Anda di halaman 1dari 6

1.1.

1 Definisi
Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal'
(pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas
yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002). Kata vitiligo
mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti bercak putih pada
lembu (Habif, 2003).

Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan ditegakkan


dengan pemeriksaan histologi dimana didapati tidak adanya melanosit epidermal
(Habif, 2003). Vitiligo adalah penyakit hipomelanosis idiopatik yang didapat
dengan adanya gejala klinis berupa makula putih yang dapat meluas dan dapat
mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut
dan mata (Soepardiman, 2011).

1.1.2 Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat
berbagai faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo,
misalnya krisis ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011).
Selain dilihat dari etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang memiliki
ciri khas masing-masing, yaitu:
1. Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi:
a. fokal: satu atau lebih makula pada satu area, namun tidak segmental,
b. segmental: satu atau lebih makula pada satu area dengan distribusi sesuai
dermatom, misalnya pada satu tungkai,
c. mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.

2. Generalisata
Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi generalisata.
Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo
generalisata dapat dibagi lagi menjadi:
a. akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka,
yang merupakan stadium mula vitiligo generalisata,
b. vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat,
c. campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang hampir
menyeluruh dan disebut vitiligo total (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan patogenesis yang rumit.
Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan hilangnya melanosit pada epidermal
di vitiligo, penyebab utama vitiligo masih belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah
terjadi pada 2 dekade yang lalu. Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun,
sitotoksik, oksidan-antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang merusak melanosit
epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran genetik sangat signifikan pada kasus
vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo dan beberapa penyakit autoimun lainnya dilaporkan berhubungan dengan
adanya infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Seyedalinahi et al.,
2009).

Ada juga pengaruh genetik pada kejadian munculnya vitiligo yakni ditandai dengan
penetrasi yang tidak sempurna, berbagai tempat yang rentan, dan jenis genetik yang beragam.
Vitiligo yang diturunkan bisa melibatkan gen yang berhubungan dengan biosintesis
melanin, pengaruh oksidatif stress, dan regulasi dari autoimun (Halder dan Taliaferro, 2008).

Hubungan yang paling sering antara vitiligo dengan penyakit autoimun berdasarkan hasil
pemeriksaan bahwa terdapat hubungan HLA dengan vitiligo. Beberapa jenis HLA dengan
vitiligo pada berbagai studi termasuk A2, DR4, DR7, dan Cw6 (Halder dan Taliaferro, 2008).
Hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun dengan baik telah diketahui. Tiroid disorder,
Hashimoto tiroiditis dan penyakit Graves, sangat sering berkaitan dengan vitiligo, bersamaan
dengan penyakit endokrin lainnya seperti penyakit Addison dan diabetes mellitus. Alopesia
areata, anemia pernisiosa, sistemik lupus eritematosus, inflammatory bowel disease, rematoid
artritis, psoariasis dan autoimmune polyglandular syndrome adalah kelainan lain yang berkaitan
dengan vitiligo, tetapi ada makna dari beberapa hubungan ini yang masih diperdebatkan. Bukti
yang paling meyakinkan pada patogenesis autoimun adalah demonstrasi dari sirkulasi
autoantibodi pada pasien vitiligo (Halder danTaliaferro, 2008) Sebagai tambahan pada
keterlibatan mekanisme imun humoral dipatogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat dimana
terdapat indikasi proses imun selular. Kerusakan pada melanosit bisa secara langsung dimediasi
oleh autoreactive cytologic T cells. Peningkatan jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik CD8+ yang
reaktif pada melanA/Mart-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh sel T ), glikoprotein 100, dan
tirosinase telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo.Aktivasi Sel T CD8+ telah
didemonstrasikan didalam pinggiran luka pada kulit yang terkena vitiligo. Reseptor Melanocyte-
spesific T-cell ditemukan di lapisan melanoma dan pada pasien vitiligo memiliki struktural yang
sama (Halder dan Taliaferro, 2008).

Epidemiologi
Vitiligo adalah penyakit depigmentasi paling sering dijumpai. Hampir setengah dari
kasus vitiligo muncul sebelum umur 20 tahun. Kedua jenis kelamin sama-sama terkena vitiligo,
dan tidak ada perbedaan yang nyata dalam angka kejadian menurut jenis kulit dan ras.
Nonsegmental (atau generalisasi) vitiligo dan segmental vitiligo memiliki gejala klinis yang
khusus dan riwayat alami.Nonsegmental vitiligo adalah bentuk yang paling sering pada penyakit
ini (tercatat 85-90% dari semua kasus vitiligo), tetapi pada segmental vitiligo, bisa memiliki
onset yang lebih cepat, tercatat 30% pada kasus anak-anak. Pada awal kejadian, kedua jenis
vitiligo baik nonsegmental vitiligo dan segmental vitiligo dapat menunjukkan fokal vitiligo, yang
mana ditunjukkan karakteristiknya oleh bagian kecil area yang dipengaruhi (<15 cm2) (Taeb
dan Picardo, 2009).
Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia berapapun, tersering
pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan. Di Amerika, sekitar 2 juta orang
menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi
menderita vitiligo. Di India, angkanya mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%.
Sebagian besar kasus terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki riwayat keluarga dan
pola pewarisannya konsisten dengan trait poligenik (Anurogo dan Ikrar, 2014). Pada vitiligo
yang berkaitan dengan pekerjaan, penyakit ini dimulaisetelah terpapar bahan kimia yang toksik
terhadap melanosit. Setelah itu, penyakit ini berkembang menjadi generalisasi vitiligo. Derivat
fenolik/ katekol adalah bahan kimia mayor yang berhubungan dengan vitiligo, dan dapat
menimbulkan kejadian ini. Berbagai jenis alergen yang menyebabkan allergic contact dermatitis
(ACD) memiliki kemungkinan menjadi faktor pemicu bagi vitiligo kontak atau vitiligo yang
berkaitan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, kontak dengan bahan kimia dan allergen telah
dilaporkan karena telah memicu lesi vitiligo. Secara etiologi, telah dilaporkan 864 kasus pada
bahan kimia leukoderma di India. Pewarna rambut (27,4%) adalah kasus tersering yang
dilaporkan sebagai agen kausative, diikuti oleh deodorant atau parfum (21,6%) dan deterjen atau
pembersih (15,4%). Telah dilaporkan bahwa diantara 29 pasien yang melaporkan factor
provokasi dari bahan kimia, diduga terdapat vitiligo yang di induksi oleh bahan kimia seperti
captan, paratertiary butyl phenol (PTBP), dan diphencyprone telah terdeteksi pada 4 pasien.
Bahan kimia yang paling berkontribusi adalah PTBP yang memberikan 50,7% dari agen kausatif.
Bahan kimia yang paling sering terpapar pada kehidupan sehari-hari pasien adalah produk
pembersih (30,0%), diikuti oleh produk kosmetik (17,0%), pewarna rambut (11,4%), dan nikel
(11,2%). Bagaimanapun, hanya 23 pasien (4,9%) mengatakan bahwa semua bahan bahan kimia
ini diduga menjadi pemicu kejadian vitiligo. Diantara 16 pasien yang menjawab bahwa pewarna
rambut memperburuk vitiligo yang telah dideritanya, hanya 8 pasien yang melaporkan allergic
contact dermatitis (ACD) pada pewarna rambut. Oleh karena itu, allergic contact dermatitis
(ACD) pada pewarna rambut tidak dapat menjadi persyaratan untuk perkembangan vitiligo
(Jeon et al., 2014).Terdapat 30% penderita dari prevalensi di dunia mempunyai riwayat keluarga.
Perkembangan awal dari lesi, sekitar 25% penderita dijumpai pada usia dibawah 10 tahun, 50%
terjadi sebelum usia 23 tahun dan kurang dari 10% terjadi pada usia lebih dari 42 tahun.
Walaupun vitiligo relatif jarang dijumpai pada bayi tetapi kongenital vitiligo pernah dilaporkan
dan kadang kadang didiagnosa sebagai piebaldism (Lubis, 2009). Pada banyak penelitian,
vitiligo lebih banyak dijumpai pada wanita (dewasa) dibandingkan pada laki-laki (dewasa) yaitu
2-3 :1. Sedangkan penelitian vitiligo pada anak-anak, dijumpai perbandingan yang hampir sama
pada kedua jenis kelamin. Kemungkinan ini disebabkan wanita (dewasa) lebih memberikan
perhatian terhadap penyakit nya dibandingkan laki-laki (dewasa), sehingga lebih banyak
mendapat pengobatan (Lubis, 2009).

Patogenesis
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), ada
beberapa patogenesis terbentuknya vitiligo, yakni sebagai berikut:

1. Hipotesis autoimun
Ditandai adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis hashimoto, anemia pernisiosa,
dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum 80% penderita.

2. Hipotesis neurohumoral
Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor neural berpengaruh.
Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol. Kemungkinan adanya produk
yang terbentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa
lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respons transmitter saraf, misalnya
asetilkolin.
3. Autotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan
DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan radikal bebas.
Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan precursor melanin. Secara in vitro
dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom merupakan sitotoksik terhadap melanosit.

4. Pajananan terhadap bahan kimia


Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan mono benzil eter hidrokinon dalam
sarung tangan atau deterjen yang mengandung fenol. Mono benzil eter hidrokinon mempunyai
mekanisme yang sama dengan hidrokinon yakni sebagai precursor dalam proses melanogenesis,
namun penggunaan yang berlebihan dari mono benzil eter hidrokinon ini dapatmengakibatkan
zat ini dimetabolisme menjadi radikal bebas yang aktif yang dapat menghancurkan melanosit itu
sendiri (Katsambas dan Stratigos, 2001).

Gejala Klinis
Pasien dengan vitiligo akan menunjukkan satu sampai beberapa macula amelanotik yang
berwarna seperti kapur atau putih susu. Lesi vitiligo biasanya dapat ditentukan batasnya dengan
baik, tetapi garis tepinya dapat dijumpai scalloped. Makula vitiligo dapat dievaluasi dengan
pemeriksaan lampu wood.Perbesaran lesi secara sentrifugal pada kadar yang tidak dapat
diprediksi dan dapat timbul di semua sisi tubuh, termasuk mukosa membran. Walaupun
demikian, lesi inisial lebih sering timbul pada tangan, lengan bawah, kaki , dan wajah. Ketika
vitiligo timbul pada wajah, vitiligo sering melibatkan penyebaran di daerah perioral dan
periokular (Halder dan Taliaferro, 2008).

Penegakan Diagnosis
Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu mencari perluasannya. Biopsi
kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan pemeriksaan TSH dan kadar glukosa darah puasa
(Barankin dan Freiman, 2006).Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin (2011) terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:
1. Evaluasi klinis
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis. Pada anamnesis
ditanyakan:
a. awitan penyakit
b. riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini
c. riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan anemia
pernisiosa.
d. kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya, dan pajanan
bahan kimiawi.
e. riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.

2. Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaaan Hematoksilin Eosin (HE) tampaknya normal kecuali tidak
ditemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula. Reaksi DOPA untuk
melanosit negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi yang berpigmentasi.

3. Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan DOPA menunjukkan tidak
adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal. Diagnosis pada vitiligo ditegakkan
dengan pemeriksaan fisik. Bagaimanapun, adanya pertimbangan bahwa terdapat hubungan
vitiligo dengan penyakit autoimun lainnya, beberapa pemeriksaan laboratorium membantu
menegakkan diagnosis, termasuk kadar TSH (thyroid stimulating hormone), antibodi antinuklear,
dan pemeriksaan darah lengkap. Para klinisi juga harus melakukan investigasi dari serum
antitiroglobulin dan antitiroid peroksida antibodi, khususnya ketika pasien mempunyai tanda dan
gejala dari penyakit tiroid. Antitiroid peroksida antibodi, menjadi tanda yang sensitif dan spesifik
dari kelainan autoimun tiroid. Berdasarkan definisi, penyakit vitiligo adalah penyakit dimana
kurangnya melanosit pada lesi kulit. Demikian juga dengan permukaan dermal, perivaskular dan
limfositik perifolikular infiltrat primer dapat juga diamati pada batas lesi vitiligo dan lesi awal,
yang terdiri dari mediasi sel imunyang melakukan proses kerusakan melanosit pada vitiligo
(Halder dan Taliaferro,2008).

8 Penatalaksanaan
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), pengobatan
vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk menggunakan penutup muka agar
bagian yang terkena vitiligo tidak tampak. Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen
atau metoksi-psoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung
ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg berat badan
dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun. Pengobatan dengan psoralen
secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum penyinaran sering menimbulkan dermatitis
kontak iritan. Pada beberapa penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya betametason
valerat 0.1% atau klobetasol propionat 0.05% efektif menimbulkan pigmen (Soepardiman,
2011). Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara topikal saja dengan salep metoksalen
1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus dilutus. Cairan tersebut dioleskan pada lesi. Setelah
didiamkan 15 menit lalu dijemur selama 10 menit. Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan
kulitnya generalisata, pengobatannya digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat tersebut
dimakan 2 kapsul (20 mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali. Bila lesi lokalisata, hanya
diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6 bulan tidak ada perbaikan pengobatan dihentikan
dan dianggap gagal (Soepardiman, 2011). MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat
dipakai untuk mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan tidak berhasil
dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada dermatitis kontak pengobatan dilanjutkan sampai 4
minggu untuk daerah yang normal (Soepardiman, 2011).

Penanganan pada vitiligo


Tipe Penanganan
1. Segmental dan Lini pertama : hindari faktor pemic
nonsegmental/ terapi
terbatas lokal ( kortikosteroid topikal, inhibitor cal
(melibatkan Lini kedua : terapi localized narrow
<2-3% terutama
permukaan lampu monokromatis excimer atau la
tubuh) Lini ketiga : pertimbangkan teknik
repigmentasi secara kosmetik di daerah ya
kurang
memuaskan

Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1 tahun.
Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang normal pada daerah yang terpajan sinar
matahari dan pada penderita berkulit gelap sehingga harus dicegah dengan tabir surya
(Soepardiman, 2011). Cara lain ialah tindakan pembedahan dengan tandur kulit, baik pada
seluruh epidermis dan dermis, maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah ujung jari, bibir, siku,
dan lutut umumnya memberikan hasil pengobatan yang buruk (Soepardiman, 2011).

Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di prediksi. Repigmentasi
spontan yang secara kosmetik memuaskan pasien jarang terjadi. Bintik repigmentasi pada bercak
menandakan bahwa melanosit yang berasal dari Lapisan akar terluar pada folikel rambut
memproduksi melanin. Penting untuk menentukan apakah vitiligonya stabil atau progresif, yang
kedepannya menentukan pemilihan terapi (Sterry et al., 2006). Klinis dari sub-tipe vitiligo belum
dapat memprediksi bagian anatomi yang terkena di masa depan atau aktivitas dari penyakit ini
(Halder dan Taliaferro,
2008).

Anda mungkin juga menyukai