleksibel yang bersifat baik (favorable), terutama karena
perusahaan dapat menjual produk A dengan marjin kontribusi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang dianggarkan. Varians marjin kontribusi tipe A tersebut dapat menutupi varians
marjin kontribusi yang tidak menguntungkan pada tipe B dan C sehingga secara keseluruhan
perusahaan mendapatkan varians anggaran fleksibel yang baik (favorable).
Tabel 11.8 - Perhitungan Varians Volume Penjualan

Varians Volume Penjualan

Tipe A (Rp 6,500 Rp 5.000) X 3,500 unit = 5,250,000

Tipe B (Rp 1,500 Rp2,000) X4,300 unit = (2.510.000)

Tipe C (Rp 4,000 - Rp 3.000) X 6,100 unit a (6.100.000)

Total 9.200.000

Varians volume penjualan peiusahaan juga bersiiat baik ( favorable ) karena


perusahaan dapat menjuai produk A dan C dengan volume yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang dianggarkan. Varians yang bersitat baik dari kedua produk tersebut dapat
menutupi varians volume penjualan produk B yang tidak baik.

Tabel 11.9 - Perhitungan Varians Harga Jual

Varians Harga Jual

Tipe A (Rp 12,000 Rp 10.000) X 6,500 unit = 13,000,000

Tipe B (Rp 11,500 Rp12,000) X1,500 unit = (750.000)

Tipe C (Rp1 4,500 - Rp 15.000) X 4,000 unit a (2.000.000)

Total 10.250.000

Kembali pada hasil perhitungan varians anggaran tleksibel, varians ini timbul
dikarenakan dua hal, yaitu varians harga jual dan variansbiaya variabel. Pada tabel 11.7dan
11.8 lerlihat bahwa variansanggaran fleksibel sebesar Rp 7.050.000 yang bersifat/avorab/e
disebabkan adanva varians harga jual sebesar Rp10.250.000 yang bersifat baik, dan varians
biaya variabel sebesar Rp3.200.000 uang bersitat tidak baik ( unfavorable ). Varians harga jual
yang bersitat favorable, karena perusahaan dapat menjuai produk tipe A dengan harga jual
yang lebih tinggi dari yang dianggarkan. Sedangkan varians biaya variabel yang unfavorable
di karenakan adanya biaya variabel yang lebih tinggi padap produk A dan B.

Jika dilakukan analisis per produk, maka peningkatan biaya variabel pada produk A
dapat dikompensasikan dengan peningkatan harga jual pada produk A , bahkan varians harga
jual produk A jauh lebih tinggi dengan varians biaya variabel pada produk A. Untuk produk B,
peningkatan biaya variabel pada produk B dapat diimbangi dengan peningkatan harga jual
pada produk B. Sedangkan untuk produk C, penghematan pada biaya variabel per unit tidak
dapat diimbangi dei.gan tidak tercapainya target harga jual pada produk C.

Tabel 11.10 - Perhitungan Varians Biaya Variabel

Varians Biaya Variabel

Tipe A (Rp 7,000 Rp 6.500) X 6,500 unit = 3,250,000

Tipe B (Rp 8,200 Rp7,700) X1,500 unit = 750.000

Tipe C (Rp 3,570 - Rp 8.900) X 4,000 unit a (800.000)

Total 3.200.000

Untuk mengetahui terjadinya penyebab varians volume pcniualan. maka harus


dilakukan perhiyungan varians bauran penjualan dan varians kuantitas penjualan. Namun
sebelum itu, harus dilakukan perhitungan terhadap bauran penjualan aktual dengan yang
dianggarkan seperti yang terlihat pada tabel 11.11 berikut ini:

Tabel 11.11 - Perhitungan Bauran Penjualan

Bauran
Penjualan Bauran Penjualan aktual
Anggaran

Tipe A 50,00% 54,17%

Tipe B 20,00% 12,50%

Tipe C 30,00% 33,33%

Tabel 11.12 - Perhitungan Varians Bauran Penjualan

Varians Biaya Variabel

Tipe A (54.17% - 50% X 12,000 Unit X Rp 3.500 1,751,400

Tipe B (12,50% - 20% X 12,000 Unit X Rp 4.300 3,870,000

Tipe C (33,33%- 30% X 12,000 Unit X Rp 6.100 2,437,560

Total 318.960
Varians bauran penjualan nienhitung besarnya varians yang terjadi karena perusahaan
tidak dapat menjual barang sesuai dengan bauran penjualan yang dianggarkan, seperti terlihat
pada tabel 11.11. Dalam table 11.12, terlihat bahvva perusahaan dapat menjual dengan
porporsi yang lebih besar pada tipe A dan tipe C, meskipun dengan akibat tipe B hams dijual
dengan proporsi yang lebih randah dari yang dianggarkan. Suatu perusahaan akan memiliki
varians bauran penjualan yang baik , apabila perusahaan dapat menjual produk dengan
kontribusi marjin yang lebih tmggi dalam proporsi yang lebih banyakdari yang dianggarkan,
meskipun harus mengorbankan produk yang memiliki kontribusi marjin yang rendah.

Tabel 11.13 - Perhitungan Varians Kuantitas Penjualan

Varians Kuantitas Penjualan

Tipe A (12.000 Unit - 10.000 Unit) X 50% X Rp 3,500,000


3.500

Tipe B (12.000 Unit - 10.000 Unit) X 20% X Rp 1,720,000


4.300

Tipe C (12.000 Unit - 10.000 Unit) X 30% X Rp 3,660,000


6.100

Total 8,880,000

Varians kuantitas penjualan akan menguntungkan, apabila secara total unit (untuk
ketiga produk tersebut) perusahaan dapat menjual dengan kuantitas yang lebih besar dari yang
dianggarkan. Dalam contoh ini perusahaan secara total dapat menjual 12.000 unit, lebih tinggi
2.000 unit dari total unit yang dianggarkan. Kondisi ini yang menyebabkan timbulnya varians
kuantitas penjualan yang baik sebesar Rp 8.880.000.

Dalam contoh soal ini, perusahaan memiliki varians volume penjualan yang baik,
karena perusahaan dapat menjual unit barang secara total lebih besar dari yang dianggarkan,
dan total penjualan tersebut dicapai dengan bauran penjualan yang lebih baik dari yang
dianggarkan.
Tabel 11.14- Pencntuan Weighted Average Contribution Margin

Tipe Bauran Marjin Weighted


Penjualan Kontribusi Average
Anggaran Perunit Contribution
Anggaran Margin

Tipe A 50,00% 3.500 1.750

Tipe B 20,00% 4.300 860

Tipe C 30,00% 6.100 1.830

Total 4.440

Misalkan di.isumsikan total permintaan industri yang diperkirakan pada tahun 20X4
adalah sebanyak 100.000 unit, sedangkan total permintaan industri yangaktual adalah 150.000
unit. Bcrdasarkan inlormasi ini, dapat dihitung besarnya pangsa pasar yang ditargetkan
perusahaan sebesar 10.000 unit/ 100.000 unit =10%. sedangkan pangsa psar aktual
yangdiperoleh perusahaan adalah 12.000 unit / 150.000 unit = 8%

Berdasarkan perhitungan diatas, maka besarnya varians pangsa pasar perusahaan


adalah (8% - 10%) X 150.000 Unit X Rp4.440 = ( Rp13.320.000) yang bersifat tidak
menguntungkan atau unfavorable, karena target pangsa pasai perusahaan tidak tercapa * .
Sedangkan besarnya varians besar pasar perusahaan adalah (150.000 Unit - 100.000 Unit) X
10% XRp4.440 = Rp22.200.000 yang bersifat menguntungkan atau favorable.

Skema Kesimpulan Analisis Varians Penjualan


Keseluruhan, terlihat bahwa perusahaan ini berada dalam kondisi pasar yang sedang
booming. Hal ini tercermin dari varians besar pasar yang bersifat baik. Dalam kondisi yang
demikian ini, perusahaan memilih untuk menaikkan harga jual, dengan konsekuensi
mengorbankan pangsa pasarnya.

Tabel 11.15 - Analisis Pertanggungjawaban Profit Center

Branch A Branch B Branch C Total

Sales 987.450 1.241.570 2.145.890 4.376.913


Variable Cost 447.800 654.429 1.470.908 2.579.028

Contribution Margin 539.650 589.250 668.982 1.797.882


Controllable Fixed Cost 121.400 223.600 124.500 469.500

Controllable Margin 418.250 365.650 544.482 1.328.382


Uncontrollable Fixed Cost 245.700 134.800 222.900 603.400

Divisional Margin 172.550 230.850 821.582 724.982


Common Cost 214.780
Net Profit 510.202

Pada dasarnya, penilaian kinerja manajer yang mengepalai sebuah profit center, akan
didasarkan pada tingkat keuntungan yang diperoleh bagian tersebut. Permasalahannya adalah,
definisi profit seperti apakah yang sebaiknya dipergunakan. Dalam tabel diatas, terlihat ada
empat tenis profit, yaitu marjin kontribusi, controllable margin, divisional margin. atau net
profit.

Marjin kontribusi berasai dari perhitungan pendapatan dikurangi biava variabel.


Pendekatan ini kurang tepat dipakai untuk menilai kinerja dari manajer profit center, karena
masih terdapat banyak biaya, diluar biaya variabel, yang masih dibawah kendali dari manajer
yang bersangkutan.

Biaya tetap yang dikeluarkan sebuah profit center, dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu biaya tetap yang dapat dikendalikan (controllablefixed costs ) dan biaya tetap yang tidak
dapat dikendalikan ( uncontrollable fixed costs ). Controllable, berarti manajer dari profit
center bersangkutan dapat mengendalikan biaya-biaya yang dikeluarkan, karena besar
kecilnya biaya yang dikeluarkan merupakan hasil keputusan dari manajer yang bersangkutan.
Sedangkan uncontrollable fixed costs merupakanbiaya tetap yang merupakan beban dari
divisi, namun tidak dibawah kendali dari manajer profit center tersebut.

Jika manajer profit center berhak untuk menentukan berapa jumlah pegawai yang akan
dipekerjakan pada divisi tersebut, maka biaya gaji merupakan hal yang dapat dikendalikan
oleh manajer, sedangkan contoh dari uncontrollable fixed costs adalah biaya penyusutan dari
gedung yang dipakai untuk beroperasi. Hal ini disebabkan keputusan untuk memilih gedung
yang akan ditempati, luas gedung tersebut, dsb, semuanya merupakan keputusan dari kantor
pusat. Karena itu biaya-biaya tersebut merupakan uncontrollable fixed cost bagi manajer profit
center.

Penilaian kinerja dari seorang manajer profit center, sebaiknya dilakukan berdasarkan
controllable marjin, sedangkan divisional margin lebih dipergunakan untuk mengevaluasi
kelayakan dari cabang tersebut, apakah sebaiknya tetap dibuka ataukah ditutup.

Common costs merupakan biaya yang dipakai secara bersama-sania oleh semua divisi
yang ada dalam perusahaan. Contoh common costs adalah biaya yang dikeluarkan oleh kantor
pusat. Biasanya biaya kantor pusat ini akan dibebankan pada profit center yang dimiliki
perusahaan, karena kantor pusat tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dijual. Permasalahan
yang sering terjadi adalah, alokasi common costs in sering dilakukan secara tidak benar,
sehingga menghasilkan angka pembebanan yang tidak akurat pada masing-masing divisi. Jika
common cost tersebut memang tidak dapat dibagi secara akurat, maka sebaiknya common cost
tersebut tidak perlu dibagi, sehingga banya akan dimunculkan secara total, sebagai bentuk
pertanggungjawaban untuk perusahaan secara keseluruhan.

2.3 INVESTMENT CENTER

Analisis pertanggungjawaban untuk investment center dapat dilakukan dengan 3 cara,


yaitu:

1. Return On Investment/ROI (Tingkat Pengembalian atas Investasi)

Rumus ROI = Laba / Ttotal investasi

Pengukuran ini ingin melihat berapa besarnya tingkat pengembalian (return) yang
diperoleh terhadap investasi yang dilakukan leh perusahaan. Karena ROI pada investment
center dipergunakan untuk menilai kinerja, maka definisi investasi yang sebaiknya dipakai
adalah Total aset yang dikelola dalam investment center tersebut. Sedangkan definisi laba
yang dipakai adalah laba operasi dan bukan laba bersih.

Laba bersih tidak disarankan untuk dipakai, karena dalam perhitungan laba bersih
termasuk unsur-unsur pendapatan atau biaya yang bukan berasal dari kegiatan operasional
perusahaan, misalkan keuntungan karena penjualan aset tetap.

Tabel Laporan Posisi Keuangan Frogavatar Ltd

FROGAVATAR LTD
Laporan Posisi Keuangan
31 Desember 20x3
Kas 450.000 Utang 8.000.000
Piutang 6.700.000 Utang Pajak 1.200.000
Utang Bank Jangka
Persediaan 11.200.000 Pendek 7.400.000
Aset Lancar Lainnya 210.000
Total Aset Lancar 18.560.000 Total Utang Lancar 17.500.000

Aset Tetap 87.000.000 Utang Jangka Panjang 20.000.000


Akumulasi Penyusutan (48.000.000)
Aset Tetap (Neto) 39.000.000 Modal Saham 5.000.000
Saldo Laba 15.060.000
Total Aset 57.560.000 Total Utang + Ekuitas 57.560.000
Tabel Laporan Laba Rugi Frogavatar Ltd

FROGAVATAR LTD
Laporan Laba Rugi
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 20x3
Penjualan 83.460.000
Beban Pokok Pejualan 52.800.000
Laba Kotor 30.660.000
Beban Operasi
Beban Gaji 3.250.000
Beban Sewa 1.200.000
Beban Penyusutan 8.000.000
Beban Iklan 4.000.000
Beban Listrik 800.000
Beban Lain-lain 400.000
Total Beban Operasi 17.650.000
Laba Operasi 13.010.000
Pendapatan/Beban Lain-lain
Beban Bunga (350.000)
Keuntungan Penjualan Aset 1.200.000
Total Pendapatan Lain-lain 850.000
Laba sebelum Pajak 13.860.000
Beban Pajak 4.158.000
Laba Bersih 9.702.000

Dengan mempergunakan laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi yang tersedia,
maka dapat dihittung besarnya ROI perusahaan, yaitu Rp13.010.000/Rp57.560.000 = 22.60%.
untuk penilaian kinerja, hasil aktual ROI ini akan diperbandingkan dengan target ROI yang
ditetapkan saat penyusunan anggaran.
Model pertanggungjawaban dengan mempergunakan ROI memiliki kelemahan,
terutama jika ROI tersebut dikaitkan dengan penilaian kinerja. Dalam contoh diatas, misalkan
perusahaan meilki alternative untuk menanamkan uangnya pada sebuah proyek dengan total
aset sebesar Rp10.000.000, yang akan menghasilkan laba operasi sebesar Rp2.000.000.
dengan kata alain, proyek baru tersebutakan menghasilkan ROI sebesar 20%. Saat ROI
dijadikan sebagai penilaian kinerja, maka manajer akan menolak proyek baru tersebut, karena
proyek baru tersebut memilki ROI dibawah ROI yang dihasilkan saat ii, yaitu 22.60%. dengan
mengambil proyek baru tersebut, maka ROI divisi yang dipimpin manajer akan mengalami
penurunan, meskipun tingkat pengembalian sebesar 20% merupakan sesuatu yang
menguntungkan perusahaan. Karena itu, salah satu kelemahan model ROI sebagai alat untuk
pertanggungjawaban adalah kecenderungan manajer pusat investasi menolak proyek-proyek
yang menguntungkan, karena proyek-proyek tersebut masih berada dibawah ROI yang
dihasilkan pusat investasi tersebut.

Kelemahan ROI lainnya adalah, karena ROI dihitung dengan mempergunakan angka-
angka yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan, maka bisa terjadi manajer pusat
investasi akan mencoba memainkan angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan
sehingga ROI dapat tercapai. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain mempercepat
pengakuan penjualan, menunda pengeluaran biaya-biaya tertentu, menunda penggantian aset,
dan sebagainya.

2. Residual Income

Residual income mengukur besarnya kelebihan keuntungan perusahaan diatas yang


dipersyaratkan.

Residual Income = Laba Operasi (Tingkat Pengembalian yang


Disyaratkan X Total Aset)

Tingkat pengembalian yang disyaratkan adalah tingkat pengembalian minimal yang


dipersyaratkan perusahaan untuk investasi dalam aset-aset perusahaan. Misalkan tingkat
pengembalian yang dipersyaratkan adalah 15%, maka dengan menggunakan rumusan ini,
diperoleh besarnya residual income perusahan adalah Rp13.020.000 (15% X Rp57.560.000)
= Rp4.376.000. Residual Income yang positif berarti perusahaan dapat memperoleh laba
operasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan minimal persyaratan yang ditentukan.

Model residual income ini dapat mengatasi masalah pertama yang terdapat dalam ROI,
yaitu mengenai masalah investasi baru dalam pusat investasi. Dengan mempergunakan contoh
soal dalam ilustrasi ROI, maka proyek batu tersebut akan menghasilkan tambahan residual
income perusahaan sebesar Rp2.000.000 (15% X Rp10.000.000) = Rp5.000.000. jika maajer
penerimaan proyek baru tersebut, maka residual income perusahaan akan dengan model ROI,
yaitu manajer dapat mempermainkan angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan
untuk membuat target residual income tercapai.
3. Economic Value Added

Konsep dasar Economic value added memiliki kesamaan dengan konsep residual
income, yaitu mengukur berapa kelebihan laba diats jumlah minimal yang dikehendaki
perusahaan.

Economic Value Added = Net Operating Profit After Tax {Weighted Average Cost
of Capital (Total Aset Non Interest Bearing Liabilities)}

Keterangan:

Net Operating Profit After Tax adalah Laba Operasi setelah dikurangi dengan pajak
Weighted Average Cost of Capital (WACC) adalah rata-rata tertimbang dari biaya
permodalan perusahaan.
Rumus dari WACC yaitu:

WACC = {Utang/ (Utang + Ekuitas) X (1 Tingkat Pajak) X (Biaya Utang)} +


{Ekuitas/ (Utang + Ekuitas) X Biaya Ekuitas}

Non Interest Bearing Liabilities adalah Utang perusahaan yang tidak memiliki biaya,
seperti utang gaji, utang dagang, dan akrual lainnya.

Dengan mempergunakan contoh soal yang diberikan, maka besarnya net operating
profit after tax perusahaan adalah Rp13.010.000 Rp4.158.000, sedangkan besarnya non
interest bearing liabilities (yang terdiri dari utang dan utang pajak) adalah Rp8.900.000 +
Rp1.200.000 = Rp10.100.000. dengan mengasumsikan WACC perusahaan adalah 12%, maka
besarnya EVA adalah Rp8.852.000 - {12% X (Rp57.560.000 Rp10.100.000)}=
Rp3.156.800.

Al Ehrbar mengatakan terdapat empat jenis economic value added, yaitu:


1. Basic EVA merupakan model perhitungan Economic Value Added tanpa melakukan
penyesuaian terhadap angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan.
Model ini meyerupai model Residual Income, namun dengan mempegunakan rumus
yang sedikit berbeda.
2. True EVA merupakan model perhitungan Economic Value Added dengan
memasukkan semua unsur penyesuaian yang disarankan dalam model EVA.
3. Tailored EVA - merupakan model perhitungan Economic Value Added yang
disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
tidak disarankan bagi suatu perusahaan untuk memakai semua penyesuaian yang
terdapat dalam model EVA. Perusahaan harus memilih model penyesuaian yang tepat
yang sesuai dengan kondisi perusahaan. Tailored EVA adalah model perhitungan EVA
dengan mempergunakan penyesuaian-penyesuaian yang dianggap tepat bagi perushaan
tersebut. Dengan demikian, model tailored EVA yang dipakai untuk satu perusahaan
bisa berbeda dengan perusahaan lainnya, meskipun perusahaan tersebut berada dalam
industri yang sama.
4. Disclosed EVA mirip dengan model tailored EVA.Dalam hal ini tidak semua
penyesuaian dipakai untuk menghitung EVA perusahaan. Yang diapakai untuk
penyesuaian hanyalah angka-angka yang diungkapkan dalam laporan keuangan
perusahaan.

Perbedaan antara model EVA residual income terjadi apabila perusahaan


menggunakan model True, Tailored, atau Disclosed EVA. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, kelemahan dari model residual income adalah adanya kemungkinan angka-angka
dalam laporan keuangan dibuat sedemikian rupa, sehingga target residual income dapat
tercapai. Model EVA menyarankan agar perusahaan dapat memperguanakan perlakuakn yang
berbeda dengan prinsip PSAK untuk mengurangi perilaku yang tidak diinginkan tersebut.

2.4 TRANSFER PRICING

Transfer Pricing merupakan suatu metode penentuan harga apabila terjadi penjualan
antar divisi yang terdapat dalam satu perusahaan.Penentuan transfer pricing harus memenuhi
tiga kriteria, yaitu:

1. Penilaian kinerja yang akurat, hal ini berarti harga yang ditentukan tersebut tidak
boleh menguntungkan satu divisi tapi merugikan divisi lainnya.
2. Keselarasan tujuan (goal congruence), hal ini berarti harga yang ditentukan harus
dapat memaksimalkan keuntungan perusahaan secara keseluruhan.
3. Otonomi atau kebebasan divisi dalam mengambil keputusan, hal ini berarti setiap
divisi yang terlibat dalam transaksi berhak untuk memutuskan menerima atau
menolak tawaran tersebut tanpa campur tangan dari kantor pusat.
Kegunaan dari transfer pricing adalah untuk melakukan pengukuran kinerja dari sebuah
responsibility center. Penentuan harga transfer yang terbaik adalah dengan mempergunakan
pendekatan Opportunity cost.

Dalam pendekatan ini, harga transfer dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Harga transfer minimum, dilihat dari sudut pandang divisi penjual, dimana divisi
penjual menentukan minimal harga transfer yang bisa diterima agar trasaksi dapat
terlaksana.

Harga Trasfer Minimum = Biaya variabel + Opportunity cost

2. Harga transfer maksimum, dilihat dari sudut pandang divisi pembeli, dimana divisi
pembelil menentukan besarnya harga transfer maksimal yang bisa diterima agar trasaksi
dapat terlaksana.
Harga Trasfer Maksimum = Harga Pasar (Harga beli divisi tersebut dari luar perusahaan)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konsep sistem pengendalian manajemen ini membagi departemen-departemen yang


ada dalam perusahaan menjadi pusat-pusat pertanggung jawaban (responsibility Centers).
Setiap responsibility centers diberikan wewenang untuk melakukan pengambilan keputusan,
dan efektivitas dari keputusan yang diambil akan dievaluasi berdasarkan hasil-hasil keuangan
yang dicapai. Empat jenis responsibility Centers, yaitu Cost Center (Bagian yang
bertanggungjawab terhadap Biaya), Revenue Center (Bagian yang bertanggungjawab terhadap
Pendapatan), Profit Center (Bagian yang bertanggungjawab terhadap Laba), dan Investment
Center (Bagian yang bertanggungjawab terhadap Laba dan Investasi).

Penilaian kinerja dari seorang manajer profit center, sebaiknya dilakukan berdasarkan
controllable marjin, sedangkan divisional margin lebih dipergunakan untuk mengevaluasi
kelayakan dari cabang tersebut, apakah sebaiknya tetap dibuka ataukah ditutup.
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Anthony A., Kaplan, Robert S., Matsumura, Ella Mae, and Young S. Mark,
Management Accounting Information for Decision Making and Strategy Execution, 6th
edition, Pearson Education, 2012.

Modul IAI. 2015. Manajemen Stratejik dan Kepemimpinan. Jakarta: Ikatan Akuntan
Indonesia.

Hansen, Don R., andMowen, Maryanne M., and Guan, Liming, Cost Management, 6th
edition,South Western Cengage Learning, 2009.
CASE: WESTERN CHEMICAL CORPORATION : DIVISIONAL PERFORMANCE
MEASUREMENT

1. LATAR BELAKANG

Western Chemical Corporation (WCC) merupakan perusahaan yang memproduksi


produkproduk kimia. Pada tahun 1995, WCC telah berumur 75 tahun dan masuk dalam
Fortune 300 Chemical Company. WCC sudah menjalankan usahanya di berbagai negara dan
memiliki reputasi yang baik dikarenakan kualitas yang diberikan ke konsumennya. WCC
memiliki 4.900 pekerja dan memiliki lebih dari 35 pabrik di 19 negara.
WCC menjalankan produksinya di berbagai negara menggunakan berbagai pengaturan
kepemilikan. Beberapa pabrik sepenuhnya dimiliki WCC yang beroperasi di beberapa site dan
pabrik lainnya dioperasikan sebagai joint venture dengan afiliasi lokal. Tiga dari pabrik ini
adalah ilustrasi berguna sebagai latar belakang untuk membahas masalah yang dihadapi
perusahaan dalam mengukur kinerja usaha internasional. Semua telah dibangun dan telah
mulai beroperasi pada periode 1991-1993.
Salah satu pabrik kimia di pinggiran Praha di Republik Ceko dioperasikan sebagai
sebuah joint venture dengan mitra lokal. Total investasi di pabrik tersebut adalah antara $35
sampai $40 juta, termasuk modal kerja. WCC mempertahankan controlling interest dalam
joint venture tersebut dalam mengoperasikan pabrik. Perusahaan telah menginvestasikan
sekitar $5 Juta dalam joint venture dan saldo investasi lainnya berasal dari mitra usaha dan
pinjaman lokal. Pabrik serupa juga terdapat di Polandia yang dimiliki 100% oleh WCC,
dengan total investasi modal $40 sampai $45 juta termasuk modal kerja. Pabrik ketiga berada
di Malaysia yang juga dimiiki 100% oleh WCC. Pabrik ini dibangun untuk menambah
kapasitas produksi di wilayah Pasifik, tetapi pabrik ini dianggap sebagai bagian dari kapasitas
produksi perusahaan yang melayani pasar global. WCC telah menginvestasikan sekitar $ 35
Juta di pabrik ini.
2. PERMASALAHAN DAN PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN

1. Permasalahan
a. Informasi tentang kinerja keuangan operasi luar negeri WCC (entitas anak / cabang /
joint venture) dipersiapkan oleh akuntan yang sama (divisi akuntan di pusat)
sentralisasi.
b. Manajemen WCC belum mengetahui cara terbaik untuk mengukur kinerja operasi anak
perusahaan di Luar Negeri. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan struktur kepemilikan
yang mengakibatkan pelaporan keuangan yang berbeda yang menyebabkan net income
berbeda.

2. Pengukuran Kinerja Perusahaan di Luar Negeri


Dari laporan keuangan WCC di Praha, didapatkan informasi bahwa anak
perusahaan memperoleh EBIT sebesar $869.000. Setelah itu EBIT akan dikurangkan
interest yang akan dibayarkan kepada pihak eksternal, dimana interest terjadi dikarenakan
adanya pinjaman yang dilakukan dalam joint venture ini sekitar 60-80% dari total
investasi. Selain pembayaran bunga, anak perusahaan juga diharuskan melakukan
pembayaran fee kepada WCC yang merupakan induk perusahaan sebesar $867.000 atas
persetujuan technical yang dimiliki dalam joint venture ini yang diperoleh dari persentase
atas pendapatan sebesar 8%.
Sehingga, pendapatan setelah dikurangi dengan interest dan fee membuat anak
usaha WCC di Praha mengalami kerugian sebesar $646.000. Fee yang dibayarkan kepada
induk atas joint venture di Praha karena induk telah berinvestasi untuk technical
knowledge dan sistem teknologi. Namun jika anak perusahaan memiliki utang, itu
bukanlah tanggung jawab perususahaan induk. Kebijakan ini hanya melihat keuntungan
yang dimiliki induk WCC saja dan tidak melihat kerugian yang dialami oleh anak usaha di
Praha sebab Return on Ivestment induk WCC akan mengalami kenaikan akibat adanya
pembayaran fee.
Kondisi anak perusahaan WCC di Polandia, kepemilikannya dimiliki penuh oleh
induk (WCC). Sehingga tidak diperlukan adanya pembayaran interest dan fee ke induk
WCC. Sehingga perlakuan laporan keuangan di Polandia berbeda dengan di Praha.
Pabrik yang berada di Malaysia didirikan sebab WCC kekurangan output produksi
untuk melayani permintaan dari konsumennya. Pendirian pabrik ini ditekankan bukan
untuk memenuhi permintaan dari produk yang menghasilkan marjin yang tinggi untuk
WCC. Dalam laporan keuangan anak perusahaan di Malaysia tidak ada pengurangan atas
interest dan fee untuk induk WCC.
Atas sampel ketiga pabrik diatas, maka manajemen WCC berkesimpulan untuk
menggunakan Economic Value Added (EVA) sebagai metode pengukuran kinerja anak
perusahaan WCC. Untuk pengukuran EVA tidak hanya berfokus pada perhitungan angka
untuk region of manufacture namun dibandingkan pula dengan region of sale. Hal ini
sudah diterapkan pada laporan keuangan di area Malaysia.

3. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang menyebabkan permasalahan dalam perhitungan performa di WCC?
2. Apakah ada metode alternatif dalam menghitung performa anak perusahaan yang bisa
menghindarkan WCC dari permasalahan yang ada saat ini?
3. Apa kekuatan dan kelemahan dalam implementasi EVA sebagai salahsatu metode
pengukuran performa anak perusahaan WCC?
4. Bagaimana seharusnya performa anak perusahaan WCC dihitung?
5. Apa yang akan dijelaskan mengenai investasi yang ada di pabrik Praha, Polandia, dan
Malaysia?

4. PEMBAHASAN
1. Apa yang menyebabkan permasalahan dalam perhitungan performa di WCC?
Jawab:
a. Informasi tentang kinerja keuangan operasi luar negeri WCC (entitas anak
/cabang/joint venture) dipersiapkan oleh akuntan yang sama (divisi akuntan di pusat)
Sentralisasi.
Sentralisasi dalam proses penyusunan laporan keuangan akan menjadi tidak
objektif karena adanya perbedaan standar untuk setiap negara dalam penyusunan
laporan keuangannya.
Akuntan di WCC perlu menguasai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses
penyusunan laporan keuangan di masing-masing operasi luar negeri WCC.
Proses penyusunan laporan keuangan harus menggunakan standar yang sama yang
diakui international atau menggunakan standar entitas induk WCC dengan
melakukan penyesuaian yang diperlukan dengan melakukan translasi laporan
keuangan dari masing- masing operasi luar negeri WCC ke entitas induk WCC.
b. Terdapat beberapa bentuk afiliasi dan perjanjian kepemilikan baru yang digunakan
dalam bentuk usaha international saat ini untuk meminimalisasi resiko dan investasi.
Bentuk usaha, hukum, dan struktur kepemilikan dalam operasi luar negeri WCC
berpengaruh terhadap kinerja keuangan masing-masing operasi luar negeri WCC.
Berikut asumsi atas masing-masing pabrik yang berada di luar negeri.

Tabel 1 Struktur Kepemilikan


Keterangan Prague Poland Malaysia
Foreign exchange (60) 34 -
Struktur Kepemilikan Joint Venture Entitas Anak Cabang
Operating income 869 1.428 (4.832)
Net income (loss) (1.178) 1.462 (4.832)
Atrributable to WCC (646) 1.462 (4.832)
Non Controlling Interest (532) - -
Tujuan Independen Independen Part of WCC
Komersial Komersial Support

Pabrik di Praha merupakan hasil dari joint venture antara WCC dengan investment
partner. Laba (rugi) yang dihasilkan tidak sepenuhnya menjadi hak WCC. Dengan
asumsi bahwa joint venture untuk pabrik di Praha ini mempunyai struktur
kepemilikan 50%:50%, maka WCC hanya akan menanggung rugi sebesar 50%
dari $1.178.000 atau setara dengan
$589.000. WCC juga mempunyai perjanjian dengan investment partner bahwa
WCC akan memperoleh management fee dengan syarat merupakan bagian dari
penjualan. Jika kita kaitkan antara rugi yang diatribusikan kepada WCC sebesar
$532.000 dengan management fee yang diperoleh WCC sebesar $867.000 maka
secara tidak langsung WCC memperoleh laba sebesar $221.000. Penilaian kinerja
untuk pabrik di Praha akan menjadi sulit karena adanya berbagai kondisi tersebut.
Tabel 2 Prague Factory Before and After
Keterangan Prague
T Before After
Net income (loss) (1.178) (1.178)
Atrributable to WCC before (646) (646)
Management fee by WCC - 867
Atrributable to WCC (646) 221

Pabrik di Poland dimiliki 100% oleh WCC. Laba (rugi) yang dihasilkan
sepenuhnya menjadi hak WCC.Namun, tidak adanya interest expense dan
management fee yang dibebankan pada pabrik ini membuat laba bersih menjadi
lebih baik dibanding kedua pabrik lainnya. Pabrik di Poland membeli material dari
pabrik lain milik WCC dimana didalamnya sudah termasuk laba yang sudah
diambil oleh pabrik penjual (transfer pricing). Pabrik di Poland kemungkinan juga
bisa menambah laba bersihnya menjadi sekitar $2 juta - $3 juta jika saja mereka
membeli material (bahan baku) dengan harga pasar. Namun, jika WCC
membebankan management fee sebesar 8% dari penjualan (setara $2.603.000) dan
interest expense atas utang sebesar $30.000.000 maka bisa dipastikan pabrik di
Poland juga akan mengalami kerugian sebesar $2 juta - $3 juta. Penilaian kinerja
untuk pabrik di Poland akan menjadi tidak konsisten dengan pabrik lainnya karena
adanya berbagai kondisi tersebut.
Tabel 3 Poland Factory Before and After

Keterangan
Before After
Net income (with transfer pricing in 1.462 $2 juta - $3 juta
cost of sales)
Management fee by WCC - (2.603)
Estimate interest expense - $2,4 juta
Estimate net income (loss) 1.462 ($2 juta-$3 juta)

Bisa disimpulkan bahwa penilaian kinerja atas operasi luar negeri WCC akan sulit
dilakukan karena adanya berbagai kondisi yang tidak seragam antara pabrik satu
dengan yang lainnya. Konsistensi, keseragaman dan persamaan standar penilaian
harus ada supaya objektifitas penilaian kinerja tercapai.
Tabel 4 Malaysia Factory Before and After

Malaysia
Keterangan
Before After
Region manufactured (4.832) -
Region sale - 2.564

2. Apakah ada metode alternatif dalam menghitung performa anak perusahaan yang bisa
menghindarkan WCC dari permasalahan yang ada sst ini?
Jawab:
Return on Investment (ROI = operating income / operating assets)
Tabel 5 Return on Investment
Keterangan Prague Polandia Malaysia
Operating income 478 1.428 (4.832)
Operating assets / Working capital 5.000 5.000 5.000
Return on Investment 9,6% 28,6% -96,6%
Operating income atas pabrik di Praha berdasarkan pada loss atrributable to WCC
dengan persentase sebesar 55%.
Residual Income
Residual Income = Operating Income [Minimum rate of return X Operating
assets]
Tabel 6 Residual Income
Keterangan Prague Polandia Malaysia
Operating income 478 1.428 (4.832)
Minimum Return (1.428) (1.428) (1.428)
Operating assets / Working 5.000 5.000 5.000
capital
Target of ROI 28,6% 28,6% 28,6%
Residual Income (950) - (6.260)
Target ROI menggunakan asumsi pabrik Polandia dengan beberapa pertimbangan,
antara lain: ROI paling tinggi, kepemilikan penuh oleh WACC, bentuk hukum
Perusahaannya.
WCC bisa menggunakan Economic Value Added (EVA) dalam mengukur kinerja
operasi luar negerinya. EVA merupakan laba operasi setelah pajak dikurangi dengan
total annual cost of capital.
EVA menggunakan asumsi WACC sebesar 12% yang digunakan pabrik Malaysia.
Berikut rumus dalam mencari perhitungan EVA:

EVA = After-tax operating income Capital charges


Tabel 7 Perhitungan Economic Value Added
Keterangan Prague Poland Malaysia
Operating income 478 1.428 (4.832)
Taxes - - -
NOPAT 478 1.428 (4.832)
Capital charges (4.200) (4.800) (3.600)
Estimated WACC 12% 12% 12%
Invested Capital 35.000 40.000 30.000
EVA (3.722) (3.372) (8.432)

3. Apa kekuatan dan kelemahan dalam implementasi EVA sebagai salahsatu metode
pengukuran performa anak perusahaan WCC?
Jawab:
a. Evaluasi atas pendekatan penilaian kinerja WACC
Konsistensi dan kinerja keuangan yang dapat diperbandingkan
Laporan kinerja keuangan masing-masing pabrik, mempunyai berbagai kondisi
yang berbeda. Misal, pabrik Praha mempunyai management fee yang harus dibayar
ke WCC, terdapat transfer pricing dalam cost of sales pabrik Polandia, dan pabrik
Malaysia yang dibangun hanya untuk mendukung operasi di kawasan Pasifik bukan
untuk mencari keuntungan tersendiri. Jika WCC ingin membebankan management
fee, maka semua pabrik juga harus dibebankan, semua pabrik juga harus
menggunakan nilai transaksi yang wajar (arms lenght transaction) dalam semua
jenis transaksinya untuk pelaporan kinerja keuangan internal (walaupun tidak untuk
pelaporan eksternal), dan seterusnya.

Standar pelaporan kinerja keuangan internal


Perusahaan perlu menerapkan keseragaman standar atas pelaporan kinerja
keuangan internal kepada seluruh pabrik yang dimiliki. Pelaporan kinerja keuangan
terhadap pihak internal dan eksternal harus dibedakan.

Pemisahan sumber invested capital secara jelas


Invested capital bisa bersumber dari ekuitas internal perusahaan dan juga bisa
berasal dari pinjaman eksternal. Semakin besar invested capital yang bersumber
dari pinjaman eksternal maka akan menjadi semakin besar pula WACC yang
diperoleh sebagai pengurang EVA. Sumber cost of capital dari pinjaman ekternal
juga berpotensi membuat adanya aliran cash flow out dari Perusahaan. Cost of
capital yang berasal investasi internal Perusahaan memang akan mengurangi EVA
tetapi, secara tidak langsung sebenarnya tidak ada potensi aliran cash flow out dari
Perusahaan.

b. Keunggulan dan kelemahan EVA:


Keunggulan EVA:
1) EVA memfokuskan penilaiannya pada nilai tambah dengan memperhitungkan
beban biaya modal sebagai konsekuensi investasi;
2) Perhitungan EVA relatif mudah dilakukan hanya yang menjadi persoalan adalah
perhitungan biaya modal yang memerlukan data yang lebih banyak analisa yang
mendalam;
3) EVA dapat digunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding seperti
standar atau perusahaan lain, sebagaimana konsep penilaian dengan menggunakan
analisa ratio.
Kelemahan EVA:
1) Sulit menentukan biaya modal secara obyektif. Hal ini disebabkan karena dana
untuk investasi dapat berasal dari berbagai sumber dengan tingkat biaya modal
yang berbeda dan bahkan biaya modal mungkin merupakan biaya peluang;
2) EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan
pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan untuk menjual
atau membeli saham tertentu, padahal factor-faktor lain terkadang justru lebih
dominan;
3) Konsep ini sangat tergantung pada transparansi internal dalam perhitungan EVA
secara akurat. Dalam kenyataannya seringkali perusahaan kurang transparan dalam
mengemukakan kondisi internalnya;
4. Bagaimana seharusnya performa anak perusahaan WCC dihitung?
Jawab:
Standarisasi dan konsistensi diperlukan dalam pelaporan kinerja keuangan internal
WCC. Pemisahaan akuntan penyusun laporan keuangan untuk internal dan pihak
eksternal. Berikut asumsi kami atas kinerja keuangan dan penilaian EVA yang
seharusnya dilakukan WCC:
Tabel 8 Asumsi Kinerja Keuangan Ketiga Pabrik

Keterangan Prague Poland Malaysia


Revenue 11.510 32.536 14.930
Cost of Sales (9.541) (27.005) (12.392)
Gross Margin 1.969 5.531 2.538

Operating Expense (891) (891) (3.775)


Other Income (Charges) (209) (209) (121)
Operating Profit 869 4.431 (1.358)

Interest (1.120) (2.700) (2.700)


Fee (867) (2.603) (1.194)
Foreign exchange (60) 34 -
Income before Tax (1.178) (838) (5.252)
Tax -
Net Income (1.178) (838) (5.252)

Sales dan cost of sales


Perhitungan menggunakan dasar gross margin pabrik Praha, dimana cost of sales dan
gross margin terhadap sales masing-masing sebesar 83% dan 17%. Asumsi ini
digunakan atas dasar bahwa pabrik Praha tidak ada isu transfer pricing di sales
maupun cost of sales sehingga akan menjadi lebih objektif sebagai dasar perhitungan
sales dan cost of sales pabrik lainnya.
Management fee dan interest expense
Management fee menggunakan basis 8% dari total sales seperti yang ada di pabrik
Praha sedangkan interest expense merupakan bunga atas utang merupakan bagian dari
invested capital yang dilakukan WCC.
Dengan adanya perubahan asumsi di atas maka EVA juga akan berubaha mengikuti
perubahan
opearting profit dan capital charge nya. Berikut asumsi perhitungan EVA yang baru:
Tabel 9 Asumsi EVA
Keterangan Prague Poland Malaysia
Operating income 478 4.431 (1.358)
Taxes - - -
NOPAT 478 4.431 (1.358)
Capital charges (4.200) (4.800) (3.600)
Estimated WACC 12% 12% 12%
Invested Capital 35.000 40.000 30.000
EVA (3.722) (369) (4.958)

5. Apa yang akan dijelaskan mengenai investasi yang ada di pabrik Praha, Polandia, dan
Malaysia?
Jawab:
a. Bentuk usaha, hukum, dan struktur kepemilikan dalam operasi luar negeri WCC.
Samantha Chu perlu menjelaskan bentuk usaha, hukum, dan struktur kepemilikan di
masing- masing pabrik dan pengaruhnya terhadap kinerja keuangan pabrik tersebut.
b. Tujuan pendirian masing-masing pabrik.
Pabrik di Praha didirikan atas kerja sama dengan investment partner untuk tujuan
komersial umum dengan beberapa syarat misal, WCC mendapat management fee
serta memperoleh persentasi tertentu dari penjualan dengan menanggung atau
menjamin utang yang dimiliki pabrik di Praha, yang pasti berpengaruh terhadap
kinerja keuangan pabrik tersebut. Laba ataupun rugi atas pabrik ini akan
ditanggung bersama sesuai hak dan kewajiban masing-masing antara WCC dengan
investment partner.
Pabrik di Polandia merupakan pabrik yang beroperasi penuh sebagai suatu
Perusahaan dengan tujuan komersial, karena dimiliki penuh maka tidak ada
management fee yang dibebankan oleh WCC. Laba ataupun rugi atas pabrik ini
sepenuhnya menjadi hak WCC.
Pabrik di Malaysia didirikan bertujuan untuk mendukung kapasitas produksi di
kawasan Pasifik. Pabrik di Malaysia tidak mencari keuntungan sendiri melainkan
mendukung seluruh kawasan untuk mendapat keuntungan lebih besar.

c. Perbaikan proses pelaporan kinerja keuangan masing-masing pabrik.


Proses pelaporan keuangan yang dilakukan oleh akuntan yang sama baik untuk
pelaporan terhadap pihak internal dan eksternal akan diperbaiki. Mulai tahun depan
proses pelaporan keuangan untuk pihak internal dan eksternal akan dilakukan oleh
akuntan yang berbeda supaya lebih fokus.
Proses pelaporan juga akan memiliki standar yang berbeda, untuk pihak eksternal
menggunakan standar umum yang memenag sudah ada dan diatur sedangkan untuk
pelaporan internal akan menggunakan standar manajemen WCC karena berkaitan
dengan kinerja masing-masing pabrik.

Anda mungkin juga menyukai