Pendahuluan.
Interaksi obat adalah keadaan dimana efek farmakologik (farmakodinamik
dan/atau farmakokinetik) dari suatu obat mengalami perubahan akibat berinteraksi
antar obat itu sendiri, ataupun dengan obat lain.
Obat yang dipengaruhi efeknya disebut “object drug” atau “index drug”,
sedangkan obat lainnya yang mempengaruhi disebut “precipitant drug”
- Contoh index drugs antara lain: antikoagulan (warfarin, kumarin), digoksin,
dilantin, obat-obat sitostatika, kontrasptik hormonal.
- Contoh precipitant drug antara lain: aspirin, fenilbutazon, sulfa
Warfarin yang diberikan bersama (concomitant) dengan aspirin menyebabkan efek
warfarin meningkat dan terjadi efek samping perdarahan hebat.
Selain interaksi antar obat (drug-drug interaction), dapat juga terjadi interaksi
antara obat dengan herbal/tanaman obat (drug-plant interactions), maupun antar obat
dengan makanan/minuman (drug-food interactions)
Contoh:
- Jika sedang minum obat-obat antidepresan golongan monoamine oxidase
inhibitors/MAOI (penghambat monoamin oksidase) tidak boleh makan makanan
yang mengandung tiramin (misalnya keju), karena dapat terjadi krisis hipertensi.
- Jika sedang minum obat antihiperlipidemia golongan statin tidak boleh bersamaan
dengan minuman grape fruit juice, karena efek samping statin akan meningkat
(terjadi rabdomyelitis).
Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping obat
(adverse drug reactions), yakni jika metabolisme suatu obat terganggu akibat adanya
obat lain dan menyebabkan peningkatan kadar plasma obat indeks sehingga terjadi
toksisitas.
Sebaliknya, interaksi antar obat juga dapat menurunkan kadar plsama obat
indeks sehingga efikasi obat tersebut menurun dan efek terapi tidak tercapai.
Interaksi obat demikian tergolong sebagai interaksi obat ”yang tidak dikehendaki”
atau Adverse Drug Interactions (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi obat
adakalanya tidak selalu harus dihindari karena tidak selamanya serius untuk
mencederai pasien.
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis jika:
1. obat indeks memiliki batas keamanan sempit (narrow margin of safety),
contoh antikoagulan (warfarin), antikonvulsan (fenitoin), digitalis
2. mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam;
3. dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam
kehidupan, misalnya terjadi perdarahan berat karena antikoagulan diberikan
bersama dengan antiplatelet;
4. obat indeks dan presipitant lazim digunakan dalam praktek klinik secara
bersamaan dalam kombinasi, misalnya obat-obat psikotropik untuk gangguan
psikiatrik, .
Oleh karena memiliki implikasi klinis, maka dalam penggunaan bersama obat-obat
lain harus benar-benar diperhatikan kemungkinan terjadinya interaksi yang
merugikan.
Penambahan obat lain dalam bentuk kombinasi (tetap ataupun tidak tetap)
kadang-kadang disebut pharmacoenhancement, juga sengaja dilakukan untuk
Obat Indeks (index drugs) adalah obat yang diubah atau dipengaruhi efek
farmakologiknya oleh obat/bahan lain.
Ciri-ciri obat indeks sbb.:
a. Obat-obat dimana adanya perubahan sedikit saja pada dosis obat ® akan
berakibat terjadinya perubahan besar pada efek klinik obat tsb. Secara
farmakologik, obat-obat ini mempunyai kurva dosis respons tajam
dimana jika kadar obat berkurang sedikit saja, makan efikasi kliniknya
akan menurun cukup signifikan.
b. Obat2 yang memiliki low margin of safety / low toxic-therapeutic ratio.
Adanya peningkatan sedikit saja dosis/kadar obat tersebut ® dapat
menimbulkan peningkatan efek toksik yang signifikan.
Contoh obat indeks:
- Antikoagulan: warfarin, dikumarol
- Antikonvulsan: fenitoin
- Antiaritmia: lidokain, prokainamid
- Antidiabetik oral: tolbutamid, klorpropamid
- Antibiotika: aminoglikosida (gentamisin, vankomisin)
- Glikosida jantung: digoksin
- Imunosupresan: sikloserin
- Kontraseptik hormonal
- Obat-obat SSP: gol. benzodiazepin, litium
- Sitostatika: 5-fluorourasil, metotreksat
- Teofilin
1. Interaksi farmasetik:
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat
langsung dan dapat secara fisika atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi,
perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat
menjadi tidak aktif. Sering terjadi pada pada obat-obat yang dicampur dalam cairan
secara bersamaan, misal dlm infus atau injeksi
Interaksi farmasetik secara kimiawi yaitu jika terjadi reaksi kimia jika 2 atau lebih
obat dicampur, atau terbentuk zat baru dg khasiat berbeda dari bahan asal semula.
Contoh:
a) Terbentuk zat yang lebih toksik
- Acetosal + quinine ® quinotoxin
- Hg2Cl2 (Calomel) + KI ® Hg2I2
b) Terbentuk garam komplek yang tidak larut
- Tetrasiklin + garam kalsium (fosfat, karbonat) ® terbentuk senyawa
chelate yang tidak larut ® tidak dapat diabsorpsi ® tetrasiklin tidak aktif
2. Interaksi farmakokinetik:
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi (ADME) yang terjadi di saluran cerna, hati, ginjal, dan dapat
meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara
farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak
berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan
karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik
yang berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh simetidin (H2-bloker) tidak
3. Interaksi farmakodinamik:
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek
yang aditif, potensiasi, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar
plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya
dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi (class effect), karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat
diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja
obat.
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya:
interaksi antara β-bloker dengan agonis-β2 pada penderita asma; interaksi antara
penghambat reseptor dopamin (haloperidol, metoclopramid) dengan levodopa pada
pasien parkinson.
Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara lain
sebagai berikut: interaksi antara aminoglikosida dengan furosemid akan
meningkatkan risiko ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; β-bloker dengan
verapamil menimbulkan gagal jantung, blok AV, dan bradikardi berat; benzodiazepin
dengan etanol meningkatkan depresi susunan saraf pusat (SSP); kombinasi obat-obat
trombolitik, antikoagulan dan anti platelet menyebabkan perdarahan.
Penggunaan diuretik kuat (misal furosemid) yang menyebabkan perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan toksisitas
digitalis jika diberikan bersama-sama. Pemberian furosemid bersama relaksan otot
(misal, d-tubokurarin) menyebabkan paralisis berkepanjangan. Sebaliknya,
penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama dengan
penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi antihipertensi
dengan obat-obat anti inflamasi non-steroid (NSAID) yang menyebabkan retensi
garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama, dapat menurunkan efek
antihipertensi.
1. Usia Lanjut:
Pada proses penuaan (degeneratif) yang normal atau normal aging, terjadi
penurunan fungsi-fungsi fisiologi tubuh dan penurunan homeostatis. Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan dalam parameter farmakokinetik dan
farmakodinamik obat, yang berakibat terjadinya perubahan respons tubuh terhadap
obat-obat yang diberikan, dan akan mempermudah terjadinya reaksi efek samping
obat (adverse drug reaction) ataupun peningkatan toksisitas.
Selain itu, adanya berbagai penyakit yang diderita sekaligus (multiple
diseases) pada kelompok usia lanjut menyebabkan penggunaan berbagai macam obat
sekaligus (polifarmasi) yang akan memperbesar risiko terjadinya interaksi obat.
Distribusi obat: pada usia lanjut mengalami perubahan yang disebabkan karena:
- menurunnya total body water (10-15%), berpengauh pada obat-obat yang
larut dalam air (misalnya: simetidin, antipirin, alcohol), dimana volume
distribusi obat tsb. (Vd) menurun ® berakibat pada peningkatan kadar
plasma obat.
- menurunnya Lean body mass (10-15%), berpengaruh terhadap volume
distribusi (Vd) digoksin (menurun) sehingga kadar plasma meningkat ®
dibutuhkan pengurangan loading dose.
- menurunnya Body fat : menurunya lemak tubuh berpengaruh pada obat-
obat yang larut dalam lemak (tiopental, diazepam, klobazepam,
klordiazepoksid), dimana volume distribusi obat tsb.meningkat, dan
menyebabkan peningkatan t ½ obat-obat tersebut.
Ikatan Protein Plasma: pada usia lanjut mengalami perubahan yang disebabkan
karena:
- menurunnya plasma albumin (6-20%), berpengaruh pada obat-obat asam
yang terikat kuat dengan albumin (a.l. fenilbutazon, salisilat, naproksen,
fenitoin, asam valproat, warfarin). Berkurangnya ikatan protein ®
menyebabkan fraksi obat bebas meningkat ® risiko ES meningkat.
- meningkatnya a -1-acidglycoprotein plasma, berpengaruh pada obat-obat
basa yg terikat kuat dg protein tsb. (a.l. propranolol, lidokain, imipramin),
menyebabkan peningkatan ikatan obat-protein ® sehingga fraksi obat
bebas menurun ® efektivitas obat menurun.
Metabolisme Hepar: perubahan metabolisme obat pada usia lanjut disebabkan oleh
adanya perubahan fisiologis yaitu:
- Perubahan enzim pemetabolisme (dari segi jumlah dan aktivitasnya)
- Penurunan massa hepar ® sehingga jumlah obat yang dimetabolisme
menurun
Ekskresi Ginjal : pada usia lanjut mengalami perubahan yang disebabkan karena:
- menurunnya massa ginjal (25-30%)
- menurunnya renal blood flow (1% per tahun setelah usia 40 th)
- menurunnya GFR (Glomerular Filtration Rate) (35%)
Obat-obat yang dipengaruhi adalah obat yang dieliminasi via ginjal yaitu:
ACE-Inhibitor, HCT, atenolol, sotalol, prokainamid, digoksin, furosemid, simetidin,
ranitidin, metformin, aminoglikosida, litium. Klirens ginjal obat-obat ini menurun
sehingga ® t ½ obat meningkat.
Beberapa jenis obat yang merupakan komposisi/komponen obat flu pada obat-obat
OTC dapat berinteraksi dan berisiko menimbulkan ESO pada usia lanjut, misalnya:
2. Pasien Pediatrik.
Interaksi obat dapat terjadi pada setiap tahap proses farmakokinetik, misalnya
pada tahap absorpsi. Pada neonatus dan bayi (infant), belum sempurnanya fungsi-
fungsi fisiologis tubuh menyebabkan terjadinya perubahan dalam parameter
farmakokinetik obat.
Absorpsi obat: pengaruh masih terbatasnya motilitas usus dan lambatnya
pengosongan lambung menyebabkan tercapainya kadar plasma obat berlangsung
lebih lambat. Contoh, absorpsi menurun pada obat-obat parasetamol, fenobarbital,
fenitoin.
Adanya obat/zat lain seperti kalsium, zat besi, mangan, senyawa Al, akan
menurukan laju kecepatan dan jumlah (rate & extent) absorpsi obat sefalosporin
dan fluorokuinolon.
Ekskresi ginjal: proses maturasi fungsi ginjal pada pediatrik berlangsung bertahap
dan mencapai kematangan dalam waktu 1 sampai 2 tahun. Glomerulus Filtration
Rate (GFR) pada neonatus hanya 30 – 40% GFR orang dewasa. Obat-obat yang
dieliminasi via ginjal (e.g. aminoglikosid, penisilin, metotreksat) perlu
diperhatikan untuk penyesuaian dosis. Eliminasi obat-obat tersebut terhambat,
4. Pasien HIV/AIDS:
Pada pasien ini risiko gagal fungsi organ meningkat akibat berbagai infeksi
oportunis. Pasien akan sering menerima obat-baru baru (yang masih minim
informasi) dalam jumlah banyak sehingga akan meningkatkan risiko interaksi
obat, dan meningkatkan efek toksik.
1. Interaksi Langsung
Merupakan interaksi secara fisik atau kimiawi antar obat dalam lumen saluran
cerna sebelum obat diabsorpsi. Interaksi terjadi pada obat-obat yang diberikan per
oral yang absorpsinya lewat membran mukosa. Interaksi ini dapat dihindarkan atau
sangat berkurang jika obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu
minimal 2 jam.
Interaksi obat yang terjadi langsung akan menyebabkan penurunan laju/kecepatan
dan jumlah (rate and extent) absorpsi obat
- Untuk obat yang diberikan single dose (misalnya, hipnotik, analgetik)
dimana diharapkan kadar plasma obat yang tinggi harus cepat dicapai,
maka jika kecepatan (rate) absorpsi menurun ® jumlah (extent) obat yang
diabsorpsi juga menurun sehingga kadar plasma yang adekuat tidak
tercapai ® terjadi kegagalan terapi
- Untuk obat yang diberikan secara kronik / regimen multiple dose
(misalnya, antikoagulan) dimana kecepatan (rate) absorpsi tidak penting,
maka jumlah total obat yg diabsorpsi (extent) tidak terlalu dipengaruhi
Usus halus (intestin) adalah tempat absorpsi utama dari semua obat. Absorpsi di
intestin berlangsung jauh lebih cepat daripada absorpsi di lambung, semakin cepat
obat sampai di intestin, maka laju absorpsi makin cepat demikian juga jumlah obat
yang diabsorpsi makin meningkat.
Dari lambung, obat akan masuk ke intestin dan ‘transit’ di sana untuk waktu
tertentu. Waktu transit intestinal adalah lama waktu yang dibutuhkan oleh
obat/zat untuk berada (singgah) di intestin, yang biasanya tidak mempengaruhi
absorpsi obat di intestin, kecuali untuk:
Berikut adalah contoh interaksi obat yang dipengaruhi oleh perubahan waktu
pengosongan lambung dan waktu transit usus.
Adanya hambatan pada transporter OATP, OCT oleh suatu zat/obat ® berakibat
terjadinya penurunan atau peningkatan kadar plasma/biovailabilitas obat yang
merupakan substrat transporter tersebut, contoh:
- jus buah grapefruit adalah inhibitor OATP; obat-obat betabloker,
fexofenadin (= substrat OATP) jika diberikan bersama jus grapefruit,
maka kadar plasma/bioavailitas obat-obat tersebut akan menurun.
- Siklosporin (inhibitor OATP) jika diberikan bersama atorvastatin
(substrat OATP) ® makan bioavailabilitas atorvastatin meningkat.
Tempat (site) protein albumin berikatan dengan obat dikenal ada beberapa, yaitu:
- Warfarin site: mengikat warfarin, fenilbutazon, fenitoin, asam valproat,
tolbutamid, sulfonamid, bilirubin
- Diazepam site: mengikat diazepam dan benzodiazepin lainnya, asam2
kaboksilat (terutama NSAID), penisilin & derivatnya
- Asam-asam lemak mempunyai tempat ikatan yang khusus pada albumin
Protein plama (pp) berfungsi untuk pengikatan dan transport obat dan zat-zat
endogen. Obat yang terikat protein plasma (obat-pp) berada dalam keseimbangan
dengan fraksi obat bebas (tidak terikat pp); fraksi obat bebas ini bersifat aktif secara
farmakologis.
Pengikatan obat oleh protein plasma mempengaruhi ‘nasib’ obat di dalam tubuh,
yakni mempengaruhi lama dan intensitas kerja obat tsb. Adanya fraksi obat bebas
dalam sirkulasi darah mempengaruhi kecepatan eliminasi.
Konsekuensi dari adanya ikatan obat dengan protein plasma (obat-pp) berpengaruh
terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Aktifitas farmakologi: hanya obat bebas yang dapat berdifusi melalui barrier
membran menuju ke organ target dan berinteraksi dengan reseptor, sehingga
menghasilkan efek farmakologi (baik berupa efikasi/efektifitas ataupun
toksisitas)
2. Distribusi obat: ikatan obat-pp yang kuat akan membantu distribusi obat
untuk sampai ke organ target yang jauh dari tempat pemberian
3. Biotransformasi obat: ikatan obat-pp membatasi obat yang dibiotransformasi
dengan lambat (misalnya, warfarin, fenilbutazon)
4. Ekskresi ginjal: ikatan obat-pp membatasi kecepatan filtrasi melalui
glomerulus.
Organ yang berperan dalam proses ekskresi melalui urin adalah ginjal. Ginjal
berperan dalam homeostasis volume dan komposisi cairan extra selular melalui
mekanisme filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan re-absorpsi tubular. Nefron, adalah
unit fungsional dari ginjal yang menentukan eliminasi dan re-absorpsi dari zat/obat
(terdapat sekitar 1 juta nefron untuk setiap ginjal). Sementara itu satu unit nefron
terdiri dari:
Interaksi obat dalam tahap ekskresi ginjal dapat terjadi oleh karena:
1. Adanya gangguan/kerusakan fungsi ginjal akibat obat (due to drug-induced
renal impairment). Obat yg menyebabkan kerusakan ginjal antara lain adalah
aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B. Obat-obat yang dieliminasi oleh
ginjal (aminoglikosida, digoksin, flusitosin) jika ada gangguan fungsi ginjal
konsentrasinya akan meningkat dan menyebabkan toksisitas meningkat.
2. Adanya kompetisi pada tahap sekresi aktif tubuli ginjal (Competition for
active renal tubular secretion).
3. Adanya perubahan pH urin.
Perubahan ini akan menghasilkan klirens ginjal yang berarti secara klinik
hanya bila:
- Fraksi obat yg diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%)
- Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 – 10 atau asam lemah dengan
pKa b 3,0 – 7,5
Contoh:
Asam lemah (pKa 3 – 7,5) misalnya NaHCO3 akan meningkatkan pH
urin, sehingga ionisasi obat seperti fenobarbital/ salisilat meningkat ®
ekskresi meningkat. Contoh: pada intoksikasi fenobarbital/salisilat, urin
dibuat basa dengan NaHCO3 agar ekskresi fenobarbital/salisilat
ditingkatkan sehingga intoksikasinya dapat berkurang.
Basa lemah (pKa 7,5 – 10) misalnya NH4Cl menurunkan pH urin ®
ionisasi metabolit amfetamin (pseudoefedrin) ditingkatkan ® ekskresi
pseudoefedrin meningkat