PENGENDALIAN KEUANGAN
MAKALAH
AKUNTANSI MANAJEMEN LANJUTAN
Dosen Pengampu:
Abdul Ghofar, DBA., Ak.,CPMA.,CA
OLEH:
Wa Ode Irma Sari 160020110011011
Wiwid Sukamto 160020110011024
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat ridho
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam tidak lupa selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Alhamdulillah makalah yang diberi judul Sistem Pengendalian Stratejik Penekanan
Pada Pengendalian Keuangan dapat terselesaikan dengan baik melalui bantuan berbagai
pihak yang terkait.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna,
karena itu kritik, saran dan masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan pendidikan di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Fokus utama dalam subsistem pengendalian keuangan adalah pada perilaku dari orang-
orang yang ada dalam organisasi dan bukan pada mesin.oleh karena itu, pengendalain
keuangan dapat dipahami secara baik melalui penekanan pada pentingnya asumsi-asumsi
keprilakuan. Sasaran perilaku utama dari pengendalian keuangan dapat dijelaskan
menggunakan definisi pengendalian secara umum. Pada umumnya, pengendalian
didefinisikan sebagai suatu inisiatif yang dipili, yang akan mengubah kemungkinan dari
pencapaian hasil yang diharapkan. Definisi pengendalian telah didasarkan pada konsep
kepercayaan dan konsep kemungkinan.
Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan desain pengendalian internal mencerminkan
pengalaman dari profesi audit. Pengalaman yang tidak terlihat tersebut dapat digunakan untuk
merancang dan menginplementasikan sistem pengendalian keuangan melalui perluasan
seperangkat tujuan yang dimiliki dari informasi akuntansi guna mencakup proses
adfministratif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis pusat pertanggung jawaban (responsibility center) ?
2. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap biaya (cost center)?
3. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap pendapatan (revenue center)?
4. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap laba (profit center) ?
5. Bagaimana pusat pertanggung jawaban terhadap laba dan investasi (investment center)
?
PEMBAHASAN
Biaya bahan mentah langsung merupakan biaya variabel, artinya semakin banyak unit
yang diproduksi maka semakin banyak pula jumlah bahan mentah langsung yang dipakai.
Akibatnya, analisis varians untuk biaya bahan mentah langsung tidak dapat dilakukan dengan
jumlah unit produksi yang berbeda, tapi harus dilakukan dengan mempergunakan unit
produksi yang sama adalah 1 unit mempergunakan 2 kg bahan mentah langsung. Standar
biaya untuk 1 kilogram bahan mentah langsung adalah Rp5.000 per kilogram. Dengan
demikian anggaran biaya bahan mentah langsung untuk tahun 2014 adalah 10.000 x 2 x
Rp5.000 = Rp100.000.000. kenyataannya pada tahun 2014 perusahaan memproduksi 11.000
unit barang, dengan biaya bahan mentah langsung aktual sebesar Rp106.425.000. Hasil
tersebut memperlihatkan adanya varians yang tidak baik (unfavorable) sebesar Rp6.425.000.
Varians tersebut tidak mencerminkan bahwa kinerja dari cost center tersebut kurang
baik, karena selisih tersebut diperoleh dengan memperbandingkan dua tingkatan volume
produksi yang berbeda. Untuk memperoleh perbandingan yang benar, maka harus dibuat
anggaran bahan mentah langsung dengan tingkatan produksi sebesar 11.000 unit, yaitu
1.000x2xRp5.000 = Rp110.000.000. Jika jumlah ini diperbandingkan dengan biaya bahan
mentah langsung aktual, maka pengeluaran biaya bahan mentah langsung aktual perusahaan
adalah Rp3.575.000 lebih rendah dibngan standar atau anggarannya.
Penyebab selisih tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu varians harga (price
variance) yang dapat dicari dengan rumus sebagai berikut:
Varian harga (Price Variance) = (Harga beli aktual bahan mentah langsung per unit
Harga beli bahan mentah langsung per unit standar) x Total aktual unit bahan mentah
langsung yang dibeli/dipakai.
Jika dalam rumus tersebut yang dipakai adalah total unit bahan mentah yang dibeli,
maka nama variannya adalah varians harga beli (Purchase price variance), namun bila yang
dipakai adalah unit yang dipergunakan, maka varians tersebut dinamakan dengan varian harga
penggunaan (Usage price variance.
Sedangkan varians kedua adalah varians penggunaan (quantity variance), yang dapat
dicari dengan mempergunakan rumus sebagai berikut:
Varian Penggunaan (Quantity Variance) = (Jumlah aktual bahan mentah langsung yang
dipergunakan Jumlah bahan mentah langsung yang seharusnya dipergunakan sesuai
standar) x Harga standar per unit bahan mentah langsung.
Misalkan, ternyata perusahaan memakai 21.500 kg unit bahan mentah langsung yang
dibeli dengan harga Rp4.950 per kg, maka besarnya varians harga adalah (Rp4.950
Rp5.000) x 21.500 kg = Rp1.075.000. Varians ini baik (favorable) karena harga beli aktual
lebih rendah dari yang dianggarkan. Sedangkan besarnya varians penggunaan adalah (21.500
kg 22.000 kg) x Rp5.000 = Rp2.500.000. Varians ini juga bersifat baik (favorable), karena
pemakaian bahan mentah langsung aktual lebih rendah dari pada standar yang ditetapkan. Cost
center tersebut harus mencari penyebab timbulnya varians ini, sebagai upaya untuk
memperbaiki kinerjanya.
Hampir semua buku akuntansi manajemen dan akuntansi biaya mengasumsikan biaya
buruh langsung sebagai biaya variabel. Jika memang hal tersebut yang terjadi dalam
perusahaan, maka analisis varians untuk biaya buruh langsung akan sama dengan analisis
varians untuk biaya bahan mentah langsung. Namun demikan, kebanyakan perusahaan saat
ini memilki karyawan produksi yang memilki gaji tetap per bulannya. Misalkan, seseorang
hanya ditugaskan untuk membuat satu jenis produk, karena itu biaya gaji karyawan tersebut
merupakan biaya langsung. Namun, karyawan tersebut merupakan karyawan tetap
perusahaan yang digaji dalam jumlah yang tetap per bulannya. Dalam hal ini, karyawa
perusahaan merupakan buruh langsung yang memilki gaji yang merupakan biaya tetap. Untuk
kondisi seperti ini, maka analisis varians harus dilakukan dengan cara yang berbeda.
Misalkan, PT. Kursi Sederhana memilki 7 orang karyawan yang bertugas untuk
memproduksi kursi. Perusahaan hanya memproduksi satu jenis kursi, sehingga biaya gaji dari
ketujuh karyawan tersebut adalah biaya buruh langsung. Setiap orang diberikan gaji sebesar
Rp3.000.000 per bulannya. Pada tahun 20X4 perusahaan menganggarkan untuk membuat
20.000 unit kursi. Untuk membuat 1 unit kursi diperlukan 25 menit buruh langsung.
Saat perusahaan menyusun anggaran, maka angka yang akan terlihat adalah sebagai
berikut:
Kapasitas Praktikal (365 hari 104 hari - 12 hari cuti 12 hari libur
Kenyataanya, pada tahun 20X4 perusahaan memproduksi 20.500 unit kursi, dengan
total penggunaan menit buruh langsung sebanyak 514.000 menit. Karena banyakanya
tuntutan buruh, maka perusahaan terpaksa menaikkan gaji buruh menjadi Rp3.300.000 per
bulan dimulai pada pembayaran gaji bulan juli 20X4. Varians pertama dalam biaya buruh
langsung muncul karena perusahaan harus membayarkan gaji yang lebih tinggi dari yang
dianggarkan. Hal ini akan menimbulkan selisih antara jumlah total gaji buruh aktual yang
dibayarkan dengan total gaji buruh yang dianggarkan. Selisih ini disebut dengan Direct Labor
Spending Variance, seperti digambarkan dalam tabel berikut:
Sedangkan analisis varians penggunaan buruh langsung dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Direct Labor Volume Variance Varians ini muncul karena adanya perbedaan antara
jumlah unit produksi yang dianggarkan untuk diproduksi dengan unit yang benar-
benar diproduksi.
Dalam hal ini, perusahaan menganggarkan untuk membuat 20.000 unit kursi dengan
total jam buruh langsung sebanyak 500.000 menit. Kenyataannya, perusahaan
memproduksi 20.500 unit kursi , sehingga memerlukan 512.500 menit sesuai dengan
standar yang ditetapkan. Selisih menit produksi inilah yang dinamakan dengan Direct
Labor Volume Variance.
2. Dicert Labor Efficiency variance Varians ini mengukur antara menit yang benar-
benar dipakai untuk memproduksi barang dengan menit yang seharusnya dipakai
berdasarkan standar.
Dalam contoh soal ini, perusahaan ternyata menggunakan 514.000 menit untuk
memproduksi 20.500 unit kursi, sedangkan waktu sesuai standar adalah 512.500
menit, sehingga terjadi ketidak efisienan sebesar 1.500 menit.
3. Direct Labor Idle Capacity Variance Varians ini mengukur selisih antara kapasitas
praktikal buruhlangsung yang dimiliki perusahaan dengan kapasitas yang benar-benar
terpakai. Selisih ini mencerminkan kapasitas menganggur yang sebenarnya terdapat
dalam perusahaan.
Rincian dari ketiga analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Biaya overhead pabrik sebenarnya masuk dalam kategori biaya discreationary, karena
tidak adanya hubungan yang dapat dikuantifisir antara input dan output yang dihasilkan.
Karena itu analisis yang dilakukan adalah seperti yang ditunjukkan pada tabel diatas.
Karena anggaran biaya overhead tidak disususn berdasarkan standar kuantitas, maka
cara analisis varians seperti biaya bahan mentah langsung dan biaya buruh langsung tidak
dapat dilakukan. Analisis varians hanya dilakukan dengan memperbandingkan antara biaya
aktual dengan biaya yang dianggarkan, sedangkan penjelasan mengenai varians dilakukan
secara subyektif. Cara ini juga dikenal sebagai perbandingan antara realisasi versus rencana.
Karena proses analisis seperti ini kurang berarti, maka diperlukan tolak ukur lainnya yang
bersifat non keuangan untuk menilai efektifitas dari biaya-biaya ini.
Misalkan, biaya pemeliharaan mesin yang dikeluarkan perusahaan ternyanta 10,8% lebih
tinggi dari anggaran. Hal tersebut belum tentu menunjukkan bahwa biaya pemeliharaan
tersebut tidak efisien. Bagian pemeliharaan bisa saja beragumentasi bahwa unit aktual yang
diproduksi lebih besar dari yang dianggarkan, sehingga biaya pemeliharaan aktual melebihi
yang dianggarkan. Selama kelebihan biaya pemeliharaan sudah disetujui oleh tingkat yang
berwenang, maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah. Yang harus difokuskan adalah,
apakah jumlah biaya pemeliharaan tersebut benar-benar dapat efektif mencapai tolak ukur
yang berkaitan dengan pemeliharaan tersebut, misalkan tidak ada breakdown mesin.
Contoh dari revenue center adalah departemen pemasaran dan penjualan. Departemen
yang diperlakukan sebagai revenue center bertanggungjawab terhadap pendapatan yang
diperoleh departemen tersebut. Namun, departemen tersebut juga bertanggungjawab terhadap
biaya-biaya yang dikeluarkannya. Misalkan departemen pemasaran dan penjualan bukan
hanya bertanggungjawab terhadap pendaptan yang dihasilkan,namun juga bertanggungjawab
terhadap biaya yang dikeluarkannya.
Evaluasi terhadap keberhasilan dari sebuah pusat pendapatan (revenue center) dapat
dilakukan dengan Konsep Sales Variance Anaysis, dengan skema sebagai berikut:
VARIANS
ANGGARAN
STATIS
VARIANS VARIANS
ANGGARAN VOLUME
FLEKSIBEL PENJUALAN
VARIANS VARIANS
VARIANS VARIANS
BIAYA BAURAN
HARGA JUAL KUANTITAS
VARIABEL PENJUALAN
VARIANS
VARIANS
PANGSA
BESAR PASAR
PASAR
Tabel 11.5 - Data Anggaran dan Aktual Penjualan PT. Berdikari Sentosa
Anggaran
Marjin
Harga Jual Biaya Variabel
Tipe Unit Terjual Kontribusi
Perunit Perunit
Perunit
Aktual
Marjin
Harga Jual Biaya Variabel
Tipe Unit Terjual Kontribusi
Perunit Perunit
Perunit
Berdasarkan informasi yang diberikan, dapat dihilung besarnva varians anggaran statis,
yang merupakan selisih antara total marjin kontribusi aktual dengan total marjin kontribusi
yang dianggarkan, seperti yang terlihat pada tabel 11.3, yang memperlihatkan bahvva terdapat
selisih varians anggaran statis sebesar Rp16.250.000 yang bersifat baik atau favorable,
meskipun lemari tipe C varians anggaran statisnya bersifat tidak baik atau unfavorable.
Tabel 11.6 - Perhitungan Varians Anggaran Statis
Total 7.050.000
Penyebab timbulnya varians anggaran statis adalah karena adanya selisih antara marjin
kontribusi aktual dengan yang dianggarkan, seperti tercermin dalam varians anggaran
fleksibel, dan juga adanya selisih antara volume penjualan yang dianggarkan , seperti yang
tercermin pada varians volume penjualan. Dalam tabel 11.7. terlihat bahwa perusahaan
memiliki varians anggaran fleksibel yang bersifat baik (favorable), terutama karena
perusahaan dapat menjual produk A dengan marjin kontribusi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang dianggarkan. Varians marjin kontribusi tipe A tersebut dapat menutupi varians
marjin kontribusi yang tidak menguntungkan pada tipe B dan C sehingga secara keseluruhan
perusahaan mendapatkan varians anggaran fleksibel yang baik (favorable).
Tabel 11.8 - Perhitungan Varians Volume Penjualan
Total 9.200.000
Total 10.250.000
Kembali pada hasil perhitungan varians anggaran tleksibel, varians ini timbul
dikarenakan dua hal, yaitu varians harga jual dan variansbiaya variabel. Pada tabel 11.7dan
11.8 lerlihat bahwa variansanggaran fleksibel sebesar Rp 7.050.000 yang bersifat/avorab/e
disebabkan adanva varians harga jual sebesar Rp10.250.000 yang bersifat baik, dan varians
biaya variabel sebesar Rp3.200.000 uang bersitat tidak baik ( unfavorable ). Varians harga jual
yang bersitat favorable, karena perusahaan dapat menjuai produk tipe A dengan harga jual
yang lebih tinggi dari yang dianggarkan. Sedangkan varians biaya variabel yang unfavorable
di karenakan adanya biaya variabel yang lebih tinggi padap produk A dan B.
Jika dilakukan analisis per produk, maka peningkatan biaya variabel pada produk A
dapat dikompensasikan dengan peningkatan harga jual pada produk A , bahkan varians harga
jual produk A jauh lebih tinggi dengan varians biaya variabel pada produk A. Untuk produk B,
peningkatan biaya variabel pada produk B dapat diimbangi dengan peningkatan harga jual
pada produk B. Sedangkan untuk produk C, penghematan pada biaya variabel per unit tidak
dapat diimbangi dei.gan tidak tercapainya target harga jual pada produk C.
Total 3.200.000
Bauran
Penjualan Bauran Penjualan aktual
Anggaran
Total 318.960
Varians bauran penjualan nienhitung besarnya varians yang terjadi karena perusahaan
tidak dapat menjual barang sesuai dengan bauran penjualan yang dianggarkan, seperti terlihat
pada tabel 11.11. Dalam table 11.12, terlihat bahvva perusahaan dapat menjual dengan
porporsi yang lebih besar pada tipe A dan tipe C, meskipun dengan akibat tipe B hams dijual
dengan proporsi yang lebih randah dari yang dianggarkan. Suatu perusahaan akan memiliki
varians bauran penjualan yang baik , apabila perusahaan dapat menjual produk dengan
kontribusi marjin yang lebih tmggi dalam proporsi yang lebih banyakdari yang dianggarkan,
meskipun harus mengorbankan produk yang memiliki kontribusi marjin yang rendah.
Total 8,880,000
Varians kuantitas penjualan akan menguntungkan, apabila secara total unit (untuk
ketiga produk tersebut) perusahaan dapat menjual dengan kuantitas yang lebih besar dari yang
dianggarkan. Dalam contoh ini perusahaan secara total dapat menjual 12.000 unit, lebih tinggi
2.000 unit dari total unit yang dianggarkan. Kondisi ini yang menyebabkan timbulnya varians
kuantitas penjualan yang baik sebesar Rp 8.880.000.
Dalam contoh soal ini, perusahaan memiliki varians volume penjualan yang baik,
karena perusahaan dapat menjual unit barang secara total lebih besar dari yang dianggarkan,
dan total penjualan tersebut dicapai dengan bauran penjualan yang lebih baik dari yang
dianggarkan.
Tabel 11.14- Pencntuan Weighted Average Contribution Margin
Total 4.440
Misalkan di.isumsikan total permintaan industri yang diperkirakan pada tahun 20X4
adalah sebanyak 100.000 unit, sedangkan total permintaan industri yangaktual adalah 150.000
unit. Bcrdasarkan inlormasi ini, dapat dihitung besarnya pangsa pasar yang ditargetkan
perusahaan sebesar 10.000 unit/ 100.000 unit =10%. sedangkan pangsa psar aktual
yangdiperoleh perusahaan adalah 12.000 unit / 150.000 unit = 8%
Pada dasarnya, penilaian kinerja manajer yang mengepalai sebuah profit center, akan
didasarkan pada tingkat keuntungan yang diperoleh bagian tersebut. Permasalahannya adalah,
definisi profit seperti apakah yang sebaiknya dipergunakan. Dalam tabel diatas, terlihat ada
empat tenis profit, yaitu marjin kontribusi, controllable margin, divisional margin. atau net
profit.
Biaya tetap yang dikeluarkan sebuah profit center, dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu biaya tetap yang dapat dikendalikan (controllablefixed costs ) dan biaya tetap yang tidak
dapat dikendalikan ( uncontrollable fixed costs ). Controllable, berarti manajer dari profit
center bersangkutan dapat mengendalikan biaya-biaya yang dikeluarkan, karena besar
kecilnya biaya yang dikeluarkan merupakan hasil keputusan dari manajer yang bersangkutan.
Sedangkan uncontrollable fixed costs merupakanbiaya tetap yang merupakan beban dari
divisi, namun tidak dibawah kendali dari manajer profit center tersebut.
Jika manajer profit center berhak untuk menentukan berapa jumlah pegawai yang akan
dipekerjakan pada divisi tersebut, maka biaya gaji merupakan hal yang dapat dikendalikan
oleh manajer, sedangkan contoh dari uncontrollable fixed costs adalah biaya penyusutan dari
gedung yang dipakai untuk beroperasi. Hal ini disebabkan keputusan untuk memilih gedung
yang akan ditempati, luas gedung tersebut, dsb, semuanya merupakan keputusan dari kantor
pusat. Karena itu biaya-biaya tersebut merupakan uncontrollable fixed cost bagi manajer profit
center.
Penilaian kinerja dari seorang manajer profit center, sebaiknya dilakukan berdasarkan
controllable marjin, sedangkan divisional margin lebih dipergunakan untuk mengevaluasi
kelayakan dari cabang tersebut, apakah sebaiknya tetap dibuka ataukah ditutup.
Common costs merupakan biaya yang dipakai secara bersama-sania oleh semua divisi
yang ada dalam perusahaan. Contoh common costs adalah biaya yang dikeluarkan oleh kantor
pusat. Biasanya biaya kantor pusat ini akan dibebankan pada profit center yang dimiliki
perusahaan, karena kantor pusat tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dijual. Permasalahan
yang sering terjadi adalah, alokasi common costs in sering dilakukan secara tidak benar,
sehingga menghasilkan angka pembebanan yang tidak akurat pada masing-masing divisi. Jika
common cost tersebut memang tidak dapat dibagi secara akurat, maka sebaiknya common cost
tersebut tidak perlu dibagi, sehingga banya akan dimunculkan secara total, sebagai bentuk
pertanggungjawaban untuk perusahaan secara keseluruhan.
Pengukuran ini ingin melihat berapa besarnya tingkat pengembalian (return) yang
diperoleh terhadap investasi yang dilakukan leh perusahaan. Karena ROI pada investment
center dipergunakan untuk menilai kinerja, maka definisi investasi yang sebaiknya dipakai
adalah Total aset yang dikelola dalam investment center tersebut. Sedangkan definisi laba
yang dipakai adalah laba operasi dan bukan laba bersih.
Laba bersih tidak disarankan untuk dipakai, karena dalam perhitungan laba bersih
termasuk unsur-unsur pendapatan atau biaya yang bukan berasal dari kegiatan operasional
perusahaan, misalkan keuntungan karena penjualan aset tetap.
FROGAVATAR LTD
Laporan Posisi Keuangan
31 Desember 20x3
Kas 450.000 Utang 8.000.000
Piutang 6.700.000 Utang Pajak 1.200.000
Utang Bank Jangka
Persediaan 11.200.000 Pendek 7.400.000
Aset Lancar Lainnya 210.000
Total Aset Lancar 18.560.000 Total Utang Lancar 17.500.000
FROGAVATAR LTD
Laporan Laba Rugi
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 20x3
Penjualan 83.460.000
Beban Pokok Pejualan 52.800.000
Laba Kotor 30.660.000
Beban Operasi
Beban Gaji 3.250.000
Beban Sewa 1.200.000
Beban Penyusutan 8.000.000
Beban Iklan 4.000.000
Beban Listrik 800.000
Beban Lain-lain 400.000
Total Beban Operasi 17.650.000
Laba Operasi 13.010.000
Pendapatan/Beban Lain-lain
Beban Bunga (350.000)
Keuntungan Penjualan Aset 1.200.000
Total Pendapatan Lain-lain 850.000
Laba sebelum Pajak 13.860.000
Beban Pajak 4.158.000
Laba Bersih 9.702.000
Dengan mempergunakan laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi yang tersedia,
maka dapat dihittung besarnya ROI perusahaan, yaitu Rp13.010.000/Rp57.560.000 = 22.60%.
untuk penilaian kinerja, hasil aktual ROI ini akan diperbandingkan dengan target ROI yang
ditetapkan saat penyusunan anggaran.
Model pertanggungjawaban dengan mempergunakan ROI memiliki kelemahan,
terutama jika ROI tersebut dikaitkan dengan penilaian kinerja. Dalam contoh diatas, misalkan
perusahaan meilki alternative untuk menanamkan uangnya pada sebuah proyek dengan total
aset sebesar Rp10.000.000, yang akan menghasilkan laba operasi sebesar Rp2.000.000.
dengan kata alain, proyek baru tersebutakan menghasilkan ROI sebesar 20%. Saat ROI
dijadikan sebagai penilaian kinerja, maka manajer akan menolak proyek baru tersebut, karena
proyek baru tersebut memilki ROI dibawah ROI yang dihasilkan saat ii, yaitu 22.60%. dengan
mengambil proyek baru tersebut, maka ROI divisi yang dipimpin manajer akan mengalami
penurunan, meskipun tingkat pengembalian sebesar 20% merupakan sesuatu yang
menguntungkan perusahaan. Karena itu, salah satu kelemahan model ROI sebagai alat untuk
pertanggungjawaban adalah kecenderungan manajer pusat investasi menolak proyek-proyek
yang menguntungkan, karena proyek-proyek tersebut masih berada dibawah ROI yang
dihasilkan pusat investasi tersebut.
Kelemahan ROI lainnya adalah, karena ROI dihitung dengan mempergunakan angka-
angka yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan, maka bisa terjadi manajer pusat
investasi akan mencoba memainkan angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan
sehingga ROI dapat tercapai. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain mempercepat
pengakuan penjualan, menunda pengeluaran biaya-biaya tertentu, menunda penggantian aset,
dan sebagainya.
2. Residual Income
Model residual income ini dapat mengatasi masalah pertama yang terdapat dalam ROI,
yaitu mengenai masalah investasi baru dalam pusat investasi. Dengan mempergunakan contoh
soal dalam ilustrasi ROI, maka proyek batu tersebut akan menghasilkan tambahan residual
income perusahaan sebesar Rp2.000.000 (15% X Rp10.000.000) = Rp5.000.000. jika maajer
penerimaan proyek baru tersebut, maka residual income perusahaan akan dengan model ROI,
yaitu manajer dapat mempermainkan angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan
untuk membuat target residual income tercapai.
3. Economic Value Added
Konsep dasar Economic value added memiliki kesamaan dengan konsep residual
income, yaitu mengukur berapa kelebihan laba diats jumlah minimal yang dikehendaki
perusahaan.
Economic Value Added = Net Operating Profit After Tax {Weighted Average Cost
of Capital (Total Aset Non Interest Bearing Liabilities)}
Keterangan:
Net Operating Profit After Tax adalah Laba Operasi setelah dikurangi dengan pajak
Weighted Average Cost of Capital (WACC) adalah rata-rata tertimbang dari biaya
permodalan perusahaan.
Rumus dari WACC yaitu:
Non Interest Bearing Liabilities adalah Utang perusahaan yang tidak memiliki biaya,
seperti utang gaji, utang dagang, dan akrual lainnya.
Dengan mempergunakan contoh soal yang diberikan, maka besarnya net operating
profit after tax perusahaan adalah Rp13.010.000 Rp4.158.000, sedangkan besarnya non
interest bearing liabilities (yang terdiri dari utang dan utang pajak) adalah Rp8.900.000 +
Rp1.200.000 = Rp10.100.000. dengan mengasumsikan WACC perusahaan adalah 12%, maka
besarnya EVA adalah Rp8.852.000 - {12% X (Rp57.560.000 Rp10.100.000)}=
Rp3.156.800.
Transfer Pricing merupakan suatu metode penentuan harga apabila terjadi penjualan
antar divisi yang terdapat dalam satu perusahaan.Penentuan transfer pricing harus memenuhi
tiga kriteria, yaitu:
1. Penilaian kinerja yang akurat, hal ini berarti harga yang ditentukan tersebut tidak
boleh menguntungkan satu divisi tapi merugikan divisi lainnya.
2. Keselarasan tujuan (goal congruence), hal ini berarti harga yang ditentukan harus
dapat memaksimalkan keuntungan perusahaan secara keseluruhan.
3. Otonomi atau kebebasan divisi dalam mengambil keputusan, hal ini berarti setiap
divisi yang terlibat dalam transaksi berhak untuk memutuskan menerima atau
menolak tawaran tersebut tanpa campur tangan dari kantor pusat.
Kegunaan dari transfer pricing adalah untuk melakukan pengukuran kinerja dari sebuah
responsibility center. Penentuan harga transfer yang terbaik adalah dengan mempergunakan
pendekatan Opportunity cost.
Dalam pendekatan ini, harga transfer dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Harga transfer minimum, dilihat dari sudut pandang divisi penjual, dimana divisi
penjual menentukan minimal harga transfer yang bisa diterima agar trasaksi dapat
terlaksana.
2. Harga transfer maksimum, dilihat dari sudut pandang divisi pembeli, dimana divisi
pembelil menentukan besarnya harga transfer maksimal yang bisa diterima agar trasaksi
dapat terlaksana.
Harga Trasfer Maksimum = Harga Pasar (Harga beli divisi tersebut dari luar perusahaan)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penilaian kinerja dari seorang manajer profit center, sebaiknya dilakukan berdasarkan
controllable marjin, sedangkan divisional margin lebih dipergunakan untuk mengevaluasi
kelayakan dari cabang tersebut, apakah sebaiknya tetap dibuka ataukah ditutup.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Anthony A., Kaplan, Robert S., Matsumura, Ella Mae, and Young S. Mark,
Management Accounting Information for Decision Making and Strategy Execution, 6th
edition, Pearson Education, 2012.
Modul IAI. 2015. Manajemen Stratejik dan Kepemimpinan. Jakarta: Ikatan Akuntan
Indonesia.
Hansen, Don R., andMowen, Maryanne M., and Guan, Liming, Cost Management, 6th
edition,South Western Cengage Learning, 2009.
CASE: WESTERN CHEMICAL CORPORATION : DIVISIONAL PERFORMANCE
MEASUREMENT
1. LATAR BELAKANG
1. Permasalahan
a. Informasi tentang kinerja keuangan operasi luar negeri WCC (entitas anak / cabang /
joint venture) dipersiapkan oleh akuntan yang sama (divisi akuntan di pusat)
sentralisasi.
b. Manajemen WCC belum mengetahui cara terbaik untuk mengukur kinerja operasi anak
perusahaan di Luar Negeri. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan struktur kepemilikan
yang mengakibatkan pelaporan keuangan yang berbeda yang menyebabkan net income
berbeda.
3. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang menyebabkan permasalahan dalam perhitungan performa di WCC?
2. Apakah ada metode alternatif dalam menghitung performa anak perusahaan yang bisa
menghindarkan WCC dari permasalahan yang ada saat ini?
3. Apa kekuatan dan kelemahan dalam implementasi EVA sebagai salahsatu metode
pengukuran performa anak perusahaan WCC?
4. Bagaimana seharusnya performa anak perusahaan WCC dihitung?
5. Apa yang akan dijelaskan mengenai investasi yang ada di pabrik Praha, Polandia, dan
Malaysia?
4. PEMBAHASAN
1. Apa yang menyebabkan permasalahan dalam perhitungan performa di WCC?
Jawab:
a. Informasi tentang kinerja keuangan operasi luar negeri WCC (entitas anak
/cabang/joint venture) dipersiapkan oleh akuntan yang sama (divisi akuntan di pusat)
Sentralisasi.
Sentralisasi dalam proses penyusunan laporan keuangan akan menjadi tidak
objektif karena adanya perbedaan standar untuk setiap negara dalam penyusunan
laporan keuangannya.
Akuntan di WCC perlu menguasai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses
penyusunan laporan keuangan di masing-masing operasi luar negeri WCC.
Proses penyusunan laporan keuangan harus menggunakan standar yang sama yang
diakui international atau menggunakan standar entitas induk WCC dengan
melakukan penyesuaian yang diperlukan dengan melakukan translasi laporan
keuangan dari masing- masing operasi luar negeri WCC ke entitas induk WCC.
b. Terdapat beberapa bentuk afiliasi dan perjanjian kepemilikan baru yang digunakan
dalam bentuk usaha international saat ini untuk meminimalisasi resiko dan investasi.
Bentuk usaha, hukum, dan struktur kepemilikan dalam operasi luar negeri WCC
berpengaruh terhadap kinerja keuangan masing-masing operasi luar negeri WCC.
Berikut asumsi atas masing-masing pabrik yang berada di luar negeri.
Pabrik di Praha merupakan hasil dari joint venture antara WCC dengan investment
partner. Laba (rugi) yang dihasilkan tidak sepenuhnya menjadi hak WCC. Dengan
asumsi bahwa joint venture untuk pabrik di Praha ini mempunyai struktur
kepemilikan 50%:50%, maka WCC hanya akan menanggung rugi sebesar 50%
dari $1.178.000 atau setara dengan
$589.000. WCC juga mempunyai perjanjian dengan investment partner bahwa
WCC akan memperoleh management fee dengan syarat merupakan bagian dari
penjualan. Jika kita kaitkan antara rugi yang diatribusikan kepada WCC sebesar
$532.000 dengan management fee yang diperoleh WCC sebesar $867.000 maka
secara tidak langsung WCC memperoleh laba sebesar $221.000. Penilaian kinerja
untuk pabrik di Praha akan menjadi sulit karena adanya berbagai kondisi tersebut.
Tabel 2 Prague Factory Before and After
Keterangan Prague
T Before After
Net income (loss) (1.178) (1.178)
Atrributable to WCC before (646) (646)
Management fee by WCC - 867
Atrributable to WCC (646) 221
Pabrik di Poland dimiliki 100% oleh WCC. Laba (rugi) yang dihasilkan
sepenuhnya menjadi hak WCC.Namun, tidak adanya interest expense dan
management fee yang dibebankan pada pabrik ini membuat laba bersih menjadi
lebih baik dibanding kedua pabrik lainnya. Pabrik di Poland membeli material dari
pabrik lain milik WCC dimana didalamnya sudah termasuk laba yang sudah
diambil oleh pabrik penjual (transfer pricing). Pabrik di Poland kemungkinan juga
bisa menambah laba bersihnya menjadi sekitar $2 juta - $3 juta jika saja mereka
membeli material (bahan baku) dengan harga pasar. Namun, jika WCC
membebankan management fee sebesar 8% dari penjualan (setara $2.603.000) dan
interest expense atas utang sebesar $30.000.000 maka bisa dipastikan pabrik di
Poland juga akan mengalami kerugian sebesar $2 juta - $3 juta. Penilaian kinerja
untuk pabrik di Poland akan menjadi tidak konsisten dengan pabrik lainnya karena
adanya berbagai kondisi tersebut.
Tabel 3 Poland Factory Before and After
Keterangan
Before After
Net income (with transfer pricing in 1.462 $2 juta - $3 juta
cost of sales)
Management fee by WCC - (2.603)
Estimate interest expense - $2,4 juta
Estimate net income (loss) 1.462 ($2 juta-$3 juta)
Bisa disimpulkan bahwa penilaian kinerja atas operasi luar negeri WCC akan sulit
dilakukan karena adanya berbagai kondisi yang tidak seragam antara pabrik satu
dengan yang lainnya. Konsistensi, keseragaman dan persamaan standar penilaian
harus ada supaya objektifitas penilaian kinerja tercapai.
Tabel 4 Malaysia Factory Before and After
Malaysia
Keterangan
Before After
Region manufactured (4.832) -
Region sale - 2.564
2. Apakah ada metode alternatif dalam menghitung performa anak perusahaan yang bisa
menghindarkan WCC dari permasalahan yang ada sst ini?
Jawab:
Return on Investment (ROI = operating income / operating assets)
Tabel 5 Return on Investment
Keterangan Prague Polandia Malaysia
Operating income 478 1.428 (4.832)
Operating assets / Working capital 5.000 5.000 5.000
Return on Investment 9,6% 28,6% -96,6%
Operating income atas pabrik di Praha berdasarkan pada loss atrributable to WCC
dengan persentase sebesar 55%.
Residual Income
Residual Income = Operating Income [Minimum rate of return X Operating
assets]
Tabel 6 Residual Income
Keterangan Prague Polandia Malaysia
Operating income 478 1.428 (4.832)
Minimum Return (1.428) (1.428) (1.428)
Operating assets / Working 5.000 5.000 5.000
capital
Target of ROI 28,6% 28,6% 28,6%
Residual Income (950) - (6.260)
Target ROI menggunakan asumsi pabrik Polandia dengan beberapa pertimbangan,
antara lain: ROI paling tinggi, kepemilikan penuh oleh WACC, bentuk hukum
Perusahaannya.
WCC bisa menggunakan Economic Value Added (EVA) dalam mengukur kinerja
operasi luar negerinya. EVA merupakan laba operasi setelah pajak dikurangi dengan
total annual cost of capital.
EVA menggunakan asumsi WACC sebesar 12% yang digunakan pabrik Malaysia.
Berikut rumus dalam mencari perhitungan EVA:
3. Apa kekuatan dan kelemahan dalam implementasi EVA sebagai salahsatu metode
pengukuran performa anak perusahaan WCC?
Jawab:
a. Evaluasi atas pendekatan penilaian kinerja WACC
Konsistensi dan kinerja keuangan yang dapat diperbandingkan
Laporan kinerja keuangan masing-masing pabrik, mempunyai berbagai kondisi
yang berbeda. Misal, pabrik Praha mempunyai management fee yang harus dibayar
ke WCC, terdapat transfer pricing dalam cost of sales pabrik Polandia, dan pabrik
Malaysia yang dibangun hanya untuk mendukung operasi di kawasan Pasifik bukan
untuk mencari keuntungan tersendiri. Jika WCC ingin membebankan management
fee, maka semua pabrik juga harus dibebankan, semua pabrik juga harus
menggunakan nilai transaksi yang wajar (arms lenght transaction) dalam semua
jenis transaksinya untuk pelaporan kinerja keuangan internal (walaupun tidak untuk
pelaporan eksternal), dan seterusnya.
5. Apa yang akan dijelaskan mengenai investasi yang ada di pabrik Praha, Polandia, dan
Malaysia?
Jawab:
a. Bentuk usaha, hukum, dan struktur kepemilikan dalam operasi luar negeri WCC.
Samantha Chu perlu menjelaskan bentuk usaha, hukum, dan struktur kepemilikan di
masing- masing pabrik dan pengaruhnya terhadap kinerja keuangan pabrik tersebut.
b. Tujuan pendirian masing-masing pabrik.
Pabrik di Praha didirikan atas kerja sama dengan investment partner untuk tujuan
komersial umum dengan beberapa syarat misal, WCC mendapat management fee
serta memperoleh persentasi tertentu dari penjualan dengan menanggung atau
menjamin utang yang dimiliki pabrik di Praha, yang pasti berpengaruh terhadap
kinerja keuangan pabrik tersebut. Laba ataupun rugi atas pabrik ini akan
ditanggung bersama sesuai hak dan kewajiban masing-masing antara WCC dengan
investment partner.
Pabrik di Polandia merupakan pabrik yang beroperasi penuh sebagai suatu
Perusahaan dengan tujuan komersial, karena dimiliki penuh maka tidak ada
management fee yang dibebankan oleh WCC. Laba ataupun rugi atas pabrik ini
sepenuhnya menjadi hak WCC.
Pabrik di Malaysia didirikan bertujuan untuk mendukung kapasitas produksi di
kawasan Pasifik. Pabrik di Malaysia tidak mencari keuntungan sendiri melainkan
mendukung seluruh kawasan untuk mendapat keuntungan lebih besar.