Anda di halaman 1dari 37

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebelum filsafat Islam lahir, di timur dan di barat telah terdapat berbagai alam
pikiran, diantaranya ialah pikiran Mesir Kuno, Sumeria, Babilonia, Asiria, Iran, India,
Cina, dan Yunani. Dari pikiran-pikiran tersebut di atas, yang memiliki banyak
hubungan, bahkan menjadi sumber filsafat Islam ialah filsafat Yunani, walaupun
sebenarnya pikiran Iran dan India juga banyak memberikan sumbangan.

Filsafat Yunani yang sampai kepada dunia Islam , bukan filsafat asli yang ada
pada masa Yunani itu sendiri. Melainkan filsafat yang telah melalui pemikiran
Hellenisme Romawi yang memiliki ciri khas serta corak terntentu yang pada akhirnya
mempengaruhi filsafat tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam
dipengaruhi oleh hasil dua paham yang berturut-turut, yakni fase Hellenisme dan fase
Hellenisme Romawi.

Fase Hellenisme ialah fase yang pemikiran filsafatnya hanya dimiliki oleh
orang-orang Yunani, sejak abad ke-4 SM. Sedangkan fase Hellenisme Romawi (Greko
Romawi) ialah filsafat yang muncul setelah masa tersebut, yang membahas mengenai
filsafat yang muncul pada masa Romawi, juga membicarakan peninggalan Yunani.
Masing-masing fase tersebut mempunyai ciri khas. Dengan mengetahui ciri khas
tersebut kita dapat mengetahui ciri-ciri filsafat yang sampai kepada dunia Islam.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini
adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi mengenai pra dan pasca filsafat Islam?


2. Bagaimana unsur-unsur filsafat Yunani sehingga dapat mempengaruhi
pendidikan Islam pada masa klasik?
3. Bagaimana pemikiran Filsuf Islam Al Ghazali?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami kondisi mengenai pra dan pasca filsafat
Islam.
2. Untuk mengetahui dan memahami unsur-unsur filsafat Yunani sehingga dapat
mempengaruhi pendidikan Islam pada masa klasik.
3. Untuk mengetahui dan memahami pemikiran filsuf Islam Al Ghazali.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pra dan Pasca Filsafat Islam

2.1.1 Filsafat Islam dan Filsafat Yunani

Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh
filsafat Yunani. Filsuf-filsuf Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles, dan sangat
tertarik oleh pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil. Memang
demikian keadaan yang terjadi pada orang-orang yang datang kemudian. Mereka
terpengaruh oleh orang-orang sebelum mereka dan akhirnya berguru kepada mereka
pula.

Namun, makna berguru sendiri bukan diartikan sebagai mengekor atau mengutip
sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari
Aristoteles, seperti yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah menampung
dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Jika filsafat Yunani merupakan salah satu
sumbernya, maka tidak aneh apabila kebudayaan India dan Iran juga menjadi
sumbernya.

Perpindahan dan pertukaran pikiran bukan dianggap sebagai hutang budi. Suatu
persoalan dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak, dan hasilnya pun akan beragam.
Seseorang dapat mengambil persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil
mengemukakan teorinya sendiri. Misalnya Ibnu Sina, meskipun menjadi murid yang
setia dari Aristoteles, ia juga memiliki pikiran-pikiran yang berlainan dengan gurunya
tersebut.

Filsuf-filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang
berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain sehingga pengaruh lingkungan
terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya tidak dapat
dipungkiri bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai
dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.

2.1.2 Filsafat Islam dan Filsafat Masehi

3
Kekeliruan ahali-ahli ketimuran pada abad ke-19 adalah bahwa mereka
mendasarkan pendapatnya tentang filsafat Islam hanya didasarkan kepada buku abad
pertengahan yang berbahasa latin dan Ibrani. Apabila sumber-sumber yang berbahasa
Arab juga dipelajari, maka filsafat Islam akan semakin luas bentuknya. Meskipun
hingga kini filsafat Islam belum diselidiki seluas-luasnya, namun sudah dapat dipastikan
kepadatan isi dan luasdaerah pembahasannya. Ia lebih banyak kebebasannya dan lebih
tinggi daya kreasinya bila dibandingkan dengan filsafat Masehi pada abad pertengahan.

Jika kita mengakui skolastika Masehi, maka kita harus mengakui adanya filsafat
Islam atau skolastika Islam. Apalagi skolastika Masehi banyak menerima pengaruh dari
skolastika Islam, baik dalam pembicaraannya maupun dalam uraian-uraiannya. Banyak
buku karangan Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalalm
bahasa Latin, dan diantara pikiran-pikiran mereka ada yang telah membentuk suatu
aliran filsafat di Eropa. Kedudukan filsafat di Timur sama dengan filsafat Hellenisme di
Barat. Kedua filsafat ini, ditambah dengan filsafat Yahudi, menjadi dasar pemikiran
Abad Pertengahan. Untuk mengetahui kedudukan filsafat Islam, kita harus
menghubungkannya dengan filsafat kuno dan filsafat modern.

2.1.3 Filsafat Islam dan Filsafat Modern

Pada abad-abad yang lalu banyak penyelidikan yang dilakukan untuk mencari
sumber filsafat baru pada filsafat skolastika Masehi. Kalau filsafat terakhir ini banyak
terpengaruh oleh filsafat Islam, maka tidaklah mengherankan jika antara filsafat Islam
dan filsafat modern terdapat suatu hubungan. Perlu diketahui bahwa filsafat baru timbul
karena adanya aliran empirisme Francis Bacon (1626) yang menjadi titik tolak
kebangunan ilmu-ilmu praktis serta kritik-kritik terhadap ilmu berpikir.

Sebelum Francis Bacon, sebenarnya sudah terdapat beberapa orang skolastika


Masehi yang telah merintis empirisme dan mengarahkan perhatiannya kepada alam,
yaitu Roger Bacon (1214-1294), yang oleh Renan disebut sebagai tokoh pikir Abad
Pertengahan. Roger Bacon ternyata sangat erat hubungannya dengan dunia pikir Islam.
Oleh karena itu, empirisme Bacon (empirisme masa baru) ada hubungannya dengan

4
penyelidikan, peneropongan bintang, dan laboratorium-laboratorium yang pernah
diadakan oleh kaum muslimin.

Metode skeptis dari Descartes mendapat bandingan, bahkan benih-benihnya


pada Abad Pertengahan Masehi harus dihubungakan dengan Abad Pertengahan Islam.
Sebab, jika Descartes tidak terpengaruh oleh Al Ghazali, maka kita bisa mengadakan
perbandingan antara skeptisisme Descartes dengan skeptisisme Al Ghazali. Terjadinya
perpindahan pikiran-pikiran selalu dimungkinkan mengingat bahwa masa filsafat
skolastika Masehi dan Yahudi, yang erat hubungannya dengan filsafat Islam, terletak
diantara masa filsafat Islan dan masa filsafat modern. Suatu anggapan yang keliru
apabila tidak ada hubungan antara Barat dan Timur dalam dunia pikir dan penyelidikan
ilmiah.

Seperti dikatakan di atas, tidak saja ada Corpus Christianum, tetapi juga ada
“Corpus Islamicum”, dan hal ini juga terjadi pada Abad Pertengahan di Turki, dan
sebelum itu di negara-negara Islam di Asia, Afrika, dan Spanyol. Sesudah Turki secara
politis jatuh menjadi setengah jajahan atau menjadi jajahan, maka terang dengan
sendirinya negara berdasarkan Corpus Islamicum itu lenyap. Baru pada abad kedua
kedua puluh, sesudah Perang Dunia II, mulailah timbul kembali negara-negara Islam
yang menunjukkan sedikit banyak corak Corpus Islamicum itu. Mungkin sekali yang
benar-benar demikian dewasa ini hanyalah Arab Saudi yang bertekad membangun
masjid di Roma.

Misalnya, dewasa ini timbul kembali negara baru di pasifik, yang penduduknya
94 % menganut agama Islam. Ini bukan berarti bahwa mereka semua fanatik terhadap
Islam. Banyak diantara mereka, teristimewa oleh pendidikan barat, memeluk agama
Islam karena turunan saja, dan ada pula yang sering menamakan diri sebagai “Muslim
Konvensional”. Namun, kurang lebih 90% mempunyai keyakinan beragama Islam yang
tidak hanya konvensional, meskipun banyak dari mereka tidak memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang agama itu.

2.1.4 Sebab-Sebab Filsafat Yunani Diterima

5
Sesudah kaum Muslimin menerjemahkan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab,
mereka dihadapkan oleh filsafat Asing yang mempunyai corak tersendiri. Yang tidak
dikenal dalam lingkungan mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin ada persamaan corak.

Maka timbullah pertanyaan, bagaimana sikap dunia pikir Islam terhadap filsafat
seluruhnya? Apakah menerima sebagian dan menolak sebagian? Penolakan terhadap
filsafat tersebut memang telah terjadi setelah terjadi penerimaan terhadaonya. Ini
merupakan hal yang sangat menarik, sebab penerjemahan filsafat (ketuhanan, etika dan
psikologi) itu terjadi pada masa Al Ma’mun, artinya pada permulaan abad ketiga
Hijriyah. Sedangkan penolakan baru terjadi pada masa Imam Al-Asy’ari, abad keempat
Hijriyah. Jika penolakannya terhadap pikiran orang-orang Mu’tazilahitu dianggap
sebagai penolakan tidak langsung terhadap filsafat Yunani. Dengan demikian. Maka
sudah berjalan kurang lebih satu abad filsafat Yunani diterima dengan senang hati.

Menurut sebagian penulis, penolakan yang sesungguhnya baru terjadi pada masa
Al-Ghazali dengan bukunya Tahafutul – Falasiyah pada pertengahan kedua abad
kelima Hijriyah. Artinya sesudah berlangsung dua setengah abad lamanya. Penolakan
tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan agama, dan pada masa sesudahnya
penolakan tersebut semakin keras lagi karena alasan yang sama pula.

Kaum muslimin yang menerima juga tidak sama sikapnya. Ada yang berlebih-
lebihan yaitu penolakan filsuf-filsuf Islam, dan ada pula yang berhati-hati, yaitu orang-
orang Mu’tazilah. Perbedaan kedua golongan tersebut adalah jika golongan filsuf tekun
menghadapi buku-buku yang sudah diterjemahkan, golongan Mu’tazilah tetap pada
tugasnya yang semula, yaitu mempertahankan agama.

Mengapa kedua golongan tersebut menerima filsafat yunani? Tentunya


kecenderungan pikiran semata-mata, sebagai faktor subjektif, tidak cukup untuk
menafsirkan penerimaan mereka. Di samping itu mesti ada faktor-faktor objektif yang
terdapat pada filsafat Yunani. Faktor-faktor itu adalah :

a. Ketelitian yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan ilmu-ilmu matematika cukup
mengagumkan dunia pikir Islam. Akibatnya mereka mempercayai kebenaran
logika dan kejelasan seluruh hasil pemikiran Yunani, bahkan sampai di lapangan

6
ketuhanan (metafisika) yang penerjemahannya baru terjadi pada masa
kemudian. Kekaguman tersebut bisa terjadi karena api yang biasa dikenal oleh
dunia Islam ialah segi-segi intuisi dan perasaan dalam mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan agama. Akibat kekaguman tersebut diakui oleh Al-
Ghazali dalam bukunya Al-Munqidzuminad-Dhalal.
b. Corak keagamaan pada filsafat Yunani kerika menggambarkan Tuhan dan
kebahagiaan manusia. Tuhan digambarkannya sebagai Tuhan Yang Esa, dan
jalan kebahagiaan ialah zuhud serta tasawuf dan peleburan diri kepada Tuhan
sebagai jalan pendekatan manusia kepada-Nya. Corak keagamaan sebenarnya
datang dari pikiran-pikiran lain, bukan Yunani, yaitu pikiran-pikiran Romawi di
Roma, pikiran Mesir di Iskandariah, pikiran Fenisia di Timur serta Semit di
Timur Dekat.
c. Bercampuraduknya pikiran-pikiran keagamaan, dari kalangan Yahudi dan
Masehi yang bercorak filsafat dengan buku-buku filsafat Yunani sehingga,
ketika terjadi penerjemahan, buku-buku keagamaan ini disangka sebagai
karangan filsuf-filsuf Yunani.

2.2 Unsur-Unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam Pada Masa Klasik.

2.2.1 Hubungan Ilmuan Muslim Dengan Filsafat Yunani

Orang Yunani hidup pada pada abad ke 6 SM mempunyai kepercayaan bahwa


kebenaran yang diterima semuanya bersumber dari mitos atau dongeng. Ini berarti
kebenaran yang dapat diterima akal tidak berlaku. Namun sesudah abad ke 6 Sm
muncullah sejumlah ahli pikir yang menentang mitos tersebut, sehingga misteri alam
semesta jawabannya dapat diterima oleh akal. Hal ini sekaligus merupakan cikal bakal
flsafat Yunani.

Ada tiga faktor yang menyebabkan lahirnya filsafat Yunani, yakni:

1. Bangsa Yunani kaya akan mitos dan hal itu adalah awal untuk mengetahui dan
mengerti sesuatu.
2. Beberapa karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong lahirnya
filsafat Yunani yang berisi pedoman hidup dan nila-nilai edukatif.

7
3. Pengaruh ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia di lembah sungai Nil.
Ilmu-ilmu tersebut bukan hanya dipelajari aspek praktisnya saja, tetapi juga
aspek teoritis kreatifnya.

Zaman Yunani terbagi menjadi dua peroide yaitu:

a. Yunani Kuno dengan ahli pikir alam, seperti Thales, Anaximandros, Pythagoras,
Xenopanes dan Demokritos.
b. Yunani Klasik dengan ahli pikir, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles

Pada waktu Alexander Yang Agung mengalahkan Darius tahun 331 SM si


Arbela sebelah Timur Tigris, dia tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan
tersebut, yaitu Yunani dan Persia. Alexander biasa berpakaian Persia dan malah kawin
dengan Statira, seorang wanita Persia. Setelah Alexander meninggal,negaranya terbagi
menjadi 3 kerajaan, yaitu Macedonia di Eropa, kerajaan Ptolomeus di Mesir dengan
ibukota Alexandria dan kerajaan Seleucid di Asia dengan kota-kota penting, seperti
Anioch di Syiria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persi sebelah Timur.

Ptolomeus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk


menyatukan peradaban Yunani dan Persia, tapi tidak berhasil. Sungguhpun demikian,
peradaban Yunani telah meninggalkan bekas pada kedua wilayah tersebut. Sehingga
ketika wilayah-wilayah itu dikuasai oleh Islam, bahasa administrasi yang digunakan
dikantor adalah bahasa Yunani.

Filsafat Yunani ditemukan oleh umat Islam dalam samaran bahasa syria yang
merupakan campuran antara pikiran Plato dan Aristoteles, sebagaimana yang
ditafsirkan dan diolah oleh para filosof selama berabad-abad sepanjang masa
Hellenisme. Pemikiran Yunani yang masuk kedunia Islam tidak datang dari manuskrip-
manuskrip yang asli. Vitalitas ilmuan dan filosofis Yunani telah berakhir dengan
mundurnya Museum Alexandria. Jembatan yang menghubungkan antara pengetahuan
Hellenisme dengan budaya Islam adalah penerjemahan karya-karya Yunani kedalam
bahasa Syria yang merupakan bahasa intelektual Timur Tengah. Bahasa Syria
dimengerti oleh ilmuan Persia, Yunani, Yahudi, dan Kristen yang sedang mencari

8
kebebasan beragama dan Stimulan intelektual di Persia selama 2 abad, sampai kerajaan
Sasania ditaklukkan oleh bangsa Arab.

Pertemuan pertama budaya Arab dengan Yunani terjadi pada saat penaklukkan
Damaskus yang dijadikan sebagai ibukota propinsi Syria dan selanjutnya menjadi
ibukota Daulah dan Bani Umayyah. Pada abad ke 7 M yaitu pada masa pemerintahan
Bani Ummayah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), administrasi yang berbahas
Yunani diganti dengan bahasa Arab. Alexandria, Antioch, Bactra, dan Jundishapur
menjadi pusat ilmu pengetahuan falsafah Yunani. Walaupun filsafat dan teori
Hellenistik telah bersentuhan pada masa ini, kholifah Bani Umayyah tidak banyak
tertarik dengan kajian filsafat dan Teologi. Mereka lebih banyak tertarik pada perluasan
kekuasaan kerajaan.

Lain halnya pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yaitu ketika kholifah
Almansyur (754-775 M) dan Khalifah Harun Al Rasyid (786-809 M) memerintah,
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani dalam bahasa Arab telah dimulai
dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al Ma’mun (813-833 M) dengan
mendirikan pusat penerjemahan dan bayt Al Hikmah. Pada akhir abad ke 9, hampir
seluruh karya yang dikeahui dari museum Hellenistik telah diterjemahkan dan tersedia
bagi ilmuan muslim. Hunayn bertugas menerjemahkan manuskrip Yunani ke dalam
bahasa Syria kemudian anaknya dan teman-temannya menerjemahkan bahasa Syria ke
bahasa Arab.

Hunayn menerjemahkan hampir semua karya Galen sekitar 20.000 halaman


diantara karya Aristoteles, yang menerjemahkan Chategories, Phisycs, Magna Moralia
dan Hermeneuctics. Karya-karya Plato, seperti The Republic, Timaeus, dan The Laws.
Karya Hipokrates, seperti Aphorisme sedang karya Dioscorides adalah Materia Medica.
Demikianlah dengan banyaknya buku-buku filsafat Yunani yang diterjemahkan
kedalam bahasa Arab oleh ilmuan muslim, maka filsafat Yunani pun banyak dikaji dan
dipelajari, baik melalui lembaga pendidikan yang didirikan atau melalui diskusi para
ilmuan muslim.

2.2.2 Dasar-Dasar Pemikiran Filosof Yunani Yang Mempengaruhi Tokoh Islam

9
a. Socrates
Cara berfilsafat Socrates dikenal dengan istilah dialektika, yaitu cara
berfilsafat dengan tanya jawab. Socrates tidak bermaksud memaksakan
orang lain menerima suau ajaran. Dengan megajukan pertanyaan-
pertanyaan ia berusaha agar teman bicara memperoleh keinsyfan yang
lebih mendalam mengenai suatu masalah yang sedang dihadapi yang
pada umumnya bertalian dengan perilaku manusia dan orang di tanya
pun menyadari bahwa melalui pertanyaan Socrates ia telah memperoleh
penglihatan- dalamnya. Socrates yakin bahwa hanya dengan cara
demikian penglihatan-dalam dapat menjadi milik rohani seseorang,
terutama bila penglihatan dalam itu menyangkut bidang kesusilaan yang
sangat berarti bagi kehidupan manusia. Socrates menggunakan metode
tanya jawab dalam mengajar atau dalam mengajak orang lain untuk
memahami apa yang ada pada dirinya. Metode tanya jawab adalah
metode yang banyak dignakan dalam mengajarkn agama islam. Pada asa
nabi Muhammad SAW, metode ini telah di contohkan oleh malaikat
Jibril sewaktu datang bertanya kepada nabi untuk mengajarkan umat
islam.
b. Plato
Plato senantiasa mengajarkan agar orang-orang berpangkal pada sesuatu
yang terdapat diatas kenyataan duniaw, tetapi sekaligus berpegang erat
pada kenyataan duniawi. Keadaan ini harus senantiasa ditinjau dari segi
idea-idea. Menurut ajaran Plato dalam dunia ini kita hanya menangkap
hal-hal yang berubah-ubah dan fana. Yang selalu berubah-ubah kita
ketahui degan tangkapan inderawi, sedang yang tetap-tidak berubah-
ubah-kita ketahui dengan berpikir. Jika menuru Palto adalah sesuatu
yang berifat immaterial dan terpisah dari badan. Hal ini diberikan dengan
kekuatan untuk mengetahui kebenaranyang terakhir. Sedangkan badan
membutuhkan jiwa yang kepadanya ia mengabdi dan mendengarkan
perintahnya. Seorang yang memiliki sifat-sifat kesalehan di dunia ini
setelah mati akan dikirim ke suatu pulau yang penuh kebahagiaan dan

10
jiwa yang jahat akan dikiri ke suatu tempat yang kotor dan penuh
penderitaan sebagai hukuman. Plato menegaskan bahwa manusia begitu
erikatnya pada dunia tangkapan inderawi, sehinggga sukar baginya
mendaki kedalam dnia ide. Untuk dapat naik memasuki alam idea
tersebut diperlukan pengerahan tenaga kejiwaan yang besar, yang
mengharuskan meninggalkan segenap kegiatan hidupnya. Namu hanya
sedikit orang yang dapat menghasilkan tenaga yang dierlukan itu,
terlebih lagi karena manusia memandang pemikir itu sebagai manusia
khas yang asing bagi dunia. Karya plato yang berjudul Negara dan
Hukum meperlihatkan bahwa Plato tidak mengajarkan manusia
melarikan diri dari kenyataan duniawi.
Dalam ajaran islam diyakini ada jiwa yang tenang (an nafsu al-
mutmainnah) yang akan berada dalam keridhohan Tuhan di srga, sedag
jiwayang kotor atau dosa akan berada dalam neraka.
c. Aristoteles
Aristoteles populer dengan filsafat logikanya. Logika formal adalah hasil
ciptaan Aristoteles, inti ajarannya adalah mengenai penalaran dan
pembuktian. Di Athena Aristoteles pernah mendirikan sekolah yang
disebut sekolah Peripatetik yaitu dengan cara memberikan pelajaran
sambil berjalan-jalan.
d. Neoplatonisme (Plotinus)
Bagi Ploinus yang dipandang bernilai hanyalah penghhayatan secara
batiniah mengenai persatuan dengan Tuhan. Untuk itu dunia lahiriyah
merupakan sarana skaligus bahya yang mengancam. Agasan mengenai
tuhan merupakan inti pemikiran Plotnus. Tuhan adalah kebaikan dan
merupakan tujuan segala upaya. Yang Esa, hanyalah kata-kata yang
mengacu kepada hakekat Tuhan, karena keadaan dirinya tidak dapat
disebut kata-kata. Jiwa merupakan pelimpahan dari Tuhan, tapi Jiwa itu
tidak lagi Esa. Jiwa ini selalu berusaha akan kembali kepada Tuhan.
Karena segala sesuatu adalah merupakan pelimpahan dari Tuhan, tugas
manusia mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan. Secara batiniah

11
diri manusia seperti terbelah, di satu pihak ia tertarik pada benda
jasmani, tetapi dilain pihak ia tertarik kepada jiwa.
Manusia dapat tenggelam dalam alam jasmani dan lebur di dalamnya
karena melupakan hakekat dirinya. Namun ia dapat juga dengan jalan
menatap keindahan yang terdapat pada tatanan dunia jasmani dapat
mencuat ke atas sehingga mampu menatap ide-ide yang merupakan
gambaran asli keindahan tersebut. Ketentraman hanya dapat diperoleh
dengan jalan memurnikan segala sesuatu yang bersifat duniawi
sertasegenap keanekaragamannya. Keadaan ini di sebut oleh Plotinus
sebagai ecstasy atau perasaan menyatu dengan Tuhan.
2.2.3 Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap Ilmu-Ilmu Agama

Upaya untuk menggambungkan pemikiran islam dengan pemikiran yunani


mendominasi kehidupan intelektual sepanjang kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah. Ilmuan yang berhubungan dengan kristen Nestoris yang beasal dari hira
(sebuah kota kecil antara Basrah, Kufah dan Mesopotamia Selatan). Kontroversi terjadi
setelah diperkenalkan karya-karya sains dan filsafat yunani pada pertengahan abad
kedelapan. Sehingga munculnya gerakan-gerakan dan kelompok yang disebut dengan
Qadariyah. Dengan menggunakan metode rasional yunani, ilmuan Hira berusaha
menggabungkan akal dan wahyu. Khalifah bani Umayyah, Muawiyah II (683-684 M)
dan yazid III (744 M) adalah pengikut aliran Qadariyah.

Di tempat lain, di seluruh Mesopotamia selatan timbul pula satu aliran pikiran
yang dipengaruhi oleh kristen Nestoris di Basrah dengan menerima kemauan bebas.
Mereka meyakini bahwa individu dapat mengendalikan tingkah lakunya. Cara
mengetahui tingkah laku yang benar dapat dilakukan dengan pendekatan spekulatif
terdapat logika. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama Mu’tazilah. Khaifah Al
ma’mun dari Bani Abbasiyah menganut aliran ini.

Lembaga pendidikan tinggi dengan aneka ragam bentuknya muncul tidak untuk
menyediakan kelanjurtan bidang-bidang studi tingkat permulaan, melainkan untuk
memenuhi dua kebutuhan penting dalam masyarakat :

12
1. Menjelaska pengertian Aquran dan untuk menyesuaikan prinsip-prinsipnya
bagi lingkungan yang berubah. Khusus untuk untuk keimanan bagi pemeluk
islam yang masih baru, membutukan bimbingan sesuai dengan wahyu tuhan
yang disampaika oleh nabi Muhammad SAW.
2. Untuk memaduka wahyu dengan pengalaman intelektual dan keilmuan.

Untuk memenuhi kebutuhan pertama, lembaga-lembaga pendidikan formal


didirikan dengan memusatkan kegiatannya pada stud-studi keagamaan dan penafsiran
hukum. Studi keagamaan bertempat di lingkaran-lingkaran studi di masjid, sementara
studi hukum bertempat di masjid, akademi dan madrasah.

Pembaharuan dalam kajian-kajian keagamaan berakhir ketika studi filsafat


yunani terputus dan diganti dengan skolastisisme islam. Al-Ghazali memenangkan
penggunaan dialektika dan logis yang terbatas, karena khawatir penggunaannya pada
segala bidang pemikiran keilmuan secara sembarang akan meleyapkan keimanan.

2.2.4 Munculnya Para Pemikir Islam Di Dunia Timur

Unsur filsafat dari para filosof Yunani ini, mempengaruhi sains dan filosof
muslim seperti, Jabir ibn Hayyan, bapak ilmu kimia dan pendiri Laboratorium pertama.
Al Khwarizmi, matematikawan ulung pertama. Al-Kindi, filosof penggerak dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat mengandalkan akal untuk sumber
kebenaran tetapi tetap berkeyakinan bahwa wahyu yang sangat mengandalkan akal
untuk sumber kebenaran tetapi tetap berkeyakinan bahwa wahyu yang
membimbingmanusia. Al farabi, komentator buku-buku filsafat yunani, juga termasuk
filosof yang kadang memberikan interpretasi tentang kebenaran ajaran agama dengan
filsafat. Ibnu sina sebagai bapak kedokteran. Ibnu Miskawai dengan teori pendidikan
etika. Umar Khayyam, ahli aljabar. Ibnu Rusyid, terkena pula sebagai bapak kedokteran
umum, dan sebagainya. Salah satu filsuf Islam yang akan dikupas lebih dalam adalah
filsuf Al-Ghozali, dengan pendidikan Tasawufnya.

2.3 Sekitar A-Ghazali

2.3.1 Riwayat Hidup dan Karyanya

13
Namanya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, mendapat gelar
Hujjatul-Islam. Ia lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurrasan (Iran). Ayah
Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali
beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi, sebelum wafatnya ia telah menitipkan
kedua anaknya itu kepada seorang tasawuf pula untuk dibimbing dan dipelihara.

Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Tus, kemudian meneruskan


di kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Al Juwaini sampai yang terakhir
wafat pada tahun 478 H/1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizam Al-Malik di
kota Mu’askan. Darinya ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar
sehingga ia tinggal di kota itu 6 tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M ia diangkat
menjadi guru di sekolah Nidzamiah Baghdad. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia
juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniah,
Ismailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.

Sementara itu ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya


sehingga ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati. Pekerjaannya itu kemudian
ditinggalkannya pada tahun 488 H untuk pergi ke Damsyik. Di kota ini ia merenung,
membaca, dan menulis, selama kurang lebih 2 tahun, dengan tasawuf sebagai jalan
hidupnya.

Kemudian ia pindah ke Palestina. Di sini pun ia tetap merenung, membaca dan


menulis dengan mengambil tempat di Masjid Baitil Maqdis. Sesudah itu tergeraklah
hatinya untuk menjalankan ibadah haji. Setelah selesai ia pulang ke tanah kelahirannya,
yaitu di kota Tus. Disana ia tetap berkhalwat dan beribadah. Keadaan itu berlangsung
selama 10 tahun sejak dipindahkannya ke Damsyik. Dalam masa ini ia menuliskan
buku-buku yang terkenal, antara lain Ihya’Ulumuddin.

Karena desakan para penguasa, yaitu Muhammad, saudara Barkijaruk, Al-


Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nidzamiyah di Naisabur pada tahun 499H.
Tetapi pekerjaan ini hanya berlangsung dua tahun. Akhirnya kembali ke kota Tus lagi.
Disana kemudian ia mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara

14
untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111
M dalam usia 54 Tahun.

2.3.2 Karya Al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam. Puluhan buku telah ditulisnya yang
meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam
(fiqih), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan, kemudian autoboigrafi. Sebagian besar
dari buku-buku itu berbahasa Arab, dan lainnya berbahasa Parsi. Pengaruh Al-Ghazali
di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandanngan para ahli
ketimuran (orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum
Muslimin berpangkal pada konsepsi Al-Ghazali.

Kitabnya yang terbesar adalah ihya ‘Ulumddin, artinya “menghidupkan ilmu-


ilmu agama”, yang dikarangnya selama beberapa tahun dlam keadaan berpindah-pindah
antara Syam, Yerussalem, Hijaz, dan Tus. Buku ini berisi panduan yang dikenal di
kalangan kaum Muslimin maupun dunia Barat dan di luar Islam

Bukunya yang lain adalah Al-Munqidz Minadh Dhalal (Penyelamat dan


Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya
yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan.
Banyak penulis modern yang mengikuti jejak Al-Ghazali dalam menulis autobiografi.

Abnu Al-‘Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil pikiran-pikiran Al-


Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal (Prancis, 1623-1662)
dan filsuf-filsuf Barat lainnya, sebagaimana diakui oleh Asin-Palacios, banyak
persamaannya dengan Al-Ghazali dalam pendiriannya, bahwa pengetahuan-
pengetahuan agama tidak bisa diperoleh dari akal pikiran, tetapi harus benar-benar
berdasarkan hati dan rasa.

Thomas Aquinas (Itali, 1226-1274), yang dengan pedasnya menyerang Al-


Ghazali, ketika menguraikan penglihatan (ru’yat) manusia terhadap Tuhan di akhirat,
uraiannya sama denngan Al-Ghazali. Dante (Italia, 1265-1321 M) dalam bukunya,

15
Devina Commidia (Komidi Ketuhanan) banyak mengambil tulisan Al-Ghazali tentang
Mi’raj.

Banyak ahli ketimuran yang menulis buku tentang Al-Ghazali, antara lain Carra
De Vaux, J. Wersink, Obermann, Asin Palacios, dan Zwemmer. Tidak sedikit dari
penulis-penulis Barat menerjemahkan buku-buku Al-Ghazali ke dalam buku bahasa
Eropa, antara lain :

1. Carra De Vaux menerjemahkan buku Tahafutul-Falasifah


2. De Boer dab Asin Palacios masing-masing menerjemahkan beberapa bagian dari
buku Tahafutul-Falasifah
3. H. Bauer menerjemahkan Qawaid Al’Aqaid
4. Barbier de Minard menerjemahkan Al Munqidz Minadh-dhalal
5. W.H.T. caridner, London, menerjemahkan buku Misykatul-Anwar
6. D. B. Mac Donald mnerjemahkan beberapa pasal dari Ihya ‘Ulumuddin
2.3.3 Perkembangan Alam Pikiran Al-Ghazali
Untuk mengenal pemikiran filsafat Al-Ghazali, kita perlu meninjau empat unsur
yang ditentang oleh Al-Ghazali, dan juga mempengaruji pemikiran filsafatnya kelak
dalam mencapai kebenaran. Keempat unsur itu adalah :
1. Unsur pemikiran kaum Mutakallimin
2. Unsur pemikiran kaum filsafat
3. Unsur kepercayaan kaum batiniah
4. Unsur kepercayaan kaum sufi

Mula-mula Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dengan segala


macam alirannya. Kemudian ia melihat betapa perbedaan-perbedaan itu terjadi karena
mereka berlainan pandangan dalam berbagai hal. Al-Ghazali tidak puas dengan dalil-
dalil mutakallimah saja. Lalu ia mendalami filsafat. Ia memperlajari karangan-karangan
ahli filsafat, terutama karangan Ibnu Sina.

Setelah dipelajarinya filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa


mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

16
Karena tidak puas dengan hasil-hasil filsafat itu, Al-Ghazali menyelidiki pula
pendapat-pendapat aliran batiniah. Penganut aliran ini berpendirian bahwa ilmu yang
sejati atau kebenaran yng mutlak itu hanya dapat diturunkan dari “imam yang
mas’hum”, yang suci dari kesalahan dan dosa. Al-Ghazali menanyakan dimana tempat
imam yang mas’hum itu. Tidak ada pengikut batiniah yang tahu di mana tempatnya dan
kapan ia bisa ditemui. Al-Ghazali akhirnya menyimpulkan bahwa imam mas’hum kaum
batiniah itu hanyalah tokoh yang ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada
dalam kenyataan.

Oleh karena belum puas dengan ketiga macam penyelidikan itu, Al-Ghazali lalu
meninggalkan kesibukan-kesibukan keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf. Ia
mengharapkan dalam gerakan tersebut inilah ia akan mendapat hakikat kebenaran yang
dicari dan diselidikinya selama ini. Ia menghadapkan seluruh hati dan kemauannya
hanya kepada Tuhan semata-mata, dan menganggap sepi dunia dengan segala
godaannya.

Akhirnya ia merasa berhasil. Ia merasa dengan cara ini pikirannya menjadi


sangat jernih, dan dengan tasawuf ia merasa dibukakan oleh Tuhan suatu pengetahuan
ajaib yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Pengetahuan itu dianggapnya sebagai
rahasia hakikat kebenaran yang dicarinya selama ini. Al-Ghazali memperoleh kesan
bahwa orang-orang sufi (ahli tasawuf) itu benar-benar berada di atas jalan yang benar,
berakhlak baik, dan mendapat pengetahuan yang tepat.

Dengan hasil ini barulah Al-Ghazali merasa puas dengan penyelidikannya. Dan
segala pendapatnya tentang tasawuf itu ( yang dianggap sesuai dengan hakikat Islam)
ditulisnya dalam bukunya yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin yang amat terkenal itu.
Namun terdapat sebagian orang yang menganggap bahwa Al-Ghazali bukan seorang
ahli tasawuf (Sufi). Alasannya karena Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafutul Falasifah,
menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dan juga filsuf-filsuf
olongan Islam, dan dengan terang-terangan pula menganggap bahwa “akal” dan
“filsafat” bukanlah alat yang paling utama baginya.

17
Sesungguhnya anggapan tersebut tidaklah benar. Sebab jika Al-Ghazali tidak
bersandar pada akal dan filsafat, maka jangan diartikan bahwa Al-Ghazali menentang
pemakaian akal dan amal filsafat. Sebaliknya, seluruh prestasi Al-Ghazali dalam buku-
bukunya itu dapat dianggap sebagai hasil akal dan karya filsafatnya yang sungguh-
sunggguh disesuaikannya dengan prinsip-prinsip agama Islam.

Kesimpulan “kebenaran” Al-Ghazali, yang dinamakan orang tasawuf Al-


Ghazali, sebenarnya lebih tepat atau lebih berhak dinamakan “filsafat Islam”
dibandingkan dengan hasil-hasil filsafat Al Farabi dan Ibnu Sina, misalnya. Memang
benar bahwa mistik atau tasawuf umumnya lebih memakai perasaan daripada pikiran,
tetapi dalam mistik Al-Ghazali jelas sekali faktor objektivitas pikiran senantiasa lebih
tampak daripada faktor perasaan. Hal itu sesuai dengan tuntutan ayat-ayat Alquran
tentang pentingnya faktor akal.

2.3.3 Filsafat Metafisika Al-Ghazali


Untuk mengetahui lebih banyak bagaimana isi filsafat metafisika Al-Ghazali
secara keseluruhan, baiknya kita tinjau terlebih dahulu bagaimana polemik Al-Ghazali
terhadap filsafat umumnya dan terhadap filsafat Ibnu Sina c.s. dalam buku Tahafutul
Falasifah.
Dalam buku itu Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani,
diantaranya juga Ibnu Sina c.s., dalam dua puluh masalah. Diantaranya yang terpenting
adalah :
1. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam
dan dunia. Disini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak
ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
2. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya
kepribadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah
kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus menerus tanpa akhir
andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus
adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan.

18
3. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui
soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juz
iyat).
4. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi
dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada
penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang serupa
dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebiasaan (adab) semata-mata, dan
bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas Al-Ghazali menyokong pendapat
ijraul-‘adat dari Al-Asy’ari.

Semua argumen (hujjah) Al-Ghazali dalam Tahafutul-Falasifah itu


dilancarkannya dengan cara polemik yang logis, ilmiah, dan teratur baik. Seperti
diketahui pula Al-Ghazali terkenal pula sebagai seorang ulama mantik dan pemberi
tuntunan dalam cara ber mujadalah yang teratur. Misalnya dalam menjatuhka prinsip
kaum filsafat, la yas duruminal-wahid illa syaiun wahid Al-Ghazali mengemukakan
contoh-contoh kaum filsafat sendiri.

“Jisim tersusun dari ‘bentuk’ dan materi pertama”. Dan susunan yang dualistis inilah
(jadi bukan wahid lagi) yang menjadikannya benda yang satu (satu jisim). Manusia
tersusun dari jisim (yang dualistis itu) dan jiwa, sedangkan kedua unsur ini pula, yaitu
dua unsur bersama-sama, dia merupaka illat bagi wujud yang lain.

Al-Ghazali menyanggah : Bukankah kejadian ini telah menyeleweng dari prinsip


mereka (kaum filsafat) sendiri?

Mengenai teori emanasi kaum filsafat (nadzariatul faidl), bahwa tiap-tiap akal
dari al-uqulul-mufarikah mengeluarkan tiga benda lain bersama-sama, yaitu akal, jiwa
falak, serta jisim falak, dengan panjang lebar Al-Ghazali menampiknya. Sama seperti
menampik mereka dari prinsipnya bahwa yang satu hanya keluar dari yang satu.

Selanjutnya mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa


dunia ini berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadi dengan
sendirinya. Iradat Tuhan inilah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan

19
ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak
merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.

Penyesuaian yang konkret antara zarah-zarah abstrak dengan undang-undang


itulah yang merupakan “dunia” dan kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradat Tuhan itu
sendiri adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan
itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas
dalam pengertian ruang dan waktu, dan telah masuk ke dalam pengertian materialis. Al-
Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradat-Nya
imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristotele menamakan sebab danperistiwa itu sebagai hukum pasti


sebab dan akibat (hukum kausal), tetapi Al-Ghazali, seperti juga Al-Asy’Ari,
menamakannya hanya ijra’ul-adat saja. Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk
menyimpang dati kebiasaan sebab dan akibat itu. Tuhan bukan memindah persoalan
satu (faktor sebab) kepada persoalan lain (faktor akibat), melainkan menciptakan dan
menghancurkannya, dan akhirnya menciptakan hal yang baru sama sekali dalam
mengartikan sebab kepada akibat. (Penjelasan mengenai filsafat Islam Al-Asy’ari).

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawuf nya dalam buku Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali
adalah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘alathaqatil basyariyah,
atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi-shifatir-rahman ala thaqalil-basyariyah.

Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru


perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, dan sifat-
sifat yang disukai Tuhan seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan
sebagainya.

Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari


tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal al-tahaharah ia tidak
hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam
penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji, kita dapat

20
menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan
pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.

Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan


rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam,
Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat
memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini
sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan
sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri
dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di


mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederrhanakan, yaitu
kurangi nafsu dan tidak berlebihan terhadap sesuatu. Bagaimana cara ber-taqarrub
kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung
mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting adalah al-muroqobah, yakni merasa
diawasi terus oleh Tuhan. Dan Al- Muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri
sendiri.

Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasaan dan
kebahagiaan (lazzat dan sa’adah). Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran
sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang
merasakan kebahagiaan. Akhirnya kebahagiaan yng tertinggi itu adalah bila mengetahui
kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yng dinamakannya
ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dan dengan
penyaksian hati yang sangat yakin (musyahadatul-galbi). Apabila sampai kepada
penyaksian itu, manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan
sehingga sukar dilukiskan. Al-Ghazali menyatakan dengan terus terang bahwa ia telah
beberapa kali mengalami sendiri penyaksian itu.

2.3.4 Tiga Persoalan Metafisika yang Berlawanan dengan Islam

21
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali sangat berlawanan
dengan Islam, dan yang karenanya pada filsuf harus dinyatakan sebagai orang atheis,
ialah :
2.3.4.1 Qadimnya alam;
2.3.4.2 Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal kecil; dan
2.3.4.3 Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

Alasan ketiga hal itu beserta bantahannya dari Al-Ghazali kami sebutkan di bawah ini :

2.3.4.1 Qadimnya alam

Filsuf-filsuf mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam
sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab atas akibat), yaitu dari segi zat dan
tingkatan, bukan dar segi zaman. Berikut ini kami sebutkan alasan-alasan mereka, dan
untuk tiap-tiap alasan kami sebutkan pula bantahan Al-Ghazali.

 Alasan pertama

Tidak mungkin wujud yang dulu, yaitu alam, keluar yang qadim (Tuhan), sebab
dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada,
sedangkan alam belum lagi ada.

Tentang mengapa alam ini belum wujud, disebutkan bahwa pada waktu itu hal-
hal yang menyebabkan wujudnya masih belum ada. Jadi pada waktu itu alam inibaru
merupakan suatu kemungkinan murni (artinya bisa wujud dan bisa tidak wujud).
Setelah waktu yang tersebut datang, maka alam ini menjadi wujud, dan wujud ini
disebabkan karena faktor-faktor yang menyebabkan wujudnya. Akan tetapi timbul
pertanyaan, mengapa faktor-faktor tersebut baru timbul pada waktu itu, dan tidak timbul
sebelumnya. Kalau dikatakan bahwa Tuhan mula-mula tidak berkuasa mengadakan
alam, kemudian menjadi berkuasa untuk mengadakannya, maka timbul pula pertanyaan,
mengapa kekuasaan itu baru timbul pada masa itu, bukan pada masa sebelumnya.

Selanjutnya jika dikatakan, Tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan


(maksud) bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini timbul, maka pertanyaan yang

22
muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu timbul. Atau jika dikatakan bahwa Tuhan
mula-mula tidak menghendaki adanya, maka timbul pertanyaan mengapa kehendak
tersebut timbul, dan di mana pula timbulnya. Apakah pada dzat-Nya, ataukah pada
selain dzat-Nya. Kalau pada dzat-Nya tidak mungkin., sebab dzat Tuhan tidak menjadi
tempat perkara yang baru. Timbulnya kehendak Tuhan apda selain dzat-Nya juga tidak
mungkin karena kalau demikian, berarti bukan Dia yang mempunyai kehendak,
melainkan dzat lain itu.

 Jawaban Al-Ghazali

Apakah keberatan jika dikatakan bahwa iradat (kehendak Tuhan) yang qadim itu
menghendaki wujud alam pada waktu diwujudkannya?

Boleh jadi timbul pertanyaan jika yang dimaksud dengan iradat yang qadim itu
seperti niat kita untuk mengadakan suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak
mungkin terlambat kecuali karena adanya halangan. Sedangkan pada Tuhan sebagai
dzat yang mengadakan pembuatan, sudah lengkap syarat-syaratnya, dan tidak ada hal-
hal yang perlu dinantikan lagi, tetapi perbuatannya terlambat juga.

Jawaban Al-Ghazali adalah bahwa perkataan tersebut tidak lebih kuat daripada
perkataan mereka yang mempercayai kebaruan alam karena kehendak yang qadim.
Timbul pula pertanyaan lain, yaitu bahwa nilai semia waktu dalam pertaliannya dengan
kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu waktu dipilih untuk mewujudkan alam, dan
waktu yang sebelumnya atau sudahnya tidak dipilih?

Jawab Al-Ghazali adalah bahwa arti kehendak (iradat) ialah yang


memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari yang lainnya. Kehendak Tuhan adalah
mutlak, artinya Dia bisa memilih waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan
sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu sendiri. Jika masih ditanyakan
sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas, tidak lagi bebas, sedangkan
kehendak itu bersifat bebas mutlak.

 Alasan Kedua

23
Tuhan lebih dahulu daripada alam, bukan dari segi zaman, melainkan dari segi
pribadi (tingkatan, dzat). Ketika terdapat pernyataan “Tuhan lebih dahulu daripada
Alam dan zaman”, dilihat dari segi zaman, bukan dari segi dzat, makaa berarti , sebelum
wujud alam dan zaman tersebut ada, sudah terdapat suatu zaman yakni ketika ‘adam
(tidak ada) murni terdapat di dalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam. Jadi
Tuhan telah mendahului alam dengan suatu masa yang terbatas pada ujungnya yang
satu, yaitu dengan adanya alam, tetapi tidak terbatas pada ujungnya yang lain karena
permulaan wujud Tuhan tidak ada batasnya.

Dengan kata lain, sebelum terdapat zaman ketika alam mulai berwujud sudah
terdapat zaman yang tidak ada ujungnya, dan ini adalah suatu perlawanan, sebab jika
ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas pula pada ujungnya yang lain,
dan begitu pula sebaliknya. Karena alasan-alasan itulah maka tidak mungkin untuk
mengetahui sifat kebaruan dari suatu alam.

 Jawaban Al-Ghazali

Pernyataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan zaman” adalah
bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum lagi ada, kemudian Tuhan
ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya
dzat yang sendirian, yaitu dzat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan
ada dzat (wujud), yang ketiga yaitu zaman apabila diingat bahwa apa yang dimaksud
dengan zaman adalah gerakan benda (alam ), yang berarti bahwa sebelum ada benda
(alam) sudah barang tentu belum ada zaman.

 Alasan ketiga

Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya untuk dapat dikatakan bahwa
benda itu baru. Jadi yang baru tidak bisa lepas dari benda, dan benda itu sendiri tidak
baru. Yang baru hanyalah surah (form), aradl (sifat-sifat), dan cara-cara atau peristiwa-
peristiwa yang mendatangkan benda. Pikiran ini masih perlu dijelaskan. Tiap-tiap yang
baru, sebelum terjadinya, tidak lepas dari tiga sifat :

- Mungkin (bisa) wujud,

24
- Tidak mungkin bisa wujud, dan
- Wajib (mesti) wujudnya.

Sifat yang kedua tidak bisa dibenarkan karena yang tidak mungkin wujud tidak
akan terdapat selamanya, sebab alam ini telah menjadi wujud yang nyata. Sifat yang
ketiga juga tidak dapat dibenarkan karena yang wajib wujud tidak akan lenyap,
sedangkan alam ini dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya asalnya ada,
kemudian tidak ada, dan sebaliknya. Jadi, kedua sifat tersebut di atas tidak mungkin
terdapat pada alam, dan karena itu, satu-satunya sifat alam ialah bahwa alam itu
mungkin wujudnya yang sudah terdapat pada alam sebelum wujudnya.

Akan tetapi “mungkin wujud” adalah suatu sifat yang tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi membutuhkan perkara yang lain sebagai tempat-nya. Hal lain tersebut sebagai
tempat sifat tersebut, tidak lain adalah materi, sehingga kita dapat mengatakan benda ini
bisa panas atau bisa dingin, bisa putih atau bisa hitam, bisa bergerak atau bisa diam.
Artinya sifat-sifat tersebut dan perubahan tersebut dapat terjadi (mungkin) pada benda.

 Jawaban Al-Ghazali

Sifat “mungkin” yang disebutkan di atas merupakan pekerjaan pikiran (proposisi


pikiran). Sesuatu yang dikirakan oleh akal dapat berwujud dan perkiraan ini tidak
mustahil. Maka sesuatu itu disebut “permasalahan yang mungkin”. Kalau perkiraan itu
mustahil, maka perkara itu dinamai “perkara yang mustahil”. Kalu tidak dapat dikirakan
tidak adanya, maka disebut “permasalahan yang wajib” (yang pasti dan selamanya ada).
Ketiga permasalahn tersebut adalah pekerjakaan (proporsisi) pikiran yang tidak
memerlukan wujud tersendiri diluar pikiran untuk dapat disifati dengan sifat-sifat
tersebut. Untuk menguatkan ini, Al Ghozai mengemukakan dua alasan :

a. Kalau sifat-sifat “ mungkin” memerlukan suatu wujud untuk menjadi tempatnya


(disifatinya), maka sifat “tidak mungkin wujud” juga memerlukan sustu
permasalahn untuk dapat dikatakan bahwa “permasalahan ini tidak mungkin
wujud”, sedangkan perkara tidak mungkin wujud tidak perlu ada wujudnya atau
bendanya yang di temati sifat tersebut.

25
b. Akal pikiran memutuskan tentang warna hitam dan putih sebelum wujudnya,
bahwa kedua warna ini mungkin (bisa terjadi). Kalau sifat “mungkin” ini
dipertalikan dengan bendayang ditempati kedua warna itu sehingga kita dapat
mengatakan “benda ini dapat diputihkan atau dihitamkan”, maka artinya putih
atau hitam itu sendiri tidak mungkin dan tidak mempunyai sifat mungkin, sebab
yang mungkin adalah bendanya, dan sifat mungkin, sebab yang mungkin adalah
bendanya, dan sifat mungkin menjadi sifatnya.

Kalau demikian, maka kita akan bertanya : bagaimana kedudukan warna putih
atau hitam itu sendiri? Apakah “mungkin”, “wajib” (wujud pasti), ataukah “tidak
mugkin”? tentunya kita akan menjawab bahwa warna itu mungkin. Jadi akal pikiran kita
mengatakan sifat “mungkin” nya sesuatu tidak memerlukan suatu zat yang wujud yang
bisa ditempati sifat tersebut.

Jawaban Al-Ghazali itu mengingatkan kita kepada aliran nominalisme yang


mengatakan bahwa soal universalitas (abstrak) hanya terdapat di daplam akal pikiran,
sedangkan di luar akal pikiran tidak ada kenyataannya. Pendirian filsuf-filsuf yang
ditentang oleh Al-ghozali itu mengingatkan kita kepada aliran-aliran realisme yang
mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam pikiran, juga terdapat benar-benar di luar
pikiran. Kedua aliran tersebut ramai dibicarakan oprang pada akhir Abad Pertengahan di
Eropa.

2.3.4.2 Ilmu Tuhan terhadap Hal-hal Kecil

Golongan berpendirian bahwa tuhan tidak mengetahui hal-hal(peristiwa-


peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru
ini dengan segala peristiwa nya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa
yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebankan
perubahan ilmu. Kalu ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau
sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan
tidak mungkin terjadi (mustahil).

26
Untuk memperjelaspendirian filsuf-filsuf itu, Al Ghazali memberikan contoh
tentang gerhana matahari. Matahari mengalami gerhana, sedangkan sebelumnya tidak,
dan gerhana akan hilang. Jadi pada matahari ada tiga keadaan :

a. Keadaan ketika gerhana tidak ada, tetapi dinantikan terjadinya, artinya gerhana
itu akan datang
b. Keadaan ketika terjadi gerhana, artinya gerhana sedang berlangsung
c. Keadaan ketika tidak ada, tetapi sebelumnya sudah terjadi.

Mengenai ketiga keadaan tersebut terdapat pula tiga pengetahuan yang berbeda-beda :

a. Kita mengetahui bahwa gerhana itu tidak ada dan baru kemudian akan terjadi
b. Kita mengetahui bahwa gerhana itu sedang terjadi
c. Kita mengetahui bahwa gerhana itu sudah dterjadi, dan sekarng tidak ada lagi

Ketiga pengetahuan tersebut berbilang dan berbeda-beda, dan penggantiannya


(urutannya) pada sesuatu tempat menimbulkan perubahan pada zat (diri) orang yang
mengetahui. Kalu sekiranya ia mengatakan bahwa gerhana terdapat sekarang seperti
juga terdapat sebelumnya, tentunya dikatakan kebodohan, bukan pengetahuan (ilmu).
Kalu ia mengetahui pada waktu terjdainya gerhana bahwa gerhana itu tidak ada,
tertunya dikatakan kebodohan pula, sebab pengetahuan yang satu tidak bisa
menggantikan pengetahuan yang lain.

Filsuf-filsuf beranggapan bahwa keadaan tuhan pada ketiga peristiwa 9keadaan0


tersebut tidak berbeda-beda sebab perbedaan keadaan menunjukan perubahan. Bagi zat
yang tidak berubah keadaanya, tidak akan terbayan bahwa ia mengetahui ketika
peristiwa tersebut, sebab pengetahuan mengikuti objeknya. Kalu objek-objek berubah,
maka berubahlah pengetahuan, dan kalau ilmu itu berubah, amka zat yang mengetahui
(yang mempunyai ilmu) juga berubah, sedangkan perubahanpada zat Tuhan
mustahiterjadi.

Meskipun demikian, filsuf-filsuf menganggap bahwa tuhan mengetahui adanya


gerhana dengan segala sifat-sifatnay, tetapi dengan pengtahuan yang azali, abadi, yang
tidak berubah-ubah, seperti hukum alam yang menguasai terjadinya gerhana. Demikian

27
pula ilmu Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa kecil “yang terjadi karena sebab-sebabnya
dan sebab-sebab ini mempunyai sebab-sebab yang lain sbelumnya, sampai kepada
gerakan-gerakan benda angkasa.

 Jawabab Al-Ghazali

Menurut Al-Ghazalai, ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat,
artinya lain dari pada zat. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para filsuf mengatakan
bahwa sifat-sifat tuhan adalah juga zat Nya, yang berarti tidaka da pemisahan antara
keduanya, atau mereka tidak mengena istilah tambahan seperti yang dikenal Al-Ghozali.

Menurut Al-Ghozali, kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut maka zat
tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagai mana halnya kaluau ada orang berdiri
di sebelah kanan kita kemudian ia berpindah kesebelah kiri kita, maka yang berubah
sebenarnya dia, bukan kita.

Lagipula, kalau perubahan ilmu bisa menimbulkan suatu perubahan pada zat
(diri) yang mengetahui sebagaimana yang dipegangi oleh golongan filsuf, apakah
mereka akan mengatakan bahwa berbilangnya ilmu juga menimbukan bilangan pada zat
tuhan? Sebab objek ilmu itu banyak, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, sifat
yang tidak ada batas hitngnya, yang berarti juga ilmu itu banyak. Akan tetapi,
bagaimana ilmu-ilmu yang banyak itu tertampung dalam ilmu yang satu, kemudian ilmu
ini adalah zatNya yang mengetahui sendiri, bukan sebagai tambahan padaNya?

Lagipula, golongan filsuf mengatakan bahwa alam ini qodim dan mengakui
adanya perubahan-perubahan pengertian yang terjadi didalamnya, yang berarti mereka
mengakui anya berubahan-perubahan yang Qodim. Akan tetapi, mengapa mereka tidak
memberikan perubahan zat Tuhan yang Qodim pula?.

2.3.4.3 Kebangkitan Jasmani

Menurut tinjauan filsuf-filsuf dari segi pikiran, alam akhiran adalah alam
kerohanian, bukan alam material (alam kebendaan), sebab perkara kerohanian itu lebih
tinggi nilainya. Oleh karena itu menurut mereka pikiran tidak mengherakan adanya

28
kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala
isinya.

Kesemua ini memang disebutkan didalam Al-qur’an tetapi dengan maksid untuk
memudahkan pemahaman terhadap alam kerohanian bagi orang-orang biasa.
Keunggulan alam kerohanian sebenarnya juga berlaku di dunia ini, yang didasarkan atas
kekuatan berfikir dan kelezatan mendapatkan objek-objek pikiran. Akan tetapi, hal ini
tidak bisa di capai disebabkan oleh kesibuka-kesibikan benda, dan baru dicapai
diakhirat nanti, ketika kesikan-kesibukan benda ini tidak lagi menjadi penghalangnya.

Orang yang tidak merasakan kelezatan berfikir dalam dunia ini tidak akan
merasakan keadaan tersebut sebagai penderitaan, sebab, karena kesibukan-kesibukan
materinya itu, sebgaimana halnya dengan orang yang sedang takut, ia tidak akan
merasakan kepedihan pnyakit yang dideritanya.

Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka kebangkitan di akhirat nanti


bersiat kerohanian pula. Jadi, kebangkitan jasmani, yang berarti badan kita akan
dikembalikan lagi tidak erlu terjadi.

Dalam mengemukakan-menemukakan mereka menyatakan bahwa pengembalian


badan memiliki tidak dari pada tiga kemungkinan :

 Manusia terdiri atas badan dan kehidupan, seperti yang dikatakan oleh sebagian
ulama’ kalam, sedangkan jiwa yang berdiri sendiri dan yang mengatur badan
tidak ada wujudnya. Pengertian mati ialah terputusnya hidup, yakni Tuhan tidak
lagi menciptakan hidup dan karena itu hidup ini tidak ada. Jadi, arti kebangkitan
ialah bahwa Tuhan mengebalikan badan yang tidak ada karena mati kepada
wujudnya, dan mengembalikan wujudnya yang sudah tidak ada. Dengan kata
lain badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali
menurut bentuk manusia dan diberika hidup kepadanya.
Kemungkinan pertama ini tidak dapat dibenarkan karena pengertian
“menjadikan” kembali adalah membuat seperti apa yang sudah ada,
bukan membuat apa yang sudah ada itu sendiri, sebab apa yang sudah
tidak ada tidak akan lagi menjadi wujud kembali.

29
 Atau dikatakan bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang
pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya akan dikembalikan lagi dengan
anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.
Kemungkinan kedua ini juga tidak dapat dibenarkan karena anggota
badan sesudah mati terpisah-pisah atau dimakan ulat-ulat atau burung-
burung, atau menjadi uap dan sebagainya, yang berarti sukar untuk dapat
mengumpulkan kembali semua bagian tersebut. Kalau kita mengatakan
bahwa pengumpulan bagian-bagian tersebut bisa terjadi karena
kekuasaan Tuhan tidak terbatas, maka timbul pertanyaan, bagaimana
halnya dengan orang yang makan daging orang lain, yang berarti
badannya (bendanya) satu, tetapi manusianya dua. Dalam keadaan ini,
maka tidakmungkin mengembalikan 2 jiwa kepada 1 benda. Lagipula,
benda yang satu bisa menjadi tumbuhan, kemudian tumbuhan ini
dimakan binatang dan menjadi tumbuhan, kemudian kita makan binatang
tersebut dan binatang ini menjadi badan kita, kemudian dengan silih
berganti menjadi tanah, tumbuhan, hewan, dan manusia. Jadi, benda
yang satu, sesudah berada pada kita menjadi badan (benda) orang
banyak.
 Atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan baik badan dengan
anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain sama sekali. Jadi,
yang dikembalikan ialah manusianya. Sebab badannya (bendanya) tidak
terpenting sedangkan manusia disebut manusia karena jiwanya, bukan karena
bendanya (badannya).

Kemungkinan ini juga tidak dibenarkan karena benda-bendanya itu


terbatas banyaknya, sedangkan jiwa yang berpisah dengan badan tidak
terbatas, dan karena itu tidak mencukupinya. Lagipula, apabila kita
pemikira ini nerarti kita mengakui adanya transmigrasi jiwa
(reinkarnasi), yaitu bahwa jiwa manusia sesudah lepas dari suatu badan
akan kembali ke badan yang lain, dan dari sini ke badan lain lagi, begitu
seterusnya, sedangkan transmigrasi jiwa ini ditentang oleh manusia.

30
 Jawaban Al-Ghazali

Jawaban Al-Ghazali lebih banyak ditujukan kepada kemungkinan ke 3 yang


dikemukakan oleh filsuf-filsuf, dan lebih banyak didasarkan atas alasan-alasan syara’
daripada argumentasi pikiran.

Dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah)
dengan badan karena dia berdiri sendiri. Pendirian ini tidak berlawanan dengan syara’,
bahkan ditunjukkan seperti yang disebutkan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 169:

“janganlah engkau kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya , mendapat rizki dan gembira”.

Juga disebutkan dalam hadis-hadis, antara lain yang menyatakan bahwa roh-roh itu
merasakan adanya kebaikan dan pemberian sedekah, pertanyaan malaikat munkar dan
nakir, siksa kubur dan hadis-hadis lain yang semuanya menunjukkan adanya keabadian.

Kemudian ada nas-nas lain yang menyatakn adanya kebangkitan, yaitu


kebangkitan badan. Kebangkitan ini suatu hal yang mungkin, yaitu dengan jalan
mengembalikan jiwa kepada badan, badan apapun, baik dari bahan badan yang pertama
ataupun badan lainnya, atau bahan badan yang dijakdikan sama sekali, sebab manusia
disebut manusia karena jiwanya, bukan karena badannya. Bagian-bagian badan manusia
dapat berganti-ganti dari kecil menjadi besar, sebab kurus atau gemuk, karena
pergantian makanan atau karena perubahan susunan kimia badannya, ia tetap manusia
juga.

Yang penting ialah kembalinya suatu alat kepada manusia, yang memungkinkan
dia merasakan kelezatan atau kepediahn jasmani. Kalau alat itu sudah dikembalikan
seperti semula yaitu badan, bagaimanapun macamnya alat itu, maka itu artinya ia benar-
benar embali (kebangkitan).

Tentang etrbatasnya benda dan tidak terbatsanya jiwa, tidak dapat dibenarkan.
Sebab, menurut golongan filsuf, alam itu qadhim, sedangkan jiwa manusia itu baru, jadi
jiwa tidak mungkin lebih banyak dari benda-benda itu. Kalau sekiranya jiwa itu lebih

31
banyak, apakah mustahil bagi Tuhan untuk membuat lagi benda yang baru untuk
menjadi tempat jiwa?

Tentang perpindahan jiwa dari satu badan ke badan lain, memang tidak
dibenarkan oleh Al-Ghazali akan tetapi tentang kebangkitan jasmani di akhirat, yang
berarti bahwa jiwa bertempat pada badan yang lain, itu dipercayainya, baik disebut
transmigrasi jiwa atau bahkan selama ini disebut agama.

2.3.5 Kebesaran Al-Ghazali

Sukar didapati seorang ahli pikir yang meninggalkan pengaruh yang besar yang
memberikan wajah baru dalam islam seperti Al-Ghazali, tanpa mempunyai aliran atau
mahzab tertentu. Ia sendiri hidup dalam masa penyebaran jiwa ke Islaman yang sudah
merosot, dan keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya serta pengalaman ajaran-
ajarannya sudah mengendur. Keadaan ini, menurut penglihatan Al-Ghazali, disebabkan
karena orang-orang yang memasuki lapangan filsafat dan tasawuf, orang-orang yang
memertalikan dirinya pada syiah batiniah dan ulama-ulama fiqih serta ilmu kalam yang
hanya mengajarkan upacara-upacara lahiriah kepada orang banyak.

Krisis agama sudah menimpa orang banyak, dan mereka hampir-hampir binasa,
sedangkan dokter pengobatannya tidak ada. Maka keperluan akan pembaharuan agama
mendesak sekali, yaitu yang dapat memberikan nila-nilai rohaniah serta moral terhadap
perbuatan-perbuatan lahir. Pembaharu tersebut tidak lain adalah Al-Ghazali.

Ulama kalam sebelumnya telah memerangi filsafat tetapi tidak seorang pun yang
dapat merobohkan filsafat dari dasarnya sama.sekali dengan metode yang teratur rapi,
seperti yyang dikerjakan oleh Al-Ghazali. Dalam bukunya, Tahafutul Falasifah, ia telah
menguji setiap filsafat dan menunjukkan kelemahannya. Meskipun memerangi filsafat,
ia tetap seorang filsuf yang kadang-kadang menjelaskan kepercayaan Islam berdasarkan
teori-teori neo-Platonisme. Ia juga mengikuti pikiran-pikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina
tentang kejiwaan, sebagaimana ia tetap setia kepada logika Aristoteles dan selalu
mengemukakan dalil-dalil pikiran disamping dalil-dalil syara’, bahkan sampai dalam
soal-soal kepercayaan. Meskipun ia selalu berbeda dengan filsuf-filsuf, perbedaan itu

32
kadang-kadang hanya dalam istilah dan pikiran tertentu, yang boleh jadi dalam bukunya
yang lain dipertahankan.

Al-Ghazali juga menentang ilmu kalam dan ulama kalam. Namun ia tetap
menjadi seorang toko ilmu kalam. Tantangannya hanya ditujukan kepada tingkah laku
mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahnkan oleh mereka dengan
mulut.

Al-Ghazali sudah mengambil jalan tasawuf, tetapi membebaskan tasawuf dari


setiap tindakan yang dapat menjauhkannya dari Islam, seperti pikiran hulul
(bertempatnya Tuhan pada manusia), ittihad (manunggalnya manusia dengan Tuhan),
dan wahdatil-wujud (kesatuan wujud-wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan). Ia juga
dengan jelas menentang pikiran tasawuf, apabila telah mencapai tingkatan ma’rifat,
tidak lagi mengenal batas larangan, dan menjadi bebas dari ikatan-ikatan syara’.

Dalam setiap langkahnya, baik berhadapan dengan filsuf ataupun dengan ulama
kalam ataupun dengan ulama kalam atau orang-orang tasawuf. Ia hanya mempunyai
satu tujuan saja, yaitu menghidupkan semangat baru bagi islam.

33
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh
filsafat Yunani. Filsuf-filsuf Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles, dan sangat
tertarik oleh pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil. Namun,
makna berguru sendiri bukan diartikan sebagai mengekor atau mengutip sehingga harus
dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, seperti
yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah menampung dan
mempertemukan berbagai aliran pikiran. Filsuf-filsuf Islam pada umumnya hidup dalam
lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain
sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan.

Filsafat Yunani ditemukan oleh umat Islam dalam samaran bahasa syria yang
merupakan campuran antara pikiran Plato dan Aristoteles, sebagaimana yang
ditafsirkan dan diolah oleh para filosof selama berabad-abad sepanjang masa
Hellenisme. Pemikiran Yunani yang masuk kedunia Islam tidak datang dari manuskrip-
manuskrip yang asli. Vitalitas ilmuan dan filosofis Yunani telah berakhir dengan
mundurnya Museum Alexandria. Jembatan yang menghubungkan antara pengetahuan
Hellenisme dengan budaya Islam adalah penerjemahan karya-karya Yunani kedalam
bahasa Syria yang merupakan bahasa intelektual Timur Tengah. Bahasa Syria
dimengerti oleh ilmuan Persia, Yunani, Yahudi, dan Kristen yang sedang mencari
kebebasan beragama dan Stimulan intelektual di Persia selama 2 abad, sampai kerajaan
Sasania ditaklukkan oleh bangsa Arab. Pertemuan pertama budaya Arab dengan Yunani
terjadi pada saat penaklukkan Damaskus yang dijadikan sebagai ibukota propinsi Syria
dan selanjutnya menjadi ibukota Daulah dan Bani Umayyah.

Dasar-dasar pemikiran filosof Yunani yang mempengaruhi tokoh Islam ialah


Socrates, Aristoteles, Plato dan Plotinus. Unsur filsafat dari para filosof Yunani ini,
mempengaruhi sains dan filosof muslim seperti, Jabir ibn Hayyan, bapak ilmu kimia
dan pendiri Laboratorium pertama. Al Khwarizmi, matematikawan ulung pertama. Al-

34
Kindi, filosof penggerak dan pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat
mengandalkan akal untuk sumber kebenaran tetapi tetap berkeyakinan bahwa wahyu
yang sangat mengandalkan akal untuk sumber kebenaran tetapi tetap berkeyakinan
bahwa wahyu yang membimbingmanusia. Al farabi, komentator buku-buku filsafat
yunani, juga termasuk filosof yang kadang memberikan interpretasi tentang kebenaran
ajaran agama dengan filsafat. Ibnu sina sebagai bapak kedokteran. Ibnu Miskawai
dengan teori pendidikan etika.. Umar Khayyam, ahli aljabar. Ibnu Rusyid, terkena pula
sebagai bapak kedokteran umum, dan sebagainya.

Salah satunya adalah Al-Ghozali, dengan pendidikan Tasawufnya. Namanya


Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, mendapat gelar Hujjatul-Islam. Ia
lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurrasan (Iran). Ayah Al-Ghazali adalah
seorang tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali beserta saudaranya
masih kecil. Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Tus, kemudian
meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Al Juwaini sampai
yang terakhir wafat pada tahun 478 H/1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizam
Al-Malik di kota Mu’askan. Darinya ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang
besar sehingga ia tinggal di kota itu 6 tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M ia
diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamiah Baghdad. Selama di Baghdad, selain
mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan
batiniah, Ismailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.

Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain
teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fiqih), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan,
kemudian autoboigrafi. Sebagian besar dari buku-buku itu berbahasa Arab, dan lainnya
berbahasa Parsi. Kitabnya yang terbesar adalah ihya ‘Ulumddin, artinya “menghidupkan
ilmu-ilmu agama”, yang dikarangnya selama beberapa tahun dlam keadaan berpindah-
pindah antara Syam, Yerussalem, Hijaz, dan Tus. Buku ini berisi panduan yang dikenal
di kalangan kaum Muslimin maupun dunia Barat dan di luar Islam. Bukunya yang lain
adalah Al-Munqidz Minadh Dhalal (Penyelamat dan Kesesatan), berisi sejarah
perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap

35
beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Banyak penulis modern yang
mengikuti jejak Al-Ghazali dalam menulis autobiografi.

36
DAFTAR PUSTAKA

Fakry Majid, 1986, Sejarah Filsafat Islam diterjemahkan dari buku History of
Islamic Philosophy, Pustaka Jaya : Jakarta

Karim. A diwarman. Azwar, 2012, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT.Raja


Grafindo Persada : Jakarta Edisi Ketiga

Nata. Abuddin, 2012, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan
Pertengahan, Rajawali Pers : Jakarta

Prof, Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., 2007, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Al-Ustadz. Ing. Abdul Razak Nawfal, Tokoh-tokoh Muslim sebagai perintis ilmu
pengetahuan modern, Jakarta: Klam Mulia, 1999

37

Anda mungkin juga menyukai