PENDAHULUAN
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian
ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal jantung
ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas dan retensi
cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini mempengaruhi
kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung.1
Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks akibat kelainan
jantung ataupun non-jantung yang mempengaruhi kemampuan jantung untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh seperti peningkatan cardiac output. Gagal
jantung dapat muncul akibat gangguan pada miokardium, katup jantung, perikardium,
endokardium ataupun gangguan elektrik jantung.2
2.2 Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah3 :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel
kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan
menderita penyakit gagal jantung kongestif. Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien
penyakit jantung koroner menderita gagal jantung kongestif. Bahkan dua per tiga
pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit
Jantung Koroner.
2.3 Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak
bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Namun,
pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala
simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh
yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri.4 Beberapa
mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin- Angiotensin-Aldosteron
Kriteria Major :
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Kelas I
Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak
nafas, fatigue, atau palpitasi.
Kelas II
Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat
beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas fisik mulai merasakan sedikit sesak,
fatigue, dan palpitasi
Kelas III
Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat namun
ketika melakukan aktivitas fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan
palpitasi.
Kelas IV
Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala bisa muncul dan jika
melakukan aktivitas fisik maka gejala akan meningkat.
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan. 6
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura.
begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan
fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan
dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk
menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga
bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat
penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan
analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard
dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai
fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena
EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan.
Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh
2.7 Penatalaksanaan
Terapi : 7
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
- Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada
gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter
pada gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin II,
diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik
lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100 mmHg.
Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan
pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan
afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan
arteri rata - rata > 65 mmHg.
2.8 Prognosa
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun
bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada
pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai
dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan
KESIMPULAN
1
American Heart Association, 2001. Evaluation and Management of Chronic Heart
Failure in the Adult. Available from :
http://circ.ahajournals.org/content/104/24/2996.full.pdf [Accessed 23 Maret
2017]
2
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2007. Management of Chronic Heart
Failure. Available from : http://www.sign.ac.uk/pdf/sign95.pdf [Accessed 23
Maret 2017]
3
Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S.,
Gersh,B.J., Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L., 2003.
Incidence of heart failure after myocardial infarction: is it changing over time?.
Am. J. Epidemiology 157 (12): 11011107. Available from:
http://m.aje.oxfordjournals.org/content/157/12/1101.long?view=long&pmid=127
96046.
4
Mann, D.L., 2007. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald, E., et. al., Ed.
Braundwalds Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Ed. 8th,
Philadelphia, Elsevier Saunders, 541-560.
5
Mann, D.L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrisons
Cardiovascular Medicine Ed. 17th .
6
Sudoyo, W Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publihing
7
PAPDI. 2016. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis
Klinis. Jakarta: Interne Publishing
8
Braimbridge, M V. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Penerbit Eirlangga