Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa depan sumber daya hutan secara global telah menjadi pusat perhatian
,pengamanan areal hutan perlu dipertegas dengan mempertahankan peran jasa
ekosistem hutan agar tetap lestari ditengah tekanan meledaknya angka
pertumbuhan penduduk .Peran dan posisi masyrakat setempat sebagai agen
penjaga dan pemerhati hutan sangat dibutuhkan bagi kelestarian keanekaragaman
hutan. Taman Hutan Raya (Tahura) yang berlokasi di kawan Carita, Kabupaten
Pandeglang, merupakan salah satu aset yang dimiliki Pemerintah Provinsi Banten
sebagai kawasan konservasi alam.Taman hutan raya (tahura)
merupakan pelestarian alam terkombinasi antara pelestarian eksitu dan insitu.
Tahura bertujuan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Risnandar, 2008). Sesuai
dengan peraturan tata ruang, penunjukan Tahura tersebut menjadikan kawasan
lindung di Provinsi Banten dikarenakan adanya perubahan fungsi kawasan hutan
dari hutan produksi menjadi taman hutan raya (tahura) seluas ± 1.495 Ha
(Dishutbun,2012).Sebelum Tahura Banten diresmikan pada tanggal 4 Mei 2013,
Tahura Banten sebelumnya merupakan Taman Wisata Alam Carita yang terus
diperluas menjadi Tahura(Dishutbun, 2012). Taman Wisata Alam Carita diperluas
menjadi tahura karena wilayahnya memiliki kekhasan ekosistem, baik ekosistem
alami atau buatan, pantai dan pegunungan serta memiliki aksesibilitas dalam
rangka pengembangan wisata alam berbasis hutan (Maesarohdkk, 2015). Kawasan
Tahura yang terletak di Kabupaten Pandeglang ini termasuk dalam hutan tropis
yang terletak di dataran rendah dan berdekatan dengan laut, sehingga memiliki
flora dan fauna yang khas .Kawasan Tahura ini juga dapat di fungsikan sebagai
kawasan wisata yang bisa dinikmati masyarakat umum.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui dan mempelajari komponen biotik yang terdapat di Taman


Hutan Raya Banten
2. Mengetahui dan mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan yang
terdapat di Taman Hutan Raya Banten
3. Mengetahui dan mempelajari keanekaragaman satwa yang terdapat di
Taman Hutan Raya Banten
4. Mengetahui dan mempelajari teknik herbarium dengan memanfaatkan
keanekaragaman jenis tumbuhan di Taman Hutan Raya Banten
1.3 Manfaat

Praktikum di Taman Hutan Raya Banten yang dilaksanakan 14 dan 15


Oktober 2017 bermanfaat mengetahui keanekaragaman flora dan fauna yang ada
di Taman Hutan Raya serta memahami konsep pelestarian alam secara langsung.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi merupakan kawasan dimana konservasi sumber daya


alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang
ada, tidak memuat definisi mengenai kawasan konservasi secara jelas. Adapun
pengertian kawasan konservasi yang ditemukan dan digunakan oleh Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam(PHKA), Departemen
Kehutanan adalah “kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung”. Sementara itu istilah-
istilah yang lebih dikenal adalah “kawasan lindung“.
Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam merupakan kawasan yang
mempunyai ciri khas tertentu, baik itu di daratan ataupun di daerah perairan yang
mempunyai fungsi pokok yaitu sebagai sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan juga pada satwa. Kawasan suaka alam sendiri
memiliki ekosistem yang sekaligus dapat di fungsikan sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam terdiri atas kawasan cagar alam dan
kawasan suaka marga satwa. Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam
yang ciri keadaan alamnya memiliki kekhasan tersendiri dari tumbuhan, satwa,
dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya keberlangsungan secara alami. Kawasan suaka margasatwa
juga merupakan suatu kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas tersendiri
yaitu berupa keanekaragaman dan juga suatu keunikan jenis satwa untuk
kelangsungan hidupnya serta dapat dilakukan suatu pembinaan terhadap
habitatnya. Suatu kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan cagar alam
apabila telah mempunyai kriteria yang telah ditetapkan sebagai berikut:
 Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan serta satwa dan tipe ekosistem.
 Memiliki komunitas tumbuhan dan juga satwa beserta ekosistemnya yang
sangat langka atau keberadaannya terancam punah.
 Mewakili formasi dari biota tertentu dan unit-unit penyusunannya.
 Memiliki kondisi alam, baik biota ataupun fisik yang memang masih asli
dan tidak atau belum diganggu manusia.
 Memiliki luas yang cukup dan juga mempunyai bentuk tertentu agar dapat
menunjang suatu pengelolaan yang sangat efektif untuk menjamin
keberlangusngan suatu proses ekologis secara alami.
 Memiliki suatu ciri khas potensi tersendiri,yang dapat menjadi contoh
ekosistem yang keberadaannya memerlukan suatu upaya konservasi
tersendiri.
 Memiliki komunitas tumbuhan dan juga satwa beserta ekosistemnya yang
sangat langka atau keberadaannya terancam punah.

Suatu kawasan dapat menjadi kawasan suaka margasatwa apabila telah memenuhi
kriteria sebagai berikut.
 Merupakan suatu tempat hidup dan juga perkembangbiakan serta jenis
satwa yang memang sangat perlu untuk dilakukan upaya konservasinya.
 Mempunyai keanekaragaman serta populasi satwa yang sangat tinggi.
 Merupakan habitat dari suatu jenis satwa dan dikhawatirkan akan punah.
 Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu dan
Memiliki luas yang sangat cukup sebagai habitat jenis satwa yang
bersangkutan.

Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam merupakan
kawasan yang juga mempunyai ciri-ciri khas tertentu pada daerahnya, baik itu
yang ada di daratan ataupun di perairan, yang mempunyai fungsi sebagai
perlindungan suatu sistem penyangga dalam kehidupan,serta pengawetan
keanekaragaman dan juga jenis tumbuhan serta satwa, serta dalam upaya
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan juga pada sektor
ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam dapat terbagi menjadi beberapa kawasan
taman nasional, kawasan taman hut an raya, dan kawasan taman wisata alam.
Suatu kawasan yang bisa ditunjuk sebagai kawasan taman nasional apabila sudah
memiliki kriteria yang telah disebutkan sebagai berikut.
 Kawasan yang ditetapkan memiliki luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami.
 Memiliki sumber daya alam yang mempunyai khas tersendiri dan juga
unik, baik berupa jenis tumbuhan ataupun satwa dan ekosistemnya, serta
gejala alam yang utuh atau alami.
 Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang utuh.
 Mempunyai keadaan alam yang sangat asli dan juga alami untuk
dikembangkan sebagai pariwisata alam.
 Merupakan kawasan yang bisa dibagi menjadi zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba, dan juga zona lain yang karena pertimbangan
dan juga kepentingan rehabilitasi kawasan, serta ketergantungan penduduk
yang ada di sekitar kawasan, dan juga dalam rangka untuk mendukung
suatu upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang
bisa ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Suatu kawasan yang ditetapkan menjadi suatu kawasan taman hutan raya apabila
apabila telah memiliki suatu kriteria yang sudah ditetapkan sebagai berikut.
 Merupakan kawasan dengan ciri khas, baik asli maupun buatan, baik pada
kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang
ekosistemnya telah berubah.
 Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan
koleksi tumbuhan atau satwa, baik jenis asli atau bukan asli.
 Mempunyai keindahan alam dan juga gejala alam

Suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
 Memiliki daya tarik alam tersendiri yang berupa tumbuhan, satwa, atau
ekosistem gejala alam dan juga formasi geologi yang menarik.
 Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin sutau kelestarian potensi
serta menjadikan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan
rekreasi alam.
 Kondisi lingkungan yang ada di sekitamya bisa mendukung upaya suatu
pengembangan pariwisata alam sekitar.

Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu. Kawasan konservasi merupakan salah satu cara yang ditempuh
pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dari
kepunahan. Pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi ditujukan untuk
mengusahakan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Oleh karenanya keberadaan fungsi-fungsi keanekaragaman
hayati tersebut sangatlah penting. Sampai saat ini, sejumlah kawasan konservasi
telah ditetapkan yang jumlahnya mencapai 28,166,580.30 ha (mencakup 237
Cagar Alam, 77 Suaka Marga Satwa, 50 Taman Nasional, 119 Taman Wisata
Alam, 21 Taman Hutan Raya, 15 Taman Buru) di seluruh Indonesia.
2.2 Taman Hutan Raya

Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli,
yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Tidak semua kawasan
hutan bisa ditetapkan sebagai taman hutan raya meskipun hutan tersebut memiliki
fungsi konservasi alam. Penetapan hutan sebagai kawasan konservasi harus sesuai
dengan tujan, fungsi, dan karakteristik tertentu. Suatu kawasan bisa dijadikan
taman hutan raya bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Memiliki ciri khas dari sisi ekosistem, satwa atau tumbuhannya. Bisa asli
ataupun buatan, baik ekosistemnya masih utuh maupun sudah berubah.
 Kawasan tersebut memiliki keindahan alam atau gejala alam tertentu yang
unik.
 Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk perkembangan
tumbuhan dan satwa yang ada di dalamnya.
Pengelolaan taman hutan raya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau
pemerintah kabupaten/kota. Biasanya wewenang pengelolaan tergantung pada
letak geografis taman hutan raya. Bila letaknya mencakup lebih dari satu wilayah
administratif, misalnya dua kabupaten maka pengelolanya pemerintah provinsi.
Namun bila terletak dalam satu wilayah, pengelolaannya oleh pemerintah
kabupaten/kota setempat. Selain sebagai kawasan pelestarian alam, taman hutan
raya juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lainnya. Pemanfaatan ini
diatur dalam peraturan pemerintah. Secara umum, Taman hutan raya bisa
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan berikut:
 Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi.
 Koleksi kekayaan keanekaragaman hayati.
 Penyimpanan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin
serta wisata alam.
 Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang budidaya
dalam bentuk penyediaan plasma nuftah.
 Pembinaan populasi melalui penangkaran dalam rangka
pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan
dalam lingkungan yang semi alami.
 Pemanfaatan tradisional oleh masayarakat setempat, dapat berupa kegiatan
pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan
tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.
2.3 Ekosistem dan Ekosistem Hutan

Ekosistem adalah suatu sistem ekogi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya Ekosistem bisa
dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap
unsur lingkungan hidup yang saling memengaruh. Ekosistem merupakan
penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik
antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada
suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan
anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam
ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan
lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan
lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga memengaruhi lingkungan fisik untuk
keperluan hidup. Komponen-komponen pembentuk ekosistem terdiri dari dua
komponen yaitu komponen abiotik dan komponen biotik adalah sebagai berikut:
 Komponen Abiotik
Komponen Abiotik/komponen tak hidup adalah komponen yang berupa fisik
dan kimia yang medium/substrak sebagai tempat berlangsungnya
kehidupan/lingkungan sebagai tempat hidupnya. Komponen abiotik memiliki
beragam variasi dalam ruang dan waktu. Komponen abiotik berupa bahan
organik dan anorganik.
 Komponen Biotik
Komponen biotik adalah suatu komponen yang mengatur/menyusun
ekosistem selain komponen abiotik. Berdasarkan peran dan fungsinya,
komponen biotik dibedakan menjadi dua macam yaitu heterotrof (berperan
sebagai konsumen) dan dekomposer (berperan sebagai pengurai).
a) Heterotrof (Konsumen)
Komponen heterotof terdiri dari organisme yang berperan sebagai
pemanfaatan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain
sebagai sumber makanan. Heterotrof juga disebut sebagai konsumen
makro karena mengkonsumsi makanan yang berukuran kecil.
b) Dekomposer (Pengurai)
Dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan-bahan
organik yang berasal dari organisme yang telah mati. Organisme
pengurai akan menyerap sebagain hasil dari penguraian tersebut dan akan
melepasakan bahan-bahan sederhana yang akan digunakan kembali oleh
produsen.
Ekosistem terdiri dari dua macam yaitu ekosistem alami dan ekosistem buatan
adalah sebagai berikut:
 Ekosistem Alami
Ekosistem alami adalah salah satu ekosistem yang terbentuk secara alami,
tanpa ada campur tangan manusia. Misalnya ekosistem darat dan ekosistem air.
 Ekosistem Buatan
Ekosistem buatan adalah salah satu ekosistem yang dibentuk oleh campur
tangan manusia. Misalnya ekosistem bendungan, ekosistem sawah, ekosistem
pemukiman dan lain-lain. Ekosistem Hutan adalah hubungan antara kumpulan
beberapa populasi baik itu binatang dan tumbuh-tumbuhan yang hidup dalan
lapisan dan dipermukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan serta
membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang
dinamis yang mengadakan interaksi baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan lingkungannya dan antara yang satu dan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan
sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat
diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada
lahan hutan. Hutan sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan
salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat
bertumbuhnya berjuta tanaman. Sedangkan hutan sebagai fungsi ekosistem
hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil
oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang
lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Dari segi makanan
ekosistem memiliki 2 komponen yang biasanya secara bagian terpisah dalam
ruang dan waktu yaitu:
 Komponen autotrofik:
Berdasarkan arti kata Autotrofik berasal dari kata autos yang berarti sendiri
dan trophikos artinya menyediakan makanan, jadi komponen autotrofik adalah
organisme yang mampu menyediakan atau mensintesis makanannya sendiri.
Bahan-bahan makanan yg disediakan adalah bahan organik berasal dari bahan-
bahan anorganik dengan menggunakan bantuan klorofil dan energi utama berupa
radiasi matahari. Sehingga yang termasuk dalam golongan aututropik ini pada
umumnya adalah tumbuhan hijau atau yang memiliki klorofil. Pengikatan energi
radiasi matahari dan sintesis bahan anorganik menjadi bahan organik kompleks
hanya terjadi pada komponen autotropik.
 Komponen heterotrofik:
Berdasarkan arti kata, Heterotrof berasal dari kata hetero yang berarti
berbeda, lain atau tidak seragam, sedangkan kata trophikos berarti menyediakan
makanan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Komponen heterotrofik adalah
semua organisme yang hidupnya selalu memanfaatkan bahan organik sebagai
bahan makanannya, dimana bahan organik yang dimanfaatkan tersebut
disediakan oleh organisme atau makhluk lain, dengan kata lain komponen
heterotrofit memperoleh bahan makanan dari komponen autotrofik, kemudian
sebagian anggota komponen ini menguraikan bahan organik kompleks ke dalam
bentuk bahan anorganik yang sederhana dengan demikian, binatang, jamur,
jasad renik termasuk ke dalam golongan komponen heterotrofik.
2.4 Hutan

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan
dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-
wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida
(carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari
tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting. Hutan
menurut Undang-Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di
seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah
beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun
di benua besar. Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman,
terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang
cukup luas.
Hutan merupakan kekayaan alam yang bersifat alamiah. Hutan ini ada karena
bentukan alam, namun juga bisa dibuat oleh manusia. Hutan ini ada di berbagai
wilayah di setiap sudut Bumi, oleh karena hutan ini mempunyai fungsi yang
sangat banyak. Ada banyak sekali jenis hutan di Bumi ini. Apabila kita
mencermatinya saru per satu, maka kita akan dapat menemukan jenis- jenis hutan
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karena banyaknya jenis hutan ini,
maka para ilmuwan mengelompokkannnya berdasarkan kategori- kategori
tertentu. Kita akan membahas mengenai jenis- jenis hutan tersebut yang dilihat
dari beberapa kategori, seperti berdasarkan letak geografisnya, sifat musimnya,
ketinggian tempatnya, kondisi tanahnya, dan juga dominasi pepohonannya. Secara
umum, berikut merupakan jenis- jenis hutan:

a. Berdasarkan letak geografisnya


Letak geografis suatu benda merupakan kedudukan suatu benda di bentang
alamnya. Letak geografis hutan ini bisa dilihat dari dimana letak hutan itu. Letak
geografis ini bisa dilihat dari iklim yang berada di suatu wilayah letak hutan itu
berada, bisa juga dilihat dari batasan atau kanan kiri dari hutan tersebut, dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan alam. Berdasarkan letak geografisnya,
hutan ini dibedakan menjadi 3 macam, yakni:
1. Hutan tropis, yaitu hutan yang letaknya berada di wilayah atau daerah
khatulistiwa. Hutan ini mempunyai ciri- ciri sebagai berikut:
 Terletak di wilayah yang mempunyai iklim tropis
 Pohon di hutan ini biasanya berukuran tinggi dan mencapai
beberapa meter
 Daun- daun pohon di hutan ini sangat lebat, saking lebatnya hingga
terkadang menghalangi cahaya matahari yang masuk dan membuat
tanah di bawahnya lembab
 Tumbuhan yang hidup di hutan ini terdiri dari berbagai jenis
 Mendapatkan curah hujan yang sangat cukup sepanjang tahun

2. Hutan temperate, yaitu hutan yang berada di wilayah yang mempunyai


4 musim. Hutan ini mempunyai ciri- ciri sebagai berikut:
 Terletak di wilayang yang mempunyai 4 musim, yakni musim
panas, musim gugur, musim semi, dan musim semi
 Biasanya wilayah tersebut mempunyai iklim sub tropis
 Mendapatkan curah hujan yang tidak sebanyak hutan tropis

3. Hutan boreal, yaitu hutan yang terletak di daerah lingkaran kutub-


kutub Bumi. Karena letak hutan ini yang berada di wilayah lingkaran
kutub Bumi, maka wilayah hutan ini akan ditutupi oleh es atau salju.
Hutan ini juga disebut sebagai bioma taiga. Beberapa ciri yang
dimiliki oleh hutan ini adalah sebagai berikut:
 Terletak di antara daerah yang memiliki iklim sub tropis dengan
daerah iklim kutub atau iklim dingin
 Terdapat perbedaan variasi suhu yang sangat mencolok, yakni
antara musim panas dan juga musim dingin
 Pertumbuhan tanaman terjadi ketika musim panas, yakni selama 3
hingga 6 bulan
 Ditumbuhi flora atau tumbuhan yang bersifat homogen atau
berseragam
 Tumbuhan yang dominan tumbuh disana adalah tumbuhan yang
memiliki daun runcing seperti jaru (tumbuhan konifer), yang
tampak selalu hijau sepanjang tahunnya
 Dihuni oleh berbagai fauna khas, yakni srigala, burung, beruang
hitam, moosem ajak, dan lynx.

2.5 Analisis Vegertasi

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari


beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat (Indriyanto, 2006).
Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik
diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme
lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis.
Vegetasi tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat
mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda
dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya.
Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai
dengan keadaan habitatnya. Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari
susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari
masyarakat tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk
pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi
diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai
penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat
diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas
tumbuhan (Michael, 1994).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi
vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan.
Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan
tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan
tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan
tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang
struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Studi struktur dan klasifikasi
komunitas tumbuhan (vegetasi) disebut juga fitososiologi, analisis vegetasinya
disebut analisis vegetasi yang dapat secara kualitatif dan kuantitatif . Karena ada
hubungan yang khas antara lingkungan dan organisme, maka komunitas disuatu
lingkungan bersifat spesifik. Dengan demikian pola vegetasi dipermukaan bumi
menunjukan pola diskontinyu. Seringkali sustu komunitas bergabung atau
tumpang tindih dengan komunitas lain. Karena tanggapan setiap spesies terhadap
kondisi fisik, kimia maupun biotik disuatu habitat cenderung mengakibatkan
perubahan komposisi komunitas. Komunitas mempunyai beberapa kekhususan
yaitu (Rahardjanto A, 2001) :

1. Komunitas biotic sebagai campuran hewan dan tumbuhan dalam jumlah


besar di suatu habitat, merupakan bagian terbesar dari ekosistem dan
dicirikan adanya hubungan interaksi antara komponen biotic dan abiotic.
2. Karena dalam habitat utama biasanya kondisi lingkungan tidak besar
variasinya maka tumbuhan yang ada menunjukan kesenangan/perilaku
yang khas sesuai dengan kondisi lingkungan itu. Dengan demikian
vegetasi merupakan pencerminan iklim dan secara umum keadaan iklim
menampakkan pola vegetasi yang sama. Konsep ini berkembang menjadi
indikator.
3. Komunitas sebagai suatu kesatuan sering terlihat batasnya, tetapi batas itu
kadang-kadang tidak jelas. Habitat yang diatasnya tumbuh
vegetasi/kehidupan yang khas, atau suatu komunitasyang dapat
mengkarakteristikakan suatu unit lingkungan yang mempunyai kondisi
habitat utama yang seragam. Kumpulan dari beberapa jenis organisme
dinamakan komunitas.
Menurut Surasana E (2010) yang dimaksud dengan struktur komunitas adalah
bentuk dari komunitas dilihat dari stratafikasinya lapisan (dari atas kebawah)
secara horizontal bentuk pertumbuhannya, sosialitasnya, asosiasinya antar spesifik
serta kerapatan dan biomassa (analisis kuantitatif) sedang komposisi komunitas
adalah anggota spesies. Untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang luas dan
belum diketahui keadaan sebelumnya paling baik digunakan cara jalur transek.
Cara ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut
keadaan tanah, topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh dibuat memotong garis –
gasris topografi, misalnya dari tepi laut kepedalaman memotong sungai dan
mendaki atau menurun lereng pegunungan.

2.6 Pengamatan Satwa

Pengamatan satwa merupakan bagian dari kegiatan untuk inventarisasi satwa.


Inventarisasi satwa adalah kegiatan untuk mengetahui populasi jenis satwa dan
habitatnya. Metode yang dapat digunakan dalam kegiatan inventarisasi satwa,
yaitumetode garis (line transek), dan metode titik (IPA) (Hidayatullah, 2012).
Dalam ekosistem hutan, satwa liar memiliki peran yang sangat vital. Satwa
liar ini saling berinteraksi dengan tumbuhan sebagai faktor biotik dan tanah hutan
sebagai faktor abiotik membentuk ekosistem hutan. Peran satwa dalam ekosistem
hutan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu fungsi ekologis dan fungsi
biologis. Fungsi nilai ekologis ini contohnya adalah 97% satwa liar membantu
tumbuhan di ekosistem hutan untuk berkembang biak. Fungsi nilai biologis ini
contohnya adalah perbaikan aerasi tanah yang dilakukan oleh berbagai hewan
yang berada di dalam tanah. Berdasarkan aktivitas hidup satwa liar, satwa liar
dibagi ke dalam beberapa relung yaitu terestrial (tanah), arboreal (tajuk), fossorial
(bawah tanah), dan aquatic (perairan). Waktu dua puluh empat jam pun
menjadikan satwa liar dapat diklasifkasikan menjadi makhluk hidup diurnal (aktif
di siang hari) dan nokturnal (aktif di malam hari). Dalam mengamati satwa liar,
ada beberapa aspek yang harus dikuasai yaitu aspek morfologi satwa liar, aspek
ekologis, dan aspek ethologis (perilaku hewan). Ketiga aspek tersebut merupakan
modal awal dalam melakukan pengamatan satwa liar.
Pengenalan terhadap satwa liar merupakan poin kunci dalam pengamatan
satwa liar. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan metode langsung, tidak
langsung, kombinasi, dan wawancara. Metode pengumpulan data dalam
pengamatan satwa liar dilakukan dengan cara menggunakan metode jalur
(transect), titik (point), dan konsentrasi (concentration). Dalam metode jalur
(transect), panjang dari jalur pengamatan satwa lliar harus lebih panjang daripada
panjang jalur analisis vegetasi karena dalam pengamatan satwa liar bisa saja
masih tidak ditemukan satwa liar pada jarak sejauh panjang jalur transek. Pada
intinya intensitas sampling dalam pengamatan satwa harus lebih besar.
2.7 Herbarium

Herbarium berasal dari kata “ hortus dan botanicus”, artinya kebun botani
yang di keringkan,biasanya disusun berdasarkan system klasifikasi. Istilah
herbarium lebih dikenal untuk pengawetan tumbuhan. Herbarium adalah material
tumbuhan yang telah diawetkan (disebut juga spesimen herbarium). Herbarium
juga bisa berarti tempat dimana material-material tumbuhan yang telah diawetkan
disimpan. Herbarium merupakan suatu spesimen dari bahan tumbuhan yang telah
dimatikan dan diawetkan melalui metode tertentu. Herbarium biasanya dilengkapi
dengan data-data mengenai tumbuhan yang diawetkan, baik data taksonomi,
morfologi, ekologi, maupun geografinya. Selain itu dalam herbarium juga memuat
waktu dan nama pengkoleksi.
Herbarium juga merupakan salah satu sumber pembelajaran yang penting
dalam ilmu biologi tumbuhan. Herbarium merupakan koleksi kering yang dibuat
berdasarkan prosedur-prosedur tertentu dan memiliki criteria criteria tersendiri.
Secara umum ada dua jenis herbarium,yaitu herbarium basah dan herbarium
kering. Herbarium yang baik slalu di sertai identitas pengumpul ( nama
pengumpul atau kolektor dan nomor koleksi). Eksplorasi terhadap tumbuh-
tumbuhan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data sebanyak-banyaknya tentang SDH. Hasil eksplorasi sering
dilengkapi dengan pengambilan spesimen dan pencandraan terhadap ciri-ciri
yang ada pada-nya dan kemudian dilakukan pengawetan maupun pengkoleksian.
Spesimen dan data yang telah diperoleh kemudian dikumpul-kan dan diolah
sebagai herbarium untuk dijadikan sumber informasi dalam pengelolaan SDH.
Koleksi herbarium merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya bagi para ahli
taksonomi. Seringkali koleksi-koleksi herbarium disimpan dalam gedung-gedung
yang megah dilengkapi dengan peralatan kompleks dan dikelola para pakar
taksonomi beserta tenaga administrasi dan teknisi. Indonesia memiliki gedung
herbarium Bogoriense yang berada di kompleks Cibinong Science Center LIPI.
Gedung herbarium ini merupakan herbarium terlengkap dan tertua di Asia
Tenggara, serta nomor tiga terbesar di seluruh dunia. Awetan specimen baik
dalam herbarium kering maupun basah disimpan dan ditata dalam ruang-ruang
yang tersedia menurut masing-masing takson yang diklasifikasikan oleh para ahli
didalamnya. Semakin banyak jumlah koleksi herbarium menuntut semakin
banyak pula ruang-ruang dan tempat penyimpanan.
Herbarium dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan untuk mentakrifkan
takson tumbuhan, ia mempunyai holotype untuk tumbuhan tersebut. Herbarium
juga dapat digunakan sebagai bahan penelitian untuk para ahli bunga atau ahli
taksonomi, untuk mendukung studi ilmiah lainnya seperti survey ekologi, studi
fitokimia, peng-hitungan kromosom, melakukan analisa perbandingan biologi dan
berperan dalam mengungkap kajian evolusi. Kebermanfaatan herbarium yang
sangat besar ini menuntut perawatan dan pe-ngelolaan spesimen harus dilakukan
dengan baik dan benar
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapangan ini dilaksanakan selama 2 (dua) hari, yaitu pada tanggal
15-16 Oktober 2017 di Kawasan Taman Hutan Raya Banten.

3.2 Alat dan Bahan


a. Analisis Vegetasi
Alat yang digunakan yaitu:
1. Peralatan cruising : parang (golok) dan pisau lapan
2.Peralatan pembuatan petak ukur : tali rapia berukuran 2x2 meter, 5x5 meter,
10x10 meter dan 20x20 meter;
3. Peralatan pengukur dimensi pohon : meteran jahit;
4. Thally sheet dan alat tulis menulis.

b. Pengamatan Abiotik
Alat yang digunakan meliputi:
1.Meteran untuk mengukur lebar dan kedalam sungai dan lahan basah
2. Tali rapia untuk mengukur dimensi sungai dan lahan basah lainnya;
3. Stopwatch untuk mengukur kecepatan arus sungai;
4. Piringan seicchi untuk mengukur kecerahan air;
5. Termometer untuk mengukur suhu air dan udara serta kelembaban udara;
6. Botol bekas yakult dan benang untuk membantu
pengukuran arus air;
7. Kertas pH untuk kemasaman;
8. Tongkat untuk membantu mengukur kedalaman;
9. Thally sheet dan alat tulis menulis.

c. Pengamatan Satwa
Alat yang digunakan yaitu :
1. Teropong binocular.
2. Pengukur waktu.
3. Kamera foto/video untuk memberikan gambaran visual spesies satwa yang
teramati.
4. Buku panduan pengenalan jenis satwa.
5. Thally sheet dan alat tulis.

d. Herbarium
Alat yang digunakan yaitu :
1. Kantong plastik besar.
2. Gunting.
3. Alkohol 70%.
4. Sprayer
5. Label/etiket.

3.1 Cara Kerja


1. Analisis Vegetasi

Lokasi yang akan dianalisa dipilih sesuai plot yang telah ditentukan. Plot
contoh yang dikehendaki dibuat dengan ukuran plot contoh 2x2 meter, kemudian
diidentifikasi jenis semai yang ada serta jumlah individu jenis tersebut. Plot
contoh 5x5 meter dibuat, kemudian diidentifikasi jenis pancang yang ada serta
jumlah individu tersebut. Plot contoh 10x10 meter dibuat, kemudian didentifikasi
individu jenis tiang dan ukurlah diameter individu tersebut. Plot contoh 20x20
meter dibuat, kemudian didentifikasi individu jenis pohon dan diukur diameter
pohontersebut.

Gambar 1 Ilustrasi tali yang digunakan untuk pembuatan plot contoh dalam
analisis vegetasi.

Pengukuran diameter untuk kelas tiang dan pohon dilakukan dengan prinsip
diameter setinggi dada (dbh = diameter at breast height) yaitu 130 cm dari
permukaan tanah. Oleh karena itu, jika ada individu pohon yang bercabang di
bawah ketinggian tersebut, maka kedua cabang akan terhutung sebagai dua
individu. Hal ini tidak berlaku jika cabang berada di atas ketinggian 130 cm dari
permukaan tanah. Pohon berbanir dengan banir lebih tinngi dari 130 cm akan
dikur 30 cm diatas banir tertinggi.
Data diameter untuk kelas tiang dan pohon yang dibutuhkan kadang harus
melalui pengukuran keliling karena alat ukur yang digunakan hanya mampu untuk
mengukur keliling bukan diameter. Oleh karena itu, ambilah data keliling untuk
kemudian dilakukan perhutungan pada saat analisa data sehingga didapatkan data
diameter tiang dan pohon yang diambil.
Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif dapat
dilakukan dengan mendeskripsikan data yang diperoleh. Analisa kuantitatif dapat
dilakukan dengan menghitung nilai indeks nilai penting (INP) keanekaragaman
tumbuhan yang didapatkan.
2. Pengamatan Abiotik
 Suhu dan Kelembaban Udara
Data suhu dan kelembaban udara diukur secara langsung menggunakan
thermometer air raksa. Suhu diukur dengan ulangan sebanyak tiga kali dengan
jarak pengamatan 5-10 menit. Kelembaban udara diukur dengan menggunakan
termometer bola kering dan bola basah. Termometer bola kering yaitu
termometer yang sama dengan pengambilan data suhu, sementera termometer
bola basah adalah termometer yang dipasang kai basah (lembab) pada bagian
ujungnya. Informasi kelembaban diketahui dengan membaca tabel berdasarkan
angka termometer bola basah dan termometer bola kering (Tabel 1).
Tabel 1. Angka kelembaban udara berdasarkan termometer bola basah kering

Suhu % Kelembaban Berdasarkan


Termometer Selisish Suhu Termometer Bola Basah ddengan Termometer Bola Kering Bola
Basah 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0
0.5 93 86 80 74 69 64 59 55 51 47 44 41 38 35
10
11 93 87 81 75 70 65 60 56 52
49 45 42 39 36
12 93 87 81 76 71 66 61 57 54
50 47 43 41 38
13 94 87 82 76 71 67 63 58 55
51 48 45 42 39
14 94 88 82 77 72 68 63 59 56
52 49 46 43 40
15 94 88 83 78 73 68 64 60 57
53 50 47 44 42
16 94 88 83 78 74 69 65 61 58
54 51 48 45 43
17 94 89 83 79 74 70 66 62 59
55 52 49 46 44
18 94 89 84 79 75 70 67 63 59
55 53 50 47 45
19 95 89 84 80 75 71 67 63 59
55 54 51 48 46
20 95 89 85 80 76 72 68 64 60
56 55 52 49 47
21 95 90 85 80 76 73 68 65 61
57 55 53 50 47
22 95 90 86 81 77 73 69 66 62
58 56 53 51 48
23 95 90 86 81 77 73 70 66 62
58 57 54 51 49
24 95 90 86 82 78 74 70 67 63
59 58 55 52 50
25 95 90 86 82 78 74 71 67 63
60 58 56 53 50
26 95 91 86 82 78 75 71 68 64
61 59 56 54 51
27 95 91 87 83 79 75 72 68 65
62 59 57 54 52
28 95 91 87 83 79 75 72 69 65
62 60 57 55 52
29 95 91 87 83 79 76 72 69 66
63 60 58 55 53
30 96 91 87 83 80 76 73 70 66
63 61 58 56 53
31 96 91 87 83 80 76 73 70 67
64 61 59 56 54
32 96 91 88 84 80 77 73 70 67
64 62 59 57 54
33 96 92 88 84 80 77 74 71 67
65 62 60 57 55
34 96 92 88 84 81 77 74 71 68
65 63 60 58 55
35 96 92 88 84 81 78 74 71 68
66 63 61 58 56

Data suhu dan kelembaban di ukur dengan tiga titik berbeda yang
menggambarkan kondisi ekosistem di lokasi pengamatan. Termometer yang
digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu dengan cara mengibaskannya
beberapa kali. Hal ini dilakukan juga saat akan melakukan pengulangan.
 Kualitas Air

Kondisi kualitas air diwakili oleh sungai. Data sungai yang diambil meliputi
lebar sungai (kondisi sungai yang berair), lebar badan sungai (kondisi sungai
jika air sedang tinggi), kedalaman sungai, kecepatan arus, debit air, kecerahan
sungai, suhu air, pH serta kelembaban udara di sekitar sungai. Pengukuran data
sungai diambil di tiga stasiun dengan jarak setiap stasiun 10 meter. Dimensi
lebar sungai dan lebar badan sungai diukur secara langsung dengan meteran,
sementara untuk kedalaman sungai diukur pada tiga titik yang didapat dengan
membagi lebar sungai menjadi empat bagian secara proposional. Pembagian
lebih detail tentu akan menghasilkan angka yang lebih akurat. Lakukan
pegulangan sebanyak tiga kali. Pengukuran kedalaman dapat menggunakan
bantuan tongkat.

Gambar 2 Ilustrasi pengukuran kedalaman sungai dilihat dari penampang


sungai.

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan alat bantu berupa bola


pingpong yang diberi tali benang jahit agar ringan atau dapat juga menggunakan
botol bekas air mineral yang diisi dengan air hingga separuhnya dan juga diberi
tali. Bola pingpong ataupun botol bekas dihanyutkan sejauh 20 meter dan
dikukur waktu tempuhnya menggunakan stopwatch. Titik awal pengukuran arus
idealnya adalah titik tengah sungai. Lakukan hingga tiga kali pengulangan. Jika
kesulitan mendapatkan jarak 20 meter, maka dapat dilakukan pemecahan
menjadi empat seksi masingmasing 5 meter. Kriteria lokasi untuk mengukur
kecepatan arus idealnya yaitu (1) bentuk penampang sungai stabil, (2) pola
aliran air sungai dipilih yang stabil atau aliran laminar, (3) bentuk alur sungai
lurus, (4) mudah untuk penempatan alat ukur dan (5) mudah dijangkau oleh
petugas/pencatat alat ukur debit.
Gambar 3 Ilustrasi pengukuran kecepatan arus sungai pada berbagai kondisi.

Kecerahan diukur dengan menggunakan piringan seicchi. Titik pengukuran


dilakukan di titik pengukuran kedalaman. Kecerahan dikukur dengan
menenggelamkan piringan seicchi sampai titik tidak terlihat (C1), kemudian
ditarik sedikit demi sedikit sampai terlihat kembali piringan seicchi tersebut
(C2). Untuk menghindari bias, maka lakukan pengamatan oleh anggota yang
memiliki penglihatan normal, tidak bermata minus atau berkaca mata.

Gambar 4 Piringan Seicchi Disk untuk mengukur kecerahan sungai.

Pengukuran kualitas fisik sungai dilakukan di sungai yang terdapat di dalam


kawasan Taman Hutan Raya Banten. Pengukuran ini dilakukan untuk melihat
kecenderungai (trend) perubahan kualitas fisik sungai. Pengukuran beberapa
stasiun di lokasi sungai dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih
akurat, karena terdapat pengulangan.
Pengukuran kemasaman (pH) air dilakukan dengan menggunakan pH paper
yaitu kertas pengukur pH untuk selanjutnya akan dicocokan dengann pH meter.
Lakukan pengulangan sebanyak tiga kali, untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Penggunaan pH paper yaitu langsung dimasukkan ke dalam contoh air.
Idealnya, ambilah contoh air menggunakan botol atau alat semacamnya,
kemudian celupkan pH paper.

Gambar 5 Kertas pH meter beserta warna indikatornya.


Data dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif dilakukan
dengan mendeskrispkan data yang diperoleh. Analisa kuantitatif dilakukan
terhadap kedalaman, kecerahan air, debit air dan kecepatan arus.
1. Kedalaman rerata (D)
𝐷1 + 𝐷2 + 𝐷3
𝐷=
3
2. Kecerahan air (C)
𝐿1 + 𝐿2
𝐷= × 100%
2. 𝐷
3. Kecepatan Arus (V)
𝑆
𝑉=
𝑡
S = Jarak pengukuran dan t = waktu penukuran

4. Debit Air (Q)


𝑄=𝐴×𝑉
A adalah luas penampang sungai, didapatkan dari A = L x D
3. Pengamatan Satwa

1. Burung

Data burung yang diambil mencakup jenis, jumlah individu, habitat yang
digunakan serta aktivitasnya (Lampiran 5). Pengamatan dilakukan pada pagi
hari pukul 07.00 – 09.00 WIB. Titik pusat pengamatan yang ditentukan secara
acak. Batasan radius yang diamati ditentukan. Seluruh jenis burung yang
teramati di dalam radius titik hitung baik langsung maupun tidak langsung
diamati dan dicatat. Sketsa dibuat jika tidak dapat diidentifikasi. Setelah waktu
habis, pindah ke titik berikutnya. Lama pengamatan yang hanya 15 menit per
titik. Jalur pengamatan dibuat dalam sketsa.

2. Mamalia
Inventarisasi mamalia mengambil beberapa data yang mencakup nama
jenis, jumlah individu, habitat yang digunakan serta aktivitasnya (Lampiran 6).
Arah jalur atau lintasan pengamatan ditentukan. Semua jenis mamalia yang
berhasil ditemukan baik secara langsung maupun tidak langsung dicatat. Letak
penyebaran mamalia yang berhasil ditemukan dicatat dan dibuat sketsa.

4. Herbarium
Pemilihan spesimen herbarium yang baik terdiri dari bagian-bagian
tumbuhan yang lengkap, yakni ranting atau bagian yang memiliki daun muda
dan tua, kuncup bunga dan bunga yang mekar, buah tua dan buah muda.
Khusus herba, rumput dan epifit akar juga diperlukan dalam pembuatan
herbarium. Oleh karena itu diusahakan pada saat pembuatan herbarium agar
memilih spesimen yang lengkap.
Proses pengambilan spesimen contoh herbarium, yaitu contoh spesimen
diambil. Diusahakan agar ukuran spesimen tidak lebih dari 40 cm. Bila
spesimen panjangnya lebih dari 40 cm ambil selengkapnya karena dapat dilipat
setelah dikeringkan. Setiap spesimen diberi etiket yang berisi nama lokal, nama
latin, lokasi pengambilan, manfaat, habitat dan penyebaran dan nama
pengumpul.
Proses pengawetan dan penanganan spesimen herbarium, yaitu spesimen
yang telah diambil dari lokasi praktik selanjutnya disemprot alkohol 70%
dengan menggunakan sprayer dan kemudian masing-masing spesimen
dimasukkan ke dalam plastik. Pastikan bahwa etiket dapat dibaca dengan jelas.
Tabel 2 Pemilihan bagian tumbuhan untuk pembuatan spesimen.

No Kelompok Prosedur
tumbuhan
1 Pohon dan perdu Ranting lengkap dengan daun (muda dan
tua), bunga (kuncu/bunga mekar), buah (Jika
ada). Usahakan spesimen diambil langsung
dari pohon yang diidentifikasi. Pengambilan
spesimen dari pohon lain hanya dibenarkan
bila pohon tersebut diyakini sama
spesiesnya dengan pohon yang
diidentifikasi. Apabila pohon terlalu besar
dan tinggi untuk dipanjat gunakan tali yang
diberi kait pada ujung untuk mengambi
spesimen.
2 Herba dan rumput Untuk herba besar ambil bagian yang
lengkap seperti prosedur untuk pohon/perdu,
sedangkan untuk herbal kecil ambil
semuanya termasuk akar.
3 Epifit Ambil bagian yang lengkap dengan akarnya
sebagaimana prosedur untuk herba
kecil/rumut.
4 Bambu Satu ruas yang berkuku dan terdapat ranting
berdaun, kemudian buluh dibelah dua.
Lengkapi spesimen ini dengan 3-5 pelepah
buluhnya. Bila ada lengkapi spesimen ini
dengan bunganya. Lengkapi dengan
keterangan : (a) keadaan rumpun, rapat atau
jarang ; (b) tinggi buluh dan diameternya
(pilih buluh yang tua) ; (c) panjang dan
diameter ruas kelima dari pangkal atau ruas
terpanjang ; (d) potret atau sketsa rumpun,
perakaran dan pelah buluh.
5 Palmae/Arecaceaae Pelepah lengkap dengan helai daunnya,
mayang dan buahnya. Catatatn yang
diperlukan ; (a) tumbuh soliter atau
berumpun, kalau berumpun berapa jumlah
rumpunnya ; (b) tinggi dan diameternya ; (c)
potret atau skesta rumpunnya.
6 Pandan Helai daun, terutama yang masih lengkap
ujungnya. Lengkapi dengan bunga dan
tandan buahnya, terutama buah tua. Bila
tandan terlalu besar dapat dibagi dua.
BAB IV
KONDISI UMUM

4.1 Sejarah

Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan sejak


tahun 2006 telah melakukan upaya-upaya dalam mewujudkan terbentuknya
TAHURA di Provinsi Banten, upaya-upaya tersebut antara lain dengan
melakukan kajian terhadap calon-calon lokasi TAHURA, dan dari hasil kajian
tersebut Kawasan Hutan Carita sangat cocok untuk dijadikan Taman Hutan Raya
(TAHURA) karena memiliki kekhasan ekosistem, baik ekosistem alami atau
buatan, ekosistem pantai dan hutan pegunungan, serta memiliki aksesibilitas
dalam rangka pengembangan wisata alam berbasis hutan.
Pada tahun 2011 Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor :
SK.95/Menhut-II / 2011 tanggal 14 Maret 2011 tentang Pembentukan Tim
Terpadu dalam Rangka Penelitian Usulan Perubahan Fungsi Calon Kawasan
TAHURA, selanjutnya pada tahun 2012 Menteri Kehutanan mengeluarkan
persetujuan prinsip melalui surat Nomor : S. 133/Menhut-VII/2012, tanggal 7
Maret 2012 yang menerangkan bahwa Kementerian Kehutanan pada prinsipnya
dapat menyetujui perubahan fungsi Hutan Produksi Terbatas seluas ± 833 Ha,
Hutan Produksi Tetap seluas ± 662 Ha dan Taman Wisata Alam ± 95 Ha menjadi
TAHURA seluas ± 1. 590 Ha yang terletak di Kabupaten Pandeglang Provinsi
Banten. Menteri Kehutanan melalui surat keputusannya Nomor : SK.221/Menhut-
II/2012 tentang “Perubahan Fungsi antara Fungsi Pokok dari Kawasan Hutan
Produksi Terbatas seluas ± 833 (Delapan Ratus Tiga Puluh Tiga) Hektar, dan
Hutan Produksi Tetap seluas ± 662 (Enam Ratus Enam Puluh Dua) Hektar, serta
Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok dari Taman Wisata Alam (TWA) Carita
seluas ± 95 (Sembilan Puluh Lima) Hektar menjadi Taman Hutan Raya seluas ±
1.590 (Seribu Lima Ratus Sembilan Puluh) Hektar yang terletak di Kelompok
Hutan Gunung Aseupan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Nama
Taman Hutan Raya Banten” yang diterbitkan pada tanggal 4 Mei 2012. Hal ini
menandai telah ditunjuknya kawasan TAHURA di Provinsi Banten seluas ±1.590
Ha yang terletak di Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang.
Pembangunan Tahura sudah dimulai pada Tahun 2011, dimana seluruh
kegiatan yang dilaksanakan di Tahun 2011 sudah selesai dilaksanakan dengan
baik, dari mulai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan, begitu juga
dengan kegiatan pendukung lainnya. Tentunya dengan keberhasilan kegiatan ini
akan dapat diteruskan dengan kegiatan pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga
pada akhirnya kegiatan pembangunan Tahura dapat benar-benar memberikan
manfaat bagi kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di
Provinsi Banten.
4.2 Letak, Luas, dan Pembagian Blok.

Taman Hutan Raya Banten terletak di Desa Sukarame, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, Indonesia. Berdasarkan
Keputusan Menteri Nomor : SK.221/Menhut-II/2012 tentang “Perubahan Fungsi antara Fungsi Pokok dari Kawasan Hutan Produksi
Terbatas seluas ± 833 (Delapan Ratus Tiga Puluh Tiga) Hektar, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 662 (Enam Ratus Enam Puluh Dua)
Hektar, serta Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok dari Taman Wisata Alam (TWA) Carita seluas ± 95 (Sembilan Puluh Lima) Hektar
menjadi Taman Hutan Raya seluas ± 1.590 (Seribu Lima Ratus Sembilan Puluh) Hektar yang terletak di Kelompok Hutan Gunung
Aseupan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Nama Taman Hutan Raya Banten” yang diterbitkan pada tanggal 4 Mei
2012. Hal ini menandai telah ditunjuknya kawasan TAHURA di Provinsi Banten seluas ±1.590 Ha yang terletak di Kecamatan Carita,
Kabupaten Pandeglang.
Gambar 1. Pembagian Blok Tahura Banten

Pemerintahan Provinsi Banten

DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

PETA SITUASI TAMAN HUTAN RAYA BANTEN

KAB. PANDEGLANG PROV. BANTEN

Keterangan :

BLOK PEMANFAATAN

BLOK PERLIMDUNGAN

BLOK KOLEKSI

BLOK TRADISIONAL

CAMPING GROUND
4.3 Kondisi Abiotik

Komponen abiotik tahura Carita banten terdiri dari air, udara, cahaya
matahari, topografi dan iklim. Kondisi air di tahura banten sangat bagus dan
bersih dilihat dari air sungai yang jernih serta tidak ditemukan sampah serta
memiliki biota air seperti ikan kecil, keong dan kepiting yang merupakan indikasi
kondisi air di tahura. Air sungai tersebut masih banyak digunakan masyarakat
sekitar untuk mandi dan aktifitas lainnya. Air yang terdapat di tempat penginapan
di sekitar tahura juga cukup bersih dan segar meskipun agak sedikit keruh
dibanding air sungainya. Suhu air sungai di Tahura Banten kira-kira 18°C -20°C
Udara yang terdapat di Tahura Banten sangat segar karena dipenuhi oleh
banyak tumbuhan serta jauh dari jalan raya.Meskipun segar tapi di tahura Banten
ini memiliki suhu yang lebih panas dari hutan biasanya dikarenakan dekat dengan
laut , di tahura banten memiliki suhu udara sekitar 27°C -28°C serta angin yang
sering berhembus karena perbedaan tekanan antara tahura dan laut yang hanya
berjarak 300 m. Cahaya matahari yang terdapat di tahura banten sangat baik
karena Tahura Banten terletak di daerah tinggi serta iklim yang tropis sepanjang
tahun di daerah Banten. Cahaya matahari yang sangat mencukupi membuat
tumbuhan di Tahura Banten tumbuh dengan baik.
Tanah di Tahura Banten sangat subur dan tergolong tanah aluvial kelabu
dengan bahan induk endapan liat. Secara umum sifat fisik tanah aluvial adalah
tekstur liat, struktur pejal, konsistensi teguh (lembab), plastis (basah), keras
(kering) tanpa batas horizon, warna kelabu hingga coklat, tanpa solum sampai
bersolum sedang. Sifat kimianya adalah bahan organik rendah, kejenuhan basa
sedang hingga tinggi, adaptasi tinggi, kemasaman bervariasi dan
permeabilitasnya rendah (Badan Litbang Kehutanan, 2005). Pohon yang tumbuh
banyak serta tumbuhan lainnya membuat tanah semakin subur dan kaya akan
bahan organik dikarenakan sisa daun mati, ranting dan batang pohon yang terurai
di tanah.
Topografi Tahura Banten memiliki relief yang lereng (10-35%) dan
terdapat perpedaan ketinggian yang signifikan dengan pantai yang terdapat di
dekatnya, topografi Tahura Banten dipengaruhi oleh
Iklim di Tahura Banten adalah iklim tropis yang memiliki nilai suhu rata-
rata 27.4 °C. Curah hujan rata-rata 1735 mm. Bulan terkering adalah Agustus,
dengan 64 mm curah hujan. Dan bulan terbasah adalah Januari 303 mm. Suhu
terhangat sepanjang tahun adalah Mei, dengan suhu rata-rata 27.8 °C. Suhu
terendah dalam setahun terlihat di Januari, saat suhu ini berkisar 26.9 °C.

4.4 Kondisi Biotik


4.4.1. Flora
Flora atau tumbuhan identitas, provinsi Banten adalah Kokoleceran.
Kokoleceran adalah salah satu tumbuhan endemik dari famili Dipterocarpaceae
yang memiliki nama latin Vatica bantamensis. Sedangkan untuk fauna identitas
atau hewan khas, Banten adalah Badak Jawa, hewan langka yang kini hanya
mendiami Taman Nasional Ujung Kulon. Kokoleceran Flora Khas Provinsi
Banten ditetapkan sebagai maskot provinsi Banten. Pertama, Pohon Kokoleceran
(Vatica bantamensis) adalah tanaman endemik yang hanya terdapat di Taman
Nasional Ujung Kulon, Banten. Kedua, Kokoleceran merupakan salah
satu tumbuhan langka Indonesia dengan status konservasi dalam Daftar Merah
IUCN, Endangered (Terancam Punah).
Tidak banyak yang bisa digali dari tanaman khas Banten ini. Anggota famili
Dipterocarpaceae mampu tumbuh hingga setinggi 30 meter. Bagian batang yang
masih muda ditumbuhi bulu-bulu halus yang lebat. Tipe daunnya menjorong atau
melanset. Tipe bunganya mulai muncul pada ujung daun atau ketiak daun. Bunga
kokoleceran panjangnya mencapai 7 cm. Buahnya bulat dan memiliki tangkai
yang pendek sekitar 5 mm. Pada buahnya terdapat biji yang berdiameter mencapai
1 cm.
Klasifikasi Ilmiah Kokoleceran:
Kerajaan: Plantae.
Filum: Tracheophyta.
Kelas: Magnoliopsida.
Ordo: Malvales.
Famili: Dipterocarpaceae.
Genus: Vatica. Species: Vatica bantamensis

4.4.2. Fauna

Gambar 6. Badak Jawa

Satwa yang ditetapkan sebagai maskot Banten adalah Badak Jawa, hewan
yang hanya tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon ini jumlah populasinya
tinggal 58 ekor. Sehingga menjadi salah satu hewan paling langka di Indonesia.
Dalam daftar merah IUCN pun, fauna khas Banten ini menyandang status
keterancaman tertinggi, Critically Endangered (Kritis). Nama latin hewan ini
adalah Rhinoceros sondaicus Desmarest. Tubuhnya sepanjang 2-4 meter dengan
tinggi sekitar 1,7 meter dan berat antara 900 – 2300 kg. Memiliki satu cula dengan
panjang sekitar 25 cm. Kulitnya berwarna abu-abu kehitaman yang memiliki
semacam lipatan sehingga tampak seperti memakai tameng baja. Badak Jawa
menjadi satu diantara dua spesies badak yang hidup di Indonesia, di samping
Badak Sumatera. Di dunia terdapat lima spesies badak, yaitu Badak Jawa, Badak
Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Badak India (Rhinoceros unicornis), Badak
Hitam (Diceros bicornis), dan (Ceratotherium simum).

Klasifikaksi Ilmiah Badak Jawa:


Kerajaan: Animalia.
Filum: Chordata.
Kelas: Mammalia.
Ordo: Perissodactyla.
Famili: Rhinocerotidae.
Genus: Rhinoceros.
Spesies: Rhinoceros sondaicus

4.5 Aksesibilitas

Perjalanan menuju Tahura dapat ditempuh dengan dua jalur, pertama jalur
Cilegon-Anyer dapat ditempuh sekitar 3 jam dari Serang, kedua melalui jalur
Pandeglang-Carita yang dapat ditempuh sekitar 4 jam dari Serang. Masuk gerbang
Tahura ada petugas yang mendata berapa orang rombongan yang akan masuk
kawasan Tahura, di sini tidak ada retribusi khusus hanya melaporkan saja. Jika
kita menggunakan mobil pribadi bisa masuk sampai batas tracking, jika
menggunakan bus tracking akan dimulai dari mulai gerbang Tahura. Nah, untuk
mempermudah adalah menggunakan kendaraan roda dua, baik sepeda atau motor,
karena kita hanya akan tracking kurang lebih 1 jam menuju Curug Putri.
Sepanjang perjalanan dari gerbang Tahura hingga Curug Putri, kita akan disuguhi
dengan pemandangan hutan yang indah nan sejuk, banyak suara-suara binatang
yang jarang terdengar jika kita berada di kota.
Jalanan menuju lokasi kurang lebih 250 meter sudah di paving blok
selebihnya kita akan melewati jalanan bebatuan tajam dan licin, jadi sebaiknya
sahabat menggunakan motor trail, atau memilih jalan kaki dari lokasi parkir
mobil. Setelah melewati jalanan yang cukup membuat berdebar-debar, kita tiba di
tempat penitipan motor. Nah, dari situ akan dimulai tracking menuju Curug Putri,
untuk biaya parkir motor dikenakan sebesar Rp15 ribu per motor.
4.6 Visi dan Misi
 VISI
“Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan Berkelanjutan untuk
Kesejahteraan Masyarakat".

 MISI
1. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan dan lahan
2. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk perkebunan
3. Memantapkan kelembagaan dan keberdayaan ekonomi masyarakat pelaku
usaha kehutanan dan perkebunan
4. Mengembangkan aneka usaha kehutanan dan perkebunan serta jasa
lingkungan
5. Meningkatkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari
BAB V
HASIL DATA

5.1 Analisis Vegetasi

Tabel 1. Hasil Data Analisis Vegetasi Semai dan Pancang


Nama Jenis/ ilmiah K KR F FR INP
Pakurane 92 84,4 0,33 50 134,4
Harendang Bulu 17 15,6 0,33 50 65,6
Bambu Hijau 8 9,6 0,33 33 42,6
Weru 75 90,4 0,67 67 157,4

Tabel 2. Hasil Data Analisis Vegetasi Tiang dan Pohon


Nama Jenis/ Ilmiah K KR F FR D DR INP
Weru 25 50 0,333333 50 0,027737 39,84962 139,8496
Meranti 25 50 0,333333 50 0,041867 60,15038 160,1504
Jati/ Tectona grandis 25 12,5 0,666667 25 0,3365 33,647 71,147
Meranti/ Shorea 141,6667 70,8333 1 37,5 0,3615 36,1571 144,49
leprosula
Puspa/ Schima wallichii 33,33333 16,6667 1 37,5 0,302 30,196 84,3627

Tabel 3. Data Pengambilan Analisis Vegetasi Semai


No. No. Nama Jenis/Lokal Nama Ilmiah Jumlah Keterangan
Petak Spesies
1. - - - - -
2. 1 Paku rane Selaginella 11 -
doederleinii
3. 1 Harendang bulu Tibouchina 2 -
urvlleana

Tabel 4. Data Pengambilan Analisis Vegetasi Pancang


No. No. Nama Jenis/Lokal Nama Ilmiah Jumlah Keterangan
Petak Spesies
1. 1 Bambu hijau Bambusa tuldoides 1 -
2. 1 Weru Albizia procera 5 -
3. 1 Weru Tibouchina 4 -
urvlleana
Tabel 5. Data Pengambilan Analisis Vegetasi Tiang
No. No. Nama Keliling Diameter Tinggi (m) Lbds
Petak Spesies Jenis TBC Tinggi
Total
1
2 1 Weru 41 13 4 6 0,0133
2 Weru 38 12 5 9 0,0133
3 Weru 35 11 3 7 0,0095
3 1 Meranti 41 13 5 9 0,0133
2 Meranti 57 18 7 12 0,0254
3 Meranti 35 11 4 8 0,0095

Tabel 6. Data Pengambilan Analisis Vegetasi Pohon

No. No. Nama Keliling Diameter Tinggi (m) Lbds


Petak Spesies Jenis TBC Tinggi
Total
1 1 Jati 195 62 8 20 0,3017
1 Meranti 297 94,5 16 26 0,693
2 Meranti 116 37 6 23 0,1074
3 Meranti 170 54 20 36 0,2289
4 Meranti 151 48 12 30 0,1808
1 Puspa 188 60 23 36 0,2826
5 Meranti 113 36 10 24 0,1017
2 6 Meranti 75 24 15 17 0,0452
2 Puspa 446 142 9 14 1,5858
7 Meranti 85 27 21 23 0,0572
8 Meranti 226 72 25 26 0,4069
9 Meranti 79 25 4 16 0,0490
10 Meranti 195 62 17 18 0,3017
3 11 Meranti 173 55 24 27 0,2375
12 Meranti 79 25 2,5 11 0,0490
13 Meranti 148 47 21 24 0,1734
14 Meranti 455 145 17 22 1,5936
15 Meranti 331 100 26 28 0,1850
16 Meranti 163 52 27 29 0,2122
3 Puspa 107 34 21 23 0,0907
4 Puspa 226 72 29 32 0,4069
17 Meranti 110 35 22 25 0,0961
2 Jati 176 56 7 17 0,2461
3 Jati 201 64 11 26 0,3215

5.2 Pengamatan Satwa

Titik : 1
Waktu : 07.19 -07.34
No Nama Jenis ∑ Jenis Vegetasi Aktivitas Nilai Estetika
satwa
1. Walet Linci 1 Pohon Duren Terbang Bagian sayap
dan punggung
berwarna
hitam.Burung
ini memiliki
warna ekor
hitam dan
bagian ujung
ekor rata.
Bagian dagu
berwarna abu-
abu dan perut
berwarna putih.

2. Cici Merah 1 Mahoni Terbang Burung ini


mempunyai
mahkota dengan
garis hitam.
Ekor burung ini
berwarna coklat
gelap
dengan ujung
ekor berwarna
kuning tua.
Burung cici
merah
mengeluarkan
suara
“cit....cit...”

3 Cekakak Jawa 3 Meranti Bertengger Burung cekakak


jawa memiliki
kepala coklat
tua,
tenggorokan
dan kerah cokla
serta memiliki
perut dan
punggung biru
ungu. Penutup
sayap hitam dan
memiliki bulu
terbang biru
terang. Cekakak
jawa juga
memiliki bercak
putih sayap saat
terbang.
4. Wiwik Lurik 2 Meranti Terbang Wiwik lurik
memiliki bulu
berwarna coklat
dengan garis-
garis halus.
Tubuh bagian
atas coklat
terang, tubuh
bagian bawah
keputih-putihan
bergaris-garis
hitam halus
Burung ini
memiliki Iris
kuning; paruh
atas kehitaman,
paruh bawah
kekuningan;
kaki abu-abu.

Titik : 2
Waktu : 07.34-07.49

No Nama Jenis ∑ Jenis Vegetasi Aktivitas Nilai Estetika


satwa
1. Walet Linci 4 Puspa Terbang Bagian sayap
dan punggung
berwarna
hitam.Burung
ini memiliki
warna ekor
hitam dan
bagian ujung
ekor rata.
Bagian dagu
berwarna abu-
abu dan perut
berwarna putih.

2 Wiwik Lurik 1 Meranti Bertengger Wiwik lurik


memiliki bulu
berwarna coklat
dengan garis-
garis halus.
Tubuh bagian
atas coklat
terang, tubuh
bagian bawah
keputih-putihan
bergaris-garis
hitam halus
Burung ini
memiliki Iris
kuning; paruh
atas kehitaman,
paruh bawah
kekuningan;
kaki abu-abu.

Titik : 3
Waktu : 07.49-08.04

No Nama Jenis ∑ Jenis Vegetasi Aktivitas Nilai Estetika


satwa
1. Pelatuk Jambul 1 Puspa Terbang Burung ini
Kuning memiliki bulu
dominan
berwarna hijau
terang dengan
sisi jambul
kuning halus
dan tanda-tanda
merah pada
muka. Iris
burung ini
berwarna
merah, paruh
abu-abu, kaki
abu-abu
kehijauan.
Burung pelatuk
jambul kuning
mengeluarkan
suara “kwii-
kwii-kwii
2 Caladi Batu 1 Meranti Terbang Burung caladi
memiliki ekor
pendek bergaris
hitam dan putih.
Bulu tubuh
hitam dengan
garis-garis putih
rapat, kecuali
bulu di bagian
tunggir yang
berwarna putih
kekuningan.
Kepala dan
leher hingga
dada bagian atas
berwarna abu-
abu-coklat.
Bulu bagian
mahkota
kadang-kadang
diangkat seperti
jambul.
3. Walet Linci 1 Duren Bertengger Bagian sayap
dan punggung
berwarna
hitam.Burung
ini memiliki
warna ekor
hitam dan
bagian ujung
ekor rata.
Bagian dagu
berwarna abu-
abu dan perut
berwarna putih.

Titik : 4
Waktu : 08.04-08.19

No Nama Jenis ∑ Jenis Vegetasi Aktivitas Nilai Estetika


satwa
1. Cipoh kacat 1 Meranti Terbang Burung ini
memiliki
paruh yang
menonjol
dengan
kekang yang
tegak. Burung
ini memiliki
warna bulu
kuning
kehijau-
hijauan
dengan garis
putih
mencolok
pada sayap
yang dipadu
dengan warna
hitam.
Dibagian sisi
sayap terdapat
bulu berwarna
putih dan
pada lingkar
mata terdapat
warna kuning
baik di atas
maupun di
bawah mata.

Titik : 5
Waktu : 08.19-08.40

No Nama Jenis ∑ Jenis Vegetasi Aktivitas Nilai Estetika


satwa
1. Walet Linci 3 Meranti Terbang Bagian sayap
dan punggung
berwarna
hitam.Burung
ini memiliki
warna ekor
hitam dan
bagian ujung
ekor rata.
Bagian dagu
berwarna abu-
abu dan perut
berwarna putih.

Thally Sheet Pengambilan Data Mamalia

Ulangan Nama Jenis Waktu Aktivitas ∑


Vegetasi satwa
Per 15 Monyet Meranti 08.07 Duduk di 4
Menit Ekor atas pohon
Panjang

Lutung Meranti 08.25 Berayun 3

5.3 Pengamatan Kondisi Abiotik

Tabel hasil pengamatan abiotik


No Data Hasil
1 Lebar sungai (meter) 4.5
2 Lebar badan sungai (meter) 23.3
3 Kedalaman (centi meter) 20.4
4 Kecerahan (%) 56
5 Kecepatan arus (m/s) 0.45
6 Suhu Bola Kering (0C) 31.2
7 Suhu Bola Basah (0C) 28.3
8 Ph air 6.7
10 Kelembaban (%) 76.7

5.4 Herbarium

Gambar. Herbarium awal

Gambar. Herbarium Akhir


BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Analis Vegetasi

Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui struktur vegetasi dan


komposisi jenis tumbuhan di Taman Hutan Raya Banten adalah metode garis
berpetak, dengan petak berukuran 20m x 20m digunakan untuk mengumpulkan
data jenis pohon, petak ukuran 10m x 10m digunakan untuk mengumpulkan data
jenis tiang, petak contoh ukuran 5m x 5m digunakan untuk mengumpulkan data
jenis pancang, dan petak ukuran 2m x 2m digunakan untuk mengumpulkan data
jenis semai, serta dilakukan berulang sebanyak 3x yang diletakkan sepanjang jalur
pengamatan.
Saat menetukan keanekeragaman jenis tumbuhan, data yang diperoleh
dihitung dari Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi
Relatif (FR), LBDS, Dominasi (D), Dominasi Relatif (DR), dan Indeks Nilai
Penting (INP). Data yang didapatakan menunjukkan komposisi dan struktur
tumbuhan yang nilainya bervariasi pada setiap jenis karena adanya perbedaan
karakter masing – masing pohon (Arrijani, 2006). Menurut Kimmins (1987),
variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi
anatara lain oleh fenologi, dispersal, dan natalis. Keberhasilannya menjadi
individu baru dipengaruhi oleh vertilitas dan fekunditas yang berbeda setiap
spesies sehingga terdapat perbedaan struktur dan komposisi masing – masing
spesies.
Perbedaan nilai kerapatan masing-masing jenis disebabkan karena adanya
perbedaan kemampuan reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap
lingkungan. Nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies
bersangkutan pada satuan luas tertentu, maka nilai kerapatan merupakan
gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada lokasi penelitian. Nilai
kerapatan belum dapat memberikan gambaran tentang bagaimana distribusi dan
pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis
tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya sedangkan pola penyebaran dapat
ditentukan dengan membandingkan nilai tengah spesies tertentu dengan varians
populasi secara keseluruhan (Arrijani, 2006).
Greig-Smith (1983) nilai frekuensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung
oleh dan pola distribusinya. Nilai hanya dapat memberikan informasi tentang
kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat memberikan
gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot. Berkaitan dengan
nilai frekuensi suatu jenis, Kershaw (1979) dan Crawley (1986) mengemukakan
bahwa frekuensi suatu jenis dalam komunitas tertentu besarannya ditentukan oleh
metode sampling, ukuran kuadrat, ukuran tumbuhan dan distribusi spasialnya.
Nilai dominasi masing-masing jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter
batang setinggi dada sehingga besarnya nilai dominasi ditentukan oleh kerapatan
jenis dan ukuran rata-rata diameter batang. Besarnya indeks nilai penting
menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada
lokasi penelitian.
Jenis semai yang didapatkan sebanyak 2 jenis yaitu Paku Rane (Selaginella)
dan Harendong Bulu (Clidemia hirta). Hasil yang diperoleh dari perhitungan
didapatkan nilai Kerapatan terbesar pada semai yaitu jenis Paku Rane
(Selaginella) sebanyak 92 batang/ha, sedangkan nilai Kerapatan terkecil pada
semai yaitu jenis Harendong Bulu (Clidemia hirta) sebanyak 17 batang/ha. Nilai
Kerapatan Relatif terbesar ada pada semai yaitu jenis Paku rane (Selaginella)
dengan nilai sebesar 84.4%, sedangkan nilai Kerapatan Relatif terkecil yaitu pada
Harendong Bulu (Clidemia hirta) sebesar 15.6 %. Ini menunjukkan bahwa jenis
Paku Rane (Selaginella) memiliki kerapatan yang tinggi bila dibandingkan
dengan spesies yang lainnya. Nilai Frekuensi pada semai jenis Paku rane
(Selaginella) dan Harendong Bulu (Clidemia hirta) memiliki nilai yang sama
yaitu sebesar 0.33. Nilai Frekuensi Relatif pada semai yaitu jenis Paku rane
(Selaginella) dan Harendong Bulu (Clidemia hirta) memilki nilai yang sama
yaitu sebesar 50%. Indeks Nilai Penting untuk semai jenis Paku rane (Selaginella)
sebesar 134,4 dan untuk jenis Harendong Bulu (Clidemia hirta) sebesar 65,6.
Nilai ini menunjukkan bahwa jenis Paku Rane (Selaginella) memiliki kehadiran
yang tinggi di tiap plot dibandingkan dengan spesies yang lainnya. Sedangkan
nilai Indeks Nilai Penting menunjukkan bahwa tumbuhan jenis Paku rane
(Selaginella) dikategorikan sebagai penyusun utama.
Pada pancang diperoleh dua jenis tumbuhan yaitu tumbuhan Bambu Hijau
(Bambusa tuldoides) dan Weru (Dmbiguasi). Nilai Kerapatan terbesar yaitu jenis
Weru (Dmbiguasi) sebanyak 75 batang/ha, sedangkan nilai Kerapatan terkecil
pada pancang adalah jenis Bambu Hijau (Bambusa tuldoides) sebanyak 8
batang/ha. Nilai Kerapatan Relatif terbesar pada pancang yaitu jenis Weru
(Dmbiguasi) sebesar 90.4%, sedangkan nilai Kerapatan Relatif terkecil pada
pancang yaitu jenis Bambu Hijau (Bambusa tuldoides) sebesar 9.6 %. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis Weru (Dmbiguasi) memiliki kerapatan yang tinggi bila
dibandingkan dengan spesies yang lainnya. Nilai Frekuensi terbesar pada pancang
yaitu jenis Weru (Dmbiguasi) sebesar 0.67 dan nilai Frekuensi terkecilnya pada
jenis Bambu Hijau (Bambusa tuldoides) yaitu sebesar 0.33. Frekuensi Relatif
terbesar yaitu jenis Weru (Dmbiguasi) yaitu sebesar 67 %, sedangkan nilai
Frekuensi Relatif terkecil yaitu jenis Bambu Hijau (Bambusa tuldoides) dengan
nilai Frekuensi Relatif nya 33 %. Nilai ini menunjukkan bahwa jenis Weru
(Dmbiguasi) memiliki kehadiran yang tinggi di tiap plot dibandingkan dengan
spesies yang lainnya. Sedangkan nilai Indeks Nilai Penting terbesar adalah jenis
Weru (Dmbiguasi) sebesar 157.4 %, hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan jenis
Weru (Dmbiguasi) dikategorikan sebagai penyusun utama.
Pada tihang ditemukan hanya 2 jenis tumbuhan yaitu Weru (Dmbiguasi) dan
Meranti (Shorea). Dari perhitungan diperoleh nilai Kerapatan sama rata yaitu 25
batang/ha. Sehingga nilai Kerapatan Relatif diperoleh dengan nilai yang sama rata
pula yaitu 33.33 %. Hal ini menunjukan bahwa kedua jenis tumbuhan ini memiliki
kerapatan yang sama. Nilai Frekuensi yang didapatkanpun sama yaitu sebesar
0.33, maka memilki nilai Frekuensi Relatif yang sama yaitu sebesar 50%. Nilai
Dominasi terbesar yaitu pada jenis Meranti (Shorea) sebesar 0.042 m2/ha,
sedangkan nilai Dominasi terkecil yaitu pada jenis Weru (Dmbiguasi) 0.023
m2/ha, sehingga didapatkan nilai Dominasi Relatif terbesar pada jenis Meranti
(Shorea). sebesar 60.1 % dan nilai Dominasi Relatif terkecil pada jenis Weru
(Dmbiguasi) sebesar 39.9 %. Nilai ini menunjukkan bahwa tumbuhan yang
mendominasi yaitu jenis Meranti (Shorea). Sedangkan nilai Indeks Nilai Penting
terbesar adalah jenis Meranti (Shorea) sebesar 144.49 %, hal ini menunjukkan
bahwa tumbuhan jenis Meranti (Shorea) dikategorikan sebagai penyusun utama.
Pada pohon ditemukan tiga jenis tumbuhan yaitu Jati (Tectona grandis),
Meranti (Shorea), dan Puspa (Schima wallichi). Dari perhitungan diperoleh nilai
Kerapatan terbesar yaitu jenis Meranti (Shorea) sebanyak 141.7 batang/ha,
sedangkan nilai Kerapatan terkecil yaitu jenis Jati (Tectona grandis) sebanyak 25
batang/ha . Nilai Kerapatan Relatif terbesar pada pohon yaitu jenis Meranti
(Shorea) dengan nilai sebesar 70.8 %, sedangkan nilai Kerapatan Relatif terkecil
yaitu jenis Jati (Tectona grandis) sebesar 12.5 %. ini menunjukkan bahwa jenis
Meranti (Shorea) memiliki kerapatan yang tinggi bila dibandingkan dengan
spesies yang lainnya. Nilai Frekuensi terbesar adalah jenis Meranti (Shorea) dan
Puspa (Schima wallichi) masing-masing sebesar 1, sedangkan Frekuensi terkecil
yaitu Jati (Tectona grandis) 0.67. Nilai Frekuensi Relatif terbesar adalah jenis
Meranti (Shorea) dan Puspa (Schima wallichi) masing-masing sebesar 37.5 %,
sedangkan Frekuensi Relatif terkecil yaitu Jati (Tectona grandis) sebesar 25%.
Nilai ini menunjukkan bahwa tumbuhan jenis Meranti (Shorea) dan Puspa
(Schima wallichi) memiliki kehadiran yang tinggi dibandingkan dengan jenis Jati
(Tectona grandis). Nilai Dominasi terbesar yaitu pada jenis Meranti (Shorea) 0.36
m2/ha, sedangkan nilai Dominasi terkecil yaitu pada jenis Puspa (Schima wallichi)
sebesar 0.30 m2/ha, sehingga didapatkan nilai Dominasi Relatif terbesar pada jenis
Meranti (Shorea) sebesar 36.12 % dan nilai Dominasi Relatif terkecil pada jenis
Puspa (Schima wallichi) sebesar 30.12 %. Nilai ini menunjukkan bahwa
tumbuhan yang mendominasi yaitu jenis Meranti (Shorea), sedangkan nilai Indeks
Nilai Penting terbesar adalah jenis Meranti (Shorea) sebesar 144.49 %, hal ini
menunjukkan bahwa tumbuhan jenis Meranti (Shorea) dikategorikan sebagai
penyusun utama.
6.2 Pengamatan Satwa

Pengamatan satwa burung dan mamalia ini bertujuan untuk


mengidentifikasi dan menginventarisasi keanekaragaman jenis satwa di Taman
hutan Raya Banten. Metode yang digunakan untuk pengamatan satwa burung dan
mamalia di Tahura Banten adalah susur jalan atau transect, jarak tiap titik ke titik
sejauh 500 meter dengan durasi pengamatan 15 menit. Pengamatan di mulai pukul
07.00 sampai dengan 09.00 WIB saat burung dan mamalia mulai beraktivitas.
Pengamatan satwa dilakukan di 5 titik. Aspek-aspek yang diamati dan wajib
diketahui dalam pengamatan satwa ialah nama jenis, jumlah spesies, jenis
vegetasi, aktivitas satwa, dan nilai estetika. Satwa dijumpai ataupun tidak
dijumpai secara langsung dicatat pada tally sheet.

= Jalur (transect)
= Titik Pengamatan

Menurut Welty dan Baptista (1988) penyebaran dan populasi burung disuatu
habitat dipengaruhi oleh faktor fisik/lingkungan seperti tanah, air, temperatur,
cahaya matahari dan faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya.
Berbagai tipe hutan primer, sekunder maupun lahan terbuka/semak belukar
merupakan habitat bagi beraga jenis burung. Beberapa jenis burung bahkan
menggunakan berbagai tipe habitat tersebut untuk mencari makan, reproduksi,
dan menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam habitatnya, burung memanfaatkan
jenis tumbuhan sebagai sumber pakan, tempat sarang serta tempat berlindung
secara fisiologis menurut Partasamita tahun 1998.
Didapatkan satwa burung sebanyak 7 jenis dengan total 19 individu dan
satwa mamalia sebanyak 2 jenis dengan total 7 individu. Jenis satwa burung
meliputi Walet Linchi (Collocalia linchi) sebanyak 5 individu, Cici Merah
(Cisticola exilis) sebanyak 1 individu, Cekakak Sugai (Todirhamphus chloris)
sebanyak 3 individu, Wiwik Lurik (Cacomantis sonneratii) sebanyak 3 individu,
Pelatuk Jambul Kuning (Picus chlorolophus) sebanyak 1 individu, Caladi Batu
(Meiglyptes tristis) sebanyak 1 individu, Cipoh Kacat (Aegithina tiphia) sebanyak
1 individu. Jenis satwa mamalia meliputi Monyet Ekor Panjang (Macaca
fasicularis) sebanyak 4 individu dan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)
sebanyak 3 individu. Vegetasi yang dihinggapi burung dan mamalia yaitu pohon
durian, mahoni, meranti, dan puspa sebagaimana yang dicantumkan pada tabel
Tally Sheet Pengambilan Data Jenis Burung dan mamalia.
Pada titik 1 pengamatan satwa dilakukan pukul 07.19 sampai dengan 07.34
didapatkan satwa Walet Linchi dengan aktivitas terbang diatas pohon durian
berjumlah 1 individu. Hal ini dikarenakan satwa tersebut memanfaatkan pohon
durian untuk mencari pakan, terdapat serangga yang berlimpah diatas pohon
duiran. Cici Merah berjumlah 1 individu dengan aktivitas terbang diatas pohon
mahoni, Cekakak Jawa berumlah 3 individu dengan aktivitas hinggap dan
bertengger di ranting phon meranti. Wiwik Lurik berjumlah 2 individu dengan
aktivitas terbang di atas pohon meranti.
Pada titik 2 pengamatan satwa dilakukan pukul 07.34 sampai dengan 07.49
didapatkan satwa Walet Linchi berjumlah 4 individu dengan aktivitas terbang di
atas pohon puspa. Wiwik Lurik berjumalh satu individu dengan aktivitas
betengger di pohon meranti. Pada titik 3 pengamatan dilakukan pukul 07.49
sampai dengan 08.04 didapatkan satwa Pelatuk Jambul Kuning berjumlah 1
individu dengan aktivitas terbang di atas pohon puspa. Caladi Batu berjumlah 1
individu dengan aktivitas terbang di atas pohon meranti. Walet Linchi berjumlah 1
individu dengan aktivitas hinggap dan bertengger di ranting pohon durian. Hal ini
dikarenakan tersedianya sumber pakan bagi burung dan burung nyaman
beraktivitas di diantara vegetasi tersebut.
Pada titik 4 pengamatan satwa dilakukan pukul 08.04 sampai dengan 08.19
didapatkan satwa Cipot Kacat berjumlah 1 individu dengan aktivitas terbang di
atas pohon meranti. Pada titik 5 pengamatan dilakukan pada pukul 08.19-08.40,
didapatkan satwa Walet Linchi berjumlah 3 individu dengan aktivitas terbang di
atas pohon meranti. Pengamatan satwa mamalia didapatkan satwa Monyet Ekor
Panjang pada pukul 08.07 berjumlah 4 individu dengan aktivitas dduduk dan
bermain di atas pohon meranti dan satwa Lutung Jawa pada pukul 08.25
berjumlah 3 individu dengan aktivitas berayun di pohon meranti.
Berdasarkan data yang diperoleh, satwa burung sebanyak 7 jenis dan
mamalia 2 jenis di Tahura Banten tergolong rendah dalam keanekaragaman jenis
satwa.. Dikarenakan jenis vegetasi yang diamati terdapat aktivitas satwa hanya 4
jenis tumbuhan saja dan termasuk keanekaragaman vegetasi tersebut kurang
berlimpah, sehingga tumbuhan pakan yang tersedia untuk satwa pun sedikit. Hal
ini menyatakan bahwa keragaman jenis burung sangat dipengaruhi oleh potensi
tumbuhan yang terdapat dalam habitatnya, terutama tumbuhan yang dapat
menjadi sumber pakan. Wiens (1992) menyatakan bahwa ketersediaan pakan
dalam suatu tipe habitat merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran
populasi burung dan mamalia. Hal ini juga berkaitan dengan adanya kemampuan
burung untuk memilih habitat yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya untuk
kebutuhan hidupnya.
Burung dan mamalia juga dapat bergerak sepanjang hutan untuk mencari
tempat dimana terdapat buah yang melimpah. Selain itu, ada atau tidak
ditemukannya suatu jenis burung dan mamalia pada suatu habitat dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya yaitu kecocokan habitat, perilaku
(seleksi habitat), kehadiran jenis hewan lain (predator, parasit, dan pesaing), dan
faktor kimia-fisika lingkungan yang ada di luar kisaran toleransi jenis burung dan
mamalia yang bersangkutan. Adapun faktor tambahan seperti pengamatan
dilakukan terlambat sehingga pada pukul 07.00 di saat pengamatan satwa mulai
dilakukan kelimpahan keanekaragaman jenis burung dan mamalia rendah karena
satwa sudah beraktivitas normal.

6.3 Abiotik

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,


keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lainnya (UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009). Berdasarkan batasan
tersebut, berarti lingkungan ekosistem hutan juga terdiri dari komponen abiotik
(lingkungan fisik), komponen biotik (lingkungan hayati). Kedua komponen dalam
lingkungan hidup saling ketergantungan dan terjadi suatu hubungan timbal balik.
Kualitas suatu perairan dapat ditentukan oleh sifat kimia dan fisika. Interaksi
antara sifat kimia dan fisika di perairan sungai dapat menentukan kemampuan
perairan tersebut untuk mendukung kehidupan yang ada didalamnya.
Sungai merupakan suatu system yang dinamis dengan segala aktifitas yang
berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat di dalamnya.
Adanya dinamika tersebut menyebabkan suatu sungai berada dalam
keseimbangan ekologis sejauh sungai tidak menerima bahan-bahan asing ini dapat
mentolerir dan kondisi keseimbangan masis tetap dapat dipertahankan (Barus,
2002). Perairan sungai mempunyai komponen abiotik dan biotik yang saling
berinteraksi mambentuk ekosistem yang saling mempengaruhi. Komponen
ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran
energi yang akan mendukung stabilitas ekosistem tersebut. Abiotik atau
komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang merupakan medium
atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan atau lingkungan tempat hidup.
Praktikum kali ini membahas mengenai komponen abiotik sungai yang
berada di Taman Hutan Raya Banten, parameter yang di ukur adalah suhu udara,
suhu air, suhu bola basah, suhu bola kering, kelembaban, lebar sungai, lebar
badan sungai, kedalaman sungai, kecerahan, kecepatan arus, pH air. Berdasarkan
hasil data praktikum yang telah dilakukan, suhu bola kering yang diperoleh yaitu
31.2 oC dan suhu bola basah yaitu 27.5 oC, sedangkan suhu airnya yaitu 27.28 oC
dan suhu udara 32 oC. Data kelembaban yang diperoleh pada pengukuran yaitu
sebesar 76.7%. Suhu dari suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang,
ketinggian dari permukaan laut, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman.
Suhu sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan
suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh
mikroba. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplanton di perairan adalah
20˚C – 30˚C (Effendi 2003). Derajat keasaman di Sungai Taman Hutan Raya
Banten yaitu 6.9.
Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan lebar sungai yang ada di
Taman Hutan Raya Banten yaitu 4.5 m dan lebar badan sungai sebesar 23.3 m.
Kedalaman dilakukan pengukuran sebanyak tiga kali pada tiga titik, kedalaman
rata-rata yaitu 20.4 cm. Kecerahan sungai pengukuran diperoleh data 56%. Hal ini
berdasarkan prinsip penentuan kecerahan air dengan sechi disk yaitu berdasar
batas pandangan ke dalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air.
Semakin keruh suatu badan air maka akan semakin dekat dengan batas
pandangan, sebaliknya kalau air jenih akan jauh dari batas pandangan tersebut.
Kecerahan berhubungan dengan penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya sering kali
dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, namun tingkat kecerahan di sungai
tersebut sangatlah tinggi karena belum adanya kontaminasi yang di lakukan oleh
manusia sehingga airnya cukup jernih.
Pengukuran kecepatan arus sungai dilakukan tiga kali pengulangan pada
ketiga titik, rata-rata kecepatan arus sungai yaitu 0.45 m/s. Arus sangat
dipengaruhi oleh sifat air itu sendiri, keadaan dasar perairan, dan gerakan rotasi
bumi. Aliran sungai dipengaruhi oleh adanya dua kekuatan yakni gravitasi dan
hambatan. Oleh karna itu, kekuatan arus di sungai tergantung pada letak
daerahnya. Daerah hulu, kecepatan arusnya tinggi, sedangkan di daerah hilir
kecepatan arusnya menurun.

6.4 Herbarium

Berdasarkan praktikum lapang yang telah dilakukan praktikan melakukan


praktikum salah satunya ialah herbarium. Herbarium adalah koleksi spesimen
yang telah dikeringkan, biasanya disusun berdasarkan sistim klasifikasi. Dan
spesimen herbarium yang menjadi objek herbarium ialah sulangkar (Leea
sambucina). Spesimen herbarium merupakan tumbuhan atau bagian tumbuhan
yang dikeringkan. Media ini yang sangat penting dalam mempelajari morfologi,
dan taksonomi tumbuhan. Tanpa herbarium tidak mungkin melakukan studi
taksonomi tumbuhan ( Forman and Bridson, 1991). Fungsi herbarium secara
umum antara lain : 1)sebagai pusat referensi; merupakan sumber utama untuk
identifikasi tumbuhan bagi para ahli taksonomi, ekologi, petugas yang menangani
jenis tumbuhan langka, pecinta alam, para petugas yang bergerak dalam
konservasi alam. 2) Sebagai lembaga dokumentasi,merupakan koleksi yang
mempunyai nilai sejarah, seperti tipe dari taksa baru, contoh penemuan baru,
tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi dan lain-lain. 3) Sebagai pusat
penyimpanan data, ahli kimia memanfaatkannya untuk mempelajari alkaloid, ahli
farmasi menggunakan untuk mencari bahan ramuan untuk obat kanker, dan
sebagainya
Pada pembuatan spesimen herbarium tumbuhan diperlukan beberapa tahapan
kerja yaitu : di lapangan dan di laboratorium. Kerja dilapangan bertujuan untuk
mengkoleksi tumbuhan yang akan dijadikan spesimen herbarium. Koleksi harus
mempunyai kelengkapan organ vegetatif dan organ generatif serta karakter
biologinya. Spesimen herbarium yang baik ditentukan oleh cara mengkoleksinya
dan proses pembuatan spesimen herbarium ( Laurence, 1968). Cara koleksi dari
tumbuhan bervariasi tergantung dari berbagai macam habit serta besar kecilnya
tumbuhan tersebut. Untuk tumbuhan berukuran kecil seperti rumput-rumputan,
herba dan perdu dikoleksi secara lengkap (akar, batang, daun, bunga, buah , dan
biji). Untuk tumbuhan berukuran besar dan tinggi seperti pohon, liana, semak
besar dan lainnya cukup dikoleksi sebagian yang mewakili tumbuhannya dengan
ukuran kurang lebih 30 cm. Beberapa sifat dan karakter morfologi maupun
biologinya yang tidak mungkin terbawa dan akan berubah setelah menjadi
spesimen herbarium, diamati dan dicatat dilapangan seperti warna serta karakter
lain, habit (pohon, perdu, dan lain-lain), lokasi pengambilan sample, habitat, data
ekologi dan biologinya, nama lokal ( daerah ) serta manfaatnya ( De Voget, 1987).
Pada praktikum yang dilakukan di Taman Hutan Raya Banten tanaman yang
digunakan untuk herbarium ialah pohon sulangkar (Leea sambucina) dengan
tahapan kerja menggunakan metode di lapangan. Pohon sulangkar (Leea
sambucina) dipilih karena memiliki kambium dan memiliki manfaat sebagai obat
luka, penurun demam, serta menghangatkan badan pada bagian yang lumpuh.
Pada proses herbarium ini digunakan alkohol 70 % hal ini dikarenakan
penggunaan alkohol bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan pada
tumbuhan dengan tidak mengalami pembusukkan. Alkohol pun berfungsi untuk
mengawetkan dan membunuh mikrobiologi agar mencegah pelapukan pada
sampel. Tetapi, jika penggunaan alkohol digunakan terlalu banyak hal ini pun
akan mengakibatkan spesies herbarium akan mengalami pembusukkan. Kondisi
tanaman yang telah diberikan alkohol harus menempel pada lapisan plastik ( di
press/ diratakan) agar tidak terdapat gelembung udara yang masuk ke dalam
plastik. Hal ini bertujuan agar bakteri dari luar lingkungan tidak masuk kedalam
plastik tersebut dan menganggu proses pengeringan.
Media yang digunakan ialah plastik. Hal ini dikarenakan metode plastik yang
paling mudah untuk dilakukan dan praktis saat dibawa ke lapangan dibandingkan
dengan metode yang lain seperti koran ataupun triplek. Plastik pun digunakan
karna memiliki kelebihan antara lain, kedap air sehingga tidak terdapat
kontaminasi dari luar serta dapat diamati secara langsung perubahan warna yang
terjadi pada daun. Akan tetapi, terdapat pula kelemahan pada penggunakan
metode plastik yaitu spesies herbarium rentan rusak jika tidak diletakkan pada
tempat yang aman. Herbarium yang baik ialah herbarium yang menghasilkan
warna coklat yang merata. Sedangkan, spesies herbarium yang menunjukkan
warna coklat kehitaman lambat laun tanaman tersebut akan mengalami
pembusukkan dan proses herbarium pun dikatakan gagal. Faktor yang
mempengaruhi pembusukkan antara lain ialah penggunaan alkohol yang terlalu
banyak sehingga daun merespon dengan cepat dengan perubahan warna yang
terjadi. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, spesies herbarium
pohon Sulangkar (Leea sambucina) setelah dilakukan perlakuan menunjukkan
warna coklat merata pada seluruh daun yang telah diberikan alkohol 70 %.
BAB VII
PENUTUP

7.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Taman Hutan Raya


Banten terdapat komponen-komponen abiotik berupa lebar sungai 4.5 m,
lebar badan sungai 23.3 m, kedalaman rata-rata 20.4 cm, Kecerahan 56%,
kecepatan arus rata-rata 0.45 m/s , suhu air 27.28 oC, suhu udara 32 oC, pH
6.9, kelembaban udara 76.7%, suhu bola kering 31.2 oC, dan suhu bola
basah 27.5 oC.
2. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan keanekaragaman jenis
tumbuhan yang terdapat di Taman Hutan Raya Banten yaitu pakurane
(Selaginella doederleinii), harendong bulu (Tibouchina urvilleana), bambu
hijau (Bambusa arundinacea), weru (Albizia procera), meranti (Shorea
leprosula), jati (Tectona grandis), dan puspa (Schima wallichii).
3. Berdasarkan pengamatan satwa yang telah dilakukan di Taman Hutan
Raya Banten ditemukan satwa jenis primata dan aves. Primata yang
ditemukan yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung
(Trachypithecus), sedangkan aves yang ditemukan yaitu walet linci
(Collocalia linchi), cici merah (Cisticola exilis), cekakak jawa (Halcyon
cyanoventris), wiwik lurik (Cacomantis soneratii), platuk jambul kuning
(Picus chlorolophus), kaladi batu (Meiglyptes tristis), dan cipoh kacat
(Aegithina tiphia).
4. Teknik herbarium yang digunakan yaitu dengan metode plastik. Tanaman
yang digunakan untuk herbarium adalah tanaman sulangkar (Leea
sambucina). Herbarium sulangkar setelah seminggu memiliki warna hijau
kecoklatan dan tidak mengalami kerontokan.

7.2 Saran

Sebaiknya perlindungan pada Taman Hutan Raya Banten lebih ditingkatkan,


dan memasang papan peraturan bagi pengunjung agar ikut serta dalam menjaga
kelestarian dan kebersihan Taman Hutan Raya Banten. Taman Hutan Raya
Banten memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk wisata, seperti adanya
camping ground, lapangan olahraga, area selfie, cottage, aula, dan tempat kuliner.
Akan tetapi, fasilitas tersebut masih kurang dalam perawatannya, terutama pada
area camping ground dan cottage. Pihak Taman Hutan Raya Banten sebaiknya
lebih melengkapi informasi yang terdapat pada websitenya, agar memudahkan
masyarakat untuk mengakses informasi mengenai Taman Hutan Raya Banten dan
lebih dapat dikenal oleh masyarakat luas.
Daftar Pustaka

Alikodra H. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor (ID) : Yayasan Penerbit


Fakultas Kehutanan IPB.
Arikunto S. 1998. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta (ID) :
Bina Aksara.
Arrijani, Setiada D, Guhardja E, dan Qayim I. 2006. Analisi Vegetasi Hulu DAS
Cianjur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas 7: 147 –
153.
De Vogel E. 1987. Manual Of Herbarium Taxonomi Theori and Practice.
Unesco: Rijksherbarium Leiden The Netherlands.
Fachrul F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID) : Bumi Aksara.
Forman, L. And Bridson, D. 1991. The Herbarium Handbook. Royal Botany
Gardens.
Greig-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology, Studies in Ecology. Volume 9.
Oxford: Blackwell Scientific Publications
Indrawan M. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta (ID) : Yayasan Obor Indonesia.
Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta (ID) : Bumi Aksara.
Kershaw, K.A. 1979. Quantitatif and Dynamic Plant Ecology. London: Edward
Arnold Publishers.
Kimmins J. 1987. Forest Ecology. New York: Macmillan Publishing Co.
Laurence, G. H. M. 1968. Taxonomi Of Vascular Plants. New York : The Mac
Millan Company.
MacKinnon. 1998. Panduan Lapangan Burungburung di Sumatera, Jawa, Bali
dan Kalimantan. Jakarta (ID) : Puslitbang Biologi-LIPI
Michael P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan
Laboratorium. Jakarta (ID) : UI Press.
Rahardjanto A. 2001. Ekologi Tumbuhan. Malang (ID) : UMM Press.
Surasana E. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung (ID) : ITB.

Lampiran

 Contoh Perhitungan Analisis Vegetasi


 Contoh perhitungan nilai INP pohon Jati.
Nama Keliling Diameter Tinggi Lbds
Jenis TBC Tinggi
Total
Jati 1 194,7 62 8 20 0,3018
Jati 2 175,8 56 7 17 0,2462
Jati 3 200,9 64 11 26 0,3215

 Lbds Jati 1
Lbds = ¼ π (d/100)2
= ¼ 3.14 (62/100) 2
= 0,3018
 Lbds Jati 2
Lbds = ¼ π (d/100)2
= ¼ 3.14 (56/100) 2
= 0,2462
 Lbds Jati 3
Lbds = ¼ π (d/100)2
= ¼ 3.14 (64/100) 2
= 0,3215
 Lbds Jati= 0,2898
 Nilai Kerapatan (K)

∑ individu suatu jenis


K=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘
3
K=
0,12

K = 25batang/ha

 Nilai Kerapatan Relatif (KR)


Kerapatan suatu jenis
KR = 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 x 100%

25
KR = 200 x 100%

KR = 12,5 %

 Nilai Frekuensi (F)

∑petak ditemukan suatu jenis


F=
∑ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛

2
F=
3
F = 0,6667

 Nilai Frekuensi Relatif (FR)


Frekuensi suatu jenis
FR = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 x 100%

0,6667
FR = 𝑥 100%
2,6667

FR = 25 %

 Nilai Dominasi (D)


Luas area suatu jenis
D=
Luas seluruh jenis

0,2898
D=
0,8614

D = 0,3365 m2/ha

 Nilai Dominasi Relatif (DR)


Dominasi suatu jenis
DR = 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 x 100%

0,33647
DR = 𝑥 100%
1
DR = 33,647 %

 Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR+ FR+ DR

= 12,5+ 25+ 33,647

= 71,147

 Dokumentasi

Proses Pengambilan Data Abiotik


Proses Pengambilan Data Pengamatan Satwa

Proses Pengambilan dan Pengolahan Data Analisis Vegetasi

Anda mungkin juga menyukai

  • Senyawa 2
    Senyawa 2
    Dokumen3 halaman
    Senyawa 2
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Popopo
    Popopo
    Dokumen1 halaman
    Popopo
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • LLLas
    LLLas
    Dokumen3 halaman
    LLLas
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Penda Hulu An
    Penda Hulu An
    Dokumen1 halaman
    Penda Hulu An
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Siklus Hidrologi
    Siklus Hidrologi
    Dokumen3 halaman
    Siklus Hidrologi
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Izin
    Izin
    Dokumen4 halaman
    Izin
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Lampiran
    Lampiran
    Dokumen3 halaman
    Lampiran
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Deassads
    Deassads
    Dokumen3 halaman
    Deassads
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Karst Wawolesea: Program Keahlian Teknik Dan Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor 2017
    Karst Wawolesea: Program Keahlian Teknik Dan Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor 2017
    Dokumen12 halaman
    Karst Wawolesea: Program Keahlian Teknik Dan Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor 2017
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Tabel
    Tabel
    Dokumen4 halaman
    Tabel
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Mutu
    Mutu
    Dokumen3 halaman
    Mutu
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • M
    M
    Dokumen3 halaman
    M
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Cover Specta
    Cover Specta
    Dokumen2 halaman
    Cover Specta
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • SQ
    SQ
    Dokumen12 halaman
    SQ
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • PR Dek Irul
    PR Dek Irul
    Dokumen1 halaman
    PR Dek Irul
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • KK
    KK
    Dokumen5 halaman
    KK
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • SQ
    SQ
    Dokumen12 halaman
    SQ
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • DD
    DD
    Dokumen1 halaman
    DD
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen2 halaman
    Cover
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Permen LH 16 TH 2012 Penyusunan Dokumen LH PDF
    Permen LH 16 TH 2012 Penyusunan Dokumen LH PDF
    Dokumen48 halaman
    Permen LH 16 TH 2012 Penyusunan Dokumen LH PDF
    Harno Sragen
    67% (3)
  • FITOREMEDIASI LOTUS MERAH
    FITOREMEDIASI LOTUS MERAH
    Dokumen16 halaman
    FITOREMEDIASI LOTUS MERAH
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • WWF Menyambut Baik Kerjasama Tiga Negara Untuk Konservasi Penyu Belimbing
    WWF Menyambut Baik Kerjasama Tiga Negara Untuk Konservasi Penyu Belimbing
    Dokumen5 halaman
    WWF Menyambut Baik Kerjasama Tiga Negara Untuk Konservasi Penyu Belimbing
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • Tugas Pengganti Kuliah
    Tugas Pengganti Kuliah
    Dokumen13 halaman
    Tugas Pengganti Kuliah
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat
  • PR Dek Irul
    PR Dek Irul
    Dokumen1 halaman
    PR Dek Irul
    Hanifah Nuraini
    Belum ada peringkat