Terapi Oksigen
Terapi Oksigen
Pada hipoksia karena anemia, kelainan transpor oksigen oleh hemoglobin, defisiensi sirkulasi, atau pintasan fisiologis, maka
terapi oksigen nilainya jauh lebih rendah, karena dalam alveoli telah terdapat oksigen yang normal. Salah satu atau lebih
mekanisme untuk mengangkut oksigen dari paru ke jaringan menjadi berkurang. Walaupun demikian, sejumlah kecil oksigen
tambahan 7-30%, dapat diangkut dalam keadaan terlarut dalam darah apabila oksigen alveolus ditingkatkan hingga mencapai
maksimum, walaupun jumlah yang diangkut oleh hemoglobin sangat berubah. Jumlah oksigen tambahan yang sedikit ini,
menjadi penentu hidup dan mati seseorang.
Pada jenis hipoksia akibat penggunaan oksigen jaringan yang tidak adekuat, abnormalitas yang terjadi bukan pada
pengambilan oksigen oleh paru ataupun transportnya ke jaringan, melainkan karena sistem enzim, metabolik jaringan yang tidak
mampu menggunakan oksigen yang dikirimkan, karena itu masih diragukan apakah terapi oksigen bermanfaat untuk keadaan
ini.
6. METODE DAN TEKNIK PEMBERIAN OKSIGEN
Berdasarkan durasi, pemberian oksigen dibedakan menjadi dua, yaitu :
- Terapi jangka pendek
Merupakan terapi oksigen dengan durasi 1-3 bulan pada pasien dalam kondisi klinis yang tidak stabil, misalnya serangan asma
akut, PPOK eksaserbasi, gagal jantung akut dan pneumotoraks. Pedoman indikasi terapi oksigen berdasarkan rekomendasi dari
American College of Chest Physician dan National Heart Lung and Blood Institute :
® Henti napas dan jantung
® Hipoksemia (PaO2 < 7,8 kPa, SaO2 <90%)
® Hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mmHg)
® Cardiac output rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat <18 mmol/L)
® Distres pernapasan (frekuensi pernapasan >24/menit)
- Terapi jangka panjang tergantung dari penyakit yang diderita pasien.
Merupakan pemberian oksigen yang lama pada kondisi klinis pasien yang stabil yang di indikasikan pada beberapa penyakit
tertentu. Pemberian oksigen jangka panjang dibedak menjadi dua, yaitu :
D 450 3,5
E 650 5,0
G 5600 44,0
H, K 6900 58,0
· Oksigen cair
Oksigen berubah secara fisik dari gas menjadi cair pada temperatur yang rendah. Oksigen ini akan dihangatkan dan berubah
menjadi gas agar bisa digunakan oleh pasien, metode yang digunakan rumah sakit untuk menyediakan oksigen secara besar,
selain itu didesain khusus seperti termos dan digunakan di beberapa negara sebagai konsep terapi oksigen dirumah.
· Konsentrator oksigen
Metode ini menggunakan penyalur konsentrator dengan operasi aliran listrik, dan akan memisahkan oksigen dari komponen
udara yang lain dan menyimpannya. Oksigen yang diperoleh dapat langsung dialirkan melalui kanula nasal, keuntungannya
adalah oksigen bisa dialirkan kapan pun karena konsepnya yang menggunakan aliran udara dari sekitar, namun alat ini jarang
digunakan di Indonesia.
1. Nasal Kanula 1 25 - Simpel, nyaman, - Iritasi lokal dan kekeringan - Alat dibersihkan
2 29 murah, pasien dapat mukosa (bila kecepatan setiap hari.
3 33 makan dan minum aliran>4L/menit) pada Evaluasi luak
4 37 aliran tinggi, pasien tidak akibat tekanan
5 41 - Tidak ada resiko nyaman dan harus di telinga dan
6 45 menghirup CO2 digunakan bersama sistem pipi.
kembali humidifikasi/pelembaban. - Aliran >6 liter
- Tidak efektif untuk oksigen tidak akan
konsentrasi tiggi. menambah FiO2
- Oksigen yang diberikan
tidak konsisten.
2. Sungkup muka >5 35-50 - Peningkatan aliran ke - Harus ditutup ke wajah - Aliran <5L/menit
sederhana (5-15) 10L/menit bisa dengan kuat dan ketat : menyebabkan
meningkatkan panas dan terasa mengikat peningkatan
konsentrasi oksigen - Tidak praktis untuk jangka resistensi
50% waktu lama terhadap
- lebih murah pernapasan.
dibanding masker lain - Kemungkinan
CO2 terkumpul
dalam masker
dan pernapasan
ulang bisa
terjadi.
3. sungkup muka 5-15 6-10 L/menit - FiO2 yang lebih tinggi Resiko atelektasis dan Aliran oksigen
dengan kantong (sistem ini pada aliran yang lebih toksisitas oksigen harus terus
rebreathing dapat rendah (pemakaian yang lama) diberikan untuk
menyediakan - Katup memberikan memastikan
fraksi oksigen ruang untuk CO2 kantung
40-70%) keluar dari masker senantiasa terisi
sepertiga atau
separuh pada
saat inspirasi.
4. Non-rebreathing 10 60-80 - Diutamakan untuk Lebih mahal dibanding Kantong harus
mask (tergantung pasien rawat inap nasal kanul dan simple diisi sebelum
aliran oksigen - Konsentrasi oksigen mask dipasang ke
dan tipe tinggi tanpa pasien
pernapasan) dibutuhkan intubasi
- Pasien menghirup
95 udara yang kaya
10-12 oksigen dari kantung
dan bukan dari udara
yang tersisa.
5. Sungkup muka 4 24-28 Konsentrasi oksigen - Resiko atelektasis dan toksisitas oksigen
venturi 6 31 akhir dapat dimonitor (pemakaian lama)
8 35-40 dengan lebih ketat - Harus dipasang dengan ketat
10 50 dan lebih tepat - Tidak dapat mengalirkan oksigen konsentrasi
tinggi dengan fleksibel
7. Continue Positive 2-10 - Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan positif pada inspirasi dan
airway pressure dengan ekspirasi
(CPAP) konsentrasi
21-100%
b) Kondisi yang membutuhkan suplemen oksigen dosis rendah dan terkontrol untuk pasien dewasa dengan PPOK dan kondisi yang
lain yang membutuhkan terapi oksigen dosis rendah dan terkontrol. Target saturasi : 88-92%, oksigen inisial diberikan hingga
diperoleh SpO2 yang reliable, lalu aliran oksigen disesuaikan untuk mencapai target saturasi dalam rentang 88-92%.
Kondisi pasien Dosis inisial Metode administrasi
PPOK 4 liter/menit (jika RR > 30x/menit, 28% sungkup venturi
menggunakan sungkup venturi,
aliran oksigen diberikan 50% lebih
tinggi daripada aliran oksigen yang
dispesifikasi untuk sungkup tersebut)
- Penyakit kronik 4 liter/menit 28% sungkup venturi
- Neuromuskular
- Kelainan dinding dada
- Morbid obesity
- Bmi > 40 kg/m2)
Jika saturasi oksigen tetap berada di 5-10 liter/menit Sungkup muka sederhana
bawah 88%, tukar ke sungkup muka
sederhana
Penyakit kritis dan faktor resiko lain Pemberian oksigen sesuai kondisi klinis bagian (d)
untuk hiperkapnia
c) Kondisi penyakit serius yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat sedang (moderat) jika pasien mengalami hipoksemia.
Target saturasi : 94-98%, berikan oksigen dengan dosis inisial hingga diperoleh SpO 2 yang stabil, setelah itu diberikan aliran
oksigen dengan target saturasi 94-98%.
Kondisi pasien Dosis inisial Metode administrasi
Akut hipoksemia atau sianosis sentral SpO2 <85% Reservoir mask (non-rebreath mask)
(kausa belum diidentifikasi) 10-15 liter/menit
- Akut hipoksemia (kausa belum
diketahui)
- Asma akut SpO2 ≥85-93% Nasal kanul
- Gagal jantung akut 2-6 liter/menit
- Pneumonia
- Sesak napas pasca-bedah
- Efusi pleura SpO2 ≥85-93% Sungkup muka sederhana
- Pneumotoraks 5-10 liter/menit
- Anemia berat
d) Kondisi yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat tinggi untuk pasien dewasa dengan penyakit kritis (critical illness). Target
saturasi : 94-98%, berikan oksigen dengan dosis inisial sehingga tanda vital normal, setelah itu kurangi dosis oksigen dan target
saturasi 94-98% tercapai.
Kondisi pasien Dosis inisial Metode administrasi
Henti jantung atau resusitasi : Dosis maksimal sehingga tanda vital Sungkup katup kantung (bag valve
- Bantuan hidup dasar normal mask)
- Bantuan hidup lanjut
- Obstruksi bahan asing
- Henti jantung traumatik
- Resusitasi maternal
Trauma mayor : 15 liter/menit Masker reservoir (non-rebreath
- Trauma abdomen mask)
- Luka bakar
- Renjatan listrik
- Trauma kepala
- Trauma tungkai
- Trauma leher/spinal
- Trauma pelvis
- Trauma thoraks
- Trauma sewaktu hamil
Anafilaksis
Perdarahan pulmonan mayor
Sepsis karena meningococcal
Septisemia
Syok
Konvulsi aktif
Hypothermia
4. Jika sudah mendapat PAO2 yang baru, selanjutnya hitung FiO2 baru dengan rumus :
FiO2 = 150 + AaDO2 x 100%
760
Ket :
AaDO2 = (PAO2 yang baru) – PaO2 hasil AGD
PAO2 = tekanan parsial oksigen di alveoli
PaO2 = didapatkan dari hasil AGD
PaCO2 = didapatkan dari hasil AGD
= fraksi oksigen pada pasien saat diambil AGD, jika tidak menggunakan oksigen dianggap 21%
(Patria & Fairuz. 2012)
- Pasien diobservasi 5 menit setelah terapi oksigen ditingkatkan dan jika saturasi tetap tidak meningkat serta terdapat kondisi
klinis setelah dievaluasi, AGD harus diulang.
- Jika sasaran saturasi diantara 88-92%, AGD harus diulang 30-60 menit jika dilakukan peningkatan terapi oksigen untuk
memastikan agar CO2 tidak meningkat.
Kegunaan Dari Analisa Gas Darah (AGD) Dan Pulse Oximetry (Po)
a) Analisa gas darah (AGD)
Analisa gas darah (AGD) arteri merupakan pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada sampel darah arteri. AGD digunakan
untuk mengukur kapabilitas paru untuk menyediakan oksigen untuk mencukupi kebutuhan tubuh dan mengeluarkan karbon
dioksida, membantuk mengevaluasi status metabolik dan respirasi pasien, selain untuk mengukur pH darah dan integritas
keseimbangan asam-basa pada tubuh. (Patria & Fairuz. 2012)
Pemeriksaan AGD memberikan tiga hasil utama, yaitu :
- Status asam-basa
Intervensi yang cepat harus diberikan apabila hasilnya aseidemia (pH<7,20) dan alkalemia (pH>7,6) karena akan terjadi efek
simpang pada sistem kardiovaskular dan saraf pusat.
- Status ventilasi
Jika terdapat kelainan pada status asam-basa, maka harus diperhatikan status ventilasi karena status ventilasi mempengaruhi
status asam-basa pasien. Harus dicari yang menjadi dasar penyebab. PaCO2 merupakan indikator kecukupan dari ventilasi
alveolar yang terkait dengan produksi CO2. Peningkatan PaCO2 akan merangsang peningkatan ventilasi untuk mengembalikan
PaCO2 ke nilai normal, jika fungsi respiratori masih baik. Tetapi, jika hiperkapnia dan asidosis respiratori, maka kegagalan pada
ventilasi sudah terjadi. Salah satu penyebabnya yaitu pada penyakit paru obstruktif.
- Oksigenasi arteri
Apabila PaO2 dibawah normal, terjadi desaturasi proposional yang bermakna selama terjadi penurunan pada PaO 2 dan kadar
oksigen arterial. Apabila pengiriman oksigen berkurang akibat kadar oksigen arterial yang rendah atau keluaran jantung
inadekuat, hipoksia kritis terjadi di jaringan. Oleh karena itu, tujuan terapi adalah untuk memastikan nilai PaO 2 berada dalam
rentang normal (60-80mmHg).
b) Pulse oximetry (PO)
Pulse oximetry (PO) sebagai alat monitoring oksigenasi yang tidak invasive, tidak memerlukan petugas dengan kemampuan
khusus, murah, dapat mengestimasi SaO 2 pada saat diukur (dalam rentang 80-100%), dan menghindari ketidaknyamanan seperti
pada AGD. Prinsip kerjanya adalah mengukur konsentrasi zat terlarut berdasarkan absorbsi cahaya. PO menggunakan probe
dengan 2 sumber cahaya, yaitu cahaya merah (660nm) dan cahaya inframerah (900-940nm), juga fotodetektor. Menggunakan
kedua cahaya karena absorbsi dari oksihemoglobin dan hemoglobin tereduksi sangat berbeda pada kedua panjang gelombang
tersebut.
Sebagian besar cahaya diserap secara konstan oleh jaringan ikat, kulit, tulang dan darah vena. Sedangkan, darah arteri cukup
terpengaruh dengan siklus jantung. Saat darah dipompa, cahaya akan diserap akan meningkat. Dengan membandingkan rasio
antara absorbs saat terdapat pulsasi dan tidak pada kedua panjang gelombang tersebut, rasio oksihemoglobin dan hemoglobin
tereduksi dapat dihitung. Presentasi SaO 2 adalah rasio antara oksihemoglobin dan jumlah oksihemoglobin dan hemoglobin
tereduksi. Kelemannya adalah karboksihemoglonin dan methemoglobin tidak digunakan sebagai denominator. (Patria & Fairuz.
2012)
Aplikasi klinis dari pulse oximetry, yaitu :
- Saat manajemen jalan napas pada kondisi gawat darurat :
Ø Menentukan kebutuhan manajemen jalan napas.
Ø Mengevaluasi kecukupan preoksigenasi sebelum dilakukan intubasi endotrakeal pada pasien.
Ø Monitor ventilator dan perubahan FiO2.
Ø Sebagai indikator awal disfungsi ventilator.
Ø Membantu dalam weaning terapi oksigen tetapi tidak pada ventilator mekanis.
- Monitor oksigenasi
Ø Monitor pasien dengan disfungsi paru untuk keadaan hipoksia yang tidak disangka.
Ø Monitor saat prosedur tertentu seperti sedasi sistemik.
Ø Monitor oksigenasi di rumah sakit dan saat pasien dikirim ke rumah sakit lain,
- Evaluasi asma akut pada anak-anak
- vital sign kelima
b) Kerusakan sitotoksik
- Sistem respirasi
Terjadi karena produksi radikal bebas sehingga mengakibatkan trakeobronkitis dan ARDS yang dimanifestasi dengan
edema pulmo dan kolaps paru fokal yang diikuti denga fibrosis. Derajat toksisitasnya tergantung dari beberapa faktor yaitu
toleransi terhadap O2 (tergantung dari pertahanan antioksidan, usia, faktor nutrisi dan hormonal), kadar O2 yang diberikan dan
durasi pemberian O2. Karena itu, tujuan pemberian terapi O2 merupakan pemberian O2 dengan kadar seminimal mungkin
namun diperoleh kadar yang adekuat dalam jaringan. Selama resusitasi dan perawatan kegawatdaruratan 100% O 2 dapat
diberikan secara aman kepada hampir semua pasien tanpa takut akan adanya efek sitotoksik. (Patria & Fairuz. 2012)
Efek toksik yang dimediasi oleh reactive oxygen species (ROS) berpotensi mempunyai resiko. ROS diproduksi secara
berlebihan pada keadaan PO2 yang tinggi di jaringan dalam bentuk hidrogen peroksida dan superoksida yang akan menyebabkan
stres oksidatif dan kerusakan jaringan. Pada tingkat fisiologis, ROS berperan sebagai signaling molecules, tetapi pada tingkat
yang tinggi akan menyebabkan sitotoksik, yang disebabkan oleh neutrofil sebagai host defence mechanism. ROS juga
bertanggung jawab pada perkembangan displasi bronkopulmonal pada bayi premature yang mendapat ventilasi hiperoksigenasi
(ventilated hyperoxygeneted premature infants) dan reperfusin injury pada pasca infark miokardium.
- Sistem Saraf Pusat (SSP)
Terjadi apabila oksigen yang diberikan bertekanan kurang dari 2 atmosfer. Toksisitas pada SSP terjadi pada penggunaan
aplikasi terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen therapy). Toksisitas pada SSP lebih dahulu dibanding dengan toksisitas pada
paru apabila oksigen diberikan pada tekanan melebihi 2,5 atmosfer dengan gejala konvulsi yang didahului dengan penglihatan
kabur atau muscular twitching. Gejala toksisitas oksigen pada SSP, antara lain : mual muntah, dizziness, gangguan penglihatan
(tunnel vision) da gangguan pendengaran (tinnitus), iritabilitas, bingung, kesulitan bernapas, ansietas, inkoordinasi, serta
konvulsi.
- Mata
Daya penglihatan akan terganggu dengan adanya peningkatan tekanan atmosfer. Gejalanya meliputi fotofobia, ambliopia dan
midriasis yang ditemukan setelah pasien bernapas dengan oksigen murni selama 4,5 jam pada tekanan atmosfer normal.
c) Bahaya fisik
Meliputi ledakan tangki, kebakaran, iritasi lokal dan pengeringan membran mukosa, Akan terjadi penurunan mucociliary
clearance sebesar 40% bila digunakan FiO2 75% selama lebih dari 9 jam dan penurunan sebesar 50% bila digunakan selama lebih
dari 30 jam. (Patria & Fairuz. 2012)
KESIMPULAN
Terapi oksigen dapat diartikan sebagai suatu terapi yang memasukkan O 2 kedalam paru-paru melalui saluran
pernapasan dengan menggunakan alat khusus, yang bertujuan untuk membantu menambah kekurangan O 2 dan menghindari
serta memperbaiki hipoksia, meningkatkan tekanan alveolar. Terjadinya hipoksia dipengaruhi oleh beberapa sistem organ yang
saling terkait baik itu sistem respirasi, kardiovaskuler dan hematologi. Gangguan dari salag satu atau lebih dari sistem tersebut
akan mengakibatkan manifestasi klinis hipoksia bila tidak ditangani dengan tepat. Suatu obat dalam terapi oksigen diberikan
apabila terdapat indikasi, dalam dosis tertentu dan harus dievaluasi pemberiannya.
Kondisi hipoksemia dan hipoksia merupakan dasar dari diberikannya terapi oksigen, karena itu harus diketahui dan
diatasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut. Sehingga menjadi sangat penting untuk mengatasi penyakit
dasar yang mengakibatkan hipoksemia dan hipoksia apabila parameter tidak menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi
oksigen. Semua faktor yang mempeengaruhi yaitu pH, temperatur, PaCO 2, SaO2 harus dievaluasi untuk mendapatkan hasil terapi
yang optimal.
Metode dalam pemberian terapi oksigen disesuaikan dengan gejala klinis pasien, AGD, dan pulse oximetry. Sedangkan,
kapan dosis terapi oksigen harus mengalami proses peningkatan, penurunan ataupun penyapihan harus berdasarkan pada gejala
klinis ataupun hasil laboratorium. Ada empat kunci yang harus dipahami dan diingat dalam pemberian terapi oksigen yaitu siapa
yang memerlukan, bagaimana cara pemberian dan bagaimana cara memonitor serta haruslah diwaspadai akan terjadinya resiko
toksisitas