Anda di halaman 1dari 10

“the Nuer: A description of the Modes of Livelihood and Political Institution of

a Niloltic People”- Evan Pritchard

Siapa Evan Pritchard ?

Beliau adalah Sir Edward Evans Evans Evans-Pritchard (l. 1902-w. 1973).

Menempuh pendidikan pertamanya di Winchester College, kemudian melanjutkan

di Exeter College, Oxford, dimana ia berjumpa dengan bidang sejarah. Kemudian

beliau melanjutkan pendidikannya di London Scholl of Ecomonics (LSE), dimana

beliau memperoleh gelar PhD-nya pada tahun 1927. Kemudian diangkat sebagai

pengajar di LSE dari tahun 1923 sampai 1931 dan pada tahun 1932 diangkat sebagai

professor di bidang Antropologi sosial di Fuad I University di Kairo ( sekarang

menjadi Egyptian University of Cairo). Pada tahun 1935, beliau diangkat sebagai

pengajar penelitian di bidang sosiologi Afrika, Universitas Oxford, kemudian

menjalani wajib militer di Sudan dan Afrika Utara dari tahun 1940 sampai 1945.

Pada tahun 1945, beliau menjadi pengamat antropologi di Cambridge University

kemudian pada tahun 1946 menggantikan Radcliffe-Brown sebagai professor

antropologi sosial di University of Oxford. Jabatan itu beliau pegang sampai pensiun

pada tahun 1970, dan diangkat sebagai seorang Knight oleh kerajaan Inggris pada

tahun 1971.

Penelitian lapangan Etnografis yang beliau lakukan antara tahun 1926 dan

1939 di afrika timur terhadap suku Azande, Nuer, Anuak, Shilluk dan Nilotic Luo

menghasilkan 5 monograf etnografis dan beberapa artikel serta beberapa catatan

pendek. Beliau juga menulis 6 monograf etnografis berlandaskan pada data yang

dihimpunnya selama menempuh wajib militernya di Afrika Utara. Mekipun beliau

terkenal sebagai seorang etnografer dan peneliti lapangan, teori-teorinya juga

memantapkan posisinya sebagai seorang antropolog sosial. Dan meskipun beberapa

1
artikel dan beberapa bab di bukunya difokuskan pada teori-teori, namun sumbangsi

teorinya seringkali juga disisipkan dalam karya etnografisnya dan penafsiran serta

analisa yang beliau tawarkan dalam penelitian emperik yang dilakukannya. beliau

menerapkan ide “penerjemahan budaya” lebih dari para antropolog di masanya, dan

meskipun hubungannya dengan “structural fungsionalis” sangat erat, beliau

mengarahkan antropologi Oxford pada jalur yang lebih humanis1.

Salah satu buku yang beliau tulis dari hasil penelitiannya yaitu buku “the

Nuer: A description of the Modes of Livelihood and Political Institution of a Niloltic

People” yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1940.

The Nuer ?

Nuer adalah salah satu suku di daerah Sudan selatan, daerah perbatasan

sungai Nil denga sungai-sungai yang lain. Mereka tinggal di sekeliling ternak-

ternak mereka yang menjadi sumber pokok makanan mereka dan alat interaksi

sosial mereka. Diantara mereka juga ada nelayan dan petani yang menanam bibit

padi di dataran yang menonjol di antara rawa-rawa.

Dari deskripsi yang Evan Pritchard, digambarkan bahwa kehidupan mereka

mirip sekali dengan kehidupan agrikultur pada masa awal, dan mungkin lebih

kepada kehidupan masa transisi dari kehidupan pemburu menuju kehidupan

agricultur.

Tak ada sistem kelas diantara mereka, diaman biasanya masyarakat kelas

muncul ketika dalam masyarakat agrikurural, sebuah komunitas mengalami surplus

kemudian komunitas tersebut membantu komunitas yang lain. Namun tidak

1Roger Just, Evan-Pritchard, 11 January 2012, DOI: 10.1093/OBO?9780199766567-0006


(http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199766567/obo-9780199766567-0006.xml)

2
demikian kehidupan Nuer dimana masyarakat agrikultur mulai dominan namun

paham egaliter masih terus berjalan. Deskripsi tentang hal tersebut digambarkan

begitu detail dalam buku tersebut.

Kehidupan ekonomi disana juga terkait dengan tidak adanya kepemimpinan

suku dan sentimen demokratis mereka. Namun tak bisa dikatakan juga kehidupan

disana sebagai kehidupan dalam keadaan utopis sempurna, karena kurangnya

makanan, perang, permusuhan, perzinaan dan pembunuhan sering juga terjadi

dalam kehidupan sosial mereka. namun hal tersebut disebabkan oleh sikap yang

berbeda terhadap dunia disekeliling mereka, dan sikap diantara mereka.

Di bebeberapa bagian, hal tersebut mencerminkan sikap mereka terhadap

kepemimpinan. Mereka memiliki pemimpin pemimpin , namun tidak tetap dan tak

harus diikuti tiap kata-katanya. Pemimpin mereka dinamakan tut yang digambarkan

sebagai pemimpin keluarga dan keluarga gabungan mereka, dimana ia mempunyai

pengaruh yang besar dalam penentuan hubungan antar kelompok namun tak bisa

dikatakan juga bahwa mereka mempunyai otoritas politik. Seorang tut mempunyai

otoritas untuk melakukan sesuatu dalam komunitas mereka, namun komunitas lain

dalam dusun yang sama bebas memilih untuk mengikutinya atau tidak.

Bagi mereka ternak adalah segalanya, dimana tak hanya menjadi sumber

makanan tapi juga dengannya mereka dapat menikah atau sebagai penebusan

kriminalitas untuk menolong keluarga mereka. Tapi jumlah dari ternak tersebut,

bagi mereka, tidaklah begitu penting, karena ketika seorang lelaki sudah

mempunyai jumlah ternak yang cukup, mereka akan dapat menikah lagi atau

memberikannya kepada yang lain. Memang benar bahwa, dalam hal tertentu, Nuer

bisa mendapatkan apa yang lebih dari apa yang mereka butuhkan seperti misalnya

tombak yang cukup bagus. Mereka bisa saja mengambil tombak dari orang lain

3
ketika membutuhkannya dan hal tersebut bukanlah dianggap kriminalitas dalam

komunitasnya. Aturan penting yang menjadi landasan dalam komunitar Nuer

adalah, sebagaimana diungkapkan Evan-Pricard, ”saya tidak pernah mendengar

dalam komunitas Nuer seseorang yang mencuri sapi semata-mata karena ia

menginginkannya”. Meskipun Nuer juga dengan senang hati mau mencuri barang

dari komunitas yang lain.

Adapun tugas pekerjaan mereka tidaklah dikategorikan oleh jenis kelamin

melainkan oleh umur mereka. Umur-umur terntentu mempunyai peran yang penting

dalam komunitas mereka.

Kesimpulan yang dapat diambil dari the Nuer ini bahwa komunitas yang

memiliki bentuk yang berbeda dalam proses produkifitasnya, juga mempunyai

tatanan sosial yang berbeda yang karenanya secara konsekuen membentuk ide-ide

dalam kepala mereka masing masing dimana hal tersebut tidaklah tetap dan akan

terus berkembang.

4
Review Buku: “five families: Mexican case studies in the culture of poverty”

By Oscar Lewis

Oscar Lewis dikenal dibidang antropologi disebabkan oleh 3 hal: 1. Analisa

entografisnya terhadap komunitas di mexico yang memberikan kesimpulan berbeda

dari para antropolog sebelumnya di bidang yang sama, seperti Robert Redfield, 2.

Kualitas penulisan dalam pendekatan penelitian etnografiknya secara umum, baik

tulisannya tentang pedesaan ataupun perkotaan di Meksiko,orang Puerto Rico di

San Juan atau New York, atau komunitas yang ada di India (bahkan mungkin dia

satu-satunya antropolog yang karya tulisnya diangkat menjadi film Hollywood, the

Childeren of sanchez) 3. Konsepnya “culture of poverty” atau “Budaya

Kemiskinan” memberikan sumbangsiteori penting dalam bidang antropologi dan

ilmu sosial.2

Konsepnya tentang budaya kemiskinan tersebut pertama kali disebutkan

dalam bukunya “five families: Mexican case studies in the culture of poverty

(1959)” dan kemudian diberikan keterangan yang lebih luas dalam buku “ the

children of Sanchez : Autobiography of a Mexican Family (1961)”.

Buku “five families: Mexican case studies in the culture of poverty (1959)”

yang dibagi dalam enam bab ini , berisi tentang penelitian lapangan yang dilakukan

terhadap lima keluarga di Meksiko dengan latar belakang kondisi dan lingkungan

hidup masing-masing yang berbeda-beda. Dia juga menjelaskan bahwa data yang

dikumpulkannya cukup merepresentasikan kehidupan keluarga kelas bawah di

Meksiko.

2
Robert Philen, Oscar Lewis and the Culture of Poverty,2007.

5
Pada bab pertama ia menjelaskan 4 hal : yaitu tentang garis besar batasan

batasan metodenya, dia menjelaskan tentang sejarah singkat Meksiko sejak masa

revolusi pada tahu 1910, memberikan penjelasan tentang standart hidup, dan

menjelaskan tentang latar belakang tiap-tiap keluarga yang ditelitinya. 3

Narasi tentang beberapa keluarga dalam buku tersebut bertujuan untuk

merepresentasikan beberapa kehidupan keluarga orang Meksiko dalam situasi

kemiskinan yang berbeda-beda. Sesuai judul bukunya, terdapat lima keluarga:

Pertama ia menceritakan tentang keluarga Martinez, sebuah keluarga yang

hidup di sebuah desa dataran tinggi Meksiko yang berjarak 60 mil dari kota

Meksiko dengan populasi 35.000 orang dan penduduknya kebanyakan

menggunakan dua bahasa; bahasa Spanyol dan Nahuatl . keluarga kedua yaitu

keluarga Gomez, sebuah keluarga yang berpindah dari kampung ke kota yang hidup

di dalam apartemen satu kamar yang sesak. Yang ketiga keluarga Gutierrez

keluarga paling melarat yang hidup di tempat termiskin dan terkumuh di sebuah

kota, keluarga keempat yaitu keluarga Sanchez , keluarga kelas bawah yang

mengalami urbanisasi, dimana sang ayah bekerja sebagai pelayan restoran dan

membagikan hasilnya kepada beberapa istri dan anaknya. Keluarga kelima yang

ditelitinya adalah keluarga Castro, yaitu keluarga kaya baru dimana sang ayah,

David Castro, menganggap dirinya sebagai jutawan paska revolusi.

Dalam narasi penulisannya, dia menempatkan diri dalam persepktif orang

ketiga, ia mendeskripsikan aktifitas keluarga tersebut mulai dari bangun tidur,

menyiapkan sarapan, makan siang, makan malam, interaksi internal keluarga dan

antar keluarga, sehingga mengantarkannya pada hasil data yang kualitatif.

3
Brian J. Delas Armas, Precis on Oscar Lewis’ Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of
Poverty, 2012.

6
Metode penelitiannya terhadap kehidupan keseharian keluarga-keluarga

tersebut menurut saya lebih banyak menyerap teknik para novelis. Hal tersebut

terlihat dari narasi penulisannya dalam menggambarkan keadaan, dialog dan alur

aktifitas sehari dalam keluarga keluarga tersebut yang serasa ,ketika kita

membacanya, seperti sedang membaca novel. Namun ketika buku tersebut telah

berupa terjemahan maka akan menjadi tergantung pada kreatifitas sang penerjemah

dalam memilih kalimat terjemahannya.

Ketika saya membaca bab pertama buku ini , di beberapa tempat masih

menemukan kalimat yang “berasa” terjemahan, namun ketika masuk ke bab

selanjutnya hal tersebut mulai tak terlihat lagi, mungkin diperlukan adanya

pembiasaan terlebih dahulu terhadap gaya bahasa sang penerjemah.

Secara umum buku ini mampu menempatkan kita masuk kedalam cerita –

cerita yang ada didalamnya tanpa menghilangkan aspek informasi etnogafis dan

aspek antropologisnya.

7
Review Buku: “Tradisi pesantren: studi tentang pandangan hidup Kiyai”

oleh Zamakhsyari Dhofier

Buku ini adalah terjemahan dari Desertasi yang ditulis oleh Zamakhsyari

Dhofier ketika menempuh study dalam bidang antropologi sosial di Australian

National University (A.N.U.), Canberra , Australia, untuk memperoleh gelar doctor

pada tahun 1980.

Buku setebal 192 halamanni adalah buku cetakan ke-6 terbitan tahun 1994

,sedangkan cetakan pertamanya yaitu pada tahun 1982.

Pada pendahuluannya dr zamakhsyari mengungkapkan tujuan ditulisnya

buku tersebut, yaitu salah satunya sebagai kritik terhadap beberapa teori sarjana

barat yang dianggapnya salah dalam metode penelitian dan penyimpulannya

tentang perkembangan islam di Indonesia dimana kebanyakan studi-studi

sebelumnya menitik beratkan kepada analisanya dari segi intelektualitas dan

pendekatan teologi, sehingga seringkali meleset dalam memberikan kesimpulan.

Metode yang ditawarkan beliau dalam buku ini adalah metode analisa sosiologis

yang mana menurutnya akan mengurangi ketergesa-gesaan dalam pengambilan

kesimpulan yang pernah dilakukan para peneliti sebelumnya. Demikian pula

pandangan yang menitikberatkan pandangan kepada kemajuan Islam modern yang

ternyata bertentangan dengan kenyataan bahwa islam tradisional masih terus

bertahan dengan jumlah yang lebih besar dibanding islam modern, hal tersebut,

menurutnya, disebabkan karena sumber yang dipakai dalam penelitiannya hanya

berdasar pada informasi di majalah dan buku yang ditulis oleh para sarjana islam

modern sehingga apa yang mereka ketahui tentang islam tradisional sebenarnya

8
adalah pendapat islam modern yang kebanyakan tidak benar. Selain itu, dalam bab

ini beliau juga menjelaskan secara ringkas sejarah perkembangan islam dari masa-

masa ke masa di Nusantara.

Beliau mengkategorisasi pesantren kepada 3 bentuk: Pesantrren besar yaitu

pesantren yang memiliki jumlah santri lebih dari 2.000 orang, Pesantren Sedang

yaitu pesantren yang memiliki jumlah santrilebih dari 1.000 sampai 2.000 orang

dan Pesantren Kecil yaitu Pesantren yang jumlah santrinya kurang dari 1.000 orang.

Untuk peneliannya beliau memilih Pesantren tebuIreng sebagai perwakilan model

pesantrean besar yang beada di daerah perkotaan dan juga sebagai pengkader

kepemimpinan pesantren di Jawa dan Madura, sedangkan pemilihan pesantren

tegalsari sebagai model pesantren kecil yang berada pedesaan dan jauh dari

perkotaan. Sedangkan unsur –unsur pesantren menurutnya haruslah memiliki:

Pondok sebagai asrama para santri, Masjid sebagai sarana pendidikan dan ibadah

santri, Kitab-kitab klasik yang diajarkan kepada santri, santri sebagai penuntut ilmu

dan kiyai sebagai sosok pengayom dan pengasuh para santri.

Pada akhirnya pesantren tetap menunjukkan signifikasinya dalam

perkembangan islam di Nusantara sebagai sebuah kekuatan sosial, budaya dan

keagamaan.

Review Geertz

ThickDescription

Istilah Thick Description (deskripsi kental) ini dia pinjam dari Gilbert Ryle,

sebagai pemisahan dari thin description dimana ia lebih memfokuskan pada makna

9
dari sebuah tindakan. Dia memberikan contoh seperti mengedutkan mata dan

mengedipkan mata, mengedutkan mata dan mengedipkan mata untuk isyarat

tertentu, secara fisik mempunyai gerakan yang sama, namun mengedutkan mata

bukanlah bagian dari kajian kebudayaan sementara mengedipkan mata yang

mempunyai makna makna tertentu adalah objek dari kajian kebudayaan, oleh

karena itu seorang etnografer harus dapat memilah kajiannya untuk meneliti

kedipan bukan kedutan.

Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight

Dalam Essay yang berjudul Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight

Geertz mengembangkan pemikirannya dengan menganalisa praktek kebudayaan

sebagai “teks”. Dengan demikian , memungkinkan Geertz untuk meneliti aspek

aspek tertentu didalam sabung ayam di Bali. Misalnya dalam kesimpulannya hasil

dari “memakai emosi sebagai akhir kognitif’. Bagi orang bali, pergi pada

pertunjukan sabung ayam menjadi pelajaran emosional bagi mereka, dimana hal

tersebut mengajarkan dan melatih emosi serta reaksi,

Agama sebagai system (kerangka) budaya

Geertz tak hanya membicarakan teori umum saja namun juga menggali teori

pada aspek khusus seperti antropologi agama. Dengan berlandaskan teori

simbolnya ia mendefinisikan agama sebagai : 1. Sebuah system symbol yang

berfungsi sebagai 2. Pembagun perasaan dan motifasi yang kuat, mengakar dan

tahan lama dengan 3. Memformulasi konsep tata tertib umum dari eksistensi dan 4.

Membungkus konsep tersebut dengan sebuah aura kebenaran bahwa 5. perasaan

perasaan tersebut terasa, secara unik, begitu nyata” ,

10

Anda mungkin juga menyukai