Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS TUBERCULOSIS PARU

A. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit radang pareknim paru karena infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosa. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu

pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosa (Darmanto, 2014).

Menurut Sulianti (2004) Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Sebagian besar kuman ini menyerang paru,

tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang yang

mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu

disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar

matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan

lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa

tahun.

B. Etiologi

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium

tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang yang berbentuk batang dengan ukuran

panjang 1-4/mm dan tebal 0,3 - 0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak

(lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol)

sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan

kimia dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dingin (dapat

tahan bertaun-tahun dalam lemari es) hal ini terjadi karena kuman bersifat dormant.

Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan menjadikan tuberculosis menjadi

aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih

menyenangi jaringan yang tinggi oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-

paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat

predileksi penyakit Tuberkulosis (Amin, 2009).


Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas

(droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya

menyebar kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke).

keduanya dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar

akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi sebelum

tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Faktor

predisposisi penyebab penyakit tuberkulosis antara lain ( Elizabeth J powh, 2001) :

a. Mereka yang kontak dekat dengan seorang yang mempunyai TB aktif

b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien kanker, individu dalam terapi

kartikoteroid atau terinfeksi HIV).

c. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik

d. Individu tanpa perawatan yang adekuat

e. Individu dengan gangguan medis seperti; DM, CKD

f. Imigran dari negara dengan TB yang tinggi (Asia Tenggara, Amerika latin, Karibia)

g. Individu yang tinggal di institusi (Institusi psikiatrik, penjara)

h. Individu yang tinggal di daerah kumuh

i. Petugas kesehatan

Cara penularan TB (Depkes, 2006) :

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak.

c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam

waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama

beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan

dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin

menular pasien tersebut.

e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

C. Patofisiologi

Basil tuberkel yang mengcapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi sebagai suatu

unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung

tertahan di rongga hidung dan tidak menyebabkan penyakit, setelah berada dalam ruang

alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah) basil

tuberculosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit polimorfunuklear tampak

pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut.

Sesudah hari hari pertama maka lekosit diganti oleh magrofat (Wijaya, 2013, Hal.

138).

Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala

pneumonia akut. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang

mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk

sel tuberkel spiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung

selama 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif

padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami

nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan

fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa,


membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelingi

tuberkel (Wijaya, 2013, Hal. 138).

Lesi primer paru paru disebut focus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe

regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami

perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan

radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah percairan dimana

bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tubercular yang

dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini

dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring,

telinga tengah atau usus. Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan

meninggalkan parut fibrosa(Wijaya, 2013, Hal. 138).

Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan

parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat

mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip

dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala

dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat

peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah

(limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan memcapai aliran

darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada

berbagai organ lain (ekstrapulmaner). Penyebaran hematogen merupakan suatu

fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis milier. Ini terjadi apabila

focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam

sistem vascular dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ organ tubuh (Wijaya,

2013, Hal. 138).


D. Klasifikasi Tuberkulosis

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

1. Tuberkulosis paru adalah Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim (jaringan)

paru Milier Tuberkulosis dianggap sebagai Tuberkulosis paru karena adanya

lesi pada jaringan paru. Limfadenitis Tuberkulosis dirongga dada (hilus dan

atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang

mendukung Tuberkulosis pada paru, dinyatakan sebagai Tuberkulosis ekstra

paru. Pasien yang menderita Tuberkulosis paru dan sekaligus juga menderita

Tuberkulosis ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien Tuberkulosis paru.

2. Tuberkulosis ekstra paru adalah Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain

paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,

selaput otak dan tulang.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

(1) Pasien baru Tuberkulosis: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan Tuberkulosis sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan (dari 28 dosis).

(2) Pasien yang pernah diobati Tuberkulosis: adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (dari 28 dosis). Pasien ini

selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan Tuberkulosis

terakhir, yaitu:

(3) Pasien kambuh: adalah pasien Tuberkulosis yang pernah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis Tuberkulosis berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau

karena reinfeksi).
(4) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien Tuberkulosis yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

(5) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah

pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini

sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).

(6) Lain-lain: adalah pasien Tuberkulosis yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi pasien Tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

yaitu :

(1) Tuberkulosis paru BTA positif.

(a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

(b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thorak dada

menunjukkan tuberkulosis.

(c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

Tuberkulosis positif.

(d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

yang pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

(2) Tuberkulosis BTA Negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.

Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi:

1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

2. Foto thorak abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.


E. Tanda dan Gejala Tuberculosis Paru

Keluhan yang dirasakan pasien Tuberkulosis paru dapat bermacam-macam atau

banyak pasien ditemukan Tuberkulosisparu tanpa keluhan sama sekali. Gejalanya

berupa gejala umum dan gejala respiratorik. Gejala umum berupa demam dan malaise.

Demam ini mirip dengan demam yang disebabkan influenza namun kadang-kadang

dapat mencapai 40-41C. Gejala demam ini bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi

dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan

berkurang, serta penurunan berat badan (Darmanto, 2014).

Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan

gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit

Tuberkulosis paru aktif. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya

pleura dalam proses penyakit (Darmonto, 2014).

F. Komplikasi

Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes RI, 2005) :

1. Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan

kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.

2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.

3. Bronkiektasis ( pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan

ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

4. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan

karena kerusakan jaringan paru.

5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.

6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency)


G. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan Radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks

paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga

mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor

paru.

2. Pemeriksaan Laboratorium

a) Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-

kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat

tuberkulosis baru mulai sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri.

Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat.

Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah

limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.

b) Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman

BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu

pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang

sudah diberikan.

c) Tes Tuberkulin

Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau

pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG

dan Myobacteria patogen lainnya.


G. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap OAT.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT

tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung

(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat

(PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1) Tahap awal (intensif)

i. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

ii. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

iii. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam

2 bulan.

2) Tahap Lanjutan

i. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama

ii. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan
d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh ProgramNasional Penanggulangan

Tuberkulosis di Indonesia:

o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

o Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat

kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini

disediakan dalam bentuk OAT kombipak.

Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu

paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak: Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu

Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan

program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai

selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas

obat dan mengurangi efek samping.

2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya

resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.


3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi

sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai