Anda di halaman 1dari 106

Katalog BPS: 9101009

© Badan Pusat Statistik

ANALISIS ISU TERKINI 2017


DETERMINAN DAYA BELI INDONESIA 2010-2017
PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF

ISBN : 978-602-438-106-6
No. Publikasi : 07310.1703
Katalog BPS : 9101009
Diterbitkan Oleh : Badan Pusat Statistik

Tim Penyusun

Pengarah : Suhariyanto, Sri Soelistyowati


Penanggung Jawab : Sentot Bangun Widoyono
Editor : Iswadi, Budiasih
Penulis : Ema Tusianti, Intan Rosiana, Kamelina Solihat, Michael Andre
Pengolah Data : Firga Nur Ningtyas, Kamelina Solihat, Intan Rosiana
Desain Cover : Subdit Publikasi dan Kompilasi Statistik
Desain dan Tata Letak Layout : Adi Nugroho, Michael Andre

Dicetak Oleh : Badan Pusat Statistik

Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2017


ix + 92 halaman; 17,6 x 25 cm
Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau
seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik
Kata Pengantar
A nalisis Isu Terkini 2017 merupakan publikasi pertama Badan Pusat Statistik (BPS) yang
menyajikan tentang gambaran fenomena yang terjadi pada tahun 2017 atau kondisi
yang mungkin berkembang di tahun mendatang. Isu yang dikupas menyesuaikan tema yang
sedang berkembang atau bersesuaian dengan program kerja pemerintah yang tercantum
dalam Rencana Kerja Tahunan Pemerintah atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah.

Ada dua tema inti dalam publikasi ini. Tema pertama adalah determinan daya beli
atau konsumsi rumah tangga 2010-2017. Tema ini dipilih dengan latar belakang ramainya
pemberitaan terkait daya beli di media setelah BPS merilis pertumbuhan ekonomi pada
triwulan II 2017. Isu daya beli masyarakat yang melemah perlu dianalisis dengan mengamati
faktor apa saja yang paling memengaruhi.

Tema kedua mengulas pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi inklusif,


bersesuaian dengan Tema Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018 “Memacu Investasi dan
Infrastruktur Untuk Pertumbuhan dan Pemerataan”. Tema ini sangat menarik untuk diangkat
mengingat arah kebijakan ekonomi makro pemerintah tahun depan menekankan pada
pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Selain itu, peningkatan investasi
dan anggaran akan lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur. Harapannya,
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi akan tercapai. Namun, apakah pembangunan
infrastruktur yang selama ini telah dilakukan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang inklusif? Isu ini akan dikupas pada bagian kedua.

Semoga publikasi ini bermanfaat sebagai bahan rujukan bagi semua pihak yang
berkepentingan. Ucapan terima kasih dan apresiasi disampaikan kepada pihak-pihak yang
telah membantu dan memberi masukan dalam penyusunan publikasi ini.

Jakarta, November 2017


Kepala Badan Pusat Statistik,

Dr. Suhariyanto

Analisis Isu Terkini 2017 iii


Daftar Isi
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR LAMPIRAN xi

TEMA 1. DETERMINAN DAYA BELI INDONESIA 2010-2017 1

1. KONSUMSI RUMAH TANGGA SEBAGAI MOTOR PERTUMBUHAN EKONOMI 3


A. Pelemahan Daya Beli menjadi Isu Hangat Sepanjang Tahun 2017 3
B. Indikasi Perubahan Pola Konsumsi 6
C. Perbedaan Pendapatan dan Struktur Pengeluaran Antarkelompok
Masyarakat 7
D. Perlunya Analisis Statistik Lanjutan untuk Menguji Determinan Konsumsi
Rumah Tangga 10
2. KERANGKA KONSEPTUAL FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI DAYA
BELI 11
A. Konsep Daya Beli Didekati dengan Konsumsi Riil 11
B. Identifikasi Faktor yang Diduga Memengaruhi Daya Beli 11
3. PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMSI 14
A. Data untuk Pemodelan Determinan Daya Beli 14
B. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Pemodelan Determinan Daya Beli 16
4. ANALISIS DETERMINAN DAYA BELI MASYARAKAT 17
A. Model Determinan Daya Beli 17
B. Pengujian Asumsi Klasik dalam Pemodelan 18
C. Determinan Konsumsi Rumah Tangga sebagai Indikator Daya Beli 19
5. KESIMPULAN 21
6. DAFTAR PUSTAKA 22
7. LAMPIRAN 25

Analisis Isu Terkini 2017 v


TEMA 2. PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
INKLUSIF 29

1. APAKAH PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BERKUALITAS? 31


A. Ekseternalitas Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi 31
B. Pengentasan Kemiskinan yang Lambat 31
C. Kesenjangan Pembangunan yang Kontras Antarwilayah 32
D. Pendapatan Masih Belum Merata 34
E. Penurunan Pengangguran Kurang Berkualitas 34
2. PERTUMBUHAN INKLUSIF SEBAGAI TUJUAN PEMBANGUNAN 38
A. Pertumbuhan Inklusif dalam RPJMN dan SDGs 38
B. Konsep Pertumbuhan Inklusif 38
C. Mengukur Pertumbuhan Inklusif 40
3. PERAN INFRASTRUKTUR DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF 41
A. Pembangunan Infrastruktur untuk Pemerataan 41
B. Kondisi Infrastruktur Indonesia Saat Ini 42
C. Berbagai Studi Keterkaitan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi 44
D. Mengukur Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Inklusif 44
E. Kerangka Pikir Keterkaitan Infrastruktur dan Pertumbuhan Inklusif 45
4. ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI INKLUSIF 51
A. Identifikasi Model Simultan 51
B. Pertumbuhan Ekonomi Menciptakan Kesempatan Kerja Yang Lebih Besar 54
C. Pertumbuhan Ekonomi Berpeluang Meningkatkan Ketimpangan
Distribusi Pendapatan 54
D. Pengaruh Infrastruktur Cukup Signifikan sebagai Booster Pertumbuhan
Ekonomi 56
E. Pengaruh Infrastruktur terhadap Kesempatan Kerja Tidak Secara
Langsung 57
F. Akses Terhadap Listrik Menurunkan Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Meski Sangat Lemah 58
G. Pertumbuhan Ekonomi Menurunkan Persentase Penduduk Miskin Secara
Signifikan 59
H. Pengaruh Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan Tidak Secara
Langsung 61

vi Analisis Isu Terkini 2017


5. KESIMPULAN 62
6. DAFTAR PUSTAKA 63
7. LAMPIRAN 67

Analisis Isu Terkini 2017 vii


Daftar Lampiran
Lampiran 1 Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda............................................................ 25
Lampiran 2 Hasil Pengujian Asumsi Klasik........................................................................................... 26
Lampiran 3 Hasil Estimasi Model Persamaan Struktural.................................................................. 67
Lampiran 4 Hasil Estimasi Model Reduced Form............................................................................... 76
Lampiran 5 Pengujian Simultanitas........................................................................................................ 85
Lampiran 6 Uji Normalitas Persamaan Struktural.............................................................................. 91
Lampiran 7 Uji Normalitas Persamaan Reduced................................................................................. 92

ix Analisis Isu Terkini 2017


TEMA 1

DETERMINAN
DAYA BELI INDONESIA
2010-2017
TEMA 1

DETERMINAN
DAYA BELI INDONESIA 2010-2017
1. KONSUMSI RUMAH TANGGA SEBAGAI MOTOR
PERTUMBUHAN EKONOMI

A. Pelemahan Daya Beli Menjadi Isu Hangat Sepanjang Tahun


2017

P embahasan seputar daya beli menjadi perbincangan hangat di media massa maupun
media elektronik setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan rilis data pertumbuhan
ekonomi sepanjang tahun 2017, terutama pada kondisi triwulan II dan III. Daya beli yang
melemah dianggap sebagai masalah karena kontribusinya dalam perekonomian Indonesia
yang sangat signifikan.

Daya beli yang dimaksud diukur dengan tingkat konsumsi riil rumah tangga. Dalam
ukuran riil, faktor harga sudah distandarkan karena penilaian konsumsi didasarkan kepada
harga tahun dasar tertentu. Sehingga konsumsi yang dimaksud lebih mengacu pada
perubahan kuantitas barang dan jasa dengan harga yang konstan.

Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa konsumsi rumah tangga sangat krusial
untuk dibahas. Pertama, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap penciptaan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi konsumsi rumah
tangga selama tujuh tahun terakhir jauh lebih tinggi dibandingkan Pembentukan Modal
Tetap Bruto (PMTB), ekspor maupun konsumsi pemerintah. Angkanya lebih dari separuh
Produk Domestik Bruto Indonesia. Hal ini berarti pembelanjaan atau konsumsi rumah
tangga lebih penting dari gabungan PMTB, ekspor maupun konsumsi pemerintah.

Kedua, konsumsi rumah tangga mempunyai pengaruh yang sangat penting


terhadap fluktuasi kegiatan ekonomi antarwaktu. Konsumsi saat ini memengaruhi konsumsi
di masa depan dan sebaliknya, prediksi tentang masa depan memengaruhi konsumsi saat
ini. Selanjutnya, dalam jangka panjang, pola konsumsi dan tabungan masyarakat sangat
besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (Sukirno dalam Sangaji, 2009). Oleh
sebab itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang rendah pun masih mampu memacu
pertumbuhan ekonomi secara umum. Selain itu, konsumsi merupakan satu-satunya andalan

Analisis Isu Terkini 2017 3


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara pada masa pasca-krisis (Bank Indonesia dalam
Sangaji, 2009). Ketiga, naik turunnya konsumsi rumah tangga mencerminkan kesejahteraan
masyarakat pada periode waktu tertentu. Kemampuan konsumsi masyarakat mencerminkan
tingkat pendapatan yang merupakan ukuran kesejahteraan finansial.

Tabel A.1. Distribusi PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Pengeluaran (persen)

PDB Menurut Penggunaan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)


1. Pengeluaran Konsumsi
55,16 54,40 55,35 55,74 55,96 56,17 56,50
Rumahtangga
2. Pengeluaran Konsumsi
1,06 1,03 1,04 1,09 1,18 1,14 1,16
LNPRT
3. Pengeluaran Konsumsi
9,01 9,06 9,25 9,52 9,43 9,75 9,45
Pemerintah
4. Pembentukan Modal Tetap
31,00 31,31 32,72 31,97 32,52 32,80 32,57
Domestik Bruto

5. Perubahan Inventori 1,88 1,68 2,35 1,87 2,08 1,38 1,73

6. Ekspor Barang dan Jasa 24,30 26,33 24,59 23,92 23,67 21,15 19,08
7. Dikurangi Impor Barang
22,40 23,85 24,99 24,71 24,41 20,72 18,31
dan Jasa

PRODUK DOMESTIK BRUTO 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: PDB Menurut Pengeluaran, BPS (2017)

Jika dicermati kondisi triwulanan, melemahnya daya beli (konsumsi rumah tangga)
menjadi isu hangat menjelang akhir tahun 2017. Dilihat dari statistik, laju pertumbuhan
konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2017 memang menunjukkan gejala pelambatan.
Misalnya pada triwulan II 2017, konsumsi rumah tangga tumbuh hanya 4,95 persen, atau
lebih lambat dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (5,02 persen).
Kondisi ini berlanjut pada triwulan berikutnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga
hanya mencapai 4,93 persen, lebih rendah dari kondisi yang sama tahun 2016 (5,01 persen).

Dengan mengamati data triwulanan, konsumsi riil tetap meningkat karena memiliki
angka positif. Artinya, daya beli masyarakat tidak turun tetapi kecepatannya sedikit
berkurang dari periode yang sama di tahun sebelumnya seperti terlihat pada Gambar
A.1. Namun demikian, perlu dicatat bahwa perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga yang berkelanjutan dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan
mengingat kontribusinya yang sangat tinggi dibandingkan komponen PDB lainnya seperti
terlihat pada Tabel A.1.

4 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

Sumber: PDB menurut Pengeluaran, BPS

Gambar A.1. Pertumbuhan Konsumsi Riil Rumah Tangga (y on y), 2014-2017

Sumber: Data Diolah dari PDB Menurut Pengeluaran dan Proyeksi Penduduk

Gambar A.2. Rata-rata Konsumsi riil Per Kapita (Ribu Rupiah) dan Pertumbuhannya (y-on-y), 2016-2017

Lebih jauh lagi, jika melihat rata-rata konsumsi riil setiap penduduk selama dua
tahun terakhir terlihat adanya peningkatan meskipun dengan pertumbuhan yang relatif
stabil antara 3,5-4,0 persen pada setiap triwulan. Perbandingan dengan tahun sebelumnya
menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi per kapita antartriwulan cenderung melemah.
Misalnya saja, pada pada triwulan II 2017, rata-rata konsumsi riil setiap penduduk adalah Rp
5,06 juta setara dengan Rp 1,69 juta per bulan atau sekitar 56 ribu rupiah per hari. Angka
tersebut sedikit lebih tinggi dari konsumsi riil pada triwulan yang sama di tahun sebelumnya

Analisis Isu Terkini 2017 5


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

(54 ribu rupiah per hari). Dengan demikian, perubahan konsumsi harian tidak terlalu besar.
Perubahan yang sudah memperhatikan faktor harga ini menunjukkan bahwa daya beli
masyarakat meningkat namun dengan perubahan yang sangat kecil.

B. Indikasi Perubahan Pola Konsumsi

P engamat ekonomi Faisal Basri seperti di sampaikan melalui Detik dan Republika (12
Agustus 2017) menyatakan bahwa penyebab pelemahan konsumsi adalah pergeseran
pola konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan gaya hidup. Hal ini didukung oleh data
BPS. Pada Triwulan II 2017 terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat dari non-leisure ke
leisure.
6,21

4,74

leissure non leissure

Sumber: PDB menurut lapangan usaha (data diolah)

Gambar A.3. Pertumbuhan y-on-y Leisure dan Non-Leisure (persen)

Seperti diiliustrasikan pada Gambar A.3, pertumbuhan konsumsi leisure dan non-
leisure cenderung berbanding terbalik. Konsumsi leisure termasuk pada sektor restoran
dan hotel, rekreasi & kebudayaan. Hal ini menggambarkan konsumsi yang bersifat “hiburan
dan kesenangan”. Leisure melonjak ketika ada sedikit perlambatan non-leisure. Dalam hal ini
terdapat indikasi bahwa masyarakat mengurangi konsumsi non-leisure untuk meningkatkan
konsumsi leisure. Atau, dengan kata lain tambahan pendapatan cenderung dialokasikan
untuk leisure.

Di sisi lain, sektor transportasi dan pergudangan memiliki pertumbuhan PDB yang
cukup tinggi, melebihi pertumbuhan rata-rata. Di triwulan II 2017, pertumbuhan y-on-y sektor
tersebut mencapai 8,37 persen. Sedangkan sektor akomodasi dan restauran meningkat
sebesar 5,07 persen. Hal ini memperkuat asumsi bahwa perubahan pola konsumsi dari non-
leisure ke leisure semakin nyata terlebih lagi ditunjang oleh sektor transportasi sebagai faktor
penunjang yang tumbuh melejit.

6 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

C. Perbedaan Pendapatan dan Struktur Pengeluaran


Antarkelompok Masyarakat

P eralihan struktur pengeluaran dari non-leisure ke leisure mungkin hanya terjadi pada
kelompok masyarakat golongan menengah ke atas. Namun fakta bahwa distribusi
pengeluaran didominasi penduduk berpengeluaran tinggi tidak dapat dipungkiri. Pada
tahun 2016, hampir separuh (46,89 persen) distribusi pengeluaran berasal dari 20 persen
penduduk berpenghasilan tinggi. Sementara 40 persen penduduk berpengeluaran rendah
hanya memiliki porsi pengeluaran 17,02 persen saja (BPS, 2017). Dengan demikian, fenomena
perubahan struktur pengeluaran ke arah konsumsi yang bersifat kesenangan tetap tidak
dapat diabaikan, meskipun kemungkinannya hanya terjadi pada kelompok golongan
berpendapatan menengah tinggi. Sayangnya perubahan struktur pengeluaran tersebut
bisa jadi tidak memengaruhi agregat pengeluaran secara total. Perlu analisis lanjutan untuk
membuktikannya.

Pada kajian ini analisis tidak melihat perbandingan konsumsi golongan atas,
golongan menengah, dan golongan berpendapatan rendah, karena total konsumsi
penduduk Indonesia mencerminkan agregat daya beli penduduk seluruh golongan.
Informasi konsumsi antarkelompok masyarakat pun cukup terbatas. Sehingga identifikasi
pola konsumsi masyarakat golongan berpendapatan tinggi, menengah dan bawah hanya
dapat dilakukan dengan menganalisis sumber pembiayaan konsumsi.

Pada golongan penduduk kelas bawah, sumber pembiayaan mengalami penurunan


selama tiga tahun terakhir. Berdasarkan data yang diolah dari Publikasi Indikator Ekonomi
Juli 2017 (BPS, 2017), pada tahun 2014, upah riil harian buruh konstruksi berada pada kisaran
68 ribu rupiah per hari, sedangkan tahun 2017 angka ini berada pada kisaran 65 ribu rupiah
per hari. Penurunan pendapatan juga terlihat pada upah buruh tani yang menurun sekitar 2
ribu rupiah per hari dari tahun 2014. Demikian halnya dengan indeks produksi manufaktur
yang menggambarkan pendapatan buruh industri terindikasi mengalami perlambatan
di pertengahan tahun 2017. Bagi penduduk kelas bawah tersebut, pelemahan sumber
pendapatan pastinya akan menurunkan konsumsi, terlebih lagi jika kenaikan inflasi tidak
terkendali.

Pengaruh inflasi pada golongan masyarakat menengah ke bawah cukup signifikan.


Perubahan harga sedikit saja dapat mengguncang porsi pengeluarannya. Namun hal ini
cenderung tidak berlaku pada masyarakat golongan pendapatan tinggi yang memiliki
struktur pengeluaran yang berbeda. Pada golongan lapisan kelas atas, porsi pendapatan
masih mampu untuk dialokasikan untuk tabungan dan investasi. Bahkan tabungan
masyarakat cenderung meningkat selama periode 2010-2017.

Analisis Isu Terkini 2017 7


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

Sumber: BPS, Indikator Ekonomi Bulanan (data diolah)

Gambar A.4. Rata-rata Upah Riil Harian Buruh Tani dan Buruh Konstruksi (Rupiah), 2014-2017

Inflasi selama 2015-2017 terlihat fluktuatif. Jika dilihat kondisi triwulan I dan II 2017
yang mengalami peningkatan harga sekitar 1 persen, maka cukup realistis jika upah riil
upah buruh tani dan konstruksi mengalami penurunan pada periode tersebut. Upah buruh
bangunan dan kontruksi terindikasi negatif pada triwulan II 2017. Pada Triwulan I 2017, rata-
rata upah riil per bulan buruh konstruksi Rp65.248. Pada Triwulan II 2017 turun menjadi
Rp65.053 (BPS, Indikator Ekonomi Juli 2017).

Sumber: BPS, Indikator Ekonomi Bulanan (data diolah)

Gambar A.5. Inflasi Triwulan I 2015 - Triwulan III 2017 (Persen)

8 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

Tabungan memengaruhi konsumsi, terlebih lagi jika suku bunga meningkat. Suku
bunga yang tinggi akan meningkatkan tabungan dan menurunkan konsumsi (Blare, 1978).
Pada kasus melemahnya daya beli sepanjang triwulan I-III 2017 boleh jadi karena penduduk
golongan menengah atas menahan belanja dan mengalokasikan pendapatan pada
tabungan. Indikasi fenomena ini dapat terlihat pada meningkatnya porsi pendapatan yang
ditabung triwulan I-II 2017.

Sumber: Survei Konsumen (SK) Bank Indonesia, BI (data diolah dari SK bulanan)

Gambar A.6. Rata-rata Persentase Pendapatan yang Ditabung Per Triwulan (Persen), 2014-2017

Salah satu indikator meningkatnya simpanan masyarakat juga dapat dilihat dari
Dana Pihak Ketiga (DPK). DPK adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,
tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. DPK pada pada periode
tahun 2014-2017 terlihat terus meningkat. Hal ini menunjukkan peningkatan kepercayaan
masyarakat kepada perbankan untuk menyimpan uangnya dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan, atau bentuk lainnya. Jika dilihat menurut komposisinya, DPK
tertinggi merupakan simpanan berjangka dengan komposisi rata-rata sekitar 45 persen.
Tabungan menempati posisi kedua dengan kontribusi sekitar 30 persen. Sementara giro
menyumbang sekitar 25 persen pada periode 2014-2017 (OJK, 2017).

Analisis Isu Terkini 2017 9


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

Sumber: OJK, Statistik Perbankan Bulanan

Gambar A.7. Dana Pihak Ketiga (Miliar Rupiah), 2014-2017

D. Perlunya Analisis Statistik Lanjutan untuk Menguji


Determinan Konsumsi Rumah Tangga

M emahami perilaku konsumsi penduduk Indonesia yang merupakan sebuah indikator


makroekonomi esensial, tidak terlepas dari memahami faktor-faktor yang memengaruhi
atau faktor-faktor pembentuknya. Dalam konteks nasional, konsumsi penduduk Indonesia,
dipengaruhi oleh faktor multi-dimensi seperti ekonomi, demografi, dan non-ekonomi.
Namun, kajian ini akan lebih memfokuskan pada faktor ekonomi makro. Dengan demikian,
tujuan dari analisis ini adalah untuk melihat pengaruh beberapa variabel ekonomi makro
terhadap konsumsi penduduk Indonesia. Identifikasi variabel yang menjadi determinan
(faktor yang memengaruhi) konsumsi akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Kemudian, diperlukan analisis yang tidak hanya melihat secara deskriptif namun
lebih dalam dengan melakukan uji statistik. Harapannya, dari hasil analisis akan diperoleh
kesimpulan variabel yang secara signifikan memengaruhi perubahan konsumsi rumah
tangga. Selanjutnya dapat diidentifikasi besarnya pengaruh variabel makro tersebut
terhadap konsumsi riil penduduk yang menggambarkan daya beli masyarakat.

10 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

2. KERANGKA KONSEPTUAL FAKTOR-FAKTOR YANG


MEMENGARUHI DAYA BELI

A. Konsep Daya Beli Didekati dengan Konsumsi Riil

D aya beli (purchasing power) merupakan kekuatan dan kemampuan masyarakat dalam
membelanjakan uangnya dalam bentuk barang dan jasa yang dibutuhkan pada
harga dan waktu tertentu (BPS, 26 Oktober 2017). Dalam Kamus Bahasa Indonesia online,
ditambahkan kalimat “guna memenuhi kebutuhan hidup” sebagai keterangan dari definisi
daya beli. BPS menggunakan rata-rata pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan sebagai
indikator daya beli dengan tujuan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan yang
dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi.

Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa pendapatan masyarakat dapat


mencerminkan daya beli. Makin tinggi tingkat pendapatan, daya beli makin kuat, sehingga
permintaan terhadap suatu barang meningkat. Demikian sebaliknya apabila pendapatan
tetap, ketika terjadi kenaikan harga yang terus menerus, maka daya beli akan merosot. Daya
beli masyarakat dapat diukur dari pendapatan per kapita, namun, karena kesulitan dalam
menghitung pendapatan, maka BPS menggunakan konsumsi sebagai indikator proksi
pendapatan. Selain itu, konsumsi riil dapat menggambarkan daya beli karena faktor harga
sudah distandarkan.

Konsumsi menurut Mankiw (2000) adalah barang atau jasa yang dibeli oleh rumah
tangga konsumsi. Barang konsumsi tersebut terdiri dari barang tidak tahan lama (non-durable
goods), barang tahan lama (durable goods) dan jasa. Barang tidak tahan lama adalah barang
yang habis dipakai dalam waktu pendek, seperti makanan dan pakaian. Barang tahan lama
yaitu barang yang dimiliki usia panjang seperti mobil, televisi, alat-alat elektronik. Sedangkan
jasa meliputi pekerjaan yang dilakukan untuk konsumen individu dan perusahaan, seperti
potong rambut dan berobat ke dokter. Sedangkan menurut BPS (2017a) konsumsi rumah
tangga mencakup berbagai pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga atas barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok secara langsung. Sedangkan
konsumsi riil menggambarkan konsumsi yang penilaiannya didasarkan kepada harga satu
tahun dasar tertentu, dalam kajian ini digunakan harga tahun 2010.

B. Indentifikasi Faktor yang Diduga Memengaruhi Daya Beli

T erdapat beberapa faktor yang memengaruhi konsumsi. Keynes (1936) dalam bukunya
“The General Theory of Employment, Interest and Money” menyebutkan faktor yang
memengaruhi konsumsi masyarakat. Pendapatan merupakan faktor utama dalam
memengaruhi konsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi konsumsi.

Analisis Isu Terkini 2017 11


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

Selanjutnya, Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi


hanya sebatas teori. Pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap pengeluaran
individu dari pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak penting. Sementara itu,
pemikiran ekonomi klasik mempercayai bahwa suku bunga yang tinggi akan meningkatkan
tabungan dan menurunkan konsumsi (Blare, 1978). Dengan demikian, hubungan antara
konsumsi dan suku bunga cenderung negatif. Bagi masyarakat tentu adakalanya mengurangi
konsumsi untuk mendapatkan perolehan yang lebih besar dari suku bunga atas uang yang
ditabung, sehingga ketika suku bunga tinggi, konsumsi berkurang meskipun pendapatan
tetap.

Di samping meningkatnya suku bunga tabungan, pada kasus menurunya suku bunga
kredit konsumsi, pengeluaran masyarakat akan meningkat. Kredit konsumsi didefinisikan
sebagai kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian barang-barang atau jasa-jasa
yang dapat memberi kepuasan langsung terhadap kebutuhan manusia (Firdaus dan Ariyanti,
2009). Contoh pemanfaatan kredit konsumsi adalah untuk kepemilikan rumah tinggal atau
kendaraan pribadi karena ditujukan untuk mencukupi kebutuhan yang sifatnya personal
bukan untuk usaha.

Selain suku bunga, tingkat spekulasi masyarakat juga memengaruhi tingkat


konsumsi. Masyarakat mengurangi konsumsinya dengan mengalihkan pada investasi di
pasar saham atau obligasi. Namun, biasanya investasi dilakukan ketika perekonomian dalam
kondisi stabil. Pada kondisi ekonomi yang relatif stabil, konsumsi masyarakat juga akan
stabil, bahkan tabungan masyarakat akan meningkat karena kepercayaan pada lembaga
perbankan juga meningkat.

Namun sebagai catatan, kondisi daya beli masyarakat juga dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan. Masyarakat yang berpenghasilan tetap dan golongan tidak mampu akan
menurun apabila harga-harga barang terus menerus naik di setiap kategori komoditas
di pasar. Oleh sebab itu, inflasi dapat berpengaruh pada daya beli masyarakat. Naiknya
pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan proporsi yang
sama tidak akan mengubah konsumsi riil masyarakat. Hal ini dipertegas dengan pendapat
Basri (2017) daya beli masyarakat secara keseluruhan akan turun seandainya peningkatan
pendapatan masyarakat lebih lambat ketimbang peningkatan harga-harga umum
sebagaimana terefleksikan dari laju inflasi.

Harga komoditas yang cukup berperan dalam pola konsumsi masyarakat diantaranya
harga beras. Untuk rumah tangga dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga beras
tentu saja akan berdampak negatif terhadap pola konsumsinya sehingga memengaruhi
tingkat kesejahteraan rumah tangga pada umumnya (Arifin, 1994). Hal ini ditengarai oleh
pangsa pengeluaran pangan yang masih lebih besar dibanding pangsa pengeluaran non-
pangan; diantara jenis pangan, kontribusi beras terhadap struktur pengeluaran rumah
tangga masih tinggi, yaitu 6-10 persen dari 21 komoditas lainnya pada periode 2010-2014
(BPS, 13 April 2015).

12 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

Penelitian Purwati (2001) menyimpulkan perubahan harga beras memiliki respon


yang lebih kuat terhadap perubahan permintaan komoditas-komoditas lain. Selain itu
penelitian Lisna & Rifai (2011) menyimpulkan bahwa peningkatan harga beras 10 persen
akan meningkatkan konsumsi sekitar 4,2 persen. Dengan demikian, maka harga beras
memengaruhi konsumsi masyarakat.

Pengaruh kenaikan harga beras terhadap konsumsi paling banyak terjadi pada
rumah tangga miskin. Komoditi beras berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan di
perkotaan maupun di perdesaan. Sumbangan beras terhadap Garis Kemiskinan pada Maret
2017 tercatat sebesar 20,11 persen di perkotaan, sedangkan di pedesaan sebesar 26,46
persen (BPS, Juli 2017).

Penelitian yang mendukung pengaruh harga beras terhadap konsumsi penduduk


miskin dan menengah dibuktikan oleh Sari (2007) pada rumah tangga di Jakarta Timur.
Perubahan pola konsumsi setelah kenaikan harga beras terlihat nyata pada perubahan jenis
beras yang dikonsumsi dan frekuensi pembelian beras. Penurunan kualitas dan frekwensi
pembelian setelah kenaikan harga beras banyak dilakukan oleh rumah tangga kelas bawah
dan menengah. Rumah tangga kelas atas tidak mengalami perubahan preferensi jenis beras
karena tingginya daya beli yang mereka miliki. Oleh sebab itu jelaslah bahwa meskipun
kontribusi pengeluaran penduduk 40 persen terbawah hanya sekitar 17 persen selama tiga
tahun terakhir (BPS, Februari 2017), namun harga beras layak dijadikan sebagai determinan
konsumsi rumah tangga.

Oleh sebab itu, beberapa faktor yang memengaruhi konsumsi antara lain pendapatan,
suku bunga kredit konsumsi, inflasi, harga beras dan tabungan. Variabel ini digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rumah tangga.

Gambar A.8. Kerangka Konseptual Faktor-Faktor yang Memengaruhi Daya Beli

Analisis Isu Terkini 2017 13


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

3. PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI


KONSUMSI

A. Data untuk Pemodelan Determinan Daya Beli

A nalisis faktor yang memengaruhi konsumsi dapat diperoleh dengan menggunakan


pemodelan. Dengan mempertimbangkan kondisi data yang memerlukan analisis
runtun waktu, maka pemodelan yang cocok adalah pemodelan time series. Data time series
merupakan data yang dikumpulkan, dicatat atau diobservasi sepanjang waktu secara
berurutan. Periode waktu observasi dapat berbentuk tahun, kuartal, bulan, minggu bahkan
hari atau jam. Time series dianalisis untuk menemukan pola variasi masa lalu yang dapat
dipergunakan untuk memperkirakan nilai masa depan dan membantu dalam perencanaan.
Menganalisis time series berarti membagi data masa lalu menjadi komponen-komponen
dan kemudian memproyeksikannya ke masa depan.

Data yang digunakan dalam penelitian berasal dari data sekunder bulanan dengan
periode Januari 2010 sampai dengan Juni 2017. Alasan penggunaan data bulanan antara
lain untuk memenuhi asumsi klasik yang salahsatunya mempersyaratkan jumlah observasi
yang cukup. Oleh sebab itu beberapa data triwulanan dipecah dengan menggunakan
metode interpolasi agar menjadi data bulanan. Alasan lain adalah ketersediaan data yang
mayoritas tersedia bulanan. Adapun rincian data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga mencakup pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga atas
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok secara langsung.
Pengeluaran rumah tangga di sini mencakup makanan dan minuman selain restoran;
pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya; perumahan dan perlengkapan rumah tangga;
kesehatan dan pendidikan; transportasi dan komunikasi; restoran dan hotel serta lainnya
(BPS, 2017). Data pengeluaran konsumsi diperoleh dari Publikasi PDB Menurut Pengeluaran
yang diterbitkan oleh BPS.

2. Inflasi

Inflasi merupakan persentase kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara
umum dikonsumsi rumah tangga. Ada barang yang harganya naik dan ada yang tetap.
Namun, tidak jarang ada barang/jasa yang harganya justru menurun. Hitungan perubahan
harga tersebut tercakup dalam suatu indeks harga yang dikenal dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI). Persentase kenaikan IHK disebut inflasi,
sedangkan penurunannya disebut deflasi (BPS, 2016). Data inflasi diperoleh dari Publikasi
Indikator Ekonomi yang ditebitkan oleh BPS.

14 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

3. Harga Beras

Rata-rata harga eceran beras diolah dari survei mingguan Badan Pusat Statistik (BPS)
di beberapa kota. Karena beragamnya kualitas beras di masing-masing kota, maka harga
yang disajikan adalah rata-rata harga beras tertimbang. Data ini diperoleh dari website BPS.

4. Dana Pihak Ketiga (DPK)

DPK adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. DPK secara luas merupakan dana
yang berasal dari masyarakat yang merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan
operasional suatu bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank tersebut jika mampu
membiayai operasionalnya dari sumber dana ini. Dalam penelitian ini, data yang digunakan
adalah perubahan DPK karena konsumsi yang menjadi variabel terpengaruh (dependen)
merupakan data flow (perubahan) bukan stok (akumulasi). Sedangkan DPK yang tersedia
merupakan data stok. Sehingga perlu pegolahan lebih lanjut untuk menggambarkan
flow. Data DPK diperoleh dari Publikasi Statistik Perbankan Indonesia yang ditebitkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.

5. Suku Bunga Konsumsi Bank Umum

Suku bunga konsumsi mengacu pada kredit/pembiayaan untuk keperluan konsumsi


dengan cara membeli, menyewa, atau dengan cara lain (OJK, 2017). Sedangkan kredit
konsumsi adalah kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian barang-barang atau
jasa-jasa yang dapat memberi kepuasan langsung terhadap kebutuhan manusia (Firdaus
dan Ariyanti, 2009). Data ini diperoleh dari website BPS dengan sumber Otoritas Jasa
Keuangan.

6. Pendapatan Nasional

Pendapatan Nasional menggambarkan pendapatan yang benar-benar diterima oleh


penduduk Indonesia. Angka ini dapat diturunkan dari PDB ditambah dengan pendapatan
faktorial neto dari luar negeri dikurangi dengan seluruh penyusutan atas barang-barang
modal tetap dan dikurangi dengan pajak tidak langsung neto. Data pendapatan nasional
diperolah dari Publikasi Pendapatan Nasional yang diterbitkan oleh BPS.

Kajian ini menggunakan data bulan sebelumnya dan bulan berjalan. Variabel
pendapatan, harga beras, dan DPK menggunakan data bulan sebelumnya mengingat
pengaruh variabel tersebut akan memengaruhi konsumsi pada periode selanjutnya.
Demikian halnya dengan konsumsi pada bulan berjalan dipengaruhi oleh konsumsi pada
bulan sebelumnya. Dengan kata lain, dalam pemodelan statistik konsumsi pada bulan
berjalan dipengaruhi variabel pada konsisi sebelumnya. Sedangkan variabel inflasi dan suku
bunga konsumsi menggunakan data bulan berjalan karena kedua variabel tersebut dapat
secara langsung memengaruhi konsumsi pada periode yang sama.

Analisis Isu Terkini 2017 15


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

B. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Pemodelan


Determinan Daya Beli

M etode analisis yang digunakan untuk menganalisis determinan daya beli adalah
analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier berganda merupakan metode
untuk menentukan hubungan antar variabel, yaitu hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Variabel dependen kajian ini adalah variabel daya beli yang
didekati dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga, sedangkan variabel independennya
adalah IHK, harga beras, DPK, suku bunga, dan pendapatan nasional.

Tahapan analisis regresi linier berganda sebagai berikut:

1. Pembentukan model

Tahap awal dalam analisis regresi linier berganda adalah melakukan pembentukan
model. Model terdiri atas variabel dependen dan beberapa variabel independen. Variabel
dependen adalah konsumsi rumah tangga sedangkan variabel independen adalah seperti
yang disebutkan sebelumnya. Adapun model yang digunakan adalah:

∆𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑡𝑡 = 𝛽𝛽0 + 𝛽𝛽1 ∆𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑡𝑡−1 + 𝛽𝛽2 ∆𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑡𝑡−1 + 𝛽𝛽3 ∆𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙ℎ𝑘𝑘𝑡𝑡 +


𝛽𝛽4 ∆𝑙𝑙𝑙𝑙ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑡𝑡−1 + 𝛽𝛽5 ∆𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑡𝑡 + 𝛽𝛽6 ∆𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑡𝑡−1 + 𝑒𝑒𝑡𝑡

𝑡𝑡
𝛽𝛽0
𝛽𝛽1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑡𝑡

𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑠𝑠𝑠𝑠𝑡𝑡−1

𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑝𝑝𝑝𝑝𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑘𝑘𝑡𝑡
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡−1
𝑒𝑒𝑡𝑡

16 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

2. Pendugaan parameter model

Tahapan selanjutnya adalah melakukan pendugaan parameter model yang dibentuk.


Metode yang digunakan dalam pendugaan parameter model ini adalah Ordinary Least
Square (OLS).

3. Pemeriksaan asumsi klasik

Dalam menggunakan analisis regresi linier berganda, pengujian hipotesis harus menghindari
adanya kemungkinan penyimpangan asumsi-asumsi klasik. Tujuan pemenuhan asumsi ini
agar variabel independen atau variabel dependen tidak bias. Asumsi-asumsi yang harus
dipenuhi adalah normalitas, nonautokorelasi, nonmultikolinearitas, dan homoskedastisitas.
Pengujian normalitas menguji apakah error term berdistribusi normal dengan rata-rata
nol dan varians konstan. Autokorelasi menjelaskan adanya hubungan antara error term.
Nonmultikolinearitas menunjukkan tidak adanya korelasi antara variabel independen. Dan
homoskedastisitas adalah kondisi dimana error term memiliki varians sama.

4. Pengujian keberartian model

Tahap selanjutnya adalah menguji keberartian model regresi dengan pengujian koefisien
secara simultan dengan uji F untuk melihat pengaruh variabel independen secara besama-
sama terhadap variabel dependen, pengujian koefisien secara parsial atau pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dengan uji t, dan koefisien
determinasi (adj R2) yang menunjukkan seberapa besar keragaman variabel dependen dapat
dijelaskan oleh variabel independen.

5. Interpretasi model

Tahap terakhir adalah interpretasi dari model yang dibentuk dengan hasil yang
sesuai dengan kajian teori.

4. ANALISIS DETERMINAN DAYA BELI MASYARAKAT

A. Model Determinan Daya Beli

U ntuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya beli masyarakat, penelitian ini
meregresikan variabel pertumbuhan konsumsi rumah tangga dengan variabel-variabel
yang diduga memengaruhinya. Berikut adalah model persamaan hasil regresi berdasarkan
hasil pengolahan data dengan menggunakan eviews 8:

Analisis Isu Terkini 2017 17


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

̂
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑡𝑡

= 0,0014 + 0,4403∗ 𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑠𝑠𝑠𝑠𝑡𝑡−1 − 0,0542𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑝𝑝𝑝𝑝𝑡𝑡−1


+ 0,3718∗ 𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑘𝑘𝑡𝑡 − 0,0712∗ 𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑡𝑡−1
− 0,0762𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑡𝑡−1 + 0,0464∗ 𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡−1

𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑡𝑡

𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑠𝑠𝑠𝑠𝑡𝑡−1

𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑝𝑝𝑝𝑝𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑘𝑘𝑡𝑡
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑡𝑡−1
𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝛥𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡−1

B. Pengujian Asumsi Klasik dalam Pemodelan

S etelah pembentukan model, tahapan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menguji
asumsi klasik dari model tersebut. Dari hasil pengujian asumsi klasik, diperoleh kesimpulan
bahwa model yang dibentuk telah memenuhi seluruh asumsi, yakni nonautokorelasi,
nonmultikolinearitas, homoskedastisitas, dan normalitas. Pengujian nonautokorelasi
menggunakan statistik Durbin Watson (dw). Nilai dw sebesar 2,0021 berada pada dU
(1,8014) dan 4-dU (2,1986). Nilai dU ini didapatkan dari tabel dw dengan jumlah konstanta
(k) =6, jumlah observasi (n)=90, dan tingkat signifikansi 5 persen. Dari nilai tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa model ini tidak mengandung autokorelasi.

Selanjutnya, asumsi nonmultikolinearitas diuji dengan menggunakan nilai Variance


Inflation Factors (VIF). Apabila nilai VIF seluruh variabel independen lebih kecil dari 5, asumsi
ini terpenuhi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh variabel independen memiliki
nilai VIF yang lebih kecil dari 2. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
multikolinearitas atau hubungan yang kuat antar variabel independen dalam model.

Asumsi yang ketiga adalah asumsi homoskedastisitas. Asumsi ini dapat diuji
menggunakan uji Glejser. Hasil pengujian menunjukkan nilai F-statistic sebesar 2,6924
dengan probability sebesar 0,0196. Nilai probability ini lebih besar daripada tingkat

18 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

signifikansi yang digunakan sebesar 5 persen, sehingga memberikan kesimpulan bahwa


asumsi homoskedastisitas terpenuhi.

Asumsi terakhir adalah asumsi normalitas. Pengujian asumsi menggunakan statistik


Kolmogorov Smirnov (K-S) menunjukkan bahwa asumsi ini terpenuhi. Nilai statistik K-S
sebesar 0,107 menghasilkan probability sebesar 0,015. Probability yang lebih kecil dari
tingkat signifikansi sebesar 1 persen memberikan kesimpulan bahwa error term model
berdistribusi normal. Dengan terpenuhinya semua asumsi klasik maka dapat disimpulkan
bahwa pemodelan dengan regresi berganda dapat diinterpretasikan.

C. Determinan Konsumsi Rumah Tangga sebagai Indikator


Daya Beli

M odel persamaan di atas memiliki nilai adj R2 sebesar 41,98 persen. Artinya, keragaman
yang terjadi pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga dapat dijelaskan sebesar
41,98 persen secara bersama-sama oleh seperangkat variabel independen yang berada di
dalam model tersebut, yakni pertumbuhan konsumsi rumah tangga, pertumbuhan DPK,
pertumbuhan harga beras, pertumbuhan suku bunga kredit konsumsi, dan pertumbuhan
pendapatan nasional pada bulan sebelumnya, serta Inflasi bulan berjalan. Sementara
sisanya, yakni sebesar 58,02 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang berada di
luar model. Selanjutnya, nilai F-statistic yang diperoleh bernilai sebesar 11,49 dan signifikan
di tingkat alfa 5 persen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat minimal satu
variabel independen yang signifikan memengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Berdasarkan model persamaan di atas, dapat diketahui bahwa pertumbuhan


konsumsi rumah tangga pada bulan sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan konsumsi pada bulan berjalan. Melalui nilai koefisien parameter
yang diperoleh, dapat diartikan bahwa setiap peningkatan sebesar 1 persen pertumbuhan
pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan sebelumnya akan meningkatkan
pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan sebesar 0,44
persen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa besarnya konsumsi rumah tangga
sangat dipengaruhi oleh besarnya konsumsi pada bulan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
persamaan model “penyesuaian parsial” Nerlove bahwa tingkat konsumsi yang diamati
pada periode berjalan adalah rata-rata tertimbang dari tingkat konsumsi yang diinginkan
pada saat itu dan tingkat konsumsi yang ada dalam periode waktu sebelumnya (Nerlove
dalam Sangaji, 2009).

Selanjutnya, pertumbuhan dana pihak ketiga atau tabungan pada bulan sebelumnya
memberikan pengaruh yang negatif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan
konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Pengaruh negatif yang diberikan oleh
pertumbuhan tabungan terhadap pertumbuhan konsumsi masyarakat dapat dijelaskan
karena terdapat perubahan dari jumlah uang yang seharusnya digunakan untuk konsumsi

Analisis Isu Terkini 2017 19


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

menjadi uang yang digunakan untuk tabungan. Namun pengaruh negatif yang terjadi
sangatlah kecil atau dengan kata lain pengaruhnya tidak signifikan.

Inflasi pada bulan berjalan memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap
pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Apabila terjadi peningkatan
inflasi pada bulan berjalan sebesar 1 persen, akan meningkatkan pertumbuhan pengeluaran
konsumsi rumah tangga sebesar 0,37 persen. Hubungan positif ini tidak sesuai dengan teori
permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga semakin rendah permintaan
atau dalam hal ini konsumsi. Akan tetapi Nur (2012) menyatakan bahwa hubungan ini sesuai
dengan teori ekspansi agregat demand pada kasus klasik. Teori tersebut menyatakan bahwa
peningkatan harga (inflasi) akan meningkatkan agregat demand. Salah satu komponen
agregat demand tersebut adalah konsumsi. Ragandhi (2012) menambahkan bahwa dalam
jangka panjang, adanya inflasi akan tetap membuat masyarakat membeli barang-barang
yang sama. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan terhadap barang-barang tersebut,
terutama barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat.

Pengaruh inflasi yang positif terhadap konsumsi ditunjang oleh kestabilan


perekonomian Indonesa. Inflasi bulanan yang terjadi pada periode penelitian (2010-2017)
relatif rendah (berada di bawah 1 persen). Kenaikan harga tertinggi pada periode tersebut
terjadi pada Juli 2013 yang mencapai 3,29 persen. Faktor yang memengaruhi kenaikan
harga yang cukup tajam terjadi pada empat komponen utama yaitu bensin, tarif angkutan
dalam kota, bawang merah dan daging ayam ras. Bensin menyumbang 0,77 persen dengan
perubahan harga pada Juli 2013 terhadap Juni 2013 sebesar 25,27 persen.

Sementara itu, harga beras pada bulan sebelumnya berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Apabila
terjadi peningkatan pertumbuhan harga beras pada bulan sebelumnya sebesar 1 persen,
akan menurunkan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan
sebesar 0,07 persen. Kenaikan harga beras dapat menyebabkan rumah tangga mengurangi
jumlah konsumsi beras dan juga mengorbankan pembelian untuk barang lain untuk dapat
mengkonsumsi beras. Hal ini senada dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa
semakin tinggi harga dari suatu barang, semakin sedikit permintaan akan barang tersebut,
yang dalam hal ini adalah konsumsi rumah tangga (Lipsey,1995).

Torero (2011) mengatakan pihak yang paling terpengaruh oleh kenaikan harga beras
adalah masyarakat miskin atau masyarakat dengan pendapatan rendah. Harga makanan yang
tinggi dapat merugikan konsumen yang lebih miskin karena mereka perlu mengeluarkan
lebih banyak porsi pendapatan untuk pembelian makanan. Dampaknya, kuantitas atau
kualitas makanan yang di beli perlu dikurangi atau perlu melakukan penghematan untuk
konsumsi barang dan jasa lain yang dibutuhkan.

Sementara itu, pertumbuhan suku bunga kredit konsumsi pada bulan sebelumnya
memberikan pengaruh yang negatif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan
konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Blare (1978)

20 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga yang tinggi akan menurunkan konsumsi
serta pernyataan Keynes (1936) yang menyatakan bahwa pengaruh suku bunga terhadap
konsumsi hanya sebatas teori.

Selain itu, mengingat bahwa jumlah penduduk Indonesia yang menggunakan


kartu kredit masih relatif sedikit, maka perubahan yang terjadi pada tingkat suku bunga
kredit konsumsi tidak cukup berpengaruh terhadap perubahan konsumsi atau daya beli
masyarakat. Hal ini didukung juga dengan data jumlah Alat Pembayaran Menggunakan
Kartu (APMK) yang dirilis oleh Bank Indonesia (2016) yang menyatakan bahwa persentase
jumlah kartu kredit yang beredar hanyalah sebesar 11,34 persen dari jumlah seluruh alat
pembayaran menggunakan kartu yang beredar di masyarakat.

Terakhir, pertumbuhan pendapatan nasional pada bulan sebelumnya akan


memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi
rumah tangga pada bulan berjalan. Berdasarkan nilai koefisien parameter yang diperoleh,
dapat diartikan bahwa setiap peningkatan satu persen pertumbuhan pendapatan nasional
pada bulan sebelumnya akan meningkatkan pertumbuhan konsumsi masyarakat pada
bulan berjalan sebesar 0,05 persen. Hal ini juga sejalan dengan teori Keynes (1936) yang
menyatakan bahwa pendapatan merupakan faktor utama yang memengaruhi konsumsi,
yang mana peningkatan pendapatan akan menyebabkan peningkatan konsumsi atau daya
beli masyarakat. Selanjutnya, hasil ini juga sejalan dengan penelitian Siregar (2009) yang
menyatakan bahwa pendapatan nasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap
besarnya konsumsi masyarakat.

5. KESIMPULAN

K onsumsi rumah tangga secara signifikan dipengaruhi pertumbuhan variabel makro pada
bulan sebelumnya, variabel tersebut diantaranya konsumsi rumah tangga, harga beras,
dan pendapatan nasional. Sedangkan variabel kondisi bulan berjalan yang memengaruhi
konsumsi rumah tangga secara signifikan adalah inflasi namun memberikan efek searah.
Artinya, apabila terjadi peningkatan inflasi pada bulan berjalan, akan meningkatkan
pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Hal ini menggambarkan bahwa
adanya inflasi akan tetap membuat masyarakat membeli barang-barang yang sama.

Sementara itu, peningkatan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga


dan pendapatan nasional pada bulan sebelumnya akan meningkatkan pertumbuhan
pengeluaran konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Sebaliknya, pertumbuhan harga
beras pada bulan sebelumnya berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran
konsumsi rumah tangga pada bulan berjalan. Fakta ini semakin menguatkan hasil penelitian-
penelitian sebelumnya dan semakin menunjukkan bahwa menjaga stabilitas harga bahan
pokok terutama beras sangat memengaruhi kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan suku bunga kredit konsumtif dan

Analisis Isu Terkini 2017 21


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

perubahan DPK belum cukup bukti untuk disebut sebagai determinan konsumsi rumah
tangga karena uji statistik kedua variabel tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa
pengaruhnya tidak signifikan.

Terlepas dari hasil kajian dengan model time series yang memenuhi asumsi klasik
sehingga kesimpulan teruji secara statistik, kajian ini masih memiliki keterbatasan. Pertama,
persamaan/model yang dihasilkan menggunakan estimasi variabel konsumsi bulanan.
Meskipun secara statistik diperbolehkan, namun hasil yang diperoleh baru sebatas estimasi.
Berbeda dengan data konsumsi triwulanan yang merupakah hasil survei. Kedua, konsumsi
belum membedakan kelompok masyarakat menurut kategori penghasilan karena data
yang digunakan masih merupakan agregat. Dengan membedakan konsumsi antara
penduduk golongan penghasilan tinggi dan penghasilan menengah ke bawah, maka
pengaruh masing-masing variabel dependen pun dapat disesuaikan. Ketiga, kajian ini hanya
menampilkan variabel makro yang terbatas dan menyesuaikan kondisi ketersediaan data.
Beberapa variabel penting seperti persentase pendapatan yang ditabung dan upah buruh
secara umum belum tercakup dalam kajian mengingat ketersediaan data yang terbatas.
Data persentase pendapatan yang ditabung baru tersedia di tahun 2013, sedangkan upah
buruh secara umum hanya tersedia semesteran.

6. DAFTAR PUSTAKA

Ali, Maya Narang. 2017. Pengaruh Perubahan Harga Beras terhadap Pola Konsumsi Pangan
pada Rumah Tangga dalam Jangka Pendek di Provinsi Lampung. [Tesis]. Bandar
Lampung: Universitas Lampung.

Arifin, B. (1994). Pangan dalam Orde Baru. Cetakan kedua. Jakarta: Koperasi Jasa Informasi
(Kopinfo).

Bank Indonesia. (9 November 2017). Statistik Sistem Pembayaran. Diakses pada 9 Novem-
ber 2017 melalui http://www.bi.go.id/id/statistik/sistem-pembayaran/apmk/con-
tents/jumlah%20apmk%20beredar.aspx

Basri, F. (2017, Agustus 12). faisal Basri. Diakses pada 2 November 2017 melalui faisalbasri.
com: https://faisalbasri.com/2017/08/12/sekali-lagi-tentang-daya-beli/

BPS. (2011). Indikator Ekonomi Desember 2011. Jakarta: BPS.

BPS. (2013). Indikator Ekonomi Desember 2013. Jakarta: BPS.

BPS. (2015). Indikator Ekonomi Desember 2015. Jakarta: BPS.

BPS. (2015, April 13). BPS. Retrieved from www.BPS.go.id: https://www.bps.go.id/linkTabel-


Statis/view/id/937

BPS. (2017). Indikator Ekonomi Juli 2017. Jakarta: BPS.

22 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

BPS. (2017). Statistik Indonesia 2017. Jakarta: BPS.

BPS. (2017, Februari 1). TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA


SEPTEMBER 2016 MENURUN. Berita Resmi Statistik, p. No.15/02/Th.XX.

BPS. (2017, Juli 17). PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017. Berita Resmi Statistik,
p. No. 66/07/Th. XX.

BPS. (2017, Oktober 24). BPS. Diakses pada 9 November 2017 melalui www.bps.go.id:
https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/index

BPS. (2017, Oktober 26). BPS. Diakses pada 2 November 2017 melalui www.bps.go.id:
https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=27

Faisal Basri. (2017, Agustus 12). Diakses pada 2 November 2017 melalui www.faisalbasri.
com: https://faisalbasri.com/2017/08/12/faisal-basri-daya-beli-masyarakat-tidak-
melemah-merosot-atau-turun/
Firdaus, R., & Arianti, M. (2009). Manajemen Perkreditan Bank Umum Teori, Masalah, Kebija-
kan dan Aplikasi Lengkap dengan Analisis Kredit. Bandung: Alfabeta.

Kamus Besar. (2017, Oktober 26). Diakses pada 2 November 2017 melalui www.kamusbe-
sar.com: https://www.kamusbesar.com/daya-beli

Kusuma, H. (2017, Agustus 12). www.finance.detik.com. Diakses pada 2 November 2017


melalui detik: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3597073/faisal-basri-
daya-beli-masyarakat-ri-tidak-melemah

Lipsey, et al.. (1995). Pengantar Mikroekonomi Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara.

Lisna, V., & Rifai, N. (2012). Analisis Ekonomi Makro yang Memengaruhi Tingkat Konsumsi
Era Pemerintahan SBY Jilid I. epn ipb, 1-15.

Mursid, F. (2017, Agustus 12). Ekonomi Makro. Diakses pada 2 November 2017 melalui
Republika: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/08/12/ouklzo377-
faisal-basri-tak-ada-penurunan-daya-beli

Nur, Ermon Muh.. 2012. Konsumsi dan Inflasi Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi Volume 1,
Nomor 1, April 2012. Universitas Negeri Padang.

OJK. (2010). Statistik Perbankan Indonesia Desember 2010. Jakarta: OJK.

OJK. (2011). Statistik Perbankan Indonesia Desember 2011. Jakarta: OJK.

OJK. (2012). Statistik Perbankan Indonesia Desember 2012. Jakarta: OJK.

OJK. (2013). Statistik Perbankan Indonesia Desember 2013. Jakarta: OJK.

OJK. (2014). Statistik Perbankan Indonesia Desember 2014. Jakarta: OJK.

Analisis Isu Terkini 2017 23


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

OJK. (2015). Statistik Perbankan Indonesia Desember 2015. Jakarta: OJK.

OJK. (2016). Statistik Perbankan Indonesia Desember 2016. Jakarta: OJK.

OJK. (2017). Statistik Perbankan Indonesia Juni 2017. Jakarta: OJK.

OJK. (2017, Januari 16). OJK. Diakses pada 1 November 2017 melalui www.OJK.go.id:
http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/Documents/Pages/Sistem-Layanan-Infor-
masi-Keuangan/PEDOMAN%20PENYUSUNAN%20LAPORAN%20DEBITUR%20V6.1-
20170119.pdf

Purwati, H. (2001). Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan (Disertasi).
Bogor: IPB.

Ragandhi, Arsad. 2012. Pengaruh Pendapatan Nasional, Inflasi dan Suku Bunga Deposito
terhadap Konsumsi Masyarakat di Indonesia. [Tesis]. Surakarta: Universitas Negeri
Sebelas Maret.
Sangaji, M. (2009). Fungsi Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia (Pendekatan Model Ko-
reksi Kesalahan). Journal of Indonesian Applied Economics Vo..3 No 2 Oktober 2009,
150-165.

Sari, N. T. (2007). Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras
Rumah Tangga Di Cipinang, Jakarta Timur. Bogor: IPB.

Siregar, Khairani. (2009). Analisis Determinan Konsumsi Masyarakat di Indonesia [Tesis].


Medan: Universitas Sumatera Utara.

Torero, Maximo. 2011. Food Prices: Riding the Rollercoaster. 2011 Global Food Policy Re-
port. Washington DC: International Food Policy Research Institute.

24 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

7. LAMPIRAN

Analisis Isu Terkini 2017 25


Tema 1 Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017

26 Analisis Isu Terkini 2017


Determinan Daya Beli Indonesia 2010-2017 Tema 1

Analisis Isu Terkini 2017 27


TEMA 2

PENGARUH
INFRASTRUKTUR
TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF
TEMA 2

PENGARUH INFRASTRUKTUR
TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF

1. APAKAH PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA


BERKUALITAS?

A. Ekseternalitas Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi

P ertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak selalu mampu mengatasi masalah
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Di beberapa negara
berkembang pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata diikuti oleh peningkatan
ketimpangan (Ranieri dan Ramos, 2013). Berdasarkan pengamatan ADB (2012), ketimpangan
memiliki cakupan yang lebih luas meliputi berbagai aspek, seperti kesempatan memperoleh
asset, pendidikan dan kesehatan serta akses terhadap pasar tenaga kerja. Pada beberapa
kasus, kelompok masyarakat tertentu tidak mendapatkan manfaat yang sama akan hasil
pembangunan yang telah dicapai. Kelompok masyarakat tersebut adalah penduduk
miskin, perempuan, etnis minoritas, penduduk di wilayah terpencil atau perdesaan, dan lain
sebagainya (Klasen, 2010).

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah ketimpangan masih cukup besar?Apakah


terjadi perbaikan? Pada bahasan ini akan dikupas kondisi capaian pembangunan di Indonesia
baik dari aspek pendapatan (finansial) maupun nonfinansial. Sejatinya pembangunan
ekonomi tidak semata-mata dinilai dari aspek moneter tetapi juga dari aspek kesejahteraan
(wellbeing) secara luas, sehingga tujuan pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan
ekonomi yang tinggi semata.

B. Pengentasan Kemiskinan yang Lambat

P ertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kondisi yang


stabil pada angka 4-7 persen. Namun apakah pertumbuhan yang positif tersebut
berdampak positif bagi kesejahteraan secara umum? Terlepas dari kesuksesan pencapaian
pertumbuhan ekonomi dan target pengurangan kemiskinan, beberapa fakta menunjukkan

Analisis Isu Terkini 2017 31


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi belum memberikan kontribusi signifikan


bagi upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan.

Penelitian Afandi, dkk (2017) dengan menggunakan data 1981-2013 menunjukkan


bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mampu mengurangi kemiskinan. Selaras
dengan hal tersebut, penelitaian de Silva & Sumarto (2014) menunjukkan pertumbuhan
ekonomi di periode 2002-2012 bermanfaat bagi rumah tangga pada tingkat distribusi
pengeluaran tertinggi dan bahwa efek ‘menetes jatuh’ (trickle-down effect) diwarnai kondisi
di mana penduduk miskin menerima manfaat yang lebih sedikit secara proporsional
dibandingkan penduduk tidak miskin.

Penurunan kemiskinan di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir


memang terlihat lambat. Jumlah penduduk miskin masih berada pada kisaran 27 juta orang
atau sulit beranjak dari angka 10-11 persen. Penurunan cukup besar hanya terjadi pada
tahun 2010-2012. Berdasarkan hasil Susenas, dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk
miskin adalah anggota dari rumah tangga yang pendapatan utamanya berasal dari pertanian
dan kemiskinan tertinggi terjadi di perdesaan. Dengan demikian, salah satu faktor yang
memengaruhi kemiskinan di Indonesia adalah kesulitan dalam memberikan bantuan yang
efektif bagi para produsen pangan yang mayoritas berada di perdesaan.

Keterangan: Data 2011 - 2013 merupakan hasil backcasting dengan menggunakan proyeksi Penduduk SP 2010

Sumber: www.bps.go.id

Gambar B.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 2010-2017

C. Kesenjangan Pembangunan yang Kontras Antarwilayah

K emiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan memang memiliki karakteristik yang


berbeda. Namun dengan garis batas kemiskinan yang berbeda antar perkotaan dan
perdesaan masih menggambarkan lebih banyaknya penduduk miskin di perdesaan.
Data Susenas Maret 2017 menunjukkan bahwa pesentase penduduk miskin di perdesaan
berjumlah 13,93 persen, sedangkan di perkotaan hanya sebesar 7,72 persen.

32 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

9,93
9,13
7,68
5,83 5,41
4,16

Keterangan: Data kondisi Maret 2017

Sumber: www.bps.go.id

Gambar B.2. Persentase Penduduk Miskin menurut Pulau dan Daerah Tempat Tinggal, 2017

Di sisi lain, kesenjangan pencapaian pembangunan antarprovinsi juga masih cukup


besar. Potret suram kemiskinan sangat terlihat apabila membandingkan data antarwilayah.
Kemiskinan di kawasan timur Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan
barat (Gambar B.3). Jika dilihat menurut wilayah, Berdasarkan Berita Resmi Statistik yang di
rilis oleh BPS pada tanggal 17 Juli 2017, tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi
dan di atas 20 persen adalah Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sangat kontras
dengan kondisi di Kalimantan Selatan, Bali, dan DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskinan
di bawah 5 persen.

Keterangan: Data kondisi Maret 2017

Sumber: www.bps.go.id

Gambar B.3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Pulau, 2017

Analisis Isu Terkini 2017 33


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

D. Pendapatan Masih Belum Merata

P ertumbuhan ekonomi di Indonesia disinyalir memberikan dampak negatif terhadap


kesenjangan pendapatan. Hal ini ditunjukkan dengan rasio gini yang meningkat dari
0,341 pada tahun 2002 menjadi 0,393 pada tahun 2016. Fenomena tersebut sesungguhnya
sudah dijadikan kajian oleh para ekonom terdahulu seperti halnya yang dikemukakan Simon
Kuznet (1955). Menurut Kuznets, pada awal pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi akan diikuti dengan ketimpangan pendapatan antar penduduk yang tinggi pula.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa meningkatnya


pertumbuhan ekonomi diikuti dengan meningkatnya tingkat kesenjangan pendapatan
penduduk. Kajian yang dilakukan oleh Prapti (2006) yang menghubungkan antara
ketimpangan distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di
Jawa Tengah menggambarkan terjadinya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi
dan ketimpangan di sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Tengah. Oleh karena itu,
pertumbuhan inklusif yang mampu menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi
seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan harus diwujudkan.

Keterangan: Data 2009-2017 menggunakan Susenas Maret (semester 1)

Sumber: www.bps.go.id

Gambar B.4. Gini Rasio Indonesia Menurut daerah Tempat Tinggal, 2002-2017

34 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

E. Penurunan Pengangguran Kurang Berkualitas

D alam RPJMN 2015-2019, pertumbuhan ekonomi yang diraih diharapkan mampu


memaksimalkan potensi ekonomi dan menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan
kerja dalam pasar kerja yang layak (decent work). Salah satu kondisi decent work adalah
pekerjaan ramah keluarga miskin untuk mendorong perbaikan pemerataan, dan
pengurangan kesenjangan. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi seharusnya diikuti oleh
peluang yang besar bagi aktivitas ekonomi yang padat tenaga kerja seperti industri.

Menurut Felipe (2012), pertumbuhan inklusif adalah terjadinya full employment,


dimana semua kalangan memiliki kontribusi terhadap proses pertumbuhan ekonomi.
Oleh sebab itu, pembangunan yang inklusif terjadi jika tidak ada pengangguran. Namun,
tenaga kerja harus berkualitas agar pertumbuhan ekonomi yang diperoleh juga berkualitas.
Sayangnya, permasalahan tenaga kerja tidak terlepas dari kondisi pengangguran terselubung
(underemployment), yaitu tenaga kerja dengan jam kerja rendah, tidak memiliki skill yang
mumpuni, yang rendah, dan overstaffing yang menyebabkan ketidakefisienan output yang
dihasilkan (Felipe dan Hasan, 2006).

Sumber: Survei Angkatan kerja Nasional (Sakernas), 2010-2016

Gambar B.5. Tingkat Pengangguran Terbuka (persen), 2010-2016

Pertumbuhan makro ekonomi yang cukup kuat selama lebih dari satu dekade
secara perlahan telah mampu menurunkn angka pengangguran di Indonesia. Tingkat
pengangguran di Indonesia tahun 2016 merupakan yang terendah selama kurun waktu
tujuh tahun terakhir. Namun demikian, angka tersebut masih di atas 4 persen, sebagai
ukuran kondisi yang belum mencapai full employment.

Analisis Isu Terkini 2017 35


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Sumber: Survei Angkatan kerja Nasional (Sakernas), 2010-2016

Gambar B.6. Persentase Tenaga Kerja dengan Pendidikan SMA Ke Atas, 2010-2016

Seiring dengan penurunan tingkat pengangguran, tenaga kerja yang masuk


dalam pasar tenaga kerja berangsur-angsur menyerap tenaga kerja yang berpendidikan
tinggi. Angka Survei Angkatan kerja Naisonal (Sakernas) tahun 2016 menunjukkan bahwa
tenaga kerja dengan pendidikan minimal SMA sudah hampir 40 persen. Gambaran yang
cukup menggembirakan mengingat kondisi tahun 2010 masih berkisar 30 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi diiringi dengan peningkatan kualitas
tenaga kerja.

Pertumbuhan ekonomi selayaknya memaksimalkan potensi ekonomi dan


menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan kerja dalam pasar kerja bagi kaum terpinggirkan
atau kaum marginal. Kaum marginal dimaksud termasuk perempuan. Berdasarkan hasil
Sakernas, kesenjangan tingkat partisipasi angkatan kerja antara laki-laki dan perempuan
masih cukup besar. Meskipun jumlah perempuan yang bekerja semakin meningkat, namun
proporsinya masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) perempuan tahun 2016 hanya setengah dari jumlah perempuan usia 15 tahun ke atas
di Indonesia. Sementara laki-laki mempunyai angka TPAK sebesar 81,97 persen (BPS, 2017c).
Secara struktur, perempuan lebih banyak bekerja pada sektor informal utamanya sebagai
pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar. Kalaupun masuk dalam pekerjaan formal, upah
yang diterima masih lebih rendah dari laki-laki. Rata-rata upah buruh/karyawan perempuan
tahun 2016 sekitar 1,7 juta rupiah, sedangkan rata-rata upah buruh laki-laki sudah hampir
2 juta rupiah (BPS, 2017d). Hal ini menunjukkan selain adanya kesenjangan kesempatan
antara laki-laki dan perempuan dalam pasar tenaga kerja juga terdapat kesenjangan upah
yang diterima.

36 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Sumber: BPS dan Kemenpppa (2017)

Gambar B.7. Sumbangan Pendapatan Menurut Jenis Kelamin (persen), 2010-2016

Ketimpangan gender dalam pengupahan menyebabkan ketimpangan dalam


sumbangan pendapatan. Kontribusi pendapatan perempuan dalam menciptakan barang dan
jasa masih jauh tertinggal dari laki-laki. Menurut Klasen (2010), dalam konsep pertumbuhan
inklusif, growth yang dimaksud mensyaratkan adanya kesetaraan kesempatan antar etnis,
wilayah maupun gender. Perbedaan pendapatan yang cukup mencolok antargender
merupakan bagian dari gambaran bahwa pembangunan Indonesia belum inklusif meskipun
selama beberapa tahun telah mengalami perbaikan dalam hal kesempatan kerja. Selain itu,
manfaat pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya dirasakan oleh semua kalangan.

Analisis Isu Terkini 2017 37


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

2. PERTUMBUHAN INKLUSIF SEBAGAI TUJUAN


PEMBANGUNAN

A. Pertumbuhan Inklusif dalam RPJMN dan SDGs

D alam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 Pemerintah


Indonesia telah menjadikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan sebagai salah
satu arah kebijakan umum pembangunan nasional. Dalam dokumen perencanaan tersebut,
dijabarkan bahwa tantangan pertumbuhan inklusif diantaranya memaksimalkan potensi
ekonomi dan menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan kerja dalam pasar kerja yang
layak. Terkait dengan hal tersebut, strategi dalam pembangunan yang inklusif diantaranya
mengembangkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif, meningkatkan pelayanan
dasar bagi masyarakat kurang mampu, mengembangkan penghidupan berkelanjutan bagi
masyarakat miskin melalui penyaluran tenaga kerja dan pengembangan kewirausahaan.

Selain itu, konsep pertumbuhan inklusif juga tercakup dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam SDGs tujuan ke delapan,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, diharapkan diiringi
dengan kesempatan kerja penuh dan produktif, serta terciptanya pekerjaan yang layak
untuk semua. Dengan mencapai pertumbuhan inklusif maka tujuan SDGs lainnya seperti
mengakhiri segala bentuk kemiskinan dan mengurangi ketimpangan dapat tercapai sesuai
harapan. Oleh karena itu, pertumbuhan inklusif menjadi penting untuk diteliti sebagai
upaya untuk mencapai target SDGs pada tahun 2030.

B. Konsep Pertumbuhan Inklusif

P emikiran tentang pertumbuhan inklusif di Asia telah muncul sejak pertumbuhan


ekonomi dibarengi dengan penurunan kemiskinan dan peningkatan kesenjangan
(Klasen, 2010). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejatinya dapat meningkatkan kapasitas
perekonomian Indonesia, juga sekaligus mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Berangkat dari hal ini, maka strategi kebijakan pembangunan nasional berlandaskan pada
asumsi bahwa pertumbuhan yang tinggi akan dengan sendirinya melahirkan pemerataan
kesejahteraan bagi rakyat sesuai dengan teori trickle-down effect yang dicetuskan oleh
Albert Otto Hirschman (1958) dalam Ardi (2014).

Teori trickle-down effect menjelaskan bahwa kemajuan yang diperoleh sekelompok


masyarakat di kalangan atas dengan sendirinya akan turun menetes ke bawah melalui
penciptaan lapangan kerja dan berbagai peluang ekonomi lainnya, yang pada gilirannya akan
menumbuhkan berbagai kondisi yang mendukung terciptanya hasil-hasil pertumbuhan
ekonomi yang merata. Pembangunan yang inklusif kemudian menjadi arah pembangunan
saat ini. Penekanannya adalah pertumbuhan ekonomi harus dapat dinikmati oleh seluruh
segmen masyarakat baik dari segi proses maupun hasilnya.

38 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Pada perkembangan selanjutnya beberapa pakar/institusi mengemukakan konsep


pertumbuhan inklusif dengan pandangan yang hampir sama namun dengan pendekatan
yang berbeda. World Bank (2009) merumuskan pertumbuhan inklusif sebagai pertumbuhan
ekonomi yang perlu dan krusial untuk pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan inklusif
mengedepankan pertumbuhan berkelanjutan yang harus berbasis luas di seluruh sektor.
Tahapan terdepan adalah masalah transformasi struktural untuk diversifikasi ekonomi. Selain
itu, pertumbuhan harus melibatkan tenaga kerja negara tersebut dalam jumlah yang besar
dan dengan produktivitas yang tinggi. Oleh sebab itu, penduduk yang produktif merupakan
elemen penting dalam pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. Inklusivitas di sini
mengacu pada kesetaraan kesempatan akses ke pasar, sumber daya, dan peraturan yang
tidak bias untuk usaha dan individu.

Konsep inclusive growth yang dikemukakan oleh World Bank merupakan pendekatan
dari sisi proses. Hal ini senada dengan Ali dan Zhuang (2007) yang menekankan inklusivitas
pada persamaan kesempatan yang berarti kesempatan akses. Intinya, pertumbuhan inklusif
menciptakan peluang melalui pertumbuhan yang berkelanjutan dan memungkinkan
semua anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara setara terhadap
pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan kondisi individunya.

Sementara itu, Ali dan Son (2007) menekankan pembangunan inklusif pada sisi
outcome, yaitu kesempatan sosial (social opportunity). pertumbuhan dikatakan inklusif
apabila mampu meningkatkan fungsi peluang sosial yang terdiri dari peluang rata-rata
yang tersedia untuk populasi dan bagaimana peluang itu dibagi kepada populasi.

Pendekatan output atau outcome tentang inklusivitas pembangunan dikemukakan


oleh Anand, Mishra, dan Peiris serta Rauniyar and Kanbur. Menurut Anand, Mishra, dan
Peiris (2013) pertumbuhan inklusif sejalan dengan definisi absolut dari pertumbuhan pro
kemiskinan dimana pertumbuhan telah dianggap pro kemiskinan selama penduduk miskin
juga mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut.

Sementara itu, Rauniyar and Kanbur (2009) mendefinisikan pertumbuhan inklusif


sebagai pertumbuhan yang diikuti dengan penurunan ketimpangan pendapatan (growth
with declining inequality). Definisi ini hampir sama dengan definisi relatif dari pertumbuhan
pro-kemiskinan (pro poor growth). Perbedaannya yaitu jika pertumbuhan pro kemiskinan
menekankan terhadap ketimpangan pada kelompok miskin dan non-miskin sementara
pertumbuhan inklusif menilai ketimpangan secara lebih umum dalam seluruh kelompok
masyarakat.

Beberapa konsep di atas mengerucut pada pendekatan konsep pertumbuhan


inklusif dari dua sisi, yaitu proses dan output. Oleh sebab itu, Klasen (2010) memberikan
pandangan yang bersifat konklusif dengan mengombinasikan aspek proses dan output.
Dari sisi proses, pertumbuhan dapat dikategorikan inklusif apabila membuka luas partisipasi
dan kontribusi seluruh anggota masyarakat dengan penekanan khusus pada kemampuan
masyarakat miskin dan ketidakmampuan berpartisipasi dalam pertumbuhan (aspek

Analisis Isu Terkini 2017 39


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

nondiskriminasi dalam pertumbuhan). Dari sisi output, pertumbuhan inklusif diasosiasikan


dengan penurunan ketimpangan dalam aspek pendapatan dan nonpendapatan yang
penting dalam mendorong kesempatan ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, nutrisi,
dan integrasi sosial.

Konsep proses dan outcome dari pertumbuhan inklusif juga dikemukakan oleh
McKinley (2010) dan International Policy Centre for Inclusive Growth (IPC-IG) yang merupakan
organisasi di bawah UNDP. McKinley (2010), mengemukakan dua dimensi kunci dari
pertumbuhan inklusif yaitu pertumbuhan yang berkelanjutan yang akan menciptakan dan
memperluas peluang ekonomi, dan pertumbuhan yang memastikan akses yang lebih luas
terhadap peluang tersebut sehingga setiap anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan
memperoleh manfaat dari pertumbuhan yang dicapai.

Sedangkan IPC-IG menyaratkan bahwa pertumbuhan inklusif mencakup dimensi


participation dan benefit-sharing (Klasen, 2010). Participation berkaitan dengan proses
(keterlibatan aktif dalam memastikan bahwa pertumbuhan inklusif ) dan outcome (perluasan
jumlah penduduk produktif yang berkontribusi dalam perekonomian). Sementara benefit-
sharing terkait khususnya dengan distribusi hasil pertumbuhan, yang pada gilirannya akan
memengaruhi partisipasi.

C. Mengukur Pertumbuhan Inklusif

B elum tersedia indikator yang disepakati secara luas mengenai kemajuan dari pertumbuhan
ekonomi yang inklusif. Beberapa organisasi internasional mendefinisikan pertumbuhan
inklusif dengan pelbagai indikator masing-masing. Belum adanya standar baku dalam
mengukur inklusivitas membuka banyak pendekatan dengan berbagai indikator ukuran
inklusivitas.

Beberapa metode pengukuran yang telah dikembangkan antara lain Metode McKinley
(2010). McKinley mengajukan indeks pertumbuhan inklusif yang mencakup konsep (i)
capaian pertumbuhan berkelanjutan yang akan menciptakan dan memperluas kesempatan
ekonomi; dan (ii) kepastian akses yang lebih luas atas kesempatan ekonomi sehingga
anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan merasakan manfaat dari pertumbuhan.
Dalam ukurannya, digunakan berbagai indikator seperti: pertumbuhan ekonomi, tenaga
kerja produktif, infrastruktur ekonomi, pendapatan, kemiskinan, kesetaraan, kemampuan
sumber daya manusia, dan perlindungan sosial. Semua indikator ini memiliki bobot dan
skor berbeda yang pada akhirnya akan membentuk sebuah indeks komposit.

Pendekatan indeks komposit juga digunakan oleh Ramos, Ranieri, dan Lammens
(2013) dalam menerjemahkan pertumbuhan inklusif. Pendekatan ini bertujuan untuk
mengukur dampak dari proses pertumbuhan ekonomi dalam hal inklusivitas dengan
mengabaikan besarnya pertumbuhan yang dicapai. Metode yang digunakan berdasarkan
pada prinsip bahwa pertumbuhan inklusif merupakan suatu proses yang meningkatkan

40 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

benefit-sharing dan participation. Dalam hal ini terdapat tiga indikator yang dianalisis,
yaitu kemiskinan, ketimpangan (sebagai proksi dari dimensi benefit-sharing), dan jumlah
partisipasi angkatan kerja (sebagai proksi dari participation).

Dimensi benefit-sharing melihat apakah proses pertumbuhan membawa pada


pengurangan kemiskinan dan distribusi pendapatan. Dimensi lainnya, partisipasi,
melihat bagaimana masyarakat dilibatkan dalam proses pertumbuhan ini, mengingat
bahwa keterlibatan tersebut sangat penting untuk mendorong koherensi sosial dan
meningkatkan kapasitas. Hal ini sangat krusial dalam sebuah proses pertumbuhan inklusif
yang berkelanjutan. Proses yang partisipatif dapat ditandai dengan penciptaan lapangan
pekerjaan yang layak untuk semua.

Secara teknis, metode Ramos, Ranieri, dan Lammens (2013) membangun Indeks
Inklusivitas yang merupakan rata-rata sederhana ketiga indikator, yaitu kemiskinan,
ketimpangan, dan partisipasi angkatan kerja. Ketiga indikator tersebut diberi bobot yang
sama sebagai langkah untuk mengatasi pemberian bobot yang tidak berdasar. Nilai indeks
berkisar dari 0 sampai 1 dengan nilai-nilai yang lebih rendah mewakili kinerja yang lebih
baik. Semakin kecil nilai indeks, semakin rendah tingkat kemiskinan dan ketimpangan,
sementara tingkat partisipasi semakin tinggi, atau dengan kata lain pertumbuhan semakin
inklusif.

Metode lainnya dikemukakan oleh Anand, Mishra, dan Peiris (2013). Metode
ini menggunakan pendekatan fungsi kesejahteraan sosial yang diturunkan dari kurva
pilihan konsumen. Pertumbuhan inklusif di sini terdiri dari dua faktor, yaitu pertumbuhan
pendapatan dan distribusi pendapatan. Inklusivitas ditentukan oleh pergerakan kedua
indikator tersebut.

3. PERAN INFRASTRUKTUR DALAM PERTUMBUHAN


EKONOMI INKLUSIF

A. Pembangunan Infrastruktur untuk Pemerataan

T antangan pokok pembangunan saat ini adalah ketersediaan infrastruktur yang


merata, terutama ketersediaan infrastruktur di daerah perbatasan. Keterbatasan dan
ketidakmerataan infrastruktur menghambat investasi serta menyebabkan mahalnya biaya
logistik. Keterbatasan infrastruktur juga melemahkan daya saing perekonomian.

Dalam RPJMN 2015-2019, upaya-upaya pembangunan infrastruktur difokuskan


kepada kawasan tertinggal untuk menangani ketimpangan. Terkait dengan hal tersebut,
pemerintah saat ini telah mencanangkan berbagai program, misalnya percepatan
penyediaan infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman (air minum dan sanitasi),
infrastruktur kelistrikan, penyediaan air untuk menjamin ketahan pangan, dan penyediaan

Analisis Isu Terkini 2017 41


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

air bersih untuk masyarakat. Di samping itu, penyediaan infrastruktur perkotaan juga tetap
ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya, misalnya pengembangan sistem transportasi
massal dan revitalisasi pemukiman perkotaan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi dampak
urbanisasi.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memerlukan keseimbangan pembangunan


antarwilayah. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur juga dititikberatkan pada upaya
peningkatan konektivitas. Dengan meningkatnya konektivitas akan tercipta efisiensi
ekonomi dan kelancaran arus barang dan jasa antarwilayah di Indonesia. Hal ini juga
mendukung integrasi domestik antara pusat pertumbuhan wilayah dan daerah sekitarnya
(Bappenas, 2014).

Dalam RPJMN 2015-2019, upaya pembangunan konektivitas antara lain dilakukan


dengan membangun jalan arteri dan jalan tol, membangun jalur kereta api, mengembangkan
pelabuhan untuk mendukung tol laut, membangun bandara baru dan mengembangkan
bandara yang ada, pengembangan bandara untuk pelayanan kargo udara, moderenisasi
sistem pelayanan navigasi penerbangan dan pelayaran, membangun Bank Pembangunan
dan Infrastruktur, serta mendorong BUMN untuk mempercepat pembangunan infrastruktur.

Sejumlah proyek pembangunan infrastruktur telah direalisasikan dan akan terus


dilakukan pada masa pemerintah saat ini. Harapannya, tidak ada lagi wilayah yang tertinggal.
Dalam jangka panjang, infrastruktur diharapkan akan berpengaruh sangat besar terhadap
perekonomian dan pengurangan ketimpangan pembangunan.

B. Kondisi Infrastruktur Di Indonesia Saat Ini

K ondisi infrastruktur Indonesia secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke


tahun. Berdasarkan World Economic Forum (WEF) Report, kualitas infrastruktur Indonesia
tahun 2010-2013 memiliki peringkat di atas 60 dari 140an negara. Peningkatan peringkat
terjadi di tahun 2016. Indonesia berada pada posisi ke-52 pada tahun 2016. Meskipun
demikian, dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, kualitas infrastruktur Indonesia
sangat jauh tertinggal, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Singapura (WEF, 2017).

Begitu pula dengan peringkat Global Competitiveness Index (GCI). Indonesia hanya
lebih baik daripada Filipina. Peringkat GCI Indonesia pada tahun 2016 berada di posisi ke-
36. Indeks daya saing global ini memberikan gambaran daya saing setiap negara dengan
informasi mendalam mengenai poros penggerak produktivitas dan kesejahteraannya.
Indikator ini dapat menangkap formasi daya saing ekonomi mikro dan makro nasional.
Dengan daya saing yang meningkat, peningkatan kesejahteraan akan lebih mudah dicapai.

Dalam laporan World Economic Forum (WEF), rendahnya skor pilar infrastruktur, pilar
kesiapan teknologi, dan pilar kesehatan dan pendidikan dasar penduduk menyebabkan daya
saing Indonesia masih tertinggal (WEF, 2017). Secara lebih spesifik, kendala pilar infrastruktur
antara lain bersumber dari masih rendahnya kualitas jalan, pelabuhan, hingga kualitas

42 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

pasokan listrik. Infrastruktur yang memiliki skor yang cukup besar adalah ketersediaan
telepon selular, ketersediaan kursi untuk penerbangan, dan infrastruktur perkeretaapian.
Secara keseluruhan, ranking Indonesia dalam hal infrastruktur telah meningkat pesat. Hal
ini didukung oleh perbaikan akses telepon selular. Pada tahun 2010 skor Indonesia dalam
hal akses telepon selular berada pada ranking 98 dari 139 negara. Sedangkan tahun 2016
sudah berada di posisi 18.

Tabel B.1.Peringkat kualitas infrastruktur dan Global Competitiveness Index beberapa negara ASEAN
tahun 2010-2016

No Negara 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)


Ranking Infrastruktur
1 Singapura 5 3 2 2 2 2 2
2 Malaysia 30 26 32 29 25 24 22
3 Thailand 35 42 46 47 48 49 43
4 Indonesia 82 76 78 61 56 60 52
5 Filipina 104 105 98 96 91 95 97
Ranking GCI
1 Singapura 3 2 2 2 2 2 3
2 Malaysia 26 21 25 24 20 25 23
3 Thailand 38 39 38 37 31 34 32
4 Indonesia 44 46 50 38 34 41 36
5 Filipina 85 75 65 59 52 57 56

Catatan: jumlah negara yang dibandingkan berbeda-beda setiap tahun, tahun 2010 sebanyak 139 negara. Tahun 2011-2014 sebanyak

140an negara, tahun 2015 sebanyak 138 negara, tahun 2016 sebanyak 137 negara

Sumber: World Economic Forum dari berbagai publikasi tahunan Global Competitiveness Index

Gambaran infrastruktur nasional seperti dalam laporan WEF 2017-2018 terlihat


membaik, namun jika dilihat menurut wilayah, Indonesia masih menghadapi masalah
ketimpangan infrastruktur. Salah satunya tergambar dari aksesibilitas terhadap listrik.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), akses terhadap listrik mencapai
99,45 persen di DKI Jakarta tahun 2016. Namun, persentase rumah tangga yang telah
menggunakan sumber penerangan listrik di Papua baru mencapai 39,79 persen. Bahkan di
pedesaan Papua listrik hanya dijangkau oleh 21,89 persen rumah tangga saja (BPS, 2017a).

Analisis Isu Terkini 2017 43


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

C. Berbagai Studi Keterkaitan Infrastruktur dan


Pertumbuhan Ekonomi

Infrastruktur merupakan salah satu aspek penting perekonomian suatu negara. Dalam era
dan persaingan global saat ini, pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan tidak
dapat dicapai tanpa infrastruktur yang cukup dan efisien. Keberadaan infrastruktur yang
memadai dapat memperlancar dan mempermudah kegiatan ekonomi yang pada akhirnya
akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian secara umum. Hal ini telah banyak
dibuktikan dalam berbagai penelitian sebelumnya seperti dalam Prasetyo dan Firdaus
(2009) dan Mustajab (2009).

Dari sudut pandang komunitas bisnis, ketidaklengkapan infrastruktur merupakan


kendala terbesar kedua untuk menjalankan bisnis (World Economic Forum dalam IDB, 2010).
Hal ini diperkuat dengan hasil kajian kerjasama antara Islamic Development Bank (IDB),
Asian Development Bank (ADB), dan International Labour Organisation (ILO). Pada kajian
tersebut diperoleh hasil bahwa ketidakcukupan dan ketidaklayakan infrastruktur diketahui
sebagai hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi (IDB, 2010). Temuan-temuan tersebut
semakin menunjukkan pentingnya peranan infrastruktur dalam inklusivitas pertumbuhan
ekonomi di Indonesia.

D. Mengukur Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan


Inklusif

B erbagai kajian telah menunjukkan bahwa infrastruktur memiliki peran yang signifkan
dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, kajian mengukur pengaruh infrastruktur
terhadap pembangunan inklusif sangat menarik untuk dilakukan. Dalam hal ini diperlukan
analisis model persamaan simultan dengan data panel. Model persamaan simultan dipilih
dengan adanya informasi apriori dari berbagai penelitian sebelumnya yang membuktikan
adanya hubungan simultanitas antardimensi pertumbuhan inklusif yang digunakan.

Hubungan simultanitas ini dibuktikan antara lain oleh Bourguignon (2004), Ali dan
Son (2007), Felipe dan Hasan dalam Ali dan Zhuang (2007), Berg dan Ostry (2011), serta
Fadly (2011). Penelitian-penelitian tersebut menggunakan kerangka konseptual yang
berbeda-beda namun mengacu pada hal yang sama yaitu mengaitkan berbagai indikator
pertumbuhan ekonomi inklusif secara simultan. Menurut Chow dalam Rizqal (2010), model
persamaan simultan baik untuk digunakan karena sistem persamaan simultan merupakan
suatu model yang cocok untuk banyak aplikasi ekonomi. Sebuah model ekonomi biasanya
mengandung beberapa hubungan saling memengaruhi yang digambarkan dalam sebuah
sistem persamaan. Dalam hal ini, model persamaan simultan dapat digunakan untuk
menjelaskan permasalahan ekonomi dengan variabel yang saling berkaitan dan kompleks
sehingga lebih mampu menggambarkan kondisi sebenarnya.

44 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Data yang digunakan untuk kajian ini adalah data panel. Data panel lebih mampu
menggambarkan fenomena yang bersifat dinamis dibandingkan dengan data time-
series atau data cross-section (Baltagi, 2005). Penggunaan data time series dengan satu
angka tunggal saja untuk mewakili seluruh provinsi akan menghilangkan keragaman dari
karakteristik yang ada di masing-masing provinsi tersebut. Sementara itu, penggunaan data
cross-sectional dengan periode penelitian satu tahun saja tidak dapat menggambarkan
perubahan kondisi infrastruktur dan dimensi pertumbuhan inklusif yang digunakan.
Disinilah kelebihan penggunaan data panel. Data panel mampu mengontrol heterogenitas
wilayah.

E. Kerangka Pikir Keterkaitan Infrastruktur dan


Pertumbuhan Inklusif

D engan mempertimbangkan konsep inklusif yang telah diajukan oleh berbagai pihak/
pakar (Ali dan Zhuang, 2007; Ali dan Son, 2007; World Bank, 2009; Rauniyar and
Kanbur, 2009; Klasen, 2010; McKinley, 2010; Anand, Mishra, dan Peiris, 2013), pertumbuhan
inklusif didefinisikan sebagai pertumbuhan yang secara proses memberikan akses untuk
semua golongan masyarakat dan memberikan manfaat untuk masyarakat yang seluas-
luasnya sehingga terjadi penurunan ketimpangan dan kemiskinan. Ada beberapa dimensi
yang tersirat dalam konsep tersebut, yaitu pertumbuhan ekonomi itu sendiri, distribusi
pendapatan, ketimpangan (gini ratio), penyerapan tenaga kerja yang dapat digambarkan
oleh penduduk bekerja atau partisipasi angkatan kerja, dan kemiskinan.

Capaian dimensi pertumbuhan inklusif tersebut dipengaruhi oleh pembangunan


infrastruktur. Michael dalam ADB, (2012), misalnya menemukan bahwa Infrastruktur dapat
menciptakan lapangan kerja dan aktivitas ekonomi. Pengeluaran untuk infrastruktur dapat
menstimulasi aktivitas ekonomi, meningkatkan kesempatan ekonomi, dan pada akhirnya
menciptakan lapangan kerja. Calderon dan Serven (2005) juga membuktikan bahwa
infrastruktur memiliki dampak yang signifikan positif pada pertumbuhan ekonomi dan
signifikan negatif pada ketimpangan.

Penelitian Gibson dan Olivia (2009) membuktikan bahwa kualitas dari infrastruktur
jalan dan listrik memengaruhi lapangan kerja dan pendapatan dari usaha nonpertanian
masyarakat perdesaan di Indonesia. Kurangnya akses terhadap infrastruktur jalan dan
listrik serta rendahnya kualitas infrastruktur menghambat usaha nonpertanian rumah
tangga perdesaan. Rumah tangga cenderung tidak memiliki usaha nonpertanian dan
berpendapatan di bawah usaha nonpertanian apabila mereka tinggal di daerah yang lebih
terpencil, memiliki kualitas jalan yang buruk, tidak ada akses listrik, dan sering menderita
pemadaman listrik.

Analisis Isu Terkini 2017 45


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Gambar B.8. Kerangka Pikir Keterkaitan Infrastruktur dan Pertumbuhan Inklusif

Sementara itu, Brenneman dan Kerf (2002) dalam penelitiannya mengenai


“Infrastructure and Poverty Linkages: A Literature Review” menemukan bahwa infrastruktur
dibidang transportasi, telekomunikasi, dan energi; memberikan dampak yang sangat kuat
terhadap peningkatan pertumbuhan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur air dan
sanitasi belum memberikan dampak yang signifikan.

Berbagai ahli mengemukakan bahwa dalam pertumbuhan inklusif, masing-masing


dimensi memiliki keterkaitan satu sama lain, bahkan berbagai penelitian telah membuktikan
keterkaitan tersebut. Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh terhadap penciptaan
lapangan kerja (Tambunan, 2011), distribusi pendapatan (Kuznets, 1955; Berg dan Ostry,
2011; Ramos, Ranieri, dan Lammens, 2013), dan jumlah penduduk miskin (Tambunan,
2011). Jumlah penduduk yang bekerja memengaruhi distribusi pendapatan dan jumlah
penduduk miskin (Tambunan, 2011; Felipe dan Hasan dalam Ali dan Zhuang; 2007). Sebagai
faktor produksi, penduduk yang bekerja memengaruhi pertumbuhan ekonomi (Ranis,
2004). Distribusi pendapatan memengaruhi pertumbuhan ekonomi (Berg dan Ostry, 2011)
dan konsumsi (Fadli, 2011). Konsumsi rumah tangga memengaruhi pertumbuhan ekonomi
(Keyness dalam Fadly, 2011). Konsumsi rumah tangga merupakan variabel penghubung
dimensi pembangunan inklusif dengan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan keterkaitan tersebut, hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia sudah inklusif, yaitu mampu untuk
meningkatkan kesempatan kerja, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan
menurunkan tingkat kemiskinan.

46 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

2. Tingkat kesempatan kerja menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat


kemiskinan, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

3. Banyaknya penduduk miskin menurunkan konsumsi masyarakat.

4. Konsumsi masyarakat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

5. Infrastruktur meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan partisipasi kerja, dan


menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan.

Untuk pengujian hipotesis tersebut, diperlukan berbagai data yang mayoritas


bersumber dari BPS, antara lain:

1. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (PDRB riil) 2010

Indikator ini menggambarkan nilai tambah barang dan jasa selama satu tahun. Nilai PDRB ini
dihitung menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan
satuan miliar rupiah. Angka yang dihasilkan dari indikator ini adalah pertumbuhan ekonomi.
Data PDRB diperoleh dari Publikasi Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di
Indonesia Menurut Penggunaan yang dikeluarkan oleh BPS.

2. Tingkat kesempatan kerja

Yaitu persentase penduduk yang bekerja terhadap keseluruhan usia kerja (15 tahun ke atas).
Penduduk yang bekerja adalah mereka penduduk yang melakukan kegiatan/pekerjaan
paling sedikit satu jam berturut-turut selama satu minggu yang lalu dengan maksud untuk
memperoleh pendapatan dan keuntungan. Data indikator ini diperoleh dari Publikasi
Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Kondisi Agustus yang di publikasikan oleh BPS.

3. Koefisien gini

Indikator ini mencerminkan ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan


kelas pendapatan. Datanya diperoleh dari website BPS

4. Persentase penduduk miskin

Yaitu persentase penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di


bawah garis kemiskinan. Datanya diperoleh dari website BPS

5. Pengeluaran konsumsi rumah tangga

Konsumsi rumah tangga mencakup pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga atas
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok secara langsung,
Pengeluaran rumah tangga di sini mencakup makanan dan minuman selain restoran;
pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya; perumahan dan perlengkapan rumah tangga;
kesehatan dan pendidikan; transportasi dan komunikasi; restoran dan hotel serta lainnya
(BPS, 2017). Data pengeluaran konsumsi diperoleh dari Publikasi PDB Menurut Pengeluaran
yang ditebitkan oleh BPS.

Analisis Isu Terkini 2017 47


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

6. Panjang jalan

Panjang jalan yang dimaksud adalah total panjang jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan
kabupaten/kota dalam satuan Km. Datanya diperoleh dari Publikasi Statistik Transportasi
Darat yang dikeluarkan oleh BPS.

7. Jumlah listrik yang didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial

Indikator ini menggambarkan besarnya energi listrik dalam satuan GWh yang disalurkan dari
pembangkitan kepada konsumen dengan jenis pelanggan industri dan bisnis/komersial.
Datanya diperoleh dari Publikasi Statistik Listrik yang dikeluarkan oleh BPS.

8. Persentase lahan sawah irigasi

Indikator ini merupakan persentase dari luas lahan sawah teknis, setengah teknis, sederhana
dan irigasi desa terhadap keseluruhan luas lahan sawah. Luas lahan irigasi teknis adalah
lahan sawah yang mempunyai jaringan irigasi dimana saluran pemberi terpisah dari saluran
pembuang agar penyediaan dan pembagian air ke dalam lahan sawah tersebut dapat
sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah.

Lahan sawah irigasi setengah teknis adalah lahan sawah yang memperoleh irigasi dari
irigasi setengah teknis. Sama halnya dengan pengairan teknis, namun dalam hal ini Dinas
Pekerjaan Umum (PU) hanya menguasai bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan
mengukur pemasukan air, sedangkan pada jaringan selanjutnya tidak diukur dan tidak
dikuasai oleh PU.

Lahan sawah irigasi sederhana adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari irigasi
sederhana yang sebagian jaringannya (bendungan) dibangun oleh PU.

Lahan sawah irigasi desa/non PU adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari
sistem pengairan yang dikelola sendiri oleh masyarakat.

9. Volume air yang disalurkan kepada pelanggan niaga

Indikator ini merupakan volume air bersih dalam satuan m3 yang disalurkan oleh perusahaan
air bersih (PAM, PDAM, dan BPAM) kepada pelanggan dengan kategori niaga kecil dan niaga
besar. Datanya diperoleh dari Publikasi Air Bersih yang dikeluarkan oleh BPS.

Niaga kecil meliputi kios/warung pedagang kaki lima, toko/percetakan, kantor perusahaan
swasta, biro jasa, rumah makan, losmen penginapan, rumah sakit swasta, radio siaran
nonpemerintah, klinik swasta, bengkel kecil, salon kecil, pangkas rambut, wisma, hotel
nonbintang, notaris, pengacara, konsultan, wartel, catering, praktik dokter, apotek, toko
obat, badan usaha yang bernaung di bawah satu yayasan serta niaga kecil lainnya.

Niaga besar meliputi perusahaan importir, eksportir, agen makelar, komisioner, swalayan,
rumah sakit swasta tipe A, B, dan C; kolam renang umum swasta, pompa bensin, distributor,
pedagang besar, night club, kafe, diskotik, steambath, hotel berbintang, restoran, department
store, supermarket, bioskop, bank, BUMN, BUMD, PT, CV, tempat karaoke, bengkel besar,

48 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

service station, showroom, gedung bertingkat tinggi, condominium, dan usaha-usaha besar
lainnya.

10. Persentase rumah tangga dengan sumber penerangan listrik

Indikator ini adalah proporsi rumah tangga yang memiliki sumber penerangan listrik yang
dikelola oleh PLN maupun listrik yang dikelola oleh instansi/pihak lain dibandingkan dengan
seluruh rumah tangga yang ada. Datanya diperoleh dari Publikasi Statistik Kesejahteraan
Rakyat yang dikeluarkan oleh BPS.

11. Rata-rata Upah Buruh

Upah/gaji adalah imbalan yang diterima selama sebulan oleh buruh/karyawan baik
berupa uang atau barang yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan. Imbalan dalam
bentuk barang dinilai dengan harga setempat. Upah/ gaji bersih yang dimaksud tersebut
adalah setelah dikurangi dengan potongan-potongan iuran wajib, pajak penghasilan dan
sebagainya. Datanya diperoleh dari Publikasi Keadaan Angkatan Kerja BPS.

12. Pengeluaran pemerintah

Indikator ini didefinisikan sebagai jumlah seluruh pengeluaran pemerintah yang meliputi:
pembelian barang dan jasa (belanja barang), pembayaran balas jasa pegawai (belanja
pegawai) dan, penyusutan barang modal dengan satuan miliar rupiah. Data pengeluaran
konsumsi diperoleh dari Publikasi PDB Menurut Pengeluaran yang ditebitkan oleh BPS.

Sementara itu, definisi pertumbuhan inklusif dalam kajian ini adalah apabila pertumbuhan
ekonomi yang terjadi diiringi dengan peningkatan kesempatan kerja, penurunan
ketimpangan pendapatan, dan penurunan kemiskinan. Selanjutnya, akan dianalisis
peranan infrastruktur ekonomi berupa panjang jalan, energi listrik, dan air bersih, terhadap
inklusivitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk menjawab hal tersebut, kajian ini
menggunakan pemodelan dengan lima buah persamaan simultan (simultaneous equation
model).

Data yang digunakan untuk analisis mencakup 34 provinsi dengan periode 2010-
2016. Untuk mendapatkan data Kalimantan Utara yang belum tersedia pada periode 2010-
2014 dilakukan interpolasi sehingga diperoleh hasil estimasi. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program Eviews 9.0.

Analisis model persamaan simultan dalam kajian ini dilakukan dengan proses statistik
yang cukup kompleks dengan mempertimbangkan tahapan yang dikemukakan oleh
Gujarati dan Porter (2009) serta Rhoads (1991). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penentuan variabel endogen dan variabel eksogen yang akan digunakan dalam setiap
persamaan struktural

2. Pengujian simultanitas dari variabel endogen

3. Identifikasi model persamaan struktural dengan order condition dan rank condition

Analisis Isu Terkini 2017 49


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

4. Estimasi persamaan reduced form

5. Estimasi persamaan struktural menggunakan metode ILS atau 2SLS berdasarkan hasil
identifikasi model persamaan

6. Pengujian asumsi klasik persamaan struktural

7. Interpretasi model yang digunakan dan penarikan kesimpulan.

Adapun rincian persamaan simultan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

Persamaan I

Log(PDRB)(it) =
α1+β11Log(Kons)(it)+β12Bekerja(it)+β13Log(Jalan)(it)+β14Log(Air)(it)

+β15Log(Listrik)(it)+ β16Irigasi_P(it)+u1(it)

Persamaan II

Bekerja(it) `=
α2+β21Log(PDRB)(it)+β22Log(Jalan)(it)+β23Log(Air)(it
)
+β24Log(Listrik)(it)+u2(it)

Persamaan III

Gini(it) =
α3+β31Log(PDRB)(it)+β32Bekerja(it)+β33Listrik_P(it)+Β34Log(Upah)(it)

+u3(it)

Persamaan IV

Miskin(it) = α4+β41Log(PDRB)(it)+β42Bekerja(it)+u4(it)

Persamaan V

Log(Kons)(it) = α5+β51Miskin(it)+β52Gini(it)+β53Log(G)(it)+u5(it)

Keterangan:

PDRB = PDRB ADHK 2010 (miliar rupiah)

Bekerja = Persentase penduduk bekerja dari keseluruhan penduduk


usia kerja (%)

Gini = Koefisien Gini

Miskin = Persentase penduduk miskin (%)

Kons = Agregat pengeluaran konsumsi rumah tangga (miliar


rupiah)
Jalan = Panjang jalan (km)

Air = Jumlah air bersih disalurkan kepada pelanggan kategori


niaga dan industri (m3)

50 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Listrik = Jumlah listrik didistribusikan kepada kelompok pelanggan


komersial dan industri (GWh)

Listrik_P = Persentase rumah tangga dengan sumber penerangan listrik


(%)

Irigasi_P = Persentase lahan sawah irigasi (%)

Upah = Rata-rata upah buruh/karyawan (rupiah)

G = Pengeluaran pemerintah (miliar rupiah)

4. ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP


PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF

A. Identifikasi Model Simultan

B erdasarkan hasil uji statistik sesuai dengan tahapan yang dijelaskan pada bahasan
sebelumnya, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan:

1. Model yang digunakan terbukti valid. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F-statistic pada semua
persamaan struktural dan reduced form yang signifikan pada taraf uji 1 persen. Artinya,
variabel-variabel penjelas yang digunakan pada setiap persamaan struktural dan reduced
form secara simultan (bersama-sama) signifikan dalam memengaruhi variabel tak bebas.

2. Nilai adjusted R-Squared pada persamaan-persamaan yang digunakan juga cukup besar,
menunjukkan besarnya proporsi variasi dari variabel tak bebas yang bisa dijelaskan oleh
variabel bebas dimasing-masing model sudah baik.

3. Pada pengujian simultanitas, terbukti adanya masalah simultanitas pada persamaan


semua persamaan sehingga two-stage least square (2SLS) digunakan dalam estimasi.

4. Model estimasi yang digunakan untuk persamaan struktural dan reduced form persamaan
I dan V adalah model common effect sedangkan pada persamaan lainnya menggunakan
model fixed effect.

Semua persamaan menggunakan metode estimasi Feasible Generalized Least Square


(FGLS) dengan Seemingly Uncorrelated Regression (SUR) karena hasil uji Lagrange Multiplier
(LM test) untuk struktur varians-kovarians residual model adalah heteroskedastik dan hasil
uji λLM juga membuktikan bahwa terdapat cross-sectional correlation pada model. Oleh
karena itu, estimasi dilakukan dengan metode 2SLS dengan metode estimasi FGLS dengan

Analisis Isu Terkini 2017 51


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

SUR untuk mengakomodasi terjadinya pendugaan yang tidak efisien akibat pelanggaran
terhadap asumsi homoskedastisitas dan untuk mengatasi adanya gangguan correlation
antar-cross-section pada saat permodelan.

5. Model telah memenuhi asumsi normalitas

̂ (𝑖𝑖𝑖𝑖) = 0,483𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐾𝐾𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜)(𝑖𝑖𝑖𝑖) + 0,040𝐵𝐵𝐵𝐵𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘(𝑖𝑖𝑖𝑖) +


𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃)
0,057𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽)(𝑖𝑖𝑖𝑖) + 0,044𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴)(𝑖𝑖𝑖𝑖) +
0,295𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿)(𝑖𝑖𝑖𝑖) − 0,005𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼_𝑃𝑃(𝑖𝑖𝑖𝑖)

̂ (𝑖𝑖𝑖𝑖)
𝐵𝐵𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑎𝑎 = (39,838 + 𝜇𝜇2) + 5,133 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃)(𝑖𝑖𝑖𝑖) +
0,117 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽)(𝑖𝑖𝑖𝑖) + 0,195 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴)(𝑖𝑖𝑖𝑖) −
1,297 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿)(𝑖𝑖𝑖𝑖)

̂
𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝑖𝑖 (𝑖𝑖𝑖𝑖) = (−0,784 + 𝜇𝜇3) + 0,111𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃)(𝑖𝑖𝑖𝑖) +
0,014𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑎𝑎(𝑖𝑖𝑖𝑖) − 0,0004𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿_𝑃𝑃(𝑖𝑖𝑖𝑖) – 0,100𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈𝑈ℎ)(𝑖𝑖𝑖𝑖)

̂(𝑖𝑖𝑖𝑖)
𝑀𝑀𝑖𝑖𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 = (75,969 + 𝜇𝜇4) − 7,796𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿(𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃)(𝑖𝑖𝑖𝑖) + 0,290𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝑖𝑖𝑖𝑖)

̂ (𝑖𝑖𝑖𝑖) = − 0,053𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘(𝑖𝑖𝑖𝑖) − 0,768𝐺𝐺𝐺𝐺𝑛𝑛𝑛𝑛(𝑖𝑖𝑖𝑖) + 1,245𝐿𝐿𝑜𝑜𝑜𝑜(𝐺𝐺)(𝑖𝑖𝑖𝑖) 


𝐿𝐿𝑜𝑜𝑜𝑜(𝐾𝐾𝐾𝐾𝑛𝑛𝑛𝑛)

52 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Secara ringkas, proses penyusunan model adalah seperti tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel B.2. Ringkasan Model Simultan

Variabel Variabel
Koefisien Ringkasan Statistik Model Estimasi Regresi Panel
Dependen Independen
(1) (2) (3) (4) (5)
Log(PDRB) Log(Kons) 0,483* R-Squared 0,99104 Common Effect Model
Bekerja 0,040* Adj. 0,99085
Log(Jalan) 0,057* Prob 0,00000
Log(Air) 0,044*
Log(Listrik) 0,295*
Irigasi_P -0,005*

Bekerja C 39,838* R-Squared 0.91308 Fixed Effect Model


Log(PDRB) 5,133* Adj. 0.89700
Log(Jalan) 0,117 Prob 0,00000
Log(Air) 0,195
Log(Listrik) -1,297

Gini C -0,784 R-Squared 0.83506 Fixed Effect Model


Log(PDRB) 0,111** Adj. 0.80455
Bekerja 0,014 Prob 0,00000
Listrik_P -0,000
log(upah) -0,100*

Miskin C 75,969* R-Squared 0.98325 Fixed Effect Model


Log(PDRB) -7,796* Adj. 0.98034
Bekerja 0,290* Prob 0,00000

Log(Kons) Miskin -0,053* R-Squared 0,94913 Common Effect Model


Keterangan : * signifikan dengan tingkat kepercayaan 95 persen
** signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 persen

Analisis Isu Terkini 2017 53


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

B. Pertumbuhan Ekonomi Menciptakan Kesempatan Kerja


Yang Lebih Besar

P ara pakar telah merumuskan definisi yang hampir serupa mengenai pertumbuhan
inklusif. Kesetaraan kesempatan dan akses atau partisipasi dalam proses ekonomi menjadi
salah satu elemen kunci dalam terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (Ali
dan Zhuang, 2007; Klasen, 2010; McKinley, 2010; IPC-IG dalam Klasen, 2010; Ramos, Ranieri,
& Lammens, 2013). Harapannya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan
kapasitas produksi yang diikuti dengan peningkatan output dan peningkatan kesempatan
kerja.

Berdasarkan hasil kajian, pada persamaan II tergambar bahwa variabel pertumbuhan


ekonomi terbukti signifikan memengaruhi variabel jumlah penduduk bekerja secara
langsung. Dari hasil ini, dengan tingkat kepercayaan 95 persen dapat dinyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia dapat menciptakan kesempatan kerja.
Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen menyebabkan peningkatan kesempatan
kerja sebesar 0,051 persen pada kondisi variabel yang lain tetap (ceteris paribus).

Hasil kajian ini mendukung teori Okun’s Law yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran (Mankiw,
2013). Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat pengangguran.
Tingkat pengangguran merupakan kondisi negatif dari tingkat kesempatan kerja.

Peningkatan tingkat kesempatan kerja menggambarkan semakin banyaknya


partisipasi penduduk dalam kegiatan perekonomian. Semakin banyak penduduk yang
terlibat pada kegiatan perekonomian, manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi
dapat dinikmati oleh semakin banyak anggota masyarakat. Partisipasi kerja yang semakin
besar menunjukkan pertumbuhan yang terjadi semakin inklusif. Sebagaimana dinyatakan
Ali dan Son (2007), pertumbuhan dapat dinyatakan inklusif apabila mampu meningkatkan
fungsi kesempatan sosial dalam hal ketersediaan kesempatan kerja bagi masyarakat.
Senada dengan hal tersebut, Felipe (2012) berpendapat bahwa pertumbuhan inklusif
adalah terjadinya full employment, dimana semua kalangan memiliki kontribusi terhadap
proses pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pembangunan yang inklusif terjadi jika
pengangguran sangat kecil

C. Pertumbuhan Ekonomi Berpeluang Meningkatkan


Ketimpangan Distribusi Pendapatan

E lemen kedua dalam pertumbuhan ekonomi inklusif adalah peningkatan pertumbuhan


ekonomi yang menjamin pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif
akan terjadi bersamaan dengan penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Sayangnya,
hasil kajian ini memberikan gambaran kurang menggembirakan. Berdasarkan persamaan

54 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

III, pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum mampu menurunkan ketimpangan distribusi
pendapatan. Pertumbuhan ekonomi justru terbukti signifikan meningkatkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen dapat meningkatkan
koefisien gini sebesar 0,001 poin dengan asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus).

Fenomena ini menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh


sebagian kecil penduduk. Hal ini diperkuat dengan fakta yang ditunjukkan dalam hasil
penghitungan BPS terkait dengan distribusi pengeluaran. Pada tahun 2016, hampir separuh
(46,89 persen) kue pembangunan hanya dinikmati oleh penduduk berpengeluaran tinggi.
Sementara itu, 40 persen penduduk berpengeluaran rendah hanya menikmati 17,02 persen
saja (BPS, 2017b).

Fakta ini bukan menjadi sesuatu hal yang mengejutkan. Poverty Global Practice
Bank Dunia (2016) pernah melakukan kajian dengan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan selama 15 tahun di Indonesia telah membantu mengurangi kemiskinan
dan menciptakan kelas menengah yang berkembang. Namun, pertumbuhan selama
satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen penduduk terkaya, sementara
sisanya—sekitar 205 juta orang—tertinggal dalam pembangunan. Meningkatnya
kesenjangan standar hidup dan semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang
menyebabkan tingkat ketimpangan Indonesia relatif tinggi dan naik lebih cepat daripada
sebagian besar negara tetangga di Asia Timur.

Jika melihat struktur perekonomian Indonesia lebih dalam, ketimpangan ini disinyalir
akibat kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang bertumpu pada sektor non-tradable.
Sektor-sektor tersebut bukan menjadi tempat bergantung penduduk berpengeluaran
rendah. Sektor non-tradable merupakan sektor yang menghasilkan keluaran produk
yang tidak dapat diperdagangkan di luar negeri, seperti properti, transportasi, pergudangan,
informasi, komunikasi dan lain-lain. Sedangkan sektor tradable terdiri dari sektor primer
seperti pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian serta industri
pengolahan atau manufaktur (Kemendag, 2017).

Pada periode 2010-2016 sektor tradable memiliki pertumbuhan ekonomi yang selalu
di bawah rata-rata. Bahkan pertambangan dan penggalian sempat mengalami pertumbuhan
negatif di tahun 2015. Lapangan usaha pertanian pun selalu tumbuh di bawah 5 persen
dan lebih menggantungkan pada perikanan yang saat ini menjadi salah satu primadona
perekonomian. Padahal, sektor pertanian menjadi mata pencaharian sepertiga penduduk
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang rendah pada sektor-sektor ini menyebabkan
distribusi hasil pembangunan kurang menguntungkan 46,27 persen penduduk yang
menggantungkan pada sektor tradable tersebut.

Fakta hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan yang kurang sesuai
harapan juga konsisten dengan hasil persamaan III. Pada persamaan III, tersirat bahwa setiap
peningkatan kesempatan kerja sebesar 1 persen poin dapat meningkatkan ketimpangan
pendapatan sebesar 0,014 poin dengan asumsi variabel yang lain konstan (ceteris paribus).

Analisis Isu Terkini 2017 55


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Kesempatan kerja yang semakin meningkat tidak mampu menurunkan ketimpangan


pendapatan.

Selain karena pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak pada sektor yang
nontradable ada beberapa alasan terkait dengan hal ini. Pertama, dari persamaan I diperoleh
kesimpulan bahwa peningkatan kesempatan kerja akan menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi, sementara pertumbuhan ekonomi signifikan meningkatkan gini
rasio. Kedua, lapangan pekerjaan yang tercipta lebih banyak usaha informal dibandingkan
sektor formal. Data Sakernas 2010-2016 menunjukkan komposisi sektor informal lebih
dari 50 persen. Selain itu, konsep kesempatan kerja yang memasukkan pekerja keluarga/
pekerja tidak dibayar sebagai tenaga kerja memiliki kelemahan. Indikator kesempatan kerja
belum menggambarkan kualitas dan kesejahteraan dari tenaga kerja yang bersangkutan.
Ketiga, gini rasio diukur dari pengeluaran yang merupakan proksi dari pendapatan. Dengan
demikian, faktor yang memengaruhi secara langsung terhadap ketimpangan adalah
pendapatan, bukan kesempatan kerja. Hal ini dibuktikan oleh hubungan rata-rata upah
dengan gini pada persamaan III yang signifikan negatif. Setiap kenaikan 1 persen upah,
maka akan menurunkan gini sebesar 0,001 poin.

D. Pengaruh Infrastruktur Cukup Signifikan sebagai Booster


Pertumbuhan Ekonomi

D ari persamaan I, dapat dibuktikan secara statistik bahwa infrastruktur berpengaruh


secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur panjang jalan, jumlah
listrik yang didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial, serta volume air bersih
yang disalurkan kepada pelanggan niaga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan penelitian Panggabean dalam Prasetyo (2010) yang membuktikan
pengaruh infrastuktur berupa jalan, listrik, air bersih, telepon, pendidikan, dan kesehatan
terhadap pertumbuhan ekonomi.

Jalan merupakan infrastruktur terpenting di bidang transportasi. Infrastruktur


transportasi sendiri berperan penting dalam proses ekonomi, utamanya dalam
pendistribusian barang dan jasa. Pada persamaan I, dengan tingkat kepercayaan 95 persen,
pertumbuhan panjang jalan sebesar 1 persen dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,057 persen dengan asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus).

Selanjutnya, air merupakan salah satu kebutuhan utama kegiatan perekonomian.


Pada persamaan I, pertumbuhan volume air yang disalurkan kepada pelanggan niaga
sebesar 1 persen dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,044 persen dengan
asumsi variabel yang lain konstan (ceteris paribus). Pelanggan niaga yang dimaksud cukup
beragam yang meliputi niaga kecil seperti kios/warung pedagang kaki lima, toko, rumah
makan, bengkel kecil, dll, hingga usaha berskala besar yang disebut niaga besar meliputi
perusahaan importir, eksportir, swalayan, gedung bertingkat tinggi, condominium, dan
usaha-usaha besar lainnya.

56 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Infrastruktur lainnya yang cukup vital adalah listrik. Pada persamaan I, infrastruktur
listrik memiliki elastisitas terbesar. Dalam kehidupan modern saat ini, listrik sudah menjadi
kebutuhan pokok untuk menunjang setiap aktivitas manusia. Hampir semua peralatan
yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-harinya membutuhkan energi listrik.
Dalam konteks perekonomian, mayoritas dunia industri dan komersial membutuhkan
listrik dalam menjalankan kegiatannya. Pada persamaan I, pertumbuhan energi listrik yang
didistribusikan pada kelompok pelanggan industri dan komersial/bisnis sebesar 1 persen
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,295 persen dengan asumsi variabel
lain konstan (ceteris paribus).

Di sisi lain, variabel irigasi belum layak disebut sebagai booster pertumbuhan
ekonomi yang signifikan. Hal ini tunjukkan dengan pengaruh kenaikan persentase lahan
irigasi yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dikaitkan dengan kualitas
lahan irigasi yang belum tergambar dari kajian ini. Berdasarkan informasi BPN (2011),
infrastruktur jaringan dan lahan irigasi masih buruk. Dari 7,7 juta ha lahan berpengairan
teknis, hanya 40-50 persen saja yang layak digunakan. Disamping itu, kajian BPS & FEM-
IPB (2015) memperoleh kesimpulan bahwa pengaruh irigasi pada efisiensi produksi padi
yang signifikan positif hanya terjadi pada 10 provinsi saja. Bahkan pada Provinsi Sumatera
Selatan, NTT, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, dan Kalimantan Tengah penggunaan lahan
irigasi justru menyebabkan inefisiensi produksi padi.

E. Pengaruh Infrastruktur terhadap Kesempatan Kerja Tidak


Secara Langsung

D alam kaitannya dengan partisipasi kerja, menurut Dintilhac, Ruiz-Nunez, dan Wie
(2015), infrastruktur dapat meningkatkan partisipasi kerja melalui dua dimensi, yaitu (i)
infrastruktur sebagai sumber langsung penciptaan lapangan kerja (misalnya pembangunan
dan pemeliharaan infrastruktur secara langsung akan menciptakan pekerjaan), dan (ii)
infrastruktur sebagai input bagi proses pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya akan
menciptakan lapangan pekerjaan di berbagai sektor lain.

Pengaruh infrastruktur terhadap penciptaan lapangan pekerjaan secara langsung


dinyatakan pada persamaan II. Namun, pada persamaan ini, baik infrasturuktur panjang
jalan, jumlah listrik yang didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial, maupun
volume air yang disalurkan kepada pelanggan niaga tidak berpengaruh secara signifikan
pada pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur tersebut
belum secara langsung menjadi sumber penciptaan lapangan kerja.

Fakta infrastruktur sebagai sumber langsung penciptaan kerja yang kurang signifikan
terlihat dari kontribusi kategori lapangan usaha Listrik, Gas dan Air dalam penciptaan
lapangan kerja hanya di bawah 1 persen (BPS, 2017d). Sedangkan sektor lain yang
berkaitan dengan infrastruktur jalan dan penyerapan tenaga kerja adalah sektor konstruksi.
Berdasarkan data Sakernas 2016, pekerja konstruksi hanya sekitar 7 persen. Namun angka
tersebut termasuk konstruksi lainnya seperti bangunan.

Analisis Isu Terkini 2017 57


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Sementara itu, dari sisi proses produksi, penggunaan infrastruktur seperti listrik
memiliki keterkaitan yang lemah dengan penciptaan kesempatan kerja. Dalam kasus tertentu,
peningkatan penggunaan listrik dalam dunia produksi bisa jadi mengurangi kesempatan
kerja. Hal ini berkaitan erat dengan penggunaan mesin-mesin untuk menunjang proses
produksi. Penggunaan mesin-mesin ini di sisi lain seringkali menggantikan posisi manusia.
Akibatnya, peningkatan penggunaan listrik di dunia industri dan komersial tidak berkaitan
dengan penciptaan lapangan kerja bahkan pada proses otomatisasi, penggunaan mesin-
mesin dapat mengurangi industri padat karya. Namun kondisi ini terjadi dalam jangka
panjang.

Sementara itu, pengaruh tidak langsung infrastruktur dalam meningkatkan partisipasi


kerja melalui pertumbuhan ekonomi dinyatakan dengan persamaan I. Infrastruktur panjang
jalan, jumlah listrik yang didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial, serta
volume air yang disalurkan kepada pelanggan niaga terbukti merupakan input yang
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan mendorong pertumbuhan
ekonomi, infrastruktur secara tidak langsung berperan dalam peningkatan kesempatan
kerja diberbagai sektor ekonomi. Hal ini diperkuat dengan variabel pertumbuhan ekonomi
yang terbukti signifikan mampu meningkatkan pertumbuhan tingkat kesempatan kerja
pada persamaan II.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Estache dan Garsous dalam Dintilhac, Ruiz-Nunez,
dan Wie (2015) yang membuktikan bahwa infrastruktur tidak serta merta menciptakan
lapangan pekerjaan. Namun hubungannya secara tidak langsung melalui pertumbuhan
sektor yang padat modal. Sebagai catatan, besarnya pengaruh dari infrastruktur ini
tergantung pada teknologi yang digunakan, sektor ekonomi, dan elastisitas pertumbuhan
ekonomi terhadap pertumbuhan infrastruktur.

F. Akses Terhadap Listrik Menurunkan Ketimpangan


Distribusi Pendapatan Meski Sangat Lemah

B erdasarkan Calderon dan Chong, Calderon dan Serven, Seneviratne dan Surn, dalam
Dintilhac, Ruiz-Nunez, dan Wie (2015) ketersediaan infrastruktur mendorong penurunan
ketimpangan distribusi pendapatan melalui peningkatan akses masyarakat miskin
terhadap pelayanan infrastruktur. Pengaruh infrastruktur terhadap ketimpangan distribusi
pendapatan pada penelitian ini dinyatakan dalam persamaan III. Berbeda dengan persamaan
I dan II yang menggunakan variabel infrastruktur berupa panjang jalan, jumlah listrik yang
didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial, serta volume air bersih yang
disalurkan kepada pelanggan niaga; pada persamaan III ini variabel yang digunakan untuk
mewakili infrastruktur adalah persentase rumah tangga dengan sumber penerangan listrik.

Penggunaan variabel infrastruktur berupa persentase rumah tangga dengan sumber


penerangan listrik dimaksudkan untuk lebih menggambarkan pemerataan penyediaan
infrastruktur listrik di masyarakat dibandingkan dengan penggunaan variabel listrik yang

58 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

didistribusikan maupun air yang disalurkan secara umum. Untuk infrastruktur panjang
jalan sendiri tidak dimasukkan dalam model persamaan karena pertimbangan kesesuaian
variabel dengan teori dan data yang tersedia.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, infrastruktur jalan yang dapat


digunakan dalam penelitian mengenai ketimpangan pendapatan adalah panjang jalan
perdesaan. Khandeker et al, Jacoby, Navarro dan Domeque, dalam Dintilhac, Ruiz-Nunez,
dan Wie (2015) merupakan beberapa peneliti yang menggunakan data jalan perdesaan
dalam penelitian mengenai ketimpangan pendapatan. Sementara itu, saat ini data untuk
panjang jalan menurut daerah tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan) tidak tersedia.

Akses rumah tangga terhadap sumber penerangan listrik tidak terbukti secara
signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Namun ada indikasi
hubungan yang negatif. Peningkatan persentase rumah tangga dengan sumber penerangan
listrik sebesar 1 persen poin dapat menurunkan koefisien gini sebesar 0,0004 poin dengan
asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan penelitian Dintilhac,
Ruiz-Nunez, dan Wie (2015) bahwa elektrifikasi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kesejahteraan ekonomi rumah tangga.

Brenneman dan Kerf (2002) menyatakan bahwa ketersediaan infrastruktur energi


akan meningkatkan kesempatan ekonomi terutama bagi masyarakat miskin. Peningkatan
kesempatan ekonomi ini terjadi dalam bentuk peningkatan produktivitas usaha bisnis
yang dimiliki oleh penduduk miskin atau tempat dimana ia bekerja sehingga mampu
meningkatkan pendapatannya. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Andres dalam Dintilhac,
Ruiz-Nunez, dan Wie (2015) dimana ketersediaan energi listrik terbukti menyumbang
peningkatan produktivitas industri rumahan seperti industri rumah tangga dan industri
mikro kecil. Dengan adanya peningkatan produktivitas ini, pendapatan rumah tangga akan
semakin meningkat sehingga mampu menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan.

G. Pertumbuhan Ekonomi Menurunkan Persentase


Penduduk Miskin Secara Signifikan

A spek terpenting dalam pertumbuhan inklusif adalah pengentasan kemiskinan. Pada


persamaan IV, pertumbuhan ekonomi terbukti secara signifikan berpengaruh terhadap
pertumbuhan jumlah penduduk miskin. Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen
akan menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 0,078 persen poin dengan asumsi
variabel lain konstan (ceteris paribus). Berdasarkan Tambunan (2011), pertumbuhan ekonomi
dapat menurunkan tingkat kemiskinan melalui peningkatan jumlah penduduk bekerja
dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi
dapat mengurangi pertumbuhan jumlah penduduk miskin dengan adanya peningkatan
pendapatan masyarakat. Dengan pendapatan yang semakin meningkat, penduduk miskin
dapat keluar dari perangkap kemiskinan yang selama ini menjeratnya. Hasil ini juga sesuai
dengan penelitian World Bank, Deininger dan Squier, Ravalion dan Chen, Mills dan Pernia,

Analisis Isu Terkini 2017 59


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

serta Wodon; dalam Tambunan (2011) yang membuktikan adanya relasi negatif yang kuat
antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.

Di sisi lain, pertumbuhan jumlah penduduk bekerja berpengaruh secara signifikan


terhadap pertumbuhan jumlah penduduk miskin namun mengindikasikan hubungan yang
negatif. Pertumbuhan persentase kesempatan kerja justru dapat meningkatkan jumlah
penduduk miskin. Setiap pertumbuhan tingkat kesempatan kerja sebesar 1 persen poin
dapat meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 0,289 persen poin. Temuan ini
semakin menguatkan indikasi bahwa sebagian dari penduduk yang bekerja di Indonesia
masih berada di bawah garis kemiskinan dan pekerjaan yang digelutinya tidak mampu
mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Menurut World Bank dalam Kristyanto (2015),
mayoritas masyarakat miskin adalah tenaga kerja tidak terampil yang berada di sektor-
sektor riil.

Jika persamaan III dan IV dikaitkan, peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk


bekerja yang terjadi dapat menurunkan ketimpangan pendapatan namun belum dapat
mengentaskan kemiskinan. Hal ini dikarenakan adanya “working poor”, penduduk yang
bekerja namun dengan tingkat pendapatan yang tidak layak, tidak memiliki keamanan sosial,
tanpa kondisi pekerjaan yang baik, dan tidak memiliki ‘suara’ di tempatnya bekerja. Menurut
Ali dan Son (2007), sebagian besar dari penduduk miskin di dunia sudah memiliki pekerjaan,
tetapi pekerjaan ini tidak mampu mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Dengan kata lain,
bukan tidak adanya kegiatan ekonomi yang menjadi sumber kemiskinan mereka, tetapi
sifat aktivitas mereka yang kurang produktiflah penyebabnya. Hasil persamaan II dan IV juga
membuktikan bahwa untuk menurunkan kemiskinan tidak hanya diperlukan penciptaan
lapangan pekerjaan, namun lebih dari itu, pekerjaan yang tercipta haruslah pekerjaan
yang produktif. Pekerjaan yang produktif merupakan determinan utama pertumbuhan
pendapatan sehingga akan memberikan kenaikan upah dan akan memungkinkan pekerja
untuk naik ke atas garis kemiskinan (Ali dan Son, 2007).

Konteks ketenagakerjaan di negara berkembang, termasuk Indonesia, berbeda


dengan konteks negara maju sebagaimana dinyatakan oleh Asra (2014), Di negara maju,
bila perekonomian menurun, maka akan terjadi pengurangan tenaga kerja dan mereka
lalu menjadi penganggur. Hal ini karena adanya tunjangan pengangguran (unemployment
benefit). Akan tetapi, dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, seseorang tidak
dapat menjadi pengangguran karena mereka harus hidup dan menghidupi keluarganya.
Mereka terpaksa bekerja (terlepas dari bentuk pekerjaan yang diperoleh), sehingga timbul
berbagai jenis pekerjaan yang dengan jam kerja yang lama tetapi dengan pendapatan yang
amat rendah karena adanya tekanan suplai tenaga kerja. Dengan adanya fenomena ini,
pertumbuhan jumlah penduduk bekerja tidak serta merta dapat menurunkan kemiskinan.

Hubungan kesempatan kerja dan kemiskinan yang di luar harapan (seperti tergambar
dari persamaan IV) menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan yang terjadi selama ini
utamanya bukan melalui penciptaan kesempatan kerja secara langsung. Hal ini bisa jadi
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah, baik melalui subsidi atau alokasi anggaran
untuk pembangunan fisik yang menunjang kesejahteraan rakyat.

60 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Berdasarkan persamaan V, konsumsi pemerintah signifikan positif memengaruhi


konsumsi rumah tangga. Dalam persamaan I, konsumsi rumah tangga memengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut persamaan IV, pertumbuhan ekonomi
menurunkan persentase penduduk miskin secara signifikan. Hal ini dapat memperkuat
bukti determinan penurunan kemiskinan yang secara tidak langsung berasal dari konsumsi
pemerintah.

H. Pengaruh Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan


Tidak Secara Langsung

P engaruh infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan tidak bersifat langsung.


Infrastruktur dapat menurunkan kemiskinan peningkatan produktivitas, selanjutnya
meningkatkan pendapatan penduduk miskin, hingga pada akhirnya akan menurunkan
jumlah penduduk miskin Ali dan Pernia (2003). Hal ini diperkuat oleh Brenneman dan Kerf
(2002) yang menyatakan bahwa dampak infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan
terjadi secara tidak langsung namun melalui: (i) dampak peningkatan pertumbuhan ekonomi,
(ii) peningkatan kesempatan ekonomi terutama bagi masyarakat miskin, (iii) tabungan
langsung (direct savings), (iv) peningkatan tingkat pendidikan, (v) peningkatan kesehatan,
(vi) dampak langsung pada taraf hidup, (vii) peningkatan kerangka kerja pemerintah, dan
(viii) dampak fiskal (terkait dengan kebijakan pro-poor).

Dengan adanya informasi bahwa pengaruh infrastruktur terhadap penurunan


kemiskinan terjadi secara tidak langsung, penelitian ini tidak memasukkan variabel
infrastruktur dalam persamaan IV. Dampak infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan
dapat melalui pertumbuhan ekonomi, peningkatan jumlah penduduk bekerja, dan
penurunan ketimpangan distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan sendiri tidak
secara langsung berpengaruh pada jumlah penduduk miskin, tetapi dampaknya melalui
pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hal ini, persamaan IV hanya
memasukkan variabel pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk bekerja.

Pada analisis sebelumnya, telah dijelaskan bahwa infrastruktur panjang jalan, jumlah
listrik yang didistribusikan kepada pelanggan industri dan komersial, serta volume air
bersih yang disalurkan kepada pelanggan niaga berpengaruh secara signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi namun tidak terbukti berpengaruh terhadap peningkatan
kesempatan kerja. Sementara itu, pengaruh infrastruktur terhadap ketimpangan distribusi
pendapatan, hanya ada pada pemerataan distribusi listrik meskipun indikasinya lemah
(persamaan III). Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh tidak langsung terbesar
infrastruktur untuk mengentaskan kemiskinan terjadi melalui peningkatan pertumbuhan
ekonomi.

Analisis Isu Terkini 2017 61


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

5. KESIMPULAN

H asil kajian ini memperoleh kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di
Indonesia belum inklusif. Petumbuhan ekonomi sudah mampu meningkatkan partisipasi
kerja dan menurunkan kemiskinan secara langsung. Namun, pertumbuhan ekonomi yang
terjadi ini juga secara bersamaan meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan. Lebih
jauh lagi, lapangan pekerjaan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi juga belum
mampu meningkatkan pemerataan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan.

Ketidakmampuan tingkat kesempatan kerja dalam menurunkan kemiskinan dan


ketimpangan pendapatan menyiratkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia belum
menciptakan decent work dan pro poor. Indonesia masih menghadapi permasalahan
ketenagakerjaan seperti rendahnya kualitas pekerja dan tingginya jumlah sektor informal.
Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi harus difokuskan pada sektor-sektor yang menyerap
banyak tenaga kerja dan menjadi tempat hidup masyarakat miskin, seperti sektor tradable.
Selanjutnya, diperlukan pelatihan keterampilan, bantuan modal, pendampingan usaha, dan
penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan produktivitas usaha informal.

Sementara itu infrastruktur berpengaruh terhadap inklusivitas pertumbuhan


ekonomi. Ketersediaan infrastruktur akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
selanjutnya akan meningkatkan partisipasi kerja, menurunkan ketimpangan distribusi
pendapatan, dan mengentaskan kemiskinan. Namun sebagai catatan, pemerataan
infrastruktur yang selama ini digalakan pemerintah harus terus dilakukan utamanya bagi
daerah pinggiran dan perdesaan mengingat kemiskinan lebih banyak terjadi di perdesaan.

62 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

6. DAFTAR PUSTAKA

Afandi, A., Dwi W., Jaka S. (2017). Policies to Eliminate Poverty Rate in Indonesia.
International Journal of Economics and Financial Issues, Vol 7 Issue 1, 435-441.

Ali, I. & Son, H.H. (2007). Measuring Inclusive Growth. Asian Development Review, Vol.24,
No.1.

Ali, I. & Zhuang, J. (2007). Inclusive Growth toward a Prosperous Asia: Policy Implications.
ERD Working Paper Series, No.97.

Anand, R., Mishra, S., & Peiris, S.J. (2013). Inclusive Growth: Measurement and Determinants.
IMF Working Paper, Vol.13, No. 135.

Ardi. (2014). Visualisasi Ruang dalam Polemik. Geospasial.Volume 12 / No. 3 / Desember


2014, 29-37.
Asian Development Bank (2012). Infrastructure for supporting inclusive growth and pover-
ty reduction in Asia. Manila: ADB.

Asra, Abuzar. (2014). Cerdas Menggunakan Statistik. Bogor: In Media.

Baltagi, B. H. (2005). Econometric Analysis of Panel Data Third Edition. John Wiley & Sons:
England.

Baltagi, Badi H. (1981). Simultaneous Equations With Error Components. Journal of Econo-
metrics 17, 189 – 200.

Bappenas, (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Buku I


Agenda Pembangunan Nasional. Jakarta: Bappenas.
Berg, A. G. & Jonathan D. O. (2011). Inequality and Unsustainable Growth: Two Sides of the
Same Coin?. IMF Staff Discussion Note SDN/11/08, 8 April 2011. Washington DC:
IMF.

Bourguignon, F. (2004). The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Working Paper No. 25. New
Delhi: Indian Council for Research on International Economic Relations.

BPN. 2010. Data Luas Lahan Pertanian Termanfaatkan 2009. Jakarta:BPN

BPS (2017). Berita Resmi Statistik No. 66/07/Th. XX, 17 Juli 2017

BPS dan FEM-IPB. 2015. Analisis Tematik ST2103 Subsektor: Estimasi Parameter dan Pe-
metaan Efisiensi Produksi Pangan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)-Fakul-
tas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB.

BPS dan Kemenpppa.(2017). Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2016.Kemenpppa:Ja-


karta

Analisis Isu Terkini 2017 63


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

BPS.(2017a). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016.Jakarta: BPS.

BPS.(2017b). Statistik Indonesia.BPS:Jakarta

BPS.(2017c). Kajian Awal Indeks Ketimpangan Gender 2016.BPS:Jakarta

BPS.(2017d). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2016.BPS:Jakarta

Brenneman, A & Michel K. (2002). Infrastructure & Poverty Linkages: A Literature Review.
Washington DC: The World Bank.

Brenneman, Adam dan Michel Kerf. (2002). Infrastructure & Poverty Linkages: A Literature
Review. World Bank.

Calderon, C. & Lui, S. (2005). The Effects of Infrastructure Development on Growth and
Income Distribution. World Bank Policy Research Working Paper Series No. 3643.
Washington DC: World Bank.
de Silva, Indunil & Silva & Sudarno S. (2014). Does Economic Growth Really Benefit the
Poor? Income Distribution Dynamics and Pro-poor Growth in Indonesia. Journal
Bulletin of Indonesian Economic Studies Volume 5 Issue 2, 227-242.

Dintilhac, Clio, Fernanda Ruiz-Nunez, dan Zichao Wei. (2015). The Economic Impact of Infra-
structure and Public-Private Partnerships: Literature Review. Draft Version 1.0 June
2015. World Bank Group.

Fadly, Ferdian. (2011). Peran Pertumbuhan Ekonomi dan Intervensi Pemerintah di Bidang
Fiskal terhadap Kemiskinan, Pengangguran, dan Ketimpangan Distribusi Pendapa-
tan di Indonesia [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

Felipe, J. & Rana H. (2006). Labor Markets in Asia: Issues and Perspectives. Basingstoke: Pal-
grave Macmillan.

Felipe, J. (2012). Inclusive Growth: Why Is It Important for Developing Asia?. CADMUS Jour-
nal, vol. 1, issue 4.

Gibson, J. & Susan O. (2009). The Effect of Infrastructure Access and Quality on Non-Farm
Enterprises in Rural Indonesia. World Development Vol. 38, No. 5, 717–726.

Islamic Development Bank. (2010). Indonesia: Kendala Kritis Bagi Pembangunan Infrastruk-
tur. Jeddah: IDB.

Kemendag, (2017). Tantangan Sektor Tradable dalam Mendukung Target Ekspor Tiga Kali
Lipat.http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Tantangan_Sektor_
Tradable_dalam_Mendukung_Target_Ekspor_Tiga_Kali_Lipat.pdf

64 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Klasen, Stephen. (2010). Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions,
Open Questions, and Some Constructive Proposals. ADB Sustainable Develop-
ment Working Paper Series, No.12.

Kristyanto, Visi Saujaningati. (2015). Analisis Sektor Produksi Pendorong Terwujudnya Per-
tumbuhan Inklusif di Jawa Timur [Skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya.

Kuncoro, M. (2013). Economic Geography of Indonesia: Can MP3EI Reduce Inter-Regional


Inequality?, South East Asian Journal of Contemporary Business, Economics and
Law, vol.2,17-33.

Kuznets, S. (1955). Economic Growth and Income Inequality, Published on The American
Economic Review, March 1955, Volume 45, Number1, 1-28.

Mankiw, N. Gregory. (2013). Macroeconomics Eight Edition. New York: Worth Publishers.

McKinley, T. (2010). Inclusive Growth Criteria and Indicators: an Inclusive Growth Index for
of Country Progress. ADB Sustainable Development Working Paper Series, No. 14.

Mustajab, M. (2009). Infrastructure Investment in Indonesia: Process and Impact. PhD Dis-
sertation. Rijksuniversiteit Groningen. Groningen: RUG.

OECD. (2014). Focus on Inequality and Growth – December 2014. Diakses pada tang-
gal 28 September 2017 melalui https://www.oecd.org/social/Focus-Inequali-
ty-and-Growth-2014.pdf

Prapti, L. (2006). KETERKAITAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI


PENDAPATAN (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota Jawa Tengah 2000-2004). Sema-
rang: Universitas Diponegoro.

Prasetyo, R Bangun & Muhammad Firdaus. (2009). Pengaruh Infrastruktur pada Pertumbu-
han Ekonomi Wilayah di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan,
2(2), 222-236.

Ramos, R.A., Ranieri, R. & J.W. Lammens (2013). ‘Mapping Inclusive Growth in Developing
Countries’. Working Paper 105. Brasilia : International Policy Centre for Inclusive
Growth.

Ranieri, & R. A. Ramos (2013). ‘Inclusive growth, building up a concept’. Working Paper
number 104. Brasilia: International Policy Centre for Inclu sive Growth.

Ranis, G. (2004). Human Development and Economic Growth. Center Discussion Paper No.
887 Economic Growth Center. Connecticut: Yale University.

Rauniyar, G. & Kanbur, R. (2009). Inclusive Growth and Inclusive Development: A Review
and Synthesis of Asian Development Bank Literature. ADB Occasional Paper, No.8.

Analisis Isu Terkini 2017 65


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Rizqal, M. (2010). Analisis Hubungan Simultan antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga
Kerja serta Variabel yang Memengaruhinya [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Tambunan, T. H. (2011). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tambunan, T.H. (2006). Kondisi Infrastruktur di Indonesia. Kadin Indonesian. www.kadin-in-


donesia.or.id

Wolrd Economic Forum (2010). The Global Competitiveness Report 2010–2011. Jeneva:
WEF.

Wolrd Economic Forum (2011). The Global Competitiveness Report 2011–2012. Jeneva:
WEF.

Wolrd Economic Forum (2012). The Global Competitiveness Report 2012–2013. Jeneva:
WEF.

Wolrd Economic Forum (2013). The Global Competitiveness Report 2013–2014. Jeneva:
WEF.

Wolrd Economic Forum (2014). The Global Competitiveness Report 2014–2015. Jeneva:
WEF.

Wolrd Economic Forum (2015). The Global Competitiveness Report 2015–2016. Jeneva:
WEF.

Wolrd Economic Forum (2016). The Global Competitiveness Report 2016–2017. Jeneva:
WEF.

Wolrd Economic Forum (2017). The Global Competitiveness Report 2017–2018. Jeneva:
WEF.

World Bank (2009). “What Is Inclusive Growth?” PRMED Knowledge Brief, Economic Policy
and Debt Department. Washington DC: The World Bank.

66 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

LAMPIRAN

Analisis Isu Terkini 2017 67


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

68 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 69


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

70 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 71


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

72 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 73


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

74 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 75


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

76 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 77


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

78 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 79


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

80 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 81


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

82 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 83


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

84 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 85


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

86 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 87


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

88 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 89


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

90 Analisis Isu Terkini 2017


Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Tema 2

Analisis Isu Terkini 2017 91


Tema 2 Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

92 Analisis Isu Terkini 2017


Jl. dr. Sutomo No. 6-8 Jakarta 10710
Telp. : (021) 3841195, 3842508, 3810291-4, Fax. : (021) 3857046
Homepage : http://www.bps.go.id E-mail : bpshq@bps.go.id

Anda mungkin juga menyukai