Anda di halaman 1dari 68

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mempelajari manajemen kualitas air penting untuk mengetahui cara

pengelolaan air dalam upaya mempertahankan mutu suatu perairan terutama bagi

kehidupan kultivan budidaya. Pengkajian kualitas air untuk menilai kualitas

lingkungan sudah banyak dilakukan dan umumnya hanya berdasarkan pengkajian

analisis fisika-kimia (pH, oksigen terlarut, kesadahan dan konsentrasi logam,

bahan-bahan kimia yang terlarut, nutrien dan bahan organik), sementara aspek

biologi (keanekaragaman hayati dan kualitas habitat) (Sukimin, 2007).

Saat ini kualitas perairan terutama sebagai mengalami beberapa masalah,

yang disebabkan oleh berbagai jenis aktivitas. Beberapa jenis aktivitas utama yang

mempengaruhi kualitas air yang digunakan untuk budidaya perikanan antara lain:

(1) kegiatan domestik, (2) kegiatan industri dan (3) kegiatan pertanian dan

perkebunan; terutama akibat penambahan pupuk dan pembasmi hama, dimana

senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam

jumlah yang sedikit, tetapi justru aktif pada konsentrasi yang rendah. Selain itu,

sedimen termasuk mempengaruhi kualitas air yang cukup besar ketika terjadi

penebangan pohon-pohonan, pembuatan parit-parit, perambahan hutan, dan lain-

lain. Belum lagi, efluen organik yang dihasilkan oleh peternakan dapat

menyebabkan pencemaran yang cukup serius. Zat hara tanaman (garam-garam

nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah

organik seperti limbah cair atau pelepasan pupuk nitrat, yang jika berlebihan dapat

mengakibatkan eutrofikasi (Syofyan et al., 2011).

1
Melihat banyaknya permasalahan pada kualitas perairan akan mengganggu

kestabilan kehidupan kultivan budidaya. Penting untuk melakukan kegiatan

pengelolaan di suatu perairan. Maka dari itu, dengan melakukan kegiatan

praktikum manajemen kualitas air dapat mengetahui kondisi perairan yang sesuai

untuk budidaya.

1.2. Tujuan Praktikum

Mengetahui bagaimana penerapan Manajemen Kualitas Air di Balai Benih

Ikan Air Tawar Sirawak, Ungaran, Semarang dan mengetahui perbedaan kualitas

air dan tanah setiap lokasi sampling.

1.3. Manfaat Praktikum


Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami bagaimana penerapan

Manajemen Kualitas air di Balai Benih Ikan Air Tawar Sirawak, Ungaran,

Semarang dan mengetahui perbedaan kualitas air dan tanah setiap lokasi

sampling.
1.4. Waktu Dan Tempat

Praktikum manajemen kualitas air dilaksanakan pada tanggal 20 April

2015 bertempat di Balai Benih Ikan Air Tawar Siwarak, Ungaran, Semarang dan

21 – 25 April 2015 bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan, Jurusan

Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro,

Semarang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kualitas Air

2
2.2.1. Parameter fisika
a. suhu air
Suhu sangat berpengaruh terhadap proses-proses yang terjadi dalam

badanair. Suhu air buangan kebanyakan lebih tinggi daripada suhu badan air. Hal

inierat hubungannya dengan proses biodegradasi. Pengamatan suhu

dimaksudkanuntuk mengetahui kondisi perairan dan interaksi antara suhu dengan

aspekkesehatan habitat dan biota air lainnya. Kenaikan suhu air akan

menimbulkanbeberapa akibat sebagai berikut : (1) jumlah oksigen terlarut di

dalam airmenurun. (2) kecepatan reaksi kimia meningkat. (3) kehidupan ikan dan

hewan airlainnya terganggu.(4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan

dan hewanair lainnya akan mati (Silalahi, 2010).


Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu perairan mengakibatkan

peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi. Selain itu peningkatan suhu juga

mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air

dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu

perairan sebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen

oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi

pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-300C.


Suhu mempunyai peranan penting dalam menentukan pertumbuhan ikan yang

dibudidaya, kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal adalah 28 0C –

320C (Tatangindatu et al.,2013).

b. kecerahan dan kedalaman

Kecerahan suatu perairan berkaitan dengan padatan tersuspensi, warna air,

dan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan. Partikel yang terlarut pada

perairan dapat menghambat cahaya yang akan datang, sehingga partikel tersebut

3
dapat menurunkan intensitas cahaya yang tersedia bagi organisme fotosintesis

seperti alga, fitoplankton, dan hidrophyta lainnya (Yazwar, 2008).

Kecerahan merupakan gambaran kedalaman air yang dapat ditembus oleh

cahaya dan visibel untuk mata pada umumnya. Nilai kecerahan dinyatakan dalam

satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran,

kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan

pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah

(Effendi, 2003).

Menurut Hutabarat dan Evans (2000), kedalaman perairan merupakan

petunjuk keberadaan parameter limnologi pada suatu habitat akuatik tertentu.

Semua organisme dalam melakukan fotosintesis membutuhkan cahaya sinar

matahari. Penyinaran cahaya matahari akan berkurang dengan semakin tingginya

kedalaman, itulah sebabnya organisme yang berperan sebagai produsen makanan

utama hanya mampu melakukan fotosistesis pada kedalaman tertentu dimana

masih mendapatkan penyinaran cahaya matahari yang cukup.

Kedalaman yang ideal untuk kolam-kolam pemeliharaan ikan adalah 60–

150 cm. Semakin dalam dasar kolam permukaan air di kolam tersebut, maka

semakin luas ruang gerak ikan. Salah satu pertimbangan dalam menentukan

kedalaman suatu kolam, yaitu kemampuan sinar atau cahaya matahari untuk

menembus ke dasar suatu kolam (Susanto, 2005).

c. warna air
Menurut Effendi (2003), warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi

dua, yaitu warna sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color).

Warna sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan

kimia terlarut. Pada penentuan warna sesungguhnya, bahan-bahan tersuspensi

4
yang dapat menyebabkan kekeruhan dipisahkan terlebih dahulu. Warna tampak

adalah warn yang tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh

bahan tersuspensi.
Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan

anorganik, karna keberadaan plankton, humus, dan ion – ion logam (misalnya besi

dan mangan), serta bahan – bahan lain. Adanya oksidasi besi menyebabkan air

berwarna kemerahan, sedangkan oksidasi mangan menyebabkan air berkadar

mangan sebanyak 0,05 mg/liter sudah cukup dapat menimbulkan warna pada

perairan (Peavy, 1985).


Menurut Davis dan Cornwell (1991), bahwa warna dapat diamati secara

visual (langsung) ataupun diukur berdasarkan skala platinum kobalt (dinyatakan

dengan suatu PtCo), dengan membandingkan warna air sampel dan warna standar,

Air yang memiliki nilai kekeruhan rendah biasanya memiliki warna nilai tampak

dan warna sesungguhnya yang sama dengan standar. Warna air dapat menghambat

penetrasi cahaya kedalam air dan mengakibatkan terganggunya proses

fotosintesis.
d. bau
Bau adalah udara yang ditangkap oleh indera penciuman. Persoalan bau di

kolam secara umum disebabkan oleh empat penyebab, antara lain: rendahnya

tingkat kandungan oksigen menyebabkan kondisi anaerob, beberapa tipe alga,

polusi kimia dan kondisi geologi. Peningkatan tingkat kandungan oksigen dan

berputarnya air kaya oksigen di dalam kolam, kondisi anaerob dapat

diminimalkan dan gas bau dapat dihilangkan dari air (Rochdianto, 1995).

Menurut Effendi (2004), menyatakan bahwa kondisi perairan yang baik untuk

budidaya ikan adalah tidak berwarna dan tidak berbau.


Menurut Sofyan (2004), tambak yang mengandung bahan organik tinggi

seperti sisa pakan dan pupuk organik akan dapat menimbulkan bau busuk yang

5
disebabkan oleh proses dekomposisi yang menghasilkan gas sulfida, fosfor serta

amonia. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air

telah tercemar. Bau dapat menunjukkan apakah suatu air limbah masih baru atau

telah membusuk. Banyak bau yang tidak sedap disebabkan karena adanya

campuran dari nitrogen, sulfur, fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein

dan bahan-bahan lain organik yang terdapat di dalam air.


e. arus
Arus merupakan suatu gerakan air yang mengakibatkan perpindahan

horizontal dan vertikal masa air. Arus dapat menyebabkan terjadinya kerusakan

fisik pada sungai dan muara sungai, seperti pengikisan darat, pemindahan sedimen

dan sebagainya. Disamping itu besarnya volume air yang mengalir dan kuatnya

pasang surut, akan mem pengaruhhi sistema arus pada muara sungai (Uktoselya,

1991). Arus adalah gerak air (atau udara atau fluida lainnya) yang mengalir. Alat

yang digunakan untuk mengukur kecepatan arus atau air di suatu lokasi, biasanya

menggunakan perangkat tali plastik dan bola pimpong (Hehanusa, 2001).


Kecepatan arus adalah jarak (cm) yang ditempuh persatuan waktu (detik).

Jenis gerakan air adalah suatu sifat lingkungan yang sangat penting karena ini

mengendalikan struktur fisika dari dasar perairan mengalir (Sihotang, 1998).

Kecepatan Arus yang cukup deras mengakibatkan menambahnya jumlah pasokan

oksigen di udara karena di pengaruhi gerakan air / arus yang kencang. Kecepatan

Arus yang terukur berkisar 16-17 m/detik. Kecepatan Arus tersebut dapat

digolongkan kecepatan arus yang relatif lemah. Kecepatan Arus yang terlalu

tinggi dapat mengakibatkan terkikisnya permukaan tempat budidaya dan dapat

mempengaruhi nilai kecerahan dan parameter kimia lainya (Wahyuningsih, 2004).

2.1.2. Parameter kimia


a. derajat keasaman (pH)

6
Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu

parameter kimia yang penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan

nilai pH suatu perairan terhadap organisme aquatik mempunyai batasan tertentu

dengan nilai pH yang bervariasi. Tingkat keasaman (pH) perairan merupakan

parameter kualitas air yang penting dalam ekosistem perairan tambak.Perubahan

pH ditentukan oleh aktivitasfotosintesis dan respirasi dalam ekosistem.

Fotosintesis memerlukan karbon di oksida,yang oleh komponen autotrof akan

dirubah menjadi monosakarida. Penurunan karbondioksida dalam ekosistem akan

meningkatkan pH perairan. Sebaliknya, proses respirasi oleh semua komponen

ekosostem akan meningkatkan jumlah karbon dioksida, sehingga pH perairan

menurun (Wetzel, 1983).


Menurut Andayani (2005), pH adalah cerminan derajat keasaman yang

diukur dari jumlah ion hidrogen menggunakan rumus pH = -log (H+). Air murni

terdiri dari ion H+dan OH- dalam jumlah berimbang hingga Ph air murni biasa 7.

Makin banyak banyak ion OH+ dalam cairan makin rendah ion H+ dan makin

tinggi pH. Cairan demikian disebut cairan alkalis. Sebaliknya, makin banyak H+

makin rendah PH dan cairan tersebut bersifat masam. Ph antara 7 – 9 sangat

memadai kehidupan bagi air tambak. Namun, pada keadaan tertantu, dimana air

dasar tambak memiliki potensi keasaman, pH air dapat turun hingga mencapai 4.
Menurut Kordi dan Andi (2009), pH air mempengaruhi tingkat kesuburan

perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang

produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah (keasaman

tinggi), kandungan oksigan terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi

oksigen menurun, aktivitas naik dan selera makan akan berkurang. Hal ini

sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha budidaya

7
perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 – 9.0 dan kisaran optimal

adalah pH 7,5 – 8,7.


b. oksigen terlarut
Konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, makin tinggi suhu,

makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Dilaut, oksigen terlarut (Dissolved

Oxygen / DO) berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan dari hasil proses

fotosintesis fitoplankton dan berjenis tanaman laut. Keberadaan oksigen terlarut

ini sangat memungkinkan untuk langsung dimanfaatkan bagi kebanyakan

organisme untuk kehidupan, antara lain pada proses respirasi dimana oksigen

diperlukan untuk pembakaran (metabolisme) bahan organik sehingga terbentuk

energi yang diikuti dengan pembentukan CO2 dan H2O (Wibisono, 2005).
Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya harus terlarut

dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehinnga bila

ketersediaannya didalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka

segal aktivitas biota akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai

kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan

kebutuhan konsumtif yang terandung pada metabolisme ikan (Kordi dan Andi,

2009).

Menurut Sudaryati (1991), di perairan alam konsentrasi oksigen terlarut

dalam fungsi dari proses biologi seperti proses fotosintesa dan respirasi dan proses

fisika seperti pergerakan air dan suhu. Konsentrasi oksigen di permukaan air

rendah, di kedalaman tertentu di daerah fotik mencapai maksimum, dan di dasar

perairan konsentrasinya menurun lagi, selama stratifikasi panas, konsentrasi

oksigen terlarut di dasar perairan rendah karena pengambilan oleh mikroba untuk

respirasi.

8
Nilai ambang batas kadar oksigen terlarut untuk budidaya ≥ 4 ppm. Pada

umumnya kandungan oksigen sebesar 5 ppm dengan suhu air berkisar antara 20-

30 0C relatif masih baik untuk kehidupan ikan-ikan, bahkan apabila dalam

perairan tidak terdapat senyawa-senyawa yang bersifat toksik (tidak tercemar)

kandungan oksigen sebesar 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan

organisme perairan (Muhajir et al., 2004).


c. karbondioksida
Menurut Kordi dan Andi (2009), karbondioksida (CO2) merupakan gas

yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air renik maupun tinhkat tinggi untuk

melakukan proses fotosintesis. Meskipun peranan karbondioksida sangat besar

bagi kehidupan organisme air, namun kandungannya yang berlebihan sangat

menganggu, bahkan menjadi racu secara langsung bagi biota budidaya, terutama

dikolam dan ditambak.


Keberadaan karbondioksida pada dasarnya di perairan terdapat dalam

bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3), ion karbonat

(CO32-), dan asam karbonat (H2CO3). Perairan air tawar alami hampir tidak pernah

memiliki pH > 9 sehingga tidak ditemukan karbon dalam bentuk karbonat. Pada

air tanah, karbon karbonat biasanya sekitar 10 mg/liter karena sifat air tanah yang

cenderung alkalis. Perairan yang memiliki kadar sodium tinggi mengandung

karbonat sekitar 50 mg/liter (Afandi, 2009).


Umumnya perairan alami mengandung karbondioksida sebesar 2 mg/l.

Konsentrasi yang tinggi ( >10 mg/l), karbondioksida dapat beracun karena

keberadaanya dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh

hemoglobin. Karbondioksida (CO2) merupakan gas yang dibutuhkan oleh

tumbuhan-tumbuhan air renik, maupun tingkat tinggi untuk melakukan

fotosintesis. Meskipun peranan karbondioksida sangat besar bagi kehidupan

9
organisme air, namun kandunganya yang berlebihan sangat mengganggu, bahkan

menjadi racun secara langsung bagi biota budidaya, terutama di kolam dan

tambak. Fotosintesis akan mengambil karbondioksida pada siang hari, sedangkan

respirasi tanaman akan menghasilkan karbondioksida pada malam hari yang

sering terjadi penurunan kelarutan oksigen di dalam air karbondioksida

berbanding terbalik dengan oksigen. Bila terjadi peningkatan karbondioksida,

maka kadar oksigen didalam air menurun (Effendi, 2003).


d. alkalinitas
Alkalinitas merupakan kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam

tanpa menurunkan pH larutan. Alkalinitas merupakan buffer terhadap pengaruh

pengasaman. Dalam budidaya perairan, alkalinitas dinyatakan dalam mg/l CaCO3.

Penyusun utama alkalinitas adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32- ),

hidroksida (OH-) dan juga ion-ion yang jumlahnya kecil seperti borat (BO3-),

fosfat (P043-), silikat (SiO44-) dan sebagainya. Peranan penting alkalinitas dalam

tambak udang antara lain menekan fluktuasi pH pagi dan siang penentu kesuburan

alami perairan. Tambak dengan alkalinitas tinggi akan mengalami fluktuasi pH

harian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tambak dengan nilai

alkalinitas rendah, menurut (Boyd, 2002). Menurut Davis et al. (2004),

penambahan kapur dapat meningkatkan nilai alkalinitas terutama tambak dengan

nilai total alkalinitas dibawah 75 ppm.


Menurut Mintardji (1984), ikan tumbuh pada kisaran alkalinitas yang

tinggi, tetapi nilai 120 – 400 mg/l adalah optimal. Kadar alkalinitas yang sangat

rendah, air kehilangan kemampuan menyangga perubahan keasaman dan pH yang

berfluktuasi sangat cepat sehingga dapat menggangu kehidupan ikan budidaya.

Ikan sangat sensitif pada kondisi kadar alkalinitas yang rendah. Perairan dengan

total alkalinitas yang tinggi telah berkaitan dengan endapan batu kapur tanah.

10
Nilai kadar alkalinitas yang tinggi biasanya terdapat pada perairan dalam, dimana

penguapan konsentrasi ion perairan lebih banyak terjadi dengan alkalinitas rendah

ditemukan pada tanah berpasir dan tanah yang mengandung banyak bahan

organik. Sebagian perairan yang tercemar bahan organik akan memiliki kadar

alkalinitas yang rendah basa umumnya rasa seperti sabun, suatu zat yang dapat

mengubah lakmus merah menjadi biru, serta senyawa yang mengandung gugusan

hirdroksil (OH).

2.1.3. Parameter biologi


a. produktifitas primer

Produktivitas primer merupakan laju penyimpanan energi radiasi matahari

oleh organisme produsen dalam bentuk bahan organik melalui proses fotosintesis

oleh fitoplankton. Dalam tropik level suatu perairan fitoplankton merupakan

produsen utama perairan (Odum, 1996). Produktivitas primer sering diasumsikan

sebagai jumlah karbon yang terdapat dalam material hidup. Tinggi rendahnya

produktivitas primer dapat diketahui dengan melakukan pengukuran biomassa

plankton (fitoplankton) dan klorofil-a (Baksir,1999).

Menurut Andriani (2006), produktivitas suatu perairan ditentukan oleh

beberapa faktor meliputi cahaya, nutrien, suhu, jenis fitoplankton. Ketersediaan

cahay secara kuantitatif dan kualitatif tergantung pada waktu (harian, musiman,

tahunan), letak geografis, kedalaman, awan, inklinasi matahari, material terlarut

dalam air, partikel tersuspensi dalam air. Intensitas cahaya mempengaruhi tinggi

rendahnya aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton. Pengaruh intensitas cahaya

terhadap aktivitas fotosintesis dapat ditunjukkan dalam grafik kuadratik, yang

berarti jika intensitas cahaya terlalu tinggi akan mengurangi produksi energi oleh

11
fotosintesis. Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh

kandungan nutrien di dalam badan perairan. Laju pertumbuhan fitoplankton

tergantung pada ketersediaan nutrien, terutama unsur N dan P.

Menurut Effendi (2003), suhu secara langsung maupun tidak langsung

berpengaruh terhadap produktivitas primer suatu perairan. Secara langsung, suhu

perperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis.

Sedangkan secara tidak langsung suhu berperan dalam membentuk stratifikasi

kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal

fitoplankton. Tingginya suhu memudahkan penyerapan nutrien bagi fitoplankton.

II.2. Kualitas Tanah

II.2.1. Parameter fisika

a. warna tanah

Menurut Arabia et al. (2012), warna tanah merupakan sifat morfologi

tanah yang paling mudah dibedakan. Warna merupakan petunjuk untuk beberapa

sifat tanah. Tanah dengan drainase jelek atau sering jenuh air berwarna kelabu dan

menunjukkan adanya reduksi. Menurut taksonomi tanah, warna tanah digunakan

sebagai penciri suatu horison, tanah dengan regim kelembaban akuik yang kuat

(tereduksi) mempunyai kroma rendah (≤ 2) dan value tinggi (≥ 4).

Warna tanah merupakan morfologi tanah yang dapat disidik dan diukur.

Warna tanah merupakan alat yang dapat digunakan untuk membedakan horizon-

horizon tanah dari satu profil secara cepat. Warna tanah merupakan pernyataan

tentang jenis dan kadar bahan organik, keadaan pengatusan dan aerasi tanah yang

berhubungan dengan hidratasi, oksidasi dan proses pencucian, tingkat

12
perkembangan tanah, kadar air tanah termasuk pula dalamnya permukaan air

tanah, dan atau adanya bahan bahan tetentu. Warna tanah dipengaruhi oleh empat

jenis bahan, yaitu senyawa-senyawa besi, senyawa mangan dan magnesium,

kuarsa dan feldspar, dan bahan organik (Rajamuddin, 2009).

b. tekstur tanah

Menurut Rajamudiin (2009), tekstur tanah ialah perbandingan relatif tiga

golongan besar fraksi tanah (pasir, debu dan lempung) dalam suatu massa tanah.

Fraksi tanah dikelompokkan berdasar atas ukuran tertentu, fraksi tanah ini dapat

kasar ataupun halus. Pola sebaran fraksi tanah pada masing-masing horizon

memberikan ciri yang berbeda yakni semakin dalam jeluk maka tekstur tanah

semakin halus. Perbedaan pola sebaran fraksi tanah ini mengindikasikan bahwa

proses pedogenesis tidak berjalan sama dan adanya perbedaan faktor lingkungan.

Hal ini mungkin disebabkan karena penggenangan dan pelumpuran yang

menyebabkan partikel-partikel halus dalam lumpur akan bergerak kebawah

bersama air perkolasi sehingga terjadi pemindahan partikel-partikel tanah baik

fraksi pasir, debu dan lempung.

13
Gambar 1. Segitiga Tekstur Tanah

(Sumber: Ritung et al., 2007)

Tekstur tanah sangat mempengaruhi sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi

tanah, seperti berat isi (bulk density), permeabelitas, kadar air, daya adsorpsi, dan

kemudahan tanah untuk diolah. Tekstur tanah-tanah dari batuan tuf/abu volkan

muda bervariasi dari bedebu hingga berpasir, tergantung pada sifat bahan volkan

yang dierupsikan (Hikmatulloh, 2009).

II.2.2. Parameter kimia

a. derajat keasaman (pH)

Menurut Hanafiah (2005), menyatakan bahwa nilai pH tanah dapat

digunakan sebagai indicator kesuburan kimiari tanah, karena dapat mencerminkan

ketersediaan hara dalam tanah tersebut. pH optimum untuk ketersediaan hara

dalam tanah tersebut. pH optimum untuk ketersediaan unsure hara tanah adalah

sekitar 7.0 karena pada pH ini semua untuk ketersediaan secara maksimum,

14
sedangkan unsure hara mikro tidak maksimum kecuali Mo, sehingga

kemungkinan terjadinya toksistas unsure mikro kecuali Mo sehingga

kemungkinan terjadinya toksitas unsure mikto tertekan.

Menurut Sunarmi (2006), untuk pengetahuan mengetahui reaksi tanah

(pH) ini penting sekali karena banyak pertimbangan dalam pemupukan,

pengapuran dan perbaruan keadaan kimia dan fisika tanah, terdapat dua jenis

reaksi tanah atau keasaman taman yaitu keaman aktif dan potensial.

Pengukuran pH tanah di lapangan dengan prinsip kolorimetri

menggunakan indikator (larutan, kertas pH) yang menunjukkan warna tertentu

pada pH yang berbeda. Saat ini sudah banyak dibuat pH meter jinjing (portable)

yang dapat dibawa ke lapangan. Ada beberapa tipe pH-meter yang dilengkapi

dengan elektroda yang secara langsung dapat digunakan untuk mengukur pH

tanah, tetapi dengan syarat kandungan lengas pada saat pengukuran cukup tinggi

(Kandungan lengas maksimum atau mungkin kelewat jenuh). Keasaman tanah

disebabkan oleh ion H+ yang dihasilkan pada saat terjadi pelindian kation-kation

dalam tanah. Keasamaan pH tanah mineral dipengaruhi oleh kandungan kation

dalam bantuan induk. Kation-kation tersebut dilepaskan pada saat terjadi

pelapukan dan KTK dari koloid tanah dijenuhi oleh kation sampai konsentrasi

tertentu. Faktor lain seperti iklim, perkembangan tanah, dan lain-laim juga akan

berpengaruh pada pH tanah (Sutanto, 2005).

15
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kualitas Air dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kualitas Air


No. Nama Alat Kegunaan
Sebagai wadah air sampel dalam
1. Botol BOD 125 ml pengukuran oksigen terlarut dan
produktivitas primer
Sebagai wadah air sampel dalam
2. Botol COD 125 ml
pengukuran produktivitas primer
3. Oven Sebagai alat pengering tanah
4. Erlenmeyer 250 ml Sebagai wadah titrat
5. Tabung reaksi Sebagai wadah larutan
Sebagai wadah untuk mengukur
6. Gelas ukur 100 ml
jumlah larutan
Sebagai wadah untuk mengukur
7. Gelas ukur 1000 ml
jumlah larutan
Sebagai wadah untuk pengukuran pH
8. Gelas bekker
tanah
Sebagai pengambil larutan dengan
9. Pipet hisap
jumlah besar
10. Pengaduk kaca Sebagai pengaduk
11. pH universal Sebagai alat pengukur pH
Sebagai wadah tanah yang akan
12. Mangkok porselen
dihaluskan
13. Sieve shaker Sebagai penyaring
14. Timbangan elektrik Sebagai alat penimbang tanah
Lanjutan Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kualitas Air
No. Nama Alat Kegunaan
Sebagai alat untuk menghaluskan
15. Mortar porselen
tanah
16. Termometer raksa Sebagai pengukur suhu perairan
17. Secchi disc Sebagai pengukur kecerahan dan

16
kedalaman
18. Kalkulator Sebagai alat untuk menghitung
19. Bola arus Sebagai pengukur arus
20. Tisu gulung Sebagai lap
Sebagai alat dalam pengukuran sisa
21. Kuas lukis
tanah yang tidak tersaring
22. Botol cuka Sebagai wadah reagen
23. Spuit suntik Sebagai alat titrasi
Sebagai alat pengambil larutan dalam
24. Pipet tetes
jumlah sedikit
25. Paralon diameter 8-10 cm Sebagai alat pengambil tanah
26. Saringan tepung Sebagai penyaring
27. Kamera digital Sebagai alat dokumentasi
Sebagai wadah tanah yang telah
28. Aluminium foil
disaring
Sebagai tiang untuk menggantungkan
29. Tiang pancang/kayu 1,5 m botol BOD dan COD di badan
perairan
30. Kertas label besar dan kecil Sebagai penanda
31. Plastik hitam Sebagai penutup botol BOD

3.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kualitas Air dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kualitas Air


No Bahan Kegunaan
1. Larutan MnSO4 Sebagai reagen pengukuran DO
2. Larutan NaOH dalam KI Sebagai reagen pengukuran DO
3. Larutan H2SO4 Sebagai reagen pengukuran DO
4. Larutan Na2S2O3 0,025 N Sebagai titran pengukuran DO
5. Larutan Amilum Sebagai indikator pengukuran DO
Sebagai indikator pengukuran CO2
6. Larutan indikator PP
dan alkalinitas
7. Larutan Na2CO3 0,045 N Sebagai titran pengukuran CO2
8. Larutan HCl 0,025 N Sebagai titran pengukuran alkalinitas
Sebagai indikator pengukuran
9. Larutan indikator MO
alkalinitas
10. Aquades 5 liter Sebagai pelarut

17
3.2. Metode

3.2.1. Pengukuran parameter fisika air

a. suhu air

Metode yang digunakan dalam pengukuran suhu air adalah sebagai

berikut:

1. Mengikat termometer dengan tali rafia dikedua ujungnya.

2. Memasukkan termometer ke dalam badan perairan.

3. Membaca skala pada termometer dengan posisi termometer didalam badan

perairan.

b. kecerahan dan kedalaman

Metode yang digunakan dalam pengukuran kecerahan dan kedalaman

adalah sebagai berikut :


1. Mengukur kecerahan perairan menggunakan secchi disk yang dimasukkan ke

dalam perairan secara perlahan.


2. Membaca skala pada tongkat secchi disc saat samar-samar dan tidak terlihat.
3. Hasil pembacaan skala kecerahan kemudian dimasukkan ke dalam rumus:

K= K1+K2

4. Mengukur kedalaman dengan memasukkan tongkat secchi disk hingga

menyentuh dasar perairan.


5. Membaca skala pada tongkat secchi disc.

c. warna air

Metode yang digunakan dalam pengamatan warna air adalah sebagai

berikut:

1. Mengambil sampel air dari badan perairan.

2. Mengamati warna air dengan dilihat secara organoleptik.

18
d. bau

Metode yang digunakan dalam pengamatan bau air adalah sebagai berikut:

1. Mengambil sampel air dari badan perairan.

2. Membaui dan deskripsikan bau air sampel.

e. arus

Metode yang digunakan dalam pengukuran kecepatan arus suatu perairan

adalah sebagai berikut:

1. Siapkan bola arus berupa buah jeruk yang diikat dengan tali raffia yang kuat.
2. Ukur kecepatan arus pada inlet serta outlet badan perairan.
3. Menghitung kecepatan arus dengan stop wacth hingga posisi raffia menegang

lurus.
4. Masukkan ke dalam rumus:
v (cm/s) = s
t

3.2.3. Pengukuran parameter kimia air

a. derajat keasaman (pH)

Metode yang pengukuran derajat keasaman (pH) perairan adalah sebagai

berikut:

1. Mengambil sampel air, meletakkan pada wadah.


2. Mencelupkan sedikit bagian kertas indikator universal pada air sampel.
3. Mengangkat kertas indikator universal, dan mengamati perubahan warnanya.
4. Mencocokan warna yang timbul dengan indikator yang tersedia.

b. oksigen terlarut

Metode yang digunakan dalam pengukuran oksigen terlarut adalah sebagai

berikut:
1. Mengambil sampel air dengan menggunakan botol BOD 125 ml.
2. Menambahkan 1 ml MnSO4 dan 1 ml NaOH dalam KI lalu menutup botol

dan menggojoknya hingga larutan mengendap.

19
3. Melakukan penambahan 1 ml H2SO4 pekat kemudian menutup botol BOD

dan mengocoknya sampai larutan berwarna kuning tua.


4. Mengambil 50 ml sampel ke dalam erlenmeyer 250 ml kemudian melakukan

titrasi dengan 0,025 N Na2S2O3 hingga larutan berwarna kuning muda.


5. Menambahkan 2 tetes amilum, apabila timbul warna biru kemudian

melanjutkannya dengan titrasi Na2S2O3 0,025 N hingga bening.


6. Membaca skala penurunan reagen yang digunakan dalam spuit suntik dan

memasukkan dalam rumus:


DO (mg/l) = ml titran x N titran x 8 x 1000
ml sampel

c. karbondioksida

Metode yang digunakan dalam pengukuran karbondioksida adalah sebagai

berikut:
1. Mengambil 50 ml sampel air dan memasukkan ke dalam tabung erlenmeyer.
2. Melakukan penambahan 2 tetes indikator PP, apabila setelah penambahan

indikator PP warna larutan sampel menjadi merah muda, maka

karbondioksida mendekati 0.
3. Apabila tidak didapatkan warna merah muda, melakukan titrasi dengan 0,045

N Natrium Karbonat (Na2CO3) hingga warna merah muda.


4. Membaca skala penurunan reagen yang digunakan dalam spuit suntik.

Memasukkan dalam rumus:


CO2 (mg/l) = ml titran x N titran x 8 x 1000
ml sampel

d. alkalinitas

Metode yang digunakan dalam pengukuran alkalinitas adalah sebagai

berikut:
1. Mengambil 50 ml sampel air dan dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer

setelah ditambahkan dengan 2 tetes PP, maka akan terjadi dua kemungkinan

yaitu berwarna merah muda dan tidak merah muda.


2. Bila terjadi perubahan menjadi warna merah muda. Maka akan melanjutkan

mentitrasi menggunakan 0,025 N HCl hingga warna merah muda hilang.

20
Menggunakan jumlah hasil titrasi HCl tersebut sebagai A dan memasukkan

kedalam rumus. Setelah itu tambahkan 2 tetes indikator MO dan dititras

kembali menggunakan 0,025 N HCl hingga menjadi merah seulas.Jumlah

titrasi yang digunakan adalah sebagai nilai B.


3. Bila tidak berwarna merah, dilanjutkan dengan menambah 2 tetes indikator

MO, kemudian menggunakan larutan yang menggunakan larutan 0,025 N

HCL hingga warna larutan menjadi merah seulas. Setelah mendapatkan hasil

dari uji masukkan hasil titrasi HCl ke nilai B. hasil dari nilai uji Alkalinitas

dimasukkan kedalam rumus Alkalinitas. Air sampel yang menjadi warna

merah muda menggunakan rumus sebagai berikut:

P (total) = A x N HCL x 50 x 1000

ml sampel

Sedangkan untuk air sampel yang tidak menghasilkan warna merah muda

menggunakan rumus sebagai berikut:

P (parsial) = A x N HCL x 50 x 1000

ml sampel

3.2.4. Pengukuran parameter biologi air

a. produktivitas primer

Metode yang digunakan dalam pengukuran produktivitas primer adalah

sebagai berikut:

1. Mengambil air sampel dengan menggunakan botol BOD (terang) dan COD

(gelap).

2. Memasukkan botol tersebut ke dalam kolam dan rendam selama 4 jam.

3. Mengambil botol setelah 4 jam lalu ukur oksigen terlarutnya.

21
4. Perhitungan PP, dilakukan berdasarkan perbedaan kelarutan oksigen di botol

gelap dan botol terang dengan rumus:

PP (grC/m3/jam)= BT-BG x 12 x 1000

X 32 pq

3.2.5. Pengukuran parameter fisika tanah

a. warna tanah

Metode yang digunakan dalam pengamatan warna tanah adalah sebagai

berikut:
1. Ambil sampel tanah dari substrat perairan.
2. Amati organoleptiknya, ditentukan dengan mencatat warna secara

organoleptik. Kriteria warna tanah:


a) Warna hitam, gelap, kelabu tua di sebabkan oleh kandungan bahan

organik yang tinggi dan bahan induk dari kapur.


b) Warna merah sampai kuning coklat disebabkan oleh kuarsa bervalensi

3 (ferri).
c) Warna pitih sampai pucat disebabkan oleh kuarsa besi, bahan organik

dan garam-garam lainnya.

b. tektur tanah

Metode yang digunakan dalam pengukuran tekstur tanah adalah sebagai

berikut:
1. Teknik Lapangan
a) Mempersiapkan alat untuk mengambil sampel tanah (paralon

berdiameter 5 cm).
b) Memasukan paralon sedlam 30 cm ke dalam tanah yang agak lunak
c) Mengambil sampel tanah yang ada dalam paralon, kemudian di

keringkan dengan dianginkan.


d) Sampel tanah siap untuk analisa laboratorium.
2. Teknik Laboratorium
a) Sampel tanah dikeringkan dengan oven sampai beratnya stabil (3 kali

waktu pengukuran sama beratnya).


b) Setelah kering, sampel tanah di tumbuk dengan mortar sampai halus.

22
c) Menimbang sampel yang telah disaring sebanyak 25 gram dan di

masukkan dalam cawan alumunium foil.


d) Melakukan penyaringan basah dengan saringan 250 µm, yakni dengan

menuangkan 1 liter air ke dalam saringan dengan perlahan-lahan.

Tanah yang disaring di masukkan dalam gelas ukur berisi 1 liter air.
e) Sisa tanah yang tidak tersaring di masukkan dalam cawan dan di oven

sampai kering, kemudian disaring dengan sieve shaker (penyaring

betingkat dengan ukuran saringan 850 µm; 425 µm; 300 µm; 250 µm;

150 µm; 75 µm). Tanah yang lolos dimasukkan dalam gelas ukur 1

liter diatas.
f) Tanah-tanah yang tidak tersaring pada masing-masing saringan di

timbang menurut ukuran saringannya. Berat total tiap saringan

merupakan berat sand (pasir).


g) Langkah selanjutnya adalah melakukan pemipetan pada tanah yang

telah dimasukkan dalam gelas ukur.

Langkah-langkah pemipetan adalah sebagai berikut:

1. Gelas ukur di gojog (dibolak-balikan).


2. Pemipetan I di lakukan setelah 58 detik. Pipet hisap dimasukkan sedalam 20

cm dan menghisap air sebanyak 20 ml kemudian dimasukkan ke dalam cawan

A.
3. Pemipetan II dilakukan setelah 1 menit 56 detik. Pipet hisap dimasukkan

sedalam 10 cm dan menghisap air sebanyak 20 ml kemudian dimasukkan ke

dalam cawan B.
4. Pemipetan III dilakukan setelah 7 menit 44 detik. Pipet hisap dimasukkan

sedalam 10 cm dan menghisap air sebanyak 20 ml kemudian di masukkan ke

dalam cawan C.

23
5. Pemipetan IV dilakukan setelah 31 menit. Pipet hisap dimasukkan sedalam 10

cm dan menghisap air sebanyak 20 ml kemudian di masukkan ke dalam

cawan D.
6. Pemipetan V dilakukan setelah 2 Jam 3 menit. Pipet hisap dimasukkan

sedalam 10 cm dan menghisap air sebanyak 20 ml kemudian di masukkan ke

dalam cawan E.
7. Cawan A, B, C, D, dan E di oven sampai kering dan kemudian di timbang.
Perhitungan tekstur tanah
1. Fraksi pasir
Didapatkan dari hasil penimbangan sampel tanah yang tidak lolos pada

masing-masing tingkat saringan yang berbeda pada sieve shaker kemudian

dijumlahkan (berat total).


Presentase Fraksi Pasir = Berat Total (gr) x 100 %
25

2. Fraksi lempung

Didapatkan dari hasil pemipetan sebanyak 5x dengan waktu yang berbeda.

Masing-masing sampel yang telah dioven kemudian ditimbang beratnya lalu

dikonversikan dengan mengalikan 50. Berat total fraksi lempung adalah

jumlah berat masing-masing sampel tanahsetelah dikonversikan misalnya:

Hasil pemipetan I sebanyak A gram, kemudian dikonversikan sehingga

didapat A’. Begitu selanjutnya hingga sampel terakhir. Berat total fraksi

lempung: (A’-B’) + (B’-C’) + (C’-D’) + (D’-E’)

Presentase Fraksi Lempung = Berat Total (gr) x 100 %

25

Presentase fraksi Liat = 100 % - (%) Fraksi Pasir – (%) Fraksi Lempung

3.2.6. Pengukuran parameter kimia tanah

a. derajat keasaman (pH)

24
Metode yang digunakan dalam pengukuran derajat keasaman (pH) tanah

adalah sebagai berikut:

1. Mengambil tanah kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan

elektrik sebanyak 100 gram.

2. Masukan tanah sebanyak 20 gram ke dalam gelas beker 500 m.

3. Menambahkan aquades ke dalam gelas beker sampai volume menjadi 250 ml.

4. Aduk tanah tersebut dengan menggunakan stirrer selama 30-60 menit sampai

tercampur.

5. Setelah selesai pengadukan kemudian mengukur nilai pH tanah dengan pH

paper (kertas pH), Itu merupakan nilai dari pH tanah yang didapatkan dari

pengukuran.

25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. parameter fisika air

Tabel 1. Hasil pengamatan parameter fisika air :


No Parameter Pengukuran
Inlet Outlet
1. Suhu air 30°C 30°C

2. Kecerahan 20 25

3 Kedalaman 40 50

4. Warna Keruh Keruh

5. Bau Tanah Tanah

6. Arus 0 0

4.1.2. parameter kimia air

Tabel 2. Hasil pengamatan perameter kimia air :


No Parameter Pengukuran
Inlet Outlet
1. Derajat keasaman (pH) air 7 7

2. Oksigen terlarut 2,2 mg/l 2,8 mg/l

3. Karbondioksida 0,2 mg/l 0,1 mg/l

4. Alkalinitas 14,5 12,5

26
4.1.3. parameter fisika tanah

Tabel 3. Hasil pengamatan kualitas tanah :


No Parameter Pengukuran

1. Warna tanah Abu-abu

2. Tekstur tanah Jenis tanah : Fraksi pasir : 13,04 %


Fraksi lempung :10 %
Liat Fraksi liat :76,96 %

4.1.4. parameter kimia tanah

Tabel 4. Hasil pengamatan parameter kimia tanah :

No Parameter Pengukuran

1. Derajat keasaman (pH) tanah 7

4.1.5. Parameter biologi

Tabel 5. Hasil pengamatan parameter biologi :

No Parameter Pengukuran

1. Produktivitas Primer (PP) Tidak dilakukan

pengukuran

4.2. Pembahasan

27
4.2.1. pengukuran parameter fisika air

a. suhu air

Berdasarkan praktikum mata kuliah Manajemen Kualitas Air yang telah

dilakukan, Suhu yang diukur adalah suhu air. Pengukuran suhu perairan dapat

dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengukuran di lakukan pada dua

titik yaitu titik saluran outlet dan saluran inlet. Cuaca pada saat pengukuran suhu

dalam keadaan mendung dan hujan. Hasil pengukuran pada suhu , diperoleh suhu

pada saluran inlet dengan angka 30oC dan pada saluran outlet dengan angka 30oC,

suhu antara outlet dan inlet tidak terjadi perubahan karena kondisi perairan yang

diukur tidak terlalu luas sehingga suhu yang di peroleh tidak terlalu berbeda jauh.

Suhu pada perairan kolam tersebut sesuai untuk kegiatan budidaya, karena kondisi

suhu yang cocok untuk budidaya ikan air tawar adalah berkisar antara 27 oC-30 oC

Hal ini diperkuat oleh Tatangindatu et al., (2013), menyatakan bahwa kisaran

suhu untuk kegiatan budidaya air tawar adalah deviasi 3 sedangkan toleransi suhu

perairan yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal dari beberapa ikan

budidaya air tawar seperti mas dan nila adalah 280C. Berdasarkan pengukuran

dilapangan, suhu tertinggi berada di titik 1 minggu pertama pada kedalaman 0,5 m

dari permukaan air dengan nilai 28,2 0C dan suhu terendah berada di titik 1 dan 2

minggu ke ketiga pada kedalaman 0,5 m dari dasar danau yaitu 25,5 0C. Suhu

mempunyai peranan penting dalam menentukan pertumbuhan ikan yang

dibudidaya, kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal adalah 28


0
C – 32 0C.

Menurut Bustaman et al. (2009), bahwa suhu di perairan kolam H-2 sudah

optimal sebagai kolam pembenihan ikan Nila karena tidak terjadi perubahan suhu

28
udara yang drastis. Tindakan cepat dilakukan untuk mencegah terjadinya

fluktuasi suhu, karena dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan benih

nila, mempengaruhi pH dan oksigen terlarut.

b. kecerahan dan kedalaaman

Berdasarkan praktikum mata kuliah Manajemen Kualitas Air yang telah

dilakukan, yaitu pada pengukuran parameter fisika, pada pengukuran kecerahan

ini di lakukan pengukuran pada saluran inlet dan saluran outlet. Variabel

kecerahan diperoleh hasil nilai pada inlet adalah 20 cm, sedangkan nilai

kecerahan pada outlet adalah 25 cm. berdasarkan hasil tersebut baik untuk

dijadikan kegiatan budidaya ikan karena pada kecerahan tersebut proses

fotosintesis dapat terjadi secara baik. Hal ini diperkuat oleh Pujiastuti et al.,

(2013), bahwa parameter kecerahan dapat dijadikan untuk mengetahui sampai

dimana proses asimilasi dapat berlangsung di dalam air. Air yang tidak terlampau

keruh dan tidak terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik

adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Hasil

pemeriksaan laboratorium nilai kecerahan dari tahun 1995 – 1999 berkisar antara

98,2 – 102 cm, tahun 2002 sebesar 84 cm (Pujiastuti, 2003), 82,2 cm (Pujiastuti,

2009) dan pada penelitian ini berkisar antara 40-82 cm.

Kecerahan memiliki pengaruh besar terhadap biota yang hidup di dalam

perairan tersebut. Karena berhubungan erat terhadap penyinaran matahari.

Penyinaran matahari merupakan hal yang penting di dalam proses fotosintesis.

Hasil dari proses fotosintesis sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup biota

di dalamnya. Hal ini diperkuat oleh Sutisna dan Ratno (2010), bahwa kecerahan

air sangat erat hubungannya dengan adanya radiasi matahari (penyinaran

29
matahari). Pada kolam pemijahan, kolam penetasan telur, dan kolam perawatan

larva, kecerahan air harus diperhatikan dan diusahakan lebih besar dari 10 %

penetrasi matahri sampai dasar perairan. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap

pembuahan telur, penetasan telur, dan kehidupan larva sebelum dipindahkan ke

kolam pendederan. Air yang keruh apalagi yang disebabkan oleh lumpur akan

menghambat sperma dalam membuahi telur saat terjadinya pemijahan, dapat

membungkus telur sehingga akan tumbuh jamur, menganggu proses penetasan

telur serta akan mengganggu pernafasan larva. Pada kolam pendederan kecerahan

dapat dipengaruhi oleh bahan organik berupa plankton, zooplankton atau bahan

organik lainnya seperti lumpur serta bahan-bahan yang terlarut lainnya.

Kecerahan air mempunyai pengaruh langsung terhadap pernafasan benih. Apabila

didominasi oleh plankton, maka akan terjadi persaingan oksigen pada waktu

malam hari, serta dapat mengurangi penetrasi cahaya yang masuk dalam perairan.

Berdasarkan pengukuran parameter fisika variabel kedalaman, pengukuran

kedalaman di ukur pada saluran inlet dan saluran outlet. Pada saluran inlet di

peroleh nilai 40 cm dan nilai kedalaman pada outlet yaitu 50 cm, dapat diketahui

bahwa kedalaman pada kolam tersebut tidak begitu berbeda jauh. Hal ini

menunjukkan bahwa kedalaman sesuai untuk kegiatan budidaya ikan karena pada

kedalaman tersebut intensitas cahaya masih dapat masuk ke dalam perairan

sehingga memungkinkan adanya plankton untuk hidup di perairan tersebut.

Kedalaman kemungkinan dipengaruhi oleh arus pada kolam budidaya yang stabil

sehingga tidak membawa terlalu banyak substrat. Hal ini diperkuat oleh Kordi dan

Andi (2009), menyatakan bahwa kedalaman air yang tinggi berarti volume air

yang dapat ditampung alam suatu tambak juga meningkat. Volume air yang

30
semakin besar itu berarti ruang gerak bagi ikan pun semakin besar. Ini berarti ikan

mempunyai kemungkinan bergerak secara bebas tanpa dibatasi oleh kekurangan

air. Karena sekaligus menjadi media hidup plankton, maka volume air yang

cukup tentu juga akan menguntungkan plankton tersebut. Selain itu volume air

yang besar memungkinkan untuk meningkatkan populasi penebaran ikan.

Kedalaman pada kolam yang di amati tidak > dari 1 m sehingga masih

dapat terjadi fotosintesis karena semakin dalam suatu perairan maka semakin

sedikit jumlah kandungan oksigen terlarut dalam suatu perairan. Hal ini diperkuat

oleh Augusta dan Saptami (2014), menyatakan bahwa ada hubungan antar

parameter, yaitu apabila kedalaman meningkat, maka ada kecenderungan pH akan

turun, kecerahan rendah, suhu rendah, dan klorofil-a juga rendah. Permukaan air

sangat mempengaruhi variasi dari masing-masing parameter mulai dari aspek

kedalaman (water level). Dari data matrik juga terlihat hubungan satu sama lain

antar variabel.

c. warna air

Berdasarkan pengamatan warna air yang kami amati, warna air diamati

secara organoleptik yaitu warna coklat. Warna air tingkat kepekatannya sendiri

berkaitan erat dengan kecerahan sebuah kolam budidaya. Menurut Supono dan

Subandiyono (2008), turbiditas kolam dan warna air disebabkan oleh koloid dari

partikel-pertikel lumpur, organik tcrlarut dan yang paling besar disebabkan oleh

densitas plankton. Warna air dipengaruhi oleh komposisi dan kelimpahan

plankton, sedangkan kekeruhan dipengaruhi oleh bahan organik dan anorganik

yang tersuspensi dan terlarut dalam air, baik berupa lumpur, pasir halus, plankton,

31
dan mikroorganisme lainnya. Turbiditas (kekeruhan) akan menurunkan

kemampuan air untuk meneruskan cahaya kedalamnya.

d. bau

Berdasarkan kegiatan praktikum Manajemen Kualitas Air yang telah

dilakukan yaitu bau yang dihasilkan pada kolam budidaya yaitu bau tanah. Hal

tersebut menandakan air pada kolam tersebut tidak mengalami pencemaran

sehingga perairan tersebut baik bagi kegiatan budidaya. Adapun perairan yang

tercemar biasanya ditandai dengan bau busuk. Bau busuk tersebut terjadi

disebabkan karena ammonia maupun sulfit. Hal tersebut diperkuat pula oleh

Fardiaz (1992) bahwa bau air tergantung dari sumber airnya. Bau air dapat

disebabkan oleh bahan-bahan kimia, ganggang, plankton, atau tumbuhan dan

hewan air, baik yang hidup maupun yang sudah mati. Air yang berbau sulfit dapat

disebabkan oleh reduksi sulfat dengan adanya bahan-bahan organic dan

mikroorganisme anaerobik.

Menurut Silalahi (2009), bahwa pencemaran badan air yang disebabkan

oleh unsur hara yang berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi. Biomassa dari

vegetasi ini setelah mati akan mengalami proses pembusukkan atau dekomposisi

yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara aerob, artinya proses tersebut

membutuhkan oksigen terlarut. Hal ini mengakibatkan ketersediaan akan oksigen

terlarut semakin sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus berlangsung dapat

menimbulkan kondisi aerob. Karena kandungan oksigen terlarut telah habis maka

proses penguraian akan berjalan secara anaerob yang menghasilkan berbagai

senyawa yang bersifat toksik dan menimbulkan bau yang busuk, seperti amoniak.

e. arus

32
Berdasarkan kegiatan praktikum Manajemen Kualitas Air yang telah

dilakukan yaitu arus yang terdapat pada saluran inlet maupun saluran outlet adalah

sebesar 0 m/s. Hal tersebut disebabkan karena saat pengukuran dengan

menggunakan bola arus hingga 5 menit tali raffia tidak meregang dengan

sempurna. Hasil pengukuran kecepatan arus tersebut kurang baik bagi kegiatan

budidaya. Kecepatan arus yang lambat tidak dapat mengangkut partikel-partikel

pada perairan seperti partikel debu, pasir, maupun liat. Akibatnya partikel-partikel

tersebut akan menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan. Hal tesebut diperkuat

oleh Rahman (2009), bahwa sedimentasi akan lebih mudah terjadi pada perairan

yang memiliki arus tenang dan cenderung stagnan sehingga hanya dapat

membawa partikel yang lebih ringan yaitu debu dan liat. Sementara pasir tidak

akan dapat terbawa oleh arus tersebut. Hal ini karena tekstur liat dan debu

memiliki ukuran, massa dan diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan pasir

sehingga lebih mudah terbawa oleh arus.

Kecepatan arus yang lambat juga kurang dapat menyuplai DO (dissolved

oxygen). Hal tersebut diperkuat oleh Affianto dan Evi (1993) dalam

Wahyuningsih Supriharti (2004) bahwa arus yang cukup deras memungkinkan

adanya tambahan oksigen terlarut dari udara akibat adanya gerakan atau arus.

Selain itu kecepatan arus tersebut kurang dapat mengasimilasi nutrient dengan

baik. Selain itu kecepatan arus tersebut tidak dapat mengangkut dengan baik

bahan pencemar yang terdapat dalam wadah budidaya termasuk sisa-sisa pakan

maupun feses yang terakumulasi di dalam wadah budidaya tersebut. Menurut

Effendi (2003) bahwa kecepatan arus (velocity/flow rate) suatu badan perairan

sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air tersebut untuk mengasimilasi

33
dan mengangkut bahan pencemar. Pengetahuan akan kecepatan arus digunakan

untuk memperkirakan kapan bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu

apabila bagian hulu suatu badan air mengalami pencemaran.

4.2.3. pengukuran parameter kimia air

a. derajat keasaman (pH)

Berdasarkan praktikum mata kuliah Manajemen Kualitas Air yang telah

dilakukan, pengukuran pH pada saluran inlet dan salurab outlet sama-sama

menghasilkan nilai 7. Nilai ini berarti bahwa air dalam tambak tersebut bersifat

netral (tidak asam maupun basa), cocok untuk berbudidaya, dan pertumbuhan ikan

akan optimal. Menurut Kordi dan Andi (2009), pH air mempengaruhi tingkat

kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam

akan kurang produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah

(keasaman tinggi), kandungan oksigan terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya

konsumsi oksigen menurun, aktivitas naik dan selera makan akan berkurang. Hal

ini sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha budidaya

perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 – 9.0 dan kisaran optimal

adalah pH 7,5 – 8,7.


b. oksigen terlarut

Berdasarkan praktikum mata kuliah Manajemen Kualitas Air yang telah

dilakukan,didapatkan hasil D0 dari Inlet sebesar 2,2 mg/l dan pada outlet

didapatkan hasil dari DO yaitu sebesar 2,8 mg/l, dari hasil tersebut diperoleh

hasil bahwa kandungan DO pada perairan tersebut mengalami peningakatan dari

saluran Inlet dan Outlet.Berdasarkan hasil DO yang telah di dapatkan dapat

diketahui bahwa kolam budidaya tersebut kurang layak untuk digunakan dalam

kegiatan budidaya ikan.Besarnya kandungan oksigen yang perlu dipertahankan

34
untuk menjamin kehidupan ikan yang baik adalah tidak kurang dari 3 ppm. Jika

kandungan oksigen turun menjadi kurang dari 2 ppm, beberapa jenis biota yang

hidup di perairan akan mengalami kematian. Menurut Kordi (2009), bahwa

beberapa jenis ikan air tawar mampu bertahan hidup pada perairan dengan

konsentrasi oksigen kurang dari 3 mg/l, konsentrasi minimum yang masih dapat

diterima sebagian besar spesies biota air budidaya untuk hidup dengan baik adalah

5 mg/l. Pada spesies biota budidaya untuk hidup dengan baik adalah 5 mg/l. Pada

perairan dengan konsentrasi oksigen dibawah 4 mg/l, beberapa jenis ikan masih

mampu bertahan hidup, tetapi nafsu makannya mulai menurun. Untuk itu

konsentrasi oksigen yang baik dalam budidaya perairan adalah 5-7,5 mg/l.

Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam air, di perairan

kadar oksigen yang larut sangat bervariasi ini di sebabkan dari faktor suhu,

salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Apabila suhu dan ketinggian

(altitude) besar dan tekanan atmosfer kecil maka oksigen terlarut semakin kecil

kadarnya. Kadar oksigen terlarut di perairan dipengaruhi juga dengan kegiatan

fotosintesis, dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik. Tanaman

air yang memerlukan CO2 dalam proses fotosintesis yang kemudian akan

menghasilkan oksigen namun dalam kegiatan dekomposisi dan oksidasi kadar

oksigen yang terlarut dapat berkurang.Menurut Supono et al. (2008), bahwa pada

saat cuaca mendung atau hujan dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton

karena kekurangan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Kondisi ini akan

menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut karena oksigen tidak dapat

diproduksi sementara organisme akuatik tetap mengkonsumsi oksigen.

Keterbatasan sinar matahari menembus badan air dapat juga disebabkan oleh

35
tingginya partikel yang ada dalam kolom air, baik karena bahan organik maupun

densitas plankton yang terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya

fotosintesis algae yang ada di dasar tambak.

c. karbondioksida
Berdasarkan praktikum mata kuliah Manajemen Kualitas Air yang telah

dilakukan, didapatkan hasil D0 dari Inlet sebesar 2,2 mg/l dan pada outlet

didapatkan hasil dari DO yaitu sebesar 2,8 mg/l yang mengalami peningkatan

dari inlet ke outlet. Dari hasil DO yang telah di dapatkan dapat diketahui bahwa

kolam budidaya tersebut layak untuk digunakan dalam proses budidya. Secara

umum DO adalah salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Sumber DO berasal

dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh

tumbuhan air dan fitoplankton. Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air akibat

adanya gelombang atu ombak dan air terjun. Hal ini di perkuat oleh Affan (2012),

menyatakan bahwa oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di

dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen di dalam air dipengaruhi oleh suhu,

salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan menyebabkan

penurunan oksigen, begitu pula sebaliknya. Untuk bertahan hidup ikan

memerlukan kadaar oksigen 1 mg/l, namun untuk dapat tumbuh dan berkembang

minimal 3 mg/l.

Konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, makin tinggi suhu,

makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Di laut, oksigen terlarut (dissolved

oxygen / DO) berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan dari hasil proses

fotosintesis fitoplankton dan berjenis tanaman laut. Keberadaan oksigen terlarut

ini sangat memungkinkan untuk langsung dimanfaatkan bagi kebanyakan

organisme untuk kehidupan, antara lain pada proses respirasi dimana oksigen

36
diperlukan untuk pembakaran (metabolisme) bahan organik sehingga terbentuk

energi yang diikuti dengan pembentukan CO2 dan H20. Oksigen yang diperlukan

biota air untuk pernafasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah

satu faktor pembatas, sehinnga bila ketersediaannya didalam air tidak mencukupi

kebutuhan biota budidaya, maka segal aktivitas biota akan terhambat. Kebutuhan

oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan

lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang terandung pada

metabolisme ikan (Kordi, 2009).

d. Alkalinitas

Berdasarkan praktikum Manajemen Kualitas Air yang telah dilakukan,

didpatkan hasil dari nilai alkalinitas pada inlet sebesar14,5 dan pada outlet

didapatkan hasil sebesar 12,5, dimana Ph yang terkandung dalam budidaya

sebesar 7. Dari hasil di atas bisa diketahi bahwa perairan tersebut layak digunakan

dalam proses budidaya, karena pH yang terkandung di kolam budidaya tesebut

netral. Menurut Boyd (2002), bahwa alkalinitas bersifat buffer atau kapasitas

penyangga terhadap perubahan ph air sangat drastis. Pada siang sampai dengan

sore hari nilai Ph air cenderung meningkat dan total alkalinitas menurun. Hal ini

disebabkan karena pada siang sampai dengan sore hari CO2 dalam air bersifat

asam digunakan fitoplankton untuk proses fotosintesis. Sebaliknya pada malam

hari nilai Ph menurun dan total alkalinitas meningkat, dikarenakan fitiplankton

tidak aktif melakukan fotosintesis sehingga CO2 yang dihasilkan tidak

terpakai.Alkalinitas merupakan kapasitas air untuk menetralkant ambahan asam

tanpa menurunkan pH larutan. Alkalinitas merupakan buffer terhadap pengaruh

pengasaman. Dalam budidaya perairan, alkalinitas dinyatakan dalam mg/l CaCO3.

37
Penyusun utama alkalinitas adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32- ),

hidroksida (OH-) dan juga ion-ion yang jumlahnya kecil seperti borat (BO3-),

fosfat (PO43-), silikat (SiO44-) dan sebagainya.

Nilai alkalinitas berkisar antara 30-500 mg/l, nilai alkalinitas pada perairan

berkisar antara 5 mg/l hingga ratusan. Nilai alkalinitas yang alami pada perairan

400 mg/l, perairan dengan nilai >40 mg/l disebut sadah, sedangkan perairan

dengan nilai <40 disebut lunak. Ikantumbuhpadakisaranalkalinitas yang tinggi,

tetapinilai 120 – 400 mg/l adalah optimal.Kadar alkalinitas yang sangat rendah, air

kehilangan kemampuan menyangga perubahan keasaman dan pH yang

berfluktuasi sangat cepat sehingga dapat menggangu kehidupan ikan budidaya.

Ikan sangat sensitive pada kondisi kadar alkalinitas yang rendah. Perairan dengan

total alkalinitas yang tinggi telah berkaitan dengan endapan batu kapur tanah.

Nilai kadar alkalinitas yang tinggi biasanya terdapat pada perairan dalam, dimana

penguapan konsentrasi ion perairan lebih banyak terjadi dengan alkalinitas rendah

ditemukan pada tanah berpasir dantanah yang mengandung banyak bahan organik.

Sebagian perairan yang tercemar bahan organic akan memiliki kadar alkalinitas

yang rendah basa umumnya rasa seperti sabun. Suatu zat yang dapat mengubah

lakmus merah menjadi biru, serta senyawa yang mengandung gugus anhirdroksil

(OH) (Adriani, 2006).

4.2.4. parameter biologi


a. produktivitas primer
Berdasarkan praktikum Manajemen Kualitas Air di Balai Benih Ikan

Siwarak, Ungaran, pengukuran produktivitas primer perairan tidak dilakukan

untuk kelompok yang melakkukan pengukuran pada siang hari. Hal ini

38
dikarenakan keadaan saat akan dilakukan pengukuran keadaan tidak mendukung

yaitu dengan adanya hujan sehingga terdapat awan mendung yang menutupi

cahaya matahari. Oleh karenanya proses fotosintesis yang dilakukkan fitoplankton

tidak berjalan. Hal ini didukung oleh Parsons et al. (1984) bahwa faktor utama

lainnya yang mengontrol laju produktivitas primer fitoplankton di perairan adalah

cahaya. Aspek dasar dari cahaya yang penting secara biologi adalah kuantitas dan

kualitasnya. Menurut Kennish (1990), bahwa kedua karakter ini berfluktuasi di

laut, bergantung kepada waktu, ruang, kondisi cuaca, penyebaran sudut, dan

polarisasi. Menurut Lalli & Parsons (1993), Proses fotosintesis didalam perairan

hanya dapat berlangsung jika ada cahaya sampai pada kedalaman tertentu tempat

fitoplankton berada

Hutabarat dan Evans (1984), produktivitas primer perairan adalah

produktivitas fitoplankton dan tumbuhan pada kolam. Produktivitas perairan

sangat besar peranannya dalam budidaya ikan dan dipengaruhi oleh kecepatan

penguraian dari bahan-bahan organik menjadi garam mineral. Produktivitas

primer akan turun cepat sesuai dengan makin dalamnya perairan yang diikuti

dengan makin berkurangnya tumbuh-tumbuhan berklorofil. Kemudian

produktivitas primerakan berhenti pada kedalaman antara 30 – 100 m, tergantung

dalamnya suatu perairan. Menurut pendapat Kordi (2007), selain faktor

kedalaman yang mempengaruhi penurunan produktifitas faktor lain seperti

cahaya, nutrient, suhu, tingginya laju grazing (penguraian) dan sinking

(pengendapan) perairan, dan dipengaruhi oleh jenis-jenis fitoplankton.

Produktivitas perairan yang baik berkisar 50 – 300 g C/m 3/jam, hal ini

disebabkan karena laju produksi zat organik melalui fotosintesis pada kedua botol

39
(botol gelap dan botol terang) sempurna. Suplai cahaya matahari dan kekeruhan

(turbidity) akibat fitoplankton pada perairan yang cukup tinggi, sehingga nilai DO

yang didapat sepenuhnya hasil dari produktivitas primer yang dilakukan selama

pengujian dalam waktu ± 4 jam (Kordi, 2007).

4.2.5. pengukuran parameter fisika tanah


a. warna tanah
Berdasarkan hasil pengamatan tentang warna tanah yang dilakukan di

kolam budidaya BBI ungaran, didapatkan hasil bahwa warna tanah pada kolam

tersebut berwarna abu-abu. Ini menunjukkan bahwa tanah tersebut mengandung

bahan organik yang tinggi dan bahan induk dari kapur. Ini terjadi akibat adanya

proses pencampuran partikel-partikel tersuspensi dari sungai. Menurut

Hardjowigeno (1992), Pada saat-saat tertentu proses pengadukan tidak

berlangsung secara efektif. Hal ini menyebabkan partikel tersuspensi mengendap

dan membusuk akibat dekomposisi dari mikroorganisme yang bersifat anaerob.

Peristiwa membusuknya partikel-partikel ini biasanya menimbulkan perubahan

warna, menjadi warna kelabu tua atau gelap.

Selain hal tersebut, ada faktor lain yang dapat mempengaruhi substrat

perairan salah satunya adalah pakan. Pakan dapat berpengaruh pada dasar

perairan. Menurut Mamangkey dan Soeroto (2010), bahwa kegiatan budidaya

menghasilkan limbah organik (terutama pencemaran unsur nitrogen dan fosfor)

yang besar akibat pemberian pakan yang tidak efisien sehingga sisa pakan dan

kotoran ikan akan menumpuk di dasar perairan.

b. tekstur tanah
Berdasarkan hasil pengamatan tentang tekstur tanah yang telah dilakukan,

didapatkan hasil bahwa tekstur tanah pada kolam BBI (Balai Budidaya Ikan)

40
Ungaran yaitu fraksi liat. Ini menunjukkan bahwa substrat tersebut mengandung

banyak bahan organik dan ukuran partikelnya sangat halus menyebabkan air di

dalam sediment tidak mengalir keluar dan tertahan di dalam substrat. Lamanya

waktu penyimpanan air, disertai dengan amat jarangnya pergantian air dan

populasi bakteri internal yang tinggi, biasanya menghasilkan menurunnya kadar

oksigen oksigen di dalam sediment yang terletak hanya beberapa sentimeter di

bawah permukaan. Menurut Hanafiah (2005), bahwa dominasi fraksi liatakan

menyebabkan terbentuknya banyak pori-pori mikro, sehingga luas permukaan

sentuhnya menjadi sangat luas, sehingga daya pegang terhadap air sangat kuat.

Kondisi ini menyebabkan air yang ke masuk pori-pori segera terperangkap dan

udara sulit masuk. Pada kondisi lapangan, sebagian besar ruang pori terisi air,

sehingga pori-pori mikro ini disebut juga pori kapiler. Menurut Darmawijaya

(1990), tekstur tanah juga menentukan tata air dalamtanah berupa kecepatan

infiltrasi, penetrasi, dan kemampuan tanah mengikat air oleh bahan organiktanah

4.2.6. pengukuran parameter kimia tanah

a. derajat keasaman (pH)

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari praktikum Manajemen Kualitas Air

di Balai Benih Ikan Siwarak, Ungaran, nilai pH tanah sebesar 7. Dari hasil

tersebut dapat dikatakan bahwa lokasi tersebut layak untuk dilakukan kegiatan

budidaya. Nilai pH tanah minimal 5,5 (SNI 7550:2009). Nilai pH tanah sebesar 7,

menandakan bahwa proses dekomposisi bahan organik dapat berlangsung secara

optimal, hal ini karena dekomposisi dapat berlangsung optimal pada pH 6,8 – 9,2.

pH tanah dipengaruhi oleh salinitas tanah dan temperatur.


Jika pH tanah kurang dari 5,5 dapat membahayakan kultivan yang

dibudidayakan. Nilai pH yang rendah menunjukan bahwa ada pembusukan yang

41
ada didasar. Menurut Zonneveld et al., (1993) bahwa Kecenderungan nilai pH

tanah lebih rendah dari pada pH air ini mungkin disebabkan karena adanya

akumulasi zat organik berupa akar-akar kayu dan dedaunan di dasar perairan dan

yang sedang mengalami pembusukan. Proses ini akan menghasilkan CO2 yang

berpengaruh pada nilai pH dan menurunkan kandungan oksigen terlarut.


Menurut White (1978), pH tanah mempunyai sifat yang menggambarkan

aktivitas ion hidrogen. Menurut Boyd, et al., (2002), reaksi tanah dapat

mempengaruhi proses kimia lainnya seperti ketersediaan unsur hara dan proses

biologi dalam tanah. pH tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti

kandungan karbonat bebas.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapatdiambildariPraktikumManajemenKualitas Air

adalahsebagaiberikut:

1. Penerapanmanajemenkualitas air di Balai Benih Ikan Air Tawar Siwarak,

Ungaran, Semarang yaitupengukuran parameter kualitas fisika air,

parameter kimia air, parameter biologi air, parameter fisika tanah dan

parameter kimia tanah. Parameter fisika air dilakukan pengukuranantara lain

suhu, kecerahan, kedalaman, arus, warna dan bau air. Parameter kimia air

42
yang dilakukan pengukuran yaitu derajat keasaman (pH), Oksigent erlarut,

Karbondioksida dan alkalinitas sedangkan pada parameter biologi air yaitu

produktivitas primer. Parameter fisika tanah yang dilakukan pengukuran

yaitu warna tanah dan tekstur tanah sedangkan parameter kimia tanah yaitu

derajat keasaman (pH) tanah.


2. Perbedaan kualitas air dan tanah pada kelompok 1 sampai kelompok 6

dipengaruhi beberapa faktor antara lain keterlindungan terhadap cuaca,

fitoplankton, konstruksi kolam, jenis kolam atau perairan misalnya saluran

inlet balai, kolam tendon, kolam pembesaran, kolam pembenihan, kolam

pengendapan, dan saluran outlet balai. Kisaran suhu yang didapat yaitu 21oC

- 30oC, kisaran arus yaitu 0 – 1 m/s, kisaran kecerahan yaitu 9 m – 62,5 m,

kisaran kedalaman yaitu 22 m – 90 m, warna air yaitu coklat, coklat

kehitaman, coklat keruh, dan abu-abu, sedangkan bau air amis, bau tanah,

dan tidak berbau. Kisaran pH air yang didapat yaitu 7 - 8, kisaran Oksigen

terlarut yang didapat yaitu 2,2 mg/l – 7,8 mg/l, kisaran Karbondioksida yang

didapat yaitu 0 - 5,35 mg/l, kisaran alkalinitas yang didapat yaitu 0,365 mg/l

- 38,75mg/l. Warna tanah yang didapatkan yaitu abu-abu, abu-abu

kehitaman dan coklat tua. Terkstur tanah yang didapatkan yaitu liat berpasir,

lumpur berpasir, dan liat. Derajat keasaman (pH) tanah yang didapat semua

yaitu 7.
5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan pada Praktikum Manajemen Kualitas Air

adalah sebagai berikut :

1. Sebaiknya praktikan lebih teliti lagi dalam melakukan pengukuran terhadap

suatu variabel.

43
2. Sebaiknya dalam melakukan penimbangan suatu massa harus dilakukan

dengan teliti hingga penimbangan benar-benar stabil agar beratnya tidak

berubah

3. Sebaiknya alat alat laboratorium ditambah sehingga uji laboratorium lebih

cepat selesai dan data yang diperoleh lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, B. 2009. Pengaruh CO2 (Karbondioksida) Murni terhadap Pertumbuhan


Mikroorganisme pada Produk Minuman Fanta di PT Coca-Cola Bottling
Indonesia Unit Medan. Karya Ilmiah. FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Medan.

Affan, J.M. 2012. Identifikasi Lokasi untuk Pengembangan Budidaya Keramba


Jaring Apung (KJA) Berdasarkan Faktor Lingkungan dan Kualitas Air di
Perairan Pantai Timur Bangka Tengah. Jurnal Budidaya Perairan.
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Augusta,T.S. dan Saptami,U.E. 2014. Analisis Hubungan Kualitas Air Terhadap


Komunitas Zooplankton dan Ikan di Danau Hanjalutung . Jurnal Ilmu
Hewani Tropika Vol 3.(2) ISSN : 2301-7783.

Andriani, B. R. 2006. Pengaruh Rasio F/M terhadap Pengolahan Air Terproduksi


dengan Sequencing Batch Reactor (SBR). Jurusan Teknik Lingkungan.

44
FakultasTeknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya. 17-32.

Arabia, T., Zainabun, dan I. Royani. 2012. Karateristik Tanah Salin Krueng Raya
Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Acah Besar. Fakultas Pertanian
Unsyiah. Banda Aceh.

Baksir, A. 1999. Hubungan antara Produktivitas Primer Fitoplankton dan


Intensitas Cahaya di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur Jawa Barat.Tesis.
Program Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Boyd, C.E. 2002. Water Quality in Warmwater Fish Ponds.Fourth Print-


ing.Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA.
359 ha.

Boyd, C.E., Wood, C.W., T. Thunjai.2002. Pond Soil Characteristics and


Dynamics Of Soil Organik Matter and Nutrients. In : K. McElwee,
K.Lewis, M. Nidiffer, and P Buitrago (Edition), Ninetenth Annual
Technical Report. Pond Dynamics/Aquaculture CRSP, Oregon State
University, Corvallis, Oregon.

Davis dan Cornwell, 1991. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Rineka Cipta. Jakarta.

Darmawijaya, I. 1990. Klasifikasi Tanah. Balai Penelitian Teh dan Kina. Bandung.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.


Ferdiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius : Yogyakarta
Hanafiah, K. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Grapindo. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana


Perkasa. Jakarta. 233 hal.
Hehanussa, P.E. 2001. Kamus Limnologi (Perairan Darat). IHP-UNESCO Panitia
Nasional Program Hidrologi Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.

Hikmatulloh. 2009. Karakteristik Tanah-Tanah Volkan Muda dan Kesesuaian


Lahannya untuk Pertanian di Halmahera Barat.., 9(1) : 20-29.
Hutabarat, S. dan S. M, Evans. 2000. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta.
67–68 hlm.

45
. 1984. Produktivitas Perairan dan Plankton.
Universiatas Diponegoro. Semarang.

Kennish, M. J. 1990. Ecology of Estuaries. 2nd Edition. CRC Press, Florida.

Kordi K, M. Gufron H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.


Rineka Cipta. Jakarta.

Kordi, K. G. dan Andi B. T. 2009. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya


Perairan. Rineka Cipta : Jakarta.

Lalli, C. M. dan T. R. Parsons. 1993. Biological Oceanography: An Introduction.


Butterworth-Heinemann, Oxford.

Mamangkey dan Soeroto. 2010. Danau Tondano Surga Para Aliens. Peneliti dan
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unsrat.
Muhajir, Fasmi A., dan Edward2004. Variasi Oksigen Terlarut di Perairan
Tanimbar Bagian Utara dan Selatan, Maluku Tenggara. Jurnal Ilmiah
Sorihi., 3(1).

Odum, E.P. 1996. Dasar-DasarEkologi.Edisiketiga . Gajah Mada University Press.


Jogjakarta. H. 134-162.

Pujiastuti, P. 2013. Beban Pencemaran Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal


Ekosains., 5 (1).

Peavy. 1985. Hydrology and Biogeochemstry of Tropical Montane; Symposium


and Workshop, San Juan Puerto Rico.

Rahman, F. A. 2009. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Estuaria


Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor : Bogor.

Rajamuddin, A. U. 2009. Kajian Tingkat Perkembangan Tanah pada Lahan


Persawahan di Desa Kaluku Tinggu Kabupaten Donggala Sulawesi
Tengah. Jurnal Agroland., XVI(1): 45 – 52.

Rochdianto, A. 1995. Budidaya Ikan di Saluran Irigasi. Kanisius. Jogjakarta.

Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, dan H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi


Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan
Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry
Centre. Bogor.

Silalahi, J. 2010. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan


Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba. Tesis.

46
. 2009. Analisa Kualitas Air dan Hubungannya dengan Keanekaragaman
Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba. Tesis. Universitas
Sumatera Utara : Medan.

Sihotang, C,.1988. Limnologi II. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI :
Pekanbaru. 64 hal.

SNI 7550:2009 tentang Produksi Ikan Nila (Orechromis Niloticus Bleeker) Kelas
Pembesaran Di Kolam Air Tenang

Sofyan, F. 2004. Manajemen Produksi. Erlangga. Jakarta. 34 – 45 hlm.

Sudaryati, 1991. Hal yang Menyebabkan Fluktuasi Kadar Oksigen di Perairan Air
Tawar. Jurnal Penelitian Air Tawar., X(2): 1-6.

Sunarmi, P. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Malang : Fakultas Perikanan Jurusan


Budidaya Universitas Brawijaya.
Supono, H. dan Subandiyono. 2008. Analisis Diatom Epipelic Sebagai Indikator
Kualitas Lingkungan Tambak Untuk Budidaya Udang, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Semarang.

Susanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Kanisius.


Yogyakarta.

Sutisna, D. H. dan Ratno S.1995. Pembenihan Ikan Air Tawar.


Kanisius.Yogyakarta.

Tatangindatu, F., Ockstan K. dan Robert R. 2013. Studi Parameter Fisika Kimia
Air pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan,
Kabupaten Minahasa. J. Aquaculture., 1(2) : 8-19.

Uktoselya, H., 1991, Beberapa Aspek Fisika Laut dan Peranannya Dalam Masalah
Pencemaran , Puslitbag LIPI, Jakarta.

Wahyuningsih, H. D. 2004 . Kepadatan Populasi Ikan Jurung (Tor sp.) di Sungai


Baharok Kabupaten Langkat. Jurnal Komunikasi Penelitian., XVI(5).

White, R.E. 1987. Introduction to the Principles and Practice of Soil Science.
Second Edition. Blackwell Scientific Publication. London.

Yazwar. 2008. Keanekaragaman Plankton dan Keterkaitannya dengan Kualitas Air


di Parapat Danau Toba. [Tesis]. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Medan.

Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J.H. Boon. 1993. Prinsip-prinsip budidaya ikan.
PT. Gramedia, Jakarta.

47
48
LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan trip II di BBIAT Siwarak, Ungaran

a. Parameter fisika air


Kelompok 1
1. Kecerahan

a. inlet b. outlet

K1= samar-samar = 8 cm K1= samar-samar = 10 cm

K2= tidak terlihat = 10 cm K2= tidak terlihat = 15 cm

49
K = 9 cm K = 12,5 cm

2. Kecepatan arus

a. inlet b. outlet

Kelompok 2
1. Kecerahan
a. inlet b. outlet

K1= samar-samar = 52 cm
K1= samar-samar = 54 cm

K2= tidak terlihat = 57 cm


K2= tidak terlihat = 60 cm

K = 54,5 cm
K = 57 cm

2. Kecepatan arus
a. inlet b. outlet

Kelompok 3
1. Kecerahan

a. inlet b. outlet

50
K1= samar-samar = 12 cm K1= samar-samar = 20 cm

K2= tidak terlihat = 20 cm K2= tidak terlihat = 30 cm

K = 16 cm K = 25 cm

2. Kecepatan arus

a. inlet b. outlet

Kelompok 4
1. Kecerahan
a. inlet b. outlet

K1= samar-samar = 3 cm K1= samar-samar = 9 cm

K2= tidak terlihat = 13 cm K2= tidak terlihat = 9 cm

K = 8 cm K = 9 cm

2. Kecepatan arus

51
a. inlet b. outlet

Kelompok 5

1. Kecerahan

a. inlet b. outlet

K1= samar-samar = 30 cm K1= samar-samar = 40 cm

K2= tidak terlihat= 40 cm K2= tidak terlihat= 45 cm

K = 35 cm K = 44,75 cm

2. Kecepatan arus

a. inlet b. outlet

Kelompok 6

1. Kecerahan
a. inlet b. inlet

K1= samar-samar = 22 cm
K1= samar-samar = 53 cm

K2= tidak terlihat = 25 cm


K2= tidak terlihat = 72 cm

52
K = 23,5 cm K = 62,5 cm

2. Kecepatan arus
a. inlet b. inlet

b. Parameter kimia air


Kelompok 1
1. Oksigen terlarut

a. inlet b. outlet

Diketahui: ml titran= 1,17 ml Diketahui: ml titran = 1,08 ml

N titran= 0,025 N N titran= 0,025 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

DO = 4,68 mg/l DO = 4,32 mg/l

2. Karbondioksida

a. inlet b. outlet

Diketahui : ml titran= 0,05 ml Diketahui : ml titran= 0,27 ml

53
N titran = 0,045 N N titran = 0,045 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

3. Alkalinitas

a. Inlet b. Outlet
Diketahui : ml HCl (B) = 0,11 ml
Diketahui : ml HCl (B) = 0,12 ml

P(parsial) = 2,75 mg/l CaCO3


P(parsial) = 3 mg/l CaCO3

Kelompok 2
1. Oksigen terlarut

a. inlet b. outlet

Diketahui: ml titran= 1,5 ml Diketahui: ml titran = 0,72 ml

N titran= 0,025 N N titran= 0,025 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

54
DO = 6 mg/l DO = 2,88 mg/l

2. Karbondioksida

a. inlet b. outlet

Diketahui : ml titran= 0,23 ml Diketahui : ml titran= 0,18 ml

N titran = 0,045 N N titran = 0,045 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

3. Alkalinitas

a. Inlet b. Outlet
Diketahui : ml HCl (B) = 0,73 ml
Diketahui : ml HCl (B) = 0,53 ml

55
P(parsial) = 18,25 mg/l CaCO3

P(parsial) = 13,25 mg/l CaCO3

Kelompok 3
1. Oksigen terlarut

a. inlet b. outlet

Diketahui: ml titran= 0,55 ml Diketahui: ml titran = 0,7 ml

N titran= 0,025 N N titran= 0,025 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

DO = 2,2 mg/l DO = 2,8 mg/l

2. Karbondioksida

a. inlet b. outlet

Diketahui : ml titran= 0,01 ml Diketahui : ml titran= 0,005 ml

N titran = 0,045 N N titran = 0,045 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

56
3. Alkalinitas

a. Inlet b. Outlet
Diketahui : ml HCl (B) = 0,58 ml
Diketahui : ml HCl (B) = 0,5 ml

P(parsial) = 14,5 mg/l CaCO3


P(parsial) = 12,5 mg/l CaCO3

Kelompok 4

1. Oksigen terlarut

a. inlet b. outlet

Diketahui: ml titran= 0,75 ml Diketahui: ml titran = 0,78 ml

N titran= 0,025 N N titran= 0,025 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

57
DO = 3 mg/l DO = 3,12 mg/l

2. Karbondioksida

a. inlet b. outlet

Diketahui : ml titran= 0,17 ml Diketahui : ml titran= 0,1 ml

N titran = 0,045 N N titran = 0,045 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

3. Alkalinitas

a. Inlet b. Outlet
Diketahui : ml HCl (A+B) = 0,13 ml
Diketahui : ml HCl (A+B) = 0,06 ml

P(total) = 3,25 mg/l CaCO3


P(total) = 1,5 mg/l CaCO3

Kelompok 5

1. Oksigen terlarut

58
a. inlet b. outlet

Diketahui: ml titran= 1,95 ml Diketahui: ml titran = 1,8 ml

N titran= 0,025 N N titran= 0,025 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

DO = 7,8 mg/l DO = 7,2 mg/l

2. Karbondioksida

a. inlet b. outlet

Diketahui : ml titran= 0 ml Diketahui : ml titran= 0 ml

N titran = 0,045 N N titran = 0,045 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

3. Alkalinitas

a. Inlet b. Outlet

59
Diketahui : ml HCl (A) = 0,9 ml Diketahui : ml HCl (A) = 1,03 ml
ml HCl (B) = 1 ml
ml HCl (B) = 0,9 ml

P(total) = 22,5 mg/l


P(total) = 25,75 mg/l

Kelompok 6
1. Oksigen terlarut

a. inlet b. outlet

Diketahui: ml titran= 0,53 ml Diketahui: ml titran = 0,79 ml

N titran= 0,025 N N titran= 0,025 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

DO =2,12 mg/l DO = 3,16 mg/l

2. Karbondioksida

a. inlet b. outlet

Diketahui : ml titran= 0,19 ml Diketahui : ml titran= 0,26 ml

60
N titran = 0,045 N N titran = 0,045 N

ml sampel= 50 ml ml sampel= 50 ml

3. Alkalinitas

a. Inlet b. Outlet
Diketahui : ml HCl (B) =0,58 ml
Diketahui : ml HCl (B) = 0,68 ml

P(parsial) = 14,5 mg/l CaCO3


P(parsial) = 17 mg/l CaCO3

c. Parameter biologi
1. Produktivitas primer
Pada trip II tidak dilakukan pengamatan variabel produkstivitas primer
karena cuaca sedang hujan dan intensitas cahaya matahari rendah.
d. Parameter fisika tanah
Kelompok 1

1. Fraksi pasir

Berat total pasir = 13,5 gram

61
2. Fraksi lempung

A = 0,11 gram, maka A’ = A x 50 = 0,11 x 50 = 5,5 gram

B = 0,08 gram, maka B’ = B x 50 = 0,08 x 50 = 4 gram

C = 0,03 gram, maka C’ = C x 50 = 0,03 x 50 = 1,5 gram

D = 0,03 gram, maka D’ = D x 50 = 0,03 x 50 = 1,5 gram

E = 0,02 gram, maka E’ = E x 50 = 0,02 x 50 = 1 gram

Berat total lempung = (A’ – B’) + (B’ – C’) + (C’ – D’) + (D’ – E’)

= (5,5 – 4) + (4 – 1,5) + (1,5 – 1,5) + (1,5 – 1)

= 1,5 + 2,5 + 0 + 0,5

= 4,5 gram

3. Fraksi liat

Presentasi Fraksi Liat = 100 % – (%) Fraksi Pasir – (%) Fraksi Lempung

= 100 % – 54 % – 18 %

= 28 %

Kelompok 3

1. Fraksi pasir

Berat total pasir = 3,26 gram

62
2. Fraksi lempung

A = 0,07 gram, maka A’ = A x 50 = 0,07 x 50 = 3,5 gram

B = 0,07 gram, maka B’ = B x 50 = 0,07 x 50 = 3,5 gram

C = 0,07 gram, maka C’ = C x 50 = 0,07 x 50 = 3,5 gram

D = 0,19 gram, maka D’ = D x 50 = 0,19 x 50 = 9,5 gram

E = 0,02 gram, maka E’ = E x 50 = 0,02 x 50 = 1 gram

Berat total lempung = (A’ – B’) + (B’ – C’) + (C’ – D’) + (D’ – E’)

= (3,5 – 3,5) + (3,5 – 3,5) + (3,5 – 9,5) + (9,5 – 1)

= 0 + 0 + (-6) + 8,5

= 2,5 gram

3. Fraksi liat

Presentasi Fraksi Liat = 100 % – (%) Fraksi Pasir – (%) Fraksi Lempung

= 100 % – 13,04 % – 10 %

= 76,96 %

Kelompok 4

1. Fraksi pasir

63
Berat total pasir = 8,5 gram

2. Fraksi lempung

A = 0,04 gram, maka A’ = A x 50 = 0,04 x 50 = 2 gram

B = 0,07 gram, maka B’ = B x 50 = 0,07 x 50 = 3,5 gram

C = 0,02 gram, maka C’ = C x 50 = 0,02 x 50 = 1 gram

D = 0,01 gram, maka D’ = D x 50 = 0,01 x 50 = 0,5 gram

E = 0,03 gram, maka E’ = E x 50 = 0,03 x 50 = 1,5 gram

Berat total lempung = (A’ – B’) + (B’ – C’) + (C’ – D’) + (D’ – E’)

= (2 – 3,5) + (3,5 – 1) + (1 – 0,5) + (0,5 – 1,5)

= -1,5 + 2,5 + 0,5 + (-1)

= 0,5 gram

3. Fraksi liat

Presentasi Fraksi Liat = 100 % – (%) Fraksi Pasir – (%) Fraksi Lempung

= 100 % – 34 % – 2 %

= 64 %

Kelompok 5

64
1. Fraksi pasir

Diketahui berat total pasir= 7,57 gram

2. Fraksi lempung

A= 2,09 – 2,06= 0,03 gram, maka A’= 0,03 x 50= 1,5

B= 1,46 - 1,44= 0,02 gram, maka B’= 0,02 x 50= 1

C= 1,97 – 1,96= 0,01 gram, maka C’= 0,01 x 50= 0,5

D= 1,82 – 1,80= 0,02 gram, maka D’= 0,02 x 50= 1

E= 2,53 – 2,52= 0,01 gram, maka E’= 0,01 x 50= 0,5

Berat total lempung= (A’-B’) + (B’-C’) + (C’- D’) + (D’-E’)

= (1,5-1) + (1-0,5) + (0,5-1) + (1-0,5)

= 1 gr

3. Fraksi liat

Presentasi Fraksi Liat = 100% - Fraksi pasir – Fraksi lempung

= 100% - 30,28 % – 4 %

= 65,72 %

Kelompok 6

65
1. Fraksi pasir

Berat total pasir = 1,3 gram

2. Fraksi lempung

A = 0,02 gram, maka A’ = A x 50 = 0,02 x 50 = 1 gram

B = 0,02 gram, maka B’ = B x 50 = 0,02 x 50 = 1 gram

C = 0,02 gram, maka C’ = C x 50 = 0,02 x 50 = 1 gram

D = 0,02 gram, maka D’ = D x 50 = 0,02 x 50 = 1 gram

E = 0,01 gram, maka E’ = E x 50 = 0,01 x 50 = 0,5 gram

Berat total lempung = (A’ – B’) + (B’ – C’) + (C’ – D’) + (D’ – E’)

= (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 0,5)

= 0 + 0 + 0 + 0,5

= 0,5 gram

3. Fraksi liat

Presentasi Fraksi Liat = 100 % – (%) Fraksi Pasir – (%) Fraksi Lempung

= 100 % – 5,2 % – 2 %

= 92,8 %

66
Lampiran 2. Dokumentasi

67
68

Anda mungkin juga menyukai