Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi in vitro prinsipnya


berdasarkan proses difusi pasif yang bertujuan melihat obat dapat menembus ke
dalam stratum korneum dan mengetahui seberapa banyak kadar obat yang masuk
dalam selang waktu yang telah ditentukan. Uji in vitro adalah prosedur yang
menggunakan peralatan dan perlengkapan uji tanpa melibatkan binatang
laboratorium atau manusia.
Stratum korneum sendiri adalah penghalang pasif pada kulit yang terdiri
dari sel-sel mati yang tidak memiliki transport aktif didalamnya. Stratum korneum
merupakan elemen pelindung yang paling efisien. Membran tersebut tahan
terhadap bahan reduktor keratolitik. Ketahanan ini tidak hanya disebabkan oleh
adanya jembatan disulfida, tetapi juga oleh ikatan kovalen antar molekul yang
belum banyak diketahui (Devissaquet, et al, 1993).
Obat yang pengaplikasinnya pada kulit disebut pemberian obat secara
perkutan. Bentuk sediaan yang diberikan bisa dalam bentuk transdermal (patch)
atau semisolid (gel, salep). Sasaran kerja pengobatan perkutan ini tidak hanya
untuk tujuan lokal, namun dapat juga sistemik.
Karakterisitik dari pemberian perkutan adalah memiliki bioavailabilitas
dengan absorpsi lambat, laju dapat beda, serta absorpsi obat meningkat pada
balutan oklusif. Keuntungan pemberian ini adalah sistem pelepasan transdermal
(patch), mudah digunakan, dapat digunakan untuk obat larut lemak dengan dosis
dan BM rendah. Sedangkan kerugiannya beberapa iritasi oleh patch atau obat,
penembusan kulit beda sesuai kondisi, site anatomi, usia & gender, tipe dasar
krim atau salap mempengaruhi pelepasan dan absorpsi obat (Shargel, L., 2012).
Pengujian kali ini dilakukan dengan menggunakan gel pirofel yang
mengandung piroksikam 5mg/ml piroksikam merupakan salah satu OAINS (obat
anti inflamasi non steroid) dengan struktur oksikam secara luas digunakan sebagai
analgetik dan anti inflamasi, piroksikam menyebabkan efek pada saluran cerna
apabila digunakan secara oral maka dibuat secara transdermal untuk menghindari
efek samping terhadap saluran cerna, salah satu bentuk sediaan yang diberikan
melalui kulit adalah dalam bentuk gel, dimana gel merupakan sistem semi padat
terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
organik yang besar, yang terpenetrasi oleh suatu cairan. Pose difusi in vitro obat
dapat dilakukan dengan menggunakan metode difusi dalam gel dan difusi melalui
membran.
Bahan aktif piroksikam memiliki BM lebih kecil dan sifatnya yang lebih
nonpolar dari pada turunan oksikam lainnya, sehingga piroksikam memiliki
kemampuan menembus kulit lebih besar dibandingkan turunan oksikam lainnya
(Soebagio, 2011). Piroksikam dibuat dalam sediaan gel karena dapat
meningkatkan daya penetrasi kedalam membran atau sel target (Depkes RI, 1995).
Faktor fisiologik yang mempengaruhi penyerapan perkutan:
1. Keadaan dan umur kulit
Pada keadaan patologis yang ditandai oleh perubahan sifat lapisan tanduk
(stratum korneum) bila stratum korneum rusak sebagai akibat pengikisan oleh
plester, kecepatan difusi air, hidrokortison, dan sejumlah senyawa lain secara
nyata akan meningkat. Difusi kulit juga tergantung pada umur subyek, kulit
anak-anak lebih dibanding kulit orang dewasa.
2. Aliran darah
Perubahan debit darah ke kulit secara nyata mengubah kecepatan penembusan
molekul. Pada sebagian besar obat, lapisan tanduk merupakan faktor penentu
pada proses penyerapan dan debit darah selalu cukup untuk menyebabkan
senyawa menyertakan diri dalam perjalanannya.
3. Tempat pengolesan
Jumlah zat diserap untuk satu molekul yang sama, akan berbeda tergantung
pada anatomi tempat pengolesan, perbedaan ketebalan terutama disebabkan
ketebalan lapisan tanduk berbeda setiap bagian tubuh, tebalnya beragam antara
9µm untuk kulit kantung zakar sampai 600µm untuk kulit tangan dan telapak
kaki.
4. Kelembaban dan suhu
Pada keadaan normal kandungan air dalam lapisan tanduk rendah, 5-15% tetapi
dapat di tingkatkan sampai 50% dengan pengolesan pada permukaan kulit satu
bahan pembawa yang dapat menyumbat. Peranan kelembaban terhadap
penyerapan perkutan tidak di ragukan lagi, stratum korneum yang lembab
mempunyai afinitas yang sama terhadap senyawa senyawa yang larut dalam air
atau pun lipida. Sifat ini disebabkan oleh struktur fisiologis sel tanduk dan
terutama oleh helai helai kreatin yang dapat mengembang dalam air dan pada
media lipida amorf yang meresap di sekitarnya.
Hal pertama yang dilakukan pada pengujian ini adalah menentukan
panjang gelombang maksimal dari piroksikam dengan konsentrasi 5 ppm dalam
dapar fosfat pH 7,4, hal tersebut dilakukan agar mendapatkan hasil nilai
absorbansi yang baik dan sesuai. Kemudian dibuat larutan seri dari piroksikam
tersebut untuk mendapatkan nilai konsentrasi obat pada tiap selang waktu yang
telah ditentukan dengan konsentrasi 5; 7,5; 10; 12,5 dan 15 ppm.
Pengujian dilakukan pada alat uji difusi dengan menggunakan membran
sintetis dimana mekanisme kerja layaknya difusi didalam membran sel tubuh
manusia. Suhu alat uji difusi pun diatur pada suhu 32°C yang disesuaikan dengan
suhu kulit pada manusia. Kemudian pada alat uji difusi tersebut digunakan dapar
fosfat degan pH 7,4 sebagai medium reseptornya, digunakan pH 7,4 karena pH
tersebut sesuai degan cairan fisiologis pada kulit manusia. Pengkondisian pH dan
suhu dimaksudkan untuk menghasilkan nilai pengukuran yang mendekati atau
sama apabila pengujian dilakukan langsung terhadap tubuh manusia. Membran
sintetis digunakan pada pegujian kali karena pada membran sintetis tersebut
mengandung komponen yang menyerupai dengan komponen kulit manusia yaitu
menyerupai struktur stratum korneum.
Setelah itu cuplikan diambil dengan menggunakan spuit sebanyak 2 mL
dengan interval waktu 15, 30, 60, 90, 120 dan 150 menit karena keterbatasan
waktu, hal ini dilakukan untuk meyesuaikan dengan waktu konsentrasi obat dalam
plasma mencapai puncak. Menurut (Brunton, et al, 2010) zat aktif piroksikam
mencapai waktu puncaknya dalam plasma selama 2-4 jam dan perkiran waktu
paruhya bervariasi tetapi rata-rata sekitar 50 jam.
Cuplikan yang diambil kemudian digantikan dengan dapar fosfat pH 7,4
sebanyak jumlah yang sama juga dengan cairan fisiologis tubuh manusia, agar
kadar obat di dalam cairan tetap sama. Kemudian cuplikan yang sudah diambil
tersebut diukur serapanya dengan spektrofometer UV pada panjang gelombang
345 nm. Digunakan spektrofotometer karena piroksikam memiliki kromofor yaitu
ikatan atau gugus fungsi spesifik dalam molekul yang bertanggung jawab atas
penyerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu. Kromofor ini dapat ditandai
dengan adanya ikatan rangkap terkonjugasi, gugus karbonil dan atau gugus
anorganik.
Data yang diperoleh dari percobaan adalah nilai absorbansi piroksikam
yang terdifusi kemudiaan dihitung sehingga diperoleh konsentrasi piroksikam
yang terdifusi per luas membran dengan waktu, pada menit ke 15 konsentrasi
piroksikam yang berdifusi cukup tinggi yaitu 292,872 µg/mL, selanjutnya pada
menit ke 30 konsentrasi piroksikam meningkat yaitu 299,58 µg/mL hal ini
disebabkan pada waktu awal dipengaruhi oleh proses pengolesan gel piroksikam
pada membran difusi sehingga membantu piroksikam untuk berdifusi, namun
pada menit ke 60 secara berturut-turut sampai ke menit ke 150 konentrasi
piroksikam menurun sedikit demi sedikit yaitu 281,928 µg/mL, 244,512 µg/mL,
198 µg/mL dan 155,568 µg/mL. Kemudian dilakukan juga perhitungan faktor
koreksi dilakukan agar memiliki nilai konsentrasi sebenarnya, karena pada saat
pengambilan sample sebanyak 2 ml di setiap selang waktu dapat saja terjadi
kesalahan.
Berdasarkan data percobaan konsentrasi yang didapat tidak berbanding
lurus untuk setiap masing-masing interval waktu. Karena seharusnya konsentrasi
piroksikam yang dapat menembus membran berbanding lurus dengan waktu dan
berbanding dengan tebal membran sesuai dengan hukum Lambert-Beer, dimana
semakin lamanya waktu maka semakin besar jumlah ataupun konsentrasi yang
dapat menembus membran. Hasil tidak diperoleh dengan cukup baik dikarenakan
terdapat kesalahan-kesalahan dalam pengambilan sampel, bentuk sediaan gel
karena obat larut lemak cenderung untuk penetrasi ke membran sel lebih mudah
daripada molekul polar dan gel mengandung banyak molekul yang polar karena
gel piroksikam mengandung komposisi asam oleat dimana asam oleat kurang
mampu untuk berpenetrasi ke dalam membran difusi (stratum corneum) atau pun
dari faktor-faktor lainnya.
Kemudian kemungkinan obat yang terdifusi tidak tercampur homogen dan
pengambilan cuplikan yang tidak tepat sehingga hasil yang didapat berbeda-beda
tidak sesuai yang seharusnya sesuai waktunya. Kemungkinan lainnya yaitu dari
alat (spektrofotometer) yang digunakan tidak dalam kondisi yang baik karena
sebelumnya tidak dilakukan kalibrasi alat untuk melihat alat tersebut
menunjukkan hasil yang sesuai atau tidak. Dapat juga dipengaruhi dari tebal
membran dan pengaruh penetrant enhancer pada sediaan gel yang digunakan.

KESIMPULAN
Data yang diperoleh dari percobaan adalah nilai absorbansi piroksikam
yang terdifusi kemudiaan dihitung sehingga diperoleh konsentrasi piroksikam
yang terdifusi per luas membran dengan waktu, pada menit ke 15 konsentrasi
piroksikam yang berdifusi cukup tinggi yaitu 292,872 µg/mL, selanjutnya pada
menit ke 30 konsentrasi piroksikam meningkat yaitu 299,58 µg/mL, namun pada
menit ke 60 secara berturut-turut sampai ke menit ke 150 konentrasi piroksikam
menurun sedikit demi sedikit yaitu 281,928 µg/mL, 244,512 µg/mL, 198 µg/mL
dan 155,568 µg/mL.
Berdasarkan data percobaan konsentrasi yang didapat tidak berbanding
lurus untuk setiap masing-masing interval waktu. Karena seharusnya konsentrasi
piroksikam yang dapat menembus membran berbanding lurus dengan waktu dan
berbanding dengan tebal membran sesuai dengan hukum Lambert-Beer , dimana
semakin lamanya waktu maka semakin besar jumlah ataupun konsentrasi yang
dapat menembus membran.
Hasil tidak diperoleh dengan cukup baik dikarenakan terdapat kesalahan-
kesalahan dalam pengambilan sampel, bentuk sediaan gel karena obat larut lemak
cenderung untuk penetrasi ke membran sel lebih mudah daripada molekul polar
dan gel mengandung banyak molekul yang polar karena gel piroksikam
mengandung komposisi asam oleat dimana asam oleat kurang mampu untuk
berpenetrasi ke dalam membran difusi (stratum corneum) atau pun dari faktor-
faktor lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shargel, L.,Wu, S., dan Yu, Andrew B.C. 2012. Biofarmasetika &
Farmakokinetika Terapan, Edisi kelima. Airlangga University Press:
Surabaya.
Soebagio B, Gazali D, Nadiyah. 2011. Pengaruh Asam Oleat Terhadap Laju
Difusi Gel Piroksikam Basis Aqupec 505 HV In Vitro. Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran :Bandung.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan: Jakarta.
Devissaquet J, Aïache JM, Penerjemah: Widji Soeratri. 1993. Farmasetika 2
Biofarmasi, edisi kedua. Airlangga Uiversity Press: Surabaya
Brunton, et al. 2010. Goodman & Gilman: Manual Farmakologi dan Terapi.
EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai