Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Enzim Aminotransferase (SGOT / SGPT)

Enzim Transaminase atau disebut juga enzim aminotransferase adalah

enzim yang mengkatalisis reaksi transaminasi. Terdapat dua jenis enzim serum

transaminase yaitu serum glutamat oksaloasetat transaminase dan serum

glutamat piruvat transaminase (SGPT). Pemeriksaan SGOT adalah indikator

yang lebih sensitif terhadap kerusakan hati dibanding SGPT. Hal ini dikarenakan

enzim GOT sumber utamanya di hati, sedangkan enzim GPT banyak terdapat

pada jaringan terutama jantung, otot rangka, ginjal dan otak (Cahyono, 2009).

Enzim aspartat aminotransferase (AST) disebut juga serum glutamat

oksaloasetat transaminase (SGOT) merupakan enzim mitokondria yang berfungsi

mengkatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke asam α-

oksaloasetat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat (Price dan Wilson,1995).

Dalam kondisi normal enzim yang dihasilkan oleh sel hepar

konsentrasinya rendah. Fungsi dari enzim-enzim hepar tersebut hanya sedikit

yang diketahui. Nilai normal kadar SGOT < 35 U/L dan SGPT < 41 U/L. (Daniel

S. Pratt, 2010)

Enzim SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan atau intergrasi sel-sel

hati. Adanya peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat

kerusakan sel-sel hati. Makin tinggi peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT,

semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati (Cahyono 2009).


Kerusakan membran sel menyebabkan enzim Glutamat Oksaloasetat

Transaminase (GOT) keluar dari sitoplasma sel yang rusak, dan jumlahnya

meningkat di dalam darah. Sehingga dapat dijadikan indikator kerusakan hati

(Ronald, et al., 2004; Ismail,et al.,2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Lee, et al pada tahun 2010 di Turki

menyatakan peningkatan kadar enzim SGOT/SGPT secara bermakna pada trauma

hepar. Nilai peningkatan enzim SGOT yang bermakna adalah lebih dari 100 U/L

dengan nilai p<0,001 dan kadar enzim SGPT yang bermakna lebih dari 80 U/L

dengan p<0,001.

2.2. Trauma Hepar

Pasien trauma tumpul hepar berkisar 80% dari pasien yang datang ke unit

gawat darurat dan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Tujuh puluh lima

persen dari trauma hepar diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor atau

kasus akibat tabrakan pejalan kaki. Sedangkan kasus trauma ledakan atau jatuh

dari ketinggian menempati angka 15% dan 6%-9%. ( Sikhondze, et al., 2007 )

Seiring dengan berkembangnya alat transportasi pada suatu daerah, maka

angka kejadian trauma hepar juga meningkat. Perkembangan transportasi berperan

dalam meningkatnya angka kecelakaan kendaraan bermotor yang berakibat

bertambahnya morbiditas dan mortalitas dikarenakan cedera secara langsung pada

abdomen dalam hal ini organ hepar yang rentan cedera.

Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen hepar merupakan organ yang

paling sering terkena trauma setelah limpa. Ukuran dari hepar sendiri, menempati
sebagian besar kuadran kanan atas, melewati garis tengah dan meluas ke ke kiri

pasien, ditempat yang signifikan untuk terjadinya resiko bila ada trauma yang

mengenai abdomen. Posisi organ hepar terletak di kanan dengan dilindungi tulang

iga terbawah dan relatif terfiksir ( fixed ) serta tulang belakang dibagian

belakangnya serta memiliki kapsulnya yang tipis, sehingga hepar mudah

mengalami trauma tumpul di daerah thorakoabdominal, salah satunya oleh

benturan langsung atau melalui cedera yang mengalami perlambatan (decelerating

injury). ( Gozde, et al., 2013 ).

Pada awalnya penanganan pasien trauma hepar dUtamakan melalui

tindakan operasi. Akan tetapi 86% perdarahan pada trauma hepar berhenti pada

saat dilakukan tindakan pembedahan eksplorasi, sedangkan 67% operasi yang

dilakukan pada pasien trauma hepar bersifat non terapeutik. Sedangkan sekitar 50-

80% perdarahan pada hepar akan berhenti secara spontan.(Sikhondze,et al., 2007).

Penanganan pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan kecurigaan

trauma tumpul abdomen ditangani sesuai dengan protokol dari Advanced Trauma

Life Support ( ATLS ), yaitu diawali dengan resusitasi cairan.

Penanganan non operasi merupakan terapi pilihan pada pasien trauma

hepar dengan hemodinamik stabil, dimana pasien diobservasi secara ketat pada

ruang intensif atau intermediate. Berdasarkan penelitian secara observasional

selama 10 tahun periode 1994-2003 dengan total pasien sebanyak 35.510 pasien

trauma hepar, 91% pasien dewasanya berhasil diterapi secara non operasi. Selama

periode penelitian tersebut pasien dengan trauma hepar yang dilakukan

manajemen non operasi meningkat dari 75% menjadi 82%, tetapi secara
keseluruhan angka mortalitas pada pasien trauma hepar tetap tidak mengalami

perubahan yaitu berkisar 15%. Keberhasilan penanganan non operasi berdasarkan

pada pengamatan pasien yang tepat, ketersediaan sumber daya termasuk

ketersediaan tempat tidur di unit perawatan intensif atau intermediate, dukungan

bank darah, ketersediaan ruang operasi dan ahli bedah yang berpengalaman dalam

menangani cedera pada hepar secara langsung.

Kontraindikasi penanganan non operasi pada trauma hepar adalah sebagai berikut:

a. Pasien dengan hemodinamik tidak stabil setelah resusitasi awal

b. Indikasi lain untuk tindakan bedah abdomen ( seperti, peritonitis )

c. Luka tembak ( kontra indikasi relatif )

2.3. Insiden dan mekanisme Trauma Hepar

Berdasarkan data dari pasien yang menjalani pembedahan akibat trauma

tumpul abdomen menunjukkan hepar memiliki kemungkinan 15-45% untuk

mengalami cedera. Benturan langsung pada kuadran kanan atas, jatuh dari

ketinggian dan bermain sepeda adalah beberapa mekanisme yang dapat

mengakibatkan trauma tumpul hepar. Mekanisme yang paling sering disebabkan

karena kecelakaan sepeda motor. Mengabaikan batas kecepatan, mengemudi saat

mabuk atau dibawah pengaruh obat-obatan, kurangnya pengertian masyarakat

akan pentingnya penggunaan sabuk pengaman, pencurian kendaraan yang terburu-

buru seringkali berakhir dengan kejar-kejaran berkecepatan tinggi menyebabkan

meningkatnya trauma tumpul abdomen dimana hampir dari setengahnya

mengenai hepar. Orang yang paling mudah terkena trauma adalah pengemudi
tanpa sabuk pengaman. Pengemudi mendapat trauma kompresi dari setir mobil,

khususnya selama periode deselerasi cepat.

Di Amerika Serikat trauma hepar hanya tercatat 15-20% dari keseluruhan

trauma tumpul abdomen, tetapi lebih dari 50% penyebab kematian oleh karena

trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian disebabkan trauma tumpul

abdomen dibandingkan trauma tusuk (penetrating injuries). Baik trauma tumpul

maupun tusuk pada trauma hepar lebih sering terjadi pada laki-laki.

2.4. Pemeriksaan Penunjang Trauma Hepar

2.4.1. Ultrasonografi

Dalam beberapa tahun belakangan ini Focused Assessment with

Sonography for Trauma ( FAST ) sebagai alat diagnostik kasus trauma sangat

berguna. Penggunaan FAST sekitar 3-4 menit, tidak invasif dan dapat mudah

dilakukan saat di ruang gawat darurat sangat bergantung pada operator dan

memerlukan tidak saja peralatan yang canggih tapi juga keahlian

menginterpretasikan. Keuntungan dengan cara ini, tersedianya data yang cepat di

ruang emergensi sehingga keputusan jenis penanganan dapat segera dibuat dan

dapat dilakukan pada pasien yang tidak stabil, dimana penyebab syok belum

diketahui. Secara keseluruhan sensitifitas FAST mencapai 73-88% ( operator

dependent), dan spesifisitas 94% pada trauma tusuk abdomen. Pemeriksaan

sonografi emergensi didasarkan, adanya cairan bebas ( minimum 200 cc ), cedera

parenchim atau keduanya, dimana secara keseluruhan sensitivitas sonografi untuk

mendeteksi trauma tumpul abdomen adalah 72% dan sensitivitasnya menjadi lebih
tinggi (98%) untuk trauma grade 3 atau lebih. Adanya hasil yang negatif pada

ultrasonografi seharusnya tidak menghilangkan kecurigaan adanya trauma hepar,

dimana pasien sebaiknya diobservasi selama 12 jam, jika nyeri abdomen menetap,

lakukan pemeriksaan CT scan abdomen dengan kontras.

2.4.2. Diagnostic Peritoneal Lavage

Sejak pertama diperkenalkan oleh Root et al pada tahun 1965, teknik

diagnostic peritoneal lavage (DPL) sudah dipergunakan secara luas sampai

sekarang dalam mengevaluasi pasien-pasien yang diperkirakan mengalami trauma

intraabdominal.

Meskipun tingkat keakuratannya yang tinggi (diatas 95%), hanya dengan

0,2% rata-rata positif palsu dan 1,2% rata-rata negatif palsu, DPL juga memiliki

kekurangan. Tiga kelemahan yang utama adalah : (1) kurang spesifik, karena tidak

diketahui organ mana yang mengalami cedera, (2) oversensitivitas dalam

mendeteksi sedikit darah di dalam cavum peritoneal, sehingga gagal membedakan

antara trauma yang signifikan atau yang tidak berhubungan (3) ketidakmampuan

untuk mendeteksi cedera pada diafragma atau pada struktur retroperitoneal, yang

paling sering adalah pankreas, ginjal dan retroperitoneal kolon serta rektum.

Kelemahan yang ditemui pada metode ini dapat diatasi oleh kemajuan

teknologi seperti dengan teknik pencitraan (CT scanning) dapat dikurangi

sehingga peranan DPL pada penanganan awal dari trauma tumpul abdomen

berkurang.
2.4.3. Computed Tomography Scanning

Metode pencitraan CT scan telah membawa perubahan besar dalam

penganganan pasien dengan trauma hepar. Manfaat terbesarnya adalah penurunan

jumlah pasien yang memerlukan pembedahan dan opersi non terapeutik. Akan

tetapi, perlu diingat jika pasien dengan trauma hepar dalam keadaan hemodinamik

tidak stabil setelah dilakukan resustasi cairan harus langsung dilakukan tindakan

laparotomi eksplorasi.

Terdapat bukti bahwa pasien trauma hepar terisolasi dengan hemodinamik

stabil, akan menjalani pembedahan yang tidak perlu jika hanya berdasarkan hasil

DPL yang positif. Sekitar 80% dewasa dan 90% anak-anak ditangani secara

konservatif ( Tobias R, et.al., 2010 ) sehingga diperlukan kemampuan

pengamatan klinis tanda-tanda fisiologis secara adekuat dan dilakukan intervensi

pembedahan segera jika penanganan konservatif gagal.

2.5. Diagnosis Trauma Hepar

Keadaan hemodinamik pasien yang stabil pada awalnya seharusnya tidak

membuat ahli bedah lengah terutama pada pasien dengan trauma intra-abdominal

khususnya cedera hepar yang terjadi akibat deselerasi kendaraan bermotor atau

benturan langsung. Trauma jenis ini akan menimbulkan perdarahan yang

perlahan-lahan dan seringkali tanpa disertai tanda-tanda peritoneal yang

bermakna. Ketika keadaan ini terus berlanjut dan sudah tidak dapat dikompensasi

lagi oleh tubuh, maka dapat terjadi kemungkinan terburuk.


Bagian tersulit adalah memastikan adanya trauma intrabdominal secara

akurat yang hanya berasarkan pemeriksaan fisik. Olsen et al menyatakan 21% dari

pasien yang diperkirakan mengalami trauma intra-abdominal didasarkan pada

pemeriksaan fisik saja dianggap sepele dan karena mekanisme trauma yang tidak

signifikan. Sebanyak 43% pasien yang pada awalnya dinyatakan abdomennya

normal ditemukan adanya trauma inra-abdominal pada saat laparotomi.

Oleh sebab itu dokter bedah berkewajiban tidak meninggalkan pasien

sampai semua data telah dianalisa, penanganan dan rencana pengobatan sudah

diformulasikan dan pasien jika perlu sudah ditempatkan di tempat/unit yang ada

monitornya.
Tabel 1.1.Klasifikasi trauma hepar berdasarkan CT Scan
( Jinxing Yu, et al., 1994 )
AMERICAN ASSOCIATION OF THE SURGERY OF TRAUMA LIVER
INJURY SCALE ( AAST )
Liver injury scale (1994 revision)
Grade* Type of Injury Description of injury
I Hematoma Subcapsular, <10% surface area
Laceration Capsular tear, <1cm parenchymal depth
II Hematoma Subcapsular, 10% to 50% surface area
intraparenchymal <10 cm in diameter
Laceration Capsular tear 1-3 parenchymal depth, < 10cm in
length
III Hematoma Subcapsular, >50% surface area of ruptured
subcapsular or parenchymal hematoma;
intraparenchymal hematoma > 10 cm or expanding
Laceration >3 cm parenchymal depth
IV Laceration Parenchymal disruption involving 25-75% hepatic
lobe or 1-3 Couinaud’s segments
V Laceration Parenchymal disruption involving >75% of hepatic
lobe or >3 Couinaud’s segments within a single
lobe
Vascular Juxtahepatic venous injuries; ie,
retrohepatic vena cava / central major hepatic veins
VI Vascular Hepatic avulsion

*Advance one grade for multiple injuries up to grade III


A B

C D

Gambar 1. Pembagian derajat trauma hepar berdasarkan CT Scan abdomen


dengan kontras ( Becker, et al., 1998 )
Keterangan : A. Grade 1 ; B. Grade 2; C. Grade 3; D. Grade 4

2.6. Penanganan Non Operasi

Penanganan pasien dengan trauma hepar secara konservatif dilatar

belakangi oleh keberhasilan penanganan konservatif pada pasien anak. Beberapa

hal yang harus dipertimbangkan antara lain: pertama jika setelah dilakukan DPL

terdapat darah pada rongga peritoneum, maka diharuskan untuk dilakukan

laparotomi tanpa meliha status hemodinamik pasien yang stabil. Kedua, pada

keadaan cedera intra-abdomen yang bersamaan dan tidak dapat dideteksi dengan

pasti. Ketiga, pertimbangan ahli bedah.


Perkembangan dalam teknik radiologi telah menghilangkan kelemahan-

kelemahan tersebut. CT scan dapat mendefinisikan patologi anatomi,

menunjukkan beratnya trauma, mengukur tingkat hemoperitoneum, dan

memberikan informasi yang pasti secara keseluruhan baik organ-organ

intraperitoneal dan struktur-struktur retroperitoneal.

Baik Meyer et al serta Andersson dan Bengmark melaporkan hasil yang

memuaskan dalam penanganan non operasi pasien trauma tumpul hepar dewasa.

Sejak tahun 1988 setidaknya 14 institusi telah menangani 16 atau lebih pasien

dewasa tanpa operasi. Pengalaman secara keseluruhan mencapai 495 pasien,

dengan keberhasilan rata-rata 94% dan mean transfusion rate 1,8 unit.

2.6.1. Kriteria Penanganan Non Operasi

Keberhasilan penanganan non operasi pada trauma hepar bergantung pada

seleksi pasien yang meliputi kriteria sebagai berikut : a. stabilitas hemodinamik;

b. Pemberian tranfusi darah tidak lebih dari 2-3 kantong darah c. tidak adanya

tanda-tanda akut abdomen pada pemeriksaan fisik; d. Tidak adanya gambaran

cedera abdomen dari pemeriksaan radiologi ( USG dan CT Scan Abdomen ).

( Bernardo,et al., 2010 )

Sebagian besar pasien-pasien yang ditangani secara non operasi

mengklassifikasi sebagai cedera grade I sampai III. Ketidakpastian awal saat

penerapan bentuk pengobatan ini untuk pasien dewasa, membuat keterbatasan

tingkat trauma yang dipertimbangkan aman untuk dirawat tanpa operasi. Karena
alasan tersebut Pachter et al, serta Durham et al pada awalnya membatasi

penanganan non operasi mereka untuk trauma hepar grade I sampai III.

Berbeda dengan Mirvis et al, mengatakan bahwa status hemodinamik

pasien lebih penting dari grading trauma (CT scan), dimana status hemodinamik

merupakan faktor yang paling signifikan dalam menentukan intervensi operasi.

Baik Knudson et al, dan Boone et al memperkuat konsep ini, menyatakan bahwa

23% dan 33% dari pasien mereka diobati secara non operasi meskipun

diklassifikasikan grade IV sampai V. Meredith dan teman-teman mendapatkan,

21% dari 70 pasien dengan trauma hepar yang dirawat tanpa operasi, meliputi 10

dengan cedera grade IV dan 5 pasien dengan cedera grade V. Trauma grade IV

dan V yang memenuhi semua kriteria untuk penanganan tanpa operasi, tidak

mengharuskan intervensi pembedahan.

Penanganan non operasi trauma hepar sangat tergantung pada kemampuan

CT scan yang secara konsisten menunjukkan adanya cedera intraabdomen non

hepatik yang berpotensial fatal ( pada usus, lien atau diafragma) dimana

memerlukan kewaspadaan setiap ahli bedah. Beberapa laporan mengindikasikan

insiden cedera yang berhubungan dengan intraabdominal yang luput terdeteksi

sebanyak 15%.

Saat ini, keakuratan CT scan dalam menilai tingkat dan beratnya trauma

hepar masih dipertanyakan. Croce dan Fabian menemukan grading trauma hepar

preoperasi dengan CT scan dihubungkan dengan penemuan saat operasi hanya

pada 16% pasien. Yang paling tinggi adalah insiden 41% dibawah perkiraan, luas

trauma hepar pada CT scan dengan yang didapatkan saat pembedahan. Semua
pasien dalam penelitian ini menjalani pembedahan, beberapa yang layak operasi

hanya didasarkan pada DPL yang positif. Pada selanjutnya pasien ini, 41%

membutuhkan pengobatan yang tidak spesifik, dimana 27% ditangani hanya

dengan obat hemostatik topikal. Harus ditekankan disini bahwa keputusan untuk

mengambil tindakan intervensi operasi didasarkan pada stabilitas hemodinamik

pasien tanpa memperheparkan grading CT scan.

Penyembuhan cedera yang signifikan harus dicatat sebelum pasien

dipulangkan. Kesalahan yang paling sering ditemukan adalah mengulang CT scan

pada hari ke -3 atau 4 setelah trauma dan memulangkan pasien pada hari ke- 7

tanpa mengulang pemeriksaan ini. Tidak bisa dimengerti alasan dari cara ini, sejak

pasien stabil secara hemodinamik tanpa penurunan hematokrit, perubahan besar

pada cedera menjadi lebih baik atau memburuk tidak mungkin terjadi pada hari ke

3 atau 4. Pada hari ke- 7 akan tampak kearah mana cedera akan menuju, dan

keputusan untuk memulangkan pasien akan dapat dibuat dengan lebih rasional.

Yang sama pentingnya adalah komitmen untuk mengobati pasien secara non

operasi seharusnya tidak membuat keragu-raguan tentang intervensi pembedahan

segera, jika diperlukan.


Tabel 1.2. Algoritma trauma tumpul Abdomen

Trauma Tumpul
Abdomen

Klinis dapat Klinis tidak


dievaluasi dapat dievaluasi

Hemodinamik
Nyeri seluruh Nyeri seluruh stabil
perut (+) perut (-)

OP Hemodinamik Hemodinamik CT (+) CT (-)


stabil tidak stabil
Judgement
Observasi
FAST (+) FAST (-) FAST (+) FAST (-)

CT? OP Penyebab lain Tidak ada penyebab


CT (+) CT (-) Observasi tidak stabil lain hemodinamik
hemodinamik tidak stabil

Judgement Observasi
Evaluasi ulang/
DPL (+) DPL (-)
Resusitasi

OR Evaluasi
ulang
Resusitasi

Keterangan :

OR : Operating room, DPL : Diagnostic Peritoneal Lavage

Judgement : Operasi atau tidak operasi berdasarkan CT Scan Abdomen

Anda mungkin juga menyukai