Anda di halaman 1dari 18

Nurul Annisa

240210150028

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Praktikum yang dilakukan kali ini mengenai fermentasi. Definisi modern


fermentasi menurut Tjahjadi et al. (2009) adalah sebagai berikut:
a. Proses disimilasi anaerobik senyawa-senyawa organik oleh aktivitas
mikroorganisme atau ekstrak dari sel-sel tersebut antara lain fermentasi
alcohol dan fermentasi asam laktat.
b. Reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan
energi, dengan senyawa-senyawa oragnik berperan sebagai donor dan
akseptor elektron.
Fermentasi yang dilakukan terbagi dua yakni fermentasi spontan dan
fermentasi tidak spontan. Fermentasi dapat menghasilkan produk yang mudah
untuk dicerna, bernilai gizi, dan cita rasa yang khas. Menurut Tjahjadi et al.
(2009) menyatakan bahwa alkohol dan asam dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen dalam makanan. Produk yang terjadi karena fermentasi
spontan diantaranya adalah sauerkraut, sawi asin, dan kimchi. Sedangkan
fermentasi tidak spontan diantaranya adalah tape ketan, tempe, dan yoghurt.
Aktivitas mikroorganisme pada substrat organik dapat menyebabkan
perubahan pada sifat bahan pangan dan terjadinya fermentasi. Bakteri yang umum
digunakan dalam fermentasi adalah Acetobacter xylinum pada pembuatan nata
decoco, Acetobacter aceti pada pembuatan asam asetat. Khamir yang umum
digunakan dalam fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae dalam pembuatan
alcohol. Sedangkan, kapang yang umum digunakan dalam fermentasi adalah
Rhizopus sp pada pembuatan tempe, Monascus purpureus pada pembuatan
angkak.
Menurut Tjahjadi et al. (2009) menyatakan bahwa proses fermentasi akan
terjadi sesuai dengan prinsip pengawetan yang didasarkan pada:
1. Menggiatkan pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme penghasil
alcohol dan asam organik.
2. Menekan/mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme proteolitik dan
lipolitik oleh alkohol atau asam organik yang dihasilkan dan bila
Nurul Annisa
240210150028

populasinya sudah tinggi melalui persaingan akan zat gizi yang terdapat
pada substrat.
Menurut Tjahjadi et al. (2009) menyatakan bahwa fermentasi memiliki
berbagai manfaat bagi bahan pangan. Beberapa manfaat yang diperoleh dari
proses fermentasi adalah sebagai berikut:
1. Pengawet makanan zat-zat metabolit yang dihasilkan seperti asam laktat,
asam asetat, etanol dan sebagainya yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk.
2. Penganekaragaman pangan.
3. Menginhibisi pertumbuhan mikroorganisme pathogen.
4. Meningkatkan nilai gizi makanan.

4.1 Fermentasi Spontan


Fermentasi spontan dapat terjadi tanpa perlu penambahan mikroorganisme
sebagai starter/inokulum atau ragi. Bahan pangan yang akan difementasi sudah
memiliki mikroorganisme yang terdapat di dalamnya, hal yang harus dilakukan
hanya menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme
tersebut.
Salah satu tahap yang terdapat pada prosedur fermentasi secara spontan
yakni penambahan garam. Penambahan garam tersebut berfungsi untuk
mengurangi bakteri pembusuk dan menyeleksi bakteri yang dikehendaki. Selain
itu, garam juga menyebabkan cairan yang terdapat dalam kubis tertarik keluar
melalui proses osmosis (Buckle et al., 1987).
4.1.1 Sauerkraut
Menurut SNI 01-2600-1992 definisi sauerkraut adalah suatu produk
makanan hasil fermentasi irisan atau cincangan kubis (Brassica oleracea) segar
yang diawetkan didalam kemasan larutan garam atau cairan fermentasi. Beberapa
manfaat kesehatan yang diperoleh dari sauerkraut diantaranya adalah dapat
melancarkan pencernaan karena mengandung serat dan anti-cancer agents seperti
isothiocyanates (Inesia, 2011).
Fermentasi dimulai dengan Leuconostoc mengkonversi gula menjadi asam
laktat, asam asetat, alkohol, CO2, dan produk lainnya yang berkontribusi terhadap
Nurul Annisa
240210150028

rasa asinan kubis. CO2 berfungsi membantu menjaga kondisi anaerob dalam kubis
fermentasi (Banwart, 1981). Menurut Banwart (1981) menyatakan bahwa hasil
fermentasi menghasilkan asam dan menyebabkan L. mesenteroides dihambat,
fermentasi berlanjut dengan Lactobacillus brevis, Pediococcus cerevisiae dan
Lactobacillus plantarum. Suhu optimal yang digunakan pada fermentasi adalah
18-22ºC.
Garam yang digunakan dalam fermentasi sauerkraut harus optimum, jika
terlalu sedikit maka menyebabkan rasa hambar, sedangkan terlalu banyak garam
akan menghambat bakteri asam laktat dan dapat mengakibatkan rasa asam dan
pertumbuhan ragi terhambat (Kotzanmanidis et al., 2000). Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Sauerkraut
Sampel Hari Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
ke-
Kubis 0 Putih Kubis Keras Segar
Segar Kehijauan segar +++ Asin -
Garam 10 g
(<5%)
Kubis 3 Putih Asam Keras + Asin
Segar kekuningan Segar Agak
Garam 10 g Asam
(<5%)
Kubis Layu 0 Putih Kubis Keras++ Agak -
Garam 10 g sedikit layu segar
(<5%) kecoklatan asin
Kubis Layu 3 Putih Asam Renyah Asin
Garam 10 g kuning kubis agak
(<5%) kecoklatan layu asam
masih
terasa
rasa kol
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh perubahan warna, aroma, tekstur,


dan rasa pada kedua kondisi sampel kubis yakni segar dan layu. Perubahan
tersebut menandakan bahwa proses fermentasi telah berlangsung. Warna
kekuningan diduga disebabkan karena perubahan pigmen klorofil pada kubis
menjadi feofitin yang dipengaruhi oleh penurunan pH. Perbedaan warna kubis
dengan kondisi layu yang berwarna kecoklatan diduga disebabkan karena warna
Nurul Annisa
240210150028

awal kubis layu telah berwarna kecoklatan. Sedangkan pelunakan tekstur terjadi
karena adanya pengaruh dari penambahan garam (Buckle et al., 1987). Faktor lain
yang dapat mempengaruhi warna dan tekstur sauerkraut adalah perendaman kubis
yang kurang sempurna sehingga memicu pertumbuhan khamir dan kapang di
permukaan. Menurut Desrosier (1988) menyatakan bahwa hal tersebut dapat
menimbulkan perubahan yang tidak diinginkan yang dapat masuk ke dalam
seluruh sauerkraut sehingga mengakibatkan produk menjadi lunak dan berwarna
gelap.
Terdapat aroma dan rasa asam pada kedua kondisi sauerkraut. Hal tersebut
diduga disebabkan karena gula yang terkandung dalam cairan adalah nutrisi atau
makananyang dibutuhkan oleh bakteri asam laktat dimana akan diubah menjadi
asam laktat. Asam laktat akan menyebabkan penurunan suhu dan menimbulkan
aroma asam. Namun, asam laktat dapat berfungsi sebagai pengawet produk
(Tjahjadi et al., 2009). Salah satu cara untuk menghindari adanya bau busuk dapat
dilakukan dengan cara menyimpan botol fermentasi dalam udara terbuka dengan
disinari matahari atau diberi lapisan minyak mineral yang netral di atas larutan
garam. (Buckle et al., 1987).
4.1.2 Sawi Asin
Mengingat banyaknya nutrisi yang terkandung di dalam sawi, oleh karena
itu perlu dilakukan fermentasi. Menurut Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan
RI kandungan gizi yang terkandung di dalam 100 gram sawi adalah sebagai
berikut:
Tabel 2. Kandungan Gizi Pada 100 gram Sawi
Kandungan Jumlah
Air (g) 92.2
Protein (g) 2.3
Lemak (g) 0.3
Karbohidrat (g) 4.0
Kalsium (mg) 220.0
Fosfor (mg) 38.0
Besi (mg) 2.9
Vitamin A (SI) 6460.0
Vitamin B1 (mg) 0.09
Vitamin C (mg) 102.0
Kalori (kal) 22.0
(Sumber: Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan RI)
Nurul Annisa
240210150028

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap sampel sawi asin,


diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Sawi Asin
Sampel Hari Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
ke-
Sawi Hijau 0 Hijau Langu Keras Segar
Segar segar, ++ Asin
Garam 5 g cairan
(2%) putih keruh

Sawi Hijau 3 Hijau tua, Asam Keras Asin


Segar sedikit Segar, Agak
Garam 5 g warna menyenga Asam
(2%) putih, t
cairan
coklat
keruh
Sawi Hijau 0 Daun hijau Bau sawi Layu Hamb -
Layu tua apda ar
Garam 5 g umumnya,
(2%) tidak
begitu
menyenga
t
Sawi Hijau 3 Daun hijau Garam Lunak Pahit, -
Layu tua, air menyenga padat asin
Garam 5 g hijau lumut t, agak ++,
(2%) keruh seperti asam
kaporit ++
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh beberapa perubahan. Namun,


perubahan yang diperoleh tidak terlalu signifikan. Perubahan yang terjadi
menunjukkan bahwa fermentasi yang dilakukan telah berlangsung. Sawi hijau
sudah memiliki bakteri asam laktat seperti Leuconostoc mesentroides,
Lactobacillus plantarum, dan Lactobacillus brevis. Aktivitas bakteri tersebut
dapat dirangsang secara selektif dengan adanya penambahan garam sebelum
proses fermentasi berlangsung. Aktivitas bakteri tersebut dapat menghasilkan
kadar asam sekitar 0,8%-1,5% (Chao et al., 2009).
Nurul Annisa
240210150028

Prosedur yang dilakukan salah satunya dengan menaburi sawi dengan


garam sebanyak 2%, digilas-gilas supaya airnya keluar dan jaringannya menjadi
rusak, diikat, dimasukan ke dalam stoples dan direndam dengan air tajin yang
berfungsi untuk menumbuhkan mikroorganisme yang akan memfermentasi sawi
tersebut, serta dapat untuk menyeleksi bakteri halotoleran (Glazer et al., 2007).
Fermentasi harus selalu dipantau untuk mengetahui ada atau tidaknya
bintik putih. Bintik putih tersebut diduga adalah kapang jenis Mycoderma.
Mycoderma adalah kapang yang menggunakan asam dari dalam proses fermentasi
untuk keperluannya sendiri dan bersifat sebagai mikroorganisme pembusuk
(James et al., 2008). Jika terdapat bintik putihan maka harus dibuang secara hati-
hati.
Berdasarkan hasil pengamatan, warna sawi hijau segar berubah menjadi
kuning kecokelatan yang awalnya berwarna hijau, aroma dan rasa yang dihasilkan
adalah asam, serta tekstur yang diperoleh semakin keras. Menurut literatur, sawi
asin memiliki warna yang kekuningan, rasa enak, tekstur lunak, dan bau yang
sedap antara asam dan alkohol (Chao et al., 2009). Hasil pengamatan dan literatur
terhadap fermentasi sawi asin menunjukkan kesesuaian. Hal tersebut menandakan
bahwa fermentasi telah berlangsung dengan baik.
Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh sawi hijau dengan kondisi layu yakni
teksturnya lunak padat setelah dilakukan fermentasi. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh penambahan garam sebelum proses fermentasi dilakukan dan
kerja enzim oleh bakteri pektinolitik. Selain itu, sawi hijau dengan kondisi layu
memiliki rasa, asin dan asam yang lebih terasa dibandingkan asinan menggunakan
sawi segar. Penambahan garam bertanggung jawab terhadap rasa asin yang
dihasilkan pada fermentasi sawi asin.
4.1.3 Kimchi
Menurut Codex (2001) menyatakan bahwa kimchi merupakan sayuran
yang diberi campuran bumbu dengan komposisi utama yakni bubuk cabai merah
(Capsicum annuum L.), jahe, bawang putih, bawang-bawang varietas Allium, dan
lobak. Bakteri yang terdapat pada fermentasi kimchi adalah Lactobacillus yang
akan menghasilkan asam laktat. Kimchi dapat disajikan dalam keadaan dingin dan
Nurul Annisa
240210150028

tidak disterilisasi setelah dikemas dalam botol, namun dapat diganti dengan
pasteurisasi (Hui, 2006).
Reaksi yang terjadi pada proses fermentasi asam laktat ialah perubahan
glukosa menjadi asam piruvat melalui proses glikolisis membentuk 2 molekul
asam piruvat dan 2 molekul energi (NADH). NADH diubah kembali menjadi
NAD+ saat pembentukan asam laktat dari asam piruvat. Asam piruvat kemudian
mengalami dehidrogenasi piruvat dan menghasilkan asam laktat (James et al.,
2008). Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Reaksi Asam Laktat


(Sumber: James et al.,2008)

Menurut Mheen (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat


mempengaruhi fermentasi kimchi adalah mikroorganisme, suhu, konsentrasi
garam, karbohidrat, nutrisi lain yang mendukung atau komponen penghambat
seperti oksigen, pH, garam, suhu, pengawet alami, dan starter. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Pengamatan Kimchi
Sampel Hari Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
ke-
Sawi Putih 0 Putih Sawi Keras Khas
Garam 5% Kehijauan Putih ++ Sawi -
segar
3 Putih Asam Keras + Asin
keorangenan ++ Asam ++,
Pedas
+++
Sawi Putih 0 Putih Sawi Keras Pedas
Garam Kehijauan Putih +++ ++++, -
10% segar Asin +
3 Putih Asam Keras + Asin +,
kekuningan +++ Asam ++,
Pedas
+++

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)


Nurul Annisa
240210150028

Berdasarkan hasil pengamatan terdaapat perbedaan dari segi warna,


aroma, dan rasa antara kimchi dengan penambahan garam 5% dan garam 10%.
Kimchi yang ditambahkan garam 10% memiliki warna yang lebih kuning, aroma
asam yang lebih kuat, dan rasa yang lebih asin. Perbedaan konsentrasi garam
menyebabkan perbedaan laju fermentasi. Garam dengan konsentrasi 10% lebih
cepat mengalami fermentasi, oleh karena itu hasil yang diperoleh lebih baik
dibandingkan dengan kimchi dengan penambahan garam 5%.
Selain disebabkan oleh penambahan bumbu, adanya produksi metabolit
lain seperti fruktosa, manitol, dan polisakarida menyebabkan rasa kimchi yang
lebih bervariasi (lebih kaya) dan tekstur yang lebih kompleks. Leuconostoc
mesenteroides merupakan bakteri yang berkaitan dengan fermentasi asinan dan
bertanggung jawab terhadap rasa asam yang timbul pada produk kimchi. Hal
tersebut disebabkan karena sifatnya yang dapat menurunkan pH sehingga rasa dari
kimchi menjadi asam. Fermentasi kimchi yang berhasil ditandai dengan timbulnya
gelembung-gelembung dalam wadah. Fermentasi kimchi yang dilakukan telah
menunjukkan kesesuaian dengan literatur. Hal tersebut terlihat dari persamaan
antara hasil pengamatan dengan standar mutu kimchi yang dikemukakan oleh
Codex (2011) adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Standar Mutu Kimchi Menurut Codex
Kriteria Mutu Keterangan
Warna Merah dari bubuk cabe merah
Rasa Pedas dan asin
Tekstur Tegar, renyah dan garing
Total asam (mis: asam laktat) < 1%
(Sumber: Codex, 2011)

4.2 Fermentasi Tidak Spontan


Fermentasi tidak spontan merupakan fermentasi yang terjadi dalam bahan
pangan yang dengan sengaja ditambahkan mikrorganisme dalam bentuk starter
atau ragi, dimana mikroorganisme tersebut akan tumbuh dan berkembangbiak
secara aktif merubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan,
Stater yang di tambahankan bermacam-macam, tergantung bahan pangan dan
produk apa yang ingin dihasilkan.
Nurul Annisa
240210150028

4.2.1 Tape Ketan


Produk tape dihasilkan dari fermentasi alkoholik yang bersumber dari pati
seperti beras, singkong, dengan bantuan ragi (Tjahjadi et al., 2009). Ragi adalah
suatu inokulum atau starter untuk melakukan fermentasi dalam pembuatan
produk tertentu. Penggunaan ragi bertujuan untuk mempercepat kerja bakteri pada
tape. Proses fermentasi tersebut akan menghasilkan etanol dan CO2 (Rahmawati,
2010). Fermentasi pembuatan tape ketan tidak memerlukan oksigen. Oleh karena
itu, proses fermentasi pada ketan harus dengan wadah yang tertutup rapat agar
lebih cepat matang. Ragi tape merupakan populasi campuran yang terdiri dari
spesies-spesies genus Aspergillus, Saccharomices, Candida, Hansenulla, dan
bakteri Acetobaster (Tarigan, 1988).
Proses fermentasi tape ketan dibantu oleh bakteri Saccharomyces
cerivisiae. Bakteri tersebut dapat merubah karbohidrat menjadi alkohol, dan
karbon dioksida. Reaksi yang terjadi selama proses fermentasi adalah sebagai
berikut:
2(C6H10O5)n + nH2O -> n C12H22O11
Amilum/patiamilase matosa
C12H22O11 + H2O -> 2C6H12O6
Maltosa maltase glukosa
C6H12O6 ->2C2H5OH+CO2
glukosa alkohol

Perendaman beras ketan pada prosedur yang dilakukan bertujuan agar


beras ketan tersebut lebih mekar. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 6. Hasil Pengamatan Tape Ketan
Sampel Hari Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
ke-
Ketan 0 Hitam Ketan Agak Tidak
Hitam kukus Keras ada
rasa
3 Merah Khas Lunak Sediki
Keungunan tape t asam
ketan
Ketan Putih 0 Putih Ketan Agak Tidak
Nurul Annisa
240210150028

Sampel Hari Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar


ke-
kukus keras ada -
rasa
3 Putih Khas Lunak Asam
tape berair ++
ketan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh perbedaan antara perubahan tape


ketan hitam dan putih. Perbedaan yang sangat terlihat pada rasa, rasa yang
diperoleh pada tape ketan putih lebih asam dari pada tape ketan hitam. Hal
tersebut disebabkan karena bakteri asam laktat lebih terdapat lebih banyak pada
ketan putih. Karbohidrat yang terkandung dalam ketan putih dan ketan hitam
berturut-turut adalah 79,40% (Haryadi, 2013) dan 21,06 % (Hasanah, 2008) dari
data tersebut sangat terlihat bahwa kadar karbohidrat ketan putih lebih banyak
sehingga mikroorganisme dapat mengubahnya menjadi bakteri asam laktat yang
lebih banyak dan akan menghasilkan rasa asam yang lebih kuat. Perubahan ketan
menjadi lunak, berair, manis, dan berbau alkohol juga disebabkan oleh perubahan
gula menjadi alkohol dengan bantuan ragi.
Hasil fermentasi tape ketan yang baik seharusnya memiliki rasa manis
asam, sehingga dapat dikatakan bahwa fermentasi yang dilakukan kurang
sempurna. Hal tersebut dapat disebabkan salah satunya karena penambahan ragi
dilakukan dalam kondisi beras ketan masih panas, sedangkan sifat ragi tidak dapat
berkembang dengan baik dalam suhu tinggi. Beberapa hal yang harus dihindari
dalam proses fermentasi tape ketan diantaranya adalah jangan menggunakan
peralatan yang berminyak karena dapat menyebabkan kegagalan fermentasi dan
udara yang masuk harus seminimal mungkin.
4.2.2 Tempe
Tempe mengandung banyak serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi.
Tempe merupakan makanan yang dihasilkan dari fermentasi biji kedelai
menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh.
oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus, sehingga membentuk
padatan kompak berwarna putih (Kasmidjo, 1990). Pertumbuhan kapang
Nurul Annisa
240210150028

menghasilkan miselium yang berwarna putih. Miselium tersebut yang akan


merekatkan dan menutupi kacang kedelai-kacang kedelai (Buckle, 1987).
Pada proses perendaman dan perebusan biji terjadi hidrasi. Semakin tinggi
suhu maka akan semakin cepat proses hidrasinya, namun jika dilakukan pada suhu
tinggi pertumbuhan bakteri akan terhambat sehingga tidak terbentuk asam
(Hidayat, 2008). Starter/ragi tempe yang digunakan adalah 5% dan 10%. Starter
tempe adalah bahan yang mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai
agen pengubah kedelai rebus menjadi tempe karena adanya pertumbuhan jamur
(Kasmidjo, 1990). Kualitas tempe dipengaruhi oleh kualitas starter yang
digunakan untuk inokulasinya (Astawan, 2008). Pemberian ragi harus sesuai
dengan ketentuan karena jika terlalu banyak akan menyebabkan kebusukan.
Dalam 10 kilogram ragi yang dibutuhkan adalah 1 sendok makan.
Kedelai tersebut dimasukkan ke dalam daun pisang dan plastik yang telah
dilubangi. Hal ini disebabkan karena proses pembuatan tempe merupakan
fermentasi yang membutuhkan oksigen. Selain itu, sirkulasi udara dibutuhkan
untuk proses metabolisme kapang. Jika waktu fermentasinya kurang maka tempe
yang terbentuk strukturnya akan mudah hancur, warnanya tidak putih keabu-
abuan dan tidak berbau khas tempe. Waktu inkubasi yang dilakukan selama 24-
48 jam dengan suhu inkubasi antara 25oC-30oC, dan kelembaban relatif (RH)
70%-85%. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Shurtleff (1979) menyatakan
bahwa lama fermentasi berhubungan dengan suhu fermentasi, pemanasan air dan
pendinginan, bahan pembukus dan ruang fermentasi. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Pengamatan Tempe
Sampe Jenis Har Warna Arom Tekstu Rasa Gambar
l Pembungku i ke- a r
s
Ragi Daun pisang 0 Kuning Khas Keras + Khas
2% kedelai kedela -
i
2 Hifa : Khas keras Khas
putih tempe tempe
Kedelai:
kuning
pucat
Plastik 0 Kuning Khas Keras + Khas -
kedelai kedela
i
Nurul Annisa
240210150028

Sampe Jenis Har Warna Arom Tekstu Rasa Gambar


l Pembungku i ke- a r
s
2 Kuning Khas Keras + Khas
pucat kedelai kedela
tidak di rebus i
selimuti rebus
hifa putih
Ragi Daun pisang 0 Kuning Khas Keras + Khas
4% kedelai kedela
i
2 Kuning Khas Keras Khas
pucat, ¾ tempe tempe
bagian + +
diselimut
i hifa
berwarna
putih
Plastik 0 Kuning Khas Keras + Khas
kedelai kedela
i
2 Kuning Khas Keras Khas
pucat, ¾ tempe tempe
bagian
diselimut
i hifa
berwarna
putih dan
ada
sedikit
bercak
hitam
Sumber: (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, penambahan ragi 4% menujukkan hasil


yang lebih baik yakni hifa terlihat lebih banyak dan menunjukkan karakteristik
tempe, baik dari segi warna, aroma, tekstur, dan rasa dibandingkan dengan pada
penambahan ragi 2% yang tidak terlalu signifikan seperti pada warna putih pucat
dan tidak diselimuti oleh hifa. Hal tersebut disebabkan karena pada penmabahan
ragi 2% aktivitas mikroorganisme terlalu rendah, sehingga aktivitas
mikroorganisme pada kedelai kurang bekerja secara optimal (Adisarwanto, 2005).
Namun, penambahan ragi 4% dengan dibungkus plastik menunjukkan
adanya bercak hitam pada tempe yang dihasilkan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tempe telah mengalami kebusukan yang diduga disebabkan karena adanya
Nurul Annisa
240210150028

lubang-lubang pada plastik yang memudahakan udara untuk terbawa ke dalam


bersamaan dengan mikroba patogen yang dapat menurunkan mutu tempe.
Tempe yang dibungkus dengan daun pisang menunjukkan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan menggunakan plastik (Tjahjadi et al., 2009). Hal
tersebut disebabkan karena kondisi daun pisang sebagai pembungkus sama
dengan fungsi ruang gelap syarat terjadinya fermentasi. Daun pisang masih dapat
melakukan aerasi yang baik, salah satu faktornya adalah karena Rhizopus
merupakan kapang aerobik yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
Sebaliknya, plastik yang digunakan sebagai pembungkus tidak dapat melakukan
aerasi dengan sempurna maka tempe yang dihasilkan kurang baik. Selain itu, daun
pisang mengandung polifenol yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus sehingga dapat memaksimalkan proses fermentasi karena kapang
tumbuh dengan baik.
4.2.3 Yoghurt
Fermentasi yoghurt dapat berlangsung dengan bantuan bakteri asam laktat
seperti Lactobacillus bulgaricu dan Streptococcus thermophillus. Starter yang
digunakan pada praktikum kali ini adalah Lactobacillus acidophilus. Proses
pemanasan dengan suhu 90oC selama 1 jam dan didinginkan sampai suhu 37-48oC
bertujuan untuk membunuh mikroba patogen dan pembusuk yang terdapat dalam
bahan baku sehingga pertumbuhan kultur starter dapat lebih baik. Selain itu,
untuk denaturasi dan koagulasi protein whey sehingga dapat meningkatkan
viskositas dan tekstur yoghurt. Pemeraman dilakukan pada suhu 30-40oC karena
suhu tersebut merupakan suhu optimumnya, pemeraman dilakukan selama 3 hari
pada keadaan tertutup karena fermentasi yoghurt tidak membutuhkan oksigen.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 8. Hasil Pengamatan Yoghurt
Sampel Hari Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
ke-
Susu 0 Putih Susu segar Kental + Sedikit -
Segar- Manis
Kultur 3 Kuning Asam Kental +++ Asam
Plain keputihan Menyengat
Yoghurt +++

Susu 0 Putih Susu segar Kental Sedikit -


Segar- manis
Nurul Annisa
240210150028

Sampel Hari Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar


ke-
Kultur 3 Putih Asam Menggumpal Asam
Murni L. kekuningan Menyengat +++
Acidophilu +++
s
Sumber: (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan yoghurt yang ditambahkan kultur plain


yoghurt berwarna kuning, kental, dan terasa asam ketika dicicipi, sedangkan
yoghurt yang ditambah kultur murni Lactobacillus acidophilus berwarna putih,
teksturnya menggumpal, dan rasa asamnya lebih kuat. Lactobacillus acidophilus
tidak dapat digunakan sendirian karena dapat menyebabkan rasa yang kurang
disukai. Oleh karena itu, menurut Shah (1994) menyatakan bahwa untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan
bakteri lain seperti Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophile.
Yoghurt yang menggumpal berhubungan dengan produksi total asam
tertitrasi yang semakin tinggi. Terbentuknya asam laktat menyebabkan misel
kasein kehilangan kalsium dan fosfor yang mendorong terbentuknya gel pada pH
4,6 – 4,7 (Tamime et al., 1989). Penambahan kultur Lactobacillus acidophilus
pada yoghurt menunjukkan warna putih kekuningan. Kuning yang dihasilkan pada
yoghurt disebabkan oleh warna lemak berwarna kuning yang berasal dari klorofil
yang kandungan karotennya tinggi (Edwin, 2004). Menurut Tamime et al. (1989)
menyatakan bahwa aroma yang terdapat pada yoghurt diperoleh dari produksi
komponen non volatil, asam volatil dan karbonil. Berdasarkan hasil pengamatan
diperoleh yoghurt dengan aroma dan rasa khas yoghurt, serta tekstur yang kental.
Hal tersebut menurut SNI 01-2981-1992 menyatakan bahwa termasuk ke dalam
yoghurt dengan kualitas baik.
Nurul Annisa
240210150028

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, dapat ditarik beberapa


kesimpulan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sauerkraut menggunakan bahan baku kubis segar memiliki hasil akhir yang
lebih bagus dibandingkan dengan sauerkraut menggunakan bahan baku kubis
layu.
2. Asinan sawi segar memberikan hasil akhir yang lebih bagus dibandingkan
dengan asinan menggunakan bahan baku sawi layu.
3. Penambahan garam 10% menghasilkan laju fermentasi, warna, aroma,
tekstur, dan rasa yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan garam
5%.
4. Tape ketan putih tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan
terhadap warna, tekstur berubah menjadi lebih lunak dan berair,
mengeluarkan aroma khas tape dan rasa asam yang lebih kuat dibandingkan
dengan tape ketan putih.
5. Tempe yang menunjukkan hasil paling baik ada pada tempe dengan
penambahan ragi 4% dan dibungkus dengan daun pisang.
6. Yoghurt yang ditambah kultur murni Lactobacillus acidophilus sesuai dengan
SNI 01-2981-1992 yakni cenderung berwarna putih seperti yoghurt pada
umumnya, tekstur menggumpal, dan memiliki keasaman yang lebih tinggi.
Nurul Annisa
240210150028

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto. 2005. Kedelai. Swadaya, Jakarta.

Astawan, M. 2008. Sehat Dengan Tempe: Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan


dengan Tempe. Dian Rakyat, Bogor.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2600-1992. Sauerkraut. Badan


Standarisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2981-1992 Yoghurt. Badan


Standarisasi Nasional, Jakarta.

Banwart, G.K. 1981, Basic Food Microbiology. Van Nostrand Reinhold


Company, New York.

Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wotton, M. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta.

Chao SH, Wu RJ, Watanabe K, Tsai YC. 2009. Diversity of lactic acid bacteria in
suan-tsai and fu-tsai, traditional fermented mustard products of Taiwan. Int
J Food Microbiol. 135(3):203-210.

Codex, A. 2011. Codex Standard for Kimchi, FAO, Rome.

Desrosier, N. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press, Jakarta.

Edwin, A. 2004. Bioteknologi Konvensional. Widya Pustaka, Semarang.

Glazer AN, Nikaido H. 2007. MICROBIAL BIOTECHNOLOGY Fundamentals of


Applied Microbiology. Edisi ke-2. Cambridge University Pr, Cambridge.

Haryadi, H. 2013. Analisa Kadar Alkohol Hasil Fermentasi Ketan dengan Metode
Kromatografi Gas dan Uji Aktifitas Saccharomyces Cereviceae Secara
Mikroskopis. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang, Semarang.

Hasanah, H. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadapa Kadar Alkohol Tape


Ketan Hitam (Oryza sativa L var forma glutinosa) dan Tape Singkong
(Manihot utilissima Pohl). Universitas Islam Negeri Malang, Malang.

Hidayat, N. 2008. Fermentasi Tempe. Available at:


http://ptp2007.2008/03/fermentasi-tempe.pdf. (Diakses pada tanggal 20 Mei
2017).

Hui, Y.H. 2006. Handbook of Food Science Technology, and Engineering Volume
I. CRC Press, USA,
Nurul Annisa
240210150028

Inesia, C. 2011. Manfaat Kubis. Available at: http://www.g-excess.com. (Diakses


pada tanggal 20 Mei 2017)

James, Joyce & Baker, C. 2008. Principles of Science For Nurses. Erlangga,
Jakarta.

Kasmidjo. 1990. Tempe, Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta


Pemanfaatannya. Soegijapranata Press, Semarang.

Kotzanmanidis, C., T, Roukas, & G, Skaracis. 2002. Optimization of lactic acid


production from beet molasses Lactobacillus delbrueckii NCIMB 8130.
World J. Microbiol. Biotechnol. 18:442–448.

Mheen, T. I. 2010. Kimchi Fermentation and Characteristics of The Related


Lactic Acid Bacteria. Korean Institute of Science and Technology
Information, Korea.

Rahmawati, A. 2010. Pemanfaatan Limbah Kulit Ubi Kayu (Manihot utilissima


Pohl.) dan Kulit Nanas (Ananas comosus L.) pada Produksi Bioetanol
Menggunakan Aspergillus niger. Skripsi. Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Shah, N. 1994. Lactobacillus acidophilus and Lactone Intolerance. a review


ASEAN Food J. 9(2): 47 – 52.

Shurtleff, W. Dan A. Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh. Harper and Row
Publisher, New York.

Tamime, A.Y. and H.C. Deeth. 1980. Yoghurt, Technology and Biochemisty. J.
Food Protect. 43(12): 937 – 977.

Tarigan, J. 1988. Pengantar Mikrobiologi Umum. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan
Pendidikan Tenaga Pendidikan, Jakarta.

Tjahjadi, C. dan Herlina Marta. 2008. Pengantar Teknologi Pangan : Volume 1.


Jurusan Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri pertanian
Universitas padjajaran, Bandung.
Nurul Annisa
240210150028

JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa sebabnya pada pembuatan sayur asin tidak ditambahkan inokulum


lagi?
Jawab: Proses fermentasi sayur asin termasuk ke dalam fermentasi spontan,
dimana selama proses fermentasi berlangsung, zat yang akan memfermentasi
bahan akan dihasilkan sendiri oleh bahan yang digunakan, sehingga tidak
diperlukan tambahan inokulum lagi.

2. Mengapa selama fermentasi selaput/busa di permukaan harus dibuang?


Jawab: Karena selaput/busa di permukaan selama fermentasi harus dibuang
secara hati-hati karena mikroorganisme tersebut dapat menggunakan asam
yang dihasilkan dalam proses fermentasi untuk keperluannya sendiri dan
mengakibatkan mikroorganisme pembusuk untuk tumbuh.

3. Apa yang dimaksud dengan starter?


Jawab: Starter merupakan komponen yang ditambahkan pada awal proses
fermentasi yang bertujuan untuk menghasilkan variasi makanan atau
minuman fermentasi.

4. Mengapa dalam pembuatan tempe kapang Rhizopus oryzae dan Rhizopus


oligosporus sebaiknya digunakan keduanya?
Jawab: Penggunaan kedua kapang Rhizopus oryzae dan Rhizopus
oligosporus bertujuan untuk mendapatkan hasil produk tempe yang lebih
bagus karena dapat menghasilkan enzim-enzim yang berbeda seperti amilase,
lipase, dan protease yang dapat mempercepat/mengoptimalkan proses
fermentasi kedelai menjadi tempe.

Anda mungkin juga menyukai