Anda di halaman 1dari 17

MATERI BAGIAN DUA

EPISTEMOLOGI
PENELITIAN KEBUDAYAAN

A. OBYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS


1. Paham Interpretasi dan Etnografi Imajinasi

Masalah pelik yang sering menghantui peneliti budaya adalah


ihwal obyektivitas dan subyektivitas. Persoalan ini, kadang-
kadan~ menjadi perbincangan yang tak ada ujung pangkalnya di
kalangar penelitian budaya. Karena, banyak pihak selalu
berpendapat bahwa penelitian budaya yang cenderung memanfaatkan
penelitian kualitatif dianggap kurang objektif. Berbeda dengan
paradigama penelitian kuantitatif yang serba ilmiah dan
terkontrol. Hal ini pun oleh para peneliti budaya tidak ditolak.

Penelitian budaya sedikit mengabaikan prinsip obyektivitas jika


istilah objektif sebagai batasan penelitian yang harus terukur,
adz keberulangan, dan perilaku yang dapat diramalkan. Umumnya
penelit budaya tidak berpikir demikian, karena budaya
berhubungan dengar manusia, tentu saja subyektivitas tetap
memiliki peranan tersendiri Studi budaya yang menerapkan
pendekatan subyektivitas, biasany, disebut studi humanistik.
Paham ini berpandangan bahwa buday, bukan harga mati, melainkan
wilayah interpretatif.

Menurut pandangan subyektivitas, alih-alih rasional, teratur


atau sistematik, perilaku manusia bersifat kontekstual
berdasarkai makna yang diberikan di lingkungannya. Kalau ilmu di
luar huma niora lebih ke arah sebuah "kedisiplinan", humaniora
justru ke aral interpretasi alternatif. Posisi ilmu humaniora,
termasuk budaya, adalah pada "siapa" menentukan "apa yang
dilihat". Menurut paham ini realitas budaya termasuk fenomena
yang cair dan mudah berubah.

Fenomena ini bersifat polisemik yang memerlukan penafsiran.


Jadi, penelitian budaya selalu bergerak pada "koma-koma", bukan
pada "titik" (berhenti).

Ihwal objektivitas-ilmiah dan subjektivitas-tidak ilmiah di


atas, memang telah lama merambah dunia penelitian budaya,
terutama dengan hadirnya peneliti budaya tafsir. Hadirnya
penelitian tafsir budaya, telah memunculkan beberapa keberatan,
jika dikaitkan dengan ihwal objektivitas dan subjekvititas.
Tidak hanya Keesing yang berkeberatan, namun juga ahli-ahli lain
seperti Bleicher (1982:64) yang mempersoalkan kesahihan budaya
tafsir (hermeneutik). Kendati frame dia adalah sosiologi, namun
cukup memberikan ketajaman pikiran kita terhadap pandangan yang
selalu mengklaim objektivitas - selalu dikembalikan kepada ilmu
alam.

Padahal, ilmu sosial dan budaya tentu memiliki karakteristik


tersendiri. Karena itu, subjektivitas interpreter yang sering
memasukkan resepsi, kepekaan, akal sehat, dan pelukisan budaya
yang terbuka, mestinya tidak harus sama persis dengan 'self-
understanding'. Itulah sebabnya, objektivitas dalam ilmu sosial
dan humaniora tidak bisa absolut. Karena itu, untuk mencapai
objektivitas, Bleicher menyarankan adanya proses intersubjektif.
Melalui pandangan antar pemilik budaya dan peneliti,
objektivitas peneliti baru akan ditemukan.

Memang gejala barn, terutama karya etnografi sebagai karya


sastra, akan menghadirkan dilematis bagi peneliti budaya itu
sendiri. Yakni, hasil penelitian budaya itu sebuah ilmu atau
seni (science or art?). Kalau etnografi dipandang sebagai
sastra, lantas sampai dimana kita memperlakukannya sebagai
sumber data untuk membangun teori yang "objektif ' tentunya.

Kenyataan ini lalu menumbuhkan kesadaran baru peneliti budaya


dan menjadi salah satu ciri postmodernisme, yaitu bahwa
representasi, suatu penyajian dalam sebuah etnografi mengenai
kebudayaan suatu bangsa, pada dasarnya tidak pernah melukiskan
"sebagaimana adanya suatu ("reality out there"). Penyajian telah
dibungkus dalam kemasan tertentu. Kebudayaan sebagai teks,
memang tidak pernah tampil sebagaimana adanya. Dia telah
mengalami "distorsi" tertentu setelah melalui proses tafsir dan
kemudian disajikan.

Tafsir kebudayaan selalu dalam kerangka berpikir tertentu, tidak


bisa bebas. Oleh karena itu tidak pernah bisa "objektif',
sebagaimana adanya. Lantas, apa artinya kebenaran ilmiah? Kebe-
naran ilmiah bersifat relatif, kondisional dan tergantung pada
konsensus. Tak ada kebenaran mutlak. Benar dan salah adalah soal
konsensus. Karena itu, setiap ilmuwan budaya harus siap menerima
kritik atas kekurang-tepatan analisisnya. Relativitas dan
pluralitas, adalah dua ciri postmodernisme yang tetap perlu
diperhitungkan dalam kajian ilmiah budaya.

Dalam kaitan itu, Adorno (Jackson, 1996:22), berkomentar tentang


subyektivitas dan obyektivitas: "If the object lacked the moment
of subjectivity, its own objektivity would become nonsensical".

Maksudnya, jika objek tidak memiliki subjektivitas, objektivitas


itu tidak akan berguna. Dengan menyingkirkan subyek dari wacana
kebudayaan, berarti akan menyingkirkan kita dari lokasi budaya
itu sendiri.
Pendek kata, riset budaya perlu melaporkan segala yang ada, yang
mengitari budaya tersebut. Seperti halnya yang diungkapkan Abu
Lughod, bahwa etnografer dapat menyusun kesadaran `subyek-
tivitas' yang selanjutnya diarahkan pada penulisan biografi
individu. Etnografi individu ini digambarkan melalui ceritera
seorang individu tentang keunikan kehidupannya.

Anggapan modern tentang subyektivitas, menurut Jackson (1996)


berasal dari Descartes, karena filsuf kondang ini menunjukkan
cogito sebagai titik tolak bagi filsafat. Kata ini tampak
diterjemahkan "aku berpikir" menjadi "aku menyadari". Tampaknya,
strukturalisme tidak menyukai kesadaran ini.

Subyektivitas seolah-olah telah dibongkar dan digusur, didirikan


bangunan baru lewat konsep linguistik struktural. Karena, temuan
Levi-Strauss telah mempergunakan `sistem' sebagai acuan. Sistem
mendapat prioritas, bukan "aku" yang berbicara-ada yang bicara
dalam "aku" (it speaks in me): sistem.

Hal tersebut telah dilakukan oleh Geertz dalam bukunya After the
Fact (1998). Melalui tulisan dia itu, berarti persoalan objektif
ilmiah dan subjektif-tidak ilmiah tak perlu diperdebatkan. Oleh
karena, menurut Geertz, dalam riset budaya kedua hal itu pasti
ada dan sulit terhindarkan.

Karena itu, kehadiran tafsir kebudayaan yang sering dikatakan


terlalu longgar, terlalu melebih-lebihkan, semakin menjauhkan
peneliti budaya dari fakta, tidak selalu tepat. Geertz pernah
berterus terang bahwa pada saat datang ke Indonesia, di UGM,
oleh para mahasiswa dianggap membuat bising (mengganggu). Lalu,
dia naik bus ke timur, tanpa tujuan. Akhirnya turun di Pare
(Mojokuto) dan dia anggap disitu tepat untuk diteliti. Lalu,
ketika datang ke UGM lagi, ia sampaikan hal yang ditemui, justru
mahasiswa UGM mengatakan: senang, daripada mengganggu.

Akhirnya, ia mampu menghasilkan Abangan, Santri, dan Priyayi


yang mungkin objektivitasnya bagi golongan tertentu diragukan,
namun bagi sebagian orang (terutama negara Geertz), karya dia
cukup memberi arti baru. Bahkan Knauff (1990:21) juga
mengomentari pribadi Geertz, yang telah menghasilkan banyak
karya lapangan dalam studi etnografi. Geertz dalam beretnografi
memiliki kelebihan dan lebih refleksif.

Begitu pula apa yang dilakukan Malinowski, pada saat bukunya


(catatan harian) diterbitkan isterinya, setelah dia meninggal,
juga sempat mengundang kecaman di kalangan peneliti budaya.
Setidaknya, dari buku harian itu, akan terlihat kejujuran
Malinovski ketika meneliti, ia harus berpura-pura "makan, minum"
dan sejumlah kegiatan yang lain, yang sebenarnya dia tidak suka.

Ada, peneliti budaya dianggap tidak jujur dan melebih-lebihkan.


Peneliti budaya dianggap main-main dalam sistem metodologisnya.
Jika semacam ini, apakah karya Malinowski lantas bebas dari
objektivitas, tentu saja tidak hams demikian. Sebab,
subyektivitas itu sendiri sebenarnya mengandung objektivitas.

Subjektivitas dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1)


sebagai pusat integrasi segala proses fisiologik, (2) penampilan
pribadi yang membawa konteks dan sejarah hidup pribadi dari
waktu yang lalu sampai saat mendatang, (3) dapat mengambil jarak
dari tubuh dan melihatnya sebagai obyek dalam aspeknya yang
meruang.
2. Mengambil Jarak dan Diskotinuitas Budaya

Manakala subjektivitas itu mampu meinasuki konteks dengan


mengambil jarak, sesungguhnya objektivitas pun akan ada juga.
Terlebih lagi, Anderson (1976:30) menyatakan bahwa: "We shall
define meaning, then, as, the place of a thing in a context;
when we grasp the place of a thing in context, we "understand"
it.

Memang diakui Bruner (1993:1-3) bahwa dalam konteks etnografi


tradisional, etnografer berpandangan harus objektif, memiliki
otoritas, netral dengan politik dan selalu mengamati dengan
pilar putih di dalam teks. Padahal, budaya itu selalu berubah
dan diproduksi terus, akibatnya makna bisa plural, selalu
terbuka dan sangat mungkin terkait dengan ihwal politik.

Persoalan pemahaman seseorang dan budaya, memang sangat menarik,


seperti halnya harus memahami ihwal perbedaan antara subjektif
dan objektif, menurut observer dan orang yang diamati.
Permasalahan ini akan terkait pula dengan soal ilmiah dan tidak
ilmiah dan juga humanistik atau science, akademik atau puistis,
ilmiah atau bernada sastra. Peneliti budaya yang menolak oposisi
semacam ini, lalu semua itu harus dikembalika ke perkecualian
individual.

Gagasan "scientifik", juga objektif, tergantung bagaimana


individu melaporkan hasil observasinya. Itulah sebabnya, The
Nuer karya Evans-Pritchard ada yang berpandangan lebih objektif.
Subjektivitas dimungkinkan terjadi manakala ada monografi yang
berupa ucapan terima kasih, kata pengantar, pendahuluan singkat,
dan otobiografi.
Jika begitu, kita bisa acung jempol kalau Bourdie (Jackson, '
1996:20-23) sejak semula telah mengejek objektivisme, karena
objektivitas telah mengubah lembaga menjadi aktivitas otomatis
yang mengikuti aturan teoritis. Bourdie menolak tentang
observasi yang berdiri terpisah dari tindakan manusia hanya
semata-mata untuk menjaga objektivitas, namun juba tidak benar
jika pengamatan dilakukan terlalu terlibat dalam situasi yang
diamati.

Dengan kata lain, ia menghindari adanya jebakan ke arah


irrasionalisme yang terpusat pada subjek, dan juga tidak setuju
terhadap jebakan ke arah objektivitas yang melihat sesuatu
secara mekanis. Menghadapi pernyataan semacam itu, Jackson cukup
bijaksana dalam menyikapi subjektivitas dan obektivitas, yakni
istilah ini akan selesai asalkan kita menyadari bahwa kita
sering sebagai `pembuat dunia' dan juga sering `diperbuat oleh
dunia'.

Atas dasar hal-hal tersebut, layak jika Barthes (1970:414)


berkomentar bahwa subyektivitas dan obyektivitas memang tidak
bisa dilihat seperti masa jaya jayanya positivisme. Dalam
strukturalisme yang bertekat ingin menjadi "penulis", tentunya
yang tidak menerapkan "gaya halus", tidak tertutup kemungkinan
ditemukan objektivitas. Lebih-lebih jika strukturalis itu
berupaya menemukan masalah penting dalam setiap ungkapan bahasa
dan bukan terjebak pada alam khayalan realis, melainkan selalu
berpegang teguh pada bahasa sebagai alat pemikiran.

Hal itu sesuai dengan apa yang dinyatakan Hastrub (199:61-76)


bahwa peneliti budaya (etnografi) boleh disajikan melalui bahasa
khayal (imajinasi), seperti halnya metafora. Peneliti budaya
imajinasi memang tidak mempersoalkan standar keilmiahan dari
pemaparan etnografi. Namun, lebih menekankan angin baru ke arah
kreativitas penulisan etnografi yang artistik dan fantastik.

Akhirnya, kita memang tidak bisa menutup mata terhadap pandangan


ilmuwan kita dalam riset harus `objektif-ilmiah', namun hal ini
akan terbentur pada realitas itu sendiri. Artinya, apakah
kehadiran Anna Tsing dalam melukiskan marginalitas Dayak Meratus
atas fenomena politis itu, dengan gaya sastra, harus dicap
kurang objektif? Padahal, Strathern (1992:167) juga telah
mensugestikan bahwa budaya pada saatnya akan mengalami
diskontinuitas. Budaya akan mengalamai transformasi yang sulit
diramalkan. Ini adalah pekerjaan rumah dari para ilmuwan budaya
untuk berpikir lebih jernih.

Ihwal objektif dan subyektif ini secara rinci dapat dapat


dilihat pada pokok-pokok persoalan dalam penelitian budaya.

Pokok-pokok penelitian budaya yang sering dianggap menjadi biang


keladi obyektivitas dan subyektivitas adalah sebagai berikut.

Pokok-pokok objektif Subjektif


tian budaya
peneli
Hubungan Peneliti sebagai Hubungan
peneliti dan otonom, terpisah, interaktif,
antara
penelitian pengamat
tidak harus relatif
berjangkaakrab,
lama
subjek berjarak,
berjangka pendek ada
d timbal
Tujuan berkotak hal-hal setaraf
Menanganilangsung Menangani
balik,
untuk yang khusus,
penelitian umum,
diambil secara persoalan
yang diambil
generalisasi, oleh dan
terikat sampel kecil
terikat
acak, tidak budaya
secara
Analisis Bersifat
sampel Bersifat
konteks
setelah waktu data oleh
menenrus konteks
tidak
data purposif,
deduktif, biasanya terkumpul
kap, induktif,
terkumpul leng waktu
menunggu data
perhitungan model,
Metode dilakukan
menggunakan
Deskriptif analisis
lengkap, terus
Deskriptif,
data statistik
struktur), kategorisasi,
terstruktur,
pengambilan (wawancara ber- mencari
wawancara tak
mencari ran
dan tema serta,
survei,
ri pengamatan
hubungan studi kasus
kolerasional, analisis
eksperimen,
kausal berpe
menca dokumen,
Dari tabel itu, tampak bahwa penelitian budaya yang sering
dipandang bernilai subyektif kurang ilmiah sebenarnya tidak
selamanya benar. Penelitian budaya tetap mengedepankan aspek-
aspek kebenaran tertentu, sejalan dengan tujuan, metode,
hubungan peneliti dengan yang diteliti, dan analisis yang
berwawasan lain dengan pendekatan objektif. Perbedaan ini tidak
berarti bahwa penelitian budaya hanya asal-asalan saja,
melainkan berusaha memahami fenomena lewat subyektivitas yang
tidak mungkin terpahami melalui obyektivitas.

B. LOGIKA DAN KEBENARAN

Salah satu cibiran terhadap penelitian budaya, adalah tentang


ihwal kebenaran. Penelitian budaya yang sering memanfaatkan
penalaran subyektif dan paradigma kualitatif, mengakibatkan pada
pemojokkan dan penilaian yang naif terhadap hasil kajian. Yakni,
penelitian budaya disinyalir kurang memiliki kebenaran pada
tingkat tertentu. Kebenaran penelitian budaya dianggap terlalu
mengada-ada, mencari-cari, dan khayal.

Tentu saja asumsi demikian tidak selalu benar dan tidak akan
mengecilkan hati para peneliti budaya. Namun, peneliti budaya
seyogyanya juga berusaha keras untuk meyakinkan orang lain bahwa
kajian budaya tetap memiliki kadar logika dan kebenaran.
Kalaupun masih tetap ada ejekan-ejekan tentang hal ini, mustinya
diterima saja sebagai cambuk agar peneliti budaya mampu
membuktikan diri secara akurat.

Sesungguhnya, logika dan kebenaran dalam penelitian budaya, juga


tidak berbeda dengan penelitian lain. Logika tetap menjadi
wahana untuk mencari kebenaran. Memang harus diakui bahwa ada
bermacam-macam logika untuk mencari kebenaran, namun tidak
semuanya relevan bagi penelitian kebudayaan.

Macam-macam logika itu adalah:

(a) logika formil, artinya upaya pencarian kebenaran dengan


mencari relasi antar proposisi, dengan tujuan untuk gene-
ralisasi, hal ini jelas kurang relevan bagi penelitian budaya.
Karena, penelitian budaya tak memburu generalisasi, melainkan
transferabilitas;

(b) logika matematik, artinya pencarian kebenaran dengan mencari


relasi proposisi menurut kebenaran materiil; logika semacam ini
didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan logika ini
adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika ini
pun, hanya berlaku bagi peneliti budaya yang menganut paham
positivistik. Peneliti serupa amat jarang dalam kancah
penelitian budaya;

(c) logika reflektif, yaitu cara berpikir dengan sangat cepat,


untuk mengabstraksikan dan penjabaran. Tentunya, logika ini
berlangsung cepat kilat dan bisa memanfaatkan daya intuisi yang
tinggi;

(d) logika kualitatif, artinya pencarian kebenaran berdasaran


paparan deskriptif data di lapangan, kualitas kebenaran
didasarkan pada realita yang ada; (e) logika linguistik, artinya
pencarian kebenaran berdasarkan pemaknaan bahasa, logika ini
sering diminati oleh peneliti budaya tafsir.Dari macam-macam
logika demikian, tampaknya penelitian budaya cenderung
memanfaatkan logika kualitatif dan logika linguistik.
Hal ini tergantung fenomena budaya yang diteliti. Jika
memungkinkan juga menggunakan logika reflektif, khususnya pada
model interaksionis simbolik. Sedangkan penelitian model
etnografis, biasanya memanfaatkan logika kualitatif. Logika
linguistik banyak diminati oleh peneliti budaya tafsir. Jadi,
berdasarkan kecenderungan pemakaian logika tersebut, jelas
kurang benar apabila penelitian budaya kurang atau tidak
memenuhi standar logika dan kebenaran.

Penelitian budaya yang cenderung memanfaatkan logika kualitatif,


biasanya digunakan dalam lingkup kebenaran yang terbatas.
Maksudnya, kebenaran yang dicapai bukan sebuah wacana yang
berlaku universal, melainkan hanya pada tingkat lokal atau kasus
tertentu saja.

Itulah sebabnya, kebenaran yang bersifat kualitatif memang lebih


spesifik dan tidak menghendaki adanya regularitas. Melalui
logika kualitatif, mungkin sekali salah satu kebudayaan ketika
diamati atau diteliti oleh orang berbeda, hasilnya akan berbeda
pula. Hal ini tidak berarti kebenaran kualitatif bisa dipandang
remeh atau lemah, namun tetap menggunakan argumen berdasarkan
realita.

Tentu saja, perkembangan penelitian budaya yang ke arah post-


modernisme telah meninggalkan permainan logika di atas. Postmo-
dernisme kadang-kadang keluar dari rel logika tradisi, dan ingin
mencari kebenaran baru yang lebih orisinil. Kendati pendapat
semacam ini dalam penelitian budaya belum banyak dikembangkan,
namun beberapa penelitian telah mencoba mengarah ke sana. Dalam
kaitan ini kebenaran yang dilandasi argumen, imajinasi, dan
common sense (akal sehat) akan dianut oleh kaum postmodernisme.
Menurut peneliti budaya postmodernisme, kebenaran bersifat
plural dan bebas.

Kaum postmodernisme, biasanya lebih suka pada kenisbian dan atau


relativitas kebenaran. Kebenaran sebuah penelitian budaya selalu
menganut hukum probabilitas yang serba mungkin. Titik tolak kaum
postmomodern adalah kebenaran kreatif, cerdas, dan tidak harus
konsisten. Hal semacam ini, tentu saja kurang disetujui oleh
peneliti-peneliti yang taat pada kebenaran matematik. Namun,
kenyataan juga sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan
mampu mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil.

Yakni, kebenaran yang mungkin jarang teradopsi oleh pengamatan


awam.Yang patut dipertimbangkan, baik oleh peneliti budaya
modern maupun postmodernisme adalah fenomena manusia itu
sendiri. Manusia sebagai issu sentral budaya memang cukup unik.
Manusia sebagai obyek pokok (core) penelitian budaya, pada
dasarnya sering mengalami bias (Kaplan dan Manner, 1999:32).

Karena itu, tuntutan kebenaran dan atau obyektivitas hendaknya


dicari bukan seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-
hal yang secara fisik teramati, terulang, dan teratur - fenomena
budaya mungkin bisa demikian dan juga tidak. Fenomena budaya
biasanya jarang yang mengikuti gejala alam sepenuhnya.

Pada dasarnya, manusia sebagai obyek sentral budaya selalu bias.


Tingkat bias ini hanya mampu ditampilkan menjadi objektif
apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terpahami). Jika
fenomena yang tergambarkan dari hasil penelitian budaya cukup
bisa dimengerti oleh orang lain, berarti ada kejelasan.

Kejelasan inilah inti kebenaran penelitian budaya. Mungkin, akan


lebih tepat kebenaran dalam penelitian budaya diberi "tanda
petik". Jika hal ini dilakukan pun, sebenarnya tidak akan
mengurangi kredibilitas penelitian itu sendiri. Karena, setiap
ragam penelitian memiliki kebenaran masing-masing.

Jadi, kalau kebenaran objektif lebih menyukai penjelasan


(explanatory) logis, penelitian budaya juga menyajikan
penjelasan yang berisi penafsiran. Asumsi dasar peneliti budaya
adalah pengetahuan kebenaran itu bersifat interpretatif. Kalau
kebenaran objektif ingin melihat pembakuan pengamatan yang
terukur, penelitian budaya ke arah pengamatan humanistik yang
kreatif.

Dengan kata lain, kebenaran penelitian budaya lebih menitik


beratkan pada aspek-aspek humanistik manusia. Aspek-aspek ini
akan menyiratkan pengertian bahwa fenomena budaya adalah unik,
artinya manusia satu dan yang lain tidak harus sama, sehingga
tidak memiliki hubungan kausal yang jelas. Itulah sebabnya,
kebenaran penelitian budaya tidak harus relasional yang
memungkinkan kontrol proposisi lain.

Dengan demikian, penafsiran logik yang kadang-kadang bercampur


dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas pun dalam penelitian
budaya tetap sah. Oleh karena, melalui penafsiran demikian
justru lebih mampu memasuki sisi-sisi "gelap" perilaku manusia.

Kebenaran bukan hal yang diadakan atau dirancang ada, melainkan


harus dicari dalam konteks. Peneliti hanya bertugas menata,
mengorganisir, mengklasifikasikan, dan membuat tema-tema budaya
untuk keperluan pemahaman. Logika dan kebenaran lebih banyak
didukung oleh orisinalitas data di lapangan. Itulah sebabnya
tataran logika dan kebenaran lebih banyak dipengaruhi kondisi
pemilik budaya. Jika pemilik budaya mampu memberikan keterangan
sejelas jelasnya, memahami yang dilakukan, dan proses budaya
juga bisa dimengerti, tentu kebenaran akan tercapai.

C. INDUKTIF DAN DEDUKTIF


Penelitian budaya sering direpotkan ketika harus membuat
kesimpulan hasil. Bahkan pada saat proses penelitian pun, telah
tampak arah penelitian itu mau kemana. Maksudnya, cenderung ke
arah induktif atau deduktif. Dua paham penelitian ini, secara
etimologis memang bertolak belakang. Keduanya memiliki implikasi
metodologis yang berbeda. Padahal, keduanya pula dapat dan tidak
dimanfatkan oleh peneliti budaya.

Induksi adalah sebuah penalaran dalam penelitian. Penalaran


tersebut dibangun dari hal-hal khusus atau contoh-contoh
partikular ke kesimpulan umum. Yang menjadi problem, penelitian
budaya sadar atau tidak sering memanfaatkan penalaran induktif
ini, dibanding penalaran deduktif. Hanya saja, induktif yang
digunakan bukan untuk menggeneralisasi sebuah gejala budaya,
melainkan untuk menata pemikiran yang dimungkinkan sebuah budaya
dapat ditransfer ke budaya lain.

Kajian budaya memang lazim terjun ke dalam advokasi verstehen


(pemahaman), penuh dengan penafsiran dan sedikit meninggalkan
eksplanatori (penjelasan). Pemahaman budaya akan bergerak dari
kontak pengalaman langsung dengan fenomena dan diramu dengan
kenangan pengalaman peneliti sendiri. Keduanya sering rancu,
sehingga kapan harus menggunakan deduktif maupun induktif juga
kurang jernih.

Dengan demikian, kapan penalaran induktif dan deduktif digunakan


tergantung harapan yang akan dicapai dari kajian budaya itu
sendiri. Jika peneliti hendak memperoleh gambaran kebudayaan
baru, hendak membangun teori baru, dan memperoleh informasi-
informasi baru, kiranya penalaran induktif lebih cocok
digunakan. Dari sini, peneliti justru tak terpaku lagi pada
teori-teori dan hipotesis atau asumsi-asumsi dasar yang pernah
dibangun sebelumnya. Bahkan peneliti tak perlu membangun
hipotesis sebelum masuk ke lapangan. Jadi, kesimpulan hasil
benar-benar didasarkan pada data yang ada di lapangan.

Sebaliknya, jika peneliti hendak mencocokkan teori atau


hipotesis yang telah dibangun terlebih dahulu, berarti harus
menggunakan penalaran deduktif. Penalaran ini, rupa-rupanya amat
sempit dan membatasi diri pada kondisi lapangan. Akibatnya,
peneliti hanya terpaku oleh asumsi-asumsi dasar dan sejumlah
teori yang telah dibaca sebelumnya. Karena itu, hasil penelitian
pun seringkali telah dapat diramalkan. Dari sini, tampak bahwa
penalaran deduktif memiliki kelemahan, yaitu kurang menghargai
fenomena dan realitas.

Pemakaian induksi dalam penelitian kualitatif budaya, menurut


Moleong (2001:5) ada beberapa alasan:
(1) proses induksi lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan
ganda sebagai yang terdapat dalam data;
(2) lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi
eksplisit, dapat dikenal, dan akontabel;

(3) lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat
keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan kepada
suatu latar lainnya;

(4) lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam


hubungan-hubungan, dan analisis juga dapat memperhitungkan
nilai-nilai eksplisit. Dari alasan ini, dapat dinayatakan bahwa
analisis induktif lebih realistis dan meyakinkan.

Dilihat dari ragamnya, menurut Brannen (1997:13-T4) induksi dua


macam yaitu induksi enumeratif dan induksi analitik.

Induksi enumeratif yaitu suatu penalaran mengambil kesimpulan


hasil penelitian berdasarkan perhitungan angka-angka.
Ini biasanya digunakan oleh ilmu-ilmu eksata, meskipun kajian
budaya pun tak menolaknya.

Sedangkan induksi analitik, adalah penalaran yang didasarkan


pada data tanpa memanfaatkan angka-angka. Kesimpulan hasil
didasarkan pada deskripsi kata-kata semata.

Dari dua macam induksi tersebut, tampak sekali bahwa penelitian


budaya cenderung menggunakan induksi analitik. Terlebih lagi
penelitian budaya yang cenderung menggunakan model etnografis,
penalaran induksi analitik sangat penting. Oleh karena, peneliti
selalu melakukan analisis data terus-menerus baik ketika di
lapangan maupun setelah kembali ke meja. Kekuatan induksi
analitik adalah pada kemampuan peneliti membuat kategorisasi dan
abstraksi fenomena budaya.

Suatu persyaratan induksi analitik dalam kajian budaya yaitu


berpegang teguh pada data di lapangan. Data yang banyak
berbicara dan menentukan induksi. Karena itu, peneliti budaya
diharapkan mampu melukiskan fenomena budaya dan sejumlah kasus
secara proporsional. Dalam kaitan ini, penelitian budaya tak
lagi generalisasi, meskipun melakukan analisis induktif.

Anda mungkin juga menyukai