TINJAUAN PUSTAKA
4
2.2 Pengaturan Persimpangan
Pengaturan persimpangan dilihat dari segi pandang untuk kontrol kendaraan
dapat dibedakan menjadi dua (Morlok,1991) yaitu:
1. Persimpangan tanpa sinyal, dimana pengemudi kendaraan sendiri yang harus
memutuskan apakah aman untuk memasuki persimpangan itu.
2. Persimpangan dengan sinyal, dimana persimpangan itu diatur sesuai sistem
dengan tiga aspek lampu yaitu merah, kuning, dan hijau.
Yang dijadikan kriteria bahwa suatu persimpangan sudah harus dipasang alat
pemberi isyarat lalu lintas menurut Ditjen. Perhubungan Darat, 1998 adalah:
1. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan rata – rata diatas
750 kendaraan/jam, terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
2. Waktu tunggu atau hambatan rata – rata kendaraan di persimpangan
melampaui 30 detik.
3. Persimpangan digunakan oleh rata – rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam
terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
4. Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.
5. Pada daerah yang bersangkutan dipasang suatu sistem pengendalian lalu lintas
terpadu (Area Traffic Control / ATC), sehingga setiap persimpangan yang
termasuk di dalam daerah yang bersangkutan harus dikendalikan dengan alat
pemberi isyarat lalu lintas.
Syarat – syarat yang disebut di atas tidak baku dan dapat disesuaikan dengan situasi
dan kondisi setempat.
Persimpangan bersinyal umumnya dipergunakan dengan beberapa alasan
antara lain:
1. Menghindari kemacetan simpang, mengurangi jumlah kecelakaan akibat
adanya konflik arus lalu lintas yang saling berlawanan, sehingga terjamin
bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan, bahkan selama kondisi
lalu lintas jam puncak
2. Untuk memberi kesempatan kepada para pejalan kaki untuk dengan aman
dapat menyebrang.
5
Tujuan utama perencanaan simpang adalah mengurangi konflik antara
kendaraan bermotor serta tidak bermotor (gerobak, sepeda) dan penyediaan fasilitas
yang memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan terhadap pemakai jalan
yang melalui persimpangan. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1997) terdapat
empat jenis dasar dari alih gerak kendaraan yang berbahaya seperti berikut:
1. Berpencar (diverging)
2. Bergabung (merging)
3. Bersilang (weaving)
4. Berpotongan (crossing)
6
1. Sudut simpang harus mendekati 90o demi keamanan lalu lintas.
2. Harus disediakan fasilitas agar gerakan belok kiri dapat dilepaskan dengan
konflik yang terkecil terhadap gerakan kendaraan lain.
3. Lajur terdekat dengan kerb harus lebih lebar dari yang biasa untuk
memberikan ruang bagi kendaraan bermotor
4. Lajur membelok yang terpisah sebaiknya di rencanakan menjauhi garis utama
lalu lintas, panjang lajur membelok harus mencukupi untuk mencegah antrian
terjadi pada kondisi arus tinggi yang dapat menghambat pergerakan pada lajur
terus.
5. Pulau lalu lintas tengah harus digunakan bila lebar jalan lebih dari 10 m untuk
memudahkan pejalan kaki menyebrang.
6. Jika jalan utama memiliki median, sebaiknya paling sedikit lebarnya 3 – 4 m,
untuk memudahkan kendaraan dari jalan kedua menyeberang dalam 2 langkah
(tahap).
7. Daerah konflik simpang sebaiknya kecil dan dengan lintasan yang jelas bagi
gerakan yang berkonflik.
7
Sketsa pola geometrik jalan yang dimasukan ke dalam formulir USIG-I. Harus
dibedakan antara jalan utama dan jalan minor dengan cara pemberian nama
untuk simpang lengan tiga, jalan yang menerus selalu dikatakan jalan utama.
Pada sketsa jalan harus diterangkan dengan jelas kondisi geometrik jalan yang
dimaksud seperti lebar jalan, lebar bahu, dan lain – lain.
2. Kondisi lalu lintas
Kondisi lalu lintas yang dianalisa ditentukan menurut Arus Jam Rencana atau
Lalu Lintas Harian Rata – Rata Tahunan dengan faktor –k yang sesuai untuk
konversi LHRT menjadi arus per jam. Pada survei tentang kondisi lalu lintas
ini, sketsa mengenai arus lalu lintas sangat diperlukan terutama jika akan
merencanakan perubahan sistem pengaturan simpang dari tak bersinyal ke
simpang bersinyal maupun sistem satu arah.
3. Kondisi lingkungan
Berikut data kondisi lingkungan yang dibutuhkan dalam perhitungan:
a. Kelas ukuran kota
Yaitu ukuran besarnya jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu daerah
perkotaan seperti pada Tabel 2.1
8
b. Tipe Lingkungan Jalan
Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna lahan
dan akesibilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya hal ini ditetapkan
secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu lintas dengan buatan Tabel
2.2
9
2.3.3 Perhitungan Rasio Belok dan Rasio Arus Jalan Minor
1. Perhitungan rasio belok kiri
ALT BLT C LT DLT
PLT
A B C D (2.1)
2. Perhitungan rasio belok kanan
ART BRT C RT DRT
PRT
A BC D (2.2)
3. Perhitungan rasio arus jalan minor
AC
PMI
A BC D (2.3)
4. Perhitungan arus total
QTOT = A+ B + C + D (2.4)
A, B, C, D menunjukkan arus lalu lintas dalam smp/jam.
5. Perhitungan rasio arus minor PMI yaitu arus jalan minor dibagi arus total dan
dimasukkan hasilnya pada formulir USIG-I
PMI = QMI/QTOT (2.5)
Dimana:
PMI = Rasio arus jalan minor.
QMI = Volume arus lalu lintas pada jalan minor.
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.
6. Perhitungan rasio arus belok kiri dan belok kanan (PLT, PRT)
PLT = QLT/QTOT ; PRT = QRT/QTOT (2.6)
Dimana:
PLT = Rasio kendaraan belok kiri.
QLT = Arus kendaraan belok kiri
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.
PRT = Rasio kendaraan belok kanan.
QRT = Arus kendaraan belok kanan
7. Perhitungan rasio antara arus kendaraan tak bermotor dengan kendaraan
bermotor dinyatakan dalam kendaraan/jam.
10
PUM = QUM/QTOT (2.7)
Dimana:
PUM = Rasio kendaraan tak bermotor
QUM = Arus kendaraan tak bermotor
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.
2.3.4 Kapasitas
Kapasitas adalah kemampuan suatu ruas jalan melewatkan arus lalu lintas
secara maksimum. Kapasitas total untuk seluruh pendekat simpang adalah hasil
perkalian antara kapasitas dasar (Co) untuk kondisi tertentu (ideal) dan faktor – faktor
penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi sesungguhnya terhadap
kapasitas.
Kapasitas dihitung dari rumus berikut:
C = Co x Fw x Fm x Fcs x FRSU x FLT x FRT x FMI (2.8)
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Nilai Kapasitas Dasar (smp/jam)
Fw = Faktor koreksi lebar masuk
Fm = Faktor koreksi median jalan utama
Fcs = Faktor koreksi ukuran kota
FRSU = Faktor koreksi tipe lingkungan dan hambatan samping
FLT = Faktor koreksi persentase belok kiri
FRT = Faktor koreksi persentase belok kanan
FMI = Faktor koreksi rasio arus jalan minor
11
dibagi dengan jumlah lengan yang terdapat pada simpang tersebut parameter
geometrik berikut diperlukan untuk analisa kapasitas.
a. Lebar rata – rata pendekatan minor dan utama WC, WBC dan lebar rata –
rata pendekat WI (Simpang tiga lengan)
1) Perhitungan lebar rata – rata pendekat pada jalan minor dan jalan
utama
WAC = (WA + WC) / 2 ; WBD = (WB+WD) / 2 (2.9)
Dimana:
WC = Lebar pendekat jalan minor.
WBD = Lebar pendekat jalan mayor.
WI = Lebar pendekat jalan rata – rata.
12
Tabel 2.5 Kapasitas dasar
Tipe Persimpangan Kapasitas Dasar (Co) smp/jam
322 2700
342 2900
324 atau 344 3200
422 2900
424 atau 444 3400
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
13
4. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)
Faktor penyesuaian ini hanya digunakan untuk jalan utama dengan 4 lajur.
Variabel masukan adalah tipe median jalan utama.
14
dihitung dengan menggunakan Tabel 2.7. Variabel masukan adalah tipe
lingkungan jalan (RE), kelas hambatan samping (SF) dan rasio kendaraan tak
bermotor (PUM).
Tabel 2.8 Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan hambatan samping dan
kendaraan tak bermotor (FRSU)
Kelas Tipe Kelas Rasio kendaraan tak bermotor
Lingkungan Jalan Hambatan 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25
RE Samping SF
Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Komersial Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70
Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71
Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72
Pemukiman Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73
Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74
Tinggi
Akses Terbatas Sedang 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Rendah
Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
15
Gambar 2.3 Faktor penyesuaian belok kiri
Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
16
Gambar 2.4 Faktor penyesuaian belok kanan
Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
17
Gambar 2.5 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor
Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
18
2.3.5 Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation, DS)
Yang dimaksud dengan derajat kejenuhan adalah hasil arus lalu lintas
terhadap kapasitas biasanya dihitung perjam. Derajat kejenuhan dihitung dengan
menggunakan rumus berikut.
DS = Q / C (2.11)
Dimana:
DS = Derajat kejenuhan.
Q = Total arus aktual (smp/jam).
C = Kapasitas aktual.
19
2. Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA)
Tundaan lalu lintas jalan utama adalah tundaan lalu lintas rata – rata semua
kendaraan bermotor yang masuk persimpangan dari jalan utama DTMA
ditentukan dari kurva empiris antara DTMA dan DS, dapat dilihat Gambar 2.7
20
QMA = Volume arus lalu lintas pada jalan mayor.
QMI = Volume arus lalu lintas pada jalan minor.
21
Gambar 2.8 Peluang antrian (QP%)
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
22
2.4 Fasilitas Pengaturan Pada Persimpangan Tak Bersinyal
Fasilitas pengaturan lalu lintas jalan raya sangat berperan dalam menciptakan
ketertiban, kelancaran dan keamanan bagi lalu lintas jalan raya, sehingga
keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan petunjuk dan pengarahan bagi
pemakai jalan raya. Pengaturan lalu lintas tersebut adalah rambu dan marka jalan.
2.4.1 Rambu
Sesuai dengan fungsinya maka rambu – rambu dapat dibedakan dalam tiga
golongan, yaitu:
1. Rambu Peringatan
Rambu ini memberikan peringatan pada pemakai jalan, adanya kondisi pada
jalan atau sebelahnya yang berbahaya untuk operasional kendaraan.
2. Rambu Pengatur (Regulator Devices)
Rambu jenis ini berfungsi memberikan perintah dan larangan bagi pemakai
jalan berdasarkan hukum dan peraturan, yang dipasang pada tempat yang
ditentukan larangan tersebut berarti pelanggaran dan dapat diberikan sangsi
hukum.
3. Rambu petunjuk (Guiding Devices)
Rambu ini berfungsi untuk memberikan petunjuk atau informasi kepada
pemakai jalan tentang arah, tujuan kondisi daerah ini.
23
2.5 Tingkat Pelayanan Persimpangan
Dalam MKJI cara yang paling tepat untuk menilai hasil kinerja persimpangan
adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati dan
membandingkannya dengan pertumbuhan lalu lintas dan umur fungsional yang
diinginkan dari simpang tersebut. Jika derajat kejenuhan yang diperoleh terlalu tinggi,
maka diperlukan perubahan asumsi yang terkait dengan penampang melintang jalan
dan sebagainya serta perlu diadakan perhitungan ulang. Jika untuk penilaian
operasional persimpangan, maka nilai derajat kejenuhan yang tinggi mengindikasikan
ketidakmampuan persimpangan dalam mengatasi jumlah kendaraan yang dilewatkan.
Standar untuk menentukan tingkat derajat kejenuhan (DS) menurut Pignataro, L.J.
1973 diperlihatkan pada Tabel 2.10 dan berdasarkan Departemen Perhubungan
(2006), tingkat pelayanan untuk simpang tak bersinyal diukur berdasarkan nilai
tundaan diperlihatkan pada Tabel 2.11.
Dari Tabel 2.9 dapat dijabarkan untuk standar nilai derajat kejenuhan (DS)
adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Kapasitas Tinggi
Apabila didapat nilai DS diatas 0,85
2. Tingkat Kapasitas Sedang
Apabila didapat nilai DS antara 0,7 sampai 0,85
3. Tingkat Kapasitas Rendah
Apabila didapat nilai DS dibawah 0,7
24
Tabel 2.11 Kriteria tingkat pelayanan untuk simpang tak bersinyal
Tingkat Pelayanan Tundaan (dtk/smp)
A <5
B 5-10
C 11-20
D 21-30
E 31-45
F > 45
Sumber: Departemen Perhubungan (2006)
25
perubahan – perubahan dalam keadaan perjalanan yang sangat menurunkan
kecepatan yang cukup besar.
5. Tingat Pelayanan E
Keadaan arus tidak stabil, tidak dapat ditentukan hanya dari kecepatan saja,
sering terjadi kemacetan (berhenti) untuk beberapa saat. Volume hampir sama
dengan kapasitas jalan sedang.
6. Tingkat Pelayanan F
Keadaan arus bertahan atau arus terpaksa (Force Flow), kecepatan rendah
sedang volume ada di bawah kapasitas dan membentuk rentetan kendaraan,
sering terjadi kemacetan dalam waktu cukup lama. Dalam keadaan ekstrem
kecepatan dan volume dapat turun mencapai nol.
26
Gambar 2.9 Konflik – konflik utama dan kedua pada simpang bersinyal
dengan empat lengan
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
Sedangkan untuk konflik – konflik utama dan kedua, ada simpang dengan tiga lengan
seperti terlihat pada Gambar di bawah ini:
Gambar 2.10 Konflik utama dan kedua pada simpang dengan tiga lengan
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
27
Jika hanya konflik – konflik utama yang dipisahkan maka kemungkinan untuk
mengatur sinyal lampu lalu lintas dengan dua fase. Masing – masing sebuah fase
untuk jalan yang berpotongan, metode ini selalu dapat diterapkan jika gerak belok
kanan dalam suatu persimpangan tidak dilarang. Karena pengaturan dua fase
memberikan kapasitas tertinggi dalam beberapa kejadian, maka pengaturan tersebut
disarankan sebagai dasar dalam kebanyakan analisa lampu lalu lintas.
Jika pertimbangan keselamatan lalu lintas atau pembatasan kapasitas
memerlukan pemisahan satu atau lebih gerakan belok kanan, maka banyaknya fase
harus ditambah. Penggunaan kebih dari dua fase biasanya akan menambah waktu
siklus dan rasio waktu yang disediakan untuk pergantian antar fase. Walaupun hal ini
memberikan suatu keuntungan dari sisi keselamatan lalu lintas pada umumnya,
berarti bahwa setiap kapasitas seluruh dari simpang tersebut akan berkurang.
Sebagian besar fasilitas jalan, kapasitas dan perilaku lalu lintas adalah fungsi
dari keadaan geometrik dan tuntutan lalu lintas. Dengan menggunakan sinyal,
perancang dapat mendistribusikan kapasitas jalan kepada berbagai pendekat melalui
alokasi waktu hijau pada tiap pendekat. Sehingga untuk menghitung kapasitas dan
perilaku lalu lintas, pertama – tama perlu ditentukan fase dan waktu signal yang
paling sesuai pada kondisi yang ditinjau.
28
ini sinyal selalu hijau untuk jalan utama bila tidak ada kebutuhan dari jalan
minor.
3. Pengaturan total aktuasi
Pengaturan sinyal total aktuasi adalah moda pengaturan yang paling efisien
untuk simpang tunggal diantara jalan-jalan dengan kepentingan dan kebutuhan
lalu lintas yang sama atau hampir sama.
4. Pengaturan sinyal terkoordinasi
Pengaturan ini umumnya diperlukan bila jarak antara simpang bersinyal yang
berdekatan adalah kecil (kurang dari 100 m).
5. Fase sinyal
Fase sinyal umumnya mempunyai dampak yang besar pada tingkat kinerja
dan keselamatan lalu lintas sebuah simpang daripada jenis pengaturan. Waktu
hilang sebuah simpang bertambah dan rasio hijau untuk setiap fase berkurang
bila fase tambahan diberikan. Maka sinyal akan efisien bila dioperasikan
hanya dengan dua fase, yaitu hanya waktu hijau untuk konflik utama
dipisahkan. Tetapi dari sudut keselamatan lalu lintas, angka kecelakaan
umumnya berkurang bila konflik utama antara lalu lintas belok kanan
dipisahkan dengan lalu lintas terlawan, yaitu dengan fase sinyal terpisah untuk
lalu lintas belok kanan.
6. Fase dan lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan
Fase dan lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan disarankan terutama pada
keadaan-keadaan berikut:
a. Pada jalan-jalan arteri dengan batas kecepatan diatas 50 km/jam, kecuali
bila jumlah kendaraan belok kanan kecil sekali (kurang dari 50
kendaraan/jam per arah).
b. Bila terdapat lebih dari satu lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan
pada salah satu pendekat.
c. Bila arus belok kanan selama jam puncak melebihi 200 kendaraan/jam dan
keadaan berikut dijumpai:
29
1) Jumlah lajur mencukupi kebutuhan kapasitas untuk lalu lintas lurus
dan belok kiri sehingga lajur khusus lalu lintas tidak diperlukan.
2) Jumlah kecelakaan untuk kendaraan belok kanan di atas normal
dan usaha-usaha keselamatan lainnya yang tidak dapat diterapkan.
7. Belok kiri langsung
Belok kiri langsung sedapat mungkin digunakan bila ruang jalan yang tersedia
mencukupi untuk belok kiri melewati antrian lalu lintas lurus dari pendekat
yang sama dan dengan aman bersatu dengan arus lalu lintas lurus dari fase
lainnya yang masuk ke lengan simpang yang sama.
30
sehari. Inilah kelemahan dari alat pengatur ini, alat ini hanya cocok digunakan
untuk volume lalu lintas yang rendah dan tetap sepanjang hari, harga APILL
ini juga relatif murah.
2. Alat pengatur waktu tetap dengan program banyak (multi)
Perkembangan terbaru sebagai pengembangan alat pengatur waktu tetap
program tunggal adalah alat pengatur waktu tetap dengan program banyak
(multi). Alat pengatur ini relatif fleksibel dan memiliki kemampuan cukup
baik, yaitu memiliki program waktu lebih dari 8-10 rencana penyalaan (timing
plan) waktu siklus ditambah flashing yang sehari dan jumlah fase yang dapat
diatur sesuai dengan keinginan. Rencana penyalaan untuk hari tertentu dan
hari khusus dapat diprogramkan.
Lalu lintas pada suatu persimpangan yang diatur dengan alat pemberi isyarat
lalu lintas harus mematuhi aturan yang disampaikan oleh isyarat lampu tersebut.
Keberhasilan dari pengaturan ini dengan alat pemberi isyarat lalu lintas ditentukan
dengan berkurangnya penundaan waktu untuk melalui persimpangan (waktu antri
yang minimal) dan berkurangnya angka kecelakaan pada persimpangan yang
bersangkutan.
31
dianggap sebagai nilai normal. Nilai normal waktu antar hijau dapat dilihat pada
Tabel 2.12 atau rumus dibawah ini:
IG = Amber (A) + All Red (AR) (2.15)
32
Gambar 2.11 Titik konflik dan jarak untuk kedatangan dan keberangkatan
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
Titik konflik kritis pada masing-masing fase (i) adalah titik yang
menghasilkan waktu merah semua sebesar:
L EV l EV L AV
MERAH SEMUA = (2.16)
V EV V AV
Dimana:
LEV, LAV = Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan
yang berangkat dan yang datang (m)
lEV = Panjang kendaraan yang berangkat (m)
VEV, VAV = kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang
datang (m/det).
Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV dan IEV tergantung dari komposisi lalu
lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai sementara berikut dapat dipilih
dengan ketiadaan aturan di Indonesia akan hal ini.
33
1,2 m/det (pejalan kaki)
Panjang kendaraan yang berangkat IEV: 5 m (LV atau HV)
2 m (MC atau UM)
34
Gambar 2.12 Pengaturan dua fase
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
2. Tiga fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase pergerakan lalu lintas.
Pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase seperti terlihat pada Gambar
2.13.
35
Gambar 2.14 Pengaturan tiga fase dengan early start
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
5. Empat fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan empat fase pergerakan lalu lintas.
Pengaturan empat fase seperti pada Gambar 2.16.
36
lalu lintas yang berlawanan, maka pendekat tersebut disebut sebagai pendekat tipe P
(terlindung). Sedangkan jika arus yang berangkat dengan konflik atau terjadi konflik
dengan lalu lintas dari arah berlawanan, maka pendekat tersebut disebut sebagai
pendekat tipe O (terlawan). Untuk contoh pola – pola pendekat dan penetapan tipe
pendekat seperti pada Gambar 2.17.
37
apabila pergerakan belok kiri langsung (left turn on red) diperkenankan dan tidak
terpengaruh oleh pergerakan lain dalam pendekat (pergerakan belok kiri langsung
dapat melewati antrian kendaraan dengan arah atau membelok kanan pada saat lampu
merah), maka lebar efektif ditentukan berdasarkan nilai dari:
We = Wmasuk
= Wa – W LTOR (2.18)
Jika WEXIT < We × (1 – PRT), maka We sebaiknya diberi nilai baru sama
dengan WEXIT dan analisa selanjutnya untuk pendekat ini dilakukan hanya untuk
bagian lalu lintas lurus saja yaitu Q = QST
38
2. Pendekat degan tipe O (arus terlawan), S0 (arus jenuh dasar) ditentukan
berdasarkan Gambar 2.18.
Gambar 2.1 S0 untuk pendekat tipe O lajur belok kanan tidak terpisah
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
Jika gerakan belok kanan lebih besar dari 250 smp/jam, fase sinyal terlindung
harus dipertimbangkan,
artinya rencana fase sinyal harus diganti. Cara pendekatan berikut dapat digunakan
untuk tujuan analisa
1. Lajur belok kanan tidak terpisah.
a. Jika QRTO > 250 smp/jam:
QRT < 250
39
Tentukan Sprov pada QRTO = 250
Tentukan S sesungguhnya sebagai
S = Sprov - {(QRTO - 250) × 8 } smp/jam (2.21)
b. Jika QRTO < 250 smp/jam:
QRT > 250
Tentukan Sprov pada QRTO and QRT = 250
Tentukan S sesungguhnya sebagai
S = Sprov - {(QRTO + QRT - 500) × 2 } smp/jam (2.22)
40
Tabel 2.14 Faktor penyesuaian hambatan samping (FSF)
Hambatan Tipe Ratio Kendaraan Tak Bermotor
Tipe
≥
Tikungan Samping Fase 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20
0,25
Terlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Tinggi
Terlindung 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81
Komersial Terlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71
Sedang
(COM) Terlindung 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82
Terlawan 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,72
Rendah
Terlindung 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83
Terlawan 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72
Tinggi
Terlindung 0,96 0,94 0,92 0,89 0,86 0,84
Perumahan Terlawan 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73
Sedang
(RES) Terlindung 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85
Terlawan 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74
Rendah
Terlindung 0,98 0,96 0,94 0,91 0,88 0,86
Akses Tinggi /
Terlawan 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Terbatas Sedang /
(KA) Rendah Terlindung 1,00 0,98 0,95 0,93 0,90 0,88
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
Faktor jarak parkir tepi jalan disesuaikan dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
Lp = Jarak antar garis henti dan kendaraan yang parkir pertama (m)
41
Dimana:
PRT = Rasio kendaraan berbelok kanan pada pendekat yang ditinjau
Dimana:
PLT = Rasio kendaraan berbelok kiri pada pendekat yang ditinjau
Q
FR = (2.26)
S
Dimana:
Nilai kritis FRcrit (maksimum) dari rasio yang ada dihitung rasio arus pada
simpang dengan penjumlahan rasio arus kritis tersebut:
Dari kedua nilai di atas maka didapat rasio fase (Fase Ratio) PR untuk tipe fase yaitu:
FR erit
PR = (2.28)
IFR
Perlu diperhatikan:
42
1. Jika LTOR harus dikeluarkan dari analisa hanya gerakan – gerakan lurus dan
belok kanan saja yang dimaksud dalam nilai Q.
2. Jika We dan Wkeluar hanya gerakan lurus saja yang dimasukkan nilai Q
3. Jika suatu pendekat mempunyai sinyal hijau dalam dua fase, yaitu satu untuk
arus terlawan (O) dan yang lain untuk arus terlindung (P), gabungan arus lalu
lintas sebaiknya dihitung sebagai smp rata – rata berbobot untuk kondisi
terlawan dan terlindung, hasilnya dimasukkan ke dalam basis gabungan fase
tersebut.
Dimana:
Cua = Waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (dtk)
LT = Jumlah waktu yang hilang setiap siklus (dtk)
IFR = Rasio arus perbandingan dari arus terhadap arus jenuh, arus/arus
jenuh (Q/S).
FRerit = Nilai tertinggi arus dari seluruh pendekat yang berhenti pada suatu
fase
ΣIFRerit= rasio arus simpang = Jumlah FRerit dari seluruh fase pada simpang.
Waktu siklus yang didapat kemudian disesuaikan dengan waktu siklus yang
direkomendasikan pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Pengaturan waktu siklus
4 Fase 80 – 130
43
Waktu siklus yang melebihi 130 detik harus dihindari kecuali pada kasus yang
sangat khusus (simpang sangat besar), karena hal itu sering menyebabkan kerugian
kapasitas keseluruhan. Jika perhitungan menghasilkan waktu siklus yang jauh lebih
tinggi dari pada batas yang disarankan, maka hal ini menandakan bahwa kapasitas
dari daerah simpang tersebut adalah tidak mencukupi.
Waktu hijau adalah waktu nyala hijau dalam suatu pendekat (Departemen
Pekerjaan Umum, 1997). Perhitungan waktu hijau untuk tiap fase dijelaskan dengan
rumus:
gi = (Cua – LTI) × PRi ≥ 10 det (2.30)
Dimana:
gi = Tampilan waktu hijau pada fase 1 (dtk)
Cua = Waktu siklus (dtk)
LTI = Waktu hilang total persiklus (dtk)
PRi = Rasio fase
Siklus hijau yang lebih pendek dari 10 detik harus dihindari, karena dapat
mengakibatkan pelanggaran lampu merah yang berlebihan dan kesulitan bagi pejalan
kaki untuk menyeberang jalan, dan bila disesuaikan harus dimasukkan dalam waktu
siklus.
44
Kapasitas simpang ditentukan dengan rumus:
g
C = S (2.32)
c
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
S = Arus Jenuh (smp/jam hijau)
g = Waktu Hijau (detik)
c = Panjang Siklus (detik)
Untuk derajat kejenuhan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Q
DS = (2.33)
C
Dimana:
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
Hal terpenting dalam konsep kapasitas adalah nilai kritis V/C yang merupakan
rasio V/C untuk simpang sebagai acuan. Nilai V/C bervariasi dari 1,00 dimana arus
lalu lintas sama dengan kapasitas, sampai nilai V/C sama dengan 0,00. Nilai V/C
yang lebih besar dari 1,00 menunjukkan adanya ketidakmampuan kapasitas dalam
melayani arus lalu lintas. Hal ini terjadi bila arus lalu lintas yang ada melampaui
kapasitas simpang yang ataupun proyeksi arus lalu lintas melampaui kapasitas
simpang.
45
Untuk derajat kejenuhan (DS) > 0,5 :
( DS 0,5)
NQ1 = 0,25 C ( DS 1) ( DS 1) 2 8 (2.34)
C
Untuk derajat kejenuhan (DS) ≤ 0,5
NQ1 = 0
Dimana:
NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dalam fase hijau sebelumnya
GR = Derajat Kejenuhan
C = Kapasitas (smp/jam)
Maka panjang antrian kendaraan adalah mengalikan NQmax dengan luas rata –
rata yang dipergunakan per smp (20 m2) kemudian dibagi dengan lebar masuknya.
NQmax didapat dengan menyesuaikan nilai NQ dalam peluang yang diinginkan untuk
terjadi pembebanan lebih POL (%) dengan menggunakan Gambar 2.12. Untuk
perencanaan dan perancangan disarankan POL ≤ 5%, untuk operasi suatu nilai POL = 5
- 10% mugkin dapat diterima.
46
QL = (NQmax × 20) WENTRY (2.38)
Gambar 2.2 Angka henti (NS) masing-masing pendekat yang didefinisikan sebagai
jumlah berhenti rata-rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian)
sebelum melewati persimpangan.
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
NQ
NS = 0,9 3600 (2.39)
Q XC
Dimana:
47
Laju henti untuk seluruh simpang
NStot =
N SV
(2.41)
QTOT
Dimana:
1. Tundaan lalu lintas (DT) yaitu waktu menunggu yang disebabkan interaksi
antar lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan dengan rumus:
Atau,
48
NQ1 3600
DTj =c A + (2.44)
Cj
Dimana:
0,5 (1 GRj )
A =
(1 GRj DSj)
C = Kapasitas (smp/jam)
DS = Derajat kejenuhan
49
Hubungan tundaan (delay) dengan tingkat pelayanan sebagai acuan penilaian
simpang, seperti pada Tabel 2.16.
≤5 A
> 60,0 F
50
Operasi laalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang >15,0 dan
≤ 25,0 dtk/smp. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan oleh siklus yang lebih
panjang. Pada tingkat pelayanan ini jumlah kendaran yang berhenti adalah
signifikan, meski tetap cukup banyak kendaraan yang terus melalui simpang
tanpa harus berhenti (cukup lancar).
4. Tingkat Pelayanan D
Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan rentang > 25,0 dan ≤ 40,0
detik/smp. Pada tingkat pelayanan D ini pengaruh dari kemacetan sudah lebih
terlihat. Tundaan yang lebih besar bias dihasilkan dari kombinasi panjang
siklus yang lebih rendah dan rasio V/C > 0,75 – 0,90. Banyak kendaraan yang
harus berhenti pada simpang (mendekati macet).
5. Tingkat Pelayanan E
Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 40,0 dan
≤ 60,0 detik/smp. Pada tingkat pelayanan E ini dijadikan sebagai batas
tundaan yang masih dapat diterima. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan
dari panjang siklus yang panjang, serta rasio V/C mendekati 1,00 (macet)
6. Tingkat Pelayanan F
Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan yang lebih besar dari 60
detik/smp. Pada tingkat pelayanan F ini tundaan sudah tidak dapat diterima,
hal ini disebabkan oleh kejenuhan pada simpang akibat arus yang melalui
simpang melampaui kapasitas simpang dan juga dapat terjadi bila nilai V/C >
1,00 atau dapat juga waktu siklus yang terlalu panjang (sangat macet).
51