Perlu Anda ketahui bahwa mogok kerja sebenarnya adalah hak dasar dari pekerja yang dilakukan secara
sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan, sebagaimana diuraikan dalam Pasal
137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Sebagai suatu hak dasar, ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dalam melakukan mogok kerja.
Hal-hal yang harus dipenuhi dalam melakukan mogok kerja dapat dilihat dalam Pasal 139 dan Pasal 140
UU Ketenagakerjaan:
Lebih lanjut, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Hal-hal Apa yang Harus Dilakukan Sebelum
Melaksanakan Mogok Kerja? dan Mogok Kerja Harus Dapat Izin Kepolisian?.
Kami kurang mendapat keterangan yang detail mengenai apakah mogok kerja yang dilakukan oleh
pekerja ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan atau tidak. Jika mogok kerja tersebut telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang
berlaku, maka mogok kerja tersebut adalah mogok kerja yang sah. Sebaliknya jika mogok kerja tersebut
tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan,
maka mogok kerja tersebut tidak sah.
Berdasarkan Pasal 142 UU Ketenagakerjaan, jika mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut tidak sah.
Selain itu, Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-
232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah(Kepmenaker
232/2003) juga menjelaskan mengenai mogok kerja seperti apa yang dikatakan tidak sah. Berdasarkan
Pasal 3 Kepmenaker 232/2003, mogok kerja tidak sah apabila dilakukan:
a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan/atau
c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU
Ketenagakerjaan.
Akibat dari mogok kerja yang tidak sah diatur dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, yaitu bahwa
pekerja dikualifikasikan sebagai mangkir. Atas hal ini, pengusaha melakukan pemanggilan kepada
pekerja yang melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh
pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan
secara patut dan tertulis. Jika pekerja/buruh tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap
mengundurkan diri.
Sedangkan, jika mogok kerja yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal
140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut sah. Atas mogok kerja yang telah sah tersebut,
berdasarkan Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang:
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus
serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pasal yang menyatakan bahwa
pengusaha memiliki hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja yang
melakukan mogok kerja. Tetapi, perlu diketahui juga bahwa tidak ada pasal yang secara jelas
mengatakan bahwa pengusaha tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerja yang melakukan mogok
kerja (lihat Pasal 153 UU Ketenagakerjaan mengenai hal-hal yang tidak boleh dijadikan alasan oleh
pengusaha untuk melakukan PHK).
Akan tetapi, merujuk pada ketentuan dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, dapat kita lihat bahwa jika
mogok kerja tersebut tidak sah, tanpa pengusaha perlu melakukan PHK, pekerja yang telah dipanggil
sebanyak 2 (dua) kali untuk kembali bekerja tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut, dianggap
mengundurkan diri. Ini berarti bahwa pengusaha tidak secara langsung mempunyai hak untuk langsung
melakukan PHK kepada pekerja tersebut, tetapi peraturan perundang-undangan memberikan
perlindungan kepada pengusaha dengan memberikan ketentuan mengenai pengunduran diri tersebut.
Sedangkan, jika mogok kerja tersebut sah, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 144 huruf b UU
Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa pengusaha dilarang memberikan sanksi atau tindakan
balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama
dan sesudah melakukan mogok kerja. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika PHK yang dilakukan oleh
pengusaha merupakan wujud dari sanksi atau tindakan balasan bagi pekerja yang melakukan mogok
kerja secara sah, maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Jika pengusaha melanggar Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta (Pasal 187 UU Ketenagakerjaan).
Jadi, pada dasarnya pengusaha tidak dapat melakukan PHK kepada pekerja yang melakukan mogok
kerja.