Anda di halaman 1dari 15

URGENSI MEMBENTUK

PERILAKU HIJAU DI INDONESIA


DALAM PERSPEKTIF TUJUAN
PEMBANGUNAN YANG
BERKELANJUTAN

Bimastyaji Surya Ramadan


Program Studi Magister Teknik Lingkungan,
Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10
Bandung 40132, Bandung
bimastyajisurya@gmail.com;
bimastyaji@s.itb.ac.id

Budaya dan Globalisasi


Budaya merupakan suatu sistem pengetahuan
dan norma yang digunakan untuk berperilaku,
berasa, dan percaya. Kebudayaan menyebabkan
adanya suatu pola-pola perilaku di dalam
masyarakat yang berbeda-beda di suatu daerah
dengan daerah yang lain. Manifestasi nilai-nilai
budaya tumbuh, berkembang dan terintegrasi
menjadi suatu identitas / ciri khas tertentu. Budaya
berkembang secara terus menerus melewati
dimensi waktu menyesuaikan dengan
pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang
terdapat di dalamnya sebagai subjek sekaligus
objek kebudayaan. Budaya menjadi batasan
apakah suatu perilaku dapat diterima atau tidak
(normatif).
Nilai budaya berkembang melalui suatu proses
pendidikan. Pendidikan mampu mempengaruhi
pemahaman masyarakat dan mampu mendorong
terjadinya perubahan kebudayaan yang signifikan
dalam tata hubungan suatu kelompok masyarakat.
Pembentukan perilaku atau jati diri dalam konteks
individu, tidak terlepas dari dua aspek, yaitu
pendidikan dan kebudayaan (baik sebagai variabel
antara maupun bebas).
Indonesia memiliki diversifikasi kebudayaan
yang sangat besar, hal ini terjadi karena kondisi
geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan.
Diversifikasi ini membuat Indonesia memiliki
kekayaan budaya yang luar biasa dan mampu
menarik minat wisatawan dari mancanegara.
Proses integrasi internasional yang terjadi di
dunia telah memunculkan era baru yang disebut
globalisasi. Globalisasi mampu merubah nilai-
nilai budaya dan identitas yang dimiliki suatu
kelompok masyarakat atau Negara. Tingginya
arus globalisasi dan perkembangan teknologi
akhirnya memberikan ancaman dan tantangan
bagi Indonesia.
Globalisasi secara tidak langsung telah
membuat masyarakat mengeliminasi batas-batas
sosial yang selama ini muncul diantara satu
kelompok dengan kelompok yang lain. Proses
lintas budaya dan silang budaya mampu membuat
asimilasi dan akulturasi yang dapat menciptakan
kemajuan kebudayaan baru yang positif dan lebih
bermakna. Proses tersebut banyak dirasakan di
kota-kota besar dimana informasi sangat mudah
didapatkan dan pendidikan mampu dijangkau
dengan baik. Sebaliknya, masyarakat di desa dan
daerah-daerah 3T masih terkendala dengan
instabilitas informasi dan kesenjangan sosial yang
dapat dirasakan secara nyata.
Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan
Tujuan pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development Goals, SDGs) terdiri
dari 17 target dan tujuan pembangunan global
yang direncanakan selama 15 tahun (2015 –
2030). Masing-masing Negara anggota PBB
menyatakan komitmennya untuk melaksanakan
program-program yang mendukung target dan
tujuan tersebut. Di Indonesia, tujuan
pembangunan yang berkelanjutan dilakukan
dengan melibatkan warga dan publik dalam setiap
poin sub target yang telah ditetapkan. Tujuan
pembangunan berkelanjutan tersebut meliputi :
bebas kemiskinan dan kelaparan, tingkat
kesehatan yang baik; pendidikan yang berkualitas;
persamaan gender; air bersih dan sanitasi, serta
energi yang bersih; pertumbuhan ekonomi,
infrastruktur, inovasi dan industri; berkurangnya
ketimpangan sosial; kota dan komunitas yang
berkelanjutan; konsumsi dan produksi yang
bertanggungjawab; aksi perubahan iklim; sumber
daya air dan ekosistem darat yang terpelihara;
perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang
efektif serta penguatan kembali kemitraan global
untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Perkotaan sebagai pusat aktivitas yang sangat
dinamis selalu memiliki berbagai macam masalah
lingkungan mulai dari pencemaran, kurangnya air
bersih, penumpukan sampah karena manajemen
yang berantakan serta penurunan kualitas
lingkungan akibat berbagai kegiatan ekonomi.
Pada akhirnya, penyediaan akses sanitasi dan air
minum menjadi suatu kewajiban yang harus
dipenuhi agar kelangsungan hidup dapat terjaga.
Meskipun pedesaan tidak memiliki masalah
sekompleks perkotaan tetapi kesenjangan sosial
dan ekonomi sangat terasa ketika dibandinngkan.
Oleh karena itu, rencana untuk mengupayakan
pelestarian lingkungan perlu dilakukan untuk
mewujudkan salah satu target pembangunan
berkelanjutan. Hal itulah yang kemudian
mendasari pentingnya pembudayaan perilaku
hijau di suatu wilayah khususnya di lingkungan
masyarakat perkotaan.
Urgensi Membentuk Perilaku Hijau
Perilaku hijau merupakan suatu istilah yang
menggambarkan perilaku seseorang yang secara
sadar melakukan kegiatan – kegiatan ramah
lingkungan (eco-friendly). Sebagai contoh,
adanya perilaku memilah sampah, membuang
sampah pada tempatnya, mengkampanyekan
hemat energi dan lain sebagainya. Perilaku hijau
pada dasarnya merupakan identitas, wawasan dan
kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang
telah memiliki paradigma pembangunan yang
berkelanjutan. Di dalam perspektif hubungan
internasional, perilaku hijau menjadi tolok ukur
penilaian / pemeringkatan industri (PROPER,
semakin peduli lingkungan, maka suatu industri
mendapatkan kepercayaan yang semakin besar
dari konsumennya) karena berkaitan dengan isu
global warming dan perubahan iklim yang
semakin mengkhawatirkan. SDGs merupakan
contoh komitmen internasional untuk membangun
perilaku hijau.
Hal yang paling sederhana untuk
menggambarkan perilaku hijau adalah bagaimana
kepedulian kita terhadap masalah sampah.
Sampah menjadi perhatian karena jika tidak
diatasi dapat mengakibatkan masalah-masalah
turunan seperti banjir dan penyakit yang berkaitan
dengan hygiene. Pemerintah Indonesia sebenarnya
telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk
menangani sampah, seperti Gerakan Disiplin
Nasional pada era Soeharto (1995) dan
dicanangkannya Hari Peduli Sampah Nasional
(2016) dengan mengkampanyekan Indonesia
Bebas Sampah 2020. Pada kenyataannya,
kepedulian masyarakat masih cukup rendah.
Perilaku memilah sampah masih sulit untuk
dilakukan.
Pemandangan yang kontras terlihat jika kita
berkunjung ke Negara maju, terutama yang sudah
menaruh perhatian besar terhadap tujuan
pembangunan berkelanjutan. Jepang misalnya,
aturan sangat dihargai sehingga masyarakat benar-
benar tidak akan membuang sampah sembarangan
meskipun tidak ada yang mengawasi. Walaupun
tong sampah sulit dijumpai disana, tetapi itu tidak
membuat masyarakat lantas membuang sampah di
sembarang tempat. Masyarakat berkomitmen
untuk melaksanakan aturan yang telah dibuat dan
disepakati. Contoh lain di Eropa, kesadaran untuk
menjaga kebersihan itu sudah dibentuk dari kecil.
Kedisiplinan merupakan perilaku yang tidak
terlepaskan dari keseharian masyarakat. Jika
terdapat pelanggaran, sanksi sosial akan
diterapkan pada pelakunya. Masyarakat sudah
berpikir ‘smart’ dimana identitas kota / kelompok
sudah menjadi bagian dari dirinya. Contoh lainnya
adalah di India, dengan jumlah penduduk dan
kondisi Negara yang mirip dengan Indonesia, saat
ini India mulai berbenah untuk memperbaiki
kualitas hidup rakyatnya. Perilaku hijau di India
mulai banyak diperkenalkan dan diterapkan.
Meskipun begitu, perlu diambil suatu benang
merah dan pelajaran bagaimana menerapkan
perilaku hijau di Indonesia dengan karakter
masyarakat yang cukup beragam.
Strategi Pembentukan Perilaku
Merubah budaya tidak semudah membalik
telapak tangan. Perlu konsistensi dan komitmen
serta komponen-komponen lain seperti sosialisasi
untuk mengenalkan dan mampu memberikan
kesadaran dan pengetahuan kepada masyarakat.
Mencetak generasi muda yang peduli lingkungan
adalah tugas semua pihak. Pendidikan merupakan
suplemen utama yang harus diberikan kepada
generasi muda agar mampu berperilaku hijau.
Tuntutan globalisasi sebenarnya telah memaksa
masyarakat untuk memahami perilaku hijau,
karena untuk bersaing pada ekonomi global, maka
seseorang / suatu kelompok harus berpikir tentang
sustainability dan environment.
Indonesia sebenarnya telah memiliki budaya
yang mendukung sustainable development goals.
Ramah tamah, gotong royong, saling
menghormati, musyawarah, toleransi merupakan
ciri khas bangsa yang mampu mempersatukan
suku-suku di berbagai kepulauan di Indonesia.
Tradisi dan budaya yang telah mengakar ini masih
dapat dilihat sampai sekarang meskipun
berpotensi untuk hilang suatu saat nanti. Segala
macam perbedaan justru memperkaya budaya dan
mampu dipersatukan dalam satu bahasa, Bahasa
Indonesia. Hal ini tergambar dalam Pancasila
sebagai dasar Negara. Nilai-nilai luhur bangsa dan
Negara tersebut sebenarnya sudah tercantum di
dalam semangat Pancasila.
Jika dikaitkan dengan tren globalisasi yang
masuk ke Negara Indonesia, generasi muda
sebenarnya memiliki peluang besar untuk
memanfaatkan tren tersebut. Kemudahan
menyampaikan pendapat melalui alat
telekomunikasi dan perkembangan media sosial
yang sangat pesat sebenarnya dapat dimanfaatkan
sebagai instrumen untuk melestarikan budaya
Indonesia dan memperkenalkannya kepada dunia.
Perilaku hijau sebagai bentuk kepedulian terhadap
lingkungan seharusnya dapat dengan mudah
diterapkan, mengingat akses informasi yang
sangat cepat dewasa ini. Kekayaan sumber daya
alam dan kondisi lingkungan Indonesia
sebenarnya cukup mendukung untuk mengurangi
dampak dari perubahan iklim (hutan Indonesia
sebagai paru-paru dunia). Tetapi sepertinya
kekayaan ini justru membuat kita lupa dan
berperilaku primitif yang dibuktikan dengan
masih banyaknya pencemaran lingkungan, tidak
terkendalinya penebangan liar dan masih banyak
perusakan lingkungan lainnya.
Di samping banyaknya peluang yang
didapatkan Bangsa Indonesia akibat adanya
globalisasi, terdapat pula beberapa tantangan yang
harus dihadapi bangsa ini terutama bagaimana
mengatasi sifat-sifat negatif mayoritas orang
Indonesia : hipokrit / munafik, segan dan enggan
bertanggung jawab, feodal, kedaerahan (percaya
tahayul), artistic, lemah dan tak dapat
mempertahankan keyakinannya, boros, tidak suka
bekerja keras kecuali dipaksa, suka menggerutu,
cemburu dan dengki, gila hormat dan rakus serta
suka meniru / plagiasi. Selain faktor internal
tersebut, penanaman perilaku menjadi semakin
sulit untuk dilakukan dengan tidak adanya
dukungan seperti finansial, partisipasi,
keteladanan dan fasilitas dari berbagai pihak-
pihak yang terkait. Tantangan harus mampu
dihadapi, terutama oleh generasi muda yang
menginginkan terbentuknya budaya cinta
lingkungan di masyarakat.
Untuk meningkatkan efektifitas penanaman
kesadaran dan pengetahuan tentang lingkungan ke
masyarakat, terdapat beberapa strategi yang dapat
diusulkan. Pertama, pendidikan perilaku tidak
hanya dilakukan di sekolah-sekolah pendidikan
saja, tetapi dapat berupa kampanye baik verbal
maupun non verbal, melalui sosial media maupun
media cetak seperti poster, banner dan billboard
karena model kampanye tersebut terbukti mampu
mempengaruhi alam bawah sadar seseorang
apabila dilakukan secara terus menerus dan
konsisten. Kedua, perlu adanya kolaborasi yang
kuat antara stakeholder (pemerintah, pebisnis,
NGO, kelompok masyarakat dan akademisi)
untuk membangun komitmen kelompok dan
pemimpin di masing-masing daerah. Agar suatu
program mampu berjalan secara berkelanjutan,
maka perlu adanya partisipasi aktif dari
masyarakat untuk melaksanakannya. Ketiga,
monitoring dan evaluasi perlu dilakukan hingga
kesadaran / pengetahuan tersebut kemudian
berubah menjadi suatu perilaku atau budaya.
Keempat, fasilitas ditambahkan ke dalam sistem
masyarakat agar motivasi masyarakat semakin
bertambah. Komunikasi yang positif dan
keberlanjutan akan membuat masyarakat merasa
memiliki program tersebut sehingga timbullah
perilaku yang diharapkan. Pembangunan fasilitas
merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi
pemeliharaannya menjadi tanggung jawab
bersama masyarakat. Yang terakhir, insentif perlu
diberikan kepada individu atau kelompok yang
mampu membangun perilaku hijau di dalam
dirinya. Hal ini akan memotivasi pihak lain untuk
melakukan hal yang sama. Kelima strategi
tersebut harus dilakukan berdasarkan keteladanan
dari negara - negara maju dengan tetap
mempertimbangkan nilai-nilai luhur budaya
bangsa.
Daftar Pustaka
http://anakmilitan.blogspot.co.id/p/orang-
indonesia-memiliki-12-sifat_13.html diakses
24/9/2016
http://ariplie.blogspot.co.id/2015/05/sistem-
pendidikan-nasional-dan-peran.html diakses
23/9/2016
http://kuliahmanajemenundip.blogspot.co.id/201
6/05/manajemen-lintas-budaya-konsep-
budaya.html diakses 23/9/2016
http://nicomaris.blogspot.co.id/2016/05/belajar-
dari-groningen-menjaga-kota.html diakses
24/9/2016
http://www.kompasiana.com/mahansa/budaya-
buang-sampah-di-
jepang_55d52029a2afbd3816b539b3 diakses
23/9/2016
Ramadan Bimastyaji Surya, Firdha Cahya Alam,
Benno Rahardyan. 2016. The Influence of
Environmental Campaign on Public
Awareness to Maintaining the Cleanliness and
Waste Reduction Program: a Case Study of
Bandung City. Scientific Journal of PPI-UKM,
Vol. 3 (2016) No. 1; ISSN No. 2356 – 2536.
R. Curnow, H. Saunderson, I. Donoghue, and K.
Spehr, “Building Collaborative Approaches to
Change Public Waste Behaviour,” in
WasteMINZ Annual Conference Focus on the
Future, 2013, pp. 1–10.

Anda mungkin juga menyukai