Anda di halaman 1dari 13

Presentasi Kasus

15 Mei 2008, 11:00-11:30 WIB


EPILEPSI LOBUS FRONTAL
Presentan : Trunojoyo Suranggayudha
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2008
PENDAHULUAN
Dari studi epidemiologi yang dilakukan Hauser dkk, dikatakan sekitar 2 juta individu di
Amerika Serikat menderita epilepsi dan diperkirakan sekitar 44 kasus baru per 100.000
populasi terjadi tiap tahun. Studi ini juga memperkirakan sekitar 1% penduduk AS akan
menderita epilepsi sebelum usia 20 tahun, di mana pada periode umur ini epilepsi
menunjukkan bentuk paling beragam. Lebih dari 2 per 3 dari seluruh bangkitan epilepsi
dimulai pada masa anak-anak (sebagian besar pada tahun pertama kehidupan).
Insidens ini kembali meningkat setelah usia 60 tahun. Di bidang neurologi pediatrik,
epilepsi merupakan salah satu kelainan tersering. J. Engels mengemukakan bahwa
meskipun jenis terapi telah banyak tersedia, 80-90% penderita epilepsi di negara
berkembang tidak pernah memperoleh pengobatan.
Epilepsi lobus frontal adalah seizure berulang yang berkembang dari lobus frontal.
Bentuk serangan dapat berupa simple partial seizure atau dapat juga berupa complex
partial seizure, sering juga disertai dengan generalisasi sekunder. Manifestasi klinis
mencerminkan area spesifik dari onset seizure dan bervariasi dari perubahan perilaku
hingga perubahan motorik atau tonik/postural. Status epileptikus lebih umum terjadi
pada seizure lobus frontal dibandingkan yang berkembang dari area lain. Insidensi
epilepsi lobus frontal tidak diketahui secara tepat, namun mencakup 20-30% dari
prosedur operasi yang terkait dengan kasus epilepsi intractable. Tidak ada perbedaan
bermakna pada frekuensi berdasarkan gender. Epilepsi lobus frontal simtomatik dapat
mengenai semua usia.
ILUSTRASI KASUS
Pasien An. R, usia 13 tahun, pendidikan kelas 1 SMP. Datang ke poli saraf RS. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada tanggal 19 November 2007 dengan keluhan utama
riwayat kejang kelojotan berulang sejak 3 bulan sebelum datang ke RSCM (SMRS). Dari
riwayat penyakit sekarang didapatkan sejak 3 bulan SMRS pasien mengalami kejang
kelojotan seluruh tubuh berulang 3x, kira-kira 1 x/bulan dengan pola serupa. Serangan
biasanya terjadi saat pasien sedang duduk menonton TV.
Pre iktal: pasien mengaku tidak merasakan gejala apapun. Iktal: pandangan pasien
kosong ke depan, kedua lengan tertekuk dan bergetar, pasien tidak dapat merespon
orang lain. Kemudian pasien “pingsan” dan terjatuh (miring ke kiri atau ke kanan),
sementara kedua lengan kelojotan, kedua mata mendelik ke atas, durasi 2-3 menit.
Kepala tidak menoleh, mulut tidak mengeluarkan busa, lidah tidak tergigit. Post iktal:
pasien tertidur selama 10 menit, kemudian terbangun dan sadar seperti biasa, pasien
mengaku ingat saat serangan berlangsung, namun tidak dapat menjelaskan/menirukan
deskripsi serangan.
Sejak 2 tahun sebelumnya (kelas 6 SD) keluarga dan guru memperhatikan bahwa
pasien sering “bengong”. Terkadang pasien harus dikagetkan agar terbangun. Bila tidak
dibangunkan durasi “bengong” dapat hingga 5 menit. Frekuensi 10-20 x/hari. Setelah
terbangun pasien tidak ingat apa-apa mengenai kejadian saat pasien “bengong”.
Dari penuturan ibu pasien didapatkan beberapa cerita saat serangan “bengong” terjadi,
antara lain saat menunggu mobil angkutan umum bersama teman-teman, ketika mobil
datang teman yang lain naik ke mobil sedangkan pasien hanya diam saja sehingga
tertinggal. Saat di angkutan umum pasien juga sering tidak sadar, tiba-tiba sudah
terlewat beberapa ratus meter dari tempat biasa turun. Di sekolah guru pasien
mengatakan pasien lambat saat mengerjakan tugas karena sering melamun. Namun
sejauh ini nilai prestasi sekolah relatif baik. Saat sedang diajak bicara oleh ibu, pasien
sering tiba-tiba “bengong”, dan baru akan terbangun setelah dikagetkan.
Dari riwayat penyakit dahulu diketahui pasien pernah mengalami kejang demam 1x saat
usia 9 bulan, durasi 10 menit. Riwayat trauma kepala disangkal. Riwayat imunisasi
lengkap. Riwayat kehamilan, persalinan, dan tumbuh kembang normal. Tidak ada
anggota keluarga atau sanak saudara pasien yang menderita kejang berulang.
Pasien lalu dibawa berobat ke RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) oleh ibunya. Dari poli
bagian saraf pasien dirujuk untuk pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) pada tanggal
20 November 2007. Saat sedang dilakukan pemeriksaan EEG, beberapa kali (4-6x)
pasien mengalami serangan iktal. Di mana saat pasien seharusnya berbaring menutup
mata, tiba-tiba membuka mata dan menatap ke depan, jakun bergerak-gerak seperti
gerakan menelan, tangan kiri sesekali mengusap mata kiri, kaki kanan dan kiri sedikit
bergoyang-goyang dengan gerakan tidak ritmis. Durasi 10-20 detik. Selama serangan
tersebut pemeriksa memanggil-manggil pasien untuk kembali memejamkan mata,
namun pasien tidak merespon. Baru setelah serangan berakhir pasien kembali
merespon panggilan pemeriksa.
Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan kesadaran compos mentis, TD =
110/60 mmHg, FN = 70 x/m, FP = 22 x/m, S = afebris. Berat badan 31 kg. Mata: anemis
(-), ikterik (-). Jantung: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-). Paru: vesikuler, rhonki -/-,
wheezing -/-. Abdomen: nyeri tekan (-), hepar-lien tidak teraba. Ekstremitas: akral
hangat. Pada status neurologis didapatkan GCS = 15. Pupil: bulat isokor 3 mm, refleks
cahaya langsung dan tak langsung +/+. Tanda rangsang meningeal (-). Motorik: lengan
5555/5555, tungkai 5555/5555. Sensorik: hipestesi (-). Otonom: baik. Koordinasi:
dismetria (-), disdiadokokinesia (-).
Pada pemeriksaan EEG didapatkan hasil s.b.b: latar belakang berupa irama alfa 10-11
spd, amplitudo sedang, bereaksi dengan buka dan tutup mata. Tampak seringkali
muncul kompleks paku ombak 3 spd amplitudo tinggi bilateral sinkron terutama terlihat
di daerah frontal kanan depan (Fp2-F4) dan didahului di kanan depan. Tampak pula
gelombang tajam diikuti gelombang lambat delta-teta 3-4 spd, amplitudo tinggi, di
daerah frontal kanan depan (Fp2-F4). Kesan: EEG abnormal berupa aktivitas
epileptiform bilateral sinkron dengan fokus di frontal kanan depan.
Dari data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan EEG, diagnosis ditegakkan sebagai
Epilepsi Lobus Frontal. Dan terapi yang diberikan: Carbamazepin 1×100 mg, Asam
Folat 1×1 tab. Pasien juga direncanakan untuk pemeriksaan CT scan kepala dengan
kontras.
Follow-up. Pasien kontrol ke poli saraf pada tanggal 18 Desember 2007, sekaligus untuk
menjalani CT scan kepala. Saat itu menurut ibu pasien, sudah 2 minggu pasien menolak
minum obat. Serangan bengong masih sering terjadi (>10x/hari), sementara kejang
kelojotan berulang 2x, dengan pola dan durasi sama. Sejak itu hingga saat ini pasien
belum kontrol kembali ke poli saraf RSCM.
DISKUSI
Di masa lalu epilepsi dipostulatkan oleh Hughlings Jackson (1870), ahli neurologi
ternama dari Inggris, sebagai kekacauan intermiten dari sistem saraf akibat letupan
jaringan saraf serebral yang berlebihan dan tidak teratur pada otot. Secara
fisiologi, epileptic seizure (bangkitan epilepsi) didefinisikan sebagai perubahan
mendadak fungsi sistem saraf sentral akibat letupan elektrik bervoltase tinggi, baik yang
berfrekuensi tinggi paroksismal atau berfrekuensi rendah sinkon.
Definisi-definisi
Seizure atau bangkitan adalah gangguan aktivitas mental, motorik, sensorik, atau
otonom yang relatif singkat dan mendadak, akibat aktivitas serebral paroksismal
abnormal. Konvulsi adalah seizure yang berupa kontraksi involunter otot-otot somatik
yang bersifat kasar (violent). Epilepsi didefinisikan secara klinis sebagai
keadaan seizure berulang kronis; penyebabnya dapat diketahui (‘epilepsi simtomatik’)
atau tidak diketahui (‘epilepsi idiopatik’ atau epilepsi kriptogenik’). Status epileptikus
adalah berulangnya episode seizure dengan interval yang terlalu singkat, sehingga tidak
sempat pulih ke kondisi pre-seizure. Epilepsi parsialis kontinua terdiri dari
manifestasi seizure repetitif, biasanya kedutan ritmis dari ekstremitas distal atau wajah
bagian bawah, menetap selama beberapa hari, minggu, atau tahun dan tidak
membentuk episode seizure tersendiri.
Klasifikasi
Bangkitan (seizure) diklasifikasikan dalam beberapa cara: berdasarkan etiologi, yaitu
idiopatik (primer) atau simtomatik (sekunder); lokasi asal; bentuk klinik (umum atau
fokal); frekuensi (tunggal, repetitif, atau status epileptikus); atau berdasarkan korelasi
elektrofisiologinya.
Klasifikasi yang banyak dianut pertama kali diusulkan oleh Gastaut pada 1970 dan
kemudian direvisi berulang oleh Commission on Classification and Terminology of the
International League Against Epilepsy (ILAE) (1981). Klasifikasi ini, yang terutama
didasarkan pada bentuk klinik seizure dan gambaran elektroensefalografi (EEG),
diadopsi secara luas dan dipandang sebagai International Classification. Pada
dasarnya, klasifikasi ini membagi seizure menjadi dua – parsial, di mana tampak onset
fokal atau terlokalisir, dan umum, di mana seizure dimulai bilateral.
International classification of epileptic seizures
I. Generalized seizures (bilaterally symmetrical and without local
onset)
A. Tonic, clonic, or tonic-clonic (grand mal)
B. Absence (petit mal)
1. With loss of consciousness only
2. Complex—with brief tonic, clonic, or automatic
movements
C. Lennox-Gastaut syndrome
D. Juvenile myoclonic epilepsy
E. Infantile spasms (West syndrome)
F. Atonic (astatic, akinetic) seizures (sometimes with myoclonic
jerks)
II. Partial, or focal, seizures (seizures beginning locally)
A. Simple (without loss of consciousness or alteration in
psychic function)
1. Motor–frontal lobe origin (tonic, clonic, tonic-clonic;
jacksonian; benign childhood epilepsy; epilepsia partialis
continua)
2. Somatosensory or special sensory (visual, auditory, olfactory,
gustatory, vertiginous)
3. Autonomic
4. Pure psychic
B. Complex (with impaired consciousness)
1. Beginning as simple partial seizures and progressing to
impairment of consciousness
2. With impairment of consciousness at onset
III. Special epileptic syndromes
A. Myoclonus and myoclonic seizures
B. Reflex epilepsy
C. Acquired aphasia with convulsive disorder
D. Febrile and other seizures of infancy and childhood
E. Hysterical seizuresPartial seizure atau bangkitan parsial adalah bentuk serangan di
mana gejala klinis dan perubahan elektrogafis awal mengindikasikan keterlibatan
kelompok neuron yang terbatas pada bagian dari satu hemisfer. Bila kesadaran tidak
terganggu selama serangan, sebagaimana terbukti dengan adanya amnesia selama
serangan, maka seizure diklasifikasikan sebagai simple partial seizure (bangkitan parsial
sederhana). Bila kesadaran terganggu, maka seizure diklasifikasikan sebagai complex
partial seizure (bangkitan parsial kompleks). Pada perekaman rutin, bangkitan parsial
sederhana secara elektrografik seringkali hanya melibatkan satu hemisfer, sedangkan
bangkitan parsial kompleks sering melibatkan kedua hemisfer. Lokasi lesi berkaitan
dengan tipe seizure, dan hubungan ini sangat membantu dalam diagnosis sehingga
harus dikenal dengan baik oleh semua ahli neurologi.
Common seizure patterns
CLINICAL TYPE LOCALIZATION Somatic motor
Jacksonian (focal motor) Prerolandic gyrus
Masticatory, salivation, speech arrest Amygdaloid nuclei, opercular
Simple contraversive Frontal
Head and eye turning associated with arm
movement or athetoiddystonic postures Supplementary motor cortex
Somatic and special sensory (auras)
Somatosensory Contralateral postrolandic
Unformed images, lights, patterns Occipital
Auditory Heschl’s gyri
Vertiginous Superior temporal
Olfactory Mesial temporal
Gustatory Insula
Visceral: autonomic Insular-orbital-frontal cortex
Complex partial seizures
Formed hallucinations Temporal neocortex or
amygdaloid-hippocampal
complex
Illusions
Dyscognitive experiences
(de´ja` vu, dreamy states, depersonalization)
Affective states (fear, depression, or elation) Temporal
Automatism (ictal and postictal) Temporal and frontal
Absence Frontal cortex,
amygdaloid-hippocampal complex, reticular-cortical system
Bilateral epileptic myoclonus Reticulocortical,
frontocentral
Simple partial seizure dapat berupa gejala motorik fokal, sensorik, otonom, campuran
atau psikis tanpa perubahan kesadaran. Gejala complex partial seizure secara primer
terdiri dari perubahan isi kesadaran sehingga menurunkan kemampuan pasien untuk
berinteraksi dengan sekitarnya; hilangnya kesadaran secara total bukan merupakan
gejala primer. Complex partial seizure selanjutnya dapat dibedakan menjadi dua:
(1) partial seizure dengan ‘hanya’ gangguan kesadaran, dimana terjadi penurunan
kesadaran yang bermanifestasi sebagai konfusi; dan (2) partial seizure dengan
‘automatism’, yang terdiri dari gerakan repetitif yang ‘sepertinya’ bertujuan, dapat berupa
gerakan sederhana (menggaruk, menepuk, mengunyah, menelan, bergumam dan
mengecap) ataupun gerakan terorganisir (ekspresi fasial, gestural dan verbal).
Klasifikasi saat ini telah mengenal bahwa bangkitan parsial sederhana dapat
berkembang menjadi bangkitan parsial kompleks atau menjadi bangkitan tonik-klonik
umum, atau bisa juga bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan tonik-
klonik umum.
Generalized seizure atau bangkitan umum adalah bentuk serangan di mana gejala klinis
dan perubahan elektrogafik awal mengindikasikan keterlibatan inisial dari kedua
hemisfer. Biasanya disertai hilang kesadaran, aktivitas motorik bilateral, atau keduanya.
Pada pasien ilustrasi kasus didapatkan informasi adanya riwayat “bengong” berulang
sejak 2 tahun sebelumnya. Manifestasi ini dapat menjadi dasar klasifikasi complex
parsial seizure. Sementara gejala tatapan kosong tiba-tiba yang disusul dengan kejang
kelojotan mengindikasikan terjadinya generalisasi sekunder (tonik-klonik). Kekerapan
serangan yang terjadi ketika pasien sedang duduk menonton TV mungkin berhubungan
dengan faktor pencetus, yaitu kilatan cahaya. Namun teori ini tidak didukung dengan
hasil EEG yang tidak menunjukkan perubahan berarti pada hiperventilasi (HV) dan
stimulasi fotik (PS).
Epilepsi parsial kompleks
Diagnosis complex partial seizure (bangkitan parsial kompleks) sangat sulit. Serangan
sangat bervariasi dan seringkali menginduksi gangguan perilaku dan fungsi psikis – dan
bukan interupsi kesadaran yang jelas – sehingga dapat disalahartikan dengan temper
tantrum (ledakan amarah), histeria, perilaku sosiopatik, atau psikosis akut. Sangat
penting untuk menganamnesis secara hati-hati kepada saksi mata yang melihat
serangan terjadi. Verbalisasi yang tak dapat diingat, berjalan tanpa tujuan, atau aksi dan
perilaku yang tak sesuai dapat menjadi petunjuk. Complex partial seizure yang ringan
dapat disalahartikan sebagai serangan absence, namun yang perlu diingat adalah
periode bingung sering mengikuti complex partial seizure, yang mana tidak terjadi
pada absence.
Sekitar 70-80% kasus epilepsi parsial kompleks memiliki lokasi onset di lobus temporal,
sedangkan pada 20-30% bangkitan berkembang dari lobus frontal. Etiologi tersering
adalah sklerosis temporal mesial, yang merupakan lesi perinatal akibat hipoksia.
Epilepsi parsial kompleks seringkali lebih sulit terkontrol secara adekuat dibandingkan
epilepsi tipe lain, namun penjelasannya belum jelas. Mayoritas pasien mengalami aura,
sering diingat sebagai sensasi perut yang naik atau turun, bau memuakkan, atau
hentakan anggota gerak sebelum terjadinya seizure. Seizure sering dimulai dengan
terhentinya aktivitas verbal yang disertai tatapan kosong. Pasien tidak merespon
stimulus verbal atau visual. Automatisme dapat timbul berupa gestural (memungut
objek, gerakan mencuci tangan berulang-ulang) atau oral (mengecap bibir), dan pasien
bisa berjalan tanpa tujuan. Gerakan-gerakan ini cenderung khas untuk masing-masing
pasien. Gerakan bertujuan atau tindak kekerasan tidak lazim terjadi. Iktal berlangsung
sekitar 1 hingga 3 menit, diikuti periode postictal confusion yang biasanya berakhir
dalam 5-20 menit. Pasien tidak ingat kejadian selama seizure.
EEG sering membantu memastikan diagnosis, terutama bila interictal
spikes (gelombang paku interiktal) dapat diidentifikasi berasal dari lobus temporal atau
frontal. Karena lobus temporal dan lobus frontal sisi bawah berada jauh dari elektrode
EEG, pada beberapa pasien terkadang sulit untuk menemukan spike. Penggunaan
deprivasi tidur dan elektrode nasofaring dan sfenoid khusus dapat meningkatkan
cakupan diagnostik. Scan MRI sering dikerjakan dengan potongan khusus pada
hipokampus untuk memperlihatkan sklerosis temporal mesial. Pada 30% pasien dapat
ditemukan kausa dari epilepsi parsial kompleks.

Epilepsi lobus frontal


Pasien dengan epilepsi lobus frontal dapat datang dengan sindrom epilepsi yang jelas
atau dengan manifestasi perilaku/motorik yang tak wajar, yang bisa saja sepintas tidak
dikenali sebagai seizure. Gambaran yang dapat membedakan seizure lobus frontal dari
peristiwa nonepileptik antara lain adalah semiologi stereotipik, timbul saat tidur, durasi
singkat (sering <30 detik), generalisasi sekunder yang cepat, manifestasi motorik yang
menonjol, dan otomatisme kompleks.
Seizure dapat berkembang dari area lobus frontal mana saja, termasuk orbitofrontal,
frontopolar, dorsolateral, opercular, area motorik suplementer, korteks motorik, atau
girus cingulata. Mayoritas seizure lobus frontal dianggap simtomatik, meskipun banyak
pasien dengan epilepsi lobus frontal tidak menunjukkan lesi yang jelas pada MRI. Faktor
yang menjadi penyebab antara lain kausa kongenital seperti disgenesis kortikal, gliosis,
atau malformasi vaskular; neoplasma; cedera kepala; infeksi; dan anoksia. Kemajuan
signifikan dalam bidang genetik molekuler berhasil mengidentifikasi defek genetik terkait
familial pada epilepsi lobus frontal, yang disebut sebagai autosomal dominant nocturnal
frontal lobe epilepsies (ADNFLE).
Manifestasi klinis
Epilepsi lobus frontal, berbeda dengan epilepsi lobus temporal, memiliki manifestasi
motorik yang menonjol dan dramatik. Sering bersifat nokturnal, timbul saat tidur, dan
biasanya berlangsung singkat (14-45 detik). Saksi mata dapat mendeskripsikan
vokalisasi keras, kelojotan anggota gerak, kepala menoleh ke satu sisi, atau gerakan
bersepeda.
Serangan pada epilepsi parsial kompleks lobus frontal berulang dengan frekuensi cukup
sering, berlangsung singkat (kurang dari 30 detik), dimulai dan berakhir secara
mendadak, terjadi nokturnal, dan sering menunjukkan gejala yang hebat. Pada tengah
malam, pasien dapat tiba-tiba berteriak keras, menggeliat di ranjang, meniru gerakan
bersepeda, otomatisme berulang, dapat menari-nari atau berlari-lari dan kemudian
tersadar dengan gejala postiktal minimal. Analisa pasien dapat membingungkan bila
terjadi kedua epileptogenesis temporal dan frontal, biasanya orbitofrontal, secara
bersamaan. Seizure semacam itu dapat menyebar ke area motorik suplementer,
menimbulkan seizure jenis postural. Secondary generalization (generalisasi sekunder)
timbul lebih sering pada serangan lobus frontal dibandingkan dengan lobus temporal.
Serangan “bengong” yang dialami pasien ilustrasi kasus dalam sehari berulang cukup
sering, sehingga menggangu kegiatan belajar di sekolah. Keterangan ibu pasien yang
mengatakan frekuensi serangan 10-20 x/hari kemungkinan tidak tepat, karena selama
pemeriksaan EEG 20 menit saja pasien mengalami periode non-responsif sedikitnya 4
kali. Durasi “bengong” yang dikatakan ibu pasien dapat mencapai 5 menit kemungkinan
terlalu dilebihkan, karena tidak sesuai dengan literatur dan apa yang disaksikan
pemeriksa saat pemeriksaan EEG.
Jacksonian march seizure merupakan progresi dari aktivitas elektrik abnormal
sepanjang korteks motorik primer. Secara klinis, pasien dapat mendeskripsikan
hentakan ritmis involunter dari ibu jari, yang diikuti penyebaran ke tangan dan
pergelangan, lalu ke lengan dan wajah, semuanya pada satu sisi tubuh yang sama.
Bila seizure melibatkan korteks motorik suplementer pada sisi medial lobus frontal,
pasien dapat menunjukkan postur distonik asimetrik (dikenal sebagai fencer position),
dengan kepala menoleh ke satu sisi, satu lengan ekstensi, dan lengan lainnya tertekuk
dengan pinggul abduksi dan tungkai fleksi. Pada epilepsi lobus frontal, pasien dapat
menunjukkan manifestasi motorik bilateral, namun tetap sadarkan diri. EEG interiktal
dapat normal atau menunjukkan perlambatan fokal parasagital. Seringkali, EEG iktal
tertutup oleh artifak otot, tetapi EEG postiktal dapat memperlihatkan atenuasi fokal dari
aktivitas serebral atau perlambatan serta atenuasi difus.
Setelah serangan konvulsi dengan gejala motorik yang menonjol, dapat terjadi paralisis
sementara dari anggota gerak yang terkena. “Todd’s paralysis” ini bertahan beberapa
menit atau terkadang beberapa jam setelah seizure, biasanya berkaitan dengan durasi
konvulsi. Paralisis fokal yang berlanjut lebih dari beberapa jam biasanya
mengindikasikan adanya lesi otak fokal sebagai penyebab yang mendasari seizure.
Fenomena serupa juga ditemukan pada kasus epilepsi fokal yang melibatkan area
bahasa, somestetik, atau visual; di mana defisit persisten terkait dengan regio otak yang
terkena.
Pada pasien ilustrasi kasus tidak diperoleh informasi mengenai kelemahan anggota
gerak pasca kelojotan. Mungkin karena pasien masih anak-anak dan ibu pasien kurang
teliti memperhatikan, maka kelemahan yang ringan tidak dikeluhkan atau tidak teramati.
Gejala klinis seizure lobus frontal bervariasi dan terkombinasi dalam berbagai cara
(Geier, dkk). Tidak ada satu manifestasi yang spesifik. Aspek klinis dari serangan
epilepsi lobus frontal lebih kepada motorik dan kurang kepada psikis. Hal ini merupakan
karakteristik yang membedakannya dengan epilepsi lobus temporal.
Serangan dapat berupa deviasi kepala dan mata. Deviasi ini umumnya tampak jelas,
tidak terlampau cepat, dan jarang menyentak, sehingga terkadang menyerupai gerakan
alamiah. Deviasi ini terkadang ipsilateral dan terkadang kontralateral. Cetusan kortikal
terlokasi pada permukaan mesial sebelah anterior dari area motorik suplementer atau
pada permukaan lateral bagian tengah dari girus superior dan midfrontal. Deviasi
ipsilateral berhubungan dengan cetusan anterior sedangkan deviasi kontralateral
dengan cetusan posterior.
Dalam hal manifestasi tonik atau klonik, atau keduanya, kebanyakan kasus
menunjukkan bentuk parsial, yaitu hanya mengenai bagian tertentu dari tubuh.
Kebanyakan berupa klonik. Manifestasi ini hampir selalu melibatkan wajah, sebuah
lengan, satu sisi tubuh, atau kedua lengan. Cetusan tampaknya bertempat di regio
frontal intermediet pada permukaan lateral untuk kasus wajah, dan pada permukaan
mesial untuk kasus lengan atau satu sisi tubuh.
Kejadian jatuh biasanya berkaitan dengan gejala lain dan timbul saat onset seizure.
Sejumlah mekanisme yang menyebabkan jatuh dapat dikelompokkan menjadi 3: (1)
akibat hilangnya tonus otot, (2) akibat rotasi kepala dan mata, dan (3) akibat hentakan
klonik atau gerakan tonik. Lokasi cetusan biasanya intermediet antara frontal dan
sentral.
Istilah “gangguan kontak” lebih cocok ketimbang “gangguan kesadaran.” Gangguan
kontak bervariasi antar pasien, pada satu pasien, maupun dari satu serangan ke
berikutnya: (1) pada beberapa kasus, pasien mampu mempertahankan kontak umum
selama seizure dengan sangat baik. (2) terkadang, kontak terputus parsial. Pasien
mendengar namun tidak mengerti, atau mengerti namun tidak dapat menjawab, atau
melihat dan mendengar juga. (3) pada satu waktu, semua pasien akan mengalami
terputusnya kontak secara komplit. (4) terputusnya kontak kadang bersifat paradoksikal,
yaitu pasien menunjukkan kontak yang baik dengan materi sekitar sementara putus
kontak dengan manusia sekitar. Dari segi lokasi anatominya, cetusan yang terbatas
pada area bicara atau pada kutub (pole) akan menyebabkan terputusnya kontak.
Cetusan frontal bilateral menyebabkan terputusnya kontak secara komplit, sementara
bila unilateral tidak. Sehingga terputusnya kontak berhubungan dengan lokasi dan
luasnya cetusan.
Gangguan bicara biasanya berupa terhentinya ucapan, jarang yang berupa kesulitan
pengucapan. Cetusan selalu berlokasi di hemisfer dominan. Vokalisasi berlangsung
singkat, atau berulang, terdengar seperti tangisan, raungan, atau teriakan. Manifestasi
ini timbul bersamaan dengan cetusan ekstensif di girus frontal inferior dan girus
midfrontal sisi anterior, sering pada hemisfer dominan namun terkadang pada hemisfer
non-dominan.
Gangguan memori bervariasi dan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori: (1) amnesia
total, merupakan bentuk yang tersering. (2) amnesia parsial, di mana pasien dapat
mengingat sebagian gejala atau peristiwa yang terjadi di sekitar. (3) tanpa gangguan
memori, di mana pasien ingat seluruh kejadian di sekitarnya dan yang ia lakukan
selama seizure. Ketiadaan gangguan memori ini juga sering tanpa disertai gangguan
kontak, sehingga pasien menyangkal telah mengalami seizure. Hanya berdasarkan
manifestasi klinik yang stereotipik dan rekaman EEG bisa didapatkan bukti seizure yang
otentik. (4) gangguan memori tertunda, di mana selama seizure memori pasien
berfungsi baik. Namun ketika serangan berhenti, pasien kesulitan mengingat pertanyaan
yang tadi diajukan padanya.
Pada pasien ilustrasi kasus serangan “bengong” (tiba-tiba terdiam dengan tatapan
kosong) disusul dengan kelojotan yang disertai dengan gangguan memori sesuai
kategori nomor 1 dan 2. Di mana pasien terkadang tidak ingat saat terjadi serangan
“bengong” dan terkadang mengaku ingat saat mengalami serangan kelojotan namun
tidak mampu menceritakan secara lengkap bagaimana sikap atau gerakan yang pasien
lakukan. Selain itu, mungkin juga terjadi manifestasi gangguan bicara, karena
didapatkan keterangan bahwa pasien sering tiba-tiba terdiam saat sedang berbicara
dengan ibunya.
Imobilitas yang terjadi sebagai manifestasi awal disebabkan oleh 2 fenomena klinis:
rigiditas wajah atau suatu interupsi aktivitas normal, atau keduanya. Imobilitas selalu
disertai dengan gangguan kontak.
Otomatisme motorik sederhana terutama mengenai lengan dan jarang pada tungkai.
Pada saat serangan, pasien dapat melakukan gerakan mengusap dengan satu tangan,
atau gerakan yang lebih kompleks, seperti menekan objek atau menyentuh tungkai
pemeriksa. Otomatisme kompleks sering disertai mengeluyur (wandering) dan
terkadang bahkan agitasi.
Pada pasien ilustrasi kasus dapat disaksikan adanya gerakan otomatisme saat
dilakukan pemeriksaan EEG, berupa kedua kelopak mata membuka disertai gerakan
menelan dan tangan kiri mengusap mata.
Dua jenis sensasi subjektif dapat dialami pasien: (1) tipe parestesia, (2) persepsi
sensorik atas manifestasi klonik/tonik dan rotasi mata/kepala.
Pemeriksaan penunjang
Modalitas pencitraan pilihan untuk pasien seizure lobus frontal adalah MRI. MRI
keluaran terakhir dapat meningkatkan identifikasi lesi yang mendasari, yang mana
dilaporkan terdapat pada 50% pasien epilepsi lobus frontal. Position emission
tomography semakin sering dikerjakan untuk evaluasi prabedah pasien dengan epilepsi
ekstratemporal. Hipometabolisme interiktal, yang mencerminkan disfungsi fokal, dapat
terlihat pada area yang tampak normal pada MRI.
Semua pasien harus menjalani evaluasi EEG. Pada pasien
epilepsi intractable (refrakter), atau di mana diagnosis masih meragukan, perlu
dilakukan monitoring video-EEG berkepanjangan. Bila serangan lebih bersifat nokturnal,
dapat dipertimbangkan polisomnografi. Pasien yang dicurigai menderita epilepsi lobus
frontal sering membutuhkan monitoring EEG invasif. EEG intrakranial dilakukan untuk
melokalisir regio epileptogenik dan untuk pemetaan fungsional sebelum dilakukan
reseksi (pembedahan).
Pada pasien ilustrasi kasus tidak direncanakan pemeriksaan MRI karena kendala biaya,
sehingga digantikan dengan CT scan kepala dengan kontras. CT scan hanya dapat
menyaring lesi-lesi yang nyata dan mungkin tidak dapat memperlihatkan lesi kecil
seperti sklerosis.
Terapi
Seizure yang terjadi pertama kali tidak perlu diterapi, namun terapi antikonvulsan perlu
dimulai begitu diagnosis epilepsi ditegakkan. Manajemen ditujukan untuk
mengendalikan serangan dan menghilangkan etiologi. Obat lini pertama adalah
carbamazepine, oxcarbazepine, dan phenitoin. Episode nokturnal dengan manifestasi
motorik prominen berespon sangat baik dengan carbamazepin. Sebisa mungkin
diusahakan pemberian monoterapi, namun pada sebagian pasien diperlukan politerapi
untuk mengendalikan serangan secara adekuat. Pilihan terapi dipengaruhi faktor seperti
toleransi efek samping dan interaksi dengan obat lain.
Pada pasien ilustrasi kasus dipilih carbamazepin yang merupakan obat lini pertama
untuk epilepsi parsial kompleks.
Pasien dengan epilepsi intractable perlu dipertimbangkan untuk pembedahan reseksi.
Reseksi kortikal frontal adalah reseksi kortikal ekstratemporal yang paling umum
dikerjakan untuk epilepsi intractable. Meskipun angka keberhasilan kurang dari pada
pembedahan lobus temporal, kemajuan evaluasi prabedah semakin menunjukkan
peningkatan keluaran reseksi frontal. Bila reseksi tidak memungkinkan terdapat pilihan
pembedahan lain, antara lain: corpus callosotomy, multiple subpial transections,
atau vagal nerve stimulator.
Ketika pasien dengan seizure parsial gagal diterapi dengan antiepilepsi konvensional,
intervensi bedah menawarkan peluang untuk bebas serangan. Namun, intervensi bedah
pada onset lobus frontal memiliki berbagai kendala, termasuk area yang lebih besar,
reseksi lebih besar, dan area rawan yang harus dihindari. Sejumlah peneliti melaporkan
angka keberhasilan tinggi pada pasien yang refrakter menjadi bebas serangan dengan
menggunakan kombinasi divalproex dan lamotrigine, terutama pada kasus nonlesional.
Hal ini mungkin karena keduanya merupakan obat anti epilepsi spektrum luas.
Prognosis
Sekitar 65-75% pasien dengan seizure lobus frontal berespon terhadap antikonvulsan
yang sesuai dan menjadi bebas serangan. Angka ini lebih banyak dibandingkan dengan
kasus primary generalized seizure. Proporsi pasien epilepsi lobus frontal yang menjadi
bebas serangan, melalui penambahan obat atau pembedahan, lebih rendah bila
dibandingkan dengan pasien epilepsi lobus temporal. Angka bebas serangan menyusul
lobektomi temporal berkisar 50% hingga 70%, sementara angka bebas serangan pada
reseksi lobus frontal hanya antara 10% dan 25% (McCabe, dkk. 2001).
Prognosis pada pasien ilustrasi kasus kurang dapat ditentukan karena buruknya
kepatuhan untuk kontrol dan minum obat. Sehingga belum dapat diketahui respon
serangan terhadap pemberian carbamazaepin. Selain itu tidak diketahui data hasil CT
scan yang dapat membantu menetapkan apakah pasien mungkin masuk dalam kategori
simtomatik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Epilepsy and other seizure disorders. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adams and
Victor’s principles of neurology. 8th ed. USA: McGraw-Hill, 2005. p.271-8.
2. Shih T. Epilepsy and seizures. In: Brust JCM. Current diagnosis and treatment in
neurology. International ed. USA: McGraw-Hill,2007. p.48-9.
3. Blume WT. Complex partial seizures clinical description and diagnosis. In:Burnham
WM, Carlen PL, Hwang PA, editors. Intractable seizures diagnosis, treatment, and
prevention. New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher, 2002. p.13.
4. Classification of seizures. In: Fisch BJ. Fisch and spehlmann’s EEG primer basic
principles of digital and analog EEG. 3rd ed. Amsterdam: Elsevier science, 1999.
p.245-58.
5. Haut S. Frontal lobe epilepsy. [serial online] January 2007 [cited 2008 May 5th ].
Available from: URL: hyperlink http://www.emedicine.com
6. Geier S, et al. The seizures of frontal lobe epilepsy: a study of clinical manifestations.
Neurology. 1977;27:951-958.
7. Laskowitz DT, Ssperling MR, French JA, O’Connor M. The syndrome of frontal lobe
epilepsy: characteristics and surgical management. Neurology 1995;45:780-787.
8. Waterman K, Purves SJ, Kosaka B, Strauss E, Wada JA. An epileptic syndrome
caused by mesial frontal lobe seizure foci. Neurology 1987;37:577-582.
9. Lawson JA,et al. Clinical, EEG, and quantitative MRI differences in pediatric frontal
and temporal lobe epilepsy. Neurology 2002;58:723-729.
10. McCabe PH, McNew CD, Michel NC. Effect of divalproex-lamotrigine combination
therapy in frontal lobe seizures. Arch neurol. 2001;58:1264-1268.
SHARE THIS:

Anda mungkin juga menyukai