Johannes Adiyanto
Dosen Program Studi Teknik Arsitektur FT UNSRI
Wakil Ketua LSAI (Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia)
johannesadiyanto@ft.unsri.ac.id
johannesadiyanto@yahoo.com
PENDAHULUAN
Pada malam itu pula, 28 Desember 1946, terjadi insiden antara pasukan Belanda dan TRI.
Kali ini, pasukan Belanda yang terlebih dahulu melakukan pelanggaran. Kala itu, dua
perwira TRI dari unit polisi militer sedang berjalan dari arah Tengkuruk menuju Pasar
Lingkis. Tiba-tiba, dari arah belakang, meluncur sebuah mobil yang mengangkut pasukan
militer Belanda.
(sumber http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/republika_2011-03-17.pdf)
Di lokasi Pasar Cinde pada masa awal kemerdekaan dikenal dengan sebutan Pasar Lingkis.
Penamaan Pasar Lingkis dikarenakan di daerah tersebut banyak pedagang dari daerah
Lingkis, Jejami, Ogan Komering Ilir. Perkembangan pasar Lingkis tidak terlepas dari adanya
sarana infrastruktur jalan darat dari arah Pasar 16 Ilir ke arah utara Palembang. Pasar
Lingkis diduga muncul sebagai pasar ‘dadakan’ karena Pasar 16 Ilir sebagai pusat
perdagangan tidak lagi menampung kegiatan jual beli.
Pada perkembangannya, pasar Lingkis ini kemudian diatur oleh Pemerintah Kota
Palembang dan dibangunlah sebuah Pasar yang lebih representatif, yang sekarang disebut
Pasar Cinde. Pembangunan Pasar Cinde didanai dari pinjaman Bank Tabungan Negara
(BTN). Awal mulanya lokasi Pasar dirancang di tengah jalan yang sekarang terdapat
monumen, namun kemdian digeser di sisi Jl. Sudirman (Santun, 2011, hal. 171). Rancangan
Pasar Cinde mencontoh gaya arsitektur dari Pasar di Semarang (Pasar Djohar, Pasar Bulu
dan Pasar Jatingaleh) karya Thomas Kasten.
Permasalahannya apakah Pasar Cinde layak untuk dimasukkan dalam bangunan Cagar
Budaya? Tulisan ini akan membahas hal tersebut dalam perspektif arsitektural.
METODE
Metode Analisa
Metode analisa menggunakan metode analisa deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif adalah
metode yang mendeskripsikan secara apa adanya yang menggunakan penjelasan data
berupa kondisi obyek kajian/studi yang diperoleh dari hasil survey lapangan yang berupa
pengamatan dan wawancara. (Antariksa, 2011). Teknik analisa tulisan ini menggunakan
metode analisa deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, sebab analisa dilakukan dengan
variabel deskriptif yang diberi peringkat /skoring. Hasil analisanya adalah sebuah angka
yang menunjukkan tingkat tertentu.
1
Variabel Penilaian.
Variabel penilaian makna kultural bangunan didasarkan pada kriteria estetika, kejamakan,
kelangkaan, peranan sejarah, keluarbiasaan dan karakter bangunan (diolah dari (Antariksa,
2011).
ANALISA
1. Analisa Estetika
Estetika bangunan terkait dengan variabel konsep dan kondisi bangunan. Penilaian
estetika berdasarkan terpeliharanya elemen–elemen bangunan dari suatu perubahan,
sehingga bentuk dan gaya serta elemen–elemen bangunan masih sama dengan bentuk
dan gaya bangunan asli (Antariksa, 2011).
Berdasarkan foto sekitar tahun 1960an akhir bangunan Pasar Cinde terlihat sebagai
berikut :
2
Foto 1 Pespektif Tampak Depan Pasar Cinde (diduga diambil tahun 1960an)
Sumber http://palembangbbbpf.blogspot.co.id/2013/10/sejarah-pasar-cinde.html
Perubahan tampak depan Pasar Cinde terjadi diperkirakan pada tahun 1970an, dengan
penambahan tangga dan pintu masuk utama langsung ke lantai 2 Pasar.
Foto 2 Tampak Penambahan Tangga dan Pintu Masuk Utama di Lantai 2 Pasar Cinde
Sumber http://barasatu.com/2016/05/wow-pasar-aldiron-cinde-akan-dibangun-12-
lantai/pasar-cinde-bakal-direvitalisasi-menjadi-pasar-modern-dan-juga_20160126_145607/
3
Kriteria penilaian estetika didasarkan hal berikut
Tabel 2 Kriteria Penilaian Estetika
Dengan kriteria penilaian tersebut Tabel 2 maka Pasar Cinde mendapat nilai 3, karena
hanya ada perubahan kecil pada bagian depan/ pintu masuk tanpa merubah karakter
aslinya.
2. Analisa Keluarbiasaan
Jika ditinjau dari usia bangunan, Pasar Cinde dibangun tahun 1957-58, atau telah
berusia 58 tahun. UU no 11 tahun 2010 pasal 5 a menyebutkan kriteria bangunan Cagar
Budaya adalah yang telah berusia 50 tahun atau lebih.
Bentuk bangunan Pasar Cinde memperhatikan iklim tropis lembab Palembang. Desain
dengan pendekatan arsitektur tropis diterapkan secara ‘benar’ dalam desain Pasar
Cinde ini. Dengan adanya celah setinggi 1 meter yang memunculkan atap bertingkat
membuat sirkulasi udara berjalan baik. Udara panas akan mudah lepas ke udara bebas
yang mendorong udara dingin masuk dari bagian bawah / tubuh Pasar. Pasar ini juga
dilengkapi dengan tingkap cahaya pada bagian atap tertinggi, ini membawa akibat
masuknya sinar matahari ke dalam bagian interior pasar.
4
Site Pasar Cinde berada di poros utama jalan Kota Palembang, di sisi barat Jl.
Sudirman.
Pasar Cinde
Masjid Agung
Jembatan Ampera
Kantor Walikota
Tinjauan lokasi dan foto udara menunjukkan bahwa Pasar Cinde merupakan landmark
kota Palembang modern. Perkembangan Palembang setelah kemerdekaan tidak lagi
menyusuri pinggiran Sungai Musi tapi sudah mengarah ke bagian Utara Kota
Palembang. Salah satu bukti ‘artefak sejarahnya’ adalah Pasar Cinde yang dibangun
tahun 1958 atau pasar pertama yang dibangun setelah kemerdekaan RI tahun 1945.
Jika mengacu pada Foto 1 nampak bahwa Pasar Cinde mempunyai wujud yang
dominan di kawasan sekitarnya. Saat ini juga sebenarnya wujud Pasar Cinde juga
masih dominan andai kemacetan dan penataan parkir di sekitar Pasar tidak
menghalangi wajah Pasar ini (lihat Foto 4).
Dengan jabaran analisa keluarbiasaan arsitektural diatas maka bobot nilai Pasar
Cinde berada di angka tertinggi, nilai 3. (berdasar pada Tabel 3 Kriteria Keluarbiasaan
Arsitektural)
5
Tabel 3 Kriteria Keluarbiasaan Arsitektural
No. Penilaian Bobot Nilai Keterangan
1. Rendah 1 Bangunan tidak mendominasi keberadaan
lingkungan bangunan sekitarnya.
2. Sedang 2 Bangunan memiliki beberapa elemen yang
berbeda dengan lingkungan bangunan di
sekitarnya
3. Tinggi 3 Keseluruhan bangunan terlihat dominan
sehingga dapat menjadi landmark.
Sumber (Antariksa, 2011)
Nama Cinde begitu lekat dengan pasar terkenal, namun ada yang lebih monumental
dengan nama tersebut. Sebuah nama yang akan membuat kota ini tak ada, apalagi
dengan wajah seperti saat ini jika tak ada nama itu. Bagaimana tidak Cinde Walang
adalah nama lain dari pendiri Kesultanan Palembang, sebuah kerajaan yang usia
mencapai lebih dari satu setengah abad (1659—1825). Kawasan Cinde dalam
kearkeologian lebih dikenal sebagai lokasi kompleks pemakaman sultan pertama
Palembang, yang dalam naskah-naskah kuna dikenal juga dengan nama Susuhunan
Cinde Welan atau Cinde Balang atau Sultan Abd ar-Rahman yang berkuasa sejak tahun
1662-1702 Beliau naik tahta pascapenghancuran Kerajaan Palembang, akibat perang
melawan Belanda tahun 1659. Lokasi pemakaman terletak di sebelah barat Jalan
Jenderal Sudirman Palembang, berjarak sekitar 100 meter atau tepat di belakang pasar
Cinde. Pemakaman Cinde Welan merupakan salah satu unsur atau komponen perkotaan
yang dibangun oleh Sultan Abdurrahman, selain kraton Beringinjanggut, masjid, dan
permukiman penduduk.
Pada masa kolonial tidak diketahui secara jelas peran Cinde, namun menurut penuturan
warga Palembang, di daerah ini sebelum kemerdekaan pernah difungsikan sebagai pasar
Lingkis, karena di tempat ini banyak terdapat pedagang dari daerah Lingkis, Jejawi,
Ogan Komering Ilir. Pada pedagang dari Lingkis tersebut juga bermukim tidak jaun dari
pasar. Pada masa Perang Lima Hari Lima Malam pada tahun 1947, daerah Cinde
merupakan salah satu titik pertempuran, tempat sebagian para pejuang dari Kebon
Duku mengambil posisi di area ini.
Dengan bahasan diatas maka kawasan Cinde merupakan kawasan penting dalam
perkemangan kota Palembang. Pasar Cinde adalah tengara wilayah penting dalam
perkemangan kota dan juga tetenger / landmark kawasan, serta penanda
perkembangan kota Palembang ke arah Utara atau dapat disebut sebagai daerah baru,
yang lebih modern.
Pembahasan singkat tentang peranan Pasar Cinde baik secara kawasan maupun secara
bangunan terlihat bahwa pasar Cinde dan kawasan sekitarnya mempunyai peran penting
dalam perkembangan kota Palembang, terutama setelah kemerdekaan. Pasar Cinde
merupakan ‘tanda’ bagi pembangunan kota Palembang setelah kemerdekaan. Bisa
dikatakan bahwa Pasar Cinde adalah ‘jembatan penghubung’ antara Kesultanan
Palembang Darussalam (karena adanya makam Cinde Welan) dan Palembang pasca
6
kemerdekaan. Pasar Cinde adalah tonggak sekaligus penghubung kesejarahan kota
Palembang.
Dengan demikian maka bobot nilai dalam kriteria peranan sejarah Pasar Cinde
mempunyai nilai yang tinggi atau maksimal yaitu 3 berdasar kriteria peranan sejarah.
4. Analisa Kelangkaan
Mengacu pada kriteria kelangkaan pada Tabel 5, maka pasar Cinde memiliki
bentuk arsitektural yang langka (kriteria paling tinggi, bobot nilai 3) jika dibandingkan
dengan kawasan sekitarnya, sebab bentuk dan gaya bangunan Pasar Cinde satu-
satunya di Palembang.
Ada sumber yang menyatakan bahwa Pasar Cinde dirancang oleh arsitek yang
sama dengan perancang Pasar Djohar Semarang.
A stadspasar was mostly built on expensive land, so the availabes space was utilised
as efficiently as possible. The Johar and Cinde pasars were designed by H. Thomas
Karsten. The building system was registerd with the Dutch Concrete Company
(Hollandsche Beton Maatschappij, HBM) and executed by HBM constructors.
(Passchier, 2016)
7
Dengan jabaran tersebut maka Pasar Cinde mempunyai nilai kelangkaan yang
sedang, karena walaupun satu-satunya Pasar berkolom cendawan di luar Jawa,
yang dirancang oleh Thomas Karsten, namun masih ada yang menyamai/ kembaran
yaitu Pasar Johar, Pasar Jatingaleh dan Pasar Randusari di Semarang. Dengan
kondisi ini maka bobot kelangkaan adalah 2 (dua) atau dalam penilaian sedang.
Dengan dasar tabel tersebut maka Pasar Cinde memiliki nilai maksimal 3 karena
memiliki 3 nilai tinggi pada 4 aspek sebelumnya.
8
7. Rekapitulasi Penilaian
Jabaran diatas telah menentukan penilaian dari masing-masing kriteria. Jika di
rekapitulasi maka total bobot penilaian keberadaan Pasar Cinde adalah sebagai
berikut :
Penilaian Keterangan
Nilai < 10 Potensial rendah
Nilai 11– 15 Potensial sedang
Nilai > 16 Potensial tinggi
Sumber (Antariksa, 2011)
KESIMPULAN
Dengan penjelasan dan analisa diatas maka dapat dipastikan bahwa Pasar Cinde
mempunyai POTENSI TINGGI untuk ditetapkan sebagai BENDA CAGAR BUDAYA.
Analisa arsitektural ini menyangkut aspek yang komprehensif tidak hanya pada sentimentil
atau nostalgia belaka namun menyangkut pada identitas kota Palembang secara umum.
Menurut arsitek asal Belanda Cor Passchier, melihat bangunan tidak hanya melihat jendela atau
pintunya saja tetapi juga kontek dibalik dibangunnya bangunan tersebut. “Bangunan bisa mulai dari
apa bangunan itu, dimana dibangun, kenapa dibangun dan siapa yang merancangnya. .....,”
Sumber : http://berita.suaramerdeka.com/bangunan-bukan-sekedar-tumpukan-material/
REKOMENDASI
Dengan analisa bahwa Pasar Cinde mempunyai potensial tinggi sebagai Benda Cagar
Budaya, seperti analisa diatas maka kriteria penyelamatannya juga ada spesifikasi tertentu.
Antariksa membaginya menjadi 4 kelas penanganan fisik bangunan, yaitu preservasi,
konservasi, rehabilitasi dan rekonstruksi (Antariksa, 2011).
9
Preservasi : berkenaan secara tidak langsung terhadap pemeliharaan artifak pada kondisi
fisik yang sama seperti ketika diterima olek kurator. Penampilan estetiknya tidak boleh ada
yang ditambah atau dikurangi. Intervensi apapun yang perlu untuk mem-preserve integritas
fisiknya hanya boleh pada permukaan (kulit) saja dan tidak mencolok (seperti kosmetik).
(Busono, 2012)
Mengacu pada kriteria teknik pelestarian fisik dari Antariksa pada Tabel 10, maka Pasar
Cinde dengan potensial tinggi sebagai Benda Cagar Budaya perlakuan preservasi maupun
restorasi sangat disarankan untuk mengembalikan wujud asli bangunan maupun elemen-
elemen bangunan yang memiliki nilai tinggi dan telah banyak berubah. Pengembalian
elemen tersebut disarankan menggunakan bahan maupun material yang sama atau
mendekati agar dapat menghasilkan nilai bangunan sesuai dengan kondisi aslinya
(Antariksa, 2011).
Pada klasifikasi lain (Kasdi, 2015) Pasar Cinde masuk dalam Bangunan Cagar Budaya
Golongan A dengan konsekuensi : “...yang harus dipertahankan dengan cara preservasi
(dilarang dibongkar, dibangun seperti semula sesuai aslinya, bahan
sama/sejenis/berkarakter sama, bisa ahli fungsi, tidak mengubah bentuk aslinya, bangunan
baru dalam persil harus terpisah)”
10
Daftar Pustaka
Antariksa. (2011, Oktober 1). Metode Pelestarian Arsitektur . Retrieved Juni 10, 2016 , from
Architecture Article : http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/10/metode-pelestarian-arsitektur.html
Jokilehto, J. (2005, Januari 15). Definition of Cultural Heritage, References to Documents in History.
Retrieved Juni 14, 2016, from International Training Commitee ICOMOS :
http://cif.icomos.org/pdf_docs/Documents%20on%20line/Heritage%20definitions.pdf
Kasdi, A. (2015, Mei 13). Penyusunan Pedoman Revitalisasi Cagar Budaya . Retrieved Juni 14, 2016,
from Kebudayaan Kemdikbud: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-
content/uploads/2013/06/Aminuddin-Kasdi-MASUKAN-PENYUSUNAN-PEDOMAN-REVITALISASI-
BCB.pdf
Santun, D. I. (2011). Venesia dari Timur : Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota
Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial. Yogyakarta: Ombak.
11