Anda di halaman 1dari 8

Nama : Siti Khalimatus Sa’diah

Nim : 1601112087

Kelas : PAI B

A. Latar belakang lahirnya Aliran Asy’ariyah


Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa
kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut
Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal
jama’ah. 1 Pendiri teologi Asy'ariyah ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan
Ali bin Ismail al-Asy'ari. Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abul
Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah
bin Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama yang dikenal sebagai salah
seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Abul Hasan al-
Asy'ari lahir di Basrah pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324
H/935 M.
Dalam suasana Mu’tazilah yang sedang keruh, al-Asy'ari dibesarkan dan
dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela aliran Mu’tazilah
sebaik-baiknya, tetapi kemudian aliran ini ditinggalkannya bahkan
dianggapnya sebagai lawan.2 Al-Asy'ari semula dikenal sebagai tokoh
Mu’tazilah, dia adalah murid dari al-Juba’i, seorang yang cerdas yang dapat
dibanggakan serta pandai berdebat, sehingga al-Juba’i sering menyuruh al-
Asy'ari untuk menggantikannya bila terjadi suatu perdebatan. Dia menjadi
pengikut aliran Mu’tazilah sampai berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu ketika
beliau mencapai umur 40 tahun, dia menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan
membentuk aliran teologi sendiri yang kemudian dikenal dengan nama
Asy'ariyah. Sebabnya Imam al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah tidak begitu

1
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1992, hlm. 131.
2
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. 8, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm.
127. Lihat juga A. Hanafi, Tologi Islam Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 54.
jelas. 3
Al-Asy'ari,sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham
Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang biasa
disebut, yang berasal dari al-Subki dan ibn Asyakir ialah bahwa pada suatu
malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad saw,
mengatakan padanya bahwa madzhab ahli haditslah yang benar, dan madzhab
Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat dengan gurunya al-
Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, sebagai berikut:
a. Al-Asy'ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut : mukmin, kafir,
dan anak diakherat.
b. Al-Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir
masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
c. Al-Asy'ari : Kalau yang kcil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di
surga, mungkinkah itu?
d. Al-Jubba’i : tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karena
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang
serupa itu.
e. Al-Asy'ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah
salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang
mukmin itu.
f. Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “aku tahu bahwa jika Engkau terus
hidup Engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum.
Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum Engkau sampai
kepada umur tanggung jawab”.
g. Al-Asy'ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa
depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya
Engkau tidak jaga kepentinganku? Di sini al-Jubbai terpaksa diam.4

3
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, al-Nahdah, Kairo, 1965, hlm. 65.
4
Ahmad Mahmud Subhi, Fi Illem al-Kalam, Dar al Kutub al-Jamiah, Kairo, 1969, hlm.
187
Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki
dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan
ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya
selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-
Asy'ari mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan
ajaranajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid, naik
mimbar dan menyatakan:
Hadiran sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir
tentang keterangan-keterangan dari dalil-dalil yang diberikan masing-masing
golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya.
Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya
sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut
keyakinankeyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-
keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.5
Di sini timbul soal apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan ragu
dalam diri al-Asy'ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan
paham Mu’tazilah? Berbagai tafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi keraguan itu timbul karena al-Asy'ari
menganut madzhab Syafi’i. al-Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang
berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah, umpamanya al-Syafi’i berpendapat
bahwa al-Qur'an tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat
dilihat di akherat nanti.6
Menurut Hammudah ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-
Asy'ari dari al-Jubba’i, menimbulkan persoalan-persoalan, yang tak mendapat
penyelesaikan yang memuaskan.7 Umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak
kecil tersebut di atas. Dari kalangan kaum orientalis, Mac Donald berpendapat
bahwa darah Arab Padang Pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang

5
Ahmad Amin, op.cit, hlm. 67.
6
Ahmad Mahmud Subhi, op.cit, hlm. 13.
7
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 5,
Universitas Indonesia (UI Press), 1986, hlm. 67.
mungkin membawanya kepada perubahan madzhab itu.8 Arab padang pasir
bersifat tradisional dan patalistis sedang kaum Mu’tazilah bersifat rasionil dan
percaya kepada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.
Patut juga diperhatikan pendapat Ali Musthafa al-Ghurabi bahwa keadaan
al-Asy'ari 40 tahun menjadi penganut Mu’tazilah, membuat kita tidak mudah
percaya bahwa al-Asy'ari meninggalkan paham Mu’tazilah hanya karena di
dalam perdebatan, dimana al-Jubba’i gurunya tidak dapat memberikan jawaban
yang memuaskan. Sayyed Amir Ali menuduh, mungkin sekali karena faktor
ambisi, sehingga al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah. Dengan caranya yang licik
dia dapat mempengaruhi dan meyakinkan orang banyak serta menggabungkan
diri dengan golongan Ahmad bin Hanbal (Ahlul Hadits) yang waktu itu
mendapat simpati Khalifah dan masyarakat.9
Bagaimanapun juga banyak analisa orang dikemukakan tentang alasan
keluarnya al-Asy'ari dari Mu’tazilah dan dalam suatu perdebatan tidak
mendapat jawaban yang memuaskan baginya, sehingga menimbulkan
keraguan. Harus pula diakui bahwa saat itu golongan Mu’tazilah sedang berada
dalam masa kemunduran. Demikian pula pertentangan paham sesama kaum
muslimin seperti tak akan bisa teratasi.
Al-Asy'ari, sebagai seorang ulama yang gairah akan keselamatan dan
keutuhan Islam serta kaum muslimin, ia sangat khawatir perbedaan dan
pertentangan pendapat pada waktu itu, akan menyeret ke dalam situasi yang tak
diinginkan. Oleh sebab itu perlu segera adanya pedoman yang dapat jadi
pegangan umat. Faktor-faktor inilah yang lebih dekat kepada kemungkinan,
mengapa al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah, di mana kemudian membentuk
aliran teologi baru.
B. Tokoh aliran Asyariah
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.

8
Abu al-Husein Abd al-Rahim ibn Muhammad ibn Ustman, Development of Muslim
Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Lahore, 1964, hlm. 187.
9
Nurchilis Majid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 28.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari
dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al- Bahili..
beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran
Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal.
Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan
manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan
seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai
sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan
Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau
sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Aliran Asy’ariyah
dan Maturidiyah Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam
mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan,
sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun
sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang
ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada buktibukti
dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui
berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan
konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
2. Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478
Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan
nama Iman Al-Haramain. Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran
yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-
Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata
Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud
Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan
Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. Mengenai soal perbuatan manusia, ia
mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada
pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang
terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung
pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab
yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan
demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu
Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada
tahu 1058-1111 Masehi. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah Paham
teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan pahampaham Al-
Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang
tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga
Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan
manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan
perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang
mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya
adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah.
Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah)
manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas
perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak
mungkin dikerjakan manusia.
C. Latar Belakang Munculnya Aliran Muturidiyah
Rupanya pertentangan faham antara Mu’tazilah/Qodariyah yang rasionalis
liberal dengan Ahlul Hadits yang tekstualis orthodoks bersama Jabariyah yang
fatalis, membawa pengaruh yang besar di dunia Islam. Tetapi barangkali kalau
tidak karena Mu’tazilah, maka tidak akan demikian besar reaksi yang ditimbulkan
karenanya. Reaksi terhadap Mu’tazilah lahir di tiga daerah Islam yang cukup
berjauhan dan dalam masa yang hampir bersamaan. Di Irak (Bashrah), Al-Asy’ari
(260-324 H) yang membentuk aliran Asy’ariyah. Di Mesir, At-Tahtawi (w. 321 H)
dan di Iran (Samarkand) Al-Maturidi (238-352 H). Mereka secara sendiri-sendiri di
daerahnya masing-masing, bersama-sama melawan Mu’tazilah. Manifestasi
daripada perlawanan itu tidak sama persis satu dengan yang lain, karena kondisi
daerahnya masing-masing, tetapi bagaimanapun antara ketiganya mempunyai
banyak persamaan. Sebenarnya kalau disebut perlawanan kurang begitu tepat,
sebab apa yang dilakukan mereka bermaksud untuk memberi pegangan ummat
dalam situasi perbedaan pendapat diantara kaum muslimin. Mereka tidak
mendukung salah satualiran yang ada, sebab ada hal-hal yang disetujui dan ada
pula sebagian yang perlu ditolak.
D. Pendiri dan Tokoh-tokoh Maturidiyah
Pendiri Maturidiyah adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud Al-Maturidi, sering pula disebut Abu Mansur. Lahir di kota kecil
Maturidi, daerah Samarkand (Soviet sekarang) pada ± 238/853 M dan
meninggal di Samarkand pula pada 333 H. Tidak banyak yang kita ketahui
tentang riwayat hidupnya, tetapi yang jelas ia adalah penganut madzhab
Hanafi.
Abu Mansur menerima pendidikan yang baik dalam berbagai bidang ilmu
ke-Islaman di bawah empat orang guru yang terkenal pada waktu itu, Syekh
Abu Baker Ahmad, Abu Nasr Ahmad bin Abbas yang dikenal sebagai Al-
Faqih As-Samarkandi, Nusair bin Yahya Al-Balkhi (w. 268) dan Muhammad
bin Muqotil Al-Rozi (w. 248) yang dikenal sebagai Qodli Al-Roy. Semua
mereka itu bermadzhab hanafi. Oleh sebab itu tidak heran apabila Abu Mansur
pun bermadzhab Hanafi.
Kita tidak begitu banyak mengetahui hasil-hasil pemikirannya karena
buku-buku karangannya masih dalam bentuk tulisan tangan dan belum dicetak.
Seperti kitabnya : Kitab At-Taukhid, Kitab Ta’wil Al-Qur’an, Risalah Fil-
Aqoid dan Syarah Al-Fiqh Al-Akbar.
Tokoh penting Maturidiyah adalah Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi
(421-493 H), neneknya adalah murid Al-Maturidi dan Al-Bazdawi
memperoleh ajaran-ajaran Maturidiyah daripadanya. Al-Bazdawilah yang
membawa ajaran Maturidiyah ke Bukhoro, yang memperoleh banyak pengikut
sehingga menjadi Maturidiyah aliran/cabang Bukhoro, dimana pendapat-
pendapatnya mendekati kepada faham Asy’ariyah. Sedang aliran-aliran asli
(Samarkand) lebih dekat kepada faham Mu’tazilah. Al-Bazdawi mengarang
kitab : Ushuluddin, sedang muridnya Najmuddin Muhammad Al-Nasafi (460-
537 H) mengarang Al-Aqoid Al-Nasafiyah.
Perngikut Al-Maturidi tidak selalu sefaham dengan gurunya, oleh sebab
itu ada dua aliran Maturidiyah, yaitu aliran Samarkand dan aliran Bukhoro.
Letak perbedaannya pada tingkat pengakuan akal sebagai instrumen
penafsiran kebenaran. Aliran Samarkand dikenal lebih dekat dengan
Mu’tazilah dalam beberapa pemikirannya, seperti penerimaannya At-Ta’wil
terhadap ayat-ayat yang memuat sifat-sifat antroposentris dari Tuhan.
Sementara aliran Bukhoro dalam hal ini lebih dekat dengan metodologi
berfikirnya Asy’ariyah.

Referensi :
Jurnal Pdf Aliran Mutaradiyah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Bimbingan dan
Konseling Islam, IAIN, 2012.

Anda mungkin juga menyukai