ISBN : 978-602-438-106-6
No. Publikasi : 07310.1703
Katalog BPS : 9101009
Diterbitkan Oleh : Badan Pusat Statistik
Tim Penyusun
Ada dua tema inti dalam publikasi ini. Tema pertama adalah determinan daya beli
atau konsumsi rumah tangga 2010-2017. Tema ini dipilih dengan latar belakang ramainya
pemberitaan terkait daya beli di media setelah BPS merilis pertumbuhan ekonomi pada
triwulan II 2017. Isu daya beli masyarakat yang melemah perlu dianalisis dengan mengamati
faktor apa saja yang paling memengaruhi.
Semoga publikasi ini bermanfaat sebagai bahan rujukan bagi semua pihak yang
berkepentingan. Ucapan terima kasih dan apresiasi disampaikan kepada pihak-pihak yang
telah membantu dan memberi masukan dalam penyusunan publikasi ini.
Dr. Suhariyanto
DETERMINAN
DAYA BELI INDONESIA
2010-2017
TEMA 1
DETERMINAN
DAYA BELI INDONESIA 2010-2017
1. KONSUMSI RUMAH TANGGA SEBAGAI MOTOR
PERTUMBUHAN EKONOMI
P embahasan seputar daya beli menjadi perbincangan hangat di media massa maupun
media elektronik setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan rilis data pertumbuhan
ekonomi sepanjang tahun 2017, terutama pada kondisi triwulan II dan III. Daya beli yang
melemah dianggap sebagai masalah karena kontribusinya dalam perekonomian Indonesia
yang sangat signifikan.
Daya beli yang dimaksud diukur dengan tingkat konsumsi riil rumah tangga. Dalam
ukuran riil, faktor harga sudah distandarkan karena penilaian konsumsi didasarkan kepada
harga tahun dasar tertentu. Sehingga konsumsi yang dimaksud lebih mengacu pada
perubahan kuantitas barang dan jasa dengan harga yang konstan.
Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa konsumsi rumah tangga sangat krusial
untuk dibahas. Pertama, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap penciptaan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi konsumsi rumah
tangga selama tujuh tahun terakhir jauh lebih tinggi dibandingkan Pembentukan Modal
Tetap Bruto (PMTB), ekspor maupun konsumsi pemerintah. Angkanya lebih dari separuh
Produk Domestik Bruto Indonesia. Hal ini berarti pembelanjaan atau konsumsi rumah
tangga lebih penting dari gabungan PMTB, ekspor maupun konsumsi pemerintah.
dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara pada masa pasca-krisis (Bank Indonesia dalam
Sangaji, 2009). Ketiga, naik turunnya konsumsi rumah tangga mencerminkan kesejahteraan
masyarakat pada periode waktu tertentu. Kemampuan konsumsi masyarakat mencerminkan
tingkat pendapatan yang merupakan ukuran kesejahteraan finansial.
Tabel A.1. Distribusi PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Pengeluaran (persen)
PDB Menurut Penggunaan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
6. Ekspor Barang dan Jasa 24,30 26,33 24,59 23,92 23,67 21,15 19,08
7. Dikurangi Impor Barang
22,40 23,85 24,99 24,71 24,41 20,72 18,31
dan Jasa
PRODUK DOMESTIK BRUTO 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jika dicermati kondisi triwulanan, melemahnya daya beli (konsumsi rumah tangga)
menjadi isu hangat menjelang akhir tahun 2017. Dilihat dari statistik, laju pertumbuhan
konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2017 memang menunjukkan gejala pelambatan.
Misalnya pada triwulan II 2017, konsumsi rumah tangga tumbuh hanya 4,95 persen, atau
lebih lambat dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (5,02 persen).
Kondisi ini berlanjut pada triwulan berikutnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga
hanya mencapai 4,93 persen, lebih rendah dari kondisi yang sama tahun 2016 (5,01 persen).
Dengan mengamati data triwulanan, konsumsi riil tetap meningkat karena memiliki
angka positif. Artinya, daya beli masyarakat tidak turun tetapi kecepatannya sedikit
berkurang dari periode yang sama di tahun sebelumnya seperti terlihat pada Gambar
A.1. Namun demikian, perlu dicatat bahwa perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga yang berkelanjutan dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan
mengingat kontribusinya yang sangat tinggi dibandingkan komponen PDB lainnya seperti
terlihat pada Tabel A.1.
Sumber: Data Diolah dari PDB Menurut Pengeluaran dan Proyeksi Penduduk
Gambar A.2. Rata-rata Konsumsi riil Per Kapita (Ribu Rupiah) dan Pertumbuhannya (y-on-y), 2016-2017
Lebih jauh lagi, jika melihat rata-rata konsumsi riil setiap penduduk selama dua
tahun terakhir terlihat adanya peningkatan meskipun dengan pertumbuhan yang relatif
stabil antara 3,5-4,0 persen pada setiap triwulan. Perbandingan dengan tahun sebelumnya
menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi per kapita antartriwulan cenderung melemah.
Misalnya saja, pada pada triwulan II 2017, rata-rata konsumsi riil setiap penduduk adalah Rp
5,06 juta setara dengan Rp 1,69 juta per bulan atau sekitar 56 ribu rupiah per hari. Angka
tersebut sedikit lebih tinggi dari konsumsi riil pada triwulan yang sama di tahun sebelumnya
(54 ribu rupiah per hari). Dengan demikian, perubahan konsumsi harian tidak terlalu besar.
Perubahan yang sudah memperhatikan faktor harga ini menunjukkan bahwa daya beli
masyarakat meningkat namun dengan perubahan yang sangat kecil.
P engamat ekonomi Faisal Basri seperti di sampaikan melalui Detik dan Republika (12
Agustus 2017) menyatakan bahwa penyebab pelemahan konsumsi adalah pergeseran
pola konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan gaya hidup. Hal ini didukung oleh data
BPS. Pada Triwulan II 2017 terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat dari non-leisure ke
leisure.
6,21
4,74
Seperti diiliustrasikan pada Gambar A.3, pertumbuhan konsumsi leisure dan non-
leisure cenderung berbanding terbalik. Konsumsi leisure termasuk pada sektor restoran
dan hotel, rekreasi & kebudayaan. Hal ini menggambarkan konsumsi yang bersifat “hiburan
dan kesenangan”. Leisure melonjak ketika ada sedikit perlambatan non-leisure. Dalam hal ini
terdapat indikasi bahwa masyarakat mengurangi konsumsi non-leisure untuk meningkatkan
konsumsi leisure. Atau, dengan kata lain tambahan pendapatan cenderung dialokasikan
untuk leisure.
Di sisi lain, sektor transportasi dan pergudangan memiliki pertumbuhan PDB yang
cukup tinggi, melebihi pertumbuhan rata-rata. Di triwulan II 2017, pertumbuhan y-on-y sektor
tersebut mencapai 8,37 persen. Sedangkan sektor akomodasi dan restauran meningkat
sebesar 5,07 persen. Hal ini memperkuat asumsi bahwa perubahan pola konsumsi dari non-
leisure ke leisure semakin nyata terlebih lagi ditunjang oleh sektor transportasi sebagai faktor
penunjang yang tumbuh melejit.
P eralihan struktur pengeluaran dari non-leisure ke leisure mungkin hanya terjadi pada
kelompok masyarakat golongan menengah ke atas. Namun fakta bahwa distribusi
pengeluaran didominasi penduduk berpengeluaran tinggi tidak dapat dipungkiri. Pada
tahun 2016, hampir separuh (46,89 persen) distribusi pengeluaran berasal dari 20 persen
penduduk berpenghasilan tinggi. Sementara 40 persen penduduk berpengeluaran rendah
hanya memiliki porsi pengeluaran 17,02 persen saja (BPS, 2017). Dengan demikian, fenomena
perubahan struktur pengeluaran ke arah konsumsi yang bersifat kesenangan tetap tidak
dapat diabaikan, meskipun kemungkinannya hanya terjadi pada kelompok golongan
berpendapatan menengah tinggi. Sayangnya perubahan struktur pengeluaran tersebut
bisa jadi tidak memengaruhi agregat pengeluaran secara total. Perlu analisis lanjutan untuk
membuktikannya.
Pada kajian ini analisis tidak melihat perbandingan konsumsi golongan atas,
golongan menengah, dan golongan berpendapatan rendah, karena total konsumsi
penduduk Indonesia mencerminkan agregat daya beli penduduk seluruh golongan.
Informasi konsumsi antarkelompok masyarakat pun cukup terbatas. Sehingga identifikasi
pola konsumsi masyarakat golongan berpendapatan tinggi, menengah dan bawah hanya
dapat dilakukan dengan menganalisis sumber pembiayaan konsumsi.
Gambar A.4. Rata-rata Upah Riil Harian Buruh Tani dan Buruh Konstruksi (Rupiah), 2014-2017
Inflasi selama 2015-2017 terlihat fluktuatif. Jika dilihat kondisi triwulan I dan II 2017
yang mengalami peningkatan harga sekitar 1 persen, maka cukup realistis jika upah riil
upah buruh tani dan konstruksi mengalami penurunan pada periode tersebut. Upah buruh
bangunan dan kontruksi terindikasi negatif pada triwulan II 2017. Pada Triwulan I 2017, rata-
rata upah riil per bulan buruh konstruksi Rp65.248. Pada Triwulan II 2017 turun menjadi
Rp65.053 (BPS, Indikator Ekonomi Juli 2017).
Tabungan memengaruhi konsumsi, terlebih lagi jika suku bunga meningkat. Suku
bunga yang tinggi akan meningkatkan tabungan dan menurunkan konsumsi (Blare, 1978).
Pada kasus melemahnya daya beli sepanjang triwulan I-III 2017 boleh jadi karena penduduk
golongan menengah atas menahan belanja dan mengalokasikan pendapatan pada
tabungan. Indikasi fenomena ini dapat terlihat pada meningkatnya porsi pendapatan yang
ditabung triwulan I-II 2017.
Sumber: Survei Konsumen (SK) Bank Indonesia, BI (data diolah dari SK bulanan)
Gambar A.6. Rata-rata Persentase Pendapatan yang Ditabung Per Triwulan (Persen), 2014-2017
Salah satu indikator meningkatnya simpanan masyarakat juga dapat dilihat dari
Dana Pihak Ketiga (DPK). DPK adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,
tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. DPK pada pada periode
tahun 2014-2017 terlihat terus meningkat. Hal ini menunjukkan peningkatan kepercayaan
masyarakat kepada perbankan untuk menyimpan uangnya dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan, atau bentuk lainnya. Jika dilihat menurut komposisinya, DPK
tertinggi merupakan simpanan berjangka dengan komposisi rata-rata sekitar 45 persen.
Tabungan menempati posisi kedua dengan kontribusi sekitar 30 persen. Sementara giro
menyumbang sekitar 25 persen pada periode 2014-2017 (OJK, 2017).
Kemudian, diperlukan analisis yang tidak hanya melihat secara deskriptif namun
lebih dalam dengan melakukan uji statistik. Harapannya, dari hasil analisis akan diperoleh
kesimpulan variabel yang secara signifikan memengaruhi perubahan konsumsi rumah
tangga. Selanjutnya dapat diidentifikasi besarnya pengaruh variabel makro tersebut
terhadap konsumsi riil penduduk yang menggambarkan daya beli masyarakat.
D aya beli (purchasing power) merupakan kekuatan dan kemampuan masyarakat dalam
membelanjakan uangnya dalam bentuk barang dan jasa yang dibutuhkan pada
harga dan waktu tertentu (BPS, 26 Oktober 2017). Dalam Kamus Bahasa Indonesia online,
ditambahkan kalimat “guna memenuhi kebutuhan hidup” sebagai keterangan dari definisi
daya beli. BPS menggunakan rata-rata pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan sebagai
indikator daya beli dengan tujuan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan yang
dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi.
Konsumsi menurut Mankiw (2000) adalah barang atau jasa yang dibeli oleh rumah
tangga konsumsi. Barang konsumsi tersebut terdiri dari barang tidak tahan lama (non-durable
goods), barang tahan lama (durable goods) dan jasa. Barang tidak tahan lama adalah barang
yang habis dipakai dalam waktu pendek, seperti makanan dan pakaian. Barang tahan lama
yaitu barang yang dimiliki usia panjang seperti mobil, televisi, alat-alat elektronik. Sedangkan
jasa meliputi pekerjaan yang dilakukan untuk konsumen individu dan perusahaan, seperti
potong rambut dan berobat ke dokter. Sedangkan menurut BPS (2017a) konsumsi rumah
tangga mencakup berbagai pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga atas barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok secara langsung. Sedangkan
konsumsi riil menggambarkan konsumsi yang penilaiannya didasarkan kepada harga satu
tahun dasar tertentu, dalam kajian ini digunakan harga tahun 2010.
T erdapat beberapa faktor yang memengaruhi konsumsi. Keynes (1936) dalam bukunya
“The General Theory of Employment, Interest and Money” menyebutkan faktor yang
memengaruhi konsumsi masyarakat. Pendapatan merupakan faktor utama dalam
memengaruhi konsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi konsumsi.
Di samping meningkatnya suku bunga tabungan, pada kasus menurunya suku bunga
kredit konsumsi, pengeluaran masyarakat akan meningkat. Kredit konsumsi didefinisikan
sebagai kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian barang-barang atau jasa-jasa
yang dapat memberi kepuasan langsung terhadap kebutuhan manusia (Firdaus dan Ariyanti,
2009). Contoh pemanfaatan kredit konsumsi adalah untuk kepemilikan rumah tinggal atau
kendaraan pribadi karena ditujukan untuk mencukupi kebutuhan yang sifatnya personal
bukan untuk usaha.
Namun sebagai catatan, kondisi daya beli masyarakat juga dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan. Masyarakat yang berpenghasilan tetap dan golongan tidak mampu akan
menurun apabila harga-harga barang terus menerus naik di setiap kategori komoditas
di pasar. Oleh sebab itu, inflasi dapat berpengaruh pada daya beli masyarakat. Naiknya
pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan proporsi yang
sama tidak akan mengubah konsumsi riil masyarakat. Hal ini dipertegas dengan pendapat
Basri (2017) daya beli masyarakat secara keseluruhan akan turun seandainya peningkatan
pendapatan masyarakat lebih lambat ketimbang peningkatan harga-harga umum
sebagaimana terefleksikan dari laju inflasi.
Harga komoditas yang cukup berperan dalam pola konsumsi masyarakat diantaranya
harga beras. Untuk rumah tangga dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga beras
tentu saja akan berdampak negatif terhadap pola konsumsinya sehingga memengaruhi
tingkat kesejahteraan rumah tangga pada umumnya (Arifin, 1994). Hal ini ditengarai oleh
pangsa pengeluaran pangan yang masih lebih besar dibanding pangsa pengeluaran non-
pangan; diantara jenis pangan, kontribusi beras terhadap struktur pengeluaran rumah
tangga masih tinggi, yaitu 6-10 persen dari 21 komoditas lainnya pada periode 2010-2014
(BPS, 13 April 2015).
Pengaruh kenaikan harga beras terhadap konsumsi paling banyak terjadi pada
rumah tangga miskin. Komoditi beras berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan di
perkotaan maupun di perdesaan. Sumbangan beras terhadap Garis Kemiskinan pada Maret
2017 tercatat sebesar 20,11 persen di perkotaan, sedangkan di pedesaan sebesar 26,46
persen (BPS, Juli 2017).
Oleh sebab itu, beberapa faktor yang memengaruhi konsumsi antara lain pendapatan,
suku bunga kredit konsumsi, inflasi, harga beras dan tabungan. Variabel ini digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rumah tangga.
Data yang digunakan dalam penelitian berasal dari data sekunder bulanan dengan
periode Januari 2010 sampai dengan Juni 2017. Alasan penggunaan data bulanan antara
lain untuk memenuhi asumsi klasik yang salahsatunya mempersyaratkan jumlah observasi
yang cukup. Oleh sebab itu beberapa data triwulanan dipecah dengan menggunakan
metode interpolasi agar menjadi data bulanan. Alasan lain adalah ketersediaan data yang
mayoritas tersedia bulanan. Adapun rincian data yang digunakan adalah sebagai berikut:
Konsumsi rumah tangga mencakup pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga atas
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok secara langsung.
Pengeluaran rumah tangga di sini mencakup makanan dan minuman selain restoran;
pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya; perumahan dan perlengkapan rumah tangga;
kesehatan dan pendidikan; transportasi dan komunikasi; restoran dan hotel serta lainnya
(BPS, 2017). Data pengeluaran konsumsi diperoleh dari Publikasi PDB Menurut Pengeluaran
yang diterbitkan oleh BPS.
2. Inflasi
Inflasi merupakan persentase kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara
umum dikonsumsi rumah tangga. Ada barang yang harganya naik dan ada yang tetap.
Namun, tidak jarang ada barang/jasa yang harganya justru menurun. Hitungan perubahan
harga tersebut tercakup dalam suatu indeks harga yang dikenal dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI). Persentase kenaikan IHK disebut inflasi,
sedangkan penurunannya disebut deflasi (BPS, 2016). Data inflasi diperoleh dari Publikasi
Indikator Ekonomi yang ditebitkan oleh BPS.
3. Harga Beras
Rata-rata harga eceran beras diolah dari survei mingguan Badan Pusat Statistik (BPS)
di beberapa kota. Karena beragamnya kualitas beras di masing-masing kota, maka harga
yang disajikan adalah rata-rata harga beras tertimbang. Data ini diperoleh dari website BPS.
DPK adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. DPK secara luas merupakan dana
yang berasal dari masyarakat yang merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan
operasional suatu bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank tersebut jika mampu
membiayai operasionalnya dari sumber dana ini. Dalam penelitian ini, data yang digunakan
adalah perubahan DPK karena konsumsi yang menjadi variabel terpengaruh (dependen)
merupakan data flow (perubahan) bukan stok (akumulasi). Sedangkan DPK yang tersedia
merupakan data stok. Sehingga perlu pegolahan lebih lanjut untuk menggambarkan
flow. Data DPK diperoleh dari Publikasi Statistik Perbankan Indonesia yang ditebitkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
6. Pendapatan Nasional
Kajian ini menggunakan data bulan sebelumnya dan bulan berjalan. Variabel
pendapatan, harga beras, dan DPK menggunakan data bulan sebelumnya mengingat
pengaruh variabel tersebut akan memengaruhi konsumsi pada periode selanjutnya.
Demikian halnya dengan konsumsi pada bulan berjalan dipengaruhi oleh konsumsi pada
bulan sebelumnya. Dengan kata lain, dalam pemodelan statistik konsumsi pada bulan
berjalan dipengaruhi variabel pada konsisi sebelumnya. Sedangkan variabel inflasi dan suku
bunga konsumsi menggunakan data bulan berjalan karena kedua variabel tersebut dapat
secara langsung memengaruhi konsumsi pada periode yang sama.
M etode analisis yang digunakan untuk menganalisis determinan daya beli adalah
analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier berganda merupakan metode
untuk menentukan hubungan antar variabel, yaitu hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Variabel dependen kajian ini adalah variabel daya beli yang
didekati dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga, sedangkan variabel independennya
adalah IHK, harga beras, DPK, suku bunga, dan pendapatan nasional.
1. Pembentukan model
Tahap awal dalam analisis regresi linier berganda adalah melakukan pembentukan
model. Model terdiri atas variabel dependen dan beberapa variabel independen. Variabel
dependen adalah konsumsi rumah tangga sedangkan variabel independen adalah seperti
yang disebutkan sebelumnya. Adapun model yang digunakan adalah:
𝑡𝑡
𝛽𝛽0
𝛽𝛽1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑡𝑡
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑠𝑠𝑠𝑠𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑝𝑝𝑝𝑝𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑘𝑘𝑡𝑡
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡−1
𝑒𝑒𝑡𝑡
Dalam menggunakan analisis regresi linier berganda, pengujian hipotesis harus menghindari
adanya kemungkinan penyimpangan asumsi-asumsi klasik. Tujuan pemenuhan asumsi ini
agar variabel independen atau variabel dependen tidak bias. Asumsi-asumsi yang harus
dipenuhi adalah normalitas, nonautokorelasi, nonmultikolinearitas, dan homoskedastisitas.
Pengujian normalitas menguji apakah error term berdistribusi normal dengan rata-rata
nol dan varians konstan. Autokorelasi menjelaskan adanya hubungan antara error term.
Nonmultikolinearitas menunjukkan tidak adanya korelasi antara variabel independen. Dan
homoskedastisitas adalah kondisi dimana error term memiliki varians sama.
Tahap selanjutnya adalah menguji keberartian model regresi dengan pengujian koefisien
secara simultan dengan uji F untuk melihat pengaruh variabel independen secara besama-
sama terhadap variabel dependen, pengujian koefisien secara parsial atau pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dengan uji t, dan koefisien
determinasi (adj R2) yang menunjukkan seberapa besar keragaman variabel dependen dapat
dijelaskan oleh variabel independen.
5. Interpretasi model
Tahap terakhir adalah interpretasi dari model yang dibentuk dengan hasil yang
sesuai dengan kajian teori.
U ntuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya beli masyarakat, penelitian ini
meregresikan variabel pertumbuhan konsumsi rumah tangga dengan variabel-variabel
yang diduga memengaruhinya. Berikut adalah model persamaan hasil regresi berdasarkan
hasil pengolahan data dengan menggunakan eviews 8:
̂
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑡𝑡
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑡𝑡
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑠𝑠𝑠𝑠𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑝𝑝𝑝𝑝𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑘𝑘𝑡𝑡
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡−1
S etelah pembentukan model, tahapan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menguji
asumsi klasik dari model tersebut. Dari hasil pengujian asumsi klasik, diperoleh kesimpulan
bahwa model yang dibentuk telah memenuhi seluruh asumsi, yakni nonautokorelasi,
nonmultikolinearitas, homoskedastisitas, dan normalitas. Pengujian nonautokorelasi
menggunakan statistik Durbin Watson (dw). Nilai dw sebesar 2,0021 berada pada dU
(1,8014) dan 4-dU (2,1986). Nilai dU ini didapatkan dari tabel dw dengan jumlah konstanta
(k) =6, jumlah observasi (n)=90, dan tingkat signifikansi 5 persen. Dari nilai tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa model ini tidak mengandung autokorelasi.
Asumsi yang ketiga adalah asumsi homoskedastisitas. Asumsi ini dapat diuji
menggunakan uji Glejser. Hasil pengujian menunjukkan nilai F-statistic sebesar 2,6924
dengan probability sebesar 0,0196. Nilai probability ini lebih besar daripada tingkat
M odel persamaan di atas memiliki nilai adj R2 sebesar 41,98 persen. Artinya, keragaman
yang terjadi pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga dapat dijelaskan sebesar
41,98 persen secara bersama-sama oleh seperangkat variabel independen yang berada di
dalam model tersebut, yakni pertumbuhan konsumsi rumah tangga, pertumbuhan DPK,
pertumbuhan harga beras, pertumbuhan suku bunga kredit konsumsi, dan pertumbuhan
pendapatan nasional pada bulan sebelumnya, serta Inflasi bulan berjalan. Sementara
sisanya, yakni sebesar 58,02 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang berada di
luar model. Selanjutnya, nilai F-statistic yang diperoleh bernilai sebesar 11,49 dan signifikan
di tingkat alfa 5 persen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat minimal satu
variabel independen yang signifikan memengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Selanjutnya, pertumbuhan dana pihak ketiga atau tabungan pada bulan sebelumnya
memberikan pengaruh yang negatif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan
konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Pengaruh negatif yang diberikan oleh
pertumbuhan tabungan terhadap pertumbuhan konsumsi masyarakat dapat dijelaskan
karena terdapat perubahan dari jumlah uang yang seharusnya digunakan untuk konsumsi
menjadi uang yang digunakan untuk tabungan. Namun pengaruh negatif yang terjadi
sangatlah kecil atau dengan kata lain pengaruhnya tidak signifikan.
Inflasi pada bulan berjalan memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap
pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Apabila terjadi peningkatan
inflasi pada bulan berjalan sebesar 1 persen, akan meningkatkan pertumbuhan pengeluaran
konsumsi rumah tangga sebesar 0,37 persen. Hubungan positif ini tidak sesuai dengan teori
permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga semakin rendah permintaan
atau dalam hal ini konsumsi. Akan tetapi Nur (2012) menyatakan bahwa hubungan ini sesuai
dengan teori ekspansi agregat demand pada kasus klasik. Teori tersebut menyatakan bahwa
peningkatan harga (inflasi) akan meningkatkan agregat demand. Salah satu komponen
agregat demand tersebut adalah konsumsi. Ragandhi (2012) menambahkan bahwa dalam
jangka panjang, adanya inflasi akan tetap membuat masyarakat membeli barang-barang
yang sama. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan terhadap barang-barang tersebut,
terutama barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat.
Sementara itu, harga beras pada bulan sebelumnya berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Apabila
terjadi peningkatan pertumbuhan harga beras pada bulan sebelumnya sebesar 1 persen,
akan menurunkan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan
sebesar 0,07 persen. Kenaikan harga beras dapat menyebabkan rumah tangga mengurangi
jumlah konsumsi beras dan juga mengorbankan pembelian untuk barang lain untuk dapat
mengkonsumsi beras. Hal ini senada dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa
semakin tinggi harga dari suatu barang, semakin sedikit permintaan akan barang tersebut,
yang dalam hal ini adalah konsumsi rumah tangga (Lipsey,1995).
Torero (2011) mengatakan pihak yang paling terpengaruh oleh kenaikan harga beras
adalah masyarakat miskin atau masyarakat dengan pendapatan rendah. Harga makanan yang
tinggi dapat merugikan konsumen yang lebih miskin karena mereka perlu mengeluarkan
lebih banyak porsi pendapatan untuk pembelian makanan. Dampaknya, kuantitas atau
kualitas makanan yang di beli perlu dikurangi atau perlu melakukan penghematan untuk
konsumsi barang dan jasa lain yang dibutuhkan.
Sementara itu, pertumbuhan suku bunga kredit konsumsi pada bulan sebelumnya
memberikan pengaruh yang negatif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan
konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Blare (1978)
yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga yang tinggi akan menurunkan konsumsi
serta pernyataan Keynes (1936) yang menyatakan bahwa pengaruh suku bunga terhadap
konsumsi hanya sebatas teori.
5. KESIMPULAN
K onsumsi rumah tangga secara signifikan dipengaruhi pertumbuhan variabel makro pada
bulan sebelumnya, variabel tersebut diantaranya konsumsi rumah tangga, harga beras,
dan pendapatan nasional. Sedangkan variabel kondisi bulan berjalan yang memengaruhi
konsumsi rumah tangga secara signifikan adalah inflasi namun memberikan efek searah.
Artinya, apabila terjadi peningkatan inflasi pada bulan berjalan, akan meningkatkan
pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Hal ini menggambarkan bahwa
adanya inflasi akan tetap membuat masyarakat membeli barang-barang yang sama.
perubahan DPK belum cukup bukti untuk disebut sebagai determinan konsumsi rumah
tangga karena uji statistik kedua variabel tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa
pengaruhnya tidak signifikan.
Terlepas dari hasil kajian dengan model time series yang memenuhi asumsi klasik
sehingga kesimpulan teruji secara statistik, kajian ini masih memiliki keterbatasan. Pertama,
persamaan/model yang dihasilkan menggunakan estimasi variabel konsumsi bulanan.
Meskipun secara statistik diperbolehkan, namun hasil yang diperoleh baru sebatas estimasi.
Berbeda dengan data konsumsi triwulanan yang merupakah hasil survei. Kedua, konsumsi
belum membedakan kelompok masyarakat menurut kategori penghasilan karena data
yang digunakan masih merupakan agregat. Dengan membedakan konsumsi antara
penduduk golongan penghasilan tinggi dan penghasilan menengah ke bawah, maka
pengaruh masing-masing variabel dependen pun dapat disesuaikan. Ketiga, kajian ini hanya
menampilkan variabel makro yang terbatas dan menyesuaikan kondisi ketersediaan data.
Beberapa variabel penting seperti persentase pendapatan yang ditabung dan upah buruh
secara umum belum tercakup dalam kajian mengingat ketersediaan data yang terbatas.
Data persentase pendapatan yang ditabung baru tersedia di tahun 2013, sedangkan upah
buruh secara umum hanya tersedia semesteran.
6. DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maya Narang. 2017. Pengaruh Perubahan Harga Beras terhadap Pola Konsumsi Pangan
pada Rumah Tangga dalam Jangka Pendek di Provinsi Lampung. [Tesis]. Bandar
Lampung: Universitas Lampung.
Arifin, B. (1994). Pangan dalam Orde Baru. Cetakan kedua. Jakarta: Koperasi Jasa Informasi
(Kopinfo).
Bank Indonesia. (9 November 2017). Statistik Sistem Pembayaran. Diakses pada 9 Novem-
ber 2017 melalui http://www.bi.go.id/id/statistik/sistem-pembayaran/apmk/con-
tents/jumlah%20apmk%20beredar.aspx
Basri, F. (2017, Agustus 12). faisal Basri. Diakses pada 2 November 2017 melalui faisalbasri.
com: https://faisalbasri.com/2017/08/12/sekali-lagi-tentang-daya-beli/
BPS. (2017, Juli 17). PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017. Berita Resmi Statistik,
p. No. 66/07/Th. XX.
BPS. (2017, Oktober 24). BPS. Diakses pada 9 November 2017 melalui www.bps.go.id:
https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/index
BPS. (2017, Oktober 26). BPS. Diakses pada 2 November 2017 melalui www.bps.go.id:
https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=27
Faisal Basri. (2017, Agustus 12). Diakses pada 2 November 2017 melalui www.faisalbasri.
com: https://faisalbasri.com/2017/08/12/faisal-basri-daya-beli-masyarakat-tidak-
melemah-merosot-atau-turun/
Firdaus, R., & Arianti, M. (2009). Manajemen Perkreditan Bank Umum Teori, Masalah, Kebija-
kan dan Aplikasi Lengkap dengan Analisis Kredit. Bandung: Alfabeta.
Kamus Besar. (2017, Oktober 26). Diakses pada 2 November 2017 melalui www.kamusbe-
sar.com: https://www.kamusbesar.com/daya-beli
Lisna, V., & Rifai, N. (2012). Analisis Ekonomi Makro yang Memengaruhi Tingkat Konsumsi
Era Pemerintahan SBY Jilid I. epn ipb, 1-15.
Mursid, F. (2017, Agustus 12). Ekonomi Makro. Diakses pada 2 November 2017 melalui
Republika: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/08/12/ouklzo377-
faisal-basri-tak-ada-penurunan-daya-beli
Nur, Ermon Muh.. 2012. Konsumsi dan Inflasi Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi Volume 1,
Nomor 1, April 2012. Universitas Negeri Padang.
OJK. (2017, Januari 16). OJK. Diakses pada 1 November 2017 melalui www.OJK.go.id:
http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/Documents/Pages/Sistem-Layanan-Infor-
masi-Keuangan/PEDOMAN%20PENYUSUNAN%20LAPORAN%20DEBITUR%20V6.1-
20170119.pdf
Purwati, H. (2001). Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan (Disertasi).
Bogor: IPB.
Ragandhi, Arsad. 2012. Pengaruh Pendapatan Nasional, Inflasi dan Suku Bunga Deposito
terhadap Konsumsi Masyarakat di Indonesia. [Tesis]. Surakarta: Universitas Negeri
Sebelas Maret.
Sangaji, M. (2009). Fungsi Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia (Pendekatan Model Ko-
reksi Kesalahan). Journal of Indonesian Applied Economics Vo..3 No 2 Oktober 2009,
150-165.
Sari, N. T. (2007). Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras
Rumah Tangga Di Cipinang, Jakarta Timur. Bogor: IPB.
Torero, Maximo. 2011. Food Prices: Riding the Rollercoaster. 2011 Global Food Policy Re-
port. Washington DC: International Food Policy Research Institute.
7. LAMPIRAN
PENGARUH
INFRASTRUKTUR
TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF
TEMA 2
PENGARUH INFRASTRUKTUR
TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF
P ertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak selalu mampu mengatasi masalah
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Di beberapa negara
berkembang pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata diikuti oleh peningkatan
ketimpangan (Ranieri dan Ramos, 2013). Berdasarkan pengamatan ADB (2012), ketimpangan
memiliki cakupan yang lebih luas meliputi berbagai aspek, seperti kesempatan memperoleh
asset, pendidikan dan kesehatan serta akses terhadap pasar tenaga kerja. Pada beberapa
kasus, kelompok masyarakat tertentu tidak mendapatkan manfaat yang sama akan hasil
pembangunan yang telah dicapai. Kelompok masyarakat tersebut adalah penduduk
miskin, perempuan, etnis minoritas, penduduk di wilayah terpencil atau perdesaan, dan lain
sebagainya (Klasen, 2010).
Keterangan: Data 2011 - 2013 merupakan hasil backcasting dengan menggunakan proyeksi Penduduk SP 2010
Sumber: www.bps.go.id
9,93
9,13
7,68
5,83 5,41
4,16
Sumber: www.bps.go.id
Gambar B.2. Persentase Penduduk Miskin menurut Pulau dan Daerah Tempat Tinggal, 2017
Sumber: www.bps.go.id
Gambar B.3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Pulau, 2017
Sumber: www.bps.go.id
Gambar B.4. Gini Rasio Indonesia Menurut daerah Tempat Tinggal, 2002-2017
Pertumbuhan makro ekonomi yang cukup kuat selama lebih dari satu dekade
secara perlahan telah mampu menurunkn angka pengangguran di Indonesia. Tingkat
pengangguran di Indonesia tahun 2016 merupakan yang terendah selama kurun waktu
tujuh tahun terakhir. Namun demikian, angka tersebut masih di atas 4 persen, sebagai
ukuran kondisi yang belum mencapai full employment.
Gambar B.6. Persentase Tenaga Kerja dengan Pendidikan SMA Ke Atas, 2010-2016
Selain itu, konsep pertumbuhan inklusif juga tercakup dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam SDGs tujuan ke delapan,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, diharapkan diiringi
dengan kesempatan kerja penuh dan produktif, serta terciptanya pekerjaan yang layak
untuk semua. Dengan mencapai pertumbuhan inklusif maka tujuan SDGs lainnya seperti
mengakhiri segala bentuk kemiskinan dan mengurangi ketimpangan dapat tercapai sesuai
harapan. Oleh karena itu, pertumbuhan inklusif menjadi penting untuk diteliti sebagai
upaya untuk mencapai target SDGs pada tahun 2030.
Konsep inclusive growth yang dikemukakan oleh World Bank merupakan pendekatan
dari sisi proses. Hal ini senada dengan Ali dan Zhuang (2007) yang menekankan inklusivitas
pada persamaan kesempatan yang berarti kesempatan akses. Intinya, pertumbuhan inklusif
menciptakan peluang melalui pertumbuhan yang berkelanjutan dan memungkinkan
semua anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara setara terhadap
pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan kondisi individunya.
Sementara itu, Ali dan Son (2007) menekankan pembangunan inklusif pada sisi
outcome, yaitu kesempatan sosial (social opportunity). pertumbuhan dikatakan inklusif
apabila mampu meningkatkan fungsi peluang sosial yang terdiri dari peluang rata-rata
yang tersedia untuk populasi dan bagaimana peluang itu dibagi kepada populasi.
Konsep proses dan outcome dari pertumbuhan inklusif juga dikemukakan oleh
McKinley (2010) dan International Policy Centre for Inclusive Growth (IPC-IG) yang merupakan
organisasi di bawah UNDP. McKinley (2010), mengemukakan dua dimensi kunci dari
pertumbuhan inklusif yaitu pertumbuhan yang berkelanjutan yang akan menciptakan dan
memperluas peluang ekonomi, dan pertumbuhan yang memastikan akses yang lebih luas
terhadap peluang tersebut sehingga setiap anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan
memperoleh manfaat dari pertumbuhan yang dicapai.
B elum tersedia indikator yang disepakati secara luas mengenai kemajuan dari pertumbuhan
ekonomi yang inklusif. Beberapa organisasi internasional mendefinisikan pertumbuhan
inklusif dengan pelbagai indikator masing-masing. Belum adanya standar baku dalam
mengukur inklusivitas membuka banyak pendekatan dengan berbagai indikator ukuran
inklusivitas.
Beberapa metode pengukuran yang telah dikembangkan antara lain Metode McKinley
(2010). McKinley mengajukan indeks pertumbuhan inklusif yang mencakup konsep (i)
capaian pertumbuhan berkelanjutan yang akan menciptakan dan memperluas kesempatan
ekonomi; dan (ii) kepastian akses yang lebih luas atas kesempatan ekonomi sehingga
anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan merasakan manfaat dari pertumbuhan.
Dalam ukurannya, digunakan berbagai indikator seperti: pertumbuhan ekonomi, tenaga
kerja produktif, infrastruktur ekonomi, pendapatan, kemiskinan, kesetaraan, kemampuan
sumber daya manusia, dan perlindungan sosial. Semua indikator ini memiliki bobot dan
skor berbeda yang pada akhirnya akan membentuk sebuah indeks komposit.
Pendekatan indeks komposit juga digunakan oleh Ramos, Ranieri, dan Lammens
(2013) dalam menerjemahkan pertumbuhan inklusif. Pendekatan ini bertujuan untuk
mengukur dampak dari proses pertumbuhan ekonomi dalam hal inklusivitas dengan
mengabaikan besarnya pertumbuhan yang dicapai. Metode yang digunakan berdasarkan
pada prinsip bahwa pertumbuhan inklusif merupakan suatu proses yang meningkatkan
benefit-sharing dan participation. Dalam hal ini terdapat tiga indikator yang dianalisis,
yaitu kemiskinan, ketimpangan (sebagai proksi dari dimensi benefit-sharing), dan jumlah
partisipasi angkatan kerja (sebagai proksi dari participation).
Secara teknis, metode Ramos, Ranieri, dan Lammens (2013) membangun Indeks
Inklusivitas yang merupakan rata-rata sederhana ketiga indikator, yaitu kemiskinan,
ketimpangan, dan partisipasi angkatan kerja. Ketiga indikator tersebut diberi bobot yang
sama sebagai langkah untuk mengatasi pemberian bobot yang tidak berdasar. Nilai indeks
berkisar dari 0 sampai 1 dengan nilai-nilai yang lebih rendah mewakili kinerja yang lebih
baik. Semakin kecil nilai indeks, semakin rendah tingkat kemiskinan dan ketimpangan,
sementara tingkat partisipasi semakin tinggi, atau dengan kata lain pertumbuhan semakin
inklusif.
Metode lainnya dikemukakan oleh Anand, Mishra, dan Peiris (2013). Metode
ini menggunakan pendekatan fungsi kesejahteraan sosial yang diturunkan dari kurva
pilihan konsumen. Pertumbuhan inklusif di sini terdiri dari dua faktor, yaitu pertumbuhan
pendapatan dan distribusi pendapatan. Inklusivitas ditentukan oleh pergerakan kedua
indikator tersebut.
air bersih untuk masyarakat. Di samping itu, penyediaan infrastruktur perkotaan juga tetap
ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya, misalnya pengembangan sistem transportasi
massal dan revitalisasi pemukiman perkotaan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi dampak
urbanisasi.
Begitu pula dengan peringkat Global Competitiveness Index (GCI). Indonesia hanya
lebih baik daripada Filipina. Peringkat GCI Indonesia pada tahun 2016 berada di posisi ke-
36. Indeks daya saing global ini memberikan gambaran daya saing setiap negara dengan
informasi mendalam mengenai poros penggerak produktivitas dan kesejahteraannya.
Indikator ini dapat menangkap formasi daya saing ekonomi mikro dan makro nasional.
Dengan daya saing yang meningkat, peningkatan kesejahteraan akan lebih mudah dicapai.
Dalam laporan World Economic Forum (WEF), rendahnya skor pilar infrastruktur, pilar
kesiapan teknologi, dan pilar kesehatan dan pendidikan dasar penduduk menyebabkan daya
saing Indonesia masih tertinggal (WEF, 2017). Secara lebih spesifik, kendala pilar infrastruktur
antara lain bersumber dari masih rendahnya kualitas jalan, pelabuhan, hingga kualitas
pasokan listrik. Infrastruktur yang memiliki skor yang cukup besar adalah ketersediaan
telepon selular, ketersediaan kursi untuk penerbangan, dan infrastruktur perkeretaapian.
Secara keseluruhan, ranking Indonesia dalam hal infrastruktur telah meningkat pesat. Hal
ini didukung oleh perbaikan akses telepon selular. Pada tahun 2010 skor Indonesia dalam
hal akses telepon selular berada pada ranking 98 dari 139 negara. Sedangkan tahun 2016
sudah berada di posisi 18.
Tabel B.1.Peringkat kualitas infrastruktur dan Global Competitiveness Index beberapa negara ASEAN
tahun 2010-2016
Catatan: jumlah negara yang dibandingkan berbeda-beda setiap tahun, tahun 2010 sebanyak 139 negara. Tahun 2011-2014 sebanyak
140an negara, tahun 2015 sebanyak 138 negara, tahun 2016 sebanyak 137 negara
Sumber: World Economic Forum dari berbagai publikasi tahunan Global Competitiveness Index
Infrastruktur merupakan salah satu aspek penting perekonomian suatu negara. Dalam era
dan persaingan global saat ini, pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan tidak
dapat dicapai tanpa infrastruktur yang cukup dan efisien. Keberadaan infrastruktur yang
memadai dapat memperlancar dan mempermudah kegiatan ekonomi yang pada akhirnya
akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian secara umum. Hal ini telah banyak
dibuktikan dalam berbagai penelitian sebelumnya seperti dalam Prasetyo dan Firdaus
(2009) dan Mustajab (2009).
B erbagai kajian telah menunjukkan bahwa infrastruktur memiliki peran yang signifkan
dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, kajian mengukur pengaruh infrastruktur
terhadap pembangunan inklusif sangat menarik untuk dilakukan. Dalam hal ini diperlukan
analisis model persamaan simultan dengan data panel. Model persamaan simultan dipilih
dengan adanya informasi apriori dari berbagai penelitian sebelumnya yang membuktikan
adanya hubungan simultanitas antardimensi pertumbuhan inklusif yang digunakan.
Hubungan simultanitas ini dibuktikan antara lain oleh Bourguignon (2004), Ali dan
Son (2007), Felipe dan Hasan dalam Ali dan Zhuang (2007), Berg dan Ostry (2011), serta
Fadly (2011). Penelitian-penelitian tersebut menggunakan kerangka konseptual yang
berbeda-beda namun mengacu pada hal yang sama yaitu mengaitkan berbagai indikator
pertumbuhan ekonomi inklusif secara simultan. Menurut Chow dalam Rizqal (2010), model
persamaan simultan baik untuk digunakan karena sistem persamaan simultan merupakan
suatu model yang cocok untuk banyak aplikasi ekonomi. Sebuah model ekonomi biasanya
mengandung beberapa hubungan saling memengaruhi yang digambarkan dalam sebuah
sistem persamaan. Dalam hal ini, model persamaan simultan dapat digunakan untuk
menjelaskan permasalahan ekonomi dengan variabel yang saling berkaitan dan kompleks
sehingga lebih mampu menggambarkan kondisi sebenarnya.
Data yang digunakan untuk kajian ini adalah data panel. Data panel lebih mampu
menggambarkan fenomena yang bersifat dinamis dibandingkan dengan data time-
series atau data cross-section (Baltagi, 2005). Penggunaan data time series dengan satu
angka tunggal saja untuk mewakili seluruh provinsi akan menghilangkan keragaman dari
karakteristik yang ada di masing-masing provinsi tersebut. Sementara itu, penggunaan data
cross-sectional dengan periode penelitian satu tahun saja tidak dapat menggambarkan
perubahan kondisi infrastruktur dan dimensi pertumbuhan inklusif yang digunakan.
Disinilah kelebihan penggunaan data panel. Data panel mampu mengontrol heterogenitas
wilayah.
D engan mempertimbangkan konsep inklusif yang telah diajukan oleh berbagai pihak/
pakar (Ali dan Zhuang, 2007; Ali dan Son, 2007; World Bank, 2009; Rauniyar and
Kanbur, 2009; Klasen, 2010; McKinley, 2010; Anand, Mishra, dan Peiris, 2013), pertumbuhan
inklusif didefinisikan sebagai pertumbuhan yang secara proses memberikan akses untuk
semua golongan masyarakat dan memberikan manfaat untuk masyarakat yang seluas-
luasnya sehingga terjadi penurunan ketimpangan dan kemiskinan. Ada beberapa dimensi
yang tersirat dalam konsep tersebut, yaitu pertumbuhan ekonomi itu sendiri, distribusi
pendapatan, ketimpangan (gini ratio), penyerapan tenaga kerja yang dapat digambarkan
oleh penduduk bekerja atau partisipasi angkatan kerja, dan kemiskinan.
Penelitian Gibson dan Olivia (2009) membuktikan bahwa kualitas dari infrastruktur
jalan dan listrik memengaruhi lapangan kerja dan pendapatan dari usaha nonpertanian
masyarakat perdesaan di Indonesia. Kurangnya akses terhadap infrastruktur jalan dan
listrik serta rendahnya kualitas infrastruktur menghambat usaha nonpertanian rumah
tangga perdesaan. Rumah tangga cenderung tidak memiliki usaha nonpertanian dan
berpendapatan di bawah usaha nonpertanian apabila mereka tinggal di daerah yang lebih
terpencil, memiliki kualitas jalan yang buruk, tidak ada akses listrik, dan sering menderita
pemadaman listrik.
1. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia sudah inklusif, yaitu mampu untuk
meningkatkan kesempatan kerja, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan
menurunkan tingkat kemiskinan.
1. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (PDRB riil) 2010
Indikator ini menggambarkan nilai tambah barang dan jasa selama satu tahun. Nilai PDRB ini
dihitung menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan
satuan miliar rupiah. Angka yang dihasilkan dari indikator ini adalah pertumbuhan ekonomi.
Data PDRB diperoleh dari Publikasi Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di
Indonesia Menurut Penggunaan yang dikeluarkan oleh BPS.
Yaitu persentase penduduk yang bekerja terhadap keseluruhan usia kerja (15 tahun ke atas).
Penduduk yang bekerja adalah mereka penduduk yang melakukan kegiatan/pekerjaan
paling sedikit satu jam berturut-turut selama satu minggu yang lalu dengan maksud untuk
memperoleh pendapatan dan keuntungan. Data indikator ini diperoleh dari Publikasi
Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Kondisi Agustus yang di publikasikan oleh BPS.
3. Koefisien gini
Konsumsi rumah tangga mencakup pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga atas
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok secara langsung,
Pengeluaran rumah tangga di sini mencakup makanan dan minuman selain restoran;
pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya; perumahan dan perlengkapan rumah tangga;
kesehatan dan pendidikan; transportasi dan komunikasi; restoran dan hotel serta lainnya
(BPS, 2017). Data pengeluaran konsumsi diperoleh dari Publikasi PDB Menurut Pengeluaran
yang ditebitkan oleh BPS.
6. Panjang jalan
Panjang jalan yang dimaksud adalah total panjang jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan
kabupaten/kota dalam satuan Km. Datanya diperoleh dari Publikasi Statistik Transportasi
Darat yang dikeluarkan oleh BPS.
Indikator ini menggambarkan besarnya energi listrik dalam satuan GWh yang disalurkan dari
pembangkitan kepada konsumen dengan jenis pelanggan industri dan bisnis/komersial.
Datanya diperoleh dari Publikasi Statistik Listrik yang dikeluarkan oleh BPS.
Indikator ini merupakan persentase dari luas lahan sawah teknis, setengah teknis, sederhana
dan irigasi desa terhadap keseluruhan luas lahan sawah. Luas lahan irigasi teknis adalah
lahan sawah yang mempunyai jaringan irigasi dimana saluran pemberi terpisah dari saluran
pembuang agar penyediaan dan pembagian air ke dalam lahan sawah tersebut dapat
sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah.
Lahan sawah irigasi setengah teknis adalah lahan sawah yang memperoleh irigasi dari
irigasi setengah teknis. Sama halnya dengan pengairan teknis, namun dalam hal ini Dinas
Pekerjaan Umum (PU) hanya menguasai bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan
mengukur pemasukan air, sedangkan pada jaringan selanjutnya tidak diukur dan tidak
dikuasai oleh PU.
Lahan sawah irigasi sederhana adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari irigasi
sederhana yang sebagian jaringannya (bendungan) dibangun oleh PU.
Lahan sawah irigasi desa/non PU adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari
sistem pengairan yang dikelola sendiri oleh masyarakat.
Indikator ini merupakan volume air bersih dalam satuan m3 yang disalurkan oleh perusahaan
air bersih (PAM, PDAM, dan BPAM) kepada pelanggan dengan kategori niaga kecil dan niaga
besar. Datanya diperoleh dari Publikasi Air Bersih yang dikeluarkan oleh BPS.
Niaga kecil meliputi kios/warung pedagang kaki lima, toko/percetakan, kantor perusahaan
swasta, biro jasa, rumah makan, losmen penginapan, rumah sakit swasta, radio siaran
nonpemerintah, klinik swasta, bengkel kecil, salon kecil, pangkas rambut, wisma, hotel
nonbintang, notaris, pengacara, konsultan, wartel, catering, praktik dokter, apotek, toko
obat, badan usaha yang bernaung di bawah satu yayasan serta niaga kecil lainnya.
Niaga besar meliputi perusahaan importir, eksportir, agen makelar, komisioner, swalayan,
rumah sakit swasta tipe A, B, dan C; kolam renang umum swasta, pompa bensin, distributor,
pedagang besar, night club, kafe, diskotik, steambath, hotel berbintang, restoran, department
store, supermarket, bioskop, bank, BUMN, BUMD, PT, CV, tempat karaoke, bengkel besar,
service station, showroom, gedung bertingkat tinggi, condominium, dan usaha-usaha besar
lainnya.
Indikator ini adalah proporsi rumah tangga yang memiliki sumber penerangan listrik yang
dikelola oleh PLN maupun listrik yang dikelola oleh instansi/pihak lain dibandingkan dengan
seluruh rumah tangga yang ada. Datanya diperoleh dari Publikasi Statistik Kesejahteraan
Rakyat yang dikeluarkan oleh BPS.
Upah/gaji adalah imbalan yang diterima selama sebulan oleh buruh/karyawan baik
berupa uang atau barang yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan. Imbalan dalam
bentuk barang dinilai dengan harga setempat. Upah/ gaji bersih yang dimaksud tersebut
adalah setelah dikurangi dengan potongan-potongan iuran wajib, pajak penghasilan dan
sebagainya. Datanya diperoleh dari Publikasi Keadaan Angkatan Kerja BPS.
Indikator ini didefinisikan sebagai jumlah seluruh pengeluaran pemerintah yang meliputi:
pembelian barang dan jasa (belanja barang), pembayaran balas jasa pegawai (belanja
pegawai) dan, penyusutan barang modal dengan satuan miliar rupiah. Data pengeluaran
konsumsi diperoleh dari Publikasi PDB Menurut Pengeluaran yang ditebitkan oleh BPS.
Sementara itu, definisi pertumbuhan inklusif dalam kajian ini adalah apabila pertumbuhan
ekonomi yang terjadi diiringi dengan peningkatan kesempatan kerja, penurunan
ketimpangan pendapatan, dan penurunan kemiskinan. Selanjutnya, akan dianalisis
peranan infrastruktur ekonomi berupa panjang jalan, energi listrik, dan air bersih, terhadap
inklusivitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk menjawab hal tersebut, kajian ini
menggunakan pemodelan dengan lima buah persamaan simultan (simultaneous equation
model).
Data yang digunakan untuk analisis mencakup 34 provinsi dengan periode 2010-
2016. Untuk mendapatkan data Kalimantan Utara yang belum tersedia pada periode 2010-
2014 dilakukan interpolasi sehingga diperoleh hasil estimasi. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program Eviews 9.0.
Analisis model persamaan simultan dalam kajian ini dilakukan dengan proses statistik
yang cukup kompleks dengan mempertimbangkan tahapan yang dikemukakan oleh
Gujarati dan Porter (2009) serta Rhoads (1991). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penentuan variabel endogen dan variabel eksogen yang akan digunakan dalam setiap
persamaan struktural
3. Identifikasi model persamaan struktural dengan order condition dan rank condition
5. Estimasi persamaan struktural menggunakan metode ILS atau 2SLS berdasarkan hasil
identifikasi model persamaan
Adapun rincian persamaan simultan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
Persamaan I
Log(PDRB)(it) =
α1+β11Log(Kons)(it)+β12Bekerja(it)+β13Log(Jalan)(it)+β14Log(Air)(it)
+β15Log(Listrik)(it)+ β16Irigasi_P(it)+u1(it)
Persamaan II
Bekerja(it) `=
α2+β21Log(PDRB)(it)+β22Log(Jalan)(it)+β23Log(Air)(it
)
+β24Log(Listrik)(it)+u2(it)
Persamaan III
Gini(it) =
α3+β31Log(PDRB)(it)+β32Bekerja(it)+β33Listrik_P(it)+Β34Log(Upah)(it)
+u3(it)
Persamaan IV
Miskin(it) = α4+β41Log(PDRB)(it)+β42Bekerja(it)+u4(it)
Persamaan V
Log(Kons)(it) = α5+β51Miskin(it)+β52Gini(it)+β53Log(G)(it)+u5(it)
Keterangan:
B erdasarkan hasil uji statistik sesuai dengan tahapan yang dijelaskan pada bahasan
sebelumnya, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan:
1. Model yang digunakan terbukti valid. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F-statistic pada semua
persamaan struktural dan reduced form yang signifikan pada taraf uji 1 persen. Artinya,
variabel-variabel penjelas yang digunakan pada setiap persamaan struktural dan reduced
form secara simultan (bersama-sama) signifikan dalam memengaruhi variabel tak bebas.
2. Nilai adjusted R-Squared pada persamaan-persamaan yang digunakan juga cukup besar,
menunjukkan besarnya proporsi variasi dari variabel tak bebas yang bisa dijelaskan oleh
variabel bebas dimasing-masing model sudah baik.
4. Model estimasi yang digunakan untuk persamaan struktural dan reduced form persamaan
I dan V adalah model common effect sedangkan pada persamaan lainnya menggunakan
model fixed effect.
SUR untuk mengakomodasi terjadinya pendugaan yang tidak efisien akibat pelanggaran
terhadap asumsi homoskedastisitas dan untuk mengatasi adanya gangguan correlation
antar-cross-section pada saat permodelan.
̂ (𝑖𝑖𝑖𝑖)
𝐵𝐵𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑎𝑎 = (39,838 + 𝜇𝜇2) + 5,133 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃)(𝑖𝑖𝑖𝑖) +
0,117 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽)(𝑖𝑖𝑖𝑖) + 0,195 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴)(𝑖𝑖𝑖𝑖) −
1,297 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿)(𝑖𝑖𝑖𝑖)
̂
𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝑖𝑖 (𝑖𝑖𝑖𝑖) = (−0,784 + 𝜇𝜇3) + 0,111𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃)(𝑖𝑖𝑖𝑖) +
0,014𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑎𝑎(𝑖𝑖𝑖𝑖) − 0,0004𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿_𝑃𝑃(𝑖𝑖𝑖𝑖) – 0,100𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈ℎ)(𝑖𝑖𝑖𝑖)
̂(𝑖𝑖𝑖𝑖)
𝑀𝑀𝑖𝑖𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 = (75,969 + 𝜇𝜇4) − 7,796𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃)(𝑖𝑖𝑖𝑖) + 0,290𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝑖𝑖𝑖𝑖)
Secara ringkas, proses penyusunan model adalah seperti tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel B.2. Ringkasan Model Simultan
Variabel Variabel
Koefisien Ringkasan Statistik Model Estimasi Regresi Panel
Dependen Independen
(1) (2) (3) (4) (5)
Log(PDRB) Log(Kons) 0,483* R-Squared 0,99104 Common Effect Model
Bekerja 0,040* Adj. 0,99085
Log(Jalan) 0,057* Prob 0,00000
Log(Air) 0,044*
Log(Listrik) 0,295*
Irigasi_P -0,005*
P ara pakar telah merumuskan definisi yang hampir serupa mengenai pertumbuhan
inklusif. Kesetaraan kesempatan dan akses atau partisipasi dalam proses ekonomi menjadi
salah satu elemen kunci dalam terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (Ali
dan Zhuang, 2007; Klasen, 2010; McKinley, 2010; IPC-IG dalam Klasen, 2010; Ramos, Ranieri,
& Lammens, 2013). Harapannya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan
kapasitas produksi yang diikuti dengan peningkatan output dan peningkatan kesempatan
kerja.
Hasil kajian ini mendukung teori Okun’s Law yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran (Mankiw,
2013). Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat pengangguran.
Tingkat pengangguran merupakan kondisi negatif dari tingkat kesempatan kerja.
III, pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum mampu menurunkan ketimpangan distribusi
pendapatan. Pertumbuhan ekonomi justru terbukti signifikan meningkatkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen dapat meningkatkan
koefisien gini sebesar 0,001 poin dengan asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus).
Fakta ini bukan menjadi sesuatu hal yang mengejutkan. Poverty Global Practice
Bank Dunia (2016) pernah melakukan kajian dengan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan selama 15 tahun di Indonesia telah membantu mengurangi kemiskinan
dan menciptakan kelas menengah yang berkembang. Namun, pertumbuhan selama
satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen penduduk terkaya, sementara
sisanya—sekitar 205 juta orang—tertinggal dalam pembangunan. Meningkatnya
kesenjangan standar hidup dan semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang
menyebabkan tingkat ketimpangan Indonesia relatif tinggi dan naik lebih cepat daripada
sebagian besar negara tetangga di Asia Timur.
Jika melihat struktur perekonomian Indonesia lebih dalam, ketimpangan ini disinyalir
akibat kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang bertumpu pada sektor non-tradable.
Sektor-sektor tersebut bukan menjadi tempat bergantung penduduk berpengeluaran
rendah. Sektor non-tradable merupakan sektor yang menghasilkan keluaran produk
yang tidak dapat diperdagangkan di luar negeri, seperti properti, transportasi, pergudangan,
informasi, komunikasi dan lain-lain. Sedangkan sektor tradable terdiri dari sektor primer
seperti pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian serta industri
pengolahan atau manufaktur (Kemendag, 2017).
Pada periode 2010-2016 sektor tradable memiliki pertumbuhan ekonomi yang selalu
di bawah rata-rata. Bahkan pertambangan dan penggalian sempat mengalami pertumbuhan
negatif di tahun 2015. Lapangan usaha pertanian pun selalu tumbuh di bawah 5 persen
dan lebih menggantungkan pada perikanan yang saat ini menjadi salah satu primadona
perekonomian. Padahal, sektor pertanian menjadi mata pencaharian sepertiga penduduk
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang rendah pada sektor-sektor ini menyebabkan
distribusi hasil pembangunan kurang menguntungkan 46,27 persen penduduk yang
menggantungkan pada sektor tradable tersebut.
Fakta hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan yang kurang sesuai
harapan juga konsisten dengan hasil persamaan III. Pada persamaan III, tersirat bahwa setiap
peningkatan kesempatan kerja sebesar 1 persen poin dapat meningkatkan ketimpangan
pendapatan sebesar 0,014 poin dengan asumsi variabel yang lain konstan (ceteris paribus).
Selain karena pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak pada sektor yang
nontradable ada beberapa alasan terkait dengan hal ini. Pertama, dari persamaan I diperoleh
kesimpulan bahwa peningkatan kesempatan kerja akan menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi, sementara pertumbuhan ekonomi signifikan meningkatkan gini
rasio. Kedua, lapangan pekerjaan yang tercipta lebih banyak usaha informal dibandingkan
sektor formal. Data Sakernas 2010-2016 menunjukkan komposisi sektor informal lebih
dari 50 persen. Selain itu, konsep kesempatan kerja yang memasukkan pekerja keluarga/
pekerja tidak dibayar sebagai tenaga kerja memiliki kelemahan. Indikator kesempatan kerja
belum menggambarkan kualitas dan kesejahteraan dari tenaga kerja yang bersangkutan.
Ketiga, gini rasio diukur dari pengeluaran yang merupakan proksi dari pendapatan. Dengan
demikian, faktor yang memengaruhi secara langsung terhadap ketimpangan adalah
pendapatan, bukan kesempatan kerja. Hal ini dibuktikan oleh hubungan rata-rata upah
dengan gini pada persamaan III yang signifikan negatif. Setiap kenaikan 1 persen upah,
maka akan menurunkan gini sebesar 0,001 poin.
Infrastruktur lainnya yang cukup vital adalah listrik. Pada persamaan I, infrastruktur
listrik memiliki elastisitas terbesar. Dalam kehidupan modern saat ini, listrik sudah menjadi
kebutuhan pokok untuk menunjang setiap aktivitas manusia. Hampir semua peralatan
yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-harinya membutuhkan energi listrik.
Dalam konteks perekonomian, mayoritas dunia industri dan komersial membutuhkan
listrik dalam menjalankan kegiatannya. Pada persamaan I, pertumbuhan energi listrik yang
didistribusikan pada kelompok pelanggan industri dan komersial/bisnis sebesar 1 persen
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,295 persen dengan asumsi variabel
lain konstan (ceteris paribus).
Di sisi lain, variabel irigasi belum layak disebut sebagai booster pertumbuhan
ekonomi yang signifikan. Hal ini tunjukkan dengan pengaruh kenaikan persentase lahan
irigasi yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dikaitkan dengan kualitas
lahan irigasi yang belum tergambar dari kajian ini. Berdasarkan informasi BPN (2011),
infrastruktur jaringan dan lahan irigasi masih buruk. Dari 7,7 juta ha lahan berpengairan
teknis, hanya 40-50 persen saja yang layak digunakan. Disamping itu, kajian BPS & FEM-
IPB (2015) memperoleh kesimpulan bahwa pengaruh irigasi pada efisiensi produksi padi
yang signifikan positif hanya terjadi pada 10 provinsi saja. Bahkan pada Provinsi Sumatera
Selatan, NTT, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, dan Kalimantan Tengah penggunaan lahan
irigasi justru menyebabkan inefisiensi produksi padi.
D alam kaitannya dengan partisipasi kerja, menurut Dintilhac, Ruiz-Nunez, dan Wie
(2015), infrastruktur dapat meningkatkan partisipasi kerja melalui dua dimensi, yaitu (i)
infrastruktur sebagai sumber langsung penciptaan lapangan kerja (misalnya pembangunan
dan pemeliharaan infrastruktur secara langsung akan menciptakan pekerjaan), dan (ii)
infrastruktur sebagai input bagi proses pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya akan
menciptakan lapangan pekerjaan di berbagai sektor lain.
Fakta infrastruktur sebagai sumber langsung penciptaan kerja yang kurang signifikan
terlihat dari kontribusi kategori lapangan usaha Listrik, Gas dan Air dalam penciptaan
lapangan kerja hanya di bawah 1 persen (BPS, 2017d). Sedangkan sektor lain yang
berkaitan dengan infrastruktur jalan dan penyerapan tenaga kerja adalah sektor konstruksi.
Berdasarkan data Sakernas 2016, pekerja konstruksi hanya sekitar 7 persen. Namun angka
tersebut termasuk konstruksi lainnya seperti bangunan.
Sementara itu, dari sisi proses produksi, penggunaan infrastruktur seperti listrik
memiliki keterkaitan yang lemah dengan penciptaan kesempatan kerja. Dalam kasus tertentu,
peningkatan penggunaan listrik dalam dunia produksi bisa jadi mengurangi kesempatan
kerja. Hal ini berkaitan erat dengan penggunaan mesin-mesin untuk menunjang proses
produksi. Penggunaan mesin-mesin ini di sisi lain seringkali menggantikan posisi manusia.
Akibatnya, peningkatan penggunaan listrik di dunia industri dan komersial tidak berkaitan
dengan penciptaan lapangan kerja bahkan pada proses otomatisasi, penggunaan mesin-
mesin dapat mengurangi industri padat karya. Namun kondisi ini terjadi dalam jangka
panjang.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Estache dan Garsous dalam Dintilhac, Ruiz-Nunez,
dan Wie (2015) yang membuktikan bahwa infrastruktur tidak serta merta menciptakan
lapangan pekerjaan. Namun hubungannya secara tidak langsung melalui pertumbuhan
sektor yang padat modal. Sebagai catatan, besarnya pengaruh dari infrastruktur ini
tergantung pada teknologi yang digunakan, sektor ekonomi, dan elastisitas pertumbuhan
ekonomi terhadap pertumbuhan infrastruktur.
B erdasarkan Calderon dan Chong, Calderon dan Serven, Seneviratne dan Surn, dalam
Dintilhac, Ruiz-Nunez, dan Wie (2015) ketersediaan infrastruktur mendorong penurunan
ketimpangan distribusi pendapatan melalui peningkatan akses masyarakat miskin
terhadap pelayanan infrastruktur. Pengaruh infrastruktur terhadap ketimpangan distribusi
pendapatan pada penelitian ini dinyatakan dalam persamaan III. Berbeda dengan persamaan
I dan II yang menggunakan variabel infrastruktur berupa panjang jalan, jumlah listrik yang
didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial, serta volume air bersih yang
disalurkan kepada pelanggan niaga; pada persamaan III ini variabel yang digunakan untuk
mewakili infrastruktur adalah persentase rumah tangga dengan sumber penerangan listrik.
didistribusikan maupun air yang disalurkan secara umum. Untuk infrastruktur panjang
jalan sendiri tidak dimasukkan dalam model persamaan karena pertimbangan kesesuaian
variabel dengan teori dan data yang tersedia.
Akses rumah tangga terhadap sumber penerangan listrik tidak terbukti secara
signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Namun ada indikasi
hubungan yang negatif. Peningkatan persentase rumah tangga dengan sumber penerangan
listrik sebesar 1 persen poin dapat menurunkan koefisien gini sebesar 0,0004 poin dengan
asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan penelitian Dintilhac,
Ruiz-Nunez, dan Wie (2015) bahwa elektrifikasi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kesejahteraan ekonomi rumah tangga.
serta Wodon; dalam Tambunan (2011) yang membuktikan adanya relasi negatif yang kuat
antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.
Hubungan kesempatan kerja dan kemiskinan yang di luar harapan (seperti tergambar
dari persamaan IV) menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan yang terjadi selama ini
utamanya bukan melalui penciptaan kesempatan kerja secara langsung. Hal ini bisa jadi
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah, baik melalui subsidi atau alokasi anggaran
untuk pembangunan fisik yang menunjang kesejahteraan rakyat.
Pada analisis sebelumnya, telah dijelaskan bahwa infrastruktur panjang jalan, jumlah
listrik yang didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial, serta volume air
bersih yang disalurkan kepada pelanggan niaga berpengaruh secara signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi namun tidak terbukti berpengaruh terhadap peningkatan
kesempatan kerja. Sementara itu, pengaruh infrastruktur terhadap ketimpangan distribusi
pendapatan, hanya ada pada pemerataan distribusi listrik meskipun indikasinya lemah
(persamaan III). Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh tidak langsung terbesar
infrastruktur untuk mengentaskan kemiskinan terjadi melalui peningkatan pertumbuhan
ekonomi.
5. KESIMPULAN
H asil kajian ini memperoleh kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di
Indonesia belum inklusif. Petumbuhan ekonomi sudah mampu meningkatkan partisipasi
kerja dan menurunkan kemiskinan secara langsung. Namun, pertumbuhan ekonomi yang
terjadi ini juga secara bersamaan meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan. Lebih
jauh lagi, lapangan pekerjaan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi juga belum
mampu meningkatkan pemerataan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan.
6. DAFTAR PUSTAKA
Afandi, A., Dwi W., Jaka S. (2017). Policies to Eliminate Poverty Rate in Indonesia.
International Journal of Economics and Financial Issues, Vol 7 Issue 1, 435-441.
Ali, I. & Son, H.H. (2007). Measuring Inclusive Growth. Asian Development Review, Vol.24,
No.1.
Ali, I. & Zhuang, J. (2007). Inclusive Growth toward a Prosperous Asia: Policy Implications.
ERD Working Paper Series, No.97.
Anand, R., Mishra, S., & Peiris, S.J. (2013). Inclusive Growth: Measurement and Determinants.
IMF Working Paper, Vol.13, No. 135.
Baltagi, B. H. (2005). Econometric Analysis of Panel Data Third Edition. John Wiley & Sons:
England.
Baltagi, Badi H. (1981). Simultaneous Equations With Error Components. Journal of Econo-
metrics 17, 189 – 200.
Bourguignon, F. (2004). The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Working Paper No. 25. New
Delhi: Indian Council for Research on International Economic Relations.
BPS (2017). Berita Resmi Statistik No. 66/07/Th. XX, 17 Juli 2017
BPS dan FEM-IPB. 2015. Analisis Tematik ST2103 Subsektor: Estimasi Parameter dan Pe-
metaan Efisiensi Produksi Pangan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)-Fakul-
tas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB.
Brenneman, A & Michel K. (2002). Infrastructure & Poverty Linkages: A Literature Review.
Washington DC: The World Bank.
Brenneman, Adam dan Michel Kerf. (2002). Infrastructure & Poverty Linkages: A Literature
Review. World Bank.
Calderon, C. & Lui, S. (2005). The Effects of Infrastructure Development on Growth and
Income Distribution. World Bank Policy Research Working Paper Series No. 3643.
Washington DC: World Bank.
de Silva, Indunil & Silva & Sudarno S. (2014). Does Economic Growth Really Benefit the
Poor? Income Distribution Dynamics and Pro-poor Growth in Indonesia. Journal
Bulletin of Indonesian Economic Studies Volume 5 Issue 2, 227-242.
Dintilhac, Clio, Fernanda Ruiz-Nunez, dan Zichao Wei. (2015). The Economic Impact of Infra-
structure and Public-Private Partnerships: Literature Review. Draft Version 1.0 June
2015. World Bank Group.
Fadly, Ferdian. (2011). Peran Pertumbuhan Ekonomi dan Intervensi Pemerintah di Bidang
Fiskal terhadap Kemiskinan, Pengangguran, dan Ketimpangan Distribusi Pendapa-
tan di Indonesia [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
Felipe, J. & Rana H. (2006). Labor Markets in Asia: Issues and Perspectives. Basingstoke: Pal-
grave Macmillan.
Felipe, J. (2012). Inclusive Growth: Why Is It Important for Developing Asia?. CADMUS Jour-
nal, vol. 1, issue 4.
Gibson, J. & Susan O. (2009). The Effect of Infrastructure Access and Quality on Non-Farm
Enterprises in Rural Indonesia. World Development Vol. 38, No. 5, 717–726.
Islamic Development Bank. (2010). Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruk-
tur. Jeddah: IDB.
Kemendag, (2017). Tantangan Sektor Tradable dalam Mendukung Target Ekspor Tiga Kali
Lipat.http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Tantangan_Sektor_
Tradable_dalam_Mendukung_Target_Ekspor_Tiga_Kali_Lipat.pdf
Klasen, Stephen. (2010). Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions,
Open Questions, and Some Constructive Proposals. ADB Sustainable Develop-
ment Working Paper Series, No.12.
Kristyanto, Visi Saujaningati. (2015). Analisis Sektor Produksi Pendorong Terwujudnya Per-
tumbuhan Inklusif di Jawa Timur [Skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya.
Kuznets, S. (1955). Economic Growth and Income Inequality, Published on The American
Economic Review, March 1955, Volume 45, Number1, 1-28.
Mankiw, N. Gregory. (2013). Macroeconomics Eight Edition. New York: Worth Publishers.
McKinley, T. (2010). Inclusive Growth Criteria and Indicators: an Inclusive Growth Index for
of Country Progress. ADB Sustainable Development Working Paper Series, No. 14.
Mustajab, M. (2009). Infrastructure Investment in Indonesia: Process and Impact. PhD Dis-
sertation. Rijksuniversiteit Groningen. Groningen: RUG.
OECD. (2014). Focus on Inequality and Growth – December 2014. Diakses pada tang-
gal 28 September 2017 melalui https://www.oecd.org/social/Focus-Inequali-
ty-and-Growth-2014.pdf
Prasetyo, R Bangun & Muhammad Firdaus. (2009). Pengaruh Infrastruktur pada Pertumbu-
han Ekonomi Wilayah di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan,
2(2), 222-236.
Ramos, R.A., Ranieri, R. & J.W. Lammens (2013). ‘Mapping Inclusive Growth in Developing
Countries’. Working Paper 105. Brasilia : International Policy Centre for Inclusive
Growth.
Ranieri, & R. A. Ramos (2013). ‘Inclusive growth, building up a concept’. Working Paper
number 104. Brasilia: International Policy Centre for Inclu sive Growth.
Ranis, G. (2004). Human Development and Economic Growth. Center Discussion Paper No.
887 Economic Growth Center. Connecticut: Yale University.
Rauniyar, G. & Kanbur, R. (2009). Inclusive Growth and Inclusive Development: A Review
and Synthesis of Asian Development Bank Literature. ADB Occasional Paper, No.8.
Rizqal, M. (2010). Analisis Hubungan Simultan antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga
Kerja serta Variabel yang Memengaruhinya [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wolrd Economic Forum (2010). The Global Competitiveness Report 2010–2011. Jeneva:
WEF.
Wolrd Economic Forum (2011). The Global Competitiveness Report 2011–2012. Jeneva:
WEF.
Wolrd Economic Forum (2012). The Global Competitiveness Report 2012–2013. Jeneva:
WEF.
Wolrd Economic Forum (2013). The Global Competitiveness Report 2013–2014. Jeneva:
WEF.
Wolrd Economic Forum (2014). The Global Competitiveness Report 2014–2015. Jeneva:
WEF.
Wolrd Economic Forum (2015). The Global Competitiveness Report 2015–2016. Jeneva:
WEF.
Wolrd Economic Forum (2016). The Global Competitiveness Report 2016–2017. Jeneva:
WEF.
Wolrd Economic Forum (2017). The Global Competitiveness Report 2017–2018. Jeneva:
WEF.
World Bank (2009). “What Is Inclusive Growth?” PRMED Knowledge Brief, Economic Policy
and Debt Department. Washington DC: The World Bank.
LAMPIRAN