Anda di halaman 1dari 18

RESUME BUKU

HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA


Penulis: Abdulkadir Muhammad, S.H.

Disusun Oleh:
Yogi Sidabutar NIM: 150200068
Daniel Nikolas NIM: 150200318
Wigriatma Garcia Batara R. NIM: 150200325
Star Parulian Hutabarat NIM:150200328
Andre Christian Sigiro NIM: 150200515
Abraham Sitompul NIM: 150200519

Grup: B
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akademik Hukum Acara Perdata
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Tahun Ajaran 2017/2018
Nama Dosen:
Dr. Rosnidar Sembiring SH., M.hum

Universitas Sumatera Utara


Fakultas Hukum
Medan
BAB I

PENDAHULUAN

1. Sejarah Hukum Acara Perdata di Indonesia


Untuk mengetahui keadaan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, marilah kita sejarah
pertumbuhannya secara selayang pandang. Dahulu pemerintah Hindia Belanda belum mempunyai
peraturan Hukum Acara Perdata yang lengkap bagi pengadilan gubernemen yang memeriksa dan
memutus perkara perdata untuk golongan Bumiputera. Yang digunakan hanyalah beberapa pasal saja
yang terdapat dalam Stb. 1819-20. Beberapa kota besar di Jawa memeriksa perkara perdata untuk
golongan Bumiputera menggunakan peraturan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan
Eropa tanpa berdasarkan perintah Undang-Undang.

Pada tanggal 5 Desember 1846 No. 3 Mr. H.L Wichers di tugaskan untuk merancang sebuah
reglemen tentang Administrasi Polisi, dan Acara Perdata serta acara Pidana bagi golongan
Bumiputera. Setelah reglemen tersebut do rampungkan, pada tanggal 6 Agustus 1847 Gubernur
Jenderal J.J. Rochussen mengajukan beberapa keberatan atas rancangan tersebut. Dari beberapa
keberatan yang dikemukakan, dapat diketahui latar belakang politik hokum colonial Belanda untuk
kepentingannya saja dan menimbulkan diskriminasi dikalangan penduduk, serta tidak ada maksud
untuk menyenangkan hati atau meningkatkan kecerdasan rakyat yang dijajah.

Setelah dilakukan perubahan dan pemyempurnaan isi, Gubernur Jenderal J.J. Rochussen menerima
rancangan reglemen karya Mr. H.L Wichers itu. Kemudian diumumkan dengan publikasi tanggal 5
April 1848 Stb. 1848-16 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan Reglement
op de uitoefening van de politeie, de burgerlijke rechtspleging en de strafvordering onder de
Inlanders, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura, dengan singkat lazim disebut Inlandsch
Reglement (I.R.), yang disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan firman raja tanggal
29 September 1849 No.93 Stb. 1849-63.

Dalam sejarah perkembangan selanjutnya selama hampir seratus tahun sejak berlakunya, Inlandsch
Reglement ini ternyata telah banyak sekali mengalami perubahan dan penambahan yang disesuaikan
dengan kebutuhan praktek peradilan terhadap hal hal yang belum diatur dalam reglemen itu. Dengan
demikian ketentuan-ketentuan dalan Inlandsch Reglement itu hanya merupakan sebagian saja dari
ketentuan ketentuan hukum acara yang tidak tertulis.

Bagaimana keadaan peraturan Hukum Acara untuk daerah diluar Jawa dan Madura? Pada tahun 1927
Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengumumkan sebuah Reglemen Hukum Acara untuk daerah
seberang dengan sebutan Rechtstreglement voor de Buitengewesten yang disingkat dengan R.Bg.

Walaupun ada dua peraturan Hukum Acara Perdata untuk Pengadilan Negeri yaitu H.I.R untuk Jawa
dan Madura, R.Bg. untuk luar Jawa dan Madura, tetapi isinya pada dasarnya sama saja., sehingga
secara material sudah ada keseragaman untuk peraturan Hukum Acara Perdata di seluruh Indonesia.
Karena itu asas unifikasi sudah tercapai. Yang ditunggu adalah Hukum Acara Perdata Nasional
ciptaan sendiri sebagai kodifikasi hukum yang akan menggantikan Hukum Acara Perdata warisan
zaman colonial Belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku.

2. Pengertian Hukum Acara Perdata


Dalam hukum perdata diatur tentang hak dan kewajiban orang orang yang mengadakan hubungan
hukum. Peraturan hukum perdata tersebut meliputi peraturan yang bersifat tertulis berupa peraturan
perundang-undangan misalnya KUHPdt, KUHD, UUPA, UU perkawinan, dsb, dan peraturan yang
bersifat tidak tertulis berupa peraturan hukum adat dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.
Semua peraturan hukum yang memuat tentang hak dan kewajiban ini disebut Hukum materiel
(materielrecht, substansive law) yang mengatur tentang hubungan hukum antara pribadi yang satu
dengan yang lain, atau secara lazim disebut hukum perdata saja. (privaatrecht, privat law). Cara
penyelesaian lewat hakim (pengadilan) tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijke
Procesrecht, Civil Law of Procedure).

Kata acara disini berarti proses penyelesaian lewat hakim (pengadilan) yang bertujuan untuk
memulihkan hak seseorang yang dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam
keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi hukum perdata. Secara teologis dapat
dirumuskan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk
mempertahankan berlakunya hukum perdata. Atau karena tujuannya memintakan keadilan lewat
hakim, Hukum Acara perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan
pelaksanaan keputusan hakim.

Hukum Acara Perdata dapat juga disebut hukum perdata formil, karena mengatur tentang proses
penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil. Hukum Acara Perdata mempertahankan
berlakunya hukum perdata.

3. Pengertian Perkara, Sengketa, dan Beracara.


Pengertian perkara lebih luas dari pengertian sengkegta, dengan kata lain sengketa itu adalah sebagian
dari perkara, sedangkan perkara itu belum tentu sengketa. Dalam pengertian perkara tersimpul dua
keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Ada perselisihan berarti ada sesuatu yang
menjadi pokok perselisihan, ada yang dipertengkarkan, ada yang di sengketakan. Perselisihan atau
persengketaan itu tidak dapat diselesaikan oleh pihak pihak sendiri, melainkan memerlukan
penyelesaian lewat hakim sebagai instansi yang berwenang dan tidak berpihak.

Istilah Beracara dalam Hukum Acara Perdata dapat dipakai dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Dalam arti luas beracara meliputi segala tindakan hukum yang dilakukan baik diluar maupun didalam
siding pengadilan guna menyelesaikan suatu perkara menurut Hukum Acara Perdata. Dalam arti
sempit, beracara itu meliputi tindaka beracara sensungguhnya di dalam sidang pengadilan yaitu sejak
sidang pertama hingga sidang terakhir hakim menjatuhkan keputusannya.

Tindakan beracara sesungguhnya yaitu tindakan mengenai jalannya sidang pengadilan atau
pemeriksaan, dari sidang pertama sampai dijatuhkannya putusan hakim. Tindakan pelaksanaan
keputusan hakim yaitu tindakan menjalankan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap.
Tindakan pelaksanaan ini apabila diperlukan, dapat minta bantuan dari alat Negara untuk
pengamanannya.

4. Tugas Hakim dalam Acara.


Menurut system H.I.R dan R.Bg., hakim mempunyai peranan aktif memimpin acara dari awal sampai
akhir pemeriksaan perkara. Kewenangan hakim membantu pihak penuntut keadilan tidak berarti
bahwa hakim itu memihak atau berat sebelah, melainkan hakim hanya menunjukkan jalan yang patut
ditempuh menurut Undang-Undang, sehingga orang yang buta hukum dan tidak bisa menulis itu tidak
dirugikan atau tidak menjadi korban perkosaan atas haknya oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
Hakim tidak boleh memihak apabila perkara itu telah resmi dibawa ke muka sidang dan mulai di
periksa. Dalam pemeriksaan tersebut hakim betul harus bebas tidak memihak. Dalam sidang itu hakim
akan mendengar keterangan kedua belah pihak dengan pembuktiannya masing-masing sehingga
hakim dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Timbulnya perkara perdata adalah atas inisiatif dari pihak penggugat, bukan inisiatif hakim. Sesuai
dengan prinsip ini hakim hanya mempunyai kebebasan menilai sejauh apa yang dikemukakan dan
dituntut oleh pihak yang berperkara. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang dituntut
oleh pihak-pihak. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa hakim hanya terpaku kepada apa yang
dikemukakan oleh pihak-pihak, melainkan ia harus menilai sampai dimana kebenaran yang
dikemukakan itu. Ini sesuai dengan prinsip yang dianut oleh HIR dan RBg. Tugas hakim ialah
menemukan kebenaran yang sesungguhnya dalam perkara yang dihadapinya. Dengan demikian
berlakunya peraturan hukum perdata itu dapat dipertahankan sebagaimana mestinya.
Mencari kebenaran yang sesungguhnya itu sesuai dengan suasana yang hidup dalam hukum adat yang
dianut oleh masyarakat. Menurut suasana adat, orang masih percaya bahwa apabila berkata dusta atau
tidak benar, apalagi kalau sudah mengangkat sumpah, ia akan mendapat kutukan dari Tuhan, ia
senantiasa akan merasa gelisah seolah-olah ia telah tidak akan mendapat ampunan akibat
perbuatannya itu. Perasaan yang demikian memang sesuai dengan budi hati nurani manusia, yang
tidak membenarkan adanya perbuatan curang atau salah. Menurut HIR dan RBg hakim adalah aktif,
tidak hanya aktif mencari kebenaran yang sesungguhnya atas perkara yang dihadapinya, tetapi juga
harus aktif menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

5. Sifat Acara di Muka Pengadilan.


Peraturan Hukum Acara Perdata seperti termuat dalam HIR dan RBg mempunyai sifat fleksibel dan
terbuka, sebab keduanya itu diciptakan untuk golongan Bumiputera yang hukum perdata materilnya
adalah hukum adat, yang berdasarkan pada kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

Acara di muka sidang dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Beracara secara lisan artinya
pemeriksaan dilakukan dengan Tanya jawab secara lisan antara hakim dengan pihak-pihak. Beracara
secara tertulis artinya sejak mengajukan surat gugatannya sampai pada pemeriksaan perkara dimuka
sidang dilakukan secara tertulis. Pihak-pihak melakukan jawab menjawab secara tertulis.
Acara dimuka sidang pengadilan dapat secara langsung, dapat pula secara tidak langsung. Beracara
secara langsung artinya hakim langsung berhadapan dengan pihak-pihak itu sendiri, langsung
mendengar keterangan dari pihak-pihak itu, disini tidak diwakili oleh seorang kuasa atau pengacara.
Beracara secara tidak langsung artinya hakim tidak secara langsung berhadapan dengan pihak-pihak,
yang berperkara. Melainkan berhadapan dengan kuasanya atau wakilnya.

Pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan dilakukan dengan pintu terbuka untuk umum, artinya
umum dapat menghadiri, mengikuti jalannya persidangan, mendengar dan mengetahui apa yang
dibicarakan dalam persidangan. Apabila ada alasan penting atau karena ketentuan undang-undang,
hakim memerintahkan supaya sidang dilakukan dengan pintu tertutup. Artinya umum tidak
diperbolehkan mendengar atau mengetahui apa yang dibicarakan dalam persidangan. Meskipun
sidang dapat dilangsungkan dalam pintu tertutup, namun keputusan hakim harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.

6. Perbedaan Antara Perkara Perdata dan Perkara Pidana


Perbedaan antara perkara perdata dan pidana dapat dilihat dari berbagai aspek seperti diuraikan
dibawah ini:
Dasar timbulnya perkara
Dalam perkara perdata, timbulnya perkara karena terjadi pelanggaran terhadap hak seseorang yang
meimbulkan kerugian bagi yang bersangkutan. Dalam perkara pidana, timbulnya perkara karena
terjadi pelanggaran terhadap perbuatan pidana yang telah diterapkan dalam hukum pidana.
Istilah yang dipergunakan
Dalam perkara perdata, yang mengajukan perkara ke muka hakim disebut penggugat, pihak
lawannya disebut tergugat. Dalam perkara pidana, pihak yang mengajukan perkara ke muka hakim
disebut jaksa atau penuntut umum, pihak yang disangkakan disebut tersangka.
Tugas Hakim dalam Acara
Dalam perkara perdata, tugas hakim ialah mencari kebenaran sesungguhnya dari apa yang
dikemukakan dan dituntut oleh pihak-pihak hakim. Hakim tidak boleh melebihi dari itu. Dalam
perkara pidana, tugas hakim mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak, tidak terbatas pada apa
yang telah dilakukan dan atau diakui oleh terdakwa.
Masalah Perdamaian
Dalam perkara perdata yang diperiksa dimuka persidangan, selama belum diputus oleh hakim,
selalu dapat ditawarkan perdamaian untuk mengakhiri perkara. Dalam perkara pidana, tidak boleh
dilakukan perdamaian. Sekali diproses untuk dituntut, harus diselesaikan sampai ada keputusan
hakim.
Sumpah Decissoire
Dalam perkara perdata mengenal sumpah decissoire yaitu sumpah yang dimintakan oleh pihak
yang satu kepada yang la in tentang kebenaran suatu peristiwa. Dalam perkara pidana tidak mengenal
sumpah decissoire itu.
Tentang Hukuman
Dalam perkara perdata, hukuman yang diberikan oleh hakim kepada pihak yang kalah berupa
kewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, bukan berupa hukuman badan. Dalam perkara pidana,
hukuman yang diberikan/dijatuhkan kepada terdakwa berupa hukuman badan dan hak yaitu hukumn
mati, hukuman penjara, hukuman denda, dan hukuman pencabutan hak-hak tertentu.

7. Susunan Pengadilan
Menurut ketentuan Undang-Undang 1970-14 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-Undang 1986-2 tentang Peradilan Umum ada tiga susunan pengadilan umum/sipil:

1. Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana dalam tingkat
pertama.
2. Pengadilan Tinggi untuk memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana dalam tingkat kedua
atau banding.
3. Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus tingkat kasasi.

Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di Ibukota Kabupaten. Pengadilan Negeri
dibentuk dengan keputusan Presiden. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana di tingkat pertama tanpa memandang
kebangsaan, golongan penduduk pihak-pihak yang berperkara.

Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara perdata dan pidana di tingkat
banding, di tingkat pertama dari terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di
daerah hukumnya.

Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah lembaga tertinggi Negara, pengadilan Negara tertinggi (organ yudikatif
tertinggi) dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Daerah hukum Mahkamah Agung meliputi seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia. Mahkamah Agung berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia.
Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu
kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana
dimaksudkan itu tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

8. Kekuasaan Kehakiman adalah Bebas.


Dalam melaksanakan tugas peradilan, yaitu memeriksa dan memutus perkara, hakim adalah bebas
(onafhankelijk, independent). Artinya hakim tidak berada dibawah pengaruh atau tekanan atau tidak
ada campur tangan dari pihak manapun, atau kekuasaan apapun juga.

Dalam melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutus perkara, hakim harus berdiri bebas, tidak
boleh berada dibawah pengaruh kekuasaan siapapun, bahkan ketua pengadilan sendiri tidak berhak
ikut campur dalam soal peradilan yang dilakukannya. Hakim bertanggung jawab sendiri dan kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yang telah diambilnya. Hakim tidak berada dibawah komando
siapapun dalam memeriksa dan memutus perkara.

Menurut ketentuan pasal 1 Undang-undang tahun 1970-14, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
Negara yang merdeka untuk mnyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal2 yang tersebut dalam UUD (pasal 4 ayat 3 Undang-undang 1970-14). Dari ketentuan pasal
ini jelaslah bahwa kekuasaan yudikatif tidak berada di bawah pengaruh atau campur tangan kekuasaan
eksekutif maupun legislatif. Kekuasaan peradilan adalah bebas (onafhankelijk, independent).

9. Hakim Tidak Boleh Menolak Memeriksa Perkara


Ada dua macam penolakan hakim. Pertama penolakan dengan alasan peraturan hukum tidak ada atau
kurang jelas. Kedua, penolakan dengan alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Penolakan dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas


Penolakan memeriksa perkara dengan alasan bahwa tidak ada atau kurang jelas peraturan hukumnya,
tidak diperkenankan. Walaupun bagaimana, apabila berhubungan dengan peraturan hukum, hakim
dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuannya
sendiri dan keyakinannya sendiri. Doktrin dalam ilmu hukum ialah curia ius novit, artinya hakim
dianggap mengetahui hukum. Ini berarti apabila ternyata peraturan hukumnya ada tetapi kurang jelas,
hakim dengan ilmu pengetahuannya dan kebijaksanaannya dapat menafsirkan peraturan hukum itu
secara positif sedemikian rupa sehingga menurut keyakinannya perkara itu dapat diputus sesuai
dengan rasa keadilan.
Demikian juga apabila tidak ada peraturan hukum tertulis, hakim harus mencari peraturan hukum
tidak tertulis, kebiasaan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus memutus perkara yang
diperiksanya itu sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus
memutus sebagai seseorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh pada diri sendiri,
masyarakat, dan Tuhan Yang Maha Esa.

Penolakan karena alasan undang-undang


Alasan yang ditentukan undang-undang adalah alasan yang membenarkan hakim untuk menolak
memeriksa dan memutus perkara, misalnya alasan yang berhubungan dengan kompetensi, hubungan
darah, sudah pernah diperiksa dan diputus (ne bis in idem).

Alasan hubungan darah karena keluarga dekat atau semenda, dapat dibaca dalam ketentuan pasal 28
udang-undang 1970-14. Menurut ketentuan pasal tersebut, apabila seorang hakim masih terikat
hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa,
penasehat hukum, panitera dalam suatu perkara tertentu, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan
perkara itu. Begitu pula apabila ketua, hakim anggota, jaksa, panitera, masih terikat dalam hubungan
sedarah sampai derajat ketiga dengan yang diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan
perkara itu. Mengundurkan disini alam arti menolak memeriksa perkara tersebut dengan menyertakan
bukti bahwa hakim yang memeriksa itu mempunyai hubungan keluarga.

Keberatan dengan alasan serta bukti di ajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk di
putus. Apabila masih menaruh keberatan pula dengan keputusan Pengadilan Negeri tersebut maka
keberatan itu dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi.

Asas ne bis in idem yaitu asas yang berhubungan dengan perkara yang telah pernah diperiksa dan
diputus oleh hakim. Hakim tidak boleh lagi memeriksa dan memutus untuk kedua kalinya perkara
yang sudah pernah diperiksa dan diputus. Maksudnya untuk menjaga supaya ada kepastian hukum
tentang suatu hal yang sudah diputus oleh hakim.
BAB II

TENTANG GUGATAN

1.Cara Menyusun dan Mengajukan Gugatan


Apabila penggugat mengajukan surat gugatan kepada ketua Pengadilan Negeri, Maka ada tiga hal
yang harus diperhatikan dan terdapat dalam surat gugaran, yaitu:
1. Keterangan lengkap dari pihak-pihak yang berperkara, yaitu tentang nama, alamat, umur,
perkerjaan, agama.
2. Dasar gugatan (fundamentum petendi) yang memuat uraian tentang hukum yaitu adanya hak
dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan itu (rechts-gronden, legal
grounds)
3. Apa yang di mohonkan atau dituntut oleh penggugat supaya diputuskan oleh hakim (petitum,
petiton). Yang dituntut itu dapat di perinci menjadi dua macam pula yaitu tuntutan primair
yang merupakan tuntutan pokok, dan tuntutan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti
apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim.

Dalam surat gugatan, dasar gugatan itu harus jelas dan mendukung apa yang dimohonkan atau di
tuntut olehpenggugat.

Dalam ilmu hukum acara perdata di kenal dua macam teori tentang penyusunan surat gugatan yaitu:
1. Substabtieringstheorie, yang menyatakan bahwa dalam surat gugatan harus di sebutkan dan
diuraikan rentetan kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar
gugatan itu.
2. Individualiseringstheorie, yang menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam
surat gugatan harus cukup menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan
sedangkan sejarah terjadinya tidak perlu dosebutkan sekaligus dalam surat gugatan, karena
hal itu dapan dikemukakan dalam sidang disertai dengan pembuktiannya.

Surat gugatan gugatan itu diserahkan kepada panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Setelah itu maka ketika itu juga ia merencankan berapa yang diperlukan, jumlah mana dicantumkan
dengan disposisi bertanggal serta paraf. Kemudian diteruskan kepada bagian keuangan untuk
pembayaran jumlah biaya yang telah disetujui panitera, serta membukukannya kedalam buku kas dan
memberikan kwitansi kepada penggugat. Kemudian surat gugatan itu di daftarkan dalam buku
register, diberi nomor perkara. Surat gugatan yang telah di daftarkan itu lalu diteruskan kepada ketua
Pengadilan Negeri untuk ditetapkan pemeriksaannya.

2.Perubahan Surat gugatan


Menurut sistim B.Rb. yang berlaku bagi golongan Eropa dahulu, penggugat dibolehkan merubah surat
gugatannya yang telah disampaikan ke pengadilan. Timbul pertanyaan apakah dengan adanya
ketentuan itu dalam B.Rv penggugat bebas menurut kehendaknya sendiri melakukan perubahan surat
gugatannya? Apabila tidak, sampai dimana batasnya perubahan itu diperbolehkan?
Untuk mengatasi persoalan yang telah dikemukakan, pasal 127 B.Rv. menentukan pembatasan
pembatasannya. Menurut ketentuan pasal 127 B.Rv. penggugat boleh merubah atau mengurangi
tuntutannya sepanjang pemeriksaan perkara, asal saja tidak merubah atau menambah hetonderwerp
van den eisch

Star Busmann memperjelas lagi pengertian pasal 127 B.Rv. itu. Menurut beliau, perubahan surat
gugatan itu dilarang apabila berdasarkan pada keadaan hukum yang sama dikemukakan permohonan
pelaksanaan suatu hak yang lain, atau aoabila penggugat mengemukakan keadaan hukum baru dan
dengan demikian moho keputusan hakim tentang suatu hubungan hukum yang lain dari yang di
kemukakan semula.
3.Pencabutan Surat Gugatan
Sehubungan dengan soal pencabutan surat gugatan, timbul persoalan, apakan pencabutan surat
gugatan itu diperbolehkan? Apabila diperbolehkan, apakah ada pengaturannya dalam HIR dan R.Bg.?

Apabila pencabutan perkara sebelum diperiksa dipersidangan, hal ini tidak akan menimbulkan
persoalan apa-apa, karena tergugat pada dasarnya belum terserang secara resmi. Tetapi apabila
perkara sudah mulai diperiksa dipersidangandan tergugat resminya sudah di serang, atau telah
memberikan jawaban, atau telah mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan perkara tersebut, jadi
tergugat sudah dirugikan, rugi nama baiknya dan rugi materiel. Dalam hal semacam ini apabila
penggugat ingin mencabut gugatannya itu, ia terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari
tergugat. Jika tergugat bersedia dan mengizinkan maka gugatan boleh dicabut. Tetapi apabila tergugat
tidak bersedia atau keberatan, maka perkara itu di teruskan. Apabila perkara diteruskan Hakim
menggunakan asas kewajiban mendaimaikan pihak yang berperkara.

4.Penggabungan Gugatan

Dalam praktek bisa terjadi penggabungan beberapa gugatan. Terjadinya penggabungan itu karena ada
koneksitas antara satu sama lain.

Penggabungan gugatan itu ada dua macam sifatnya, yaitu penggabungan yang disebut perbarengan
(concursus, samenloop, coincidence) dan penggabungan yang disebut pengumpulan (cumulatie,
cumulation). Perbarengan dapat terjadi apabila seseorang mempunyai beberapa tuntutan yang menuju
kepada satu akibathukum saja. Apabila satu tuntutan dipenuhi, tuntutan lainnya ikut pula terpenuhi.
Pengumpulan dapat terjadi apabila ada lebih dari seseorang penggugat melawan seorang tergugat,
atau seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat, atau beberapa orang penggugat melawan
beberapa orang tergugat. Apabila terjadi penggabungan beberapa orang penggugat atau tergugat
dalam satu gugatan disebut pengumpulan subjektif. Mungkin juga terjadi pengumpulan beberapa
guagatan menjadi satu gugatan saja, atau dijadikan perkara dalam satu surat gugatan. Pengumpulan itu
di sebut pengumpulan objektif.

Walaupun HIR dan R.Bg. tidan mengatur tentang penggabungan baik bersifat concursus maupun
yang bersifat cumulatie, namun dalam prakteknya hakimdibolehkan menggabungkan beberapa
gugatan terutama cumulatie objektif, asal saja disitu ada koneksitasnya.

5.Perwakilan Dalam Perkara Perdata.


Menurut sistim HIR dan R.Bg. beracara dimuka persidangan Pengadilan Negeri dapat dilakukan
secara langsung dapat juga secara tidak langsung. Menurut pasal 123 HIR 147 R.Bg. pihak-pihak
yang berperkara dapat menguasakan perkaranya kepada orang lain dengan surat kuasa khusus,
sedangkan bagi penggugat dapat juga dapat juga dilakukan dengan mencantumkan pemberian kuasa
itu dalam surat gugatannya. Surat kuasa khusu tidak diperlukan bagi seorang jaksa atau pegawai
negeri yang mewakili negara.

Meskipun pihak-pihak telah memberikan kuasa atau mewakilkan perkaranya kepada orang lain,
sekedar dipandang perlu. Hakim berkuasa untuk memerintahkan kepada pihak-pihak yang berperkara
untuk menghadap sendiri kemuka sidang pengadilan. Penerima kuasa dapat juga melimpahkan kuasa
itu kepada pihak pengganti penerima kuasa yang disebut hak substitusi. Hak substitusi perlu
dicantumkan di surat kuasa khusus. Apabila tidak dicantumkan dalam surat kuasa khusus maka tidak
boleh menggunakan hak substitusi.
Yang perlu dimuat dalam surat kuasa khusu ialah:
1. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat atau tempat
tinggal.
2. Apa yang menjadi pokok sengketa perdata. Hal ini menunjuk kepada kekhususan perkara.
3. Pertelaan isi kuasa yang diberikan. Ini menjelaskan tentang kekhususan isi kuasa, dalam
batas-batas tertentu.
4. Memuat hak substitusi. Hal ini perlu apabila penerima kuasa berhalangan, ia dapat
melimpahkan kuasa itu kepada pihak lain untuk menjaga jangan sampai perkara itu macet,
karena berhalangannya penerima kuasa.

Menurut sitim B.Rv. dulu, seorang penerima kuasa itu harus seorang ahli hukum tamatan
universitas bertitel meester in de rechten. Tetapi menurut HIR dan R.Bg. tidak ada ketentuan yang
mengatur tentang syarat keahlian semacam itu bagi penerima kuasa untuk beracara dimuka
pengadilan. Tidak adanya syarat demikian dapat dimaklumi karena zaman dahulu itu sedikit sekali
ahli hukum bagi golongan Bumiputera.

Pada waktu sekarang ini, penerima kuasa untuk beracara dimuka Pengadilan dapat digolongkan tiga
golongan berdasarkan kriteria pengangkatannya dan lembaga tenpat mereka bekerja.
1. Pengacara resmi (advokat dan Prcureur). Meraka adalah sarjana Hukum yang diangkat secara
resmi oleh pemerintah tetapi mereka bukan pegawai negeri. Meraka menghimpun diri dalam
organisasi profesi yang disebut Persatuan Advokat Indonesia. Mereka menjalankan tugas
secara profesional.
2. Pengacara setengah resmi (Pembela umum, public defender). Mereka tidak diangkat oleh
pemerintah, tetapi bertugas pada suatu badan (lembaga) yang diakui atau dibentuk oleh
pemerintah.
3. Pengacara tidak resmi. Dikatakan tidak resmi, mereka tidak diangkat oleh pemerintah dan
tidak pula berhimpun/bernaung di bawah badan atau lembaga yang diakui atau dibentuk oleh
pemerintah, melainkan berdiri sendiri-sendiri. Mereka terdiri dari sarjana Hukum dan bukan
Sarjana Hukum. Yang bukan sarja Hukum sering disebut prokol bambu. Mereka yang
termasuk golongan ketiga dalam operasinya ada yang bersifat amatir (mencari pengalaman)
dan adapula yang bersifat profesional (mencari honoratium). Mereka yang Sarjana Hukum
dianggap sudah memenuhi syarat formil dibidang hukum, karena mereka tamatan universitas.
Mereka yang bukan Sarjana Hukum di anggap belum memenuhi syarat formil dalam bidang
Hukum.
4.
Pada dasarnya pegawai negeri tidak diperbolehkan melakukan praktek hukum sabagai profesi. Hal ini
dapat dimaklumi karena akan mengganggu tugas pokoknya sebagai pegawai negeri. Munculnya
pengacara ahli hukum dimuka pengadilan akan sanagatmembantu hakim dalam menentukan hukum
dan mengambil keputusan yang tepat dan adil.
BAB III

PEMERIKSAAN PERKARA DALAM SIDANG PENGADILAN

1. Penentuan sidang dan pemanggilan pihak-pihak

Dalam pasal 121,122 HIR 145,146 R.Bg. diatur tentang penentuan waktu sidang dan
pemanggilan pihak-pihak. Setelah perkara masuk dan didaftarkan ke kepaniteraan
pengadilan negeri, Ketua pengadilan negeri atau ketua majelis hakim yang telah ditunjuk
untuk memeriksa perkara itu. Menetapkan hari dan jam perkara itu akan diperiksa di
muka persidangan. Dalam menetapkan hari, dan jam sidang itu, harus memperhatikan
kelayakan, artinya ketua harus memperhatikan jarak antara tempat tinggal pihak pihak
pengadilan perkara dan tempat pengadiln negeri itu bersidang. Waktu antara pemanggilan
pihak pihak dan hari persidangan lamanya tidak kurang dari tiga hari (tidak termasuk hari
minggu). Ini berarti bahwa selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai, pihak
pihak sudah menerima panggilan secara sah.

Ketua memerintahkan kepada panitera untuk memanggil kedua belah pihak supaya hadir
pada waktu yang telah ditetapkan, serta saksi saksi yang mereka minta untuk memberikan
keterangan beserta surat surat bukti yang hendak dipergunakan. Panggilan ini
dilaksanakan oleh jurusita dan atau petugas lain yang bertindak sebagai jurusita pengganti
dan harus dilakukan dengan surat perintah panggilan. Pada waktu memanggil tergugat,
jurusita harus menyerahkan kepadanya sehelai surat turunan gugatan dengan
pemberintahuan bahwa ia kalau mau, boleh menjawab secara tertulis.

Dalam melakukan panggilan itu jurusita harus berbicara langsung dengan orang yang
dipanggilnya sendiri ditempat kediamannya atau dimana orang itu biasa berada. Apabila
tidak ada, jurusita harus berbicara langsung kepada kepala desa/kampung yang
bersangkutan.

2. Pemeriksaan Pekara Dalam Persidangan

Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan oleh suatu tim hakim yang berbentuk
majelis. Majelis hakim tersebut terdiri ata tiga orang hakim. Seorang bertidak sebagai
hakim ketua dan yang lainnya sebagai hakim anggota (pasal 15 Undang undang 1970-14
jo. Pasal 29 ayat 1 Undang undang 1965-13). Sidang majelis hakim yang memeriksa
perkara tersebut dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan
pekerjaan panitera yang disebut dengan panitera pengganti (pasal 16 Undang undang
1970-14). Panitera atau panitera pengganti bertugas untuk mengikuti semua sidang dan
musyawarah majelis hakim dan mencatat dengan teliti semua hal yang dibicarakan di
persidangan (pasal 56 Undang undang 1965-13).

Di dalam perkara perkara tertentu, atas izin dari pengadilan tinggi dan mahkamah agung,
perkara mana yang dapat diperiksa oleh hakim tunggal ditentukan oleh pengadilan negeri
yang akan menentukannya. Tetapi tetap harus diupayakan agar Majelis hakim yang
melaksanakannya. Karena bentuk majelis itu adalah perintah dari undang udang. Yang
tidak boleh disimpangi terus menerus.
Di dalam perkara perdata tidak ada Jaksa/pentuntut umum. Karena didalam perkara
perdata yang berperkara adalah pihak pihak pribadi. Apabila ada jaksa hadir disitu
mungkin ia mewakili pemerintah sebagai pihak yang melakukan permeriksaan perkara
perdata di muka persidangan.

Telah dikemukakan di atas bahwa sidang dilakukan secara terbuka/untuk umum. Dalam
pemeriksaan itu mungkin timbul hal hal yang perlu dikemukakan, tetapi tidak pantas
didengar dan diketahui oleh umum.

Dengan demikian ada dua alasan suatu perkara itu perlu diperiksa dalam pintu tertutup.
Alasan-alasan tersebut ialah:

1. Alasan yang disebut dalam undang undang, artinya undang undang telah menetapkan
perkara-perkara yang harus diperiksan dalam pintu tertutup, misalnya perkara
perceraian (pasal 33 Peraturan Pemerintah 1975-9)
2. Alasan berdasarkan pertimbangan hakim, apabila pemeriksaan tidak dilakukan secara
tertutup, pihak yang bersangkutan akan merasa malu mengungkapkan fakta yang
sebenarnya di depan umum, misalkan perkara yang menyangkut tentang kesusilaan
(pemerkosaan, zinah, dll.)

Apabila perkara belum dapat diselesaikan, hakim menunda sidang dan akan
dilanjutkan pada sidang berikutnya. Kepada pihak pihak diumumkan supaya hadir pada
persidangan berikutnya itu tanpa ada panggilan lagi, karena pemberitahuan itu dianggap
sebagai panggilan resmi.

3 . Acara Verstek (tanpa hadir)

Pada sidang pertama mungkin ada pihak yang tidak hadir. Dan juga tidak menyuruh wakilnya
untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut. Yang tidak hadir itu misalkan adalah
pihak penggugat dan tergugat. Ketidakhadiran salah satu pihak ini menimbulkan persoalan
dalam pemeriksaan perkara, artinya perkara itu ditunda dalam pemeriksaannya atau
diteruskan dengan konsekwensi-konsekwensi yuridis.

Apabila pada sidang pertama yang tidak hadir adalah pihak penggugat dan tidak ada
perwakilan padahal sudah dipanggil dengan patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia
dihukum membayar biaya perkara. Tetapi ia berhak mengajukan gugatannya sekali lagi,
setelah ia lebih dulu membayar biaya perkara tersebut (pasal 124 HIR- 148 R.bg.). tetapi
ketua masih bisa mempertimbangkan supaya penggugat yang tidak hadir itu dipanggil sekali
lagi supaya hadir pada sidang yang ditentukan berikutnya. Bagi pihak tergugat,
pemberitahuan hari sidang berikutnya itu sama dengan panggilan ( pasal 126 HIR -150 R.bg.)

Jika pada sidang berikutnya itu penggugat juga tidak hadir, barulah gugatannya tersebut
dinyatakan gugur dan ia dihukum untuk membayar biaya perkara. Mejelis hakim mimilih
tindakan menunda sidang, apabila menurut pertimbangannya ada alasan alasan yang patut
diperhatikan, misalnya perkara itu adalah perkara penting, tidak hadirnya penggugat karena
sakit keras, tidak hadirnya penggugat karena sakit keras, tidak hadirnya penggugat karena
ternyata panggilan tidak sampai, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan verstek ialah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir pada sidang
pertama, jika pada sidang berikutnya (sidang kedua) seudah ada penundaan tergugat masih
tidak hadir juga, hakim tetap menjatuhkan putusan verstek (verstek vonnis, default
judgement), karena pada hakekatnya tersebut tergugat belum pernah hadir. Walaupun
tergugat tidak berkwajiban untuk menghadiri sidang. Ia perlu juga meladeni gugatan
penggugat, mengingat adanya ancaman verstek.

Sehubungan dengan putusan verstek yang diambil oleh majelis hakim berdasarkan pasal 125
HIR 149 R.Bg. perlu diperhatikan apakah gugatan itu melawan hukum atau tidak, beralasan
atau tidak.

Gugatan melawan hukum (onrechtmatige vordering, unlawful suit) artinya gugatan yang tidak
sesuai dengan peraturan hukum atau tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hukum.

Gugatan yang tidak beralasan artinya dasar gugatan yang berupa kejadian materiel
(fundamentum petendi, posita) tidak ada hubungannya dengan tuntutannya (petitum).

4. Perdamaian dalam sidang pengadilan

Dalam pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan negeri hakim diberi wewenang


menawarkan perdamaian kepada pihak yang berperkara. Tawaran perdamaian itu dapat
ditawarkan sepanjang pemeriksaan sebelum hakim menjatuhkan putusannya. Perdamaian itu
ditawarkan bukan hanya pada sidang permulaan saja, melainkan setiap kali sidang. Dalam
hukum acara yang berlaku, usaha perdamaian diatur dalam pasal 130 HIR 154 R.bg.

Ratio dari usaha perdamaian itu adalah untuk mencegah timbulnya suasana permusuhan
dikemudian hari antara kedua belah pihak yang berperkara. Karena keputusan hakim ada yang
menang dan kalah.

Jika perdamaian dapat dicapai, maka acara berakhir dan hakim memberikan akta perdamaian
antara pihak pihak yang berperkara itu.

5. Jawaban Tergugat

Dalam pemeriksaan perkara dipersidangan pengadilan negeri jawab-menjawab antara kedua


belah pihak merupakan suata hal yang sangat penting. Karena tergugat merupakan sasaran
penggugat. Karena itu dalam jawab menjawab, jawaban tergugatlah yang mendapat tempat
pertama. Pada dasarnya tergugat tidak wajib menjawab gugatan penggugat. Tetapi jika
tergugat menjawabnya, jawaban itu dapat dilakukan secara tertulis atau secara lisan.

Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan, dapat berupa bantahan, dapat berupa tangkisan,
dapat berupa referte. Pengakuan adalah jawaban yang membenarkan isi gugatan. Artinya
yang digugat kepada tergugat benar adanya. Yang mendekati pengakuan adalah referte, disini
tergugat tidak membantah, tetapi tidak pula membantah gugatan. Tergugat menyerahkan
segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim, tergugat hanya menunggu putusan.

Bantahan adalah pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang
digugatkan terhadap tergugat. Jika tergugat menjatuhkan bantahan, maka bantahannya itu
harus disertai alasan-alasannya.
Menurut ilmu pengetahuan hukum secara perdata, tangkisan atau eksepsi dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu

1. Eksepsi tolak (declinatoir exceptie, declinatory exception) yaitu eksepsi yang


bersifat menolak, supaya pemeriksaan perkara jangan diteruskan.
2. Eksepsi tunda (dilatoir exceptie, dilatory exception) yaitu eksepsi yang bersifat
menunda diteruskannya perkara.
3. Eksepsi halang (peremptoir exceptie, peremptory exception) yaitu eksepsi yang
bersifat menghalangi dikabulkannya gugatan penggugat, tetapi telah mendekati
pokok perkara. Termasuk jenis ini eksepsi tentang lampau waktu, eksepsi tentang
penghapusan hutang.

6. Rekonvensi (gugatan balasan)

Rekonvensi (gugatan balasan) diatur dalam pasal 132 a dan 132 b HIR, yang disisipkan dalam
HIR dengan Stb.1927-300 dua pasal mana mengambil alih pasal pasal 244-247 B.Rv ; dalam
R.Bg. diatur dalam pasal 157 dan 158. Yang dimaksud dengan rekonvensi (reconventie,
reconvention) adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat, berhubung penggugat juga
melakukan wanprestasi terhadap tergugat. reconvensi ini sifatnya insidentil saja karena tidak
semua gugatan penggugat dapat dibalas dengan rekonvensi oleh tergugat. Tergugat baru dapat
melakukan rekonvensi apabila secara kebetulan penggugat juga pernah melakukan
wanprestasi terhadap tergugat. Tujuan rekonvensi itu ialah untuk menetralisir atau
mengimbangi gugatan penggugat.

Rekonvensi yang diajukan tergugat itu sebenarnya adalah jawaban tergugat terhadap gugatan
penggugat atas perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Karena itu rekovensi diajukan
bersama-sama jawaban tergugat baik secara tertulis maupun secara lisan.

Apabila di persidangan pengadilan negeri tergugat tidak mengajukan rekonvensi, maka dalam
pemeriksaan tingkat banding rekonvensi tidak boleh diajuka lagi. tergugat hanya
diperbolehkan mengajukan gugatan biasa kepada pengadilan negeri.

Menurut ketentuan pasal 132 a HIR 157 R.Bg. terhadap semua gugatan, tergugat hanya
dapat mengajukan rekonvensi kecuali dalam tiga hal yaitu:

1. Rekonvensi tidak boleh diajukan, Apabila penggugat bertindak dalam suatu kwalitas,
sedangkan rekonvensi ditujukan kepada diri penggugat pribadi dan sebaliknya.
2. Rekonvensi tidak boleh diajukan, apabila pengadilan negeri yang memeriksa gugatan
penggugat tidak berwenang memeriksa gugatan rekonvensi.
3. Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila mengenai perkara tentang pelaksanaan putusan
hakim. Dalam soal pelaksanaan putusan hakim, tidak ada lagi menyangkut penetapan hak
karena perkaranya sudah diputus dan tinggal lagi pelaksanaan hak yang telah ditetapkan
dalam putusan itu.

7. Intervensi terhadap perkara yang diperiksa


Sering ditemui pihak ketiga melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang diperiksa di
pengadilan, dan memang dirasakan sangat dibutuhkan.
Yang dimaksud dengan intervensi adalah menurut ketentuan pasal 279 B.Rv barangsiapa
yang mempunyai suatu kepentingan di dalam perkara yang sedang diperiksa di pengadilan,
dapat ikut serta di dalam perkara tersebut dengan jalan menyertai (voeging) atau menengahi
(tussenkomst). Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa intervensi itu adalah ikut sertanya
pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berlangsung, apabila ia mempunyai
kepentingan (belang, interest). Jadi syaratnya harus ada kepentingan.

Menyertai salah satu pihak (voeging)

Maksudnya adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu perkara dengan jalan
menggabungkan diri dengan salah satu pihak untuk membela kepentingannya. Secara
tidak langsung, kepentingan pihak ketiga itu ikut disengketakan. Sehingga akan
menimbulkan kerugian baginya.

Menengahi melawan kedua pihak (tussenkomst)

Maksudnya adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam perkara guna untuk membela
kepentingannya sendiri. Yang dibela bukan hak dari pihak pengguat dan tergugat,
melainkan hak dari pihak ketiga itu.

Penanggungan (vrijwaring)

Mirip dengan intervensi, tetapi tidak dapat digolongkan sebagai intervensi. Bentuk itu
ialah penanggungan(vrijwaring). Dikatan tidak termasuk intervensi adalah karena
inisiatif ikut dalam perkara tersebut bukanlah datang dari pihak ketiga, melainkan
justru dari salah satu pihak yang berperkara.

Exceptio plurium litis consortium

Bentuk ini berlainan dengan intervensi dan penanggungan. Disini justru pihak yang
berperkara ada yang tidak lengkap. Karena tidak lengkap itu maka diminta pihak
ketiga yang diluar perkara ditarik untuk bergabung kepada pihak yang tidak lengkap
itu.
BAB V

TENTANG KASASI

1. Peraturan Tentang Kasasi


Dalama Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku sekarang tidak ada ketentuan yang mengatur
tentang kasasi. Demikian juga dalam Konstitusi RIS 1949, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang
kasasi. Baru dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ada ketentan yang mengatur tentang
kasasi, yaitu pasal 105 ayat 3. Menurut ketentuan pasal tersebut, dalam hal-hal yang ditunjuk dengan
undang-undang, terhadap keputusan-keputusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan-
pengadilan lain daripada Mahkamah Agung. Tetapi undang-undang yang mengatur tentang kasasi
berdasarkan pasal 105 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 itu juga belum ada.

Dari ketentuan ketentuan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Kasasi harus diatur dengan undang-undang.


2. Undang-undang lama yang mengatur tentang kasasi telah dinyatakan tidak berlaku lagi.
3. Dengan diundangkannya Undang-Undang 1985-14 tentang Mahkamah Agung, maka
Undang-Undang 1965-13 tentang Peradilan Umum dan Mahkamah Agung dinyatakan tidak
berlaku lagi.
4. Sepenuhnya mengenai kasasi diatur dalam Undang-Undang 1985-14

2. Pengertian Kasasi
Menurut ketentuan pasal 28 ayat 1 butir (a) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus permohonan kasasi. Ketentuan pasal ini berhubungan dengan ketentuan pasal 30 UU
1985-14 yang menyatakan bahwa putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua
lingkungan peradilan karena:

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;


b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Dari ketentuan ini dapat dinyatakan bahwa Mahkamah Agung dari putusan peradilan kasasi hanya
meninjau segi hukum putusan dalam tingkat banding atau tingkat terakhir, apakah putusan itu sesuai
atau tidak dengan hukum yang berlaku. Bertentangan atau tidakdengan hukum yang berlaku, atau
sama sekali tidak melaksanakan peraturan hukum, atau walaupun melaksanakan hukum tetapi ada
kekeliruan dalam pelaksanaannya. Jadi peradilan kasasi itu terbatas pada persoalan mengenai hukum
saja, tidak mengenai peristiwa dan pembuktiannya. Hakim kasasi bukan judex facti. Judex facti
adalah hakim-hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan kasasi ialah pembatalan
putusan hakim dalam tingkat banding atau tingkat terakhir yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
hukum yang berlaku. Tidak sesuai atau bertentangan itu artinya:

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;


2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3. Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
3. Syarat-Syarat dan Prosedur Kasasi

Adapun syarat-syarat supaya permohonan kasasu dapat diajukan ialah;

1. Perkara yang dimohonkan kasasi sudah dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tinggi
dalam tingkat banding atau sudah diputus dalam tingkat terakhir (pasal 29 UU 1985-14);
2. Dalam hal putusan verstek, harus sudah mengajukan verzet (perlawanan) terlebih dahulu,
kemudian mengajukan banding (pasal 129 HIR, 153 R.Bg.);
3. Masih dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan
diberitahukan kepada pemohon (pasal 46 ayat 1 UU 1985-14);
4. Membayar biaya perkara untuk kasasi (pasal 46 ayat 3 UU 1985-14);
5. Harus melampirkan memori kasasi yang memuat alasan-alasan kasasi (pasal 47 ayat 1 UU
1985-14).
BAB VI

PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM

1. Yang Berwenang Melaksanakan Putusan Hakim

Putusan hakim yang memerlukan pelaksanaan ialah putusan yang bersifat menghukum
(condemnatoir). Pelaksanaan tersebut memerlukan bantuan dari pihak yang dikalahkan,
artinya pihak yang bersangkutan harus dengan sukarela melaksanakan putusan itu.
Melaksanakan putusan berarti bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang
dibebankan oleh hakim lewat putusannya.

Apabila pihak yang kalah itu tidak mau atau lalai melaksanakan putusan hakim, pihak yang
menang dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara itu baik secara lisan maupun secara tertulis, supaya putusan itu dilaksanakan. Untuk
itu ketua menyuruh memanggil pihak yang kalah serta memperingatkan supaya iya
melaksanakan putusan itu selambat-lambatnya dalam tempo delapan hari. (pasal 196 HIR
207 R.Bg.).

Apabila dalam tempo delapan hari itu putusan hakim tidak dilaksanakan, atau pihak yang
kalah setelah dipanggil dengan patut, tidak juga dating menghadap, maka ketua Pengadilan
Negeri karena jabatannya memerintahkan secara tertulis supaya melakukan penyitaan atas
barang-barang bergerak milik pihak yang kalah, sejumlah harga yang harus dibayarkan
ditambah ongkos pelaksanaan putusan, Apabila barang-barang bergerak tidak ada atau tidak
mencukupi, maka dilaksanakan penyitaan atas barang-barang yang tidak bergerak. (pasal 197
ayat 1 HIR 206 R.Bg.). Penyitaan ini disebut sita pelaksanaan (executional beslag,
executionary distrain).

2. Cara Melaksanakan Putusan Hakim

Apabila surat perintah pelaksanaan (eksekusi) yang ditandatangani oleh ketua Pengadilan
Negeri telah dikeluarkan maka, paniteraatau juru sita dengan membawa surat perintah itu
serta didampingi oleh dua orang saksi pergi ketempat penyitaan. Di sana panitera atau juru
sita memperlihatkan surat perintah itu kepada pihak-pihak ataupun pejabat yang
bersangkutan, misalnya camat, kepala desa dsb. Dengan surat perintah ini petugas eksekusi
tersebut bertindak sebagai pejabat umum (openbare ambtenaar, public officer) yang menurut
peraturan hukum diwajibkan melakukan suatu jabatan umum. Karena itu siapa yang
menentangnya dengan suatu jabatan umum. Karena itu siapa yang menentangnya dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dihukum menurut 211 214 KUHP.

3. Peninjauan Kembali

Menurut ketentuan pasal 67 UU 1985-14 pemohonan peninjauan kembali putusan perkara


perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan berdasakan alasan-
alasan berikut:
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian
oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih darpipada yang dituntut;
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang
sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain;
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.

Anda mungkin juga menyukai