Anda di halaman 1dari 14

USULAN PROPOSAL

HUBUNGAN POLA MAKAN DAN ASUPAN ZAT GIZI


MAKRO PADA BALITA USIA 6-24 BULAN DIBERI
ASI EKSLUSIF DAN TIDAK DIBERI
ASI EKSLUSIF

OLEH :
SRI KAROLINA LAOWO
P01031214055

POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENKES MEDAN

PRODI D IV GIZI

2017
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif merupakan pilihan asupan nutrisi


yang sangat baik bagi bayi. Namun masih banyak ibu yang salah
mengartikan pengertian dari ASI Eksklusif, dimana mereka biasanya
hanya memfokuskan bahwa ASI Eksklusif hanya tidak
memperbolehkan pemberian makanan tambahan saja. Menurut
Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian Air
Susu Ibu Eksklusif, ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada
bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan
dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. World
Health Organization(WHO) menambahkan bahwa selama pemberian
ASI eksklusif ada beberapa cairan yang dapat dikonsumsi oleh bayi
pada keadaan tertentu, cairan tersebut ialah beberapa tetes sirup yang
terdiri dari vitamin, suplemen mineral atau obat-obatan.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013


menunjukkan bahwa prevalensi kurus dan sangat kurus (wasting)
berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) pada anak
balita berjumlah 12,1% menurun dari 13,3% pada tahun 2010. Angka
kejadian gizi buruk pada tahun 2008 yang mendapat perawatan
sebanyak 41.064 kasus, dan pada tahun 2009 sebanyak 56.941
kasus. Prevalensi anak pendek secara nasional tahun 2013 adalah
37,2% meningkat dibandingkan tahun 2010 yang berjumlah 35,6% dan
2007 berjumlah 36,8%. Prevalensi tersebut terdiri dari 18,0% sangat
pendek dan 19,2% pendek. Secara nasional, prevalensi gizi kurang
pada balita mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun 2007
sampai dengan tahun 2013 yaitu jumlah gizi kurang dan gizi buruk
mencapai 18,4% kemudian mengalami kenaikan menjadi 19,6%
(Riskesdas 2013). Berdasarkan hasil survei pendahuluan, pola makan
balita pada keluarga miskin hanya mengonsumsi makanan pokok
berupa nasi dengan lauk pauk. Lauk pauk yang biasa dikonsumsi
adalah tahu, tempe, ikan, dan telur. Sementara itu, daging sangat
jarang dikonsumsi karena harganya relatif mahal. Konsumsi sayur dan
buah juga masih sangat terbatas. Frekuensi makan balita tersebut
hanya 2 kali dalam sehari.
Manfaat pemberian ASI eksklusif sesuai dengan salah satu
tujuan dari Millenium Development Goals (MDGs) yaitu mengurangi
tingkat kematian anak dan meningkatkan kesehatan Ibu. WHO (2009)
menyatakan sekitar 15% dari total kasus kematian anak di bawah usia
lima tahun di negara berkembang disebabkan oleh pemberian ASI
secara tidak eksklusif. Berbagai masalah gizi kurang maupun gizi
lebih juga timbul akibat dari pemberian makanan sebelum bayi berusia
6 bulan (Ariani ,2008).

Bayi yang mendapatkan makanan padat atau cairan kecuali


vitamin, mineral, atau obat sebelum berumur 6 bulan seiring
pemberian ASI dikategorikan sebagai ASI non eksklusif. Berbagai
penelitian telah dilakukan di luar negeri mengenai hubungan
pemberian ASI terhadap tumbuh kembang anak. Penelitian di
Baltimore, Washington didapatkan bahwa bayi yang diberikan ASI
eksklusif berat badannya normal dan tidak cenderung obesitas
dibandingkan bayi yang mendapat ASI non eksklusif. Pemberian ASI
eksklusif untuk bayi yang berusia < 6 bulan secara global dilaporkan
kurang dari 40%.9 Secara nasional cakupan ASI untuk bayi sampai
umur 6 bulan mengalami fluktuasi, yaitu 24,3% pada tahun 2008,
kemudian meningkat pada tahun 2009 menjadi 34,3%, dan menurun
pada tahun 2010 menjadi 33,6%.10

WHO & UNICEF dalam Global Strategy for Infant and Young
Child Feeding (GSIYCF) serta Kementerian Kesehatan melalui
Kepmenkes RI No.450/ MENKES/ SK/IV/2004 dan Undang- Undang
Kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 128 merekomendasikan:

a) Memberikan ASI kepada bayi segera 30 menit setelah bayi lahir;


b) Memberikan ASI eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan;
c) Memberikan MP-ASI sejak bayi berusia 6-24 bulan;
d) Meneruskan pemberian ASI sampai usia 24 bulan atau lebih.3,4,5

Menurut WHO/UNICEF, standar emas pemberian makan pada


bayi dan anak adalah
a) Mulai segera menyusui dalam 1 jam setelah lahir
b) Menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6
bulan, dan
c) Mulai umur 6 bulan bayi mendapat Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI) yang bergizi sesuai dengan kebutuhan tumbuh
kembangnya dan
d) Meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan atau lebih.

Pemberian ASI sangat bermanfaat bagi ibu, keluarga, dan


negara. Manfaat pemberian ASI antara lain:

a) Mencegah perdarahan pasca persalinan,


b) Mengurangi 3 risiko terjadinya anemia, mengurangi risiko kanker
ovarium dan payudara,
c) Memperkuat ikatan batin seorang ibu dengan bayi yang
dilahirkan,sebagai salah satu metode KB badan sementara.

Manfaat ASI bagi keluarga antara lain:


a) Mudah pemberiannya seperti tidak perlu mencuci botol dan
mensterilkan sebelum digunakan,
b) Menghemat biaya, bayi sehat dan jarang sakit sehingga
menghemat pengeluaran keluarga.
Manfaat ASI bagi Negara antara lain:
a) Menurunkan angka kesakitan dan kematian anak,
b) Mengurangi subsidi untuk rumah sakit,
c) Mengurangi devisa untuk membeli susu formula,
d) Meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa (Astutik,2014 ).

Banyak faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif


pada bayi usia 0-6 bulan. Penelitian februhartanty (2008) menyatakan
bahwa kegagalan ASI eksklusif adalah karena faktor predisposisi yaitu
pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang dan faktor pemungkin
penting yang menyebabkan terjadinya kegagalan adalah karena ibu
tidak difasilitasi melalui IMD. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pengetahuan dan pengalaman ibu sangat penting dalam menentukan
pemberian ASI eksklusif pada bayinya. Hal ini sesuai dengan teori
Though and Feelingyang dikemukakan oleh WHO (2007), dalam
Notoatmdjo(2010) bahwa yang menyebabkan seseorang itu
berperilaku tertentu adalah karena empat alasan pokok,yaitu pemikiran
dan perasaan yang terdiri dari pengetahuan, persepsi, sikap,
kepercayan, orang penting sebagai referensi, sumber-sumber daya
dan budaya.
Makanan pendamping ASI diberikan terlalu dini justru dapat
meningkatkan angka kematian bayi, menggangu sistem pencernaan
pada bayi, dan apabila terlambat memberikan juga akan membuat bayi
kekurangan gizi (Kodrat, 2010). Salah satu penyebab terjadinya
gangguan tumbuh kembang bayi dan anak usia 0-24 bulan di
Indonesia adalah rendahnya mutu MP-ASI dan tidak sesuainya pola
asuh yang diberikan (Depkes RI, 2007).

Pola makan balita secara umum hampir sama dengan pola


makan keluarga. Hanya saja pola makan yang baik untuk anak yaitu
dengan memperhatikan kebutuhan gizi anak dan sesuai dengan jadwal
usianya. Pada usia balita (1-5 tahun), sudah dapat dikenalkan dengan
makanan rumah atau makanan keluarga dengan variasi makanan
yang lebih beragam dengan mengolah makanan yang memenuhi
standar gizi seimbang dengan pilihan menu yang bervariasi sehingga
anak tidak cepat bosan (Adriani, 2014).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk
mencapai hal tersebut adalah melalui pola asuh makan yang baik.
Tumbuh kembang balita dan asupan zat gizi yang baik dapat
diupayakan dengan memberikan air susu ibu (ASI eksklusif) sampai
umur 6 bulan. Setelah itu, pemberian makanan pendamping air susu
ibu (MP-ASI). MP-ASI merupakan makanan tambahan selain ASI yang
diberikan pada bayi sampai usia 24 bulan.

Rekomendasi kebutuhan makronutien pada bayi didasarkan


pada kandungan gizi ASI / 100 ml. Karbohidratmenyusun 45-65% dari
total kalori ASI atau berkisar 130 gram/hari. Protein dalam ASI
memenuhi 5-20 % dari total kalori ASI atau berkisar13 gram/hari.
Sebesar 30-40 % dari total kalori ASI tersusun atas lemak. Lemak
dibutuhkan untuk mendukung perkembangan saraf otak dan saraf
pada organ tubuh lainnya.

Status gizi merupakan gambaran ukuran terpenuhinya


kebutuhan gizi yang diperoleh dari asupan dan penggunaan zat gizi
oleh tubuh. Penilaian status gizi dengan menggunakan data
antropometri antara lain berat badan menurut umur (BB/U), tinggi
badan (BB/TB).
Berdasarkan hasil penelitian Realita (2010) mengenai hubungan
antara pola makan dengan pertumbuhan balita yang menjelaskan
bahwa konsumsi makanan atau dalam pola pemberian makan yang
baik berpengaruh terhadap status gizi dan pertumbuhan balita. Status
gizi baik bila tubuh memperoleh asupan gizi yang baik, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik dan kesehatan secara umum pada
keadaan umum sebaik mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh
mengalami kekurangan zat gizi.

World Health Organitation (WHO) merekomendasikan


pengukuran antropometri pada bayi dan balita menggunakan grafik
yang dikembangkan oleh WHO dan Center For Disease Control and
Prevention (CDC). Grafik tersebut menggunakan indikator z-score
sebagai standar deviasi rata-rata dan pesentil median.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013


menunjukkan bahwa prevalensi kurus dan sangat kurus (wasting)
berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) pada anak
balita berjumlah 12,1% menurun dari 13,3% pada tahun 2010. Angka
kejadian gizi buruk pada tahun 2008 yang mendapat perawatan
sebanyak 41.064 kasus, dan pada tahun 2009 sebanyak 56.941
kasus. Prevalensi anak pendek secara nasional tahun 2013 adalah
37,2% meningkat dibandingkan tahun 2010 yang berjumlah 35,6% dan
2007 berjumlah 36,8%. Prevalensi tersebut terdiri dari 18,0% sangat
pendek dan 19,2% pendek. Secara nasional, prevalensi gizi kurang
pada balita mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun 2007
sampai dengan tahun 2013 yaitu jumlah gizi kurang dan gizi buruk
mencapai 18,4% kemudian mengalami kenaikan menjadi 19,6%
(Riskesdas 2013).

Menurut Riskesdas (2013) persentase pemberian ASI eksklusif


semakin menurun, seiring meningkatnya umur bayi dengan persentase
terendah pada anak umur 6 bulan (30,2 %). Air susu ibu mengandung
semua nutrien yang dibutuhkan bayi dalam jumlah yang benar dan
tidak pernah basi, manfaat paling penting dari menyusui adalah
perlindungan terhadap infeksi seperti diare, infeksi pernafasan, dan
lain-lain (Kemenkes RI, 2015).

Sehubungan dengan itu telah ditetapkan dengan Keputusan


Menteri Kesehatan Nomor 450/Men.Kes/SK/IV/2004 tentang
Pemberian ASI secara eksklusif pada bayi Indonesia (Depkes RI,
2005). Meskipun pemerintah telah menghimbau pemberian ASI
Eksklusif, angka pemberian ASI Eksklusif masih rendah, tidak
menunjukkan peningkatan yang cukup memuaskan. Cakupan
persentase bayi yang diberi ASI Eksklusif dari tahun 2004-2007
cenderung menurun secara signifikan, namun pada tahun 2008 ada
peningkatan yang cukup berarti yaitu sebesar 10,33% dibandingkan
tahun 2007 yaitu pada tahun 2007 cakupan ASI Eksklusif sebesar
26,36% sedangkan pada tahun 2008 sebesar 36,72%.

Namun pada tahun 2009 dan 2010 turun menjadi 32,15% dan
25,43%. Pencapaian ASI Eksklusif terendah yaitu di Kota Medan
sebesar 0,26% (Profil Kesehatan Sumut, 2010). Cakupan ASI eksklusif
di wilayah kerja Puskesmas yang ada di Kota Medan masih sangat
rendah yaitu berkisar 0% sampai 2,26%. Puskesmas yang pencapaian
ASI-nya paling tinggi adalah Puskesmas Padang Bulan yaitu 2,26%,
dari 973 bayi yang lahir pada Tahun 2010, hanya 22 bayi yang diberi
ASI eksklusif. Hal ini masih sangat jauh dari target ASI eksklusif yang
ditetapkan yaitu sebesar 80% (Profil Dinas kesehatan Kota Medan,
2010). Oleh karena pemberian ASI sangat penting bagi tumbuh
kembang bayi yang optimal baik fisik maupun mental dan
kecerdasannya, maka perlu perhatian agar tatalaksananya dilakukan
dengan benar. Faktor keberhasilan dalam menyusui adalah dengan
menyusui secara dini dengan posisi yang benar, teratur dan eksklusif
(Depkes RI, 2005).

Target 80% cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia


masih sangat jauh dari kenyataan. Pemberian ASI eksklusif
merupakan investasi terbaik bagi kesehatan dan kecerdasan anak
(Depkes, 2007).
B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan pola makan dan asupan zat gizi makro pada balita usia
6-24 bulan yang diberi ASI eksklusif dan tidak diberi ASI ekslusif

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan pola makan dan asupan zat gizi


makro pada balita usia 6-24 bulan yang diberi ASI eksklusif dan
tidak diberi ASI ekslusif.

2. Tujuan khusus
a. Menilai pola makan balita usia 6-24 bulan yang diberi ASI
ekslusif dan yang tidak diberi ASI ekslusif.
b. Menilai zat gizi makro Kh,P,L balita usia 6-24 bulan yang diberi
ASI ekslusif dan yang tidak diberi ASI ekslusif

D. Manfaat penelitian
a. Bagi penulis
Sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan
dan wawasan penulis dalam menyusun skripsi.
b. Bagi ibu menyusui
Memberikan informasi dan manfaat ASI ekslusif terhadap pola
makan dan asupan zat gizi makro anak balita
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asi ekslusif

1. Pengertian ASI eksklusif

ASI adalah sebuah cairan tanpa tanding ciptaan Allah untuk


memenuhi kebutuhan gizi bayi dan melindunginya dalam
melawan kemungkinan serangan penyakit. Keseimbangan zat-
zat gizi dalam air susu ibu berada pada tingkat terbaik dan air
susunya memiliki bentuk paling baik bagi tubuh bayi yang masih
muda. Pada saat yang sama, ASI juga sangat kaya akan sari-
sari makanan yang mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan
perkembangan sistem saraf. Makanan- makanan tiruan untuk
bayi yang diramu menggunakan teknologi masa kini tidak
mampu menandingi keunggulan makanan ajaib ini (Yahya, 2005
dalam Maryunani, 2012).

2. Manfaat pemberian ASI Eksklusif terhadap bayi


a. Bagi Bayi
Bayi mendapatkan kolostrum yang mengandung zat kekebalan
terutama Immunoglobullin A (IgA) yang melindungi bayi dari
berbagai infeksi terutama diare, membantu pengeluaran
meconium (Hegar, Suradi,Hendarto, & Partiwi, 2008);
kandungan gizi paling sempurna untuk pertumbuhan bayi dan
perkembangan kecerdasannya; pertumbuhan sel otak secara
optimal terutama kandungan protein khusus, yaitu taurin,selain
mengandung laktosa dan asam lemak ikatan panjang lebih
banyak susu sapi/kaleng; mudah dicerna, penyerapan lebih
sempurna, terdapat kandungan berbagai enzim untuk
penyerapan makanan, komposisi selalu menyesuaikan diri
dengan kebutuhan bayi; protein ASI adalah spesifik species
sehingga jarang menyebabkan alergi untuk manusia; membantu
pertumbuhan gigi; mengandung zat antibodi mencegah infeksi,
merangsang pertumbuhan sistem kekebalan tubuh; mempererat
ikatan batin antara ibu dan bayi. Ini akan menjadi dasar si kecil
percaya pada orang lain, lalu diri sendiri, dan akhirnya
berpotensi untuk mengasihi orang lain; bayi tumbuh optimal dan
sehat tidak kegemukan atau terlalu kurus (Rukiyah, Yulianti,
Liana, 2011); mengurangi resiko terkena penyakit kencing
manis, kanker pada anak dan mengurangi kemungkinan
menderita penyakit jantung; menunjang perkembangan motorik
(WHO,2010; Roesli (2000) dalam Haniarti, 2011).

b. Bagi Ibu
Manfaat bagi ibu yakni: mudah, murah, praktis tidak merepotkan
dan selalu tersedia kapan saja; mempercepat
involusi/memulihkan dari proses persalinan dan dapat
mengurangi perdarahan karena otot-otot di rahim mengerut,
otomatis pembuluh darah yang terbuka itu akan terjepit
sehingga perdarahan akan segera berhenti; mencegah
kehamilan karena kadar prolaktin yang tinggi menekan hormon
FSH dan ovulasi, bisa mencapai 99 %, apabila ASI diberikan
secara terus-menerus tanpa tambahan selain ASI;
meningkatkan rasa kasih sayang dan membuat rasa lebih
nyaman; mengurangi penyakit kanker, mekanisme belum
diketahui secara pasti ibu yang memberikan ASI Eksklusif
memiliki resiko kanker ovarium lebih kecil dibanding yang tidak
menyusui secara Eksklusif (Rukiyah, Yulianti, Liana, 2011);
membantu ibu menurunkan berat badan setelah melahirkan,
menurunkan risiko DM Tipe 2 ( WHO, 2010; Aprilia, 2009 dalam
Jafar, 2011).

c. Bagi Keluarga
Tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk membeli susu
formula,botol susu, serta kayu bakar atau minyak tanah untuk
merebus air, susu,dan peralatannya; jika bayi sehat berarti
keluarga mengeluarkan lebih sedikit biaya guna perawatan
kesehatan; penjarangan kelahiran lantaran efek kontrasepsi
LAM (The Lactation Amenorrhea Methods) dari ASI; jika bayi
sehat berarti menghemat waktu keluarga; menghemat tenaga
keluarga karena ASI selalu siap tersedia dan keluarga tidak
perlu repot membawa botol susu, air panas dan lain sebagainya
ketika berpergian (Prasetyono, 2012).
d. Bagi Masyarakat
Menghemat devisa Negara lantaran tidak perlu mengimpor susu
formula dan peralatan lainnya; bayi sehat membuat negara lebih
sehat;penghematan pada sektor kesehatan karena jumlah bayi
yang sakit hanya sedikit; memperbaiki kelangsungan hidup
anak dengan menurunkan angka kematian; melindungi
lingkungan lantaran tidak ada pohon yang digunakan sebagai
kayu bakar untuk merebus air, susu dan peralatannya dan ASI
merupakan sumber daya yang terus-menerus diproduksi
(Prasetyono, 2012).

3. Klasifikasi ASI
ASI dibedakan dalam tiga stadium yaitu: kolostrum, air susu
transisi, dan air susu matur. Komposisi ASI hari 1-4 (kolostrum)
berbeda dengan ASI hari 5-10 (transisi) dan ASI matur
(Maryunani, 2012).

1. Kolostrum
Kolostrum merupakan susu pertama keluar berbentuk cairan
kekuning-kuningan yang lebih kental dari ASI matang.
Kolostrum mengandung protein, vitamin yang larut dalam lemak,
dan mineral yang lebih banyak dari ASI matang. Kolostrum
sangat penting untuk diberikan karena selain tinggi
immunoglobulin A (IgA) sebagai sumber imun pasif bayi,
kolostrum juga berfungsi sebagai pencahar untuk
membersihkan saluran pencernaan bayi baru lahir. (Brown,
2004; Olds et all, 2000; Roesli, 2003 dalam Pertiwi, 2012).

2. ASI Transisi
ASI transisi diproduksi mulai dari berhentinya produksi
kolostrum sampai kurang lebih dua minggu setelah melahirkan.
Kandungan protein dalam ASI transisi semakin menurun,
namun kandungan lemak, laktosa, vitamin larut air, dan semakin
meningkat. Volume ASI transisi semakin meningkat seiring
dengan lamanya menyusui dan kemudian digantikan oleh ASI
matang (Olds et all, 2000; Roesli, 2003 dalam Pertiwi, 2012).

3. ASI Matur/ matang


ASI matang mengandung dua komponen berbeda berdasarkan
waktu pemberian yaitu foremilk dan hindmilk. Foremilk
merupakan ASI yang keluar pada awal bayi menyusu,
sedangkan hindmilk keluar setelah permulaan let-down.
Foremilk mengandung vitamin, protein, dan tinggi akan air.
Hindmilk mengandung lemak empat sampai lima kali lebih
banyak dari foremilk (Olds et all, 2000; Roesli, 2003 dalam
Pertiwi, 2012).

4. Kandungan ASI
ASI adalah makanan untuk bayi. Kandungan gizi dari ASI
sangat khusus dan sempurna serta sesuai dengan kebutuhan
umbuh kembang bayi. ASI mudah dicerna, karena selain
mengandung zat gizi yang sesuai, juga mengandun enzim-
enzim untuk mencernakan zat-zat gizi yang terdapat dalam ASI
tersebut. ASI mengandung vitamin yang lengkap yang dapat
mencukupi kebutuhan bayi
sampai 6 bulan kecuali vitamin K, karena bayi baru lahir
ususnya belum mampu
membentuk vitamin K. Maka setelah lahir biasanya bayi
diberikan tambahan vitamin K dari luar (Maryunani, 2012).

B. Faktor Faktor Penyebab Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif

Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan memberikan


ASI eksklusif pada bayi (Roesli, 2000)
a) Faktor Internal
1) Pendidikan Makin tinggi pendidikan seseorang, maka
makin mudah untuk menerima informasi, sehingga
semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat
sikap terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan
termasuk ASI eksklusif.
2) Pengetahuan Pengetahuan yang salah dimiliki oleh
seseorang tentang manfaat dan tujuan pemberian ASI
eksklusif bisa menjadi penyebab gagalnya pemberian
ASI eksklusif pada bayi. Kemungkinan pada saat
pemeriksaan kehamilan mereka tidak memperoleh
penyuluhan intensif tentang ASI eksklusif, kandungan
dan manfaat ASI, teknik menyusui, dan kerugian jika
tidak memberikan ASI eksklusif. Para ibu yang melihat
iklan dan mendapatkan informasi dari lingkungan sekitar
bahwa susu formula mampu menaikan berat badan
dengan cepat akhirnya memilih sikap untuk memberikan
susu formula terhadap bayinya.
3) Psikologi Ibu - Rasa percaya diri atau keyakinan pada
ibu bahwa ASI yang diberikan secara eksklusif kepada
bayi tidak cukup sehingga ibu ingin cepat memberikan
susu formula atatu bubur yang terbuat dari tepung biji
bijian kepada bayinya. - Kestabilan emosional, ibu takut
kehilangan daya tarik dan kepercayaan dalam dirinya,
dikarenakan menyusui akan membuat bentuk payudara
kurang bagus. Sehinggga membuat emosional ibu
meningkat Lingkungan pekerjaan, dimana tempat ibu
bekerja tidak mendukung apabila ibu memberikan ASI
eksklusif nantinya akan mengganggu produktivitas dalam
bekerja

b) Faktor eksternal
1) Peran ayah: dukungan ayah sangat penting dalam
suksesnya menyusui, dukungan emosional suami sangat
berarti dalam menghadapi tekanan luar yang meragukan
akan manfaat ASI eksklusif.
2) Sosial budaya: ibu-ibu yang bekerja atau kesibukan sosial
lainya, cenderung meniru teman/tetangga yang memberikan
susu botol kepada bayinya.
3) Meningkatnya promosi susu kaleng pengganti ASI

C. Pola Makan

Pola makan adalah kebiasaan makan yang memberikan


gambaran mengenai frekuensi, jumlah, tekstur dan ragam
makanan yang dikonsumsi setiap hari oleh balita. Pola makan
merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai
macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari
oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk masyarakat tertentu
(Karjati dalam Sulistyoningsih, 2011). Pola makan yang seimbang,
yaitu yang sesuai dengan kebutuhan disertai pemilihan bahan
makanan yang tepat akan menghasilkan status gizi yang baik.
Asupan makanan yang melebihi kebutuhan tubuh akan
menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit lain yang
disebabkan oleh kelebihan zat gizi. Sebaliknya, asupan makanan
kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan tubuh menjadi
kurus dan rentan terhadap penyakit. Kedua keadaan tersebut sama
tidak baiknya (Sulistyoningsih, 2011).

3. Tujuan Pola Makan Bayi

Ada dua tujuan pola makan untuk bayi dan anak. Pertama
adalah memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu
untuk pemeliharaan dan pemulihan serta peningkatan kesehatan,
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotor, serta
melakukan aktivitas fisik. Kedua adalah untuk mendidik anak agar
mempunyai kebiasaan makan yang baik. Makanan untuk bayi dan
anak haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai umur


b. Susunan hidangan di sesuaikan dengan pola menu seimbang,
bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan
selera terhadap makan.
c. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima,
toleransi, dan keadaan bayi/anak
d. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan (Kemenkes
RI, 2010)

Anda mungkin juga menyukai